PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria)"

Transkripsi

1 PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) CUT MEURAH ROSNELLY SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tulisan ini. Bogor, Desember 2010

3 ABSTRACT Cut Meurah Rosnelly, F The Design Process of Cellulose Acetate Ultrafiltration Membrane Production by Phase Inversion Method of Cellulose Pulp from Wood of Sengon (Paraserianthes falcataria. ). Under supervision of A. Aziz Darwis, Erliza Noor, and Kaseno Cellulose acetate ultrafiltration membrane has been utilized in a variety of separation and purification processes, including in agro-industry sector. In general, cellulose acetate is obtained from acetylation of cotton cellulose and wood pulp (abaca, straw, sawdust). In this study, cellulose from wood pulp of Sengon (Paraserianthes falcataria) was used. This plant is fast growing species and has potential as a raw material from its high cellulose content. The purpose of this study was to find a cellulose acetate manufacturing process conditions, to characterize cellulose diacetate and its performance on ultrafiltration process. There are three steps of cellulose diacetate manufacturing process. They are: (1) activation of cellulose using acetic acid, (2) acetylation, cellulose in acetic acid solvent is reacted with acetic anhydride reactant using sulfuric acid as catalyst, (3) hydrolysis to obtain cellulose diacetate. At each operating processes acetyl content was observed at temperature 50 o C. In addition, effect of variation of anhydride acetate reactant and cellulose ratio, namely (3.35:1), (4:1) (5:1), and (6:1) were also investigated. Asymmetric cellulose diacetate membrane preparation by phase inversion method was carried out by the addition of cellulose diacetate (SDA) as a polymer, N, N-Dimethil formaida (DMF) as solvent, water as a non-solvent, and polyethylene glycol (PEG) as additive. At this stage, effect of PEG / SDA ratio (10%, 20%, 30%), PEG molecular weight variation (1450, 4000, and 6000 Da), and coagulation temperature (15 o C, room temperature, and 50 o C) were also investigated. Membrane pore size was determined by by measuring Molecular Weight Cut Off ( MWCO) using a standard solution of dextran (12 kda) and Bovin Serum Albumin (67 kda). Membrane morphology was observed by Scanning Electron Microscope (SEM). Cellulose acetate of acetyl content of 39.66% and number average molecular weight 130,221 Da was obtained at the activation time 30 minutes; one hour acetylation process for acetic anhydride to cellulose ratio 3.35:1; and 15 hours hydrolysis process. The addition of PEG produced a thicker layer and greater tensile strength membranes and suppress the formation of macrovoid. SEM analysis shows a denser structure of membrane morphology with better regularity of pore shape, so has a better pore density (porosity) distribution of large and visible pores. The addition of PEG with higher molecular weight produces a denser morphological structure with larger pore size, but smaller porosity with large pore distribution. The addition of PEG with the increasing of PEG / SDA ratio resulted in a denser pore structure and greater number of pores with a greater porosity and large pore distribution. Coagulation at higher temperatures produced a thinner layer and low tensile strength membrane. The structure of membrane morphology is more

4 tenuous with a bigger pore size and greater number of pores so large porosity and pore distribution. Flux (water, dextran, and BSA) and rejection (dextran and BSA) are determined by the porosity and pore distribution of the membrane. High flux and rejection generated by large porosity and small pore distribution membrane. Membrane having small porosity and pore distribution produces low flux but high rejection. Conversely, high flux with low rejection obtained from the membrane with greater porosity and pore distribution. MWCO determination was based on the value of 80% rejection of dextran and BSA standard solution and the obtained pore size ranges obtained 67 kda, and is still categorized as ultrafiltration membrane. For further research needs to use more standard solution so that the more precise determination of MWCO could be achieved. Cellulose diacetate membrane formulation produced by the addition of PEG 1450, PEG / SDA ratio 30% and coagulation at room temperature was applicated for patchouli alcohol (Pogostemon cablin Benth) to improve the content of patchouli alcohol and separation of the components of the sugarcane juice solution. Improvement of the essential oil of patchouli alcohol was carried out using the hydrophobicity difference principle. Results showed that there were elevated levels of 41,68% patchouli alcohol at a transmembrane pressure of 1.4 bar, patchouli oil flux of 134 L/m 2. hour. Meanwhile, the permeate resulting from the separation of sugarcane juice solution components, with the increasing of transmembrane pressure from 0.6 to 1.8 bar obtained the increasing of flux solution from 36 to 165 L/m2.hour. Characteristics of permeate juice at 1.8 bar of transmembrane pressure increased the ph from and decreased the turbidity about 34,95% from 90-54% (A) compared to raw sugarcane juice (nira). Keywords: wood pulp, sengon (Paraserinathes falcataria), cellulose diacetate, phase inversion, cellulose diacetate membrane, ultrafiltration, patchouli alcohol, sugar cane

5 RINGKASAN Cut Meurah Rosnelly, F Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibawah bimbingan A.Aziz Darwis, Erliza Noor, dan Kaseno Membran dapat diartikan sebagai penyaring atau penghalang berupa lapisan tipis dengan kemampuan selektifitas tinggi sehingga dapat memisahkan antara komponen satu dengan yang lainnya secara spesifik. Membran selulosa asetat merupakan salah satu membran yang banyak digunakan dalam berbagai proses pemisahan, seperti untuk pemisahan larutan senyawa-senyawa terlarut, pemisahan campuran gas atau uap pelarut, partikel/molekul dalam larutan, pemisahan ion-ion dan sebagainya. Pada bidang agroindustri, pemisahan menggunakan membran banyak dilakukan dengan jenis proses ultrafiltasi. Material membran berupa bahan organik yang banyak digunakan adalah polimer selulosa asetat yang dapat diperoleh dari kapas dan pulp kayu ( abaka, jerami, serbuk gergaji, tandan kosong sawit), namun selulosa asetat sendiri di Indonesia masih didatangkan dari luar (impor). Hal ini merupakan kendala dalam memproduksi membran di Indonesia sehingga membran yang digunakan pada dunia industri juga masih berupa membran impor. Sejauh ini selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Di Indonesia, tanaman ini mudah tumbuh dan memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan polimer membran karena kandungan selulosa yang tinggi sehingga dapat mengatasi kendala kelangkaan membran lokal. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses pembuatan selulosa diasetat (SDA) berbasis selulosa pulp kayu sengon serta mendapatkan kondisi rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat dengan penambahan polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA serta suhu koagulasi serta karakter membran. Membran selulosa diasetat bersifat hidrofilik dengan jenis ultrafiltrasi diharapkan dapat meningkatkan kadar patchouli alkohol dari minyak nilam serta pemurnian larutan nira. Pembuatan selulosa diasetat diperoleh melalui tiga tahapan proses, yaitu: (1) aktivasi selulosa pulp kayu sengon menggunakan asam asetat, (2) asetilasi selulosa dengan anhidrida asetat sebagai reaktan, asam asetat sebagai pelarut serta menggunakan katalis asam sulfat. Pada proses asetilasi dilakukan variasi rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa untuk setiap satuan berat selulosa yang digunakan, (3) hidrolisis untuk mendapatkan selulosa diasetat dengan menambahkan air dan asam sulfat. Pada tiap tahap operasi diamati kadar asetil terhadap waktu pada suhu 50 o C. Kadar asetil ditentukan menggunakan metoda titrasi dan berat molekul selulosa asetat menggunakan metoda viskometer Ubbelohde. Pembuatan membran asimetrik selulosa diasetat dilakukan dengan teknik inversi fasa. Inversi fasa adalah suatu proses pengubahan bentuk polimer dari fasa cair menjadi fasa padat dengan kondisi terkendali. Pada proses tersebut, polimer selulosa diasetat (SDA) dilarutkan dalam pelarut dimetilformamida

6 (DMF) dengan perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 untuk memperoleh larutan polimer homogen. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat (SDA) dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (suhu kamar). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran dengan rasio PEG/SDA tetap (20%) tetapi pada suhu kaogulasi berbeda (15 o C, suhu kamar, dan 50 o C) dan pada berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da. Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan pada larutan polimer dengan memvariasikan rasio PEG/SDA (10, 20, dan 30%), berat molekul PEG (1450, 4000, dan 6000 Da). Larutan polimer tersebut dicetak di atas plat kaca dengan ketebalan ± 0,2 mm kemudian didiamkan selama 30 detik dan selanjutnya dicelupkan dalam bak koagulasi yang berisi air sebagai bukan-pelarut (non solvent) pada 15 o C, suhu kamar, dan 50 o C. Membran yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik berupa ketebalan dan kuat tarik. Fluks air, dekstran, dan Bovin Serum Albumin (BSA) serta rejeksi dekstran dan BSA termasuk parameter yang ditentukan. Penentuan porometer membran dilakukan dengan menentukan Molecular Weight Cut Off (MWCO) menggunakan larutan standar dekstran (12 kda) dan Bovin Serum Albumin (67 kda). Morfologi membran diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Salah satu formulasi membran dilakukan pengujian aplikasi terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol (PA) dari minyak nilam dan pemurnian nira tebu. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) telah diperoleh sebagai berikut: selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% dapat dijadikan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul Da telah diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit; asetilasi selama satu jam dengan rasio reaktan anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35; dan hidrolisis selama 15 jam. Masing-masing proses berjalan pada suhu 50 o C. Membran selulosa asetat hasil inversi fasa diperoleh melalui tahapan proses pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap pelarut DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam. Proses dilanjutkan dengan pendiaman larutan cetak selama 1 jam pada suhu kamar, lama penguapan 30 detik, perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam. Penambahan PEG menghasilkan membran dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki lapisan yang lebih tebal, kuat tarik yang lebih besar, dan menekan terbentuknya makrovoid. Analisis SEM menunjukkan struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan tingkat keteraturan bentuk pori yang lebih baik sehingga kerapatan (porositas) besar serta terlihat distribusi pori semakin kecil. Penambahan PEG dengan berat molekul yang semakin besar menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan ukuran pori yang lebih besar, akan tetapi porositas lebih kecil dengan distribusi pori besar. Penambahan PEG dengan rasio PEG/SDA yang semakin meningkat menghasilkan struktur morfologi yang semakin rapat dengan porositas yang lebih besar dan distribusi pori besar. Koagulasi pada suhu lebih tinggi menghasilkan membran dengan lapisan yang lebih tipis dan kuat tarik yang lebih rendah.

7 Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapuh namun ukuran dan jumlah pori lebih besar sehingga porositas dan distribusi pori besar. Fluks (air, dekstran, dan BSA) dan rejeksi (dekstran dan BSA) sangat ditentukan oleh porositas dan distribusi pori membran. Fluks dan rejeksi tinggi dihasilkan oleh membran dengan porositas besar dan distribusi pori kecil. Membran dengan porositas kecil dan distribusi pori besar menghasilkan fluks rendah tetapi rejeksi tinggi. Sebaliknya, fluks tinggi dengan rejeksi rendah diperoleh dari membran dengan porositas dan distribusi pori besar. Penentuan MWCO membran didasari oleh nilai rejeksi 80-90% dari larutan standard dekstran (12 kda) dan BSA (67 kda) diperoleh ukuran pori maksimal 67 kda, dan masih dalam katagori membran jenis proses ultrafiltrasi. Disarankan untuk penelitian lanjutan perlu penggunaan larutan standar yang lebih banyak sehingga dalam penentuan MWCO membran lebih tepat. Membran hasil penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi suhu kamar diuji terhadap penerapan atau uji aplikasi pada minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) dalam usaha peningkatan kadar patchouli alkohol dan pemurnian nira tebu. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dilakukan menggunakan prinsip perbedaan hidrofobisitas (sifat kepolaran). Hasil menunjukkan terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol sebesar 41,68% pada tekanan transmembran 1,4 bar dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 134 L/m 2.jam. Uji aplikasi terhadap pemurnian nira menghasilkan fluks yang semakin meningkat dari 36 menjadi 165 L/m 2.jam dengan naiknya tekanan transmembran dari 0,6 1,8 bar. Karakteristik permeat nira pada tekanan transmembran 1,8 bar terjadi peningkatan ph dari 5,25-6 dan penurunan turbiditi sebesar 39,45% dari 90-54% (A).

8 Hak cipta milik IPB. Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

9 PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN MEMBRAN ULTRAFILTRASI SELULOSA ASETAT SECARA INVERSI FASA DARI SELULOSA PULP KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) CUT MEURAH ROSNELLY Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. 2. Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ahmad Farhan Hamid 2. Prof. Dr. Ir. Hj. Tun Tedja Irawadi, MS

11 Judul Disertasi : Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari Seluloa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria) Nama : Cut Meurah Rosnelly NIM : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir.H. Abdul Aziz Darwis, MSc Ketua Dr. Ir. Hj. Erliza Noor Anggota Dr. Ir. H. Kaseno, M. Eng Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Machfud, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

12 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Desember 2009 adalah Perancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria). Karya ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Hj. Erliza Noor, dan Dr. Ir. H. Kaseno, M.Eng masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, saran, dan masukannya. Atas masukan dan saran pada ujian tertutup dari penguji luar komisi Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. (staf pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB) dan Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA (staf pengajar Departemen Kimia, IPB), serta Dr. H. Ahmad Farhan Hamid (Wakil MPR RI) dan Prof. Dr. Ir. Hj. Tun Tedja Irawadi, MS (Guru besar Departemen Kimia, IPB) masing-masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka penulis juga menyampaikan terimakasih. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian dan seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana IPB khususnya Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Penelitian Hibah Bersaing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Institut Pertanian Bogor (IPB) atas Hibah Penelitian Doktor yang telah penulis terima. Tidak lupa juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Propinsi

13 Nanggroe Aceh Darussalam melalui Universitas Syiah Kuala Banda Aceh atas bantuan beasiswa selama dalam masa studi. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Rini Purnawati, Msi serta para laboran dan karyawan di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Rekayasa Proses dan Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU) IPB atas segala bantuannya. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2005: I Gusti Bagus Udayana, Henny Purwaningsih, Novizar Nazir, Yuli Wibowo, Herfiani Rizkia, Fahmi Riadi Kubra, dan Luluk Sulistyo Budi serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan moril yang diberikan. Tidak lupa ucapan terimakasih tak terhingga disampaikan kepada ayahanda dan ibunda tercinta: Prof. Dr. H. TMA Chalik, DGO, Sp.OG dan Hj. Tjut Farida atas segala do a, dukungan, bantuan, bimbingan, kasih sayang, dan nasehat yang tiada henti-hentinya diberikan kepada penulis. Kepada ayah dan ibu mertua: (alm) Kol. H. Syafei Arief dan (almh) Hj. Syarifah Budiman, penulis juga mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan yang telah diberikan semasa hidupnya. Kepada anak-anak tersayang: Aulia Khalqillah (15 tahun) dan Syaffan Syakh Khairunas (9 tahun) penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas dukungan, kesabaran, pengorbanan dan iringan do a yang tulus dan ikhlas. Kepada kakak dan adik-adik tercinta, Cut Meurah Elvidayanti, SH beserta keluarga; Ir. H. T. Meurah Irfansyah beserta keluarga, Cut Meurah Farliyanti, Adm beserta keluarga, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga atas do a, bantuan, dan dukungannya. Juga tidak lupa ucapan terimakasih kepada suami (alm) H. Agus Salim, adik-adik tercinta (almh) Cut Meurah Aswina, dan (alm) T. Reza Irwanda atas dukungan semangat dan siraman rohani yang telah diberikan kepada penulis semasa hidupnya. Untuk bantuan dan do a yang diberikan kepada penulis dari berbagai pihak dan perorangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih, hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan ini dengan berlipat ganda. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2010 Cut Meurah Rosnelly

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 9 Januari 1968 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan H. T.M.A. Chalik dan Hj. Tjut Farida. Pada tahun 1980 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Yaspendhar, Medan. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1983 pada sekolah yang sama di Medan. Pada tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Banda Aceh. Pendidikan S1 diselesaikan pada tahun 1992 di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pada tahun 1994, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Teknik Kimia FTI dari perguruan tinggi yang sama di Surabaya pada tahun 1997 menggunakan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan lulus pada tahun Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan menggunakan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS). Selama mengikuti program S3, penulis telah mempublikasi beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi dengan judul: Pembuatan Selulosa Diasetat dari Selulosa Pulp Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai Bahan Baku Pembuatan Membran diterbitkan dalam jurnal Agri-Tek: Volume 10 Nomor 1, Maret Sementara itu, karya ilmiah dengan judul: Pengaruh Rasio Anhidrida Asetat dalam Proses Asetilasi Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) pada Pembuatan Selulosa Tri Asetat diterbitkan pada jurnal terakreditasi Warta Industri Hasil Pertanian Volume 27 No. 1 Tahun Selanjutnya karya ilmiah berjudul: Pengaruh Penambahan Aditif PEG terhadap Morfologi Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat diterbitkan dalam jurnal Distilat ISSN Volume 3 No.1 Juni Penulis juga telah mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan, yaitu: Pelatihan Good Laboratory Practice

15 (GLP) yang diadakan oleh Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB pada 19 Februari 2009 serta Pelatihan Penulisan Jurnal Ilmiah pada 5 Juli 2010 di tempat yang sama. Seluruh karya ilmiah dan kegiatan pelatihan ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

16 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xvii xviii xxi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis 3 Ruang Lingkup Penelitian 4 Manfaat Penelitian 5 Novelti 5 TINJAUAN PUSTAKA 6 Membran 6 1. Definisi Membran 6 2. Proses Pemisahan dengan Membran 7 3. Karakterisasi Membran 8 Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat Bahan Baku Proses Pembuatan Membran Mekanisme Pembentukan Membran Berpori 30 Pemanfaat dan Peluang Teknologi Membran 32 METODOLOGI 38 Waktu dan Tempat Penelitian 38 Bahan dan Alat 38 Metodologi Penelitian 39 HASIL DAN PEMBAHASAN 51 Tahap 1. Analisis sifat físika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) Tahap 2. Selulosa Diasetat 52 51

17 2.1. Waktu Aktivasi Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi Waktu Hidrolisis 57 Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat dan Karakterisasi Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) 3.2. Karakterisasi Membran 59 Tahap 4. Uji Aplikasi Membran Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam (Pogestemon cablin Benth) 4.2. Pemurnian Nira Tebu KESIMPULAN DAN SARAN 99 Kesimpulan 99 Saran 100 DAFTAR PUSTAKA 102 LAMPIRAN 112

18 DAFTAR TABEL Halaman 1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer Hubungan antara derajat substituís, kadar asetil, pelarut, dan aplikasinya 6. Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG) Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa Pemanfaatan membran selulosa asetat Komponen utama dalam minyak nilam Hasil analisis komponen kimia selulosa pulp kayu sengon Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa diasetat berbasis pulp kayu sengon. 12. Waktu kompaksi terhadap fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada koagulasi suhu kamar. 13. Waktu kompaksi terhadap fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada rasio PEG /SDA 20%. 14. Formulasi membran (koagulasi suhu kamar) dengan fluksi dan rejeksi tertinggi 15. Formulasi membran (rasio PEG/SDA 20%) dengan fluksi dan rejeksi tertinggi 16. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam Komposisi penyusun nira mentah Karakterisasi dan Kinerja Membran Selulosa Asetat terhadap larutan Nira

19 DAFTAR GAMBAR 1. Grafik hubungan fluksi terhadap waktu untuk aliran Dead-end dan Crossflow Halaman 2. Struktur selulosa Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat Reaksi hidrolisis selulosa triasetat Skema tahapan penelitian secara umum Selulosa pulp kayu sengon 7. Proses tahap penentuan waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis serta rasio anhidrida asetat 8. Rangkaian alat penyaring silang (crossflow filtration) membran jenis proses ultrafiltrasi 9. Perolehan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu aktivasi pada suhu 50 o C dan waktu asetilasi 1 jam. 10. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50 o C selama 1 jam 11. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu asetilasi pada suhu 50 o C selama 1 jam dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3, Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis (suhu 50 o C ) 13. Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66% dan berwarna putih 14. a 14.b. Bagian lapisan permukaan atas membran SDA Bagian lapisan bawah membran SDA 15.a. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x tanpa penambahan PEG (koagulasi pada suhu kamar) 15.b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar) 16.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar) 16.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 4000 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar)

20 17.a. 17.b. 18.a. 18.b. Bagian lapisan atas membran SDA (2000x) dengan penambahan PEG 1450 Da serta koagulasi pada suhu kamar pada rasio PEG/SDA 10% Bagian lapisan atas membran SDA (2000x) dengan penambahan PEG 1450 Da serta koagulasi pada suhu kamar pada rasio PEG/SDA 20% Bagian lapisan bawah membran SDA pada penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG 20% dengan koagulasi pada suhu 15 o C (1000x) Bagian lapisan bawah membran SDA pada penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG 20% dengan koagulasi pada suhu 50 o C (3500x) 19. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). 20. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). 21. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). 22. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). 23. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). 24. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). 25. Hubungan antara fluksi air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) 26. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) 27. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) 28. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) 29. Hubungan antara fluks desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)

21 30. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) 31. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 32. Hubungan antara fluks desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 33. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 34. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 35. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 36. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 37. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 38. Hubungan antara rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) 39. Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) 40. Hubungan antara rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) 41. Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) 42. Hubungan antara rejeksi desktran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 43. Hubungan antara rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 44. Hubungan fluksi dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi tekanan transmembran 48. Mekanisme pemisahan berdasarkan sifat hidrofobisitas Hubungan fluksi terhadap variasi tekanan transmembran

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis kadar selulosa (ASTM D ) Analisis kadar air (ASTM D ) Analisis kadar abu (ASTM D ) Analisis kadar asetil (ASTM D ) Jumlah perolehan selulosa asetat (Himmelblau) Penetapan viskositas intrinsic [η] Selulosa Asetat dengan Viskometer Ubbelohde 7. Penetapan bobot molekul selulosa asetat relatif Pengukuran ketebalan membran Pengukuran kuat tarik membran Pengukuran fluksi air, dekstran, dan bovin serum albumin - BSA (Scott dan Hughes, 1996) 11. Pengukuran rejeksi (Mulder, 1996) Analisis kadar protein (Metode Lawry) Analisis konsentrasi dekstran (Apriyantono et al., 1989) Molecular Weight Cut Off (MWCO) membrane (Mahendran et al., ) 15. Analisis morfologi membran Pengukuran bobot jenis Pengukuran indeks bias Bilangan asam Bilangan ester Analisis kadar patchouli alkohol Pembuatan dan standarisasi larutan NaOH 0,5 M dengan KH Ftalat (Day et al., 1990) 22. Pembuatan dan standarisasi larutan HCl 0,5 N dengan Na 2 CO 3 (Day et al., 1990) Pembuatan larutan KOH 0,5 N Pembuatan larutan MgCO 3 1% dalam asam asetat 25. Pembuatan larutan MgCO 3 1% dalam aquadest Pembuatan ethanol 75% dari ethanol 95% Pembuatan larutan standar dekstran 200 mg/lt

23 28. Pembuatan larutan standar BSA 200 mg/lt Perolehan selulosa triasetatdalam pada berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi dan asetilasi 50 o C serta asetilasi 1 jam 30. Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pada asetilasi 1 jam dan suhu 50 o C 31. Perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat pada berbagai waktu asetilasi pada suhu 50 o C dan rasio anhidrida asetat 3, Perolehan kadar asetil (KA) hasil hidrolisis pada berbagai waktu Perolehan fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar) 34. Perolehan fluksi air (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu kompaksi dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 35. Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu dari berbagai formulasi membran (koagulasi pada suhu kamar) 36. Perolehan fluksi air, dekstran, BSA, dan rejeksi dekstran, BSA (TMP 2 bar, suhu kamar) terhadap waktu dari berbagai formulasi membran dan perubahan suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) 37. Kinerja membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alcohol pada waktu filtrasi 10 menit 38. Fluksi air dan nira terhadap berbagai tekanan transmembran Karakteristik dan kinerja membrani selulosa asetat pada pemurnian nira 40. Diagram alir pembuatan selulosa asetat Diagram alir pembuatan membran ultrafiltasi Diagram alir proses pemurnian nira Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan selulosa asetat Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltasi pada koagulasi suhu kamar 45. Diagram alir hasil rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi pada rasio PEG/SDA 20%

24 PENDAHULUAN Latar Belakang Membran adalah suatu lapisan tipis yang dapat memisahkan dua komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu mampu melewatkan zat terlarut berukuran lebih kecil dari ukuran pori-pori membran dan menahan zat terlarut berukuran lebih besar dari ukuran pori-pori membran. Pergerakan atau perpindahan suatu zat terlarut yang melewati membran disebabkan oleh gaya pendorong berasal dari tekanan operasi pompa. Operasi proses hilir termasuk di bidang agroindustri umumnya melibatkan banyak tahapan operasi pemisahan dan pemurnian dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan tingkat kemurnian yang diinginkan. Penggunaan membran dalam proses pemisahan dan pemurnian telah menjadi topik penelitian yang intensif sejak awal tahun Penerapannya sudah meliputi spektrum yang luas, seperti pada bidang bioteknologi (pemurnian dan pemekatan enzim, pemekatan virus), farmasi (sterilisasi dan pemisahan partikel), kedokteran (hemodialisis), agroindustri/pengolahan produk pangan (pemekatan aneka macam sari buah pemekatan susu), sanitasi (pemisahan emulsi minyak-air, penjernihan dan pemurnian air laut/air payau) (Aspiyanto, 2003; Shibata, 2004). Teknologi pemisahan dengan membran memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki metode-metode pemisahan lainnya. Diantara keunggulan tersebut adalah membran tidak membutuhkan bahan kimia tambahan, dapat dikombinasikan dengan proses lain, tidak mengalami perubahan fase, kebutuhan energi rendah, proses dapat berlangsung secara kontinyu, dan tidak memerlukan ruang instalasi yang besar (Wenten, 1999). Di Indonesia, pemakaian membran masih menggunakan membran impor sehingga perkembangan teknologi membran tidak sepesat di negara lain. Kelangkaan akan membran lokal dan mahalnya membran impor menjadi kendala dalam penggunaan membran di dunia industri (Giriarso, 2009). Dari jumlah total pasar membran dunia, Amerika Serikat memimpin dengan menguasai 27 % diikuti oleh Eropa (Jerman, Perancis, Inggris, Itali, Spanyol, dll) sebanyak 40 %, Jepang 17 %, dan negara lainnya sebesar 16% (Wenten, 2002). Mengatasi kendala

25 akan kelangkaan membran lokal yang dihadapi maka terus dilakukan usaha untuk mencari jalan pemecahannya. Selulosa asetat dan turunannya telah banyak dimanfaatkan sebagai serat untuk pakaian, penyaring tembakau, sebagai bahan pembuat plastik, film dan pelapis, dan perkembangan berlanjut hingga dimanfaatkan pula sebagai membran (Yamakawa et al., 2003). Pemakaian selulosa asetat sebagai polimer membran masih akan terus berkembang dan menempati bagian yang penting dalam teknologi membran. Selulosa asetat dapat diperoleh melalui proses asetilasi selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki kemurnian yang tinggi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial umumnya berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997). Nata de coco dan Nata de soya termasuk sumber selulosa dan dikenal sebagai selulosa mikrobial. Sejauh ini pembuatan membran selulosa asetat telah dilakukan oleh beberapa peneliti menggunakan selulosa dari berbagai sumber, seperti selulosa mikrobial (Desiyarni, 2006 dan Darwis et al,. 2003), pulp Abaka (Radiman, 2004), dan limbah serbuk gergaji kayu (Suyati, 2008). Penggunaan bahan baku yang berbeda akan berpengaruh terhadap kondisi tahapan proses, terutama pada proses pembuatan selulosa asetat. Selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) belum pernah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan polimer membran. Oleh karena itu pemilihan bahan baku selulosa pulp kayu sengon pada penelitian ini diharapkan menjadi alternatif bahan baku polimer membran. Membran ultrafiltrasi selulosa asetat merupakan salah satu jenis membran yang dewasa ini banyak digunakan pada proses pemisahan. Ukuran pori pada membran ini berkisar antara A atau MWCO sekitar Da. Membran UF merupakan jenis membran berpori yang memiliki kemampuan untuk merejeksi partikel. Zat terlarut yang direjeksi biasanya berupa makromolekul seperti protein, vitamin, dan zat terlarut yang dilewatkan membran berupa gula dan garam (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran dan struktur membran yang akan dibuat umumnya menentukan teknik pembuatan membran yang digunakan. Inversi fasa merupakan salah satu teknik yang umum digunakan

26 pada pembuatan membran. Membran yang dihasilkan dari teknik ini memiliki struktur morfologi membran berpori. Penambahan Polietilen glikol (PEG) sebagai porogen pada pembuatan membran sangat menentukan struktur membran yang dihasilkan (Mulder, 1996). Untuk memperoleh membran ultrafiltrasi selulosa diasetat berbasis selulosa pulp kayu sengon yang berkualitas, maka dilakukan rekayasa proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat yang meliputi tahapan proses pembuatan selulosa asetat dan pembuatan membran itu sendiri. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mendapatkan rancangan proses pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon (paraserianthes falcataria) dengan cara menentukan kondisi proses untuk waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis, serta rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon. 2. Mendapatkan rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat secara inversi fasa serta dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berbagai berat molekul PEG, rasio PEG/SDA, dan suhu koagulasi serta mendapatkan karakter membran (ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluksi, rejeksi, dan MWCO). 3. Mendapatkan kinerja membran yang diperoleh dari uji aplikasi terhadap pemisahan komponen tertentu dari minyak nilam dan larutan nira tebu. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini, adalah: 1. Perolehan selulosa asetat dan kadar asetil pada proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis sangat ditentukan oleh waktu masing-masing proses. Sumber selulosa yang digunakan diduga sangat menentukan lamanya waktu proses aktivasi. Pada proses asetilasi, meningkatnya rasio anhidrida asetat terhadap selulosa dan semakin lama waktu asetilasi diduga akan menaikkan perolehan selulosa triasetat dan kadar asetil yang dihasilkan.

27 Semakin lama waktu hidrolisis diduga akan menurunkan kadar asetil yang diperoleh. 2. Penambahan PEG sebagai porogen dan perubahan suhu koagulasi dalam pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa diduga berperan terhadap karakter membran yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan dengan penambahan PEG maupun perubahan suhu koagulasi akan menaikkan viskositas larutan polimer. 3. Membran selulosa asetat yang bersifat hidrofilik dengan tipe ultrafiltrasi dapat memisahkan bahan berdasarkan sifat kepolaran dan bahan yang berukuran > 0,005 µm (BM > 1000 Da). Berdasarkan sifat dan ukuran pori membran, diperkirakan membran yang dihasilkan pada penelitian ini dapat digunakan untuk pemisahan suatu komponen dari minyak nilam dan larutan nira tebu, dan lainnya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup tahapan proses yang dikerjakan adalah: 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon 2. Pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon (SDA) terdiri dari tahapan proses, yaitu: aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis. 3. Pembuatan dan penentuan karakter membran SDA. Pembuatan membran dilakukan secara inversi fasa dari tiga komponen utama, yaitu: selulosa diasetat (SDA) sebagai polimer, dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut, dan air sebakai bukan-pelarut. Porogen polietilen glikol (PEG) ditambahkan dalam larutan cetak dengan berbagai berat molekul (1450 Da, 4000 Da, 6000 Da), rasio PEG terhadap selulosa diasetat (10%, 20%,30%) serta suhu koagulasi (15 o C, suhu kamar, 50 o C). Penentuan karakter membran berupa ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, MWCO. Larutan standar dekstran (12 kda) dan Bovin Serum Albumin (67 kda) digunakan dalam penentuan flusk, rejeksi, dan MWCO membran. Pengamatan morfologi membran dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Mocroscope (SEM).

28 4. Pengukuran kinerja membran dari aplikasi terhadap pemisahan suatu komponen dari minyak nilamdan larutan nira tebu. Manfaat Penelitian Pemanfaatan selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku baru untuk pembuatan membran ultrafiltrasi dan rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi yang dapat digunakan dalam proses pemisahan berbagai senyawa dari produk agroindustri. Novelti 1. Penggunaan selulosa berbasis selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku pembuatan polimer membran berupa selulosa diasetat (SDA). 2. Rekayasa proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon dengan penambahan PEG sebagai porogen pada larutan polimer dengan berat molekul 1450, 4000, dan 6000 Da serta rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%.

29 TINJAUAN PUSTAKA Membran 1. Definisi Membran Membran adalah suatu lapisan tipis bersifat semipermeabel yang dapat menahan dan melewatkan pergerakan bahan tertentu (Scot dan Hughes, 1996). Teknologi pemisahan menggunakan membran merupakan teknik pemisahan komponen dengan cara yang sangat spesifik, yaitu menahan dan melewatkan salah satu komponen lebih cepat dari komponen penyusun lainnya. Membran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu berdasarkan morfologi, bahan pembuat, dan proses pemisahannya. Berdasarkan morfologi, membran dibagi menjadi dua golongan, yaitu membran simetrik dan membran asimetrik. Struktur yang dihasilkan membran simetrik dapat bersifat berpori (porous) atau tidak-berpori (nonporous). Sedangkan struktur yang dihasilkan membran asimetrik bersifat berpori dengan pori pada lapisan atas lebih rapat dibandingkan pori pada lapisan bagian bawah. Membran jenis proses ultrafiltrasi lebih bersifat asimetrik dibandingkan membran dengan jenis proses mikrofiltrasi (Scot dan Hughes, 1996). Berdasarkan bahan pembuat, membran terbagi atas membran organik dan membran anorganik. Membran organik dibuat menggunakan bahan polimer. Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai bahan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika sangat bervariasi, sehingga hanya beberapa jenis polimer yang digunakan sebagai bahan membran. Jenis polimer yang banyak digunakan untuk membuat membran antara lain selulosa beserta turunannya, polisulfan, poliamida, poliakrilonitril, polieter sulfon (Wenten, 1999). Polimer untuk membran berpori sangat berbeda dengan polimer membran tidak berpori. Untuk membran berpori, pilihan polimer ditentukan oleh metode pembuatan membran yang digunakan dan polimer menentukan stabilitas membran. Sedangkan untuk membran tidak berpori, pilihan polimer ditentukan oleh selektivitas dan fluks yang diinginkan (Mulder, 1996). Membran anorganik adalah membran yang berasal dari material anorganik. Material anorganik memilki stabilitas kimia dan stabilitas thermal lebih baik dibandingkan bahan polimer. Ada

30 empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, gelas, metal (termasuk karbon), dan zeolit. Berdasarkan ukuran partikel atau bobot molekul bahan yang dipisahkan, maka pemisahan membran dikelompokkan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, osmosis balik, dialisis, dan pervaporasi (Cheryan, 1998). Membran ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar A atau sekitar MWCO, dan dapat memisahkan bahan berukuran lebih besar dari 0,005 µm atau partikel dengan berat molekul lebih besar dari 1000 Da (Osada dan Nakagawa, 1992). Membran ultrafiltrasi memiliki struktur asimetrik dengan permukaan atas yang lebih rapat atau dense (ukuran pori permukaan atas lebih kecil dan porositas permukaan lebih rendah). Pembuatan membran dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain: (1) pemanasan (sintering), (2) peregangan (streching), (3) track-etching, (4) template leaching, (5) fasa balik (phase inversion), (6) pelumasan (coating). Teknik yang dipilih didasari oleh jenis material dan struktur membran yang akan dibuat. 2. Proses Pemisahan dengan Membran Filtrasi membran merupakan proses pemisahan material dengan mengalirkan umpan melalui suatu membran. Pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran partikel/molekul dengan ukuran pori membran dimana fluks dan rejeksi sangat ditentukan dari perbedaan ukuran tersebut. Pemisahan juga dapat terjadi berdasarkan perbedaan sifat laju kelarutan/diffusivitas material yang akan dipisahkan terhadap material membran yang digunakan. Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Ini berarti bahwa sifat intrinsik dari material menentukan tingkat permeabilitas dan selektifitas. Dalam operasi membran dikenal dua jenis aliran umpan, yaitu aliran cross-flow dan aliran dead-end, dimana perubahan fluks terhadap waktu dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

31 fluks (L/m 2 jam) fluks (L/m 2 jam) Waktu Waktu Gambar 1. Grafik hubungan fluks terhadap waktu untuk aliarn Dead-end dan Crossflow Aliran filtrasi dead-end, yaitu keseluruhan dari fluida (aliran umpan) melewati membran dan partikel tertahan pada membran. Fluida yang terus mengalir sebagai umpan akan mengalir melalui tahanan penumpukan partikel dan tahanan membran pada permukaan membran sehingga mudah tersumbat akibat terbentuknya suatu lapisan pada permukaan membran. Pengaliran secara crossflow dilakukan dengan cara mengalirkan umpan sejajar melalui suatu membran dengan hanya sebagian saja yang melewati pori membran untuk memproduksi permeat. Aliran pelarut atau cairan pembawa akan melewati permukaan membran sehingga larutan, koloid, dan padatan tersuspensi yang tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi aliran balik atau retentat. Partikel atau padatan tersuspensi pada permukaan membran akan tersapu oleh kecepatan aliran umpan. Aliran ini dapat digunakan untuk menghindari terbentuk lapisan pada permukaan membran berupa cake, fouling, polarisasi konsebtrasi, dan adsorpsi. 3. Karakterisasi Membran Menurut Mulder (1996), karakterisasi membran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) membran berpori (porous membrane), (2) membran tidakberpori (nonporous membrane). Pada membran berpori, pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran antara partikel/molekul dan pori membran dibantu dengan adanya tekanan transmembran sebagai driving force. Selektivitas akan tinggi, jika ukuran partikel lebih besar daripada ukuran pori membran. Mikrofiltrasi (MF) dan ultrafiltrasi (UF) merupakan jenis membran berpori. Di sisi lain untuk membran tidak berpori, seperti pervaporasi (PV), separasi gas (GS), dan dialisis, pemisahan

32 terjadi akibat perbedaan laju kelarutan (solubility) dan/atau perbedaan diffusivitas (diffusivity). Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi membran berpori, yaitu mikroskop elektron, metode gelembung udara (bubble point), dan pengukuran permeasi (Scott et al., 1996). Scanning Electron Microscope (SEM) dan Tramsmission Electron Microscope (TEM) adalah alat mikroskop yang dapat digunakan untuk pengamatan langsung. Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang disiapkan sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar. Kelemahan yang dihadapi adalah karena sampel yang diperlukan sangat tipis, maka memerlukan waktu yang lama untuk preprasi dan dikhawatirkan terjadi kerusakan struktur sampel. Sedangkan pada SEM sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh detektor dan diolah. Penggunaan SEM lebih mudah karena sampel yang diperlukan tidak setipis sampel yang digunakan pada TEM. Sifat mekanik dan struktur pori termasuk parameter dalam penentuan karakteristik membran. Sifat fisik mekanik dan struktur pori sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan membran. Sedangkan kinerja membran pada saat pengoperasian terutama ditentukan oleh distribusi dan ukuran pori membran (Mallevialle et al., 1996). Sebelum uji fluks air, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang akan diuji dengan mengalirkan air melewati membran hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi juga dapat membuat membuat pori membran menjadi lebih seragam, lembaran membran menjadi lebih kaku, dan juga untuk memperoleh harga fluks air yang konstan pada tekanan operasional yang diberikan (Mahendran et al.,2004). Kinerja atau effisiensi proses membran ditentukan oleh dua parameter, yaitu selektivitas dan fluks/laju permeasi (L/m 2.jam atau kg/m 2.jam atau mol/m 2.jam) atau koefisien permeabilitas (L/m 2.jam.bar). Fluks adalah jumlah permeat yang dihasilkan pada operasi membran per satuan luas permukaan

33 membran dan persatuan waktu. Fluks dapat dinyatakan sebagai berikut (Mulder, 1996): Jv = V / (A.t) (1) Dimana : Jv = fluks volume (L/m².jam) t = waktu (jam) A = luas permukaan membran (m²) V = volume permeat (lt) Fluks merupakan salah satu parameter kinerja membran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (i) parameter operasi seperti konsentrasi umpan, suhu, laju alir, dan tekanan, (ii) sifat-sifat fisik larutan umpan, dan (iii) faktor desain. Kenaikan konsentrasi umpan menyebabkan fluks akan turun. Perubahan konsentrasi umpan akan merubah harga viskositas, densitas, dan diffusifitas larutan umpan. Demikian juga, peningkatan suhu dapat menaikkan fluks baik pada daerah yang dikendalikan oleh tekanan atau yang dikendalikan oleh perpindahan massa. Fluks dapat juga dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas. Nilai permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan pelarut. Koefisien permeabilitas untuk membran jenis proses ultrafiltrasi berada pada kisaran 0,5 m 3 /m 2.hari.bar (20 L/m 2.jam.bar) 5 m 3 /m 2.hari.bar (200 L/m 2.jam.bar) (Wenten, 1999). Selektivitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu membran menahan atau melewatkan suatu molekul. Selektivitas membran tergantung pada interaksi antar permukaan dengan molekul, ukuran molekul, dan ukuran pori membran. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter, yaitu retensi/rejeksi (R) atau faktor pemisahan (α). Menurut Mulder (1996) nilai rejeksi suatu zat padat terlarut (solute) dinyatakan sebagai berikut: C permeat R (%) = ( 1 - ) x 100% (2) C umpan Dimana : R = persentasi tahanan Cpermeat Cumpan = konsentrasi partikel dalam permeat = konsentrasi partikel dalam umpan

34 Nilai R bervariasi antara 0 100%, dimana R 100% artinya terjadi pemisahan sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal sedangkan nilai R 0% berarti partikel semua lolos dari membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Biasanya membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga perlu dilakukan suatu optimasi terhadap perlakuan membran untuk mendapatkan fluks dan rejeksi yang tinggi (Mulder, 1996). Porometer membran dapat ditentukan berdasarkan nilai rejeksi suatu zat padat terlarut yang diketahui berat molekulnya. Berat molekul mempunyai hubungan linier dengan jari-jari atau ukuran pori membran Pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurments) biasanya dinyatakan sebagai Molecular Weight Cut Off (MWCO) dan banyak digunakan untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80%-90% dapat direjeksi oleh membran. (Scott dan Hughes, 1996; Mahendran et al., 2004). Membran Ultrafiltrasi Selulosa Asetat 1. Bahan Baku Membran selulosa asetat digolongkan sebagai membran organik yang aman terhadap lingkungan karena berasal dari sumber yang dapat diperbaharui (renewable) seperti selulosa dari pulp (tandan kosong sawit, abaka, jerami) dan selulosa mikrobial. Membran selulosa asetat bersifat semikristalin dan memberikan kekuatan mekanik yang baik, bersifat termoplastik, serta pembuatan relatif mudah. Selain sifat baik tersebut, membran selulosa asetat sangat sensitif terhadap pengrusakan thermal, kimia, dan biologis. Sebagai usaha untuk mempertahankan membran dari kerusakan maka ph operasi biasanya dipertahankan pada ph 4 sampai 6,5 pada temperatur kamar.

35 Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan untuk pembuatan membran, tetapi karena karakteristik kimia dan fisika bahan bervariasi, maka hanya beberapa jenis polimer yang cocok sebagai polimer membran (Mulder, 1996; Goosen et al., 2004). Selulosa asetat merupakan polimer alami yang banyak digunakan sebagai bahan membran dan dapat diperoleh melalui proses asetilasi terhadap selulosa. Namun sebaiknya bahan selulosa yang digunakan memiliki tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi. Bahan baku pembuatan selulosa asetat secara komersial adalah selulosa yang berasal dari kayu (hardwoods, dan softwoods), kapas, dan serat tanaman non-kayu berkualitas tinggi (Kuo dan Borgan, 1997) Selulosa Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan tersebar di alam serta merupakan unsur struktural komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa mendominasi karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan karena selulosa merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Sumber utama selulosa ialah kayu. Kira-kira 40-45% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat dalam dinding sel (Achmadi, 1990). Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa (Nopianto, 2009). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur Selulosa (Nevell dan Zeronian, 1985)

36 Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan β-1,4 glikosida. Glukosa mempunyai rumus molekul C 6 H 12 O 6, sementara molekul selulosa ialah (C 6 H 10 O 5 ) n dan n dapat berupa angka ribuan. Berat molekulnya bervariasi dari sampai dengan jumlah segmen antara sampai segmen. Karena struktur rantai yang linier, selulosa bersifat kristalin. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan intermolekul. Ikatan kimia hidrogen (H + ke OH -) antara molekul selulosa yang membentuk mikrofibril sebagian berupa daerah kristalin (teratur) dan diselubungi daerah amorf (kurang teratur). Proporsi daerah kristal dan amorf dari selulosa sangat bervariasi, tergantung pada asalnya. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa dengan diameter 2-20 nm dam panjang nm (Nopianto, 2009). Selulosa memiliki sifat kuat tarik yang tinggi, tidak larut dalam kebanyakan pelarut, dan bersifat sangat hidrofilik namun tidak dapat larut dalam air. Hal ini disebabkan karena sifat kristalin selulosa yang tinggi dan tingginya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan (Cowd, 1991). Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan sebagai derajat polimerisasi (DP) (Fengel dan Wegener, 1984). Derajat polimerisasi dihitung dengan cara membagi bobot molekul selulosa dengan bobot molekul satu unit glukosa. Perlakuan fisik dan kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerisasi selulosa (Sjohstrom, 1981). Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa selulosa yang berasal dari kayu memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Panjang rantai molekul polimer merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat polimer. Derajat polimerisasi tinggi akan memberi kekuatan mekanik yang baik terhadap polimer tersebut. Tabel 1. Derajat polimerisasi selulosa dari beberapa sumber selulosa * SUMBER DERAJAT POLIERISASI Kapas Kayu Flax Hamp bast fiber * Han. (1998); Pahkala. (2001); RISO.( 2002)

37 Derajat kristalinitas suatu polimer berpengaruh juga terhadap sifat polimer. Umumnya derajat kristalinitas selulosa kayu lebih kecil dibandingkan dengan selulosa mikrobial. Derajat kristalinitas yang terdapat pada selulosa kayu secara umum berkisar 30%-38% (Yoshinaga et al., 1997 & Sanjaya, 2001). Walaupun memiliki komposisi kimia yang sama dengan selulosa tanaman, White dan Brown (1998) menyatakan bahwa selulosa mikrobial lebih bersifat kristal, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60%. Derajat polimerisasi selulosa mikrobial berkisar antar (Krystynowicz et al., 2001). Setiap monomer glukosa memilki tiga gugus hidroksil. Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam reaksi selulosa adalah aksesibilitas yaitu kemudahan gugus hidroksil dicapai oleh pereaksi. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat pada daerah amorf lebih mudah dicapai dan bereaksi dengan pereaksi dibandingkan gugus hidroksil yang terdapat pada daerah kristalin (Achmadi, 1990). Reaktifitas selulosa juga dipengaruhi oleh struktur selulosa. Kondisi pengeringan yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi aksesibilitas selulosa (Sjohstrom, 1981). Swelling (penggelembungan) selulosa merupakan tahapan yang dilakukan untuk meningkatkan reaktifitas selulosa akibat dari penyerapan air atau pelarut. Penggelembungan selulosa dapat mempermudah pereaksi mencapai daerah kristalin pada proses esterifikasi selulosa. Kecepatan asetilasi pada selulosa yang telah mengalami penggelembungan meningkat sekitar tiga kali lebih cepat daripada selulosa yang tidak mengalami penggelembungan (Michie, 1996 di dalam Fengel dan Wagener, 1984). Melihat banyaknya potensi sumber daya yang terkandung di Indonesia, terdapat beberapa alternatif pilihan dari sumber-sumber penghasil selulosa yang berkualitas tinggi Dasar Pemilihan Sumber Selulosa Selulosa pulp dapat digunakan sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Sumber utama yang sering digunakan untuk mendapatkan pulp berasal dari jenis kayu. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian proses delegnifikasi yang telah dilakukan dari beberapa jenis kayu dengan parameter yang terkait.

38 Tabel 2. Hasil delegnifikasi dari beberapa jenis kayu* Jenis Kayu Rendemen Total Pulp % Rendemen Tersaring Pulp % Bilangan Kappa Kadar Lignin Pulp % Struktur Lignin Pulp S/V ratio Sengon 51,32 49,98 22,71 3,34 0,24 Gmelina 54,59 49,15 20,70 3,04 0,89 Kapur 52,91 40,20 30,60 4,50 0,36 Meranti 50,68 31,55 30,75 4,52 1,37 * Rahmawati. (1999) Tabel 3. Sifat-sifat fisika pulp dari beberapa jenis kayu * Sifat-sifat Jenis Kayu Fisika Pulp Sengon Gmelina Kapur Meranti Gramature, gram 61,13 57,23 61,55 61,08 Thickness, mm 0,09 0,1 0,22 0,22 Bulky, cc/g 1,47 1,75 3,57 3,60 Tear Resistance, gf 61,18 35,35 9,79 9,61 Tear factor, kg/15 mm 5,09 2,29 0,33 0,24 Breaking Length, km 5,55 2,67 0,36 0,26 * Rahmawati. (1999). Sebaiknya selulosa asetat dihasilkan dari sumber selulosa yang mempunyai tingkat kemurnian α-selulosa relatif tinggi untuk mendapatkan hasil akhir yang baik pada aplikasi (Kuo et al., 1997). Berdasarkan hasil-hasil yang terdapat pada Tabel 2 dan 3, selulosa pulp yang berasal dari kayu sengon mempunyai harapan yang sangat baik untuk digunakan sebagai pembuatan selulosa asetat. Indikator utama yang menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan dari pulp adalah dari bilangan Kappa. Bilangan Kappa yang rendah dalam pulp menunjukkan banyak lignin yang sudah diputuskan, sehingga lignin yang tertinggal dalam pulp tinggal sedikit. Semakin cepat penurunan bilangan Kappa, laju delignifikasi semakin cepat. Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman yang mudah tumbuh diberbagai iklim dan keadaan, sehingga perolehan bahan baku tersebut mudah didapat secara kontinyu dengan harga yang dapat dijangkau. Komponen kimia kayu sengon yang berumur 5 tahun adalah α-selulosa 46,62%; pentosan 16,52%; lignin 29,16%; silika 0,50%; abu 0,64%, dan air 5,28% (Pari, 1996). Kandungan selulosa menjadi bertambah seiring dengan bertambahnya umur kayu

39 dan dengan kandungan lignin yang rendah menguntungkan dalam proses delegnifikasi. Dengan mengetahui sifat kimia kayu maka dapat diketahui penggunaan yang sesuai dari suatu jenis kayu. Prosentase selulosa yang tinggi dari kayu sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial dijadikan bahan baku pulp dan produk selulosa lainnya. Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas serta karton. Penggunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat sintetis. Untuk aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa produk, antara lain Microcrystalline Cellulose, Carboxymethyl Cellulose, Methyl Cellulose dan Hydroxypropyl Methyl Cellulose. Produk-produk tersebut dimanfaatkan antara lain sebagai bahan antigumpal, emulsifier, stabilizer, dispersing agent, pengental, dan sebagai gelling agent (Nopianto, 2009) Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Pulp merupakan salah satu sumber penghasil selulosa sebagai dasar pembuatan selulosa asetat. Proses pulping diartikan sebagai proses pelarutan lignin (delegnifikasi), sehingga lignin terpisah dari serat-serat selulosa. Menurut Sjohstrom (1995) selama berlangsungnya proses pulping tidak hanya lignin yang terpisah dari serat-serat selulosa, tetapi juga komponen-komponen lainnya, seperti polisakarida dan sedikit hemiselulosa. Proses pulping/delegnifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu proses mekanik, kimia, dan proses semi kimia. Untuk memperoleh hasil pemisahan lignin secara sempurna dilakukan dengan cara kimia, yaitu dengan menambahkan sejumlah bahan kimia ke dalam tempat pemasakan (digester). Pemasakan dengan cara kimia dimaksudkan untuk memisahkan lignin dari serat selulosa. Bahan kimia yang digunakan dapat berupa asam atau alkali. Beberapa proses pulping secara kimia yang sudah dikenal adalah proses soda, proses sulfat (kraft), proses sulfit netral, serta proses organosolv. Salah satu penghasil selulosa diantaranya adalah pulp yang dihasilkan dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Di pulau Jawa kayu ini dikenal juga dengan nama kayu jinjing dan termasuk dalam famili Leguminose. Tinggi pohon

40 ini dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang m dan diameter batangnya dapat mencapai 80 cm. Bobot jenis kayu 0,33. Pada umur 5 tahun kayu sengon sudah dapat digunakan sebagai bahan baku pulp tetapi nilai ekonomisnya masih rendah, sedangkan pada umur 8 tahun jumlah kayu yang dapat digunakan menjadi hampir 3 kali lipat daripada umur 5 tahun, sehingga nilai ekonomisnya juga menjadi lebih tinggi (Rahmawati, 1999). Adapun komposisi dari analisis kimia pulp kayu sengon adalah α-selulosa 92,15%; β + δ selulosa 5,86%; pentosan 1,48%; abu 0,23%; sari 0,02% (Pari, 1996). Selulosa adalah bahan baku yang dapat digunakan untuk berbagai produk. Gugus hidroksil yang terkandung pada selulosa dapat dimodifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang biasa bereaksi dengan alkohol. Misalnya reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menghasilkan selulosa asetat Selulosa Asetat Akhir-akhir ini, perkembangan proses teknologi yang mengarah ke penggunaan bahan baku ramah lingkungan lebih sering digunakan. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan penghasil polimer membran. Bahan bakar fosil memiliki persamaan sifat polimer dengan selulosa biomassa. Salah satu polimer yang banyak digunakan adalah selulosa diasetat. Perbandingan sifat fisik selulosa diasetat dengan beberapa polimer lainnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sifat-sifat fisika selulosa asetat dan beberapa polimer * Properti Selulosa Asetat Polyvinyl Chloride Polystyrene LDPE Tensile strenght, Mpa Flexural modulus, Gpa 1,7 0,03 2,5 0,25 Titik leleh, O C Strain at yield, % 3,9-2,4 19,0 * Harrison et al. (2004). Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa selulosa asetat memiliki nilai kuat tarik yang termasuk tinggi dibandingkan beberapa polimer dari bahan bakar fosil. Kuat tarik tersebut sangat ditentukan oleh struktur selulosa diasetat yang bersifat semikristalin sehingga memberikan kekuatan mekanik yang baik. Sifat mekanik yang baik ini sangat diperlukan bagi selulosa diasetat bila digunakan sebagai

41 polimer membran karena proses pemisahan menggunakan membran memerlukan tekanan dalam memindahkan satu komponen dari campurannya. Apabila dilihat dari sifat-sifat fisika yang dimiliki maka selulosa asetat yang bersifat ramah lingkungan dapat menggantikan polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Ditinjau dari proses produksi, polimer selulosa asetat lebih ramah lingkungan dibandingkan produksi polimer yang berasal dari bahan bakar fosil. Sebagai contoh, buangan CO 2 selama produksi dari 1 kg polyethelene (PE)/ polypropelene (PP) diperkirakan sebesar 1,8 kg. Untuk produksi selulosa asetat, emisi kotor CO 2 diperkirakan nihil, karena produk dihasilkan dari biomassa, yang mana mengkonsumsi CO 2 selama pertumbuhan (Harrison et al., 2004). Selama ini, Indonesia masih mengimpor selulosa asetat. Kebutuhan akan selulosa asetat di Indonesia bertambah untuk setiap tahunnya mulai ton pada tahun 2000 menjadi ton pada tahun 2006 (BPS Sumut, 2007). Selulosa asetat digolongkan sebagai polimer ester organik dan memiliki sifat atau kualitas yang unik, meliputi: tingkat kejernihan yang bagus, kasar, bersifat alami, berkilau, bersifat hidrofilik, tetapi sangat rentan terhadap mikroorganisme (biodegradibilitas). Sifat-sifat ini menjadikan selulosa asetat banyak digunakan untuk penyaringan tembakau, pembuatan serat tekstil, photografi dan kemasan lapisan, pemakaian di bidang medis, dan pemanfaatan sebagai membran (Yamakawa et al., 2003). Sifat teknis selulosa asetat komersial yang penting adalah derajat subsitusi (DS) dan derajat polimerisasi (DP). Derajat subsitusi dan kadar asetil suatu selulosa asetat menunjukkan kemampuan larut dalam jenis pelarut tertentu (Fengel dan Wegener, 1984). Hubungan antara derajat subsitusi, kadar asetil, serta pelarut yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilihan pelarut yang tepat akan memberi hasil yang baik pada hasil aplikasi. Pada pembuatan membran, polimer selulosa asetat dilarutkan dalam suatu pelarut dengan kelarutan yang tinggi. Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan struktur membran yang terbentuk. Untuk mendapatkan membran selulosa diasetat berpori, maka pelarut yang digunakan adalah dimetilformamida (DMF) karena mempunyai daya afinitas yang tinggi terhadap air sebagai bukan-pelarut. Tabel 5. Hubungan antara derajat substitus, kadar asetil, pelarut, dan aplikasinya *

42 Derajat Kadar Asetil Larut Tidak larut Aplikasi Substitusi (%) di dalam di dalam 0,6 0, ,6 Air Aseton - 1,2 1,8 22,2 32,2 2-metoksi etanol Aseton Plastik, pernis 2,2 2,7 36,5 42,2 Aseton, Diklorometan Serat, film Dimetilformamida 2,3 2,8 43,0 Kloroform, Diklorometan Aseton Serat lembaran * Fengel dan Wegener. (1984). Sifat-sifat mekanik dan kinerja produk selulosa asetat sangat ditentukan oleh derajat polimerisasi selulosa asetat. Sementara itu, derajat polimerisasi selulosa asetat dipengaruhi oleh derajat polimerisasi selulosa serta kondisi yang dialami selama proses pembuatan selulosa asetat. Penggunaan α-selulosa dengan kemurnian rendah akan menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik dan berat molekul yang rendah sehingga kinerja selulosa asetat menjadi kurang baik (Kuo et al., 1997). Proses asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dan reaksi dikendalikan berdasarkan kecepatan difusi reagent ke dalam serat selulosa. Oleh karena itu, karakteristik/sifat kimia dan fisika selulosa sangat penting dalam proses asetilasi dan kualitas produk akhir (Bydson, 1995). Secara komersial, selulosa asetat dihasilkan dari reaksi selulosa dengan anhidrida asetat menggunakan katalis dan asam asetat sebagai pelarut. Senyawasenyawa yang dapat digunakan sebagai katalis adalah asam sulfat, asam perklorat, dan asam sulfonat (Kuo et al., 1997). Asam sulfat merupakan katalis yang paling umum digunakan, sementara katalis lain jarang digunakan karena tidak efektif, tidak praktis, atau sangat berbahaya untuk dilakukan pada skala industri (Kuo et al., 1997). Dalam menentukan selulosa yang digunakan untuk proses asetilasi terdapat dua hal penting, yaitu kemampuan selulosa untuk menghasilkan asetilasi yang seragam dan kualitas produk yang dihasilkan (Steven, 2001). Kemampuan selulosa tidak hanya ditentukan oleh komposisi kimia. Perlakuan awal sebelum proses asetilasi dilakukan seperti proses aktivasi juga menjadi faktor yang terpenting dalam menentukan sifat fisik. Menurut Ott et al. (1954) dan Nevell dan Zeronian (1985), tahapan pembuatan selulosa asetat terdiri atas empat proses, yaitu: (1) praperlakuan/aktivasi (pretreatment), (2) asetilasi (acetylation), (3)

43 hidrolisis (hydrolisis), dan (4) pemurnian (purification). Tahapan proses yang dilakukan adalah: Perlakuan awal/aktivasi Proses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar reaksi esterifikasi dapat berlangsung dengan baik. Pada tahap ini serat-serat selulosa mengembang sehingga permukaan selulosa membesar dan ikatan intramolekuler hidrogen menjadi putus, dan memudahkan diffusi reagent ke dalam serat. Bahan aktivasi yang biasa digunakan adalah air atau asam asetat. Perlakuan awal selulosa umumnya dilakukan pada suhu berkisar antara 20 o C hingga 118 o C, tetapi sebaiknya dilakukan sampai dengan suhu 50 o C untuk mencegah penguapan pelarut (Ott et al., 1954). Nevell dan Zeronian (1985) menyatakan aktivasi selulosa pulp kayu umumnya dilakukan selama 1-2 jam. Aktivasi terhadap selulosa pulp kayu yang telah dilakukan oleh Kuo et al. (1997) berlangsung pada suhu sekitar 25 o C-50 o C selama 30 menit-60 menit. Sementara itu, Saka et al. (1998) telah memperoleh waktu aktivasi terhadap pulp kayu selama satu jam. Selanjutnya, aktivasi dari campuran selulosa pulp kayu dengan kapas yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) diperoleh pada kisaran suhu 20 o C-80 o C selama 0,5-4 jam. Harrison et al. (2004) telah mendapatkan waktu aktivasi terhadap selulosa jerami selama 2-3 jam pada suhu kamar dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:1 (bk/v). Selain itu, aktivasi selulosa mikrobial yang telah dilakukan oleh Desiyarni et al. (2006) diperoleh kondisi proses pada suhu 50 o C selama enam jam dan pada suhu kamar selama 16 jam dengan perbandingan selulosa terhadap asam asetat 1:8 (bk/v). Dapat dilihat dari beberapa uraian di atas, aktivasi berjalan rata-rata pada suhu 50 o C dan terlihat perbedaan waktu aktivasi yang dihasilkan. Keadaan tersebut dikarenakan sumber selulosa yang digunakan berbeda sehingga terdapat perbedaan sifat dari selulosa tersebut. Menurut Kuo et al. (1997) waktu aktivasi yang dibutuhkan bergantung pada kondisi selulosa yang digunakan. Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah karena tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antargugus hidroksil pada rantai yang berdekatan menyebabkan kekakuan pada rantai

44 sehingga ikatan antar rantai menjadi lebih erat, dan sukar terjadi reaksi asetilasi dibandingkan bagian amorf (Cowd, 1991) Asetilasi Asetilasi dilakukan bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari reaktan anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat (Fengel dan Wegener, 1984). Pelarut asam asetat dan katalis asam sulfat merupakan senyawa kimia yang umum digunakan pada proses asetilasi (Kuo et al., 1997). Lama asetilasi berlangsung dapat dilihat sampai materi terlarut sempurna dalam campuran asetilasi dan derajat substitusi antara 2,35-2,40. Pemakaian suhu terlalu tinggi di atas 85 o C pada proses ini dapat mengakibatkan depolimerisasi sehingga menghasilkan selulosa asetat dengan viskositas intrinsik yang rendah (Kuo et al., 1997). Oleh karena itu, suhu dijaga dalam kisaran kurang dari 50ºC. Asetilasi yang telah dilakukan oleh Yamakawa et al. (2003) terhadap campuran selulosa kayu dengan kapas berlangsung selama 20 sampai 60 menit pada kisaran suhu 50 o C-80 o C. Sementara itu, Amin (2000) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa dari Tandan Kosong Sawit (TKS) selama 15 menit pada suhu 30 o C -45 o C dengan perolehan kadar asetil sekitar 39-41%. Jumlah pemakaian asam sulfat berlebihan juga dapat mempercepat depolimerisasi selulosa. Pada skala industri, pemakaian katalis asam sulfat digunakan sekitar 6%-20% berdasarkan berat kering selulosa pulp. Katalis berfungsi dalam menyeragamkan asetilasi selulosa dan menghasilkan selulosa triasetat dengan kelarutan yang baik dalam asam asetat. Pemakaian katalis asam sulfat digunakan pada kisaran 0,1%-2% untuk kandungan α-selulosa yang tinggi sedangkan untuk kandungan α-selulosa yang rendah digunakan katalis asam sulfat sekitar 2%-20%. Kuo et al. (1997) menyatakan pemakaian katalis dalam jumlah besar akan menghasilkan selulosa triasetat yang bersifat tidak stabil terhadap panas. Campbell (1960) menggunakan katalis asam sulfat dalam jumlah kurang dari 1% dari berat kering selulosa dan reaksi berjalan pada suhu 50 o C. Sementara itu, Yabune (1984) telah melakukan asetilasi terhadap selulosa pulp menggunakan katalis asam sulfat sebesar 0,5-5 berat bagian per 100 berat bagian selulosa kering

45 pada suhu 50 o C - 85 o C. Proses asetilasi yang telah dilakukan oleh Harrison et al. (2004) menggunakan reagents dengan perbandingan terhadap berat pulp jerami yaitu anhidrida asetat (3:1), asam asetat (6/7:1), asam sulfat (0,05-0,1:1) selama 2 jam pada suhu 30 o C. Tingkat kemurnian selulosa yang digunakan juga sangat menentukan lama asetilasi berlangsung. Asetilasi dari limbah serbuk gergaji kayu yang telah dilakukan oleh Suyati (2008) berlangsung selama 20 jam dengan kadar asetil 44,32% dan 42 jam dengan kadar asetil 40,92%. Hal ini disebabkan selulosa yang terkandung dalam serbuk gergaji tersebut berasal dari berbagai sumber selulosa dengan karakter yang berbeda sehingga mempengaruhi kondisi proses. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa asetat dapat dilihat pada Gambar 3 Selulosa Anhirida Asetat Selulosa Tri Asetat Asam Asetat Gambar 3. Mekanisme reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat (Report Description- Nexant, 2004). Kondisi operasi optimum dari proses asetilasi selulosa mikrobial juga telah didapat oleh Desiyarni et al. (2006) dengan menguji 4 variabel, yaitu: (1) rasio anhidrida asetat terhadap selulosa, (2) konsentrasi katalias asam sulfat, (3) waktu reaksi, dan (4) suhu asetilasi. Variabel respon yang diamati adalah perolehan kadar asetil dari selulosa triasetat yang dihasilkan dan hasil menunjukkan bahwa faktor rasio anhidirda asetat dengan selulosa berpengaruh secara nyata terhadap perolehan selulosa triasetat, sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi

46 tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Asetilasi selulosa mikrobial tersebut diperoleh pada suhu 50 o C dan berlangsung selama enam jam menggunakan anhidrida asetat 3,35 bagian, asam asetat 8 bagian, dan katalis asam sulfat sebesar 1,5% dari setiap satu bagian berat kering selulosa yang digunakan. Berdasarkan kondisi optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006), maka rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon (3,35:1; 4:1; 5:1; dan 6:1) dan waktu asetilasi (30, 60, 90, dan 120 menit) digunakan sebagai variabel bebas pada penelitian. Konsentarsi katalis asam sulfat (1,5% dari selulosa) dan suhu asetilasi (50 o C) dipertahankan konstan Hidrolisis Tujuan hidrolisis adalah mensubtitusikan gugus asetil dari selulosa triasetat dengan gugus hidroksil dari air sehingga kandungan gugus asetil dari selulosa triasetat berkurang dan didapat selulosa diasetat dengan berbagai kadar asetil yang diinginkan. Selulosa triasetat mempunyai tiga gugus asetil yang terdiri dari dua gugus asetil sekunder dan satu gugus asetil primer. Reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil berlangsung secara bertahap, pada tahap awal akan terjadi subsitusi pada gugus asetil primer selanjutnya terjadi subsitusi pada gugus asetil sekunder. Faktor yang sangat menentukan pada proses ini adalah suhu. Reaksi hidrolisis dapat dilakukan mulai suhu 38 o C pada kondisi tanpa tekanan sampai 229 o C pada reaksi bertekanan (Kirk dan Othmer, 1993). Suhu yang biasa dipakai pada proses hidrolisis selulosa asetat antara 60 o C - 90 o C (Kuo et al., 1995). Kuo et al. (1997) menyatakan bahwa suhu hidrolisis berlangsung tinggi (125 o C -175 o C) bila kandungan α-selulosa yang digunakan rendah. Pemakian suhu tinggi untuk kandungan α-selulosa tinggi akan menghasilkan selulosa diasetat dengan kelarutan yang rendah dalam pelarut organik dan menghasilkan selulosa diasetat dengan warna kekuningan atau kecoklatan serta viskosistas intrinsik rendah. Lama proses hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa pulp dapat mencapai beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi dapat juga dilakukan beberapa jam dengan suhu 40 o C - 80 o C (Bydson, 1995). Reaksi hidrolisis yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.

47 Selulosa Tri Asetat Selulosa Di Asetat Semakin lama proses hidrolisis dilakukan maka semakin banyak terjadi reaksi subsitusi gugus asetil oleh gugus hidroksil. Hal ini akan menurunkan kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan (Desiyarni, 2006). Hasil proses hidrolisis yang telah dilakukan oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio air terhadap selulosa merupakan faktor yang paling kecil pengaruhnya terhadap kadar asetil selulosa diasetat. Penambahan air dalam jumlah berlebihan bertujuan untuk merusak kelebihan anhidrida asetat dari proses asetilasi. Air akan bereaksi dengan anhidrida asetat sehingga menghasilkan asam asetat. Kelebihan air tersebut diperlukan untuk reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis baru segera dimulai jika anhidrida asetat telah bereaksi semua dengan air. Penambahan air dalam jumlah berlebihan juga bertujuan untuk menurunkan kandungan asam sulfat yang terdapat dalam selulosa triasetat dengan cara melarutkan air terlebih dahulu dalam asam asetat dan penambahan larutan tersebut dilakukan secara perlahan sambil diaduk untuk menghindari terjadinya penggumpalan selulosa triasetat. Peningkatan jumlah air yang ditambahkan hingga batas optimum akan menyebabkan penurunan kadar asetil selulosa asetat. Rasio air optimum yang dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah 1,066. Asam Asetat Gambar 4. Reaksi hidrolisis selulosa triasetat (Report Description-Nexant, 2004). Masih menurut Desiyarni (2006), konsentrasi katalis asam sulfat berpengaruh relatif kecil terhadap kadar asetil selulosa asetat dibandingkan pengaruh suhu dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam sulfat berpengaruh negatif terhadap kadar asetil. Penambahan asam sulfat pada konsentrasi tinggi dapat

48 menghasilkan selulosa asetat yang bersifat mudah rapuh (Shelton et al., 2004), sehingga penambahan asam sulfat dilakukan relatif kecil dan didapat pada kondisi optimum sebesar 1,5% dari selulosa yang digunakan. Selain itu, peningkatan suhu hidrolisis dapat meningkatkan laju rekasi hidrolisis. Reaksi hidrolisis menyebabkan berkurangnya gugus asetil yang terdapat pada molekul selulosa triasetat dan suhu termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya penurunan kadar asetil selulosa diasetat yang dihasilkan. Pengendalian suhu proses hidrolisis selulosa triasetat harus dilakukan dengan baik dan suhu optimum yang telah dihasilkan oleh Desiyarni (2006) adalah pada suhu 50 o C. Variabel lain yang cukup berpengaruh terhadap penurunan kadar asetil selulosa triasetat selama proses hidrolisis adalah waktu. Semakin lama proses berlangsung semakin menurun kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan. Lama hidrolisis berlangsung tergantung dari kadar asetil yang diinginkan. Ketika derajat substitusi yang diinginkan telah tercapai, reaksi dihentikan dengan netralisasi menggunakan katalis garam magnesium, kalsium atau sodium yang dilarutkan dalam asetat encer (Kirk dan Othmer, 1993). Kadar asetil yang telah didapat oleh Desiyarni (2006) berkisar 37-42% dengan waktu hidrolisis berlangsung antara 120 menit sampai 1080 menit Pemurnian Untuk mendapatkan produk selulosa asetat, tahap akhir yang dilakukan adalah pengendapan yang selanjutnya dicuci dan dikeringkan. Produk yang diinginkan bisa dalam bentuk serpihan (flakes), atau bubuk (powder). Endapan selulosa ester yang terbentuk dipisahkan dari larutan dan dicuci guna menghilangkan sisa asam asetat (Ott et al., 1954) Polietilen Glikol (PEG) Penambahan bahan aditif pada membran berguna untuk meningkatkan atau memodifikasi sifat-sifat mekanik, kimia, dan fisik membran (Kim et al., 1989). Polietilen glikol (PEG) merupakan salah satu diantara zat aditif yang sering ditambahkan pada pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen untuk

49 meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran sehingga struktur pori lebih rapat dan membran yang dihasilkan semakin bagus. Polietilen glikol (PEG) adalah senyawa hasil kondensasi dari oksietilen dan air dengan rumus molekul H(OCH 2 CH 2 ) n OH, dimana n merupakan bilangan (jumlah) rata-rata pengulangan grup oksietilen mulai dari 4 sampai 180. Bilangan yang mengiringi dibelakang PEG menunjukkan berat molekul rata-rata daripada PEG, seperti PEG dengan n = 80 akan mempunyai berat molekul rata-rata sekitar 3500 Dalton dan dicantumkan sebagai PEG Sedangkan senyawa dengan berat molekul rendah terdiri dari n = 2 sampai n = 4 seperti diethylene glycol, triethylene glycol, dan tetraethylene glycol, merupakan senyawa-senyawa murni. Senyawa dengan berat molekul rendah sampai 700 bersifat cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau dengan titik beku -10 ºC (diethylene glycol), sementara senyawa-senyawa hasil polimerisasi dengan berat molekul yang lebih tinggi yaitu sampai 1000 berbentuk padat seperti lilin dengan titik didih mencapai 67 ºC untuk n = 180. Sifat-sifat fisika PEG dapat dilihat pada Tabel 6 (Wikipedia, 2007). Keistimewaan dari PEG adalah senyawa tersebut bersifat larut dalam air (Chou et al., 2007). PEG juga larut dalam berbagai pelarut organik dari golongan hidrokarbon aromatik, seperti metanol, benzen, dichlorometane dan tidak larut dalam dietil eter dan heksan. Sifat-sifat lain daripada PEG adalah merupakan senyawa yang tidak beracun, netral, tidak mudah menguap dan tidak iritasi. Pelarut PEG banyak digunakan sebagai emulsifier dan detergen, humectants, dan pada bidang farmasi (Wikipedia, 2007). Tabel 6. Sifat-sifat fisika dan kimia polietilen glikol (PEG) * Polietilen glikol Nama kimia Polietilen glikol Rumus kimia C 2n H 4n+2 O n+1 Berat molekul 44 n + 18 g/mol Bilangan CAS [ ] Densitas 1,1 1,2 g/cm 3 Titik leleh bervariasi Titik didih xx.x o C Titik api o C a Sumber: Wikipedia, Encyclopedia (2007)

50 2. Proses Pembuatan Membran Penggunaan membran berbahan baku selulosa diasetat di industri terus meningkat, dan berdampak pada peningkatan kebutuhan selulosa diasetat. Membran ini digunakan oleh industri selain pada proses produksi juga untuk pengolahan limbah (Benziger et al., 1999; Shibata, 2004). Membran yang diproduksi umumnya dalam bentuk datar, meskipun terdapat bentuk-bentuk lain seperti bentuk tubular dan serat berlubang (hollow fiber). Tujuan pembuatan membran adalah memodifikasi material/polimer dengan teknik yang sesuai sehingga didapatkan membran yang memiliki morfologi/struktur untuk tujuan separasi tertentu. Hal ini menunjukkan material membran membatasi teknik pembuatan membran. Misal : teknik sintering digunakan untuk pembuatan membran keramik, teknik inversi fasa untuk membran polimer organik yang larut dalam pelarut dan teknik leaching untuk membran gelas (Scott dan Hughes, 1996). Membran selulosa diasetat sebagian besar dibuat dengan teknik inversi fasa meliputi empat tahap yaitu pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan, penguapan sebagian pelarut atau koagulasi parsial, dan pengendapan polimer dalam koagulan atau bukan-pelarut (Mulder, 1996; Radiman dan Eka, 2007). Inversif asa merupakan proses perubahan polimer secara terkendali dari fasa cair ke fasa padat melalui fasa transisi. Pada tahap tertentu selama proses pemisahan, salah satu fasa cair akan memadat membentuk matriks padatan. Pengendalian tahap awal fasa transisi akan menentukan morfologi membran yang dihasilkan. Secara umum pembuatan membran secara inversi fasa melibatkan tiga komponen utama, yaitu: polimer, pelarut, dan bukan pelarut. Selain menggunakan bahan dasar tersebut, biasanya ditambahkan bahan aditif lain untuk meningkatkan sifat permukaan membran. Kekentalan larutan dari campuran komponen tersebut tergantung pada berat molekul dan kosentrasi polimer, jenis pelarut, dan aditif. Pada Tabel 7 dapat dilihat berbagai hasil penelitian pembuatan membran selulosa diasetat yang telah dilakukan secara inversi fasa.

51 Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa No. Peneliti / Judul Polimer Membran Jenis Membran / Keterangan 1. Idris, A. et al. (2001) / Effect of Methanol Concentration on the Performance of Asymetric Cellulose Acetate Reverse Osmosis Membranes Using Dry/Wet Phase Inversion Rechnique. 2. Darwis et al. (2003)/ Pembuatan Membran Filtrasi dari Selulosa Mikrobial. 3. Mahendran, R. et al. (2004) / Cellulose Acetate and Polyethersulfone Blend Ultrafiltration Membranes. Part I: Preparation and Characterizations 4. Idris, A. et al. (2005) / The Effect of Curing Temperature on the Performance of Thin Film Composite Membrane. 5. Desiyarni (2006) / Perancangan Proses Pembuatan Selulosa Asetat dari Selulosa Mikrobial untuk Membran Ultrafiltrasi. 6. Chou, W. L. et al. (2007) / Effect of Molecular Weight and Concentration of PEG Additives on Morphology and Permeation Performance of Cellulose Acetate Hollow Fiber. 7. Radiman, C.L. dan Eka, I. (2007) / Pengaruh Jenis dan Temperatur Koagulan terhadap Morfologi dan Karakteristik Membran Celulosa Asetatat. - Selulosa diasetat komersial (kadar asetil 39,8%) - konsentrasi polimer: 25%, 27%. Selulosa asetat dari selulosa mikrobial (nata de coco) dengan kadar asetil 43,17-47,99%. - Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,99%) + Polietersulfon - Konstrasi total polimer 17,5% dengan berbagai perbandingan - Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) dengan konsentrasi 25% - Polisulfon (15%) - Selulosa asetat dari mikrobial (nata de coco) dengan kadar asetil: 37,21%; 38,11%; 39,19%; 40,22% - Konsentrasi SA: 12%, 14%, 16%, 18%, 20%. - Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) dengan konsentrasi 25% - Selulosa asetat komersial (kadar asetil 39,8%) - konsentrasi polimer: 10% - Reverse Osmosis / - Pelarut: Aseton (37%; 36,5%; 31,5%) - Bukan-pelarut: Metanol (13%, 10%) - Swelling agent: Formamide (37,5%; 31,5%; 24%; 36,5%) - Koagulasi: 4 o C, 24 jam - Mikrofiltrasi / - Pelarut: Formamida - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG - Koagulasi: suhu kamar - Ultrafiltrasi (membran komposit) / - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG 600 Da - Larutan cetak: 40 o C, 3-4 jam - Koagulasi: suhu kamar, 1-2 jam - Ultrafiltrasi (membran komposit) - Pelarut SA: Aseton (45%) Formamida (30%) - Pelarut PS: PVP (18%), NMP (67%) - Bukan-pelarut: Air - Koagulasi: 2-3 o C - Ultrafiltrasi (membran datar) - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Larutan cetak: suhu kamar, 24 jam - Koagulasi: 2 o C, 10 o C, 18 o C 26 o C (24 jam) - Ultrafiltrasi (membran hollow fiber) / - Pelarut: DMF (75%) - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG (1, 10, 40 kda) - Larutan cetak: suhu kamar - Koagulasi: 25 o C, 50 o C, 75 o C - Mikrofiltrasi / - Pelarut: Formamida (10%) dan Aseton (80%) - Bukan-pelarut: Air dan 2- Propanol - Koagulasi: 5 o C, 15 o C, 25 o C (beberapa jam)

52 Lanjutan Tabel 7. Hasil pembuatan membran selulosa asetat secara inversi fasa 8. Cerqueira, D.A. et al. (2008) / Characterization of Cellulose Triacetate Membranes, Produced from Sugarcane Bagasse, using PEG 600 Additive. 9. Bhongsuwan, D. dan Bhongsuwan, T. (2008) / Preparation of Cellulose Acetate Membranes for Ultra- Nano-Filtration. 10. Vidya, S. et al. (2008). / Effect of Additive Concentration on Cellulose Acetae Blend Membranes Preparation, Characterization and Application Studies. 11. Saljoughi, E. et al. (2010). / Effect of PEG additive and coagulation bath temperature on the morphology, permeability and thermal/chemical stability of asymetric CA membranes. - Selulosa asetat dari selulosa ampas tebu - Selulosa asetat komersial dengan konsentrasi 20% - Aditif: PEG 600 Da - Ultra-Nano-Filtration / - Pelarut: Formamida (33%) dan Aseton (47%) - Bukan-pelarut: Air - Koagulasi: 2-3 o C, 30 menit - Evaporasi: 20,30,60 detik - Selulosa asetat komersial - Pelarut: DMF - Bukan-pelarut: Air - Aditif: PEG 200, PVP - Selulosa asetat komersial - Pelarut: NMP - Bukan-pelarut: Air - Aditif: NMP (0%, 5%, 10%) - Koagulasi: 0 o, 25 o C Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pembuatan membran jenis proses mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan reverse osmosis dengan polimer selulosa asetat dapat dilakukan secara inversi fasa. Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi struktur membran, seperti: pemilihan polimer, pemilihan pelarut dan bukan-pelarut, komposisi larutan cetak, suhu larutan cetak, suhu koagulasi, dan aditif. Konsentrasi polimer juga mempengaruhi morfologi dan kinerja membran. Penelitian yang telah dilakukan Desiyarni (2006), kenaikan konsentrasi selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial dari 12% hingga 20% menghasilkan fluks yang semakin menurun. Kenaikan konsentrasi polimer awal dalam larutan cetak akan membuat konsentrasi polimer pada antarpermukaan lapisan membran lebih tinggi. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa fraksi volume polimer naik sehingga porositas lebih rendah dan lapisan bagian atas membran menjadi lebih rapat membuat fluks yang dihasilkan lebih rendah (Mulder, 1996; Mustaffar et al., 2005). Sementara itu, kadar asetil selulosa asetat menentukan selektifitas membran. Kadar asetil yang tinggi akan menghasilkan rejeksi yang tinggi dengan

53 fluks yang rendah dan sebaliknya (Shibata, 2004). Hasil penelitian Desiyarni (2006) memperlihatkan bahwa permukaan membran selulosa diasetat (SDA) pada kadar asetil 40,22% terlihat lebih rapat dibandingkan dengan permukaan membran SDA pada kadar asetil 37,21% sehingga fluks air, dekstran, dan albumin yang dihasilkan cenderung meningkat. Bobot molekul selulosa diasetat cenderung meningkat dengan semakin tinggi kadar asetil selulosa diasetat. Bobot molekul SDA pada kadar asetil 40,22% adalah , sementara bobot molekul SDA pada kadar asetil 37,22% adalah Secara umum, membran inversi fasa dapat dibuat dari berbagai polimer. Namun persyaratan utama bagi polimer yang digunakan adalah dapat larut pada pelarut yang sesuai atau campuran pelarut. Pelarut yang banyak digunakan adalah dimetilformamida (DMF). Pemilihan pelarut tersebut juga didasari oleh struktur morfologi membran yang diinginkan, yaitu berpori atau tidak berpori. Air banyak digunakan sebagai bukan-pelarut karena dapat mempercepat proses inversi fasa dibandingkan aseton mau pun etanol (Young dan Chen, 1991). Pelarut DMF mempunyai kelarutan dan affinitas yang tinggi dalam air dibandingkan aseton dan etanol sehingga menghasilkan membran berpori. Penambahan bahan aditif pada larutan cetak dapat dilakukankan dalam pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen. Terdapatnya aditif tersebut akan mempengaruhi morfologi dan kinerja membran karena dapat menaikkan viskositas larutan polimer, menambah sifat hidrofilik, membentuk pori membran, dan menekan pembentukan makrovoid sehingga diperoleh fluks air yang tinggi. Zat aditif yang sering ditambahkan yaitu Polietilen glikol (PEG), Polivinil pirolidon (PVP), dan alkohol (Chou et al., 2007; Javiya et al., 2008; Saleh et al., 2008; Aroon et al., 2010). Terdapat banyaknya parameter yang mempengaruhi karakteristik membran yang dihasilkan, sehingga kondisi pembuatan membran masih menarik untuk diteliti sampai saat ini. 3. Mekanisme Pembentukan Membran Berpori Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap morfologi membran pada pembuatan membran secara inversi fasa. Struktur, porositas, dan selektivitas membran yang ingin dihasilkan dapat ditentukan melalui pengaturan

54 komposisi larutan polimer, jenis pelarut dan bukan-pelarut (nonsolvent), konsentrasi polimer, komposisi cairan dalam bak koagulasi, komposisi larutan cetak, suhu larutan polimer, dan suhu koagulasi (Schwarz, 1989; Young dan Chen, 1995; Shibata, 2004). Pelarut yang sering digunakan pada pembuatan membran selulosa asetat antara lain adalah dimetilformamida (DMF), dimetilasetamida (DMAc), dioksan, aseton, tetrahidrofuran (THF), dan dimetilsulfoksida (DMSO). Air merupakan bukan-pelarut yang umum digunakan pada proses pembuatan membran secara inversi fasa (Mulder, 1996; Cheryan, 1998; Solvay, 2008). Menurut Cheryan (1998), terdapat dua tipe morfologi membran dari hasil proses demixing, yaitu: instantaneous demixing dan delayed demixing. Instantaneous demixing berarti bahwa struktur membran terbentuk segaera setelah lapisan film dicelupkan ke dalam bukan-pelarut. Sebaliknya delayed demixing diperlukan beberapa selang waktu sebelum terbentuk struktur membran. Bila liquid-liquid demixing terjadi secara instantaneous, maka akan terbentuk membran dengan lapisan atas yang berpori. Hasil mekanisme demixing ini terjadi dalam pembentukan membran berpori (tipe mikrofiltrasi/ultrafiltrasi). Namun, bila liquid-liquid demixing terjadi beberapa selang waktu sebelum terbentuk membran maka akan dihasilkan membran dengan lapisan atas yang dense (rapat) yang dikenal dengan mekanisme delayed demixing. Hasil mekanisme demixing ini terjadi dalam pembentukan membran rapat (pemisahan gas/pervaporasi). Menurut Mulder (1996), apabila larutan polimer terdiri dari polimer selulosa asetat dengan pelarut DMF atau DMSO serta bukan-pelarut berupa air, maka pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme instantaneous demixing. Sebaliknya, apabila larutan polimer terdiri dari polimer dengan THF atau aseton sebagai pelarut dan air sebagai bukan-pelarut maka pembentukan morfologi membran akan mengikuti mekanisme delayed demixing. Mekanisme pembentukan pori diawali dengan terjadinya pemisahan fasa, yaitu fasa kaya akan polimer dan fasa miskin polimer. Fasa kaya akan polimer akan membentuk padatan, sementara fasa miskin akan polimer akan larut dan meninggalkan pori. Proses pemadatan lebih cepat dibandingkan proses pelarutan. Lapisan atas membran terbentuk pertama sekali pada saat larutan cetak dicelupkan

55 pada bak koagulasi berisi air sebagai koagulan. Pelarut dan aditif yang terdapat pada larutan cetak dengan cepat berdiffusi dalam larut ke air, sedangkan molekulmolekul polimer dengan cepat beragregasi untuk membentuk padatan. Oleh karena padatan yang terbentuk belum sempurna, maka pori yang ditinggalkan pada padatan membran dari hasil proses pelarutan pelarut dan aditif pada bak koagulasi sangat kecil. Proses pelarutan pelarut dan aditif pada lapisan bagian bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas. Ketika molekul pelarut dan aditif larut, proses pemadatan sudah terjadi sempurna dan molekul meninggalkan meninggalkan jejak sebesar dimensi molekul tersebut dan pori yang dihasilkan lebih besar dibandingkan pada bagian atas (Young dan Chen, 1995 ; Javiya et al, 2008). Pemanfaatan dan Peluang Teknologi Membran Teknologi membran hingga sekarang sudah dikembangkan di berbagai negara dan memiliki peran penting di industri. Teknologi membran tidak hanya berhasil menggantikan teknik pemisahan konvensional pada berbagai industri, namun juga telah terbukti berhasil menghasilkan effluen pada pengolahan limbah industri dengan kualitas di atas standar baku mutu sehingga memungkinkan effluent tersebut digunakan kembali sebagai air proses. Pemanfaatan itu menghasilkan keuntungan dari segi biaya operasional. Selain itu konsumsi energi teknologi ini sangat rendah karena pemisahan menggunakan membran tidak memerlukan perubahan fasa sehingga dapat dilakukan pada suhu kamar (suhu rendah) dan pengaruh ini berdampak terhadap biaya produksi. Penggunaan suhu rendah dapat mencegah terjadinya kerusakan pada unsur-unsur yang rentan terhadap panas dan tingkat kemurnian produk yang dihasilkan lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu bagian dari negara di Asia Tenggara yang berpotensi untuk mengembangkan aplikasi membran. Dari setiap sumber daya alam yang ada juga dapat dijadikan membran untuk dijadikan suatu produk yang dapat dijual (marketable). Membran ultrafiltrasi mampu menolak semua padatan terlarut, partikel koloid, senyawa terlarut dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, warna,

56 protein, jamur, dan bakteri. Sementara gula, garam-garam mineral, dan air lolos melewati pori membran. Aplikasi yang sangat luas dibidang bioteknologi (proses pemisahan produk : enzim, vitamin), biomedikal (pencucian darah dengan ginjal buatan), industri makanan dan minuman (produk agroindustri), serta pengolahan limbah cair (Bahan Berbahaya Beracun, B3) dari alkohol, pabrik kertas, pabrik penyamakan kulit telah banyak dilakukan (Benziger, 1989 ; Shibata, 2004). Dalam industri minyak atsiri, alternatif metode pemisahan dam pemurnian dapat dilakukan dengan menggunakan membran filtrasi (LIPI, 2007). Kombinasi proses ekstraksi minyak atsiri dengan super kritikal CO 2 dan pemisahan dengan membran telah dilakukan untuk pemisahan pelarut dengan minyak tanpa memerlukan kondisi ektraksi dengan variasi yang besar (Sarmento et al., 2004). Pada Tabel 8 dapat dilihat berbagai hasil penelitian dengan memanfaatkan membran selulosa asetat. Tabel 8. Pemanfaatan membran selulosa diasetat No. Peneliti Judul Penelitian 1. Hiratsuko, N. et al. (1996). Rapid and Highly Sensitive Colloidal Silver Staining on Cellulose Acetate Membrane for Analysis of Urinary Proteins. 2. Iijima, S. et al. (1997). Silmutaneous Analysis of Microheterogeneity of Immonuglobulins and Serum Protein Fraction Using High-Voltage Isoelectric 3. Rahayu, I. et al. (2000) 4. Darmo, H. K. et al. (2003). 5. Notodarmojo, S. et al. (2004a). 6. Notodarmojo, S. et al. (2004b) Focusing on Six Celluoce Acetate Membrane. Synthesis and Characterization of Cellulose Acetae Hollow Fiber Membrane and With Additive Variation for Clarification of Guava Juice. Upaya Penanganan Membran Fouling pada pengolahan Limbah Textil Pengolahan Limbah Cair Emulsi Minyak dengan Proses Membran Ultrafiltrasi Dua-Tahap Aliran Cross-Flow. Penurunan Zat Organik dan Teknologi Membran Ultrafiltrasi dengan Sistem Aliran Dead-End. Kekeruhan menggunakan(studi kasus: Waduk Saguling, Padalarang) 7. Juansah, J. et.al. (2009). Peningkatan Mutu Sari Buah Nanas dengan Memanfaatkan Sistem Filtrasi Aliran Dead-End dari Membran Seluloa Asetat. 8. Aripad. (2009). Pemurnian Virgen Coconout Oil (VCO) dengan Menggunakan Membran Celulosa Asetat secara Ultrafiltrasi. Komoditi pertanian di Indonesia sangat beragam, termasuk minyak atsiri. Nilam merupakan salah satu dari sejumlah besar jenis minyak atsiri yang telah berhasil disuling di Indonesia. Minyak ini banyak digunakan dalam industri parfum, sabun, deterjen, dan kosmetika. Industri nilam merupakan penyumbang devisa terbesar di antara ekspor minyak atsiri yang dihasilkan Indonesia. Ekspor

57 minyak nilam Indonesia pada tahun 2001 adalah ± 1.88 ton, dan pada tahun 2006 meningkat sebesar empat kali lipat (± ton) (BPS, 2006). Sebagai produsen nilam terbesar di dunia, Indonesia memasok 80% kebutuhan minyak nilam Amerika. Sisanya yang 20% diimpor oleh Amerika dari Spanyol, Singapura, Belanda, dan Perancis (Anonymous, 2009). Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu sentra produksi minyak nilam di Indonesia. Nahar (2009) dalam survai yang telah dilakukan pada bulan Mei tahun 2009 ke salah satu daerah pengolahan minyak nilam di daerah Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara, diperoleh keterangan dari petani pembuat minyak nilam, bahwa produksi mereka hanya dihargai Rp /Kg oleh petani pengumpul. Kadar Patchouli Alkohol (PA) merupakan salah satu parameter yang menentukan mutu minyak nilam. Standar mutu minyak nilam terbaik adalah mempunyai kadar PA minimal 31% menurut SNI , tetapi untuk standar mutu minyak nilam dalam pasar ekspor internasional yaitu minimal 38% (Essential Oil Association of USA, 1975). Tuntutan pasar saat ini tentang kualitas cenderung meningkat, dan industri minyak nilam di Indonesia harus mampu mengikuti keinginan pasar tersebut. Jadi penyulingan yang dilakukan tidak hanya terbatas untuk menghasilkan minyak nilam semata, tetapi juga membuat minyak seperti yang diinginkan oleh pasar. Beberapa pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap rendemen minyak nilam yang dihasilkan petani, diperoleh hasil yang kurang memuaskan karena kandungan patchouli alcohol masih dibawah 30%, sedangkan kebutuhan pasar kandungan patchouli alcohol minimal 31%. Permasalahan yang seperti ini sering dihadapi oleh petani minyak nilam karena produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas sehingga mengakibatkan rendahnya daya jual. Oleh sebab itu memperbaiki mutu minyak nilam dalam hal peningkatan kadar patchouli alcohol akan sangat membantu memecahkan masalah diatas dengan cara melakukan penelitian sehingga didapat kualitas minyak nilam yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI ). Peningkatan patchouli alcohol telah dilakukan dengan metoda distilasi uap, distilasi aerasi, dan fraksinasi vakum dengan kandungan patchouli alcohol dalam minyak nilam sekitarr 40% - 76% (Yudistira et al., 2010). Hanya saja pada

58 metode-metode tersebut operasi bekerja pada suhu tinggi, sehingga memerlukan sejumlah energi. Membran selulosa asetat bersifat hidrofilik dan mempunyai sisi aktif yang bersifat polar, sehingga memiliki peluang untuk dapat berinteraksi dengan gugus yang bersifat polar pada komponen yang akan dipisahkan. Interaksi antara molekul/senyawa dengan membran dapat terjadi melalui ikatan kimia, yaitu ikatan hidrogen. Breaken et al. (2005) menyatakan bahwa hidrofobisitas merupakan parameter penting yang mempengaruhi retensi untuk molekul-molekul dengan berat molekul di bawah Molecular Weight Cut Off (MWCO) membran. Patchouli alkohol merupakan salah satu komponen penyusun minyak nilam yang lebih bersifat polar dibandingkan komponen penyusun lainnya karena memilki gugus hidroksil (-OH) Oleh karena antara membran selulosa asetat dan patchouli alkohol bersifat polar, dan berat molekul masing-masing komponen penyusun mimyak nilam relatif sama, maka peningkatan patchouli alkohol diduga dapat dilakukan berdasarkan mekanisme perbedaan hidrofobisitas. Komponen utama serta sifat fisika yang terdapat dalam minyak nilam tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Komponen utama dalam minyak nilam * No. Komponen Komposisi (%) Berat Molekul Titik Didih ( o C) 1. ß - patchoulene 1,7 4,8 204,35 248,83 2. α - gurjunene 0,0 5,0 3. α - guaiene 9,9 15,2 4. ß - caryophyllene 2,0 3,9 204, α - patchoulene 8,5 12,7 204,35 245,23 6. Seychellene 5,9 9,4 218,38 259,09 7. α - bulnesene 13,2 17,2 190,32 242,26 8. ß - guaienepoxide 0,1 0,2 9. α - bulnesenepoxide 0,2 0,4 10. norpatchoulenol 0,5 0,6 208,34 268, Patchoulol 31,2 46,0 222,37 280, Pogostol 1,9 2,7 208,34 274,43 *Maryadhi (2007); Dung et al. (1989) Selain itu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pangan yang lebih berkualitas diperlukan suatu peran teknologi dengan proses pemisahan

59 yang bersifat tidak merusak komponen dan pemakaian energi yang rendah. Proses pemisahan yang umum dilakukan menggunakan tambahan bahan kimia (filter aid) sehingga menghasilkan limbah yang menimbulkan biaya pengolahan lingkungan lebih tinggi. Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Diharapkan Indonesia dapat mencapai swasembada gula pada tahun 2014 dan diperkirakan untuk swasembada nasional dibutuhkan sekitar 5,7 ton gula. Usaha untuk mencapai target tersebut dibutuhkan penambahan lahan seluas 500 ribu hektare (Putri, 2010). Namun untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai target swasembada gula pada tahun 2014 tidak mungkin hanya mengandalkan dari luas lahan yang ada. Sampai dengan 2009 luas lahan perkebunan tebu di Indonesia 473 ribu ha atau naik 2,9% dibanding 460 ribu ha pada 2008 (Market Intelligence, 2010). Disamping teknik penanaman bibit dengan kualitas baik dan meningkatkan pemupukan, teknik proses pemurnian nira mentah merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan gula kristal dengan mutu yang baik dan jumlah yang meningkat. Sebelum menjadi gula, tebu harus melewati beberapa tahapan proses. Pada proses produksi gula hampir semua tahapan proses merupakan proses pemisahan. Sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan cara sulfitasi, defekasi, dan karbonatasi pada proses penjernihan nira mentah. Tahapan pada proses penjernihan nira merupakan tahapan untuk menghilangkan kontaminasi non sukrosa dari nira mentah. Selanjutnya nira jernih masuk ke tahap kristalisasi dengan terlebih dahulu dipekatkan dengan mengurangi kadar airnya. Pemurnian dengan metode ini masih dihadapkan pada tingginya impuritas dalam produk dan besarnya kehilangan sukrosa. Usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas kristal gula, maka sistem membran dengan teknik ultrafiltrasi dapat menggantikan proses konvensional tersebut untuk memisahkan zat warna. Dengan demikian, untuk memecahkan beberapa masalah terutama kualitas produk dan pemakaian energi, diharapkan teknologi membran mampu diterapkan di bidang pangan menggantikan sebagian teknologi konvensional. Implemantasi teknologi membran akan semakin luas apabila terjadi pengembangan yang sangat pesat dalam hal material membran, proses produksi

60 yang semakin baik, produksi membran yang semakin meningkat, serta kualitas membran yang semakin baik. Keadaan tersebut secara langsung akan berdampak pada penurunan harga membran sehingga proses membran menjadi lebih ekonomis. Peluang terhadap suatu hasil agroindustri dapat dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu: (1) suplai bahan baku dan (2) permintaan pasar. Pendekatan suplai bahan baku digunakan karena bahan baku yang tersedia banyak, namun belum termanfaatkan sehingga nilainya menjadi rendah. Pengolahan suatu bahan baku akan meningkatkan nilai tambah bahan baku tersebut, sementara pendekatan permintaan pasar digunakan karena melihat adanya peluang pasar bagi produk hasil pengolahan bahan baku tersebut. Melihat dari dua pendekatan tersebut dan pemanfaatan membran yang dapat digunakan pada berbagai bidang, maka teknologi membran memberi suatu peluang harapan yang baik digunakan pada proses pemisahan.

61 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan dari Agustus 2008 hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Proses Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Laboratorium Bioproses Departemen Tekmologi Industri Pertanian (TIN) Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Analisis Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Pengukuran berat molekul selulosa asetat, ketebalan membran, dan kuat tarik membran dilakukan di Laboratorium Pengujian Fisika dan Pengolahan pada Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari (1) bahan untuk pembuatan selulosa asetat, yaitu bahan baku selulosa pulp kayu sengon yang diperoleh dari hasil kerjasama dengan Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, asam asetat glasial (100% GR, Merck), anhidrida asetat p.a (Merck), asam sulfat 95-97%, p.a (Merck), aquadest, dan magnesium karbonat teknis, (2) bahan untuk analisis kadar asetil, yaitu ethanol 96%, p.a. (Merck), NaOH pellet, asam klorida fuming 37% GR, p.a. (Merck), NaCO 3, indikator metil merah, indikator fenolftalein (pp), dan aseton p.a. untuk menganlisis viskositas intrinsik dan berat molekul selulosa asetat, (3) bahan untuk pembuatan membran selulosa asetat, terdiri dari dimetilformamida (DMF), LAB. (Merck), selulosa diasetat (SDA) 39,66% diperoleh dari hasil proses asetilasi selulosa pulp kayu sengon, aquadest, polietilen glikol (PEG) dengan berat molekul 1450 Da (Sigma), 4000 Da, dan 6000 Da (Merck), dan (4) bahan untuk pengujian karakteristik membran adalah aquades, standar Dekstran (Sigma) dengan berat molekul 12 kda, dan Bovin Serum Albumin (Sigma) dengan berat molekul 67 kda. Peralatan yang digunakan terdiri dari (1) peralatan untuk pembuatan selulosa asetat terdiri dari erlenmayer (250 ml, gelas piala (500 ml), gelas ukur (25ml, 50 ml,100 ml), pengaduk kaca, corong kaca, shaker tabung sentrifus (50

62 ml), dan viskometer Ubbelohde untuk mengukur viskositas intrinsik dan berat molekul selulosa asetat, (2) peralatan untuk pembuatan membran terdiri dari lembaran kaca, batang silinder berfungsi sebagai aplikator (casting knife), pengaduk bermagnet, dan bak koagulasi, (3) seperangkat penyaringan aliran silang (crossflow filtration) untuk uji kinerja dan karakterisasi ukuran pori membran dengan modul berbentuk datar (flat) dan luas permukaan membran 12,56 cm 2, dan (4) spektrofotometer untuk menganalisis konsentrasi larutan, Scanning Electron Microscope (SEM) JSM 5310 LV, Jeol-Japan untuk analisis struktur morfologi membran, viskometer Ubbelohde untuk mengukur viskositas intrinsik dan berat molekul selulosa asetat, alat untuk mengukur ketebalan membran dengan merk Heidenhain, dan kuat tarik membran dengan alat tensometer (tanpa merk-hasil rakitan dari Balai Karet). Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara bertahap yang terdiri atas: 5. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon. 6. Tahap pembuatan selulosa diasetat (SDA) terdiri dari proses aktivasi, asetilasi, hidrolisis dari selulosa pulp kayu sengon. Suhu untuk setiap tahapan proses dipertahankan konstan pada 50 o C. Waktu untuk setiap tahapan proses dijadikan sebagai variabel. Hasil berupa selulosa asetat dianalisis kadar asetil dengan titrasi dan berat molekul menggunakan viskometer Ubbelohde. 7. Proses pembuatan membran selulsoa diasetat (SDA) secara inversi fasa, terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: selulosa diasetat (SDA) sebagai polimer, dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut, dan air sebagai bukan-pelarut. Rasio SDA terhadap DMF yang dilakukan adalah 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Jumlah selulosa asetat dan DMF adalah 30 gram. Selanjutnya penambahan porogen polietilen glikol (PEG) dilakukan dengan mengunakan berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da pada rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30% serta koagulasi

63 berlangsung pada suhu 15 o C, suhu kamar, dan 50 o C. Karakterisasi membran yang dihasilkan meliputi: ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluksi (air, dekstran, BSA), rejeksi (dekstran, BSA), dan MWCO. Larutan standar yang dipakai pada penentuan fluks, rejeksi, dan MWCO adalah dekstran (12 kda), BSA (67 kda) dengan konsentrasi awal 200 mg/lt. Sebelum membran dilakukan pengujian terhadap fluks, rejeksi, dan MWCO, terlebih dahulu dilakukan kompaksi. Struktur morfologi membran dianalisa menggunakan alat SEM (Scanning Electron Microscope). 8. Uji aplikasi membran terhadap pemisahan dan pemurnian komponen tertentu pada minyak nilam dan larutan nira tebu. Secara umum tahapan penelitian digambarkan pada skema Gambar 5. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon. Proses pembuatan selulosa diasetat (SDA) dari selulosa pulp kayu sengon (aktivasi, asetilasi, hidrolisis, pemurnian) Proses pembuatan dan penentuan karakter membran ultrafiltrasi selulosa diasetat. Membran dibuat secara inversi fasa dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30% serta koagulasi pada suhu 15 o C, suhu kamar, dan 50 o C. Penentuan karakter membran meliputi tebal, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, dan MWCO Pengukuran kinerja dari aplikasi membran untuk pemisahan dan pemurnian komponen tertentu dari minyak nilam dan larutan nira tebu Gambar 5. Skema tahapan penelitian

64 Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu Sengon. Selulosa pulp kayu sengon diperoleh dari hasil kerja sama dengan Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung (Gambar 6). Ukuran seragam dari selulosa diperoleh dengan penghancuran selulosa yang telah diperoleh menggunakan mesin pencampur (blender). Setelah itu dilakukan analisis komposisi kimia dan sifat fisik selulosa berupa: kadar selulosa (ASTM D ), kadar abu (ASTM D ), kadar air (ASTM D ), derajat putih (Brightness tester), dan bilangan kappa (SNI ). Gambar 6. Selulosa pulp kayu sengon Tahap 2. Pembuatan Selulosa Diasetat (modifikasi Harison et al., 2004; Desiyarni, 2006). Pembuatan selulosa diasetat terdiri dari proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis. Suhu untuk setiap proses dipertahankan konstan pada kondisi optimum yang telah dihasilkan pada penelitian Desiyarni (2006), yaitu pada 50 o C, termasuk beberapa komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian tersebut. Adapun tahapan proses pembuatan selulosa asetat secara detail adalah sebagai berikut: 2.1. Penentuan Waktu Aktivasi Media aktivasi yang digunakan adalah asam asetat glasial. Rasio asam asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon yang digunakan adalah 8:1 (ml/g), yaitu sebanyak 5 gram selulosa pulp kayu sengon dan 40 ml asam asetat glasial dimasukkan kedalam gelas erlenmeyer 250 ml. Aktivasi dilakukan dalam suatu

65 penangas air pada suhu 50 0 C dengan variabel waktu 15, 30, 60,90, dan 120 menit. Selanjutnya dilakukan proses asetilasi untuk pembuatan selulosa triasetat dari selulosa pulp kayu sengon. Asetilasi dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah volume anhidrida asetat, asam asetat, dan asam sulfat dengan perbandingan 3,35 : 4,5 : 0,015 untuk setiap satu bagian berat kering selulosa hasil aktivasi. Sebanyak 16,75 ml anhidrida asetat, 22,5 ml asam asetat glasial, dan 0,075 ml asam sulfat ditambahkan ke dalam erlenmayer 250 ml yang berisi selulosa pulp kayu sengon hasil aktivasi. Campuran diaduk rata menggunakan pengaduk bermagnet. Selanjutnya asetilasi dilakukan dalam penangas air yang bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 50 o C selama 1 jam. Setelah proses asetilasi selesai dilakukan pemisahan selulosa pulp kayu sengon yang tidak terkonversi dari media asetilasi dengan menggunakan alat sentrifugasi (SAKUMA, Model R 90-22, 50 ml x 2) pada suhu 20 o C selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Sisa serbuk selulosa pulp kayu sengon akan mengendap sedangkan selulosa triasetat terdapat dalam supernatan. Selulosa triasetat yang larut dalam supernatan selanjutnya dipisahkan dengan cara menuangkannya kedalam 200 ml larutan asam asetat 10% hingga terbentuk endapan selulosa triasetat dan larutan asam. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan endapan selulosa tri asetat dengan larutan asam. Larutan asam dinetralkan dengan menambahkan larutan MgCO 3 1% dalam air sebelum dibuang. Endapan selulosa triasetat yang diperoleh disaring dan direndam dalam 200 ml larutan magnesium karbonat 1% selama 2 jam untuk menghilangkan sisa asam. Selanjutnya endapan selulosa triasetat dicuci bersih dengan aquadest secara mengalir, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 o C selama 6 jam. Selulosa triasetat kering yang diperoleh selanjutnya ditimbang. Perolehan selulosa triasetat dihitung sebagai perbandingan antara bobot kering selulosa triasetat dengan bobot kering selulosa pulp kayu sengon yang digunakan (Desiyarni, 2006), dan penentuan waktu aktivasi berdasarkan perolehan selulosa triasetat tertinggi.

66 2.2. Penentuan Rasio Anhidrida Asetat terhadap Selulosa dan Waktu Asetilasi Selulosa triasetat (STA) dihasilkan dari proses asetilasi selulosa. Terdapat dua variabel yang dilakukan pada proses asetilasi, yaitu peninjauan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa dan penentuan waktu asetilasi. Tahap pertama yang dilakukan adalah peninjauan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon. Langkah kerja yang sama dilakukan kembali seperti yang telah dilakukan pada tahap penentuan waktu aktvasi dengan menggunakan waktu aktivasi yang telah diperoleh tersebut. Peninjauan dilakukan dengan menggunakan beberapa perbandingan anhdrida asetat terhadap selulosa pulp kayu sengon, yaitu 3,35:1; 4:1; 5:1; dan 6:1 (ml/g). Perbandingan komposisi asam asetat dan asam sulfat terhadap selulosa tidak mengalami perubahan. Hasil peninjauan ditentukan dengan melihat kadar asetil dan selulosa triasetat yang dihasilkan. Tahap berikut adalah menentukan waktu asetilasi dengan menggunakan rasio anhidrida asetat hasil peninjauan di atas. Langkah kerja yang sama seperti pada tahap penentuan waktu aktivasi dilakukan kembali dengan tidak mengalami perubahan komposisi bahan kimia lainnya menggunakan waktu aktivasi yang telah diperoleh. Variabel waktu asetilasi yang digunakan adalah 30, 45, 60, 90, 120 menit. Waktu asetilasi ditentukan dengan melihat perolehan kadar asetil dan selulosa triasetat yang sesuai kebutuhan untuk digunakan pada tahap hidrolisis Penentuan Waktu Hidrolisis Larutan selulosa triasetat (STA) yang telah diperoleh melalui proses aktivasi dan asetilasi selanjutnya masuk ke tahap proses hidrolisis. Proses hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan selulosa diasetat. Hidrolisis bertujuan untuk menghentikan proses asetilasi dengan menambahkan sejumlah air. Proses hidrolisis dilakukan dengan cara menambahkan air dan katalis asam sulfat (Merck, 95-97% p.a) dengan perbandingan terhadap selulosa yaitu 1,066 : 0,015 : 1. Untuk setiap 5 gram selulosa pulp kayu sengon yang digunakan, penambahan air dan asam sulfat dilakukan masing-masing dalam jumlah 5,33 ml

67 dan 0,075 ml ke dalam erlenmeyer 250 ml. Pencampuran air dengan larutan selulosa triasetat dilakukan setelah terlebih dahulu air dicampur dengan asam asetat pada perbandingan 1:2 atau hingga diperoleh larutan asam asetat 66,7%. Pencampuran air dan katalis ke dalam larutan STA dilakukan menggunakan pengaduk bermagnet. Selanjutnya proses hidrolisis selulosa triasetat dilakukan dalam penangas air bergoyang pada suhu 50 o C dengan variabel waktu 3,5,7,9,11,13,15,17 jam. Penghentian proses hidrolisis dilakukan dengan menambahkan 20 ml larutan MgCO 3 1% dalam asam asetat ke dalam larutan selulosa triasetat pada erlenmeyer 250 ml. Kemudian dilakukan pemisahan terhadap larutan hasil hidrolisis dengan menggunakan sentrifugasi merk SAKUMA model R 90-22, 50 ml x 2 pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 20 o C sehingga terbentuk endapan selulosa dan supernatan larutan selulosa triasetat (STA). Endapan selulosa dipisahkan dari larutan supernatan STA dengan penyaringan. Larutan supernatan STA ditambahkan ke dalam 200 ml larutan asam asetat 10% hingga terbentuk endapan selulosa triasetat dan larutan asam. Larutan asam dinetralkan dengan penambahan MgCO 3 1% dalam air. Endapan selulosa diasetat yang diperoleh selanjutnya direndam dalam 200 ml larutan MgCO 3 1% selama 2 jam pada suhu kamar. Selanjutnya selulosa diasetat dicuci dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50 o C selama 6 jam (Desiyarni, 2006). Hasil yang diperoleh kemudian dihaluskan menggunakan blender untuk mendapatkan ukuran seragam dan selanjutnya dikarakterisasi untuk menentukan kandungan asetil. Untuk membuktikan telah terbentuknya selulosa diasetat, dilakukan pengujian awal dengan dilarutkan selulosa diasetat ke dalam aseton teknis. Selulosa diasetat (SDA) bersifat larut dalam aseton. Kadar asetil yang diharapkan sekitar 39% diukur dengan mengikuti ASTM D Diagram alir penentuan waktu masing-masing proses dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa serta pembuatan selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 40.

68 I IIa IIb III SELULOSA SELULOSA SELULOSA SELULOSA AKTIVASI (50 o C) X = 15,30,60,90, 120 menit AKTIVASI (50 o C) X = Xn menit AKTIVASI (50 o C) X = Xn menit AKTIVASI (50 o C) X = Xn menit Rasio anh. setat/selulosa = 3,35 Rasio anh. setat/selulosa Z = 3,35;4;5;6 Rasio anh. setat/selulosa Z = Zn Rasio anh. setat/selulosa Z = Zn ASETILASI (50 o C), 1 jam ASETILASI (50 o C), 1 jam ASETILASI (50 o C), Y = 30,45,60,90,120 menit ASETILASI (50 o C), Y = Yn STA tertinggi Pada X = Xn STA (Kadar Asetil) Pada Xn, Zn STA (Kadar Asetil) Pada Xn, Zn, Yn HIDROLISIS 1,3,5,7,9,11,13,15,17 jam SDA (Kadar Asetil) Gambar 7. Proses tahap penentuan waktu aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis serta rasio anhidrida asetat terhadap selulosa. Keterangan gambar: I. Proses aktivasi: penentuan waktu aktivasi (Xn) II. Proses asetilasi: a. penentuan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa (Zn) b. penetuan waktu asetilasi (Yn) III. Penetuan waktu hidrolisis Tahap 3. Proses Pembuatan dan Karakterisasi Membran Selulosa Diasetat (SDA) (modifikasi Chou et al., 2007 dan Mahendran et al., 2004) Proses Pembuatan Membran Pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon dilakukan secara inversi fasa. Bahan yang diformulasikan dalam pembuatan membran terdiri dari polimer berupa selulosa diasetat (SDA) yang telah dihasilkan pada tahapan sebelumnya; pelarut dimetilformamida (DMF); dan

69 aditif polietilen glikol (PEG) sebagai porogen dengan berat molekul 1450, 4000 dan 6000 Da. Proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dilakukan dengan mencampurkan SDA dan DMF pada perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Jumlah selulosa diasetat dan DMF yang digunakan pada setiap formulasi adalah 30 gram. Rasio PEG terhadap SDA adalah 10%, 20%, dan 30%. Proses pencampuran polimer dengan kehadiran dan tanpa kehadiran PEG dalam pelarut polar (DMF) dilakukan dalam erlenmayer 250 ml dengan menggunakan pengaduk bermagnet sekitar 2-4 jam pada suhu kamar hingga polimer terlarut. Larutan homogen tersebut didiamkan lebih kurang 1-2 jam dalam kondisi kedap udara untuk menyingkirkan gelembung udara. Larutan yang diperoleh disebut dope atau larutan cetak. Pencetakan membran dilakukan dengan cara menuangkan larutan dope ke plat kaca yang seluruh tepinya diberi selotip sebagai batas ketebalan. Ketebalan membran dipertahankan pada 0,2 mm ± 0,02 mm dan diukur menggunakan mikrometer dengan presisi 0,01 mm. Larutan di atas plat kaca berukuran 12 cm x 18 cm diratakan dengan batang silinder sampai permukaan rata hingga membentuk larutan tipis dan dibiarkan selama 30 detik. Setelah larutan tersebar merata di atas plat kaca, lalu plat kaca dimasukkan ke dalam bak koagulasi yang berisi air sebagai bukan-pelarut pada berbagai variasi suhu (15 o C, suhu kamar, 50 o C) untuk pengendapan dan pembentukan membran sampai lapisan membran terlepas dari plat kaca. Setelah waktu perendaman selesai, akan terbentuk lapisan tipis putih membran. Membran yang diperoleh dipotong sesuai ukuran cetak modul filtrasi yaitu pada diamater 4 cm dan dicuci dalam sejumlah besar air distilat dan disimpan dalam air sebelum dikarakterisasi. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat (SDA) dengan penambahan polietilen glikol (PEG) pada berat molekul 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%, 20%, dan 30%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (suhu kamar). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran dengan rasio PEG/SDA tetap (20%) tetapi pada suhu kaogulasi berbeda (15 o C, suhu kamar, dan 50 o C) dan pada berat molekul PEG 1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da. Pada Lampiran 41.a. dan Lampiran 41.b.

70 ditampilkan serangkaian tahapan yang dikerjakan pada proses pembuatan membran selulosa diasetat Karakterisasi Membran. Karakterisasi membran bertujuan untuk menentukan struktur dan sifatsifat morfologi membran. Karakterisasi ini menjadi penting untuk menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Sebelum dilakukan pengujian terhadap fluks, rejeksi, serta MWCO membran, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran tersebut Ketebalan Membran (mikrometer Heidenhain). Ketebalan membran diukur menggunakan mikrometer dengan merk Heidenhain. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur tebal membran di lima titik yang berbeda. Hasil yang terbaca pada alat tersebut dirata-ratakan dan dinyatakan sebagai tebal membran Kuat Tarik Membran (ASTM D ) Kuat tarik membran diuji dengan menggunakan tensometer. Membran dengan ketebalan ± 2 mm terlebih dahulu dipreparasi dengan ukuran 0,5 cm x 5 cm berada dalam keadaan kering. Pengujian dilakukan dengan menjepit membran yang telah dipreparasi tersebut pada kedua ujungnya. Kondisi awal alat yang dibutuhkan adalah load 0,0% dan stroke 0, kemudian alat dijalankan dengan kecepatan regangan 10 mm/menit. Pengunci batang penyempit dilepaskan dan motor dihidupkan untuk mengayun beban. Data yang dimasukkan adalah tebal dan lebar membran yang diukur. Besarnya gaya yang diperlukan untuk memutuskan membran dapat dibaca dari grafik yang dihasilkan secara otomatis. dengan satuan kgf.

71 Morfologi Membran (Analisis Scanning Electron Microscope). Pengamatan terhadap morfologi membran dilakukan dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) JSM 5310 LV, Jeol-Japan pada batas resolusi 5-10 nm. Terlebih dahulu dilakukan pengeringan preparasi terhadap sampel dengan freeze dryer sampai kadar air mencapai 2%. Sampel dipotong dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Selanjutnya sampel diletakkan pada logam yang dilapisi karbon dan kemudian dilapisi emas (Au) 300A o di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Pada proses vakum terjadi loncatan energi dari logam emas ke arah sampel, sehingga melapisis sampel. Sampel tersebut diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron yang akan terekam ke dalam monitor ketika terjadinya tembakan elektron ke arah sampel dan kemudian dilakukan pemotretan. Melalui SEM, diambil pada beberapa variasi magnifikasi untuk beberapa bagian dari membran Kompaksi (Scott dan Hughes, 1966). Sebelum uji fluks, rejeksi, dan MWCO membran, terlebih dahulu dilakukan kompaksi terhadap membran yang telah dihasilkan tersebut. Membran datar berukuran diameter 4 cm dengan luas efektif 12,56 cm 2 ditempatkan dalam suatu modul pada rangkaian alat penyaringan silang (cross flow) (Gambar 8). Air dialirkan melewati membran hingga diperoleh volume air konstan pada tekanan transmembran 2 bar untuk setiap 10 menit Fluks, Rejeksi, dan Molecular Weight Cut-Off (MWCO) (Scott dan Hughes, 1966; Mahendran et al., 2004). Penentuan permeabilitas (fluks) dari air, larutan standar dektran (12 kda), dan bovin serum albumin (BSA-67 kda) serta selektifitas (rejeksi dekstran dan BSA) dilakukan terhadap membran yang telah dikompaksi. Pengukuran dilakukan dengan menyaring masing-masing larutan tersebut melalui membran menggunakan serangkaian peralatan penyaringan silang (cross-flow filtration) untuk setiap 10 menit (Gambar 8). Membran berbentuk flat (datar) dimasukkan ke dalam modul dengan luas efektif membran 12,56 cm 2. Tekanan transmembran pada 1,2 bar dengan laju alir 7,4 x 10-3 m/det. Volume aliran yang melewati pori

72 membran (permeat) persatuan luas membran persatuan waktu dinyatakan sebagai fluksi. Konsentrasi permeat dari masing-masing larutan dianalisa menggunakan UV-vis spektrofotometer. Persentase rejeksi (R) dihitung dari persamaan 2 hal 10: C permeat R (%) = ( 1 - ) x 100% Cumpan (Mulder,1996) Dimana : R = persentasi tahanan Cpermeat C umpan = konsentrasi partikel dalam permeat = konsentrasi partikel dalam umpan Berdasarkan nilai rejeksi yang diperoleh, ukuran pori membran dapat ditentukan berdasarkan MWCO. MWCO berhubungan dengan rejeksi dari berat molekul zat terlarut. Berat molekul memiliki hubungan linier dengan jari-jari pori atau ukuran pori membran. MWCO membran didapat dengan mengidentifikasi dari zat terlarut yang memiliki berat molekul paling rendah dan mempunyai rejeksi 80-90% (Mahendran et al., 2004) Gambar 8. Rangkaian alat penyaringan silang (cross flow filtration) membran jenis proses ultrafiltrasi

73 Tahap 4. Uji Aplikasi Membran 4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol dalam Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth). Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil penyulingan petani nilam (Pogostemon cablin Benth) dari Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Rendemen minyak yang diperoleh 3,7% dari berat kering tanaman nilam yang disuling dengan kadungan patchouli alkohol sebesar 32,06%. Proses filtrasi minyak nilam selama 10 menit dilakukan dengan menggunakan serangkaian peralatan filtrasi membran (Gambar 8) pada tekanan 1,2 bar; 1,4 bar; dan 1,8 bar. Permeat yang keluar melalui pori membran ditampung dan ditentukan fluks yang diperoleh Pemurnian Nira Tebu. Dalam penelitian ini, nira yang digunakan didapat dari hasil penggilingan batang tebu. Tebu digiling setelah 24 jam tebu dipotong untuk menghindari terbentuknya gula invert. Sebelum memasuki proses pemurnian menggunakan membran, nira mentah disaring terlebih dahulu menggunakan kain saring mengurangi beban kerja membran. Filtrasi nira tebu dilakukan dengan cara mensirkulasi nira tebu selama 60 menit menggunakan 3 variasi tekanan transmembran, yaitu 0,6; 1,2; 1,8 bar. Penentuan fluks nira dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran dalam melewatkan sejumlah volume nira tebu persatuan waktu persatuan luas membran. Karakteristik terhadap nira mentah dan nira hasil pemurnian dilakukan dengan menganalisis turbiditi dan ph. Diagram alir proses penggilingan tebu sampai filtrasi nira menggunakan membran dapat dilihat pada Lampiran 42.

74 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) Selulosa pulp kayu sengon yang digunakan pada penelitian ini berwarna putih dengan derajat putih 85,14%. Nilai tersebut mendekati tetapan yang diberikan oleh ISO sebesar 88%. Derajat putih yang telah dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kadar ligin dalam pulp kayu sengon telah banyak yang terhidrolisis oleh proses deleginifikasi. Hal ini juga didukung dari perolehan bilangan kappa yang rendah sebesar 10,735 dan kadar lignin sebesar 1,58%. Hubungan antara bilangan kappa dengan kadar lignin adalah linier dengan mengikuti persamaan : % lignin = 0,147 x Bilangan Kappa (Casey, 1980). Bilangan kappa dapat digunakan sebagai parameter dalam melihat tingkat proses derajat delegnifikasi pulp. Menurut Rahmawati (1999), bilangan kappa yang rendah tersebut menunjukkan bahwa delegnifikasi berjalan dengan cepat dilihat dari lignin yang putus. Hasil analisis kimia dari komponen pulp kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis kimia komponen pulp kayu sengon Parameter analisis Nilai Kadar alfa selulosa 92,11% Kadar abu 0,10% Kadar air 4,68% Impuritis 3,11% Kandungan α-selulosa pada pulp kayu sengon relatif tinggi, yaitu 92,11 %, dan ini mendekati kadar dari selulosa mikrobial sebesar 92,53% (Desiyarni, 2006). Nilai α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian yang tinggi dari selulosa, sehingga selulosa pulp kayu sengon baik sebagai sumber selulosa untuk pembuatan bahan baku polimer membran berupa selulosa asetat. Kadar air yang rendah pada selulosa akan sangat menguntungkan, karena dapat mengurangi jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi. Apabila kandungan air pada selulosa tinggi dikhawatirkan selulosa triasetat yang dihasilkan tidak maksimal karena anhirida asetat tidak hanya dapat bereaksi dengan selulosa,

75 Perolehan Selulosa triasetat (g/g) tetapi dapat bereaksi juga dengan air membentuk asam asetat. Sementara itu, kadar abu (0,10%) dan impuritis (3,11%) yang dihasilkan juga relatif rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selulosa pulp kayu sengon memiliki kemurnian yang tinggi. Pada pembuatan selulosa asetat, suhu untuk masing-masing proses dipertahankan konstan pada 50 o C. Komposisi bahan kimia yang digunakan mengacu pada penelitian Desiyarni (2006) dengan alasan kandungan α-selulosa yang tinggi, yaitu sekitar 92% Waktu Aktivasi Tahap 2. Selulosa Diasetat Pada proses aktivasi dilakukan penggelembungan (swelling) terlebih dahulu terhadap selulosa dengan menggunakan pelarut asam asetat glasial. Penggelembungan selulosa bertujuan untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa yang berdekatan karena kekakuan rantai dan tingginya gaya antar rantai. Faktor ini dipandang sebagai penyebab kekristalan dari serat selulosa (Cowd, 1991). Porses aktivasi (tahap praperlakuan) sangat diperlukan agar pereaksi lebih mudah mencapai daerah kristal pada proses asetilasi. Waktu aktivasi ditentukan berdasarkan perolehan selulosa triasetat (STA) tertinggi terhadap berat selulosa yang digunakan. Perolehan STA pada berbagai waktu aktivasi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran Waktu aktivasi (menit) Gambar 9. Perolehan selulosa triasetat (STA) dalam berbagai waktu aktivasi pada suhu aktivasi 50 o C dan waktu asetilasi 1 jam.

76 Selama aktivasi berlangsung, jumlah selulosa triasetat (STA) yang dihasilkan menurun dengan bertambahnya waktu aktivasi, walaupun penurunan yang terjadi sangat kecil. Penurunan disebabkan karena selulosa semakin lama kontak dengan asam asetat glasial. Menurut Sjostrom (1981) perlakuan fisik dan kimia secara intensif terhadap selulosa dapat menurunkan derajat polimerisasi. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa STA tertinggi diperoleh pada waktu aktivasi 30 menit sebesar 1,6013 g/g selulosa dan semakin menurun hingga menit ke 120 menjadi 1,5875 g/g selulosa. Sedangkan pada waktu aktivasi kurang dari 30 menit tidak cukup bagi asam asetat untuk memutuskan ikatan hidrogen antar rantai molekul selulosa sehingga reaktan tidak dapat menembus gugus hidroksil dari selulosa pada proses asetilasi. Keadaan ini dilihat dari hasil asetilasi dimana selulosa triasetat tidak terbentuk karena selulosa tidak larut dalam reaktan. Ini menunjukkan bahwa proses aktivasi dilakukan secukupnya untuk memberi tingkat pengembangan yang diperlukan untuk penetrasi reaktan. Kuo et al.(1997) menyatakan lamanya waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan dan aktivasi terhadap selulosa pulp kayu berjalan sekitar 0,5-1 jam pada suhu 25 o C -50 o C. Sementara itu, Nevel dan Zeronian (1985) memerlukan waktu aktivasi terhadap selulosa pulp kayu sekitar 1-2 jam. Waktu aktivasi yang diperlukan dari selulosa mikrobial telah didapat oleh Tabuchi et al. (1998) dan Desiyarni (2006) masing-masing selama 72 jam dan 16 jam pada suhu kamar. Waktu aktivasi yang telah dicapai oleh selulosa pulp kayu sengon ternyata lebih pendek dibandingkan dengan aktivasi selulosa mikrobial. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan derajat kristalinitas selulosa pulp kayu dengan selulosa mikrobial. Selulosa mikrobial bersifat lebih kristalin dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60% (White dan Brown, 1998). Sementara selulosa yang berasal dari tumbuhan seperti rami dan kapas mempunyai derajat kristalin sebesar 30% (Yoshinaga et al., 1997) dan selulosa pulp kayu memiliki derajat kristalinitas sekitar 38% (Sanjaya, 2001). Proporsi derajat kristal yang lebih kecil pada selulosa pulp kayu membuat proses aktivasi berjalan lebih cepat. Hasil penelitian Desiyarni (2006), aktivasi selulosa mikrobial pada suhu 50 o C memerlukan waktu lebih pendek, yaitu selama 6 jam dibandingkan pada suhu kamar yang berlangsung selama 16 jam untuk perolehan selulosa triasetat

77 yang sama, yaitu 1,63 g/g. Tabuchi et al. (1998) memerlukan waktu aktivasi selama 72 jam pada suhu kamar terhadap selulosa mikrobial. Ini menunjukkan aktivasi pada 50 o C lebih efisien dalam hal waktu dibandingkan dengan aktivasi pada suhu kamar sehingga suhu 50 o C digunakan sebagai suhu aktivasi dalam penelitian ini Rasio Anhidrida Asetat dan Waktu Asetilasi Proses asetilasi bertujuan untuk menggantikan gugus hidroksil pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat, sehingga membentuk selulosa triasetat. Anhidrida asetat merupakan reaktan yang memegang peranan penting pada reaksi asetilasi. Secara stoikiometri, 1 mol selulosa triasetat dihasilkan dari reaksi 1 mol selulosa yang terdiri atas n unit glukosa dengan 3n mol anhidrida asetat. Pada penelitian pembuatan selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, proses asetilasi dipengaruhi oleh faktor anhidrida asetat (Desiyarni, 2006). Hasil yang didapat oleh Desiyarni (2006) menunjukkan bahwa rasio optimum anhdrida asetat terhadap selulosa mikrobial adalah 3,35 dengan kadar asetil 45,78% pada suhu 50 o C selama 323 menit. Berangkat dari kondisi optimum inilah, maka pada penelitian ini ditetapkan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat terhadap selulosa adalah sebesar 3,35. Beberapa alasan pemilihan pemakaian batas rendah rasio anhidrida asetat sebesar 3,35; yaitu (1) kandungan α-selulosa yang dimiliki oleh selulosa mikrobial dan selulosa pulp kayu sengon hampir sama (sekitar 92%), (2) selulosa yang digunakan masih mengandung air dibawah 5%, sehingga anhidrida asetat yang digunakan sedikit berlebih dari kebutuhan secara stoikiometri. Hasil asetilasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.

78 Perolehan STA (g/g) Kadar Asetil (%) ,18 44,21 44,31 1,63 44,35 1, ,61 1,62, Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 44 Perolehan STA (g/g) Kadar Asetil (%) Gambar 10. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai rasio reaktan terhadap selulosa pada suhu asetilasi 50 o C selama 1 jam. Hasil asetilasi selama satu jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa pulp sengon 3,35 diperoleh kadar asetil 44,18% dengan konversi selulosa menjadi STA sekitar 90% sebagaimana disajikan pada Gambar 10. Tabuchi et al. (1998) memakai anhidrida asetat sebanyak 20 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Sementara Saka dan Takanashi (1998) menggunakan anhidrida asetat sebanyak 7 kali dari jumlah selulosa yang digunakan. Penggunaan anhidrida dalam jumlah besar biasa dilakukan apabila pada selulosa masih terdapat sejumlah besar air dengan tujuan selulosa triasetat yang terbentuk masih lebih banyak dibandingkan asam asetat. Selain dengan selulosa, anhidrida asetat dapat bereaksi dengan air dan menghasilkan asam asetat. Penambahan anhidrida asetat dalam jumlah yang sangat berlebihan akan menyebabkan proses asetilasi kurang effisien apabila kadar asetil dan selulosa triasetat yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diharapkan disamping kandungan air dalam selulosa yang tidak terlalu tinggi ( 5%). Oleh karena itu rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang dipilih untuk digunakan pada proses selanjutnya adalah sebesar 3,35 dengan kadar asetil 44,18%.

79 Perolehan Selulosa Tri Asetat (g/g) Kadar Asetil (%) Waktu yang diperlukan oleh Yamakawa et al. (2003) untuk proses asetilasi selulosa pulp kayu adalah sekitar menit. Semakin lama waktu asetilasi, maka semakin lama kesempatan anhidrida asetat bereaksi dengan selulosa untuk membentuk selulosa triasetat sehingga kadar asetil semakin meningkat. Pada proses asetilasi dilakukan pula pengamatan lama waktu asetilasi terhadap kadar asetil yang dihasilkan. Hasil pengamatan waktu asetilasi disajikan pada Gambar ,98 1,59 44,18 1,61 44,27 1,63 44,36 1, Waktu asetilasi (menit) Perolehan STA (g/g) Kadar Asetil (%) Gambar 11. Perolehan kadar asetil (KA) dan selulosa triasetat (STA) pada berbagai waktu asetilasi pada 50 o C selama satu 1 dan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35. Data yang disajikan pada Gambar 11 membuktikan bahwa semakin lama waktu asetilasi akan meningkatkan kadar asetil selulosa triasetat dengan kenaikan yang semakin kecil. Pada 30 menit pertama proses asetilasi diperoleh kadar asetil sebesar 43,98% dengan konversi selulosa menjadi STA masih di bawah 90%. Pada 30 menit berikut, kadar asetil naik sebesar 0,195%, yaitu menjadi 44,18%. Selanjutnya untuk setiap kenaikan 30 menit, kadar asetil naik sekitar 0,09%. Kadar asetil yang diperoleh tersebut masih di atas 43%, sedangkan kadar asetil yang diperlukan pada pembuatan membran antara 37-42%. Untuk itu dipilih waktu asetilasi cukup 60 menit untuk menghindari kenaikan kadar asetil dan konversi selulosa menjadi selulosa triasetat yang dihasilkan telah mencapai 90%. Waktu asetilasi ini lebih cepat dibandingkan asetilasi untuk selulosa mikrobial

80 Kadar asetil (%) yaitu selama 3-4 jam untuk mendapatkan kadar asetil 44% (Desiyarni, 2006). Perbedaan waktu asetilasi ini disebabkan karena perbedaan derajat kristal dan amorf pada bahan baku. Selulosa pulp kayu, umumnya mempunyai derajat amorf yang lebih besar (60-70%) sehingga reaksi lebih cepat Waktu Hidrolisis Hidrolisis bertujuan untuk menghilangkan sebagian gugus asetil dari selulosa triasetat sehingga dihasilkan selulosa diasetat. Proses hidrolisis selulosa triasetat pada beberapa selulosa pulp (kapas, jerami) memakan waktu beberapa hari jika dilakukan pada suhu kamar, tetapi lebih pendek jika dilakukan pada suhu o C (Bydson, 1995; Kuo et al., 1997; Harrison et al., 2004). Waktu hidrolisis dipilih sesuai dengan penurunan kadar asetil. Kadar asetil hasil asetilasi diperoleh sebesar 44,18%, padahal secara komersial selulosa diasetat untuk membran ultrafiltrasi berada pada kisaran 39-40%. Kadar asetil pada waktu hidrolisis 15 jam adalah 39,66% dan dapat dilihat pada Gambar 12. Waktu hidrolisis ini sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa triasetat berbasis selulosa mikrobial untuk kadar asetil 39% (Desiyarni, 2006) Waktu hidrolisis (jam) Gambar 12. Perolehan kadar asetil hasil hidrolisis pada berbagai waktu hidrolisis (suhu 50 o C) 39 Penggunaan suhu proses ditentukan oleh kandungan α-selulosa. Hidrolisis pada suhu tinggi ( o C) umumnya digunakan terhadap bahan baku yang

81 memiliki kandungan alfa selulosa pulp rendah, yaitu < 90% (Campbell, 1973) guna untuk menghidrolisis hemiselulosa. Untuk selulosa diasetat yang dihasilkan dari selulosa pulp kayu sengon, diperoleh kondisi masing-masing proses meliputi proses aktivasi, asetilasi, dan hidrolisis seperti tercantum pada Tabel 11. Hasil selulosa diasetat (SDA) yang diperoleh juga baik seperti ditunjukkan oleh warna SDA yang putih dengan berat molekul (Gambar 13). Tabel 11. Kondisi proses dan komposisi bahan kimia pada pembuatan selulosa diasetat berbasis pulp kayu sengon Sumber Selulosa Selulosa Pulp Kayu Sengon Aktivasi Asetilasi Hidrolisis Kadar asetil (%)/ Berat Molekul Selulosa: Kondisi Selulosa:Asam Kondisi Selulosa: Asam Operasi Asetat: Anh, Operasi H 2 O: 39,66 / Asetat Asetat:H 2 SO 4 H 2 SO : 8 1 jam 1 : 4,5 : 3,3 5 : 15 jam, 1 : 1, o C 0, o C : 0,015 Kondisi Operasi 0,5 jam 50 o C Gambar 13. Selulosa diasetat yang telah dihasilkan dengan kadar asetil 39,66% dan berwarna putih.

82 Tahap 3. Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat dan Karakteristiknya Rancangan Proses Pembuatan Membran Ultrafiltrasi Selulosa Diasetat secara Inversi Fasa dari Selulosa Pulp Kayu Sengon. Selulosa pulp kayu sengon dengan kadar α-selulosa 92,11% telah digunakan sebagai bahan baku polimer membran. Polimer membran selulosa asetat dengan kadar asetil 39,66% dan berat molekul diperoleh melalui tahapan proses aktivasi selama 30 menit, asetilasi selama 1 jam pada rasio anhidrida asetat terhadap selulosa 3,35, dan hidrolisis berlangsung selama 15 jam. Kondisi suhu untuk setiap proses dipertahankan pada 50 o C. Selanjutnya membran ultrafiltrasi selulosa diasetat dari selulosa pulp kayu sengon telah dihasilkan secara inversi fasa. Tahapan setiap unit proses yang telah dilakukan adalah pencampuran larutan polimer dengan perbandingan SDA terhadap DMF 1:6 pada suhu kamar selama 2 jam setelah penambahan porogen polietilen glikol (PEG) dengan berbagai berat molekul PEG (1450 Da, 4000 Da, dan 6000 Da) serta rasio PEG/SDA (10%, 20%, 30%). Dilanjutkan pendiaman larutan polimer selama 1 jam pada suhu kamar, penguapan larutan cetak yang berada di atas plat kaca selama 30 detik serta perendaman larutan cetak pada bak koagulasi berisi air selama 2 jam pada suhu 15 o C, suhu kamar, dan 50 o C. Rancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulo pulp kayu sengon dapat dilihat pada Lampiran 43, Lampiran 44, dan Lampiran 45. Perlakuan ini menghasilkan membran dengan karakterisasi yang akan dijabarkan lebih jelas berikut ini Karakteristik Membran. Membran yang telah dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi ini menjadi penting untuk menghubungkan sifat-sifat struktural membran seperti pengukuran ketebalan, kuat tarik, morfologi, fluks, rejeksi, serta MWCO membran untuk sifat-sifat pemisahan dengan membran. Kompaksi terhadap membran diperoleh terlebih dahulu sebelum pengukuran fluks, rejeksi, dan MWCO. Porometer membran dinyatakan dengan konsep MWCO berdasarkan nilai rejeksi 80-90% dari larutan standar Mahendran et al. (2004). Larutan standar

83 yang digunakan yaitu, Dekstran (12 kda) dan BSA (67 kda). Namun terlebih dahulu dilakukan pengukuran fluks membran terhadap air. Membran yang digunakan dalam bentuk datar (flat) dengan luas permukaan 12,5 cm 2 (12,5 x 10-4 m 2 ) pada TMP 1,2 bar dan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam) Ketebalan Membran Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG mempunyai lapisan yang lebih tebal dibandingkan membran tanpa PEG. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumah molekul PEG pada matriks membran selulosa asetat sehingga kandungan zat padat menjadi lebih banyak. Sementara pada perubahan suhu koagulasi, lapisan membran pada suhu rendah ( 15 o C) lebih tebal dibandingkan pada koagulasi suhu tinggi (suhu kamar). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. (2007) bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari sifat kelarutan aditif dalam air pada bak koagulasi. Sementara itu menurut Young dan Chen,1995, ketebalan lapisan kulit membran akan naik secara bertahap hingga diffusi pelarut dari lapisan bagian bawah membran melalui lapisan bagian atas ke bukan-pelarut (non-pelarut) berhenti. Ini berarti bahwa ketebalan membran sangat tergantung dari perbandingan jumlah polimer dan pelarut yang digunakan. Pada koagulasi suhu kamar, tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,050 mm dan 0,062 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/SDA 20%. Akhlus dan Widiastuti (2005) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketebalan membran berbanding lurus dengan jumlah polimer yang digunakan, yaitu dari 0,059 mm (18% polimer dan 82% pelarut) menjadi 0,076 mm (18% polimer, 18% polimer aditif, dan 64% pelarut). Pada suhu koagulasi yang lebih rendah (15 o C), tebal lapisan membran tanpa PEG diperoleh 0,053 mm dan 0,065 mm untuk membran dengan penambahan PEG 6000 Da dan rasio PEG/SDA 20%. Tebal lapisan membran yang diperoleh masih berada pada batasan membran asimetrik, yaitu sekitar 150 µm (0,15 mm) (Mulder, 1996) Kuat Tarik Membran

84 Selain ketebalan membran, sifat fisik lain dari membran yang telah diukur adalah kuat tarik. Koagulasi yang berlangsung pada suhu konstan, membran tanpa PEG mempunyai nilai kuat tarik lebih rendah dibandingkan membran dengan penambahan PEG. Bertambah besarnya nilai kuat tarik membran disebabkan terdapat sejumlah molekul polimer PEG pada matriks membran selulosa asetat. Sementara itu pada perubahan suhu koagulasi, diperoleh kuat tarik membran pada suhu rendah (15 o C) lebih tinggi dibandingkan koagulasi pada suhu tinggi (suhu kamar). Hal ini berhubungan dengan sifat kelarutan PEG yang menurun pada koagulasi suhu rendah, sehingga masih terdapat sejumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat dan menambah polimer padatan pada matriks membran selulosa asetat. Pada koagulasi suhu kamar, kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/SDA 20% diperoleh sebesar 3,795 kgf/cm 2 dan 2,355 kgf/cm 2 untuk membran tanpa PEG. Nilai kuat tarik yang diperoleh tersebut lebih tinggi sedikit dibandingkan nilai kuat tarik dari membran selulosa asetat berbasis selulosa mikrobial, yaitu 3,37 kgf/cm 2 pada formula membran 14% PEG dan 10% selulosa asetat (Darwis et al., 2003). Sementara itu pada suhu koagulasi yang lebih rendah (15 o C), nilai kuat tarik membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada rasio PEG/DA 20% diperoleh sebesar 4,19 kgf/cm 2. Sementara itu nilai kuat tarik untuk membran tanpa PEG diperoleh sebesar 3,030 kgf/cm Morfologi Membran Menurut Cheryan (1998), terdapat dua mekanisme pembentukan morfologi membran yaitu mekanisme delayed demixing dan instantaneous demixing. Mekanisme pembentukan membran yang berbeda akan mengarah pada pembentukan struktur yang berbeda. Membran yang telah dihasilkan pada penelitian ini menggunakan polimer selulosa diasetat (SDA) dan dimetil formamida (DMF) sebagai pelarut serta air sebagai bukan-pelarut. Cheryan (1998) juga menyatakan bila pembuatan membran SDA secara inversi fasa menggunakan pelarut DMF dan air sebagai bukan-pelarut maka akan mengikuti mekanisme instantaneous demixing. Afinitas antara DMF dan air sangat kuat sehingga

85 mekanisme pencampuran ini menghasilkan membran berpori (porous membrane). Hasil pengamatan terhadap morfologi dari membran yang dihasilkan menggunakan Scanning Electron Misroscope (SEM) JSM-5310 LV, Jeol-Japan menunjukkan bahwa membran tersebut merupakan membran asimetrik karena struktur permukaan lapisan bawah mempunyai pori yang berukuran lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. a. Bagian lapisan permukaan atas membran SDA (2000x) Gambar 14. b. Bagian lapisan bawah membran SDA (500x) Dapat dilihat dari Gambar 14.a. yaitu pori membran yang dihasilkan pada lapisan permukaan atas baru terlihat setelah dilakukan perbesaran 2000x. Sementara pada Gambar 14.b., pori membran yang dihasilkan pada lapisan bawah sudah terlihat pada perbesaran 500x. Ini menunjukkan membran yang dihasilkan berupa membran asimetrik dengan pori pada lapisan bawah lebih besar dibandingakan pori pada lapisan atas membran. Perbedaan pori yang dihasilkan

86 terjadi karena diffusi pelarut DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat dibandingkan pada lapisan bagian atas sehingga molekul-molekul DMF dan PEG yang meninggalkan larutan cetak mempengaruhi pori yang terbentuk ketika proses pemadatan molekul-molekul SDA terjadi. Ketika pemadatan membran lapisan bagian atas sudah terbentuk, sebagian kecil DMF dan PEG yang masih tersisa pada padatan tersebut meninggalkan pori dengan ukuran yang kecil (dense) ketika larut dalam air. Sebaliknya karena diffusi DMF dan PEG pada lapisan bagian bawah lebih lambat, molekul DMF dan PEG masih banyak terkandung ketika pemadatan membran terjadi dan meninggalkan pori dalam ukuran yang lebih besar ketika molekul DMF dan PEG larut dalam air Morfologi Membran pada Penambahan PEG Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa mekanisme pembentukan membran pada penelitian ini berlangsung secara instantaneous demixing. Kelemahan yang sering terjadi pada mekanisme instantaneous demixing adalah terbentuknya makrovoid pada lapisan bagian bawah dari membran. Makrovoid lebih sering terbentuk dari sistem pelarut dan bukan-pelarut yang mempunyai afinitas tinggi seperti DMF dengan air dan membentuk suatu rongga yang sangat terbuka berada diantara pori-pori yang lebih kecil. Rongga makrovoid mulai terjadi pada lapisan pertama pada bagian lapisan bawah membran akibat dari peristiwa diffusi pelarut dan bukan-pelarut. Diffusi yang terjadi tersebut membentuk nukleus (inti) yang akan berkembang menjadi pori. Pelarut dalam membran mengalir dengan cepat menuju nukleus sehingga terjadi peningkatan konsentrasi pelarut dalam nukleus. Peningkatan konsentrasi tersebut menimbulkan kestabilan larutan polimer disekitar nukleus dan menghalangi terbentuknya nukleus baru. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengembangan nukleus lama untuk membentuk makrovoid (Young dan Chen, 1995). Keberadaan makrovoid tidak diharapkan karena akan menurunkan kekuatan mekanikal membran sehingga mempengaruhi permeabilitas membran (Chaudhuri, 2003; Husain, 2009). Perbedaan struktur membran yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dan dengan penambahan PEG dapat dilihat pada Gambar 15.

87 Gambar 15. a. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar). PEG (500x). Gambar 15. b. Bagian lapisan bawah dan melintang membran SDA pada perbesaran 500x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi pada suhu kamar). Pada Gambar 15. a dapat dilihat bahwa struktur morfologi hadir dengan keberadaan pori yang tidak tertata dengan baik. Terdapat rongga yang besar berupa makrovoid diantara pori-pori kecil. Pertumbuhan makrovoid berhenti bila konsnetrasi polimer larutan menjadi sangat tinggi dan terjadi oemadatan. Penambahan aditif PEG pada larutan cetak membuat larutan polimer menjadi lebih viscous dan afinitas antara DMF dan air menjadi berkurang, sehingga dapat menekan terbentuknya makrovoid (Javiya et al., 2008), seperti terlihat pada Gambar 15. b dan keberadaan pori lebih tertata dengan baik Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Berat Molekul PEG

88 Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa membran yang dihasilkan dengan penambahan PEG dapat menekan terbentuknya makrovoid. Selain itu, struktur membran semakin rapat dengan naiknya berat molekul PEG. Viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan berat molekul PEG dalam larutan cetak/larutan polimer akan menaikkan viskositas larutan tersebut sehingga memperlambat diffusi PEG dan DMF ke dalam air. Keadaan tersebut membuat kandungan padatan pada matriks selulosa diasetat bertambah, sehingga struktur membran selulosa asetat yang dihasilkan menjadi lebih padat/rapat. Hasil SEM morfologi struktur membran yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x dengan penambahan PEG 1450 Da (rasio PEG/SDA 20%, koagulasi suhu kamar) Gambar 16. b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 500x dan 2000x penambahan PEG 4000 Da (rasio PEG/SDA 20%, Sekilas tampak koagulasi struktur suhukamar) morfologi membran yang sama pada perbesaran 500x dari Gambar 16. a dan Gambar 16. b. Namun sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu struktur membran pada Gambar 16. a lebih renggang pada

89 perbesaran 2000x dan pori yang dihasilkan kelihatan lebih banyak walaupun ukuran pori terlihat lebih kecil dibandingkan Gambar 16. b. Hal ini disebabkan karena molekul PEG pada berat 1450 Da lebih mudah larut dalam air dibandingakan PEG 4000 Da. Walaupun rasio PEG/SDA yang digunakan sama, diperkirakan jumlah molekul PEG 1450 Da yang tertinggal pada matriks selulosa diasetat lebih sedikit dan meninggalkan pori yang lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan molekul PEG 4000 Da Morfologi Membran pada Penambahan Berbagai Rasio PEG/SDA Penambahan rasio PEG terhadap selulosa diasetat pada pembuatan membran berarti semakin bertambah banyak molekul PEG yang ikut bercampur dalam larutan cetak. Molekul PEG tersebut mengisi matriks membran selulosa asetat dan meninggalkan pori pada matriks tersebut ketika berlangsung proses diffusi antara DMF dengan air. Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan, diperkirakan molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat juga banyak sehingga pori yang dihasilkan pada membran juga lebih banyak, seperti dapat dilihat pada Gambar 17. b. Struktur morfologi membran yang dihasilkan lebih rapat dengan naiknya rasio PEG/SDA. Hal ini disebabkan karena diperkirakan jumlah molekul PEG yang tertinggal pada matriks membran selulosa asetat masih lebih banyak dibandingkan dengan rasio PEG/SDA yang rendah. Hasil SEM untuk morfologi membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 17. a dan Gambar 17. b. Gambar 17.a. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio PEG/SDA 10%

90 Gambar 17.b. Bagian lapisan atas membran SDA pada perbesaran 2000x. dengan penambahan PEG 1450 Da, koagulasi suhu kamar pada rasio PEG/SDA 20% Morfologi Membran pada Berbagai Suhu Koagulasi Suhu koagulasi yang lebih rendah mengakibatkan afinitas pelarut DMF terhadap air menjadi berkurang. Aditif PEG lebih sukar larut dalam air, sehingga menurunkan kecepatan proses diffusi yang terjadi antara DMF dan air. Pori yang terbentuk lebih kecil dibandingkan hasil koagulasi pada suhu tinggi. Struktur morfologi hasil pembuatan membran pada koagulasi suhu rendah dari analisis SEM dapat dilihat pada Gambar 18.a.

91 Gambar 18. a. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG/SDA 20% pada koagulasi suhu 15 o C (10000x) Gambar 18. b. Bagian lapisan bawah membran SDA dengan penambahan PEG 4000 Da, rasio PEG/SDA 20% pada koagulasi suhu 50 o C (3500x) Dapat dilihat dari Gambar 18. a, ukuran pori relatif kecil dan baru dapat dilihat pada perbesaran 10000x dari membran hasil koagulasi pada suhu 15 o C. Ukuran pori yang relatif kecil juga telah dihasilkan oleh Cai et al. (2007) pada penelitiannya terhadap pembuatan membran pada suhu koagulasi rendah. Hal ini disebabkan karena kontak antara DMF dengan air berkurang akibat proses diffusi yang terjadi lambat. Sebaliknya, kenaikan suhu koagulasi dapat mempercepat proses kecepatan diffusi DMF dan PEG terhadap air karena affinitas yang tinggi antara DMF dan air. Affinitas yang tinggi tersebut juga dapat memicu terbentuknya makrovoid. Pori yang terbentuk juga lebih besar dan sudah dapat dilihat pada perbesaran yaitu 3500x seperti telihat pada Gambar 18.b. Pori yang terbentuk mengarah pada pembentukan makrovoid sehingga perlu dicari suatu pemecahan untuk mengatasi keadaan ini. Menurut Mahendran et al. (2004), makrovoid dapat juga diatasi dengan penambahan pelarut pada bak koagulasi Kompaksi

92 Membran yang telah dihasilkan, terlebih dahulu dilakukan kompaksi. Kompaksi menggunakan tekanan transmembran (TMP) yang lebih tinggi dari TMP yang akan dioperasikan (1,2 bar), sehingga digunakan TMP 2 bar. Kompaksi dilakukan dengan mengalirkan air melewati membran dengan luas efektif 12,56 cm 2 hingga diperoleh fluks air konstan. Kompaksi untuk semua membran menunjukkan penurunan fluks sampai menit ke tigapuluh, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Penurunan fluks air hingga mencapai suatu nilai yang mendekati konstan disebabkan oleh struktur pori membran menjadi lebih rapat karena terjadinya proses deformasi mekanik pada matriks membran akibat tekanan yang diberikan. Membran hasil kompaksi menjadi lebih kaku (Mahendran et al., 2004). Tabel 12. Waktu kompaksi terhadap fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada koagulasi suhu kamar Rasio PEG vs SA Berat PEG (MW) Fluks Air (L/m 2.jam) pada menit ke Murni SA % 1450 Da % 4000 Da % 6000 Da % 1450 Da % 4000 Da % 6000 Da % 1450 Da % 4000 Da % 6000 Da Tabel 13. Waktu kompaksi terhadap fluks air (TMP 2 bar, suhu kamar) dari membran dengan berbagai formulasi pada rasio PEG/SDA 20%. Berat PEG (MW) Suhu Koagulasi ( o C) Fluks Air (L/m 2.jam) pada menit ke Murni SA Da

93 4000 Da Da Pada penelitian Radiman et al. (2002), waktu kompaksi terhadap membran Polisulfon pada TMP 2 kg/cm 2 (sekitar 2 bar) dicapai ketika fluks konstan setelah menit. Sementara itu waktu kompaksi selama 20 menit pada TMP 3 atm (sekitar 3 bar) telah dihasilkan oleh Piluharto (2003) terhadap membran selulosa berbasis selulosa mikrobial. Sedangkan Mahendran et al. (2004) memerlukan waktu kompaksi selama 4-5 jam pada TMP 414 kpa (sekitar 4 bar) terhadap membran komposit selulosa asetat-polietersulfon. Studi tentang kompaksi paling banyak dipakai untuk membran reverse osmosis(ro) karena tekanannya yang tinggi Fluks Permeabilitas merupakan parameter utama dalam pengujian kinerja suatu membran yang menunjukkan banyaknya permeat yang melewati membran persatuan waktu persatuan luas. Permeabilitas lebih sering dinyatakan sebagai fluks. Karakteristik membran terhadap fluks dari hasil semua perlakuan pada pembuatan membran dijelaskan di bawah ini. Fluks pada setiap pembahasan diambil pada kondisi tunak Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Penambahan PEG Fluks membran dari formula membran pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG telah dibandingkan dengan formula membran tanpa PEG. Tujuan penambahan PEG sebagai porogen agar distribusi pori lebih merata. Fluks yang dihasilkan pada formula membran tersebut dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20.

94 Fluks Air (L/m2.jam) Fluks Air (L/m2.jam) Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran Gambar 19. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 131, Murni 1 SDA PEG/SDA 2 10% PEG/SDA 3 20% PEG/SDA 4 30% Formula membran Gambar 20. Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan penambahan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa fluks air dari formula membran tanpa PEG lebih rendah dibandingkan formula membran pada berbagai berat molekul PEG dan rasio PEG/SDA. Pada pembuatan membran tanpa PEG, pori membran yang terbentuk sangat ditentukan dari jumlah konsentrasi polimer awal yang digunakan. Konsentrasi polimer yang tinggi akan membentuk lapisan permukaan membran dengan porositas yang rendah karena fraksi volume dari polimer naik, dan demikian sebaliknya. Pori yang terbentuk tidak tersebar dengan baik ketika proses diffusi antara DMF dan air berlangsung. Sedangkan pada

95 Fluks Dekstran (L/m2.jam) Fluks Dekstran (L/m2.jam) penambahan PEG, pori yang terbentuk menjadi bertambah dan tertata dengan lebih teratur, seperti telah dilihat sebelumya pada Gambar 14. Hal ini disebabkan karena terdapat sejumlah molekul PEG yang telah mengisi matriks membran ikut larut ke dalam air sehingga meninggalkan pori pada membran. Terbentuknya pori dari membran tersebut menghasilkan fluks yang lebih tinggi. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks dari larutan Dekstran (12 kda). Hubungan fluks yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan membran penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran Gambar 21. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Murni 1SDA PEG/SDA 2 10% PEG/SDA 3 20% PEG/SDA 4 30% Formula membran Gambar 22. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 78 91

96 Fluks BSA (L/m2.jam) Fluks BSA (L/m2.jam) Fluks yang dihasilkan oleh BSA (67 kda) juga mempunyai kecenderungan yang sama seperti pada fluks air dan dekstran. Hubungan fluks BSA yang dihasilkan dari membran tanpa PEG dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da 72 Formula membran Gambar 23. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Murni SDA PEG/SDA 10% PEG/SDA 20% PEG/SDA 30% Formula membran

97 Fluks air (L/m2.jam) Gambar 24. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Berat Molekul PEG Olmos et al. (2008) menyatakan bahwa viskositas larutan polimer (larutan cetak) akan naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas larutan cetak menyebabkan diffusi antara pelarut (DMF) dan bukan-pelarut (air) menjadi lebih lambat. Membran yang dihasilkan sangat menentukan fluks dari membran tersebut. Fluks air dari membran dengan berbagai berat molekul PEG dapat dilihat pada Gambar Gambar Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG (Da) Hubungan fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fluks air menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Hal ini disebabkan karena viskositas larutan cetak yang dimiliki menjadi lebih tinggi sehingga affinitas antara DMF dan air menjadi berkurang pada saat diffusi berlangsung. Terdapat sejumlah kecil molekul PEG yang meninggalkan matriks membran selulosa asetat sehingga pori yang terbentuk lebih sedikit. Jari-jari girasi (Rg) dari rantai PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG, dimana Rg = 0,0215 M 0,583 w (Chou et al., 2007). Akibat dari proses diffusi yang terjadi tersebut, diperkirakan porositas membran menurun sehingga fluks yang dihasilkan juga menurun. Pendapat tersebut didukung dari hasil penelitian Chou et al. (2007) dan Saljoughi et al. (2010) yang menunjukkan

98 Fluks BSA (L/m2.jam) Fluks desktran (L/m2.jam) bahwa penambahan porogen PEG dengan berat molekul yang semakin tinggi dalam larutan cetak menurunkan porositas membran demikian sebaliknya. Fluks air tertinggi diperoleh sebesar 146 L/m 2.jam dari membran dengan penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEG/SDA 30%. Kecenderung yang sama juga dihasilkan fluks dari dekstran dan BSA (Gambar 26 dan Gambar 27). Fluks tertinggi untuk larutan dekstran dan BSA diperoleh sebesar 114 L/m 2.jam dan 96 L/m 2.jam dari formula membran dengan penambahan PEG 1450 Da dan rasio PEG/SDA 30% Da 4000 Da 6000 Da Berat molekul PEG 10% 20% 30% Gambar 26. Hubungan fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) Da 4000 Da 6000 Da 10% 20% 30% Berat Molekul PEG Gambar 27. Hubungan fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar)

99 Fluks dekstran (L/m2.jam) Fluks air (L/m2.jam) Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagi Rasio PEG/SDA Rasio PEG/SDA meningkat berarti semakin banyak molekul PEG mengisi matriks selulosa asetat. Molekul PEG tersebut akan larut dalam air pada bak koagulasi ketika peristiwa diffusi berlangsung dan meninggalkan pori pada matriks selulosa asetat. Rasio PEG/SDA yang lebih tinggi akan meninggalkan pori dengan jumlah yang lebih besar sehingga fluks yang dihasilkan lebih besar pula, seperti terlihat pada Gambar 28. Fluks tertinggi dihasilkan dari formula membran dengan penambahan PEG pada rasio PEG/SDA 30% (PEG 1450 Da) sebesar 146 L/m 2.jam % 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Rasio PEG/SDA (%) 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 28. Hubungan antara fluks air (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) Kecenderungan yang sama juga terjadi pada fluks yang dihasilkan dari larutan standar dekstran dan BSA dengan fluks tertinggi untuk dekstran adalah 114 L/m 2.jam dan 96 L/m 2.jam, seperti terlihat pada Gambar 29 dan Gambar % 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Rasio PEG/SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 29. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar)

100 Fluks BSA (L/m2.jam) % 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Rasio PEG/SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 30. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) Karakteristik Membran terhadap Fluks pada Berbagai Suhu koagulasi. Semakin tinggi suhu air pada bak koagulasi, semakin cepat diffusi yang terjadi antara pelarut DMF dan air sehingga membentuk sejumlah besar pori. Demikian juga, semakin banyak molekul PEG yang larut maka jumlah pori yang meninggalkan matriks selulosa diasetat lebih banyak sehingga fluks meningkat. Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa fluks air semakin meningkat dengan naiknya suhu koagulasi baik dengan penambahan PEG maupun tanpa penambahan PEG. Dalam hal ini diperkirakan porositas membran yang dihasilkan meningkat pada suhu koagulasi yang lebih tinggi. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. (2005) yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu koagulasi dari 25 o C sampai 70 o C akan menaikkan porositas membran sehingga fluks meningkat. Demikian juga menurut Saljoughi et al. (2010) dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa semakin rendah suhu koagulasi akan menurunkan porositas membran sehingga fluks menurun. Fluks air tertinggi dihasilkan dari membran pada suhu koagulasi 50 o C dengan penambahan PEG1450 Da (PEG/SDA 20%) sebesar 129 L/m 2.jam

101 Fluks dekstran (L/m2.jam) Fluks air (L/m2.jam) Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 31. Hubungan antara fluks air dengan berbagai suhu koagulasi (TMP 1,2 bar; suhu kamar / rasio PEG/SDA 20%) Fenomena serupa terjadi pada fluks larutan dekstran dan BSA, seperti terlihat pada Gambar 32 dan Gambar 33. Adapun fluks tertinggi yang dihasilkan oleh larutan dekstran dan BSA berturut-turut adalah 119 L/m 2.jam dan 96 L/m 2.jam pada formulasi membran yang sama. Hasil lengkap nilai fluks untuk air, dekstran, dan BSA dapat dilihat pada Lampiran Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 32. Hubungan antara fluks dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi ( rasio PEG/SDA 20%)

102 Fluks BSA (L/m2.jam) Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 33. Hubungan antara fluks BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi ( rasio PEG/SDA 20%) Rejeksi Selektivitas merupakan ukuran kemampuan membran untuk menahan suatu spesi. Selektivitas umumnya dinyatakan oleh satu dari dua parameter: retensi (R) atau faktor pemisahan (α). Pada penelitian ini, selektivitas dinyatakan sebagai retensi/rejeksi (R) Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Penambahan PEG Selain fluks, rejeksi termasuk parameter untuk melihat kinerja membran. Suatu fenomena umum yang sering ditemukan dalam suatu proses pemisahan dengan membran, yaitu apabila fluks membran besar maka rejeksi akan rendah, demikian pula sebaliknya jika rejeksi tinggi maka fluks juga akan rendah. Tujuan penambahan PEG pada membran yang dihasilkan dapat meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran. Semakin teratur pori-pori yang terbentuk maka semakin bagus membran yang dihasilkan. Rejeksi dekstran dari membran dengan formulasi penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA telah dibandingkan dengan rejeksi dekstran dari membran tanpa PEG. Hasil rejeksi dekstran tersebut dapat dilihat pada Gambar 34 dan Gambar 35.

103 Rejeksi Dekstran (%) Rejeksi Desktran (%) Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran Gambar 34. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) ,83 59,01 56,18 53, Murni SDA PEG/SDA 10% PEG/SDA 20% PEG/SDA 30% Formula membran Gambar 35. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) Rejeksi dari formulasi membran dengan penambahan PEG pada berbagai berat molekul dan rasio PEG/SDA lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Keadaan ini juga terjadi pada fluks yang dihasilkan seperti telah dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Hal tersebut diperkirakan karena pori yang terbentuk lebih banyak pada membran dengan penambahan PEG dan distribusi ukuran pori

104 Rejeksi BSA (%) Rejeksi BSA (%) membran menjadi lebih beragam sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dibandingkan membran tanpa PEG. Berdasarkan hasil fluks dan rejeksi yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa penambahan PEG pada pembuatan membran membuat porositas membran meningkat dan distribusi ukuran pori membran menjadi lebih sempit sehingga fluks dan rejeksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingakan membran tanpa PEG. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada rejeksi BSA dari formulasi membran tersebut. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 36 dan Murni SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Formula membran Gambar 36. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai berat molekul PEG (rasio PEG/SDA 20%) dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar) 84, ,72 82,40 80, Murni 1 SDA PEG/SDA 2 10% PEG/SDA 3 20% PEG/SDA 4 30% Formula membran Gambar 37. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dari membran dengan berbagai rasio PEG/SDA pada PEG 4000 Da dibandingkan dengan membran tanpa PEG (koagulasi pada suhu kamar)

105 Rejeksi dekstran (%) Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Berat Molekul PEG Penambahan PEG dapat menaikkan viskositas larutan. Semakin besar berat molekul PEG, maka viskositas larutan semakin tinggi karena viskositas PEG naik dengan naiknya berat molekul PEG. Kenaikan viskositas ini menghambat diffusi yang terjadi antara DMF, PEG, dan air. Rejeksi suatu zat terlarut juga sangat ditentukan dari hasil proses diffusi terbentuknya membran. Menurut Chou et al. (2007) dan Saljoughi et al. (2010), porositas membran menurun dengan naiknya berat molekul PEG. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG 10% 20% 30% Gambar 38. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) Dari Gambar 38 dapat dilihat bahwa pada rasio PEG/SDA yang sama, rejeksi yang dihasilkan dekstran cenderung sama walaupun berat molekul PEG berbeda. Rejeksi dekstran yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 53-59%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pori membran yang dihasilkan masih sangat besar dibandingkan ukuran partikel dekstran sehingga masih banyak partikel dekstran lolos sebagai permeat. Jumlah partikel dekstran yang tertahan pada permukaan membran hampir sama untuk semua formulasi membran. Keadaan inilah yang mengakibat rejeksi yang dihasilkan mendekati sama walaupun porositas membran menurun dengan naiknya berat

106 Rejeksi BSA (%) molekul PEG. Sementara itu dari Gambar 39 dapat dilihat rejeksi yang dihasilkan BSA meningkat dengan naiknya berat molekul PEG. Peningkatan rejeksi tersebut disebabkan karena porositas membran menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa viskositas larutan yang semakin tinggi dengan naiknya berat molekul PEG membuat diffusi yang terjadi antara DMF dan air semakin terhambat sehingga molekul PEG yang berdiffusi ke air dan meninggalkan matriks membran juga semakin sedikit. Keadaan ini membuat porositas membran menurun karena jumlah luas pori membran yang terbentuk lebih kecil dibandingkan luasan membran yang digunakan, sehingga rejeksi yang dihasilkan menjadi tinggi Da 4000 Da 6000 Da Berat Molekul PEG 10% 20% 30% Gambar 39. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai berat molekul PEG (koagulasi pada suhu kamar) Selain itu, peningkatan rejeksi dapat disebabkan karena pori membran yang dihasilkan mendekati sama dengan ukuran rata-rata partikel BSA. Rejeksi BSA yang dihasilkan untuk semua formulasi membran berada dalam kisaran 77% (±6) 94% (±6). Rejeksi 77% menunjukkan bahwa pori membran yang dihasilkan masih lebih besar dibandingkan pori membran dengan rejeksi 94%. Menurut Mahendran et al. 2004, MWCO membran dapat ditentukan dengan mengidentifikasi zat terlarut bila suatu zat terlarut dengan berat molekul yang paling rendah mampu direjeksi sekitar 80-90% dengan menggunakan suatu larutan standar pada ukuran tertentu. Berdasarkan nilai rejeksi yang telah diperoleh, maka ukuran pori membran berada sekitar 67 kda. Rejeksi tertinggi

107 Rejeksi dekstran (%) dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula PEG 6000 dengan rasio PEG/SDA 10% yaitu sebesar 59% dan 94% Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagai Rasio PEG/SDA Semakin banyak molekul PEG yang ditambahkan dalam larutan cetak pada pembuatan membran, maka semakin banyak molekul yang mengisi matriks membran tersebut. Selanjutnya, dalam proses diffusi DMF dengan air, molekul PEG tersebut akan larut dalam air dengan jumlah yang besar juga sehingga meninggalkan pori pada membran sejumlah molekul yang larut. Hasil rejeksi untuk dekstran dapat dilihat pada Gambar % 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Rasio PEG/SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 40. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) Pada Gambar 40, untuk setiap berat molekul PEG dapat dilihat rejeksi dekstran menurun dengan naiknya rasio PEG/SDA, walaupun tingkat penurunan sangat kecil. Rejeksi yang dihasilkan sekitar 53-59%. Hal ini disebabkan karena ukuran pori membran yang dihasilkan masih terlalu besar dibandingkan ukuran molekul dekstran, sehingga masih terdapat sejumlah besar molekul desktran yang lolos melalui pori membran. Demikian juga pada Gambar 41 rejeksi BSA yang dihasilkan menurun dengan naiknya rasio PEG/SDA. Tingkat penurunan yang terjadi juga sangat

108 Rejeksi BSA (%) kecil. Rejeksi yang dihasilkan berada dalam kisaran 77% (±6) 94% (±6). Namun apabila dilihat dari nilai rejeksi, maka dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran mendekati ukuran molekul BSA. Rejeksi tertinggi dekstran dan BSA diperoleh dari membran pada formula rasio PEG/SDA 10% dengan berat molekul PEG 6000 yaitu sebesar 59% dan 94% % 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Rasio PEG/SDA 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 41. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai rasio PEG/SDA (koagulasi pada suhu kamar) Karakteristik Membran terhadap Rejeksi pada Berbagi Suhu Koagulasi Proses diffusi suatu larutan berjalan sangat lambat bila koagulasi berlangsung pada suhu rendah karena viskositas larutan tersebut menjadi tinggi. Dengan demikian, semakin rendah suhu koagulasi maka pelarut DMF dan PEG yang berdiffusi dalam air semakin sukar larut sehingga rejeksi dekstran dan BSA dari membran yang dihasilkan tersebut lebih tinggi dibandingkan rejeksi membran hasil koagulasi pada suhu tinggi. Rejeksi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43.

109 Rejeksi BSA (%) Rejeksi dekstran (%) Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 42. Hubungan rejeksi dekstran (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) Suhu koagulasi ( C) Tanpa PEG 1450 Da 4000 Da 6000 Da Gambar 43. Hubungan rejeksi BSA (TMP 1,2 bar; suhu kamar) dengan berbagai suhu koagulasi (rasio PEG/SDA 20%) Hasil penelitian Cai et al. (2007) menunjukkan bahwa membran hasil koagulasi pada suhu rendah akan cenderung memiliki ukuran pori yang relatif kecil dibandingkan membran hasil suhu koagulasi pada suhu yang lebih tinggi. Pendapat ini diperkuat juga oleh hasil penelitian Saljoughi et al. (2010) yang menunjukkan bahwa suhu koagulasi rendah akan menurunkan porositas membran, sehingga menghasilkan rejeksi yang tinggi. Dengan demikian, rejeksi meningkat dengan turunnya suhu koagulasi dari membran yang dihasilkan pada penelitian ini diperkirakan ukuran pori yang terbentuk kecil. Pendapat ini didukung dari hasil analisa SEM seperti yang telah dilihat pada Gambar 18.a. Rejeksi tertinggi dari dekstran dan BSA diperoleh dari formulasi membran dengan penambahan PEG 6000 Da (PEG/SDA 20%) pada suhu koagulasi 15 o C yaitu sebesar 63% dan 91%.

110 Molecular Weight Cut-Off (MWCO) Membran Molecular Weight Cut-Off (MWCO) didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat terlarut yang 80-90% dapat direjeksi oleh membran (Mahendran et al., 2004). Nilai rejeksi dapat diperoleh setelah dilakukan pengukuran konsentrasi zat padat terlarut pada permeat dengan menggunakan larutan standar. Konsentrasi umpan dan permeat ditentukan dengan menggunakan alat sepktrofotometer. Pengukuran rejeksi padatan (Solute Rejection Measurements) merupakan metoda yang paling banyak digunakan dalam mengkarakteristik membran berpori. Dari berbagai variasi formulasi membran yang telah dihasilkan diperoleh rejeksi terhadap larutan standar dekstran (12 kda) berkisar 50-66% dan rejeksi larutan standar BSA (67 kda) berkisar 80-96%. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat dikatakan bahwa ukuran pori membran berada pada ukuran maksimal 67 kda. Menurut Osada dan Nakagawa (1992) membran ultrafiltrasi (UF) mempunyai ukuran pori berkisar A atau MWCO sekitar Da. Ukuran pori membran yang dihasilkan ini masih termasuk kategori membran dengan jenis proses ultrafiltrasi. Fluks dan rejeksi tertinggi dihasilkan dari hasil rancangan proses membran pada koagulasi suhu kamar dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Formulasi membran (koagulasi suhu kamar) dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam). Berat molekul PEG (Da) FORMULASI Rasio PEG/SDA (%) Air FLUKS (L/m 2.jam) Dekstran BSA (12 kda) (67 kda) FORMULASI REJEKSI (%) Berat molekul PEG (Da) Rasio PEG/SDA (%) Dekstran (12 kda) BSA (67 kda) Penambahan PEG 1450 Da pada rasio PEG/SDA 30% menghasilkan fluks tertinggi karena diperkirakan porositas membran yang dihasilkan lebih tinggi dan

111 didukung dengan jumlah molekul PEG yang lebih banyak. Tetapi rejeksi tertinggi dihasilkan pada penambahan PEG 6000 Da dengan rasio PEG/SDA 10%. Hal ini dikarenakan porositas membran yang dihasilkan lebih kecil serta jumlah molekul PEG yang lebih sedikit. Sementara itu fluks dan rejeksi tertinggi yang dihasilkan dari rancangan proses pembuatan membran rasio PEG/SDA 20% dapat dilihat pada Tabel 15. Fluks tertinggi dihasilkan dari membran pada penambahan PEG 1450 Da dengan suhu koagulasi 50 o C. Molekul PEG sangat cepat larut pada suhu tinggi dan meninggalkan pori pada padatan membran selulosa diaseat sehingga menghasilkan fluks yang tinggi. Rejeksi tertinggi diperoleh dari membran dengan penambahan PEG 6000 Da pada suhu koagulasi 15 o C. Pada koagulasi suhu rendah, relatif ikatan antarmolekul hidrogen dalam membran selulosa asetat sangat kuat sehingga pori yang terbentuk sangat rapat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis SEM seperti telah didilihat pada gambar 18. a. Tabel 15. Formulasi membran (perubahan suhu koagulasi, rasio PEG/SDA 20%) dengan fluks dan rejeksi tertinggi pada tekanan transmembran 1,2 bar dengan kecepatan alir 7,4 x 10-3 m/det (34 L/jam). Berat molekul PEG (Da) FORMULASI Suhu koagulasi ( o C) Air FLUKS (L/m 2.jam) Dekstran BSA (12 kda) (67 kda) FORMULASI REJEKSI (%) Berat molekul PEG (Da) Rasio PEG/SDA (%) Dekstran (12 kda) BSA (67 kda) Berdasarkan hasil pada Tabel 14 dan Tabel 15, dapat dilihat bahwa fenomena fluks dan rejeksi yang bertolak belakang masih terjadi pada membran dengan penambahan PEG. Membran yang baik memiliki porositas permukaan yang tinggi (fraksi pori/luas permukaan) dan distribusi ukuran pori yang sesempit mungkin sehingga optimasi membran perlu dilakukan untuk mendapatkan fluk dan rejeksi yang tinggi pada suatu formulasi membran yang sama.

112 Pada Tabel 14 dan Tabel 15 dapat dilihat juga bahwa fluks dekstran dan BSA tidak begitu jauh berbeda dari fluks air. Fluks zat terlarut dipengaruhi oleh fluks total. Fluks yang keluar melalui pori membran sebagai permeat merupakan fluks total, yaitu penjumlahan dari fluks pelarut dan fluks zat terlarut (Christin, 2005). Konsentrasi zat terlarut dan sifat-sifat zat terlarut pada permukaan juga mempengaruhi fluks (Benziger dan Aksay, 199). Oleh karena konsentrasi zat terlarut dekstran dan BSA yang digunakan dalam keadaan encer (200 ppm) sehingga fluks total yang dihasilkan sebagai permeat mendekati fluks total komponen murni air. Fluks yang dihasilkan tersebut masih berada dalam kisaran membran jenis ultrafiltrasi, yaitu L/m 2.jam untuk setiap satu bar tekanan transmembran (Wenten, 1999). Rejeksi larutan standar dekstran (12 kda) lebih kecil dibandingkan dari rejeksi larutan standar BSA (67 kda). Ini menunjukkan bahwa membran tersebut mempunyai ukuran pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 12 kda lebih sedikit dibandingkan jumlah pori yang mampu menahan suatu zat terlarut dengan berat molekul 67 kda. Tahap 4. Uji Aplikasi Membran Beberapa industri agro dapat berkembang melalui inovasi, peningkatan kapasitas produksi, pengenalan, dan pembaruan teknologi. Salah satu pembaruan teknologi yang memiliki peluang yang sangat bagus, keunggulan dan menambah lingkup kegiatan industri di Indonesia adalah penerapan teknologi membran (Aspiyanto, 2003). Uji penerapan teknologi membran terhadap membran ultrafiltrasi selulosa asetat berbasis selulosa pulp kayu sengon telah dilakukan pada dua contoh bidang industri yang berbeda. Diharapkan teknologi membran mampu menggantikan sebagian teknologi konvensional untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih baik. Adapun formula membran yang digunakan yaitu membran yang dihasilkan dari penambahan PEG 1450 Da dengan rasio PEG/SDA 30% serta koagulasi yang berlangsung pada suhu kamar. Alasan pemilihan formula tersebut karena menghasilkan fluks tertinggi dari formula membran hasil koagulasi pada suhu kamar.

113 4.1. Peningkatan Kadar Patchouli Alkohol pada Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth). Membran yang dihasilkan pada penelitian ini telah diterapkan pada uji aplikasi terhadap peningkatan kadar Patchouli Alcohol (PA) dari minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Minyak nilam terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan, yaitu hidrokarbon (40%-45%) dan oxygenated hydrocarbon (55-60%). Golongan oxygenated hydrocarbon lebih bersifat polar dibanding golongan hidrokarbon karena terbentuk dari unsur Carbon (C), Hidrokarbon (H), dan Oksigen (O). Patchouli alkohol bersifat hidrofilik karena mengandung gugus (- OH). Komponen-komponen minyak nilam yang tergolong dalam oxygenated hydrocarbon adalah: patchouli alkohol, seychellena, α-patchoulena, δ-guaiena, β- patchoulena, dan α-guaiena. Komponen-komponen tersebut termasuk komponen penyusun minyak nilam yang terbesar. Komponen terbesar dikandung oleh patchouli alkohol (PA) sekitar 32% dari jumlah total komponen minyak nilam. Berat molekul komponen-komponen penyusun minyak nilam relatif sama, yaitu berkisar 200 (Tabel 10) dan patchouli alkohol memiliki berat molekul 222,37. Peningkatan patchouli alkohol dari minyak nilam dapat dilakukan dengan menggunakan membran selulosa asetat berdasarkan sifat hidrofobisitas. Membran selulosa asetat mempunyai sisi aktif gugus hidroksi (-OH) dan karbonil (CO) yang juga bersifat polar. Breaken et al. (2005) menyatakan pemisahan komponenkomponen larutan organik yang mempunyai molekul-molekul dengan berat molekul yang hampir sama dapat dilakukan dengan membran berdasarkan sifat hidrofobisitas antara membran dengan komponen-komponen tersebut. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam yang digunakan pada penelitian ini dan hasil filtrasi dari membran selulosa asetat terhadap peningkatan kadar patchouli alkohol dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 44. Tabel 16. Hasil analisis parameter mutu minyak nilam Parameter Minyak Nilam Warna kuning muda-coklat kemerahan Bobot jenis,25 o C/25 o C 0,965 Indeks bias, n D 20 1,515 Bilangan asam 0,50 Bilangan ester 12,65

114 Kadar Patchouli Alkohol (%) Fluksi minyak nilam (L/m2.jam) Kelarutan dalam etanol 90%,20 o C Larut jernih (perbandingan volume 1:10) Patchouli Alkohol (C 15 H 24 ) 32,60% Transmembran (bar) PA (%) Fluks (L/m2.jam) Gambar 44. Hubungan fluks dan kadar patchouli alkohol terhadap variasi Dapat dilihat dari Gambar 44, terjadi peningkatan kadar patchouli alkohol tekanan transmembran dari 32,60% menjadi patchouli 41,68% alkohol dengan naiknya tekanan transmembran filtrasi dari 1,2 bar sampai 1,4 bar masing-masing dengan fluks minyak nilam diperoleh sebesar 101 L/m 2.jam dan 134 L/m 2.jam. Sifat kimia membran dapat digambarkan dari perbedaan polaritas. Apabila suatu membran memiliki sifat kepolaran yang hampir sama dengan kepolaran umpan, maka membran akan mempunyai permeabilitas yang tinggi. Hal ini terjadi karena membran yang bersifat polar akan mudah menarik molekul umpan yang juga bersifat polar dan akan menolak molekul umpan yang non polar, demikian sebaliknya. Mekanisme pemisahan antara membran dengan komponen umpan berdasarkan sifat hidrofobisitas dilustrasikan pada Gambar Patchouli Alkohol Komponen Minyak Nilam Δ P Hidrofobik (non-polar) Hidrofilik (polar) Membran SDA Hidrofilik-polar Membran SDA Hidrofilik-polar

(DMF) dengan perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 untuk memperoleh larutan polimer homogen. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap.

(DMF) dengan perbandingan 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6 untuk memperoleh larutan polimer homogen. Perancangan proses pembuatan membran dilakukan dua tahap. ABSTRACT Cut Meurah Rosnelly, F 361 050 051. The Design Process of Cellulose Acetate Ultrafiltration Membrane Production by Phase Inversion Method of Cellulose Pulp from Wood of Sengon (Paraserianthes

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI. Oleh : DESIYARNI

PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI. Oleh : DESIYARNI PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI Oleh : DESIYARNI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar belakang. digunakan pada industri antara lain sebagai polimer pada industri plastik cetakan

PENDAHULUAN. Latar belakang. digunakan pada industri antara lain sebagai polimer pada industri plastik cetakan PENDAHULUAN Latar belakang Selulosa asetat merupakan salah satu jenis polimer yang penting dan banyak digunakan pada industri antara lain sebagai polimer pada industri plastik cetakan (moulding), film

Lebih terperinci

Pengaruh Rasio Aditif Polietilen Glikol Terhadap Selulosa Asetat pada Pembuatan Membran Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa

Pengaruh Rasio Aditif Polietilen Glikol Terhadap Selulosa Asetat pada Pembuatan Membran Selulosa Asetat Secara Inversi Fasa Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 1, hal. 25-29, 2012 ISSN 1412-5064 Pengaruh Rasio Aditif Polietilen Glikol Terhadap Selulosa Asetat pada Pembuatan Membran Selulosa Asetat Secara Inversi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1. Analisis sifat fisika dan komposisi kimiawi selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes falcataria) Selulosa pulp kayu sengon yang digunakan pada penelitian ini berwarna putih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi membran telah banyak digunakan pada berbagai proses pemisahan dan sangat spesifik terhadap molekul-molekul dengan ukuran tertentu. Selektifitas membran ini

Lebih terperinci

PEMURNIAN ETANOL SECARA MIKROFILTRASI MENGGUNAKAN MEMBRAN SELULOSA ESTER

PEMURNIAN ETANOL SECARA MIKROFILTRASI MENGGUNAKAN MEMBRAN SELULOSA ESTER KIMIA.STUDENTJOURNAL, Vol. 2, No. 1, pp. 441-447, UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG Received 3 October 2014, Accepted 3 October 2014, Published online 10 October 2014 PEMURNIAN ETANOL SECARA MIKROFILTRASI MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Model Perpindahan Massa Pada Pemurnian Siklodekstrin Dengan Membran Ultrafiltrasi Aliran Silang YENI ELIZA MARYANA

Model Perpindahan Massa Pada Pemurnian Siklodekstrin Dengan Membran Ultrafiltrasi Aliran Silang YENI ELIZA MARYANA Model Perpindahan Massa Pada Pemurnian Siklodekstrin Dengan Membran Ultrafiltrasi Aliran Silang YENI ELIZA MARYANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Teknologi membran telah banyak digunakan dalam berbagai proses pemisahan dan pemekatan karena berbagai keunggulan yang dimilikinya, antara lain pemisahannya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Membran. 1. Definisi Membran

TINJAUAN PUSTAKA. Membran. 1. Definisi Membran TINJAUAN PUSTAKA Membran 1. Definisi Membran Membran adalah suatu lapisan tipis bersifat semipermeabel yang dapat menahan dan melewatkan pergerakan bahan tertentu (Scot dan Hughes, 1996). Teknologi pemisahan

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Bab ini terdiri dari 6 bagian, yaitu optimasi pembuatan membran PMMA, uji kinerja membran terhadap air, uji kedapat-ulangan pembuatan membran menggunakan uji Q Dixon, pengujian aktivitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 52 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Penambahan PEG Terhadap Ketebalan Membran Fabrikasi membran menggunakan PES dengan berat molekul 5900, dengan PEG sebagai zat aditif dan menggunakan DMAc sebagai

Lebih terperinci

PERILAKU MEMBRAN KOMPOSIT NANOPORI SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA (CA-PS) AKIBAT PENGARUH SUHU DAN SURFAKTAN NOVI INDRIANI

PERILAKU MEMBRAN KOMPOSIT NANOPORI SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA (CA-PS) AKIBAT PENGARUH SUHU DAN SURFAKTAN NOVI INDRIANI PERILAKU MEMBRAN KOMPOSIT NANOPORI SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA (CA-PS) AKIBAT PENGARUH SUHU DAN SURFAKTAN NOVI INDRIANI Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian tugas akhir ini dibuat membran bioreaktor ekstrak kasar enzim α-amilase untuk penguraian pati menjadi oligosakarida sekaligus sebagai media pemisahan hasil penguraian

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI. Oleh : DESIYARNI

PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI. Oleh : DESIYARNI PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA ASETAT DARI SELULOSA MIKROBIAL UNTUK MEMBRAN ULTRAFILTRASI Oleh : DESIYARNI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERANCANGAN PROSES PEMBUATAN SELULOSA

Lebih terperinci

Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat

Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat Diajukan oleh Tika Kumala Sari (3310100072) Dosen Pembimbing Alia

Lebih terperinci

Halaman Pengesahan Skripsi

Halaman Pengesahan Skripsi Halaman Pengesahan Skripsi Nama / NIM : Triyo Hadi Wibowo (L2C 308 037) Nama / NIM : Yanuar Puspo Wijayanto (L2C 308 039) Program Studi : Program Studi Strata 1 (S1) Teknik Kimia Fakultas : Teknik Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PARAMETER PADA PROSES PEMINTALAN TERHADAP KARAKTERISTIK MEMBRAN SERAT BERONGGA DARI POLISULFON

PENGARUH BERBAGAI PARAMETER PADA PROSES PEMINTALAN TERHADAP KARAKTERISTIK MEMBRAN SERAT BERONGGA DARI POLISULFON PENGARUH BERBAGAI PARAMETER PADA PROSES PEMINTALAN TERHADAP KARAKTERISTIK MEMBRAN SERAT BERONGGA DARI POLISULFON T 541.3 RAT ABSTRAK Membran serat berongga.. dibuat dengan proses pemintalan kering-basah

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK MENINGKATKAN PERMEABILITAS (FLUKS) DAN PERMSELEKTIVITAS (KOEFISIEN REJEKSI) MEMBRAN SELULOSA ASETAT

PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK MENINGKATKAN PERMEABILITAS (FLUKS) DAN PERMSELEKTIVITAS (KOEFISIEN REJEKSI) MEMBRAN SELULOSA ASETAT PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK MENINGKATKAN PERMEABILITAS (FLUKS) DAN PERMSELEKTIVITAS (KOEFISIEN REJEKSI) MEMBRAN SELULOSA ASETAT Maria Erna 1, T Ariful Amri, Resti Yevira 2 1) Program Studi Pendidikan Kimia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Fabrikasi Membran PES Fabrikasi membran menggunakan bahan baku polimer PES dengan berat molekul 5200. Membran PES dibuat dengan metode inversi fasa basah yaitu

Lebih terperinci

VOLUME 4 NO. 4, DESEMBER 2008

VOLUME 4 NO. 4, DESEMBER 2008 VOLUME 4 NO. 4, DESEMBER 28 SINTESIS DAN UJI KEMAMPUAN MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI NATA DE COCO SEBAGAI MEMBRAN ULTRAFILTRASI UNTUK MENYISIHKAN ZAT WARNA PADA AIR LIMBAH ARTIFISIAL Muhammad Lindu 1, Tita

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS. ERFAN PRIYAMBODO NIM : Program Studi Kimia

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS. ERFAN PRIYAMBODO NIM : Program Studi Kimia PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh ERFAN PRIYAMBODO NIM : 20506006

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN. Pengambilan Protein Dalam Virgin Coconut Oil. (VCO) Dengan Metode Membran Ultrafiltrasi DISUSUN OLEH : HAFIDHUL ILMI ( )

LAPORAN PENELITIAN. Pengambilan Protein Dalam Virgin Coconut Oil. (VCO) Dengan Metode Membran Ultrafiltrasi DISUSUN OLEH : HAFIDHUL ILMI ( ) LAPORAN PENELITIAN Pengambilan Protein Dalam Virgin Coconut Oil (VCO) Dengan Metode Membran Ultrafiltrasi DISUSUN OLEH : HAFIDHUL ILMI (0731010045) BAGUS ARIE NUGROHO (0731010054) JURUSAN TEKNIK KIMIA

Lebih terperinci

Kelompok B Pembimbing

Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester II 2007/2008 APLIKASI MEMBRAN CA/ZEOLIT UNTUK PEMISAHAN CAMPURAN ALKOHOL-AIR Kelompok B.67.3.13 Indria Gusmelli (13004106) Aziza Addina Permata (13004107) Pembimbing Dr. Irwan

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -ZrO 2 -TiO 2 TESIS. M. ALAUHDIN NIM : Program Studi Kimia

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -ZrO 2 -TiO 2 TESIS. M. ALAUHDIN NIM : Program Studi Kimia PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -ZrO 2 -TiO 2 TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh M. ALAUHDIN NIM : 20506017

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR MEMBRAN POLYSULFONES ASIMETRIK UNTUK PENGOLAHAN AIR SUMUR KERUH SECARA ULTRAFILTRASI

LAPORAN AKHIR MEMBRAN POLYSULFONES ASIMETRIK UNTUK PENGOLAHAN AIR SUMUR KERUH SECARA ULTRAFILTRASI LAPORAN AKHIR MEMBRAN POLYSULFONES ASIMETRIK UNTUK PENGOLAHAN AIR SUMUR KERUH SECARA ULTRAFILTRASI Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Komposisi Pelarut Terhadap Kinerja dan Sifat Fisikokimia Membran Selulosa Asetat ABSTRACT

Pengaruh Variasi Komposisi Pelarut Terhadap Kinerja dan Sifat Fisikokimia Membran Selulosa Asetat ABSTRACT Jurnal ILMU DASAR, Vol. 13 No. 1, Januari 2012: 11-15 11 Pengaruh Variasi Komposisi Pelarut Terhadap Kinerja dan Sifat Fisikokimia Membran Selulosa Asetat Effect of Variation Solvent Composition on Performance

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, tergantung pada kondisi daerah setempat. Kondisi sumber air

Lebih terperinci

SKRIPSI AGUS NINGSIH

SKRIPSI AGUS NINGSIH PENGARUH SUHU AKTIVASI TERHADAP KUALITAS KARBON AKTIF SERBUK GERGAJI KAYU SEMBARANG YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI PENJERNIHAN AIR SUMUR Ds. SUMBER KARYA Kec. BINJAI TIMUR KOTA BINJAI SKRIPSI AGUS NINGSIH 090801001

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Pembuatan Pulp dari Serat Daun Nanas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Pembuatan Pulp dari Serat Daun Nanas BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pembuatan Pulp dari Serat Daun Nanas Pembuatan pulp dari serat daun nanas diawali dengan proses maserasi dalam akuades selama ±7 hari. Proses ini bertujuan untuk melunakkan

Lebih terperinci

Efektivitas Membran Hibrid Nilon6,6-Kaolin Pada Penyaringan Zat Warna Batik Procion

Efektivitas Membran Hibrid Nilon6,6-Kaolin Pada Penyaringan Zat Warna Batik Procion Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Efektivitas Membran Hibrid Nilon6,6-Kaolin Pada Penyaringan Zat Warna Batik Procion G. Yosephani, A. Linggawati, Muhdarina, P. Helzayanti, H. Sophia,

Lebih terperinci

PEMISAHAN LIMBAH CAIR KROM HASIL

PEMISAHAN LIMBAH CAIR KROM HASIL PEMISAHAN LIMBAH CAIR KROM HASIL PENYAMAKAN KULIT DENGAN METODE POLYMER ENHANCED ULTRAFILTRATION (PEUF) MENGGUNAKAN CARBOXY METHYL CELLULOSE SEBAGAI BAHAN PENGOMPLEKS Separation of Chrome Liquid Waste

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MODEL PERPINDAHAN MASSA PADA PEMEKATAN JUS JERUK SIAM DENGAN REVERSE OSMOSIS ADETIYA RACHMAN

MODEL PERPINDAHAN MASSA PADA PEMEKATAN JUS JERUK SIAM DENGAN REVERSE OSMOSIS ADETIYA RACHMAN MODEL PERPINDAHAN MASSA PADA PEMEKATAN JUS JERUK SIAM DENGAN REVERSE OSMOSIS ADETIYA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Pengaruh Medium Perendam...(Senny W dan Hartiwi D) PENGARUH MEDIUM PERENDAM TERHADAP SIFAT MEKANIK, MORFOLOGI, DAN KINERJA MEMBRAN NATA DE COCO

Pengaruh Medium Perendam...(Senny W dan Hartiwi D) PENGARUH MEDIUM PERENDAM TERHADAP SIFAT MEKANIK, MORFOLOGI, DAN KINERJA MEMBRAN NATA DE COCO Pengaruh Medium Perendam...(Senny W dan Hartiwi D) PENGARUH MEDIUM PERENDAM TERHADAP SIFAT MEKANIK, MORFOLOGI, DAN KINERJA MEMBRAN NATA DE COCO Senny Widyaningsih, Hartiwi Diastuti Program Studi Kimia,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MEMBRAN SELULOSA BAKTERI Acetobacter xylinum HASIL FERMENTASI DAGING KULIT BUAH SEMANGKA

KARAKTERISASI MEMBRAN SELULOSA BAKTERI Acetobacter xylinum HASIL FERMENTASI DAGING KULIT BUAH SEMANGKA KARAKTERISASI MEMBRAN SELULOSA BAKTERI Acetobacter xylinum HASIL FERMENTASI DAGING KULIT BUAH SEMANGKA R. Frenando 1, A. Dahliaty 2, A. Linggawati 3 Mahasiswa Program Studi S1 Kimia Bidang Biokimia Jurusan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung. Untuk

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR. Laporan Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat. Menyelesaikan pendidikan Diploma III. Pada Jurusan Teknik Kimia.

LAPORAN AKHIR. Laporan Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat. Menyelesaikan pendidikan Diploma III. Pada Jurusan Teknik Kimia. LAPORAN AKHIR PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK BERBASIS TANAH LIAT, ZEOLIT, NATRIUM KARBONAT (Na2CO3), DAN ASAM BORIK (H3BO3) TERHADAP PENGOLAHAN LIMBAH POME Laporan Akhir ini disusun sebagai

Lebih terperinci

SIDANG SEMINAR TUGAS AKHIR

SIDANG SEMINAR TUGAS AKHIR L/O/G/O SIDANG SEMINAR TUGAS AKHIR PEMANFATAAN SABUT KELAPA SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN MEMBRAN UNTUK DESALINASI AIR LAUT The Used of Coconut Husk as Raw Material for The Fabrication of Seawater Membrane

Lebih terperinci

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENJERNIHAN EKSTRAK DAUN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) DENGAN ULTRAFILTRASI ALIRAN SILANG Oleh : Fifi Isdianti F 34102078 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENJERNIHAN

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan

Lebih terperinci

KARAKTER MEMBRAN SELULOSA ASETAT AKIBAT PENAMBAHAN ZAT ADITIF MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

KARAKTER MEMBRAN SELULOSA ASETAT AKIBAT PENAMBAHAN ZAT ADITIF MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) Jurnal ILMU DASAR, Vol. 14 No. 1, Januari 2013: 33-37 33 KARAKTER MEMBRAN SELULOSA ASETAT AKIBAT PENAMBAHAN ZAT ADITIF MONOSODIUM GLUTAMATE ( Cellulose Acetate Membranes characters Due To Additions Additive

Lebih terperinci

PENINGKATAN MUTU MEMBRAN KOMPOSIT NANOPORI SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA MENGGUNAKAN POLI(ETILENA GLIKOL)-200 ROMI UTAMI SURGAYANI

PENINGKATAN MUTU MEMBRAN KOMPOSIT NANOPORI SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA MENGGUNAKAN POLI(ETILENA GLIKOL)-200 ROMI UTAMI SURGAYANI PENINGKATAN MUTU MEMBRAN KOMPOSIT NANOPORI SELULOSA ASETAT-POLISTIRENA MENGGUNAKAN POLI(ETILENA GLIKOL)-200 ROMI UTAMI SURGAYANI DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, hal. 131-136, 2013 ISSN 1412-5064 Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KINERJA MEMBRAN SELULOSA ASETAT UNTUK PENGOLAHAN AIR PAYAU DENGAN MODIFIKASI PENAMBAHAN ADITIF DAN PEMANASANN

PENINGKATAN KINERJA MEMBRAN SELULOSA ASETAT UNTUK PENGOLAHAN AIR PAYAU DENGAN MODIFIKASI PENAMBAHAN ADITIF DAN PEMANASANN PENINGKATAN KINERJA MEMBRAN SELULOSA ASETAT UNTUK PENGOLAHAN AIR PAYAU DENGAN MODIFIKASI PENAMBAHAN ADITIF DAN PEMANASANN Joko Supriyadi, Dhias Cahya Hakika, Tutuk D. Kusworo Jurusan Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

Sintesis dan Karakterisasi Membran untuk Proses Ultrafiltrasi

Sintesis dan Karakterisasi Membran untuk Proses Ultrafiltrasi Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 8, No. 2, hal. 84-88, 2011 ISSN 1412-5064 Sintesis dan Karakterisasi Membran untuk Proses Ultrafiltrasi Sri Aprilia 1, Amri Amin 2 1 Jurusan Teknik Kimia Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

APLIKASI MEMBRAN KITOSAN UNTUK MENYARING SKRIPSI OLEH: RENDRA RUSTAM PURNOMO JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

APLIKASI MEMBRAN KITOSAN UNTUK MENYARING SKRIPSI OLEH: RENDRA RUSTAM PURNOMO JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM APLIKASI MEMBRAN KITOSAN UNTUK MENYARING KADAR LOGAM PERAK (Ag) DALAM LIMBAH FIXER FILM RADIOGRAFI SKRIPSI OLEH: RENDRA RUSTAM PURNOMO JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI PELEPAH KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis ) MENGGUNAKAN METODE PELEBURAN ALKALI SKRIPSI M. HIDAYAT HASIBUAN

PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI PELEPAH KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis ) MENGGUNAKAN METODE PELEBURAN ALKALI SKRIPSI M. HIDAYAT HASIBUAN PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI PELEPAH KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis ) MENGGUNAKAN METODE PELEBURAN ALKALI SKRIPSI Oleh : M. HIDAYAT HASIBUAN 130425020 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 132-137, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.782 Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8

BAB III METODE PENELITIAN. selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini diawali dengan mensintesis selulosa asetat dengan nisbah selulosa Nata de Cassava terhadap pereaksi asetat anhidrida yaitu 1:4 dan 1:8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia saat ini mencapai

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Teknik

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Teknik SKRIPSI PENGARUH PEMANASAN MEMBRAN, PERBEDAAN TEKANAN DAN WAKTU PERMEASI PADA PEMISAHAN CO 2 /CH 4 UNTUK PEMURNIAN BIOGAS MENGGUNAKAN MEMBRAN POLYIMIDE DAN MEMBRAN CAMPURAN POLYIMIDE-ZEOLIT Diajukan untuk

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia. Industri memiliki potensi sebagai sumber terhadap pencemaran air, tanah dan udara baik secara langsung

Lebih terperinci

ERIK SETIAWAN PENGARUH FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK ATSIRI DARI DAUN NILAM (Pogostemon cablin Benth.

ERIK SETIAWAN PENGARUH FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK ATSIRI DARI DAUN NILAM (Pogostemon cablin Benth. ERIK SETIAWAN 10703091 PENGARUH FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK ATSIRI DARI DAUN NILAM (Pogostemon cablin Benth.) PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT MEMBRAN YANG TERBUAT DARI SARI KULIT BUAH NANAS MUHAMAD ANDRIANSYAH

SIFAT-SIFAT MEMBRAN YANG TERBUAT DARI SARI KULIT BUAH NANAS MUHAMAD ANDRIANSYAH SIFAT-SIFAT MEMBRAN YANG TERBUAT DARI SARI KULIT BUAH NANAS MUHAMAD ANDRIANSYAH DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 1 ABSTRAK MUHAMAD ANDRIANSYAH.

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SELULOSA ASETAT DARI ALFA SELULOSA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SELULOSA ASETAT DARI ALFA SELULOSA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SINTESIS DAN KARAKTERISASI SELULOSA ASETAT DARI ALFA SELULOSA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT M.Topan Darmawan, Muthia Elma, M.Ihsan Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, ULM Jl. A. Yani Km 36, Banjarbaru,

Lebih terperinci

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL ABSTRAK POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL Produksi minyak bumi mengalami penurunan berbanding terbalik dengan penggunaannya yang semakin meningkat setiap

Lebih terperinci

Efisiensi Pemurnian Minyak Nilam Menggunakan Distilasi Vacum Gelombang Mikro

Efisiensi Pemurnian Minyak Nilam Menggunakan Distilasi Vacum Gelombang Mikro LAPORAN TUGAS AKHIR Efisiensi Pemurnian Minyak Nilam Menggunakan Distilasi Vacum Gelombang Mikro (Efficiency Purification Patchouli Oil Using Microwave Vacum Distilation ) Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

Pemanfaatan Limbah Pelepah Pisang di Meteseh sebagai Bahan Baku pembuatan kertas dengan Proses Soda menggunakan Alat Digester

Pemanfaatan Limbah Pelepah Pisang di Meteseh sebagai Bahan Baku pembuatan kertas dengan Proses Soda menggunakan Alat Digester TUGAS AKHIR Pemanfaatan Limbah Pelepah Pisang di Meteseh sebagai Bahan Baku pembuatan kertas dengan Proses Soda menggunakan Alat Digester (Waste Utilization of Banana in Meteseh as Raw Material Soda Process

Lebih terperinci

SINTESIS DAN UJI KEMAMPUAN MEMBRAN MIKROFILTRASI SELULOSA ASETAT DARI NATA DE COCO UNTUK PENYISIHAN KEKERUHAN PADA AIR ARTIFISIAL

SINTESIS DAN UJI KEMAMPUAN MEMBRAN MIKROFILTRASI SELULOSA ASETAT DARI NATA DE COCO UNTUK PENYISIHAN KEKERUHAN PADA AIR ARTIFISIAL Sintesis dan Uji Kemampuan Membran Mikrofiltrasi Selulosa Asetat dari Nata De Coco untuk Penyisihan Kekeruhan Pada Air Artifisial (Muhammad Lindu) Akreditasi LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal 6 Mei 2010

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR SUMUR KERUH MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT BERBASIS KITOSAN-PVA SECARA ULTRAFILTRASI

PENGOLAHAN AIR SUMUR KERUH MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT BERBASIS KITOSAN-PVA SECARA ULTRAFILTRASI PENGOLAHAN AIR SUMUR KERUH MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT BERBASIS KITOSAN-PVA SECARA ULTRAFILTRASI Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Pembuatan Nata-de-coco Pada pembuatan nata-de-coco, digunakan air kelapa yang sebelumnya telah disaring dengan kain kasa untuk membersihkan air kelapa dari sisa-sisa kotoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang berasal dari sisa tanaman yang tertinggal pada saat pembukaan areal perkebunan, peremajaan dan panen kelapa sawit.

Lebih terperinci

Makalah Pendamping: Kimia Paralel F

Makalah Pendamping: Kimia Paralel F 344 PENGARUH PERENDAMAN ETANL PADA MEMBRAN PLISULFN TERHADAP FILTRASI DEKSTRAN T-70 (Effect of ethanol immersion of polysulfone membrane on Dextran T-70 filtration ) Edi Pramono 1, Cynthia L. Radiman 2

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung. Untuk keperluan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok senyawa polisakarida. Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok senyawa polisakarida. Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kitosan Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dan termasuk ke dalam kelompok senyawa polisakarida. Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin,

Lebih terperinci

PENURUNAN KANDUNGAN ZAT WARNA PADA LIMBAH SONGKET MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT BERBASIS KITOSAN-PVA SECARA ULTRAFILTRASI

PENURUNAN KANDUNGAN ZAT WARNA PADA LIMBAH SONGKET MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT BERBASIS KITOSAN-PVA SECARA ULTRAFILTRASI PENURUNAN KANDUNGAN ZAT WARNA PADA LIMBAH SONGKET MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT BERBASIS KITOSAN-PVA SECARA ULTRAFILTRASI LAPORAN AKHIR Diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etanol merupakan salah satu bahan kimia penting karena memiliki manfaat sangat luas antara lain sebagai pelarut, bahan bakar cair, bahan desinfektan, bahan baku industri,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MEMBRAN FILTRASI DARI KHITOSAN DENGAN BERBAGAI JENIS PELARUT ABSTRACT

KARAKTERISASI MEMBRAN FILTRASI DARI KHITOSAN DENGAN BERBAGAI JENIS PELARUT ABSTRACT Karakterisasi Membran Filtrasi dari Khitosan. KARAKTERISASI MEMBRAN FILTRASI DARI KHITOSAN DENGAN BERBAGAI JENIS PELARUT Nastiti Siswi Indrasti, Suprihatin, dan Feny Silvia Departemen Teknologi Industri

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat 3.1.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah jus jeruk siam Pontianak hasil mikrofiltrasi ukuran pori 0.1 µm dengan konsentrasi jus sebesar 6.5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kejadian penyakit gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat. Menurut data statistik yang dihimpun oleh PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), jumlah

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Serbuk Awal Membran Keramik Material utama dalam penelitian ini adalah serbuk zirkonium silikat (ZrSiO 4 ) yang sudah ditapis dengan ayakan 400 mesh sehingga diharapkan

Lebih terperinci

Pengaruh Suhu dan Tekanan Tangki Destilasi terhadap Kinerja Permeasi Uap dengan Membran Keramik dalam Pemurnian Larutan Etanol-Air

Pengaruh Suhu dan Tekanan Tangki Destilasi terhadap Kinerja Permeasi Uap dengan Membran Keramik dalam Pemurnian Larutan Etanol-Air Pengaruh Suhu dan Tekanan Tangki Destilasi terhadap Kinerja Permeasi Uap dengan Membran Keramik dalam Pemurnian Larutan Etanol-Air Misri Gozan 1, Said Zul Amraini 2 Alief Nasrullah Pramana 1 1 Departemen

Lebih terperinci

PENENTUAN DERAJAT SUBSTITUSI (DS) SELULOSA ASETAT DARI TANDAN KOSONG SAWIT DENGAN CARA TITRASI DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT (PPKS) MEDAN

PENENTUAN DERAJAT SUBSTITUSI (DS) SELULOSA ASETAT DARI TANDAN KOSONG SAWIT DENGAN CARA TITRASI DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT (PPKS) MEDAN PENENTUAN DERAJAT SUBSTITUSI (DS) SELULOSA ASETAT DARI TANDAN KOSONG SAWIT DENGAN CARA TITRASI DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT (PPKS) MEDAN KARYA ILMIAH LOLI LUBIS 082401026 PROGRAM STUDI DIPLOMA III

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS DAN TEMPERATUR KOAGULAN TERHADAP MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK MEMBRAN SELULOSA ASETAT

PENGARUH JENIS DAN TEMPERATUR KOAGULAN TERHADAP MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK MEMBRAN SELULOSA ASETAT PENGARUH JENIS DAN TEMPERATUR KOAGULAN TERHADAP MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK MEMBRAN SELULOSA ASETAT C. L. Radiman, dan I. Eka Kelompok Keilmuan Kimia Anorganik dan Fisik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fundamental Proses Ultrafiltrasi Membran adalah suatu lapisan tipis yang memisahkan dua fase dan membatasi pengangkutan berbagai bahan kimia secara selektif. Membran dapat berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk bisa terus bertahan hidup tentu saja sangat tergantung pada ada atau

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk bisa terus bertahan hidup tentu saja sangat tergantung pada ada atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu materi penting yang ada di bumi dan terdapat dalam fasa cair, uap air maupun es. Kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya untuk bisa terus

Lebih terperinci

PEMURNIAN MINYAK NILAM DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DISTILASI VAKUM GELOMBANG MIKRO UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATCHOULI ALCOHOL

PEMURNIAN MINYAK NILAM DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DISTILASI VAKUM GELOMBANG MIKRO UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATCHOULI ALCOHOL LAPORAN TUGAS AKHIR PEMURNIAN MINYAK NILAM DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DISTILASI VAKUM GELOMBANG MIKRO UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATCHOULI ALCOHOL (Purification Patchouli oil By Use Of Microwave Distillation

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KAIN JUMPUTAN DENGAN MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN-PVA

LAPORAN AKHIR PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KAIN JUMPUTAN DENGAN MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN-PVA LAPORAN AKHIR PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KAIN JUMPUTAN DENGAN MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN-PVA Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik

Lebih terperinci

Variasi Konsentrasi Larutan Dan ph Larutan Sodium Dodesil Sulfat Terhadap Proses Pemisahan Pada Membran Selulosa Asetat

Variasi Konsentrasi Larutan Dan ph Larutan Sodium Dodesil Sulfat Terhadap Proses Pemisahan Pada Membran Selulosa Asetat Variasi Konsentrasi Larutan Dan ph Larutan Sodium Dodesil Sulfat Terhadap Proses Pemisahan Pada Membran Selulosa Asetat Dwi Indarti*, Elis Nur Farida, Ika Oktavianawati Jurusan Kimia, FMIPA,Universitas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENURUNAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN-PVA

LAPORAN AKHIR PENURUNAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN-PVA LAPORAN AKHIR PENURUNAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PELAPISAN LOGAM MENGGUNAKAN MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN-PVA Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan

Lebih terperinci

SINTESIS MEMBRAN SELULOSA ASETAT UNTUK DESALINASI AIR PAYAU

SINTESIS MEMBRAN SELULOSA ASETAT UNTUK DESALINASI AIR PAYAU SINTESIS MEMBRAN SELULOSA ASETAT UNTUK DESALINASI AIR PAYAU Vany Silvia 1, Jhon Armedi Pinem 2, Rozanna Sri Irianty 3 1 Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Riau Kampus Binawidya Jl.

Lebih terperinci

PEMISAHAN DENGAN MEMBRAN (MEM)

PEMISAHAN DENGAN MEMBRAN (MEM) MODUL PRAKTIKUM LABORATORIUM INSTRUKSIONAL TEKNIK KIMIA PEMISAHAN DENGAN MEMBRAN (MEM) Disusun oleh: Felix Christopher Dr. I Gede Wenten Dr. Ardiyan Harimawan PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Pembuatan Membran 4.1.1 Membran PMMA-Ditizon Membran PMMA-ditizon dibuat dengan teknik inversi fasa. PMMA dilarutkan dalam kloroform sampai membentuk gel. Ditizon dilarutkan

Lebih terperinci

MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI MAHKOTA BUAH NANAS (Ananas Comocus) SEBAGAI FILTER DALAM TAHAPAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH SARUNG TENUN SAMARINDA

MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI MAHKOTA BUAH NANAS (Ananas Comocus) SEBAGAI FILTER DALAM TAHAPAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH SARUNG TENUN SAMARINDA MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI MAHKOTA BUAH NANAS (Ananas Comocus) SEBAGAI FILTER DALAM TAHAPAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH SARUNG TENUN SAMARINDA CELLULOSE ACETATE MEMBRANE FROM PINEAPPLE CROWN (Ananas Comocus)

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DAN UJI KEMAMPUAN SERBUK AMPAS KELAPA ASETAT SEBAGAI ADSORBEN BELERANG DIOKSIDA (SO 2 )

KARAKTERISASI DAN UJI KEMAMPUAN SERBUK AMPAS KELAPA ASETAT SEBAGAI ADSORBEN BELERANG DIOKSIDA (SO 2 ) KARAKTERISASI DAN UJI KEMAMPUAN SERBUK AMPAS KELAPA ASETAT SEBAGAI ADSORBEN BELERANG DIOKSIDA (SO 2 ) Yohanna Vinia Dewi Puspita 1, Mohammad Shodiq Ibnu 2, Surjani Wonorahardjo 3 1 Jurusan Kimia, FMIPA,

Lebih terperinci

Analisa Pengaruh Variasi Penambahan Massa Nilon pada Preparasi Membran Nilon terhadap Karakteristik Fisik Membran

Analisa Pengaruh Variasi Penambahan Massa Nilon pada Preparasi Membran Nilon terhadap Karakteristik Fisik Membran Analisa Pengaruh Variasi Penambahan Massa Nilon pada Preparasi Membran Nilon terhadap Karakteristik Fisik Membran Aris Fanani*, Wahyunanto Agung Nugroho, Yusuf Hendrawan Jurusan Keteknikan Pertanian -

Lebih terperinci

MODIFIKASI MEMBRAN SELULOSA ASETAT SEBAGAI MEMBRAN ULTRAFILTRASI: STUDI PENGARUH KOMPOSISI TERHADAP KINERJA MEMBRAN

MODIFIKASI MEMBRAN SELULOSA ASETAT SEBAGAI MEMBRAN ULTRAFILTRASI: STUDI PENGARUH KOMPOSISI TERHADAP KINERJA MEMBRAN PKMP-2-12-1 MODIFIKASI MEMBRAN SELULOSA ASETAT SEBAGAI MEMBRAN ULTRAFILTRASI: STUDI PENGARUH KOMPOSISI TERHADAP KINERJA MEMBRAN Ali Muhammad Yusuf Shofa, Lutviatus Soliha, Ratna Tri Fauzia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

Kombinasi Proses Koagulasi dan Sistem Ultrafiltrasi dengan Membran Poliakrilonitril untuk Pemurnian Air Berwarna

Kombinasi Proses Koagulasi dan Sistem Ultrafiltrasi dengan Membran Poliakrilonitril untuk Pemurnian Air Berwarna Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 4, Hlm. 173-179, Desember 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i4.1230 Kombinasi Proses Koagulasi dan Sistem Ultrafiltrasi dengan Membran

Lebih terperinci

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG SKRIPSI MARLINA PURBA

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG SKRIPSI MARLINA PURBA PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG SKRIPSI MARLINA PURBA 130822002 DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci