KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H"

Transkripsi

1 KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 RINGKASAN RINDANG BANGUN PRASETYO. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI). Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu negara. Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negaranegara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ketimpangan dalam pembanguan ekonomi bukan hanya terjadi antar kawasan perekonomian Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), melainkan juga terjadi di dalam kawasan itu sendiri. KBI yang merupakan penyumbang PDB terbesar pun masih mempunyai ketimpangan antar propinsi yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita setiap propinsi di KBI. Fenomena ketimpangan antar wilayah, baik antar KBI dan KTI maupun antar propinsi dalam KBI itu sendiri, salah satunya disebabkan oleh perbedaan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran pembangunan ekonomi di KBI dan bagaimana ketimpangan yang ada, serta menganalisis besarnya pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di KBI. Gambaran pembangunan ekonomi dari tahun 1995 sampai 2007 di KBI ditunjukkan melalui analisis diskiptif dan analisis spasial mengenai pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, dan struktur ekonomi, serta ditambahkan analisis Location Quotient (LQ) untuk melihat sektor unggulan. Untuk mengetahui ketimpangan di KBI digunakan indeks Williamson yang dilanjutkan dengan pengklasifikasian propinsi dengan tipologi Klassen. Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat besarnya pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di KBI. Infrastruktur yang diteliti meliputi: panjang jalan, listrik, dan air bersih. Pada tahap ini analisis dilakukan dengan menggunakan data 14 propinsi di KBI dan pada kurun waktu 12 tahun ( ). Dengan menggunakan model fixed effect ditemukan bahwa masing-masing infrastruktur memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga pendapatan per kapita. Tingkat elastisitas masing-masing infrastruktur berbeda-beda satu dangan lainnya.

4 KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Rindang Bangun Prasetyo Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul : Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Muhammad Firdaus, Ph.D NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP Tanggal lulus:

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, September 2008 Rindang Bangun Prasetyo NIM. H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Rindang Bangun Prasetyo lahir pada tanggal 10 Februari 1980, di Magelang (Jawa Tengah). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Waluyo dan Ibu Wagiyanti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Arjosari 1 Tirtomoyo, Wonogiri pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Karanganyar pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Karanganyar, Jawa Tengah dan lulus pada tahun Setelah tamat SMA, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus mengikuti proses matrikulasi dan menyusun skripsi pada akhir kegiatan matrikulasi tersebut sebagai syarat memasuki jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun skripsi ini.

8 KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI) ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, September 2008 Rindang Bangun Prasetyo H

9 UCAPAN TERIMA KASIH Puja dan puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1. Muhammad Firdaus, Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan mencurahkan perhatiannya dalam penyelesaian skripsi ini. 2. M. Parulian Hutagaol, Ph.D., selaku dosen penguji yang telah bersedia untuk menguji penulis dan memberikan saran dan masukan demi perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Restumu adalah kunci surga bagiku. 4. Yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan menyemangatiku, Fara Shintha Julhija Karim istriku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa melindungimu. 5. Segenap dosen pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi IPB yang telah mentransfer ilmunya kepada penulis dengan penuh tanggung jawab. 6. Rekan-rekan mahasiswa kelas khusus BPS-IPB angkatan 2008, semoga semakin kompak dan sukses selalu. 7. Semua pihak yang telah berperan dalam mendukung terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI.... DAFTAR TABEL..... DAFTAR GAMBAR.... DAFTAR LAMPIRAN..... I. PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Kegunaan penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pertumbuhan Ekonomi. 2.2 Wilayah Perekonomian Indonesia Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pengertian Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2.4 Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional Perubahan Struktur Ekonomi Sektor Unggulan Infrastruktur. 2.8 Model Regresi Data Panel Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu Studi Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Studi Mengenai Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis i iv vi viii

11 3.1.1 Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow Hipotesa Neoklasik Teori Pusat Pertumbuhan Hubungan antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.... IV. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data 4.2 Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis Spasial Location Quotient (LQ) Analisis Ketimpangan (Indeks Williamson) Klassen Typologi Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan per Kapita Software Analisis Data... V. GAMBARAN UMUM KBI Kondisi Geografis Kondisi Penduduk Kondisi Perekonomian Kondisi Infrastruktur... VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Diskripsi Pembangunan Ekonomi di KBI Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan per Kapita KBI Struktur Perekonomian KBI Sektor Unggulan di KBI 6.2 Tingkat Ketimpangan Pembanguanan Ekonomi Regional KBI. 6.3 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan per Kapita di KBI

12 6.3.1 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi KBI Pengaruh Infrastruktur terhadap Pendapatan per Kapita KBI VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. 7.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL Nomor Halaman PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha, 2007 (Juta Rupiah) Coefficient of Variation PDRB di beberapa Negara Berkembang, 1997 Klasifikasi propinsi di KBI menurut klassen typologi... Luas Area, Jumlah Kabupaten, dan Jumlah Kota Menurut Propinsi di KBI, Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan, dan Sex Rasio menurut Propinsi di KBI, Produk Domestik Regional Bruto ADHK 2000 menurut Propinsi di KBI, Distribusi Persentase PDRB ADHB (Struktur Ekonomi) menurut Lapangan Usaha dan Propinsi di KBI, Jumlah Proyek dan Nilai Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Propinsi di KBI, Panjang Jalan menurut Kondisi Jalan dan Propinsi di KBI, Besarnya Daya Listrik Tersambung menurut Kelompok Pelanggan dan Propinsi di KBI (GWh), Jumlah Pelanggan Listrik PT. PLN menurut Kelompok Pelanggan dan Propinsi di KBI, Jumlah Pelanggan dan Kapasitas Perusahaan Air Bersih menurut Propinsi di KBI, Petumbuhan PDRB menurut Lapangan Usaha di KBI, Petumbuhan PDRB menurut Propinsi di KBI, Jumlah PDRB per Kapita menurut Kawasan,

14 Nilai Location Quotient menurut Lapangan Usaha di KBI, Tahun Nilai Location Quotient menurut Lapangan Usaha dan Propinsi di KBI, Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastrutur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di KBI (14 Propinsi). Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastrutur terhadap Pendapatan per Kapita di KBI (14 Propinsi)

15 DAFTAR GAMBAR Nomor 1.1 Peta Tematik PDRB Propinsi dan Kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia, Halaman Grafik PDRB per Kapita menurut Propinsi di KBI, Peta Pembagian wilayah perekonomian Indonesia. Hipotesa Neoklasik.. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional. Peta Tematik Wilayah Kawasan Barat Indonesia... Peta Tematik Kepadatan Penduduk menurut Propinsi di KBI, Peta Tematik Pendapatan per Kapita menurut Propinsi di KBI, Tahun Grafik Panjang Jalan menurut Jenis Permukaan dan Kawasan di Indonesia, Grafik Energi Listrik Terjual menurut Kelompok Pelanggan dan Kawasan di Indonesia (GWh), Peta Tematik Energi Listrik Terjual Per kapita menurut Propinsi di KBI (kwh Jual/Kapita), Peta Tematik Rata-rata Penggunaan Air Bersih per Pelanggan (m3) menurut Propinsi di KBI, Grafik Pertumbuhan PDRB menurut Kawasan Perekonomian, Tahun Struktur Ekonomi/ Kontribusi PDRB menurut Lapangan Usaha di KBI, 2007 Struktur Ekonomi KBI dan KTI menurut Lapangan Usaha, Peta Tematik Struktur Ekonomi menurut Propinsi di KBI, 2007 Peta Tematik Nilai LQ Terbesar menurut Propinsi di KBI,

16 Grafik Indeks Ketimpangan di KBI, Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita propinsipropinsi di KBI, Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita propinsipropinsi di KBI (kecuali Aceh, Riau, DKI)

17 DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 Uji Hausman pada Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Halaman Hasil Estimasi Eviews Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Uji Hausman pada Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pendapatan per Kapita. Hasil Estimasi Eviews Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pendapatan per Kapita

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Selain itu, pembangunan juga mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual. Guna mencapai sasaran yang diinginkan dalam pembangunan, maka pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu: meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial dalam kehidupannya (Todaro, 2006). Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu negara. Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negaranegara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur antara lain dengan besaran

19 2 yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk daerah. Di negara Indonesia selama pertengahan dekade 1990-an, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun sekitar 7,3 persen hingga 8,2 persen. Hal ini menjadikan Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut pendapatan per kapita yang diperoleh Indonesia juga mengalami kenaikan yang pesat tiap tahunnya. Akan tetapi akibat krisis moneter yang terjadi, menyebabkan pendapatan per kapita Indonesia turun drastis yang pada tahun 1993 sekitar 800 US$ menjadi 640 US$ pada tahun 1998 dan turun lagi menjadi 580 US$ pada tahun Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi berada pada nilai negatif 13 persen. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu. Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai angka 6,28 persen. Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah

20 3 terciptanya kesenjangan/disparitas pembangunan antar daerah dan antar kawasan. Hal tersebut salah satunya didorong oleh persebaran sumber daya, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) yang tidak merata. Selain itu, keterbatasan infrastruktur pendukung kehidupan, khususnya transportasi dan prasarana/sarana permukiman berimplikasi munculnya wilayah atau kawasan yang tertinggal. Beberapa fakta kesenjangan tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian wilayah antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan kesenjangan kinerja pembangunan antar pulau besar seperti antar Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pada dasarnya proses pembangunan ekonomi di KBI berbeda dengan KTI, dari segi pertumbuhan ekonominya maupun dari kontribusi sektor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tersebut. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa kontribusi KBI dalam PDB nasional pada tahun 2007 sebesar 83,55 % sedangkan untuk KTI hanya sebesar 16,45 %. Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha, 2007 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha KBI KTI Jumlah Persentase Jumlah Persentase Pertanian ,22 76, ,04 23,47 Pertambangan dan Penggalian ,26 57, ,00 42,65 Industri Manufaktur ,16 88, ,65 11,18 Listrik Gas dan Air Bersih ,54 92, ,44 7,17 Bangunan ,40 83, ,34 16,78 Perdagangan, Hotel dan Restoran ,47 89, ,19 10,75 Pengangkutan dan Komunikasi ,98 82, ,49 17,18 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan ,83 92, ,02 7,89 Jasa-Jasa ,08 83, ,17 16,32 Total PDRB ,95 83, ,34 16,45 Sumber: PDRB BPS, 2007 (diolah)

21 4 Besarnya PDRB untuk masing-masing propinsi di Indonesia sangat beragam, dari referensi geografi dapat terlihat jelas bahwa nilai PDRB yang terbesar berada di Pulau Jawa, beberapa di Pulau Sumatera dan Kalimantan Timur. Hal ini menggambarkan ketimpangan distribusi pendapatan daerah antara KBI dan KTI. Dari gambar 1.1 juga dapat disimpulkan bahwa di KBI sendiri terdapat ketimpangan yang cukup besar, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. N Kilometers Legenda: Nilai PDRB Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 % KBI 83,55 % Gambar 1.1. Peta Tematik PDRB Propinsi dan Kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia, Sumber: PDRB BPS, 2007 (diolah) Ketimpangan antara KBI dan KTI inilah yang menyebabkan Pemerintah terus berupaya mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah di KTI dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang pro KTI, yaitu melalui: Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu melalui Keputusan Presiden Nomor. 89 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Keputusan Presiden Nomor. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Keputusan tersebut di atas merupakan langkah

22 5 kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan kawasan-kawasan andalan di setiap propinsi di KTI. Selain itu, Pemerintah juga menetpakan Kepres Nomor. 44 Tahun 2002 dan dilanjutkan dengan Impres Nomor. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan-kebijakan Pemerintah yang selalu memprioritaskan pembangunan di KTI seakan-akan melupakan peran KBI yang merupakan penyumbang PDB terbesar. Pembangunan ekonomi yang ada di KBI semakin kurang menjadi perhatian bagi Pemerintah maupun kalangan ekonom. Hal ini mungkin disebabkan oleh pembangunan ekonomi di KBI yang telah memuaskan bagi Pemerintah. Pembangunan ekonomi di KBI memang relatif lebih baik bila dibandingkan KTI, akan tetapi disisi lain ketimpangan antar propinsi di KBI sendiri masih jelas terlihat. Ketimpangan yang terjadi dapat dilihat antara propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa dengan propinsi-propinsi di pulau Sumatera. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi di KBI seharusnya juga menjadi perhatian bagi Pemerintah. Fenomena ketimpangan antar wilayah, baik antar KBI dan KTI maupun antar propinsi dalam kawasan itu sendiri, salah satunya disebabkan oleh perbedaan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Beberapa studi menunjukkan

23 6 bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB per kapita sebagai akibat dari naiknya satu persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai dengan 0,44 (World Bank, 1994). Pembangunan infrastruktur baik berupa prasarana transportasi (jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara), jaringan listrik dan komunikasi (telepon), instalasi dan jaringan air minum, serta pendidikan dan kesehatan yang merupakan infrastruktur sosial sangatlah penting dalam meningkatkan perekonomian di suatu wilayah. Prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak saja oleh rumah tangga namun juga oleh industri. Oleh sebab itu peningkatan prasarana infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pembanguan ekonomi. KBI, daerah dengan prasarana yang mencukupi, mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam usaha menarik investasi untuk masuk ke daerahnya serta akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan KTI, daerah yang memiliki prasarana yang minim. Pembangunan ekonomi yang telah dicapai provinsi-provinsi di KBI sangat didukung oleh fasilitas infrastruktur yang cukup memadai. Namun demikian, dalam peningkatan pembangunan ekonomi di KBI juga diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat. Strategi pembangunan ekonomi di KBI dapat dilakukan dengan menganalisis pembangunan ekonomi yang telah dicapai, melihat struktur perekonomian, dan mengetahui peranan infrastruktur terhadap pembangunan ekonomi di KBI.

24 Perumusan Masalah Ketimpangan dalam pembanguan ekonomi bukan hanya terjadi antar kawasan perekonomian (KBI dan KTI), melainkan juga terjadi di dalam kawasan itu sendiri. KBI yang merupakan penyumbang PDB terbesar pun masih mempunyai ketimpangan antar propinsi yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita propinsi di KBI. Bali Banten Jawa Timur D.I. Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara D.I. Aceh Gambar 1.2. Grafik PDRB per Kapita menurut Propinsi di KBI, 2007 Sumber: PDRB BPS, 2007 (diolah) Dari gambar 2, dapat dilihat bahwa PDRB per kapita propinsi-propinsi di KBI mempunyai perbedaan yang signifikan. Nilai PDRB per kapita DKI Jakarta dan Riau jauh diatas rata-rata. Demikian pula PDRB per kapita Bengkulu dan Lampung yang dibawah rata-rata. Hal ini mengidentifikasikan adanya ketimpangan antar propinsi di dalam KBI. Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan meningkatkan keterkaitan ekonomi antar daerah dan melakukan spesialisasi. Adanya spesialisasi komoditas sesuai dengan sektor/subsektor unggulan yang

25 8 dimiliki memungkinkan dilakukan pemusatan kegiatan sektoral pada masingmasing daerah. Demikian juga menurut Kuncoro dan Aswandi (2002) yang mengutip dari Samuelson dan Nordhaus (1995), menyatakan bahwa masyarakat dapat lebih efektif dan efesien jika terdapat pembagian kerja, yang membagi keseluruhan proses produksi menjadi unit-unit khusus yang terspesialisasi. Ekonomi spesialisasi telah memungkinkan terbentuknya jaringan perdagangan antar individu dan antar negara yang demikian luas, yang merupakan ciri dari suatu perekonomian maju. Adanya keterkaitan ekonomi (spesialisasi) antar daerah yang mendorong proses pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing, akan memungkinkan bergeraknya perekonomian masing-masing daerah secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan. Selain melakukan spesialisasi dalam rangka mempercepat pembangunan faktor infrastruktur mempunyai peranan sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Melalui penelitian ini akan dilihat apakah infrastruktur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, serta bagaimana kontribusi yang diberikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita dari masing-masing jenis infrastruktur yang diteliti. Berdasarkan uraian, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia?

26 9 2. Apakah terjadi ketimpangan antar propinsi di Kawasan Barat Indonesia? 3. Seberapa besar pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan gambaran pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia. 2. Mengklasifikasikan ketimpangan antar propinsi di Kawasan Barat Indonesia. 3. Menganalisis besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia Kegunaan Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran kepada pembaca mengenai kondisi pembangunan ekonomi yang terjadi di Kawasan Barat Indonesia (KBI), bagaimana ketimpangan yang ada dan kegiatan ekonomi apakah yang potensial di KBI. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan pemerintah yang terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait masalah pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur.

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terusmenerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Menurut Todaro (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi. Sukirno (2004), menerangkan beberapa faktor penting yang dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi. 1. Tanah dan kekayaan alam lainnya.

28 11 Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang terdapat. 2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja. Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi. 3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi. Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi. 4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat. Adat istiadat yang tradisional dapat menjadi penghambat pembangunan. Karakteristik faktor-faktor yang dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi di setiap negara/ wilayah berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan tingkat produksi di setiap negara/ wilayah berbeda-beda pula. Tingkat produksi dari suatu negara/ wilayah (output) yang dicapai dalam satu tahun tertentu, dapat digambarkan oleh besarnya Produk Domestik Bruto (PDB)/ Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (pendapatan nasional/ regional). Karena sesuai dengan konsep definisinya, PDB/ PDRB (menurut pendekatan produksi) merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara/wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara/ wilayah dapat diperoleh melalui tingkat pertumbuhan nilai PDB/PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Indeks

29 12 pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : PDRBit PDRBi( t 1) LP it = 100%..(1) PDRB i( t 1) Dimana: LP = Laju pertumbuhan ekonomi i = sektor 1,2, 9 t = tahun t PDRB juga dapat digunakan dalam melihat struktur ekonomi dari suatu wilayah. Struktur ekonomi digunakan untuk menunjukkan peran sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Sektor yang dominan mempunyai kedudukan paling atas dalam struktur tersebut dan akan menjadi ciri khas dari suatu perekonomian. Struktur ekonomi merupakan rasio antara PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) suatu sektor ekonomi pada suatu tahun dengan total PDRB ADHB tahun yang sama. Struktur ekonomi dinyatakan dalam persentase. Penghitungan struktur ekonomi adalah sebagai berikut: PDRB sektor it Struktur Ekonomi = 100% total PDRB t..(2) dimana: PDRB sektor t = PDRB suatu sektor ekonomi tahun t Total PDRB t = Total PDRB tahun t 2.2. Wilayah Perekonomian Indonesia Wilayah perekonomian Indonesia dapat dibagi menjadi dua kawasan yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Mengacu pada

30 13 Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Pasal 3 menyebutkan bahwa Kawasan Timur Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden ini meliputi propinsi-propinsi: Kawasan Timur Indonesia 1. Kalimantan Barat 8. Sulawesi Tengah 2. Kalimantan Tengah 9. Sulawesi Selatan 3. Kalimantan Selatan 10. Sulawesi Tenggara 4. Kalimantan Timur 11. Gorontalo 5. Nusa Tenggara Barat 12. Maluku 6. Nusa Tenggara Timur 13. Maluku Utara 7. Sulawesi Utara 14. Papua Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2002 maka dapat disimpulkan Kawasan Barat Indonesia meliputi semua propinsi lainnya yang berada di Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, yaitu: Kawasan Barat Indonesia 1. Daerah Istimewa Aceh 9. Bangka Belitung 2. Sumatera Utara 10. DKI Jakarta 3. Sumatera Barat 11. Jawa Barat 4. Riau 12. Jawa Tengah 5. Jambi 13. D.I. Yogyakarta 6. Sumatera Selatan 14. Jawa Timur 7. Bengkulu 15. Banten 8. Lampung 16. Bali Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat peta pembagian wilayah perekonomian Indonesia pada gambar 2.1.

31 14 1 N Kilometers Legenda: Kawasan Timur Indonesia Kawasan Barat Indonesia Gambar 2.1. Peta Pembagian Wilayah Perekonomian Indonesia 2.3. Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pengertian Produk Domestik Bruto (PDB) Produk domestik bruto (PDB) merupakan semua nilai tambah bruto (gross value added) barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi ini merupakan Produk Domestik Bruto. Tingkat pertumbuhan PDB dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur pertumbuhan ekonomi Beberapa alasannya yaitu: 1. PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas produksi di dalam perekonomian. Hal ini berarti peningkatan PDB juga mencerminkan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi tersebut.

32 15 2. PDB dihitung atas dasar konsep aliran (flow concept), artinya perhitungan PDB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu periode tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang dihasilkan pada periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep aliran guna menghitung PDB yakni untuk membandingkan jumlah nilai tambah yang dihasilkan pada tahun ini dengan tahun sebelumnya. 3. Batas wilayah perhitungan PDB adalah negara (wilayah domestik). Hal ini memungkinkan kita untuk mengukur sejauh mana kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu mendorong aktivitas perekonomian domestik. Data PDB yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah data PDB atas dasar harga konstan. Dengan menggunakan data PDB atas dasar harga konstan, maka pertumbuhan PDB mencerminkan pertumbuhan secara riil nilai tambah yang dihasilkan perekonomian dalam periode tertentu dengan referensi tahun tertentu. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing propinsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. Dengan diketahui peranan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang terdapat pada distribusi persentase sumbangan sektor ekonomi tertentu terhadap nilai PDRB total dan laju

33 16 pertumbuhan ekonomi masing-masing sektor, maka dapat direncanakan ke arah mana prioritas pembangunan ekonomi tersebut dilaksanakan. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menghitung angka-angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1) Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 2) Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 3) Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga nirlaba, (b) konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d) perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi. PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB per kapita Atas Dasar Harga Berlaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau per satu orang penduduk.

34 17 PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan /setiap sektor dari tahun ke tahun. Data PDRB ADHK lebih menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita. Pada penelitian ini digunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan PDRB ADHB menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah, sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian suatu daerah. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa terhadap faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional Sjafrizal (2008) Ketimpangan pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab itulah, tidak mengherankan bilamana pada setiap negara/ daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang.

35 18 Ketimpangan yang terjadi pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi dibandingkan negara maju. Semakin maju suatu negara maka akan semakin kecil ketimpanagan yang ada, hal ini ditunjukkan pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Coefficient of Variation PDRB di beberapa Negara Berkembang, 1997 Unitary System Federal System Indonesia 0,827 Russia 0,625 Thailand 0,787 Brazil 0,563 Philiphinese 0,530 Mexico 0,473 China 0,692 India 0,387 Uzbekistan 0,353 Pakistan 0,186 Sumber: Shankar dalam Firdaus (2006) Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga meempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah yaitu: 1) Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan 2) Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan 3) Pengembangan pusat pertumbuhan 4) Pelaksanaan otonomi daerah 2.5. Perubahan Struktur Ekonomi Menurut Kuznet dalam Todaro (2000) perubahan struktur eknomi atau transformasi struktural ditandai dengan adanya perubahan persentase sumbangan

36 19 berbagai sektor-sektor dalam pembangunan ekonomi, yang disebabkan intensitas kegiatan manusia dan perubahan teknologi. Perubahan struktur yang fundamental harus meliputi transformasi ekonomi bersamaan dengan transformasi sosial. Pemahaman tentang perubahan struktur perekonomian memerlukan pemahaman konsep-konsep sektor primer, sekunder dan tersier serta perbedaannya. Perubahan struktur yang terjadi dapat meliputi proses perubahan ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian. Selanjutnya hal yang mendasar dalam rangka perubahan struktur ekonomi adalah dimulai dari langkah-langkah yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan dan pemberdayaan sumber daya manusia. Dalam rangka mengupayakan langkah strategis tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Meningkatkan akses kedalam aset produksi 2. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat 3. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas susmber daya manusia. 4. Kebijakan industri hares mengarah pada penguatan industri rakyat. 5. Kebijakan ketenagakerjaan yang merangsang tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal bakal lapisan wira usaha bara, yang berkembang menjadi wira usaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang. 6. Pemerataan pembangunan antar daerah

37 20 7. Adanya perangkat peraturan perundangan yang memadai untuk melindungi dan mendukung perkembangan ekonomi rakyat yang ditujukan untuk kepentingan rakyat kecil Sektor Unggulan Struktur ekonomi di suatu daerah akan sangat tergantung dari seberapa besar kemampuan sektor-sektor dalam memproduksi barang dan jasa. Semakin besar nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu sektor ekonomi maka akan semakin besar pula tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap sektor ekonomi tersebut. Sektor ekonomi yang menjadi andalan perekonomian suatu daerah dapat disebut sebagai sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor ekonomi yang diharapkan dapat besaing dengan sektor/subsektor yang sama di daerah lain. Mawardi (1997) mengartikan sektor unggulan adalah sektor yang memiliki nilai tambah dan produksi yang besar, memiliki multiplier effects yang besar terhadap perekonomian lain serta memiliki permintaan yang tinggi baik pasar lokal maupun pasar ekspor. Pendapat lain mengatakan bahwa sektor unggulan adalah sektor ekonomi yang memenangkan persaingan. Dalam konteks kekhasan daerah, memenangkan persaingan ini lebih diutamakan pada keunggulan suatu sektor di suatu daerah dibandingkan sektor yang sama di daerah lain. Namun yang menjadi permasalahan adalah daerah mana yang akan digunakan sebagai pembanding. Suatu sektor pada daerah X mungkin kalah bersaing dengan sektor yang sama di daerah Y, tetapi bisa saja menang apabila dibandingkan dengan daerah Z. Oleh karena itu untuk mengatasinya digunakan daerah himpunan sebagai pembanding, misal dalam penelitian ini propinsi-propinsi yang ada di KBI

38 21 dibandingkan dengan total KBI dan total KBI sendiri dibandingkan dengan total Nasional. Penggunaan daerah himpunan sebagai pembanding karena pangsa daerah himpunan menggambarkan kondisi rata-rata seluruh daerah bagian dari seluruh himpunan tersebut. Jika pangsa suatu sektor di daerah lebih besar daripada pangsa sektor tersebut di daerah himpunan, artinya pangsa sektor itu lebih besar dibandingkan rata-rata pangsa seluruh daerah bagian, dapat disimpulkan bahwa sektor daerah tersebut unggul dibandingkan umumnya daerah bagian yang lain Infrastruktur Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Sistem Infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisiskan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg dalam Kodoatie 2003). The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga,

39 22 telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrasturktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut diatas dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga perlu diatur oleh pemerintah. Pengertian diatur tidak sama dengan dibangun oleh pemerintah, karena penyediaan infrastruktur tersebut dapat dikerjasamakan pembangunan dengan badan usaha, seperti yang diatur dalam Peraturan Presides Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Dijelaskan beberapa jenis Infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan badan usaha mencakup :

40 23 1. Infrastruktur transportasi, meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api; 2. Infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; 3. Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku; 4. Infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum; 5. Infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; 6. Infrastruktur telekomunikasi, meliputi jaringan telekomunikasi; 7. Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, transmisi atau distribusi tenaga listrik; dan 8. Infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak dan gas bumi. Pembedaan antara infrastruktur dasar dan lainnya tidaklah selalu sama dan dapat berubah menurut waktu. Misalnya telepon yang dulunya digolongkan sebagai infrastruktur pelengkap, sekarang digolongkan sebagai infrastruktur dasar Model Regresi Data Panel Model regresi data panel yang umum digunakan ada tiga macam, yaitu: 1. Model Ordinary Least Square (OLS) / Pooled Model Model ini mengasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Persamaan regresinya dapat ditulis sebagai berikut:, untuk i = 1,, N dan t = 1,,T..(3)

41 24 dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Implikasinya, akan diperoleh sebanyak T persamaan deret lintang (cross section) yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N x T observasi. Metode ini sederhana namun hasilnya tidak memadai kerena setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri. 2. Fixed Effects Model Asumsi dalam model ini adalah terdapat perbedaan antar individu, yang diakomodasi dalam intersep masing-masing individu. Misalkan y i dan X i merupakan T pengamatan untuk setiap unit ke-i, dan ε i yang disusun dalam vektor T x 1 merupakan vektor gangguan, maka model fixed effects dengan teknik variabel dummy dapat ditulis sebagai berikut:..(4) Untuk mengestimasi model fixed effects dimana intersep berbeda antar individu, maka digunakan teknik variabel dummy. Model estimasi ini seringkali disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Dengan demikian, persamaan (4) dapat ditulis sebagai berikut:..(5) Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-covarians residualnya, pada model fixed effects, ada 3 metode estimasi yang dapat digunakan, yakni:

42 25 a. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matriks varianscovarians residualnya diasumsikan bersifat homokedastik dan tidak ada cross sectional correlation, b. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): Cross Sectional Weight, jika struktur matriks varians-covarians residualnya diasumsikan bersifat heterokedastik dan tidak ada cross sectional correlation, c. Feasible Generalized Least Square (FGLS)/Seemingly Uncorrelated Regression (SUR), jika struktur matriks varians-covarians residualnya diasumsikan bersifat heterokedastik dan ada cross sectional correlation. 3. Random Effects Model Asumsi dalam model ini adalah terdapat perbedaan intersep untuk setiap individu dan intersep tersebut merupakan variabel random atau stokastik. Sehingga dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yakni residual secara menyeluruh ε it dan residual secara individu untuk model random effects dapat ditulis sebagai berikut: u i. Persamaan regresi..(6) Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model random effects. Secara matematis, asumsi-asumsi tersebut terdiri dari:..(7)..(8)..(9)..(10)

43 26..(11) Hal ini berarti bahwa komponen error tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada autokorelasi antara cross section dan time series. Komponen error w it pada persamaan (6) menjelaskan besarnya deviasi titik potong anggota panel dari nilai rata-rata. Komponen error ini tidak dapat diamati (unobservable or latent variable). Oleh sebab itu, asumsi sebelumnya juga harus mengikuti: Namun, bagaimanapun juga asumsi homokedastik dari w it menunjukkan adanya korelasi antara w it dan w is, yaitu:..(12) Oleh karena itu, metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien (Greene, 2005). Metode yang tepat untuk mengestimasi model random effects adalah Generalized Least Squares (GLS) dengan asumsi homokedastik dan tidak ada cross sectional correlation (Ekananda, 2006). GLS merupakan OLS dengan transformasi variabel yang memenuhi asumsi standar dari OLS (Manurung, 2005). Uji Signifikasi Model Regresi Data Panel Untuk memilih model regresi data panel terbaik, maka dapat dilakukan pengujian terhadap ketiga model tersebut, yaitu OLS/Pooled Model, Fixed Effects Model, dan Random Effects Model.

44 27 1. Uji Signifikansi Fixed Effects Model Untuk mengetahui apakah Model Fixed Effects lebih baik dari Model OLS, dapat dilakukan uji F, yaitu dengan melihat nilai residual sum of squares (RSS) kedua model. Hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep kedua model sama. Nilai F statistiknya dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut:..(13) dimana n: jumlah individu; k: jumlah parameter dalam model fixed effects; RSS 1 : residual sum of squares model OLS; RSS 2 : residual sum of squares model fixed effects. Nilai statistik F hitung mengikuti distribusi statistik F dengan derajat bebas (v1) sebanyak n-1 dan (v2) sebanyak nt-n-k. Jika nilai statistik F hitung lebih besar daripada F tabel pada tingkat signifikansi tertentu, maka hipotesis nol akan ditolak, yang berarti asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama tidak berlaku, sehingga teknik regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model OLS/pooled model. 2. Pengujian Signifikansi Fixed Effects Model atau Random Effects Model Untuk mengetahui apakah model fixed effects lebih baik dari model random effects, dapat digunakan uji Hausman. Unsur penting untuk metode ini adalah matriks kovarians dari perbedaan vektor..(14)

45 28 Hasil metode Hausman adalah bahwa perbedaan kovarians dari estimator yang efisien dengan estimator yang tidak efisien adalah nol, sehingga:..(15)..(16) Kemudian, dengan mensubstitusikan persamaan (16) ke dalam persamaan (15) akan menghasilkan matriks kovarians sebagai berikut:..(17) Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman ini akan mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut:..(18) Statistik uji Hausman di atas, mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas (k). Jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah model fixed effects dari pada model random effects. Pemilihan antara model fixed effects dengan random effects yang digunakan dalam analisis penelitian dapat didasarkan atas: 1. Segi kepentingan Bila penelitian ditujukan untuk melihat efek dari model terhadap masingmasing individu (propinsi), maka model efek tetap yang akan digunakan. 2. Segi kepraktisan

46 29 Jika tidak dapat ditentukan secara teoritis dampak dari gangguannya, maka model random effects dipilih jika data diambil dari sampel individu yang merupakan sampel acak dari populasi yang lebih besar, dengan kata lain menarik kesimpulan suatu populasi berdasarkan beberapa individu. Namun jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi bebarapa individu dengan penekanan pada individu - individu tersebut maka lebih baik digunakan model fixed effects (Hsiao, 1995). Cara lain dengan menggunakan ukuran relatif dari jumlah individu dan rentang waktu yang digunakan. Untuk jumlah individu yang tetap, semakin panjang waktu semakin kecil perbedaan hasil estimasi antara model fixed effects dan model random effects. Jika rentang waktu cukup panjang (T > N) maka dapat dipilih model fixed effects dengan alasan lebih mudah dikerjakan, sedangkan bila rentang waktu lebih sedikit dari jumlah individu (N > T) maka menggunakan model random effects. 3. Segi estimasi Tergantung dari tujuan penelitian untuk melihat estimasi yang mana yang paling baik digunakan dalam analisis. Pemilihan Estimator dengan Struktur Varians-Covarians Residual Masalah lain dalam estimasi pada analisis data panel adalah menentukan struktur varians-covarians dari residual yang lebih baik. Ada beberapa metode yang sesuai dengan asumsi pada struktur varians-covarians tersebut, yaitu: asumsi struktur homoskedastik, asumsi struktur heteroskedastik dan tidak ada cross sectional correlation, asumsi struktur heteroskedastik dan ada cross sectional

47 30 correlation (Seemingly Uncorrelated Regression/SUR), serta asumsi struktur adanya autokorelasi antar waktu pada error term. Pengujian asumsi di atas berbeda dengan pengujian dalam persamaan tunggal, dimana dalam analisis persamaan tunggal, dilakukan pengujian apakah terjadi gejala heteroskedastik ataukah autokorelasi untuk satu individu. Selanjutnya, dari hasil pengujian tersebut, dilakukan perbaikan (remidial) model agar didapatkan hasil estimasi yang BLUE. Namun, dalam analisis data panel pengujian dilakukan untuk menentukan estimator manakah yang lebih baik untuk melakukan estimasi. Estimator tersebut disesuaikan dengan kondisi matriks varians-covarians residual. A. Pemilihan Estimator Struktur Homoskedastik atau Heteroskedastik dengan Uji Langrange Multiplier (LM) Pada pengujian ini, hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa struktur varians-covarians residual bersifat homoskedastik. Sementara hipotesis alternatifnya (H1) adalah bahwa struktur varians-covarians residual bersifat heteroskedastik. Secara matematis, statistik uji yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut:..(19) dimana T adalah jumlah periode waktu, n adalah jumlah individu, σˆ i2 adalah varians residual persamaan ke-i pada kondisi homoskedastik, dan 2 σˆ adalah sum square residual persamaan system pada kondisi homoskedastik.

48 31 Statistik uji LM ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak n-1. Jika nilai statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik chisquare, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti struktur varians-covarians residual bersifat heteroskedastik. B. Pemilihan Estimator Struktur Heteroskedastik dan Tidak Ada Cross Sectional Correlation atau SUR dengan Uji LM Pengujian ini dilakukan apabila hasil pengujian LM pada poin (a) menunjukkan bahwa struktur varians-covarians residual bersifat heteroskedastik. Pada pengujian ini, hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa struktur varians-covarians residual bersifat heteroskedastik dan tidak ada cross sectional correlation. Sementara hipotesis alternatifnya (H1) adalah bahwa struktur varianscovarians residual bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional correlation (Seemingly Uncorrelated Regression/SUR). Secara matematis, statistik uji yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut:..(20) dimana T adalah jumlah periode waktu, n adalah jumlah individu, dan rij adalah residual correlation coefficient antara persamaan ke-i dan ke-j. Statistik uji LM ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak n(n-1)/2. Jika nilai statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti struktur varianscovarians residual bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional correlation (Seemingly Uncorrelated Regression/SUR).

49 32 Pengujian Keberartian Model Selanjutnya untuk mengetahui keberartian model, maka kriteria evaluasi regresi yang akan digunakan adalah: 1. Koefisien Determinasi (R 2 ) Uji R 2 digunakan untuk mengukur kebaikan atau kesesuaian suatu model persamaan regresi. Besaran R 2 dihitung dengan rumus:..(21) Dan adjusted R 2 dihitung dengan rumus:..(22) dimana: SSR : jumlah kuadrat yang dijelaskan Ssres : jumlah kuadrat kesalahan SST n T k : jumlah kuadrat total : jumlah individu (golongan pokok) : jumlah periode : banyaknya variabel bebas Adjusted R 2 digunakan karena sudah menghilangkan pengaruh penambahan variabel bebas dalam model. 2. Uji koefisien regresi secara simultan (uji F) Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersamasama signifikan mempengaruhi variabel tidak bebasnya.

50 33 Hipotesis pengujian: H1 : paling sedikit salah satu nilai β 1 0, dengan i = 1, 2,...,k Statistik uji F dihitung dengan formula sebagai berikut:..(23) R 2 adalah koefisien determinasi pada model terpilih, k adalah jumlah parameter tanpa intersep, n adalah jumlah individu, dan T adalah jumlah periode waktu. Hipotesis nul ditolak jika Fhitung > F α;(k-1,nt-n-k), yang berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya. Keputusan ini dapat juga didasarkan pada perbandingan nilai p-value dengan taraf nyata (α). Hipotesis nul ditolak jika nilai p-value lebih kecil dari taraf nyata (α). 3. Uji koefisien regresi secara parsial (uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebasnya. Hipotesis pengujian: H0 : β 1 = 0 H1 : β1 0 Statistik uji yang digunakan adalah statistik uji t-student. Adapun formulanya adalah sebagai berikut:..(24)

51 34 βˆ adalah nilai penduga parameter ke-i, ( ) i se βˆ adalah simpangan dari nilai i penduga parameter ke-i. Hipotesis nul ditolak jika Keputusan ini dapat juga didasarkan pada perbandingan nilai p-value dengan taraf nyata (α). Hipotesis nul ditolak jika nilai p-value lebih kecil dari (α). Hal ini berarti secara parsial variabel bebas ke-i signifikan mempengaruhi variabel tidak bebasnya dengan tingkat kepercayaan sebesar (1 α)100% Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu Studi Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Setiorini (2006) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Indonesia dari tahun 1998 dan 2003 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pertumbuhan pada beberapa propinsi terkait dengan pemekaran propinsi yang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebagai proses pemulihan ekonomi menunjukkan pertumbuhan yang positif. Kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional pada saat itu meningkat 12 persen. Penelitian ini menggunakan model shift share. Berdasarkan analisis shift share maka akan diketahui propinsi-propinsi yang memberikan sumbangan terbesar pada perekonomian nasional, propinsi-propinsi yang pertumbuhannya cepat atau lambat, dan propinsi-propinsi yang mampu berdaya saing. Pertumbuhan wilayah yang terjadi di 30 propinsi menunjukkan bahwa secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terbesar. Berdasarkan nilai pergeseran bersih terdapat

52 35 16 propinsi yang termasuk dalam propinsi yang pertumbuhannya progresif dan 14 propinsi lainnya termasuk dalam propinsi dengan pertumbuhan yang lamban. Profil pertumbuhan perekonomian menunjukkan bahwa propinsi yang mempunyai daya saing paling baik dan pertubuhan sektor-sektor ekonomi paling cepat adalah Propinsi Jawa Barat, sedangkan Propinsi Maluku merupakan propinsi yang mempunyai pertumbuhan paling lamban dengan daya saing sektor yang kurang baik. Hasil penelitian yang dilakukan Rudi (2006) tentang identifikasi sektor unggulan untuk mendukung perencanaan pembangunan ekonomi Kabupaten Toba Samosir menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dan struktur ekonomi di Kabupaten Toba Samosir selama periode dipengaruhi oleh besarnya nilai tambah dari sektor-sektor ekonomi yang didominasi sektor industri pengolahan. Pengaruh pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara berdampak positif bagi kegiatan ekonomi Kabupaten Toba Samosir. Besarnya pengaruh pertumbuhan propinsi terhadap pertumbuhan absolut Kabupaten Toba Samosir 38,42 persen atau Rp ,68 juta. Kabupaten Toba Samosir memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian Propinsi Sumatera Utara. Jika dilihat per sektor, yang memiliki daya saing lebih tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor LGA, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor unggulan dan potensial di Kabupaten Toba Samosir adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian,

53 36 sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana laju pertumbuhan dan struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir. Untuk menentukan typologi suatu daerah digunakan analisis klassen typologi. Analisis shift share, model rasio pertumbuhan (MRP), dan location quotient (LQ)digunakan untuk menentukan sektor unggulan. Hasil dari identifikasi dipetakan melalui analisis spasial. Yeni (2004) dalam penelitiannya tentang Pertumbuhan Dan Konvergensi Ekonomi Antar Regional Di Indonesia menggunakan data PDRB riil per kapita dengan migas tahun di 26 propinsi untuk melihat tingkat pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, mengetahui seberapa besar kesenjangan pendapatannya, dan menganalisis konvergensi ekonomi terjadi di Indonesia. Hasil Analisis yang dilakukannya menunjukkan secara rata-rata KTI tumbuh lebih cepat dibandingkan KBI, namun kesenjangan intra KTI juga lebih besar dibandingkan intra KBI. Sementara itu, analisis statis dan dinamis membuktikan eksistensi dari kedua konsep konvergensi di Indonesia. Dari analisis statis diketahui bahwa disparitas pendapatan per kapita antar regional cenderung menurun setiap tahun, kecuali di tahun Sedangkan analisis dinamis memperlihatkan kecepatan konvergensi yang sangat bervariasi antar periode waktu. Secara jangka panjang konvergensi berjalan lambat, 1,32 persen (52 tahun) untuk Indonesia (secara nasional) dan 1,63 persen (42 tahun) untuk KBI serta 1,04 persen (66 tahun) untuk KTI

54 Studi Mengenai Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyimpulkan bahwa infrastruktur (jalan, listrik, telepon) memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita. Terlihat perbedaan kontribusi dari setiap jenis infrastruktur untuk setiap wilayah. Sibarani juga menganalisis bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur yang terpusat di pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat (IBB) menimbulkan disparitas pendapatan perkapiia di masing-masing daerah di Indonesia, terutama antara pulau Jawa dengan luar Jawa dan Indonesia Bagian Barat (IBB) dengan Indonesia Bagian Timur (IBT), meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat. Model yang digunakan Sibarani didasarkan pada model Barro (1990) dengan infrastruktur sebagai input bagi agregat produksi. Asumsi yang digunakan Barro adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log A it = a i + b t yang merupakan fixed effects dari masing-masing propinsi dengan indeks i dan pertumbuhan produktivitas Indonesia secara keseluruhan dengan indeks t, dan juga diasumsikan adanya tingkat optimal dari infrastruktur yang dapat memaksimalkan laju pertumbuhan. Sedangkan Setiadi (2006) yang meneliti kaitan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di 8 propinsi di Pulau Sumatera menemukan bahwa peningkatan pendapatan per kapita dipengaruhi oleh pertumbuhan infrastruktur telepon dan listrik, serta peningkatan investasi non infrastruktur dan indeks pendidikan. Pertumbuhan total faktor productivity yang paling tinggi di Pulau

55 38 Sumatera adalah Propinsi Riau dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sedangkan yang terendah adalah Propinsi Lampung, propinsi lainnya memberikan pertumbuhan yang relatif sama. Sehingga pembangunan infrastruktur dibangun di Propinsi Riau atau NAD akan memberikan dampak yang lebih besar dari propinsi lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kapasitas infrastruktur yang masih dibawah tingkat kebutuhannya. Metode yang digunakan Setiadi yaitu regresi data panel. Menurut Setiadi model fixed effects lebih sesuai diaplikasikan, hal ini berarti terdapat perbedaan total factor productivity antar propinsi di Pulau Sumatera. Yanuar (2006) dalam penelitiannya tentang kaitan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan output menggunakan analisis panel data 26 propinsi dengan model fixed effects menemukan modal fisik (physical capital), infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan pendidikan memeberikan pengaruh terhadap output. Kesenjangan yang terjadi antar daerah dan wilayah menurut Yanuar dapat disebabkan oleh kesenjangan stok infrastruktur dan besaran produktivitas infrastruktur terhadap output. Pemerintah dalam kaitan ini perlu melakukan kebijakan prioritas pembangunan infrastruktur berdasarkan besaran produktifitasnya. Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur diharapkan dapat dilakukan pada jenis infrastruktur tertentu.

56 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yaitu: 1 ( AL) α Y = K α..(25) Dimana: Y : Produk domestik bruto (PDB) K : Stok modal fisik dan modal manusia L : Tenaga kerja A : Tingkat kemajuan teknologi α : Elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan PDB yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia.

57 40 Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik yang digambarkan oleh gambar 3.1. Ketimpangan Regional Kurva Ketimpangan Regional 0 Gambar 3.1. Hipotesa Neoklasik Tingkat Pembangunan Nasional Hipotesa Neoklasik Permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang Teori Pertumbuhan Neoklasik. Teori tersebut memprediksi hubungan antara tingkat

58 41 pembangunan ekonomi nasional dengan ketimpangan pembanguan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neoklasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan anatar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Kurva ketimpangan pembangunan berbentuk U terbalik, seperti pada gambar 3.1. Ketimpangan pada negara sedang berkembang relative lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat didaerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

59 42 Penelitian tentang hipotesis neoklasik dilakukan oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neoklasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks Williamson. Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan mengukur suatu perbedaan Teori Pusat Pertumbuhan Definisi pusat pertumbuhan menurut Richardson dalam Sjafrizal (2008) A growth pole was defined as a set of industries capable of generating dynamic growth in the economy, and strongly interrelated to each other via input-output lingkages around a leading industry (Propulsive Industry). Dari definisi terlihat bahwa terdapat empat karakteristik utama sebuah pusat pertumbuhan yaitu: (1) adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu; (2) konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam perekonomian; (3) terdapat keterkaitan input dan output yang kuat antara sesama kegiatan ekonomi pada pusat tersebut; (4) dalam

60 43 kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk yang mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pada pusat tersebut. Menurut Sjafrizal (2008) langkah pendirian pusat pertumbuhan diperlukan bebarapa langkah dan kegiatan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Langkahlangkah dalam pendirian pusat pertumbuhan yaitu: 1. Menetapkan lokasi pusat pertumbuhan dengan memperhatikan berbagai keuntungan lokasi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. 2. Meneliti potensi ekonomi wilayah terkait berikut komuditi unggulan yang sudah dimiliki atau potensial untuk dikembangkan. 3. Meneliti keterkaitan hubungan input dan output dari masing-masing industri dan kegiatan yang potensial dikembangkan pada pusat pertumbuhan tersebut. 4. Menentukan jenis prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mengembangkan pusat pertumbuhan tersebut. 5. Membentuk sebuah organisasi yang akan mengelola dan mengkoordinasikan pusat pertumbuhan tersebut Hubungan antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sturm dalam Sibarani (2002) ada beberapa cara untuk mencari hubungan antara investasi publik dengan pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah fungsi produksi dan fungsi biaya/ profit. a. Fungsi Produksi Modal publik masuk dalam fungsi produksi melalui produktivitas multifaktor (multifactor productivity) atau sebagai input dalam fungsi produksi.

61 44 Kelemahan model ini adalah variabel tenaga kerja dan modal merupakan variabel eksogen Beberapa peneliti menggunakan data regional dalam analisisnya untuk memberikan hasil yang penting terhadap desain kebijakan pemerintah lokal. Keuntungan penggunaan data regional adalah teknologi produksi yang sama antar daerah karena adanya kebebasan teknologi untuk ke luar masuk antar wilayah, hukum dan institusi politik yang tidak bervariasi terlalu besar antar daerah serta data yang ada cukup besar dan dikumpulkan dengan basis yang konsisten. Kelemahannya adalah faktor mobilitas yang relatif tinggi akibat adanya keterbukaan ekonomi antar daerah serta perlunya penanganan yang lebih baik mengingat penggunaan OLS yang mengabaikan efek spesifik regional akan memberikan hasil yang bias dan tidak konsisten. Contohnya wilayah yang lebih makmur akan melakukan investasi yang lebih banyak, sehingga ada korelasi positif antara efek spesifik negara bagian dan modal sektor publik (Holtz-Eakin, 1995). Studi dengan data agregat nasional umumnya mendapatkan elastisitas yang lebih besar dari pada data disagregat. Hal ini disebabkan adanya spillover effects dari investasi infrastruktur pada area geografi yang kecil tidak terlihat dengan baik (Munnell, 1990). Canning (1999) menyusun suatu model untuk melihat kontribusi infrastruktur terhadap aggregate output, dengan mendasarkan fungsi produksi Cobb Douglass. Model Canning ini mempunyai bentuk: Y it = A it K α it H β it X γ it 1 L U..(26) α β γ it it

62 45 Y adalah produk domestik regional bruto, A total faktor produksi (total factor productivity), K adalah modal fisik (physical capital), H adalah modal manusia (human capital), X adalah modal infrastruktur (infrastructure capital), L adalah jumlah penduduk (population), U adalah galat, i = indeks propinsi dan t adalah indeks waktu. b. Fungsi Biaya/ Profit Stok modal publik diestimasi dengan pendekatan perilaku (behavioural approach) baik dengan maksimisasi profit atau minimisasi biaya. Dua perbedaan antara pendekatan ini dengan fungsi produksi : 1. Penggunaan bentuk fungsional yang fleksibel menghilangkan batasan pada struktur produksi, sehingga dampak langsung maupun tidak langsung dari modal publik melalui input swasta dapat ditentukan. 2. Estimasi dengan fungsi produksi dapat menghasilkan persamaan simultan yang bias sedangkan pada behavioural approach tidak terjadi bias karena biaya atau keuntungan secara langsung diwakili. Kekurangan model ini adalah banyaknya parameter yang harus diestimasi sehingga dapat menimbulkan masalah multikolinearitas sehingga membutuhkan data yang banyak. Kelemahan lainnya adalah masalah non stasioner, bentuk fungsional yang fleksibel tidak menjamin global concavity dari fungsi biaya. c. Vector Auto Regression (VAR) VAR menggunakan sesedikit mungkin batasan dan teori ekonomi. VAR berorientasi pada data dan dampak tidak langsung dari modal publik turut

63 46 diperhitungkan. Variabel dijelaskan oleh lagsnya dan lag dari variabel lain yang berarti semua variabel diperlakukan sebagai jointly determined. Dengan Granger-causality Test dapat diketahui apakah satu variabel menjelaskan jalur waktu dari variabel lainnya. Keuntungan dari VAR adalah tidak perlu mengidentifikasi kondisi yang diturunkan dari teori ekonomi. Namun pendekatan VAR tidak secara sempurna menjelaskan proses produksi sehingga sukar untuk mencari elastisitas. Nilai elastisitas didapat melalui impulse response functions guna mengestimasi dampak jangka panjang dari suatu kejutan. Dan dengan Vector Moving Average (VMA) dapat diketahui time path dari berbagai kejutan pada variabel-variabel dalam sistem VAR Kerangka Pemikiran Operasional Pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) masih meninggalkan masalah yang sama dihadapi oleh beberapa wilayah, baik di Indonesia maupun negara lain. Masalah yang timbul adalah ketimpangan antar daerah dan antar wiayah. Hal ini disebabkan karena perbedaan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dalam formulasi kebijakan diperlukan suatu kajian yang lebih dalam terhadap suatu daerah atau wilayah yang akan dijadikan sasaran. Setiap daerah

64 47 atau wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pertumbuhan ekonomi dan struktur ekonomi merupakan ukuran yang harus diidentifikasi terlebih dahulu. Kawasan Barat Indonesi (KBI) merupakan kawasan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dari segi perekonomian maupun sarana prasarana yang ada. Namun demikian, di dalam KBI masih terjadi ketimpangan antar propinsi. Ketimpangan ini salah satunya terlihat dari ketersediaan fasilitas infrastruktur yang menunjang dalam kegiatan ekonomi. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap pembangunan ekonomi di KBI, dan meneliti besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia. Infrastruktur yang diteliti terdiri dari infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi yaitu: panjang jalan, fasilitas listrik, dan fasilitas air bersih. Dari rangkaian penelitian ini diharapkan dapat diambil kesimpulan untuk digunakan sebagai referensi penentuan kebijakan strategi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di KBI pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Untuk lebih jelas tentang kerangka operasional sehingga dapat memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka disajikan diagram alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 3.2.

65 48 Pembanguan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI) Pertumbuhan ekonomi Pendapatan per kapita Struktur perekonomian Sektor unggulan Masih terjadi ketimpangan Salah satunya disebabkan oleh perbedaan ketersediaan infrastruktur. Identifikasi Ketimpangan di KBI Klasifikasi daerah: - Daerah cepat maju dan cepat tumbuh - Daerah maju tapi tertekan - Daerah berkembang cepat - Daerah relatif tertinggal Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Pemabanguan ekonomi KBI - Panjang jalan - Listrik - Fasilitas air bersih Strategi Pembangunan Ekonomi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) Kesimpulan dan Saran Gambar 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

66 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Data yang akan diguanakan mencakup kurun waktu , akan tetapi karena keterbatasan data untuk analisis keterkaitan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi menggunakan data Data yang digunakan dalam kajian yaitu: 1. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 1993 seluruh Propinsi di Indonesia, yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor) tahun , yang dipublikasikan oleh BPS. 2. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku seluruh Propinsi di Indonesia, yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor) tahun , yang dipublikasikan oleh BPS. 3. Data kependudukan masing-masing propinsi di KBI yang didapatkan dari hasil Sensus Penduduk dan Survei Antar Sensus (SUPAS) tahun yang diambil dari buku Statistik Indonesia BPS. 4. Data panjang jalan menurut kondisi jalan di masing-masing propinsi KBI dari tahun , yang diambil dari publikasi Statistik Perhubungan BPS. 5. Data jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung untuk masing-masing propinsi KBI tahun , yang diambil dari PT. PLN. 6. Data jumlah pelanggan air bersih dan jumlah yang disalurkan di masingmasing propinsi KBI tahun , yang berasal dari Publikasi Statistik

67 50 Air Bersih BPS. 7. Sketsa Peta wilayah Indonesi per propinsi untuk melakukan analisis spasial yang bersumber dan dipublikasikan BPS Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai kondisi dari Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kondisi variabel-variabel pembangunan ekonomi di KBI dari tahun 1995 sampai Variabel-variabel pembangunan ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Selain itu analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran pembangunan infrastruktur di KBI Analisis Spasial Analisis spasial secara sederhana dapat di artikan sebagai analisis yang menggunakan referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari analisis tersebut selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang (wilayah). Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk/cara penyajian analisis spasial yang paling tepat.

68 51 Penyajian data dalam bentuk peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah kartografis yang pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa mengabaikan unsur estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah kartografis yang diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam proses visualisasi data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta. Dalam penyajian data spasial diperlukan dukungan suatu Sistem Informasi Geografi (SIG). Menurut Barus dan Wiradisastra dalam As-syukur (2006) SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan menurut Anon dalam As-syukur (2006) Sistem Informasi geografi adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geogrfis di bumi (georeference). Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Tujuan analisis spasial pada penelitian ini adalah membuat peta tematik yaitu peta yang akan memberikan gambaran suatu data atribut kedalam referensi geografi, misalkan: peta tematik nilai PDRB menurut propinsi di Indonesia. Analisis spasial juga digunakan untuk membuat peta tematik yang akan

69 52 memperlihatkan daerah dan sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan dan potensial Location Quotient (LQ) Balkely (1994) dalam Reika (2001) menyatakan bahwa Location Quotient (LQ) merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sektor di suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi/sektor yang sama pada tingkat nasional. Istilah wilayah nasional dapat diartikan untuk wilayah induk/wilayah atasan. Secara umum metode ini menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktivitas). LQ dimanfaatkan untuk mengidentifikasikan sumber-sumber pertumbuhan regional, menganalisis kecenderungan dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam lingkup daerah himpunannya. Secara operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase total aktivitas propinsi terhadap persentase total aktivitas nasional. Data yang bisa digunakan untuk analisis ini antara lain tenaga kerja, produksi suatu komoditas, atau PDRB. Analisis LQ pada penelitian ini digunakan untuk menentukan sektor unggulan perekonomian KBI dan sektor unggulan di masing-masing propinsi di dalam KBI. Rumus LQ yang digunakan adalah sebagai berikut: xij xi LQij =..(27) X X j

70 53 keterangan: Untuk sektor unggulan di KBI LQ ij : Indeks LQ sektor i KBI x ij : PDRB ADHK sektor i KBI x i : PDB ADHK sektor i Indonesia X j : Total PDRB ADHK KBI X : Total PDB ADHK Indonesia Untuk sektor unggulan tiap propinsi di KBI LQ ij : Indeks LQ sektor i propinsi x ij : PDRB ADHK sektor i propinsi x i : PDRB ADHK sektor i KBI X j : Total PDRB ADHK propinsi X : Total PDRB ADHK KBI Kriteria pengukuran model tersebut yaitu; a. Bila LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu di tingkat KBI lebih besar dari sektor yang sama di tingkat nasional atau tingkat spesialisasi sektor tertentu di tingkat propinsi lebih besar dari sektor yang sama di tingkat KBI; b. Bila LQ < 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu di tingkat KBI lebih kecil dari sektor yang sama di tingkat nasional atau tingkat spesialisasi sektor tertentu di tingkat propinsi lebih kecil dari sektor yang sama di tingkat KBI; c. Bila LQ = 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada tingkat KBI sama dengan sektor yang sama pada tingkat nasional atau tingkat spesialisasi sektor tertentu pada tingkat propinsi sama dengan sektor yang sama pada tingkat KBI. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila LQ > 1, berarti sektor tersebut merupakan sektor unggulan di daerah dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah. Begitupun sebaliknya bila nilai LQ < 1,

71 54 berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor unggulan di daerah dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah Analisis Ketimpangan (Indeks Williamson) Williamson dalam Sjafrizal (2008) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi. Penelitiannya menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan negara berkembang. Ternyata ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi semakin lebar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Indeks ketimpangan regional untuk menggambarkan ketimpangan propinsi-propinsi di KBI dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut: I W = 2 ( yi y) i y fi n..(28) I W y i f i y n = Indeks Williamson = PDRB per kapita di propinsi i = PDRB per kapita rata-rata di wilayah KBI = Jumlah penduduk di propinsi i = Jumlah penduduk di wilayah KBI Indeks Williamson besarnya antara nol dan satu. Semakin kecil angka yang dihasilkan menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dapat dikatakan makin merata. Tetapi jika angka yang didapat mendekati satu maka ketimpangan semakin lebar.

72 Klassen Typologi Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kesenjangan klasifikasi tiap propinsi di wilayah KBI. Menurut Sjafrizal (1997) Analisis ini didasarkan pada dua indikator utama yaitu rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan per kapita di suatu daerah. Analisis ini membagi empat klasifikasi daerah yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu: a. Kuadran I yaitu daerah maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata propinsi atau nasional. b. Kuadran II yaitu daerah maju tapi tertekan (low growth but high income) merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonominya lebih rendah tapi pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding rata-rata propinsi atau nasional. c. Kuadran III yaitu daerah berkembang cepat (high growth but low income) merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tapi pendapatan per kapitanya lebih rendah dibanding rata-rata propinsi atau nasional. d. Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal (low growth and low income) merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan per kapitanya lebih rendah dibanding rata-rata propinsi ataupun nasional.

73 56 Tabel 4.1. Klasifikasi propinsi di KBI menurut klassen typologi R Y Y ij > Y j Y ij < Yj R ij > R j R ij < R j Kuadran I Daerah maju dan tumbuh cepat Kuadran II Daerah maju tapi tertekan Kuadran III Daerah berkembang cepat Kuadran IV Daerah relatif tertinggal Keterangan: Rij adalah laju pertumbuhan PDRB ADHK tiap propinsi di KBI. Rj adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK KBI. Yij adalah pendapatan per kapita tiap propinsi di KBI. Yj adalah rata-rata pendapatan per kapita KBI Model Penelitian Pengaruh Infrastuktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan per Kapita Pendekatan model yang digunakan untuk mengestimasi persamaan pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita KBI merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglass: Y = A. K. L. U it it α it 1 α it it..(29) Dalam penelitian ini, modal infrastruktur dan investasi merupakan input terhadap produksi agregat. Sehingga model ekonometri yang digunakan didasarkan pada model yang digunakan Canning dalam mengestimasi persamaan model The Contribution of Infrastructures to Agregate Output dengan sedikit modifikasi, karena keterbatasan data yang digunaan. Model yang digunakan adalah sebagai berikut:

74 57 Y it = A it K α it X β it L 1 α β it U it..(30) Dimana Y adalah Produk Domestik Regional Bruto (Output), A adalah Total Faktor Produksi (Total Faktor Productivity), K adalah Modal Fisik (Phisical Capital), X adalah Modal Infrastruktur (Infrastructure Capital), L adalah jumlah penduduk (Population), U adalah galat, i adalah indeks propinsi dan t adalah indeks waktu. Diasumsikan constant return to scale sehingga penjumlahan eksponen adalah satu. Asumsi yang digunakan pada model tersebut adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log A it = a i + b t yang merupakan fixed effects dari masing-masing propinsi dengan indeks i dan indeks t sebagai produktivitas dalam waktu tertentu. Dari persamaan (30), masing-masing variabel di bagi dengan jumlah penduduk dan di ln kan sehingga menjadi: ( Y L) = ln( A/ L) + α ln( K / L) it + β ln( X / L) it lnu it ln + it..(31) atau dapat dibuat persamaan: y = a + b + α k + βx + u it i t it it it..(32) dimana stok modal dan output berada dalam bentuk ln per jumlah penduduk dan u it = ln U it. Pada penelitian ini, modal infrastruktur kemudian dipecah menjadi tiga variabel infrastruktur yaitu panjang jalan (km), energi listrik terjual (kwh), dan kapasitas air bersih (m 3 /detik).

75 58 A. Model 1: Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Persamaan pertama adalah persamaan yang memperlihatkan sejauh mana variabel-variabel infrastruktur mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di KBI. Berdasarkan penurunan fungsi produksi Cobb-Douglass maka pertumbuhan ekonomi disini didekati dengan PDRB ADHK per kapita. Jumlah individu yang digunakan yaitu 14 propinsi yang ada di KBI dan dalam kurun waktu 12 tahun ( ), sehingga jumlah observasi 168 buah. Secara matematis, hubungan antara variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi bisa digambarkan sebagai berikut : PEK it = α 0 + α1jlnit + α2lisit + α3airit + α4invit + α5otdit + μit..(33) Keterangan : PEK it α 0 = Nilai PDRB ADHK 1993 per kapita pada propinsi i dan tahun t = intercept α 1 -α 5 = parameter infrastruktur, investasi dan otonomi daerah μ it JLN it = error term = Panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang per kapita di propinsi i dan tahun t LIS it = Energi listrik terjual per kapita di propinsi i dan tahun t AIR it = Kapasitas air bersih yang disalurkan per kapita di propinsi i dan tahun t INV it = Investasi per kapita yang merupakan akumulasi dari investasi tahun ini ditambahkan tahun sebelumnya dikurangi dengan depresiasi 5 persen di propinsi i dan tahun t. OTD it = Dummy otonomi daerah bernilai 0 dan bernilai 1.

76 59 B. Model 2 : Pengaruh Infrastruktur terhadap Pendapatan per Kapita Persamaan kedua adalah persamaan yang memperlihatkan sejauh mana variabel-variabel infrastruktur mempengaruhi pendapatan per kapita di KBI. Besarnya pendapatan per kapita disini didekati dengan nilai PDRB ADHB per kapita. Sama halnya dengan persamaan pertama, persamaan kedua ini menggunakan 14 propinsi yang ada di KBI dan dalam kurun waktu 12 tahun ( ), sehingga jumlah observasi 168 buah. Secara matematis, hubungan antara variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan per kapita bisa digambarkan sebagai berikut : PED it = α 0 + α1jlnit + α2lisit + α3airit + α4invit + α5otdit + μit..(34) Keterangan : PED it α 0 = Nilai PDRB ADHB per kapita pada propinsi i dan tahun t = intercept α 1 -α 5 = parameter infrastruktur, investasi dan otonomi daerah μ it JLN it = error term = Panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang per kapita di propinsi i dan tahun t LIS it = Energi listrik terjual per kapita di propinsi i dan tahun t AIR it = Kapasitas air bersih yang disalurkan per kapita di propinsi i dan tahun t INV it = Investasi per kapita yang merupakan akumulasi dari investasi tahun ini ditambahkan tahun sebelumnya dikurangi dengan depresiasi 5 persen di propinsi i dan tahun t OTD it = Dummy otonomi daerah bernilai 0 dan bernilai 1.

77 60 Pemilihan model data panel dalam penelitian ini didasarkan pada segi kepentingan, yaitu untuk melihat efek pada masing-masing propinsi, sehingga model yang digunakan yaitu fixed effects atau random effects. Kemudian, dalam penentuan model fixed effects atau random effects dilakukan uji signifikansi dengan metode uji Hausman Software Analisis Data Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan beberapa software untuk melakukan analisis data. Software tersebut adalah sebagai berikut: 1. Microsoft excel 2007 Ms Excel merupakan perangkat lunak berbasis spreadsheet buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel dan grafik serta beberapa pengolahan data. 2. EViews 5.1 EViews adalah program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh QMS (Quantitative Micro Software) yang berkedudukan di California AS. Software ini digunakan dalam pengolahan persamaan model panel data yang dibuat. 3. Esri ArcView GIS ver. 3.3 ArcView GIS merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk pembuatan dan manipulasi peta dalam bentuk layer. Dalam penelitian ini ArcView dimanfaatkan untuk pembuatan peta tematik. Software ini dikembangkan oleh Environmental System Research Institute (ESRI) New York.

78 V. GAMBARAN UMUM KBI 5.1. Kondisi Geografis Kawasan Barat Indonesia (KBI) terdiri dari tiga pulau dan 16 propinsi, yang terletak antara 6 o 08 Lintang Utara dan 11 o 05 Lintang Selatan dan antara 94 o 45 Bujur Timur dan 115 o 35 Bujur Timur. Ketiga pulau tersebut yaitu: (1) Pulau Sumatera, (2) Pulau Jawa, (3) Pulau Bali. Sedangkan propinsi yang ada di KBI terdiri dari: 1. Daerah Istimewa Aceh 9. Bangka Belitung 2. Sumatera Utara 10. DKI Jakarta 3. Sumatera Barat 11. Jawa Barat 4. Riau 12. Jawa Tengah 5. Jambi 13. Daerah Istimewa Yogyakarta 6. Sumatera Selatan 14. Jawa Timur 7. Bengkulu 15. Banten 8. Lampung 16. Bali D.I. ACEH N SUMATERA UTARA RIAU SUMATERA BARAT KTI JAMBI BANGKA BELITUNG BENGKULU SUMATERA SELATAN DKI JAKARTA BANTEN JAWA BARAT JAWA TENGAH D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR BALI Kilometers Gambar 5.1. Peta Tematik Wilayah Kawasan Barat Indonesia

79 62 Dari keenambelas propinsi tersebut, Propinsi Riau dan Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi yang mempunyai luas area paling besar yaitu berturut turut ,24 km 2 dan ,81 km 2. DKI Jakarta merupakan propinsi yang mempunyai luas area paling kecil yaitu 740,29 km 2, kemudian Propinsi D.I. Yogyakarta dengan luas 3.133,15 km 2 merupakan propinsi dengan luas area terkecil setelah DKI Jakarta. Jika dibandingkan dengan KTI, KBI hanya mempunyai luas 31,23 persen dari seluruh luas wilayah Negara Indonesia, yaitu ,53 km 2. Total luas area wilayah negara Indonesia yaitu ,67 km 2, nilai ini membuat Negara Indonesia termasuk dalam 10 besar negara terluas di dunia. Tabel 5.1. Luas Area, Jumlah Kabupaten, dan Jumlah Kota Menurut Propinsi di KBI, Luas Area Kabupaten Kota No Propinsi Km2 Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 1 D.I. Aceh ,51 3, ,87 4 4,40 2 Sumatera Utara ,81 3, ,16 7 7,69 3 Sumatera Barat ,65 2, ,44 7 7,69 4 Riau ,24 5, ,72 4 4,40 5 Jambi ,49 2,44 9 2,58 1 1,10 6 Sumatera Selatan ,54 3, ,87 4 4,40 7 Bengkulu ,15 1,06 8 2,29 1 1,10 8 Lampung ,15 2,03 8 2,29 2 2,20 9 Bangka Belitung ,14 0,88 6 1,72 1 1,10 10 DKI Jakarta 740,29 0,04 1 0,29 5 5,49 11 Jawa Barat ,05 1, ,58 9 9,89 12 Jawa Tengah ,71 1, ,31 6 6,59 13 D.I. Yogyakarta 3.133,15 0,17 4 1,15 1 1,10 14 Jawa Timur ,64 2, ,31 9 9,89 15 Banten 9.018,64 0,48 4 1,15 2 2,20 16 Bali 5.449,37 0,29 8 2,29 1 1,10 Kawasan Barat Indonesia ,53 31, , ,33 Kawasan Timur Indonesia ,14 68, , ,67 Indonesia ,67 100, , ,00 Sumber: Statistik Indonesia 2007, BPS (diolah)

80 63 Hampir semua propinsi di KBI mempunyai jumlah kabupaten yang lebih besar daripada jumlah kota. Propinsi DKI Jakarta merupakan propinsi yang mempunyai jumlah kota lebih besar daripada jumlah kabupaten. DKI Jakarta mempunyai satu kabupaten dan empat kota. Propinsi yang mempunyai jumlah kabupaten terbesar yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur yaitu 29 kabupaten, sedangkan propinsi yang mempunyai jumlah kota terbesar sejumlah sembilan yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat. Jumlah kabupaten di KBI yaitu 192 sedangkan untuk KTI hanya 157. Perbedaan ini semakin besar ketika kita membandingkan jumlah kota antara KBI dan KTI. Jumlah kota di KBI yaitu 64 kota sedangkan di KTI hanya 27 kota Kondisi Penduduk Jumlah Penduduk di KBI pada tahun 2006 yaitu 180,32 juta jiwa, secara nasional jumlah penduduk pada tahun yang sama yaitu 222,19 juta jiwa. KBI dengan luas wilayah yang hanya 31,23 persen dari luas nasional, mempunyai jumlah penduduk 81,15 persen dari jumlah penduduk nasional. Hal ini sangat timpang ketika dibandingkan dengan KTI. Dengan luas wilayah 68,75 persen dari luas nasional hanya dihuni oleh 18,85 persen dari penduduk. Propinsi di KBI yang mempunyai jumlah penduduk paling banyak yaitu di Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedangkan di pulau Sumatera, propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi yang mempunyai jumlah penduduk yang paling besar yaitu 12,64 juta jiwa. Propinsi Bangka Belitung memiliki jumlah penduduk yang paling sedikit baik dibandingkan dengan propinsi-propinsi di Pulau Sumatera maupun di KBI.

81 64 Tabel 5.2. Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan, dan Sex Rasio menurut Propinsi di KBI, Jumlah Penduduk Laju No Provinsi Pertumbuhan Sex Rasio Dalam (000) Persentase per Tahun 1 D.I. Aceh ,83 0,60 99,0 2 Sumatera Utara ,69 1,38 99,6 3 Sumatera Barat ,08 1,45 97,5 4 Riau ,75 3,82 104,2 5 Jambi ,21 1,83 105,9 6 Sumatera Selatan ,11 1,77 102,4 7 Bengkulu ,71 1,25 104,1 8 Lampung ,25 1,16 107,6 9 Bangka Belitung ,48 3,00 109,0 10 DKI Jakarta ,03 1,17 98,7 11 Jawa Barat ,84 1,75 102,7 12 Jawa Tengah ,48 0,50 99,8 13 D.I. Yogyakarta ,53 1,38 100,2 14 Jawa Timur ,47 0,86 98,6 15 Banten ,15 2,19 103,8 16 Bali ,54 1,44 103,1 Kawasan Barat Indonesia ,15 2,02 101,1 Kawasan Timur Indonesia ,85 0,25 101,5 Indonesia ,00 1,34 101,1 Sumber: Statistik Indonesia 2007, BPS (diolah) Berdasarkan tabel 5.2, Propinsi Riau memiliki laju pertumbuhan penduduk yang paling besar yaitu 3,82. Sedangkan secara rata-rata laju pertumbuhan penduduk di KBI yaitu 2,02. Pada tahun 2006, rasio jenis kelamin penduduk di KBI diatas 100. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki di KBI lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Sebagian besar propinsi memiliki angka rasio jenis kelamin di atas 100. Propinsi di KBI yang rasio jenis kelaminnya di bawah 100 adalah DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur. Rasio jenis kelamin di bawah 100 ini biasanya berhubungan dengan pola migrasi

82 65 di daerah tersebut, dimana umumnya propinsi-propinsi tersebut adalah propinsi pengirim migran. Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Selama ini sebagian besar penduduk masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan penyebaran penduduk ini bukan hanya terjadi antara KBI dan KTI akan tetapi juga antar propinsi dalam KBI. 78 N SUMATERA UTARA 172 KBI = 310 Jiwa/Km2 35 RIAU KTI = 33 Jiwa/Km LAMPUNG 204 INA = 118 Jiwa/Km2 DKI JAKARTA JAWA TIMUR Kilometers Legenda : Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) Gambar 5.2. Peta Tematik Kepadatan Penduduk menurut Propinsi di KBI, Tahun 2006 Sumber: Statistik Indonesia 2007, BPS (diolah) Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut menjadi sangat tinggi. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa berkisar antara 764 sampai Seperti tampak pada gambar 5.2,

83 66 kepadatan penduduk DKI Jakarta pada tahun 2006 mencapai penduduk per kilometer persegi (km2). Propinsi di Luar Jawa yang termasuk cukup padat penduduknya adalah Bali sebesar 609 penduduk per kilometer persegi (km2). Sebaliknya, Propinsi Riau merupakan propinsi dengan kepadatan penduduk paling kecil di KBI, yaitu 35 penduduk per kilometer persegi (km2). Sedangkan Propinsi Lampung merupakan propinsi yang mempunyai kepadatan terbesar di Pulau Sumatera. Hal ini disebabkan karena propinsi ini merupakan propinsi terdekat untuk migrasi bagi wilayah dengan penduduk yang lebih padat (Pulau Jawa). Secara keseluruhan KBI mempunyai kepadatan penduduk yang jauh jika dibandingkan dengan KTI yaitu 310 jiwa/km2, sedangkan KTI hanya 33 jiwa/km2. Gambaran ketimpangan tersebut selain menunjukkan tidak meratanya penyebaran penduduk juga menunjukkan daya dukung lingkungan yang kurang seimbang di antara propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan luar Jawa Kondisi Perekonomian Pertumbuhan ekonomi di KBI pada tahun 2007 sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan KTI. Berdasarkan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan ekonomi KBI tahun 2007 adalah sekitar 5,83 persen, sedangkan KTI hanya sekitar 4,48 persen. Seluruh propinsi di KBI pada tahun 2007 mencatat pertumbuhan yang positif kecuali D.I. Aceh. Pertumbuhan terbesar terjadi pada Propinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 6,90 persen. Sedangkan DKI Jakarta yang menyumbang PDRB paling besar hanya memiliki pertumbuhan sebesar 6,44. Untuk lebih jelasnya disajikan pada tabel 5.4.

84 67 Tabel 5.3. Produk Domestik Regional Bruto ADHK 2000 menurut Propinsi di KBI, No Provinsi Tahun 2006 Tahun 2007 (Juta Rupiah) Persen (Juta Rupiah) Persen Pertumbuhan 1 D.I. Aceh ,66 2, ,94 1,91-2,79 2 Sumatera Utara ,39 5, ,27 5,31 6,90 3 Sumatera Barat ,10 1, ,59 1,75 6,34 4 Riau ,31 6, ,10 6,44 4,42 5 Jambi ,73 0, ,32 0,76 6,82 6 Sumatera Selatan ,00 2, ,12 2,94 5,84 7 Bengkulu ,72 0, ,56 0,37 6,03 8 Lampung ,40 1, ,37 1,74 5,79 9 Bangka Belitung ,25 0, ,04 0,50 4,54 10 DKI Jakarta ,78 17, ,92 17,73 6,44 11 Jawa Barat ,75 14, ,93 14,59 6,41 12 Jawa Tengah ,74 8, ,77 8,47 5,59 13 D.I. Yogyakarta ,95 0, ,20 0,97 4,28 14 Jawa Timur ,68 15, ,97 15,33 6,11 15 Banten ,64 3, ,77 3,46 6,04 16 Bali ,28 1, ,07 1,25 5,92 KBI ,37 83, ,95 83,55 5,83 KTI ,25 16, ,34 16,45 4,48 Total ,62 100, ,29 100,00 5,61 Sumber: PDRB 2007, BPS (diolah) Pada tahun 2007, kontribusi terhadap pendapatan nasional terbesar diberikan oleh Propinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 17,73 persen. Sedangkan secara keseluruhan KBI menyumbang 83,55 persen terhadap pendapatan nasional. Hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan KTI yang hanya menyumbang 16,45. Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan regional per kapita. Besarnya pendapatan nasional per kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2006 di Indonesia adalah 15,87 juta rupiah. Sedangkan untuk KBI dan KTI masing-masing yaitu 16,3 dan 14,1 juta rupiah.

85 68 Besaran PDRB per kapita suatu daerah tergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Berdasarkan PDRB per kapita atas dasar harga berlaku dengan migas, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau merupakan propinsi yang mempunyai besaran per kapita tertinggi di KBI. Sedangkan yang terendah yaitu Propinsi Bengkulu dan Lampung. Peta tematik pada gambar 5.4 memberikan gambaran penyebaran pendapatan regional per kapita melalui referensi geografi. N RIAU KBI = BENGKULU LAMPUNG DKI JAKARTA JAWA TENGAH Kilometers Legenda: KTI = INA = Gambar 5.3. Peta Tematik Pendapatan per Kapita menurut Propinsi di KBI, Tahun 2006 Sumber: PDRB 2007, BPS (diolah) Sumbangan sektoral dalam PDRB ADHB digunakan sebagai salah satu ukuran dalam melihat struktur perekonomian suatu wilayah. Di wilayah KBI sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai besaran yang paling tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 27,43 persen.

86 69 Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar yaitu perdagangan hotel dan restoran sebesar 19,85 persen. Di masing-masing propinsi yang ada di KBI mempunyai distribusi sektor yang berbeda-beda. Dari tabel 5.5 dapat terlihat distribusi sektor untuk masingmasing propinsi di KBI. Tabel 5.4. Distribusi Persentase PDRB ADHB (Struktur Ekonomi) menurut Lapangan Usaha dan Propinsi di KBI, 2007 No Provinsi Lapangan Usaha (Sektor) D.I. Aceh 27,35 21,53 10,99 0,24 7,60 12,30 7,86 1,92 10,20 2 Sumatera Utara 22,56 1,36 25,04 1,02 5,59 19,25 9,00 6,41 9,77 3 Sumatera Barat 24,67 3,44 12,01 1,37 5,50 17,34 15,07 4,96 15,64 4 Riau 17,65 36,73 24,20 0,26 3,70 9,43 2,32 2,59 3,12 5 Jambi 26,08 18,96 11,94 0,90 4,59 14,88 7,31 4,18 11,16 6 Sumatera Selatan 18,27 24,94 23,03 0,54 6,13 11,76 4,15 3,41 7,77 7 Bengkulu 40,27 3,24 4,01 0,48 3,10 20,00 8,90 4,53 15,48 8 Lampung 38,12 3,54 13,45 0,65 4,98 14,01 8,24 5,93 11,07 9 Bangka Belitung 18,89 20,34 22,45 0,65 5,86 17,30 3,35 2,58 8,57 10 DKI Jakarta 0,10 0,47 15,97 1,06 11,20 20,36 9,32 28,65 12,87 11 Jawa Barat 12,72 2,39 44,38 2,92 3,01 19,05 5,83 2,89 6,82 12 Jawa Tengah 19,92 1,00 32,33 1,10 5,83 20,06 5,91 3,48 10,37 13 D.I. Yogyakarta 15,05 0,75 13,63 1,28 10,35 19,29 10,11 9,71 19,84 14 Jawa Timur 16,72 2,11 28,75 1,92 3,36 28,81 5,55 4,62 8,15 15 Banten 7,93 0,11 47,83 3,99 3,03 18,99 9,24 3,55 5,32 16 Bali 19,41 0,66 8,99 2,00 4,43 28,98 12,33 7,34 15,86 KBI 14,43 6,36 27,43 1,56 5,64 19,85 6,85 8,72 9,16 KTI 19,44 27,06 18,34 0,50 5,20 11,55 6,11 3,61 8,19 Total 15,27 9,83 25,91 1,38 5,56 18,46 6,73 7,86 9,00 Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas & Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel & Restoran, (7) Pengangkutan & Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, (9) Jasa-Jasa Sumber: PDRB 2007, BPS (diolah) Di Pulau Jawa sektor yang dominan yang memberikan kontribusi terbesar yaitu sektor industri dan pengolahan, sedangkan di Pulau Sumatera sektor pertanian. Pada tabel 5.5 terlihat bahwa sektor yang memberikan kontribusi di KTI adalah sektor pertambangan dan penggalian.

87 70 Peningkatan pendapatan regional tidak lepas dari peran investor yang menanamkan modal di suatu wilayah. Penambahan modal dapat memberikan peningkatan output yang dihasilkan karena modal merupakan input dalam faktor produksi. Pada tahun 2007, nilai Penanaman Modal Asing (PMA) di KBI sebesar US$, dengan jumlah proyek yang disetujui sebanyak 938. Propinsi yang paling banyak mendapatkan PMA yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat. Untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di KBI pada tahun 2007 sebesar 29,44 triliun rupiah. Propinsi yang tidak mendapatkan PMA dan PMDN tahun 2007 adalah Propinsi Bengkulu. Hal ini mengindikasikan bahwa Propinsi Bengkulu kurang menarik bagi investor Tabel 5.5. Jumlah Proyek dan Nilai Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Propinsi di KBI, 2007 Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri No Provinsi Nilai (ribu Persen Nilai (juta Persen Proyek Proyek US$) dari Total Rupiah) dari Total 1 D.I. Aceh ,72 0,17 0 0,00 0,00 2 Sumatera Utara ,95 1, ,80 4,36 3 Sumatera Barat ,40 0,57 0 0,00 0,00 4 Riau ,64 7, ,61 9,15 5 Jambi ,89 0, ,13 13,62 6 Sumatera Selatan ,01 2, ,96 2,33 7 Bengkulu 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 8 Lampung ,21 1, ,56 0,47 9 Bangka Belitung 0 0,00 0, ,94 0,90 10 DKI Jakarta ,79 45, ,21 12,09 11 Jawa Barat ,97 12, ,35 32,54 12 Jawa Tengah ,65 0, ,00 0,79 13 D.I. Yogyakarta 3 840,00 0, ,50 0,09 14 Jawa Timur ,99 16, ,09 4,94 15 Banten ,85 6, ,57 3,06 16 Bali ,26 0, ,78 0,04 KBI ,35 96, ,51 84,40 KTI ,62 3, ,63 15,60 Total ,97 100, ,13 100,00 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2007 (diolah)

88 Kondisi Infrastruktur Penggambaran kondisi infrastruktur pada bab ini dibatasi pada jenis infrastruktur jalan, listrik, dan jaringan air bersih. Infrastruktur yang pertama yaitu jalan, jalan merupakan prasarana pengangkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas akan meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam upaya memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain. Tabel 5.6. Panjang Jalan menurut Kondisi Jalan dan Propinsi di KBI, 2006 No Provinsi Baik dan Sedang Rusak dan Rusak Berat Jumlah Panjang Panjang Persentase Persentase (km) (km) (km) 1 D.I. Aceh , , Sumatera Utara , , Sumatera Barat , , Riau , , Jambi , , Sumatera Selatan , , Bengkulu , , Lampung , , Bangka Belitung , , DKI Jakarta ,00 0 0, Jawa Barat , , Jawa Tengah , , D.I. Yogyakarta , , Jawa Timur , , Banten , , Bali , , KBI , , KTI , , Total , , Sumber: Statistik Perhubungan 2007, BPS (diolah) Panjang jalan di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2006 mencapai 393,8 ribu kilometer, dengan pembagian 240,3 ribu km atau 59,9 persen di KBI

89 72 dan 153,5 ribu km atau 40,1 persen di KTI. Panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang di KBI ada 157 ribu kilometer, sedangkan rusak dan rusak berat sepanjang 83,3 ribu kilometer atau 34,6 persen dari total panjang jalan di KBI. Pada tahun tersebut, panjang jalan yang diaspal di KBI adalah 149,1 ribu km sedangkan yang permukaannya kerikil, tanah dan lainnya berturut-turut adalah 43,8 ribu km, 39,7 ribu km, dan 7,7 ribu km. Ternyata perbedaan dari panjang jalan KBI dan KTI hanya terletak pada jalan yang diaspal, sedangkan panjang jalan dengan permukaan lainnya relatif sama. Untuk lebih jelasya dapat dilihat pada gambar Aspal Kerikil Tanah Lainnya KBI KTI Indonesia Gambar 5.4. Grafik Panjang Jalan menurut Jenis Permukaan dan Kawasan di Indonesia, 2006 Sumber: Statistik Perhubungan 2007, BPS (diolah) Infrastruktur kedua yaitu listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sementara sebagian lagi masih disuplai oleh perusahaan-perusahaan non PLN. Sampai dengan tahun 2006, belum semua wilayah di Indonesia telah tersambung dalam jaringan PLN.

90 73 Secara operasional produksi listrik PLN berasal dari 11 wilayah, 4 daerah distribusi serta beberapa sumber pembangkit lain seperti Jawa-Bali maupun pembangkit dan penyalur (kitlur) daerah Sumatera bagian Utara dan Sumatera bagian Selatan. Pada tahun 2006 total daya listrik tersambung di seluruh propinsi di KBI sebanyak 47,9 ribu GWh atau 89,9 persen dari total nasional. Propinsi yang mempunyai besaran daya tersambung paling tinggi yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kelompok pelanggan yang paling banyak mendapatkan daya listrik di hampir semua propinsi adalah kelompok pelanggan rumah tangga, kecuali di Banten yaitu kelompok pelanggan industri. Tabel 5.7. Besarnya Daya Listrik Tersambung menurut Kelompok Pelanggan dan Propinsi di KBI (GWh), 2006 No Provinsi Rumah Persen Industri Bisnis Lainnya Jumlah Tangga dari Total 1 D.I. Aceh 378,23 24,73 82,27 64,48 549,71 1,03 2 Sumatera Utara 1.418,73 679,41 410,00 177, ,59 5,04 3 Sumatera Barat 502,63 132,95 116,53 55,56 807,68 1,51 4 Riau 722,48 169,80 449,03 104, ,37 2,71 5 Jambi 207,26 23,91 63,66 22,39 317,22 0,59 6 Sumatera Selatan 547,92 136,09 154,29 67,70 906,00 1,70 7 Bengkulu 124,61 8,84 21,66 14,71 169,82 0,32 8 Lampung 584,97 108,27 131,09 45,45 869,78 1,63 9 Bangka Belitung 103,96 10,16 21,60 11,07 146,78 0,28 10 DKI Jakarta 4.313, , , , ,24 22,78 11 Jawa Barat 4.681, , ,50 399, ,40 19,21 12 Jawa Tengah 3.336, ,70 610,79 376, ,87 10,23 13 D.I. Yogyakarta 465,53 60,63 148,47 90,40 765,03 1,43 14 Jawa Timur 4.401, , ,12 504, ,97 16,39 15 Banten 374,55 979,32 99,55 32, ,82 2,79 16 Bali 597,78 41,19 479,38 79, ,64 2,25 KBI , , , , ,92 89,89 KTI 3.339,89 461, ,88 547, ,59 10,08 Total , , , , ,51 99,97 Sumber: PT PLN, 2007 (diolah)

91 74 Pada tahun 2006, jumlah pelanggan listrik PT. PLN untuk wilayah KBI sejumlah 30,76 juta. Besaran ini merupakan 86,04 persen dari jumlah total pelanggan secara nasional. Urutan kelompok pelanggan dengan jumlah pelanggan terbesar yaitu: rumah tangga, bisnis, lainnya dan industri. Lainnya yang dimaksud yaitu: sosial, gedung perkantoran, dan penerangan jalan umum. Tabel 5.8. Jumlah Pelanggan Listrik PT. PLN menurut Kelompok Pelanggan dan Propinsi di KBI, 2006 No Provinsi Rumah Persen Industri Bisnis Lainnya Jumlah Tangga dari Total 1 D.I. Aceh ,03 2 Sumatera Utara ,21 3 Sumatera Barat ,18 4 Riau ,08 5 Jambi ,76 6 Sumatera Selatan ,14 7 Bengkulu ,56 8 Lampung ,21 9 Bangka Belitung ,38 10 DKI Jakarta ,09 11 Jawa Barat ,60 12 Jawa Tengah ,78 13 D.I. Yogyakarta ,89 14 Jawa Timur ,39 15 Banten ,79 16 Bali ,95 KBI ,04 KTI ,98 Total ,00 Sumber: PT PLN, 2007 (diolah) Jumlah pelanggan pada kelompok pelanggan industri di wilayah KBI mempunyai nilai yang paling kecil dibandingkan dengan kelompok lainnya, akan tetapi dengan jumlah yang kecil ini ternyata kelompok industri mengkonsumsi energi listri lebih besar dari pada kelompok pelanggan lainnya. Pada gambar 5.6 ditunjukkan grafik energi terjual menurut kelompok pelanggan.

92 Rumah Tangga Industri Bisnis Sosial Kantor Pemerintahan Penerangan Jalan KBI KTI Indonesia Gambar 5.5. Grafik Energi Listrik Terjual menurut Kelompok Pelanggan dan Kawasan di Indonesia (GWh), 2006 Sumber: PT PLN, 2007 (diolah) Dari gambar 5.6 dapat disimpulkan bahwa kelompok pelanggan industri di KBI lebih besar mengkonsumsi energi listrik dari pada kelompok yang lain, lain hal di KTI kelompok pelanggan rumah tangga masih mendominasi pengkonsumsian energi listrik yang dijual. Hal ini sesuai dengan kontribusi sektor industri di KBI yang memberikan sumbangan terbesar dalam pendapatan regional. Secara umum kita dapat simpulkan bahwa infrastruktur listrik memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, penelitian ini akan dilanjutkan dengan membuktikan secara model hubungan tersebut. Distribusi energi listrik menurut propinsi di KBI dapat dilihat pada gambar 5.7. Melelui peta tematik tersebut dapat disimpulkan bahwa persebaran energi listrik di setiap propinsi di KBI tidak merata. Propinsi yang mempunyai nilai energi listrik terjual per kapita yaitu Propinsi DKI Jakarta dan Banten. Sedangkan propinsi yang mempunyai nilai paling kecil yaitu Propinsi D.I. Aceh sebesar

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN OLEH ANDRI PRIYANTO H

ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN OLEH ANDRI PRIYANTO H ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN OLEH ANDRI PRIYANTO H14094023 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN STRUKTUR EKONOMI PULAU SUMATERA OLEH DEWI SAVITRI H

ANALISIS IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN STRUKTUR EKONOMI PULAU SUMATERA OLEH DEWI SAVITRI H ANALISIS IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN STRUKTUR EKONOMI PULAU SUMATERA OLEH DEWI SAVITRI H14084017 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN DEWI

Lebih terperinci

TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H

TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H14084023 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB) diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita diharapkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO 2001-2008: IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H 14094014 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), serta

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil survei Bank Dunia pada tahun 2012 menunjukkan, masalah terbesar kedua di Indonesia yang menghambat kegiatan bisnis dan investasi adalah infrastruktur yang tidak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H

PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H 14104053 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu data yang terdiri dari dua bagian : (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka waktu yang cukup lama untuk dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia yaitu provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 25 KABUPATEN TERTINGGAL KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH PERWITA SARI H

PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 25 KABUPATEN TERTINGGAL KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH PERWITA SARI H PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 25 KABUPATEN TERTINGGAL KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH PERWITA SARI H14094007 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN

DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI LISTRIK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Oleh SIGIT YUSDIYANTO H14104079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEM

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, BAB III METODELOGI PENELTIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah atau 33 provinsi yang ada di Indonesia, meliputi : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kuantitatif. Menurut Sugiyono (2003), penelitian kuantitatif adalah penelitian dengan memperoleh data

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H14050032 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia masih memunculkan adanya dualisme yang mengakibatkan adanya gap atau kesenjangan antara daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi di 5 pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. yaitu infrastruktur listrik, infrastruktur jalan, infrastruktur air, dan tenaga kerja.

III. METODE PENELITIAN. yaitu infrastruktur listrik, infrastruktur jalan, infrastruktur air, dan tenaga kerja. III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan variabel terikat yaitu PDRB, dan variabel bebas yaitu infrastruktur listrik, infrastruktur jalan, infrastruktur air,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H

IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI PAPUA OLEH BAMBANG WAHYU PONCO AJI H14084025 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian pembangunan ekonomi secara essensial dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dan sampel merupakan kumpulan dari seluruh elemen

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dan sampel merupakan kumpulan dari seluruh elemen BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Populasi dan Sampel Populasi dan sampel merupakan kumpulan dari seluruh elemen atau individu yang merupakan sumber informasi dalam sebuah penelitian. Sampel diartikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji heteroskedastisitas Berdasarkan hasil Uji Park, nilai probabilitas dari semua variable independen tidak signifikan pada tingkat 5 %. Keadaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk melihat pembangunan adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh stakeholders untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh stakeholders untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terlebih dahulu memerlukan berbagai usaha yang konsisten dan terus menerus dari seluruh stakeholders

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN III-2017

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN III-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN III-2017 Ekonomi Provinsi Lampung Triwulan III- 2017 Tumbuh 5,21 Persen Melambat Dibandingkan Triwulan III- 2016 Perekonomian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari ekonomi. Semakin tinggi ekonomi semakin baik pula perekonomian negara tersebut. Laju ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Variabel Peneltian dan Definisi Operasional Untuk mempermudah analisis dan memperjelas variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini maka dilakukan variabel operasional

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perbaikan kualitas segenap bidang kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang mengarah kearah yang lebih baik dalam berbagai hal baik struktur ekonomi, sikap, mental, politik dan lain-lain. Dari

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 63/11/34/Th.XVIII, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 4,68 PERSEN, LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan suatu negara diarahkan pada upaya meningkatkan pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator yang digunakan untuk melihat

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA OLEH DIAH ANANTA DEWI H14084022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator dari kemajuan pembangunan, indikator ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015 No. 10/02/14/Th. XVII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN EKONOMI RIAU TAHUN TUMBUH 0,22 PERSEN MELAMBAT SEJAK LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian Riau tahun yang diukur berdasarkan Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Data tersebut didapat dari beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan

indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah selalu digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci