BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi"

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan, serta pengantasan kemiskinan (Todaro, 2006). Dalam konteks ini, Seers (1969) menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi saja, tetapi harus dilihat juga dari seberapa besar pertumbuhan tersebut bisa menjawab persoalan kemiskinan, pengangguran, dan perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan. Penegasan itu bukan merupakan sebuah spekulasi yang mengada-ada ataupun sekedar deskripsi atas suatu situasi hipotesis. Pada kenyataannya, sejumlah negara berkembang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup tinggi selama dekade 1960-an dan dekade 1970-an, namun masalah-masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pendapatan riil dari 40 persen penduduknya yang paling miskin tidak banyak mengalami perbaikan atau bahkan dalam banyak kasus justru memburuk. Sehingga, dengan mengingat ketiga masalah tersebut belum teratasi secara baik, maka mereka tidak bisa dikatakan telah mengalami pembangunan (Todaro, 2006). Pertumbuhan ekonomi suatu negara akan menentukan standar hidup suatu negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu sasaran bagi negara-negara berkembang. Perkembangan perekonomian yang dicapai Indonesia sampai sekarang ini masih menghadapi permasalahan yang juga mungkin dialami oleh negara sedang berkembang lainnya. Babak baru pembangunan Indonesia telah 1

2 dimulai sejak Pemilu 2014 yang telah mengantarkan para pejabat eksekutif dan legislatif memegang arah Indonesia selama minimal lima tahun ke depan. Pemilu 2014 menempatkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih, harapan masyarakat sangat besar pada mereka berdua. Setelah melewati serangkaian pemilu yang sangat gaduh, setidaknya harapan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik mulai terbangun, kesadaran kolektif rakyat untuk membangun Indonesia dengan bergandengan tangan satu sama lain mulai terbentuk seiring Kabinet Kerja yang mulai berjalan efektif per Oktober Begitu besar harapan sedikitnya 250 juta orang kepada pemerintah baru di bawah pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk segera mewujudkan berbagai pembangunan dan menyejahterakan rakyat. Banyak potensi yang perlu dikawal serius oleh pemerintah agar tercipta kesejahteraan yang merata di seluruh rakyat. Tantangan eksternal dan internal perlu diwaspadai agar tidak terjebak dalam pola pembangunan jalan di tempat atau malah kontraproduktif. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan lokal, regional, dan global yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Namun upaya perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia belum juga tercapai. Indikasinya, angka rasio Gini meningkat dari 0,363 pada tahun 2005 menjadi 0,413 pada tahun 2013 (IGJ, 2014). Pernyataan dari IGJ (Indonesia for Global Justice) tersebut dibuktikan dan diperjelas pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1 yang memperlihatkan rasio Gini di Indonesia selama periode mengalami kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode ketimpangan di Indonesia semakin melebar, walaupun belum berada dalam kategori ketimpangan yang tinggi, karena masih di bawah 0,5. Tapi setidaknya ini menunjukkan bahwa ketimpangan Indonesia sudah mendekati level kritis. 2

3 Tabel 1.1. Rasio Gini Antarprovinsi di Indonesia, Provinsi Aceh 0,299 0,341 Sumatera Utara 0,327 0,354 Sumatera Barat 0, Riau 0,283 0,374 Jambi 0,311 0,348 Sumatera Selatan 0,311 0,383 Bengkulu 0,353 0,386 Lampung 0,375 0,356 Kepulauan Bangka Belitung 0,281 0,313 Kepulauan Riau 0,274 0,362 DKI Jakarta 0,269 0,433 Jawa Barat 0,336 0,411 Jawa Tengah 0,306 0,387 DI Yogyakarta 0,415 0,439 Jawa Timur 0,356 0,364 Banten 0,356 0,399 Kalimantan Barat 0,310 0,396 Kalimantan Tengah 0,283 0,350 Kalimantan Selatan 0,279 0,359 Kalimantan Timur 0,318 0,371 Sulawesi Utara 0,323 0,422 Sulawesi Tengah 0,301 0,407 Sulawesi Selatan 0,353 0,429 Sulawesi Tenggara 0,364 0,426 Gorontalo 0,355 0,437 Sulawesi Barat 0,284 0,349 Bali 0,330 0,403 Nusa Tenggara Barat 0,318 0,364 Nusa Tenggara Timur 0,351 0,352 Maluku 0,258 0,370 Maluku Utara 0,261 0,318 Papua Barat 0,314 0,431 Papua 0,389 0,410 Rata-rata Rasio Gini 0,320 0,383 STD Rasio Gini 0,038 0,036 CV Rasio Gini 0,120 0,094 3

4 Rasio Gini Rustariyuni (2011) dalam studi mengemukakan bahwa berbagai kebijakan dan program telah dilakukan yang bertujuan untuk menurunkan kesenjangan antardaerah. Namun, sedikit bukti yang menyatakan bahwa masalah kesenjangan ini telah terselesaikan atau paling tidak bisa mengindikasikan adanya gap yang semakin kecil. Belum membaiknya kesenjangan tercermin dari angka rasio Gini pada 2013 yang mencapai 0,41, tidak mengalami perubahan yang cukup berarti dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat Gambar 1.1). 0,430 0,410 0,410 0,410 0,413 0,390 0,370 0,350 0,330 0,363 0,330 0,364 0,350 0,370 0,380 0,310 0,290 0,270 0, Tahun Pengamatan Gambar 1.1 Rasio Gini Indonesia, Dari Tabel 1.1 juga menunjukkan bahwa rata-rata rasio Gini seluruh provinsi di Indonesia masih relatif tinggi pada periode Di mana ada kenaikan rata-rata rasio Gini dari 0,320 pada tahun 2005 menjadi 0,383 pada tahun Sebaliknya, dari koefisien variasi atau CV (coefficient of variation) 1 menunjukkan tren turun selama periode tersebut. 1 Koefisien variasi (CV) adalah suatu perbandingan antara simpangan baku dengan nilai rata-rata dan dinyatakan dengan persentase. Koefisien variasi dapat digunakan untuk membandingkan suatu distribusi data yang mempunyai satuan yang berbeda. Besarnya koefisien variasi akan berpengaruh terhadap kualitas sebaran data. Jadi jika koefisien variasi semakin kecil maka datanya semakin homogen dan jika koefisien variasi semakin besar maka datanya semakin heterogen (Suharyadi & Purwanto, 2009). CV kadang-kadang digunakan dalam studi konvergensi pendapatan internasional atau indikator pembangunan yang lain seperti 4

5 Koefisien Variasi Penurunan koefisien variasi tersebut sebesar 0,120 atau 12 persen pada tahun 2005 menjadi 0,094 atau 9,4 persen pada tahun 2013 (lihat Gambar 1.2). Penurunan ini diidentifikasi awal bahwa peningkatan rasio Gini di Indonesia pada periode tersebut bukan karena menurunnya pendapatan masyarakat golongan berpendapatan rendah dan kenaikan pendapatan masyarakat golongan berpendapatan tinggi, tetapi karena peningkatan pendapatan golongan masyarakat berpendapatan tinggi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan pendapatan golongan masyarakat berpendapatan rendah. 0,140 0,120 0,100 0,120 0,100 0,099 0,090 0,097 0,105 0,097 0,106 0,094 0,080 0,060 0,040 0,020 0, Tahun Pengamatan Gambar 1.2. Koefisien Variasi Rasio Gini dan Trennya: Provinsi-Provinsi Indonesia, Ketimpangan yang paling sering dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan pembangunan ekonomi sering dipakai sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita, antarkelompok tingkat pendapatan, antarkelompok lapangan kerja, dan atau tingkat harapan hidup dan tingkat melek huruf. CV lebih sering digunakan dalam statistik (Todaro, 2006: 240). 5

6 antarwilayah. Ketimpangan terjadi dikarenakan tidak adanya pemerataan dalam pembangunan ekonomi. Ketidakmerataan pembangunan ini disebabkan karena adanya perbedaan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Hal ini terlihat dengan adanya wilayah yang maju dan ada wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Realitas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan adanya perbedaan laju pertumbuhan telah menciptakan ketimpangan antarwilayah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan faktor endowment dari masing-masing wilayah. Berkembangnya provinsi-provinsi baru sejak tahun 2000 di Indonesia dengan adanya desentralisasi diduga berkontribusi mendorong terjadinya ketimpangan yang lebar antar daerah. Tujuan pembangunan tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita. Tujuan pembangunan harus memperhatikan proses pemerataan atau distribusi nilai tambah tertentu dalam kegiatan ekonomi di suatu wilayah (Kuncoro, 2011). Di mana kesenjangan dan ketimpangan daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri (Kuncoro, 2013). Berdasarkan kinerja perekonomian di sebagian besar provinsi yang digambarkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 pada Gambar 1.3, menunjukkan bahwa masih banyak provinsi-provinsi di Indonesia yang secara rata-rata dari pertumbuhan ekonominya di bawah ratarata nasional (5,71 persen). Provinsi Aceh berada pada pertumbuhan ekonomi negatif dan terendah di Indonesia, yaitu sebesar -0,53 persen. Kondisi lebih buruk dialami oleh provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini selain memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata nasional juga memiliki PDRB per kapita yang terendah pada tahun Sedangkan Provinsi Papua Barat merupakan provinsi yang paling tinggi rata-rata pertumbuhan ekonominya selama periode , yaitu sebesar 13,41 persen. Hal ini 6

7 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Rata-rata Pertumbuhan PDRB (%) menunjukkan bahwa pada periode , variasi rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia cukup lebar, yaitu kisaran -0,53 persen sampai dengan 13,41 persen. 16,00 14,00 13,41 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 7,01 6,15 6,01 6,11 6,37 6,17 5,46 5,95 5,60 5,67 4,22 4,87 4,78 6,27 5,83 8,37 8,07 7,34 7,56 7,87 7,22 6,32 5,90 5,40 5,60 3,31 4,96 3,62 6,20 5,71 5,71 5,76 2,00 0,00-0,53-2,00 Provinsi Gambar 1.3. Rata-rata Pertumbuhan PDRB Provinsi-provinsi di Indonesia, (Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000) Ketimpangan memiliki dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak positif dengan adanya ketimpangan dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Dampak negatif dari adanya ketimpangan yaitu inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 2006). 7

8 Tabel 1.2. PDRB Per Kapita Antarprovinsi di Indonesia, (dalam rupiah) Provinsi Aceh , ,26 Sumatera Utara ,25 Sumatera Barat , ,23 Riau , ,62 Jambi , ,48 Sumatera Selatan 7,282, ,88 Bengkulu , ,54 Lampung , ,06 Kepulauan Bangka Belitung , ,02 Kepulauan Riau , ,83 DKI Jakarta , ,73 Jawa Barat , ,34 Jawa Tengah , ,36 DI Yogyakarta , ,57 Jawa Timur , ,53 Banten , ,07 Kalimantan Barat , ,53 Kalimantan Tengah , ,17 Kalimantan Selatan , ,28 Kalimantan Timur , ,64 Sulawesi Utara , ,23 Sulawesi Tengah , ,80 Sulawesi Selatan , ,48 Sulawesi Tenggara , ,67 Gorontalo , ,60 Sulawesi Barat , ,82 Bali , ,55 Nusa Tenggara Barat , ,68 Nusa Tenggara Timur , ,76 Maluku , ,12 Maluku Utara ,26 Papua Barat , ,14 Papua , ,29 Rata-rata PDRB Per Kapita , ,81 STD PDRB Per Kapita , ,48 CV PDRB Per Kapita 0,935 0,876 Salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di suatu provinsi, adalah PDRB per kapita, di mana jika semakin besar PDRB per kapitanya maka bisa diartikan semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Sebaliknya, jika PDRB per 8

9 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat R i a u J a m b i Sumatera Selatan B e n g k u l u L a m p u n g Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat B a l i Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur M a l u k u Maluku Utara Papua Barat Papua PDRB Per Kapita (juta rupiah/jiwa) kapitanya semakin kecil maka bisa diartikan semakin buruk tingkat kesejahteraan masyarakatnya. 60,00 50,00 50,35 40,00 35,39 33,21 32,54 30,00 27,82 20,00 18,92 16,40 23,76 18,86 10,00 9,43 7,71 11,48 10,89 0,00 PDRBK 2005 PDRBK 2013 Rata-rata Gambar 1.4. PDRB Per Kapita Provinsi-provinsi di Indonesia, Berdasarkan besarnya PDRB per kapita selama pada Tabel 1.2 dan Gambar 1.4, menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Indonesia masih banyak yang berada di bawah rata-rata PDRB per kapita nasional. Di mana rata-rata PDRB per kapita nasional sebesar Rp Kecuali Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Riau yang memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata pada tahun 2005 maupun Sedangkan variasi PDRB per kapita provinsi periode mengalami kecenderungan 9

10 Koefisien Variasi tren menurun yang ditunjukkan dari koefisien variasi dari sebesar 0,935 atau 93,5 persen pada tahun 2005 menjadi 0,876 atau 87,6 persen pada tahun 2013 (lihat Gambar 1.5). 0,940 0,935 0,933 0,930 0,923 0,921 0,920 0,910 0,900 0,890 0,904 0,898 0,892 0,887 0,880 0,876 0,870 0,860 0,850 0, Tahun Pengamatan Gambar 1.5. Koefisien Variasi PDRB per kapita dan Trennya: Provinsi-Provinsi Indonesia, Perbedaan yang besar dalam Produk Domestik Regional Bruto per kapita telah terus berlangsung antara daerah di bagian barat dan timur Indonesia. Kesenjangan regional tidak hanya terjadi di dua kawasan ini, namun juga antar dan intraprovinsi. Menurut Kuncoro (2011), gravitasi dan aktivitas ekonomi Indonesia masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke Kawasan Barat Indonesia (KBI) selama lebih dari 5 dasawarsa terakhir. Pada tahun 2025, pendapatan per kapita penduduk Indonesia ditargetkan akan mencapai sekitar US$ , dengan PDB antara US$ 4 triliun US$ 5 triliun. Indonesia akan mendapat predikat baru sebagai negara berpendapatan tinggi. Sebagai gambaran, pada tahun 2010, pendapatan per kapita penduduk Indonesia adalah US$ dan PDB sebesar 10

11 US$ 700 miliar (Bappenas, 2011). Untuk mencapai target tersebut bukan hal yang mudah, seluruh pemangku kepentingan di negeri ini bersinergi membangun Indonesia. Saat ini, sudah ada MP3EI 2 yang merupakan dokumen kerja yang sifatnya melengkapi dokumen lain yang sudah ada, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, di tingkat nasional maupun daerah. MP3EI dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan (Kemenko Perekonomian, 2011). Melalui langkah percepatan tersebut, diharapkan Indonesia akan dapat mendudukkan dirinya sebagai sepuluh negara besar dunia pada tahun 2025, dan enam negara besar pada tahun Untuk mencapai Visi Indonesia 2025 ini, maka dirumuskan tiga strategi dasar, yaitu pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, penguatan konektivitas nasional, dan penguatan kemampuan SDM dan Iptek Nasional. Dalam implementasinya MP3EI dilaksanakan dalam rangka mengembangkan 8 program utama 3 yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama 4 sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegiatan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Di mana salah satu dari strateginya diantaranya adalah mengembangkan potensi ekonomi wilayah pada 6 Koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kep. Maluku dimana masing-masing koridor ekonomi tersebut diposisikan untuk 2 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Mei Tujuan awal dilakukannya MP3EI adalah untuk mencapai aspirasi Indonesia 2025, yaitu menjadi negara maju dan sejahtera dengan PDB berkisar antara USD 4,3 Triliun dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, sekitar 82% atau USD 3,5 Triliun akan ditargetkan sebagai kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian dari transformasi ekonomi. Dokumen MP3EI tidak menggantikan RPJMN (UU N0. 17 tahun 2007) dan RPJMN (Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010). Seluruh program regular pemerintah yang tidak dicakup dalam MP3EI berjalan seperti biasa sesuai dengan perencanaan. Program pengembangan MP3EI mencakup pembangunan di seluruh tanah air. 3 Fokus dari pengembangan MP3EI ini diletakkan pada 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategi. 4 Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, meliputi perikanan, pariwisata, pertanian pangan, Jabodetabek area, KSN Selat Sunda, peralatan transportasi, telematika, perkapalan, tekstil, makanan minuman, besi baja, alutsista, kelapa sawit, karet, kakao, peternakan, perkayuan, minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, dan bauksit. 11

12 strategi yang berbeda-beda. Penyelenggraan MP3EI juga berdasarkan pada pendekatan hadirnya pusat-pusat pertumbuhan dalam 6 (enam) koridor yang disusun berdasarkan pembagian wilayah atas dasar potensi sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini mempertimbangkan keterkaitan antarwilayah untuk menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan kompetitif, serta berkelanjutan dengan segala fasilitas pendukungnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.6. Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing pulau besar (sesuai dengan letak dan kedudukan geografis masing-masing pulau), dalam rangka pengembangan 6 (enam) koridor ekonomi telah ditetapkan tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi seperti yang digambarkan pada Gambar 1.6. Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011) Gambar 1.6. Tema Pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia 12

13 Tabel 1.3 berikut ini menampilkan rasio Gini di koridor ekonomi Indonesia selama , yang menunjukkan bahwa antarkoridor ekonomi Indonesia memiliki rata-rata rasio Gini yang bervariasi dengan angka yang tidak terlalu jauh perbedaannya, yaitu berkisar antara 0,323-0,365. Hal ini bertolak belakang dengan besarnya PDRB per kapita yang dimiliki provinsi-provinsi di koridor ekonomi Indonesia yang rata-rata selama periode menunjukkan angka yang sangat berbeda dan bervariasi. Koridor Kalimantan mempunyai Rata-rata tertinggi selama , yaitu sebesar Rp ,03, dan ratarata terendah di koridor Bali-Nusa Tenggara, yaitu sebesar Rp ,34. Dan Koridor Sulawesi, Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Koridor Papua-Kep Maluku merupakan koridorkoridor ekonomi yang berada di bawah rata-rata PDRB per kapita nasional selama Tabel 1.3. Rasio Gini dan PDRB Per Kapita Provinsi ADHK 2000 di Koridor Ekonomi Indonesia, Koridor Ekonomi Rasio Gini Rata-rata PDRB Per kapita (dalam rupiah) Rata-rata Sumatera 0,312 0,358 0, , , ,09 Jawa 0,340 0,406 0, , , ,42 Kalimantan 0,298 0,369 0, , , ,03 Sulawesi 0,330 0,412 0, , , ,30 Bali Nusa Tenggara 0,333 0,373 0, , , ,34 Papua Kep. Maluku 0,305 0,390 0, , , ,41 Rasio Gini koridor ekonomi Indonesia yang digambarkan pada Tabel 1.3 memperjelas adanya variasi ketimpangan pendapatan antarprovinsi maupun antarwilayah 13

14 PDRB Per Kapita (juta rupiah/jiwa) koridor ekonomi di Indonesia. Fenomena tentang ketimpangan antarwilayah koridor ekonomi lebih lanjut digambarkan pada Gambar 1.7, yang memperlihatkan nilai PDRB per kapita masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia yang mengalami kenaikan selama periode Koridor Jawa dan Koridor Kalimantan selama periode mengalami kenaikan PDRB per kapita di atas PDRB Per kapita rata-rata, sedangkan Koridor Sulawesi, Koridor Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor Papua-Kep. Maluku selama periode mengalami kenaikan PDRB per kapita di bawah PDRB Per kapita rata-rata. Adapun Koridor Sumatera selama periode mengalami kenaikan PDRB per kapita di atas PDRB Per kapita rata-rata mulai tahun ,00 16,00 14, , ,00 8,00 9, , , , ,00 Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali -Nusa Tenggara Papua-Kep Maluku Rata-rata Koridor Ekonomi Indonesia Gambar 1.7. PDRB Per Kapita Koridor Ekonomi Indonesia,

15 Pembangunan yang dilakukan di wilayah bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya, tapi juga untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain, serta mampu mensejajarkan diri dengan wilayah lainnya. Terlebih lagi sejak adanya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.33 tahun 2004, menyerahkan otonomi sampai di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia berusaha keras untuk membangun wilayahnya dengan menetapkan berbagai kebijakan dan program untuk mengejar ketertinggalan daerahnya dibandingkan dengan daerah lainnya (Rustariyuni, 2011). Menurut Yeniwati (2013), daerah tertentu yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada daerah lain akan menghadapi beban yang terus meningkat karena banyak penduduk dari daerah lain terus berpindah ke daerah tersebut. Kondisi ini terjadi karena adanya tarikan peluang kesempatan kerja yang lebih banyak di daerah tersebut. Daerah perkotaan secara terus menerus mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi karena sumberdaya yang potensial terus berpindah ke daerah maju sebagai pusat pertumbuhan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya kondisi ini akan menyebabkan daerah pusat pertumbuhan mengalami akumulasi pertumbuhan yang lebih tinggi karena didukung oleh sumberdaya potensial yang telah berpindah tersebut. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Pembangunan di Indonesia lebih banyak diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan unsur pemerataannya masih kurang mendapatkan perhatian. Kondisi yang terjadi, ketimpangan ekonomi semakin melebar dengan semakin tingginya pendapatan per kapita di Indonesia selama periode Hal ini dilihat dari angka rasio Gini dan PDRB Per kapita antarprovinsi dan antarkoridor ekonomi selama periode yang menunjukkan 15

16 kecenderungan tren yang naik. Sedangkan, koefisien variasi rasio Gini dan koefisien variasi PDRB Per kapita menunjukkan tren yang menurun selama periode Beranjak dari fenomena yang terjadi, dengan karakteristik dan potensi wilayah provinsi dan koridor ekonomi Indonesia, baik yang bersifat alami maupun buatan menjadikan sebagai salah satu unsur yang menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan upaya pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah yang ada di Indonesia. Sehingga diharapkan akan terciptanya pembangunan wilayah yang merata, tumbuh, dan berkelanjutan. Dengan mengacu pada perumusan masalah di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tren PDRB per kapita dan ketimpangan pendapatan di masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia selama ? 2. Sejauh mana hipotesis Kuznets terbukti di seluruh Koridor Ekonomi Indonesia selama tahun ? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia selama ? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasikan tren PDRB per kapita dan tren ketimpangan pendapatan di masingmasing Koridor Ekonomi Indonesia selama Menganalisis sejauh mana hipotesis Kuznets terbukti di seluruh Koridor Ekonomi Indonesia selama tahun Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia selama

17 1.4 SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini akan mengikuti beberapa tahapan, yang dibagi dalam 5 bab. Bab pertama akan menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dari penelitian, dan sistematika penulisan. Terkait latar belakang, pembahasan difokuskan pada aspek kondisi pertumbuhan, PDRB per kapita, dan ketimpangan pendapatan di Indonesia secara singkat. Bab kedua akan menjelaskan studi literatur dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan daerah, konsep ketimpangan ekonomi antardaerah, teori dan kebijakan pembangunan daerah, hipotesis Kuznets dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri. Bab ketiga akan membahas metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan pertanyaan dan tujuan penelitian pada bab pertama, maka pembahasan akan dibagi dalam tiga bagian, yaitu identifikasi tren PDRB per kapita dan ketimpangan pendapatan (rasio Gini) antarprovinsi di masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia selama , melakukan uji hipotesis Kuznets untuk mengetahui sejauh mana hipotesis Kuznets terbukti di Koridor Ekonomi Indonesia selama tahun , dan estimasi model panel untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia selama Bab keempat akan membahas hasil analisis dari setiap tahapan metodologi pada bab ketiga. Untuk memudahkan pemahaman, hasil analisis juga akan menyertakan peristiwa aktual dan makna ekonomi terkait. Bab kelima akan membahas kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis pada bab keempat. Pembahasan kesimpulan kemudian akan dihubungkan dengan hasil studi literatur sebelumnya. Selain itu juga, bab ini akan membahas implikasi dari hasil penelitian yang diperoleh. 17

BAB 5: INDIKASI INVESTASI INFRASTRUKTUR

BAB 5: INDIKASI INVESTASI INFRASTRUKTUR BAB 5: INDIKASI INVESTASI INFRASTRUKTUR Pelaksanaan MP3EI memerlukan dukungan pelayanan infrastruktur yang handal. Terkait dengan pengembangan 8 program utama dan 22 kegiatan ekonomi utama, telah diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011-2025 A. Latar Belakang Sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap terhadap

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia - 54 - BAB 3: KORIDOR EKONOMI INDONESIA A. Postur Koridor Ekonomi Indonesia Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian POKOK-POKOK MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) TAHUN

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian POKOK-POKOK MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) TAHUN Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian POKOK-POKOK MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) TAHUN 2011-2025 Disampaikan Pada acara: RAKERNAS KEMENTERIAN KUKM Jakarta,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

PANDUAN WORKSHOP MASTER PLAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI)

PANDUAN WORKSHOP MASTER PLAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) PANDUAN WORKSHOP MASTER PLAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN KORIDOR EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

PEMBANGUNAN KORIDOR EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH PEMBANGUNAN KORIDOR EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH Pembangunan Koridor Ekonomi (PKE) merupakan salah satu pilar utama, disamping pendekatan konektivitas dan pendekatan pengembangan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah tidaklah terpisahkan dari pembangunan nasional, karena pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan

Lebih terperinci

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Dunia saat ini menghadapi suatu mainstream paradigma yang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Dunia saat ini menghadapi suatu mainstream paradigma yang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dunia saat ini menghadapi suatu mainstream paradigma yang menginginkan agar sekat-sekat atau bariers antarsuatu negara menjadi lebih terbuka dan accsessible, sehingga

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/9/13/Th. XIX, 1 ember 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,331 Pada 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses untuk melakukan

Lebih terperinci

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di EB News: Trickle Down Effect dan Unbalanced Growth Thursday, 21 April :13

Artikel Prof Mudrajad Kuncoro di EB News: Trickle Down Effect dan Unbalanced Growth Thursday, 21 April :13 Prof Mudrajad di Pelabuhan Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, salah satu daerah tertinggal dan pulau terluar Indonesia di Provinsi Maluku. MEMASUKI akhir kuartal pertama tahun 2016, Pemerintahan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 - 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Indikasi adanya ledakan penduduk di Indonesia yang ditunjukkan beberapa indikator demografi menjadikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara yang dilewati garis khatulistiwa. Negara tropis tersebut memiliki jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau

Lebih terperinci

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan.

pendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan selalu menjadi masalah bagi setiap negara, terutama negara berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Pembangunan dikatakan berhasil jika terjadi pertumbuhan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015 No. 10/02/14/Th. XVII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN EKONOMI RIAU TAHUN TUMBUH 0,22 PERSEN MELAMBAT SEJAK LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian Riau tahun yang diukur berdasarkan Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan negara lain.

Lebih terperinci

KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF

KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF Apakah Rencana Tata Ruang Pulau sudah sesuai dengan koridor ekonomi?, demikian pertanyaan ini diutarakan oleh Menko Perekonomian dalam rapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan. S ensus Penduduk, merupakan bagian terpadu dari upaya kita bersama untuk mewujudkan visi besar pembangunan 2010-2014 yakni, Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Keberhasilan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 No. 41/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 GINI RATIO PROVINSI BANTEN MARET 2017 MENURUN Pada 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur

Lebih terperinci

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun 2017-2020 SK KETUA DEWAN RISET NASIONAL NOMOR: 27/Ka.DRN/X/2017 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA PERIODE

Lebih terperinci

Sektor * 2010** 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,47 4,83 3,98 2,86 2. Pertambangan dan Penggalian

Sektor * 2010** 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,47 4,83 3,98 2,86 2. Pertambangan dan Penggalian Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** (1) (2) (3) (3) (4) (4) (5) (5) (6) (6) (7) 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perikanan 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,47 4,83 3,98 2,86

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 2 BPS PROVINSI DI YOGYAKARTA No 46/08/34/ThXIX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2017 TUMBUH 5,17 PERSEN LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Disampaikan oleh: DeputiMenteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Peluncuran Peta Kemiskinan dan Penghidupan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 63/11/34/Th.XVIII, 7 November PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 4,68 PERSEN, LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perbaikan kualitas segenap bidang kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara sedang berkembang, pada umumnya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah namun dengan kualitas yang masih tergolong rendah. Hal ini tentu dapat

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 45/08/34/Th.XVIII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2016 TUMBUH 5,57 PERSEN LEBIH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017

POKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017 POKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017 Kepala Subdirektorat Keuangan Daerah Bappenas Februari 2016 Slide - 1 KONSEP DASAR DAK Slide - 2 DAK Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. No.526, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan penelitian. Pendahuluan ini dimaksudkan untuk menjelaskan latar belakang penelitian sesuai

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 454, 2016 ANRI. Dana. Dekonsentrasi. TA 2016. Pelaksanaan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/08/34/Th.XVII, 5 Agustus 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2015 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2015 MENGALAMI KONTRAKSI 0,09 PERSEN,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. No.1562, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG KEPUTUSAN NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG PENETAPAN NAMA NAMA PENERIMA DANA PROGRAM ASISTENSI SOSIAL LANJUT USIA TAHUN 2012 Menimbang :, a. bahwa jumlah lanjut usia yang membutuhkan perhatian dan penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi dimaknai sebagai suatu proses di mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh stakeholders untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh stakeholders untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terlebih dahulu memerlukan berbagai usaha yang konsisten dan terus menerus dari seluruh stakeholders

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

DATA MENCERDASKAN BANGSA

DATA MENCERDASKAN BANGSA Visi BPS Pelopor Data Statistik Terpercaya untuk Semua Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 237,6 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun DATA MENCERDASKAN

Lebih terperinci