LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BAWANG MERAH DAN CABAI MERAH Oleh: Bambang Sayaka Kurnia Suci Indraningsih Arief Iswariyadi Amar K. Zakaria PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

2 PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas bawang merah dan cabai merah diproduksi dalam jumlah memadai dibandingkan permintaan yang ada. Bawang merah sebagian besar diproduksi di dataran rendah, sedangkan cabai merah diproduksi sebagain besar diataran menegah hingga dataran tinggi. Produksi berlimpah kedua komoditas tersebut pada musim panen menyebabkan harga turun di tingkat petani maupun eceran. Pada luar musim panen menyebabkan harga melonjak sangat tinggi. Fluktuasi harga ini antar lain dipicu oleh pola produksi yang hampir bersamaan pada musim panen disebagian besar daerah penghasil kedua komoditas ini. Kelebihan suplai ketika panen raya tidak diatasi melalui eskpor atau pengolahan. Penduduk umumnya mengkonsumsi kedua komoditas ini dalam bentuk segar. Harga bawang merah secara nasional selama periode Oktober 2012 hingga Oktober 2013 memiliki keragaman 45,94 persen. Keragaman harga antar wilayah pada periode yang sama adalah 23,36 persen (Kementerian Perdagangan, 2013). Fluktuasi harga cabai terjadi antar waktu maupun antar daerah. Misalnya, menurut laporan Kementerian Perdagangan (2012) sejak Desember 2011 hingga Desember 2012 harga cabai secara nasional cenderung berfluktuasi dengan koefisien keragaman harga sebesar 15,52 persen. Fluktuasi harga cabai antar wilayah pada periode yang sama adalah 34,29 persen. Permentan No. 86/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Permendag No. 16/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH) mengatur tentang stabilisasi harga bawang merah dan cabai merah, yaitu dengan penetapan harga referensi. Referensi harga cabai dan bawang merah ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada tanggal 3 Oktober Harga referensi bawang merah adalah sebesar Rp per kg dengan memperhitungkan biaya balik modal atau break even point (BEP) ditambah keuntungan 40 persen. Harga referensi cabai merah dan cabai 1

3 keriting ditetapkan sebesar Rp per kg. Harga referensi cabai rawit adalah Rp per kg. Impor bawang merah, cabai merah, cabai keriting, dan cabai rawit akan diijinkan jika harga eceran sudah melampaui harga referensi masing-masing. Referensi harga bawang merah dan cabai merupakan upaya untuk melindungi konsumen, yaitu jika harga dianggap terlalu mahal maka diijinkan impor untuk menekan harga di pasar domestik. Hal ini bisa dimengerti karena pada bulan-bulan tertentu harga bawang merah maupun cabai merah di pasar dalam negeri menjadi sangat mahal dan membebani konsumen. Sebaliknya, jika harga kedua komoditas di pasar domestik terlalu rendah dan merugikan petani, tidak ada upaya pemerintah untuk mengatasi hal ini. Seharusnya pemerintah bersikap adil dengan upaya melindungi petani sehingga usahatani menguntungkan tetapi tidak membebani konsumen. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis fluktuasi harga bawang merah dan cabai merah serta mengusulkan cara-cara untuk menstabilkan harga kedua komoditas tersebut. Diharapkan upaya yang ditempuh pemerintah dalam menstabilkan harga bukan penyelesaian jangka pendek tetapi jangka panjang dan berkelanjutan. Tujuan Secara umum kajian ini untuk menganalisis cara melakukan stabilisasi harga bawang merah dan cabai merah. Secara khusus kajian ini akan melakukan: (a) analisis kebijakan pengendalian harga cabai dan bawang merah; (b) analisis harga bawang merah dan cabai merah di tingkat produsen dan konsumen; (b) analisis suplai bawang merah dan cabai merah dari dalam negeri; (c) kajian permintaan domestik untuk bawang merah dan cabai merah; (d) usulan kebijakan untuk stabilisasi harga bawang merah dan cabai merah. 2

4 METODOLOGI Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari berbagi sumber, yaitu lain Badan Pusat Statistik (BPS), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil pertanian (P2HP), dan Kementerian Perdagangan. Disamping itu informasi tentang perilaku harga kedua komoditas tersebut juga diperoleh dari petani, pedagang, pengecer, dan Dinas Pertanian di Provinsi maupun Kabupaten. Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Garut untuk cabai merah dan Kabupaten Majalengka untuk bawang merah) untuk mendapatkan informasi langsung. Data sekunder tentang harga dan produksi bawang merah dan cabai merah akan dikumpulkan dari berbagai instansi di Jakarta dan daerah penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan Pemerintah untuk Pengendalian Harga Cabai dan Bawang Merah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 47/OT.140/4/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) diterbitkan sebagai penyempurnaan Permentan sebelumnya (No.60/OT.140/9/2012). Permentan No. 60/2012 direvisi karena ada berbagai klausul yang bertentangan dengan aturan WTO. Permentan 60/2012 secara eksplisit tidak menyebut untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya petani hortikultura, tetapi untuk memberi kepastian layanan bagi calon importir produk hortikultura (Pasal 2 dan 3). Pasal 7 (a), (b), (c), (d), dan (e) tentang impor yang dikaitkan dengan produksi produk sejenis di dalam negeri, konsumsi domestik, ketersedian produk di dalam negeri, potensi mendistorsi pasar, dan waktu panen. Alasan perubahan pasal-pasal tersebut adalah pada WTO Agreement on Agriculture, Article 4 (1 & 2): semua impor (akses pasar) tidak boleh dilarang, pembatasan impor harus menggunakan hambatan tarif atau tariff barrier (pajak impor). Impor bisa dilarang jika ada pertimbangan Sanitary and Phytosanitary, Anti- Dumping, Tariff Rate Quota (TRQ), dan Special Safeguard (SSG). Disamping itu TRQ 3

5 (tariff rate quota), yaitu tarif berbeda diatas 3-5 persen dari konsumsi nasional untuk Indonesia, hanya berlaku untuk beras dan susu. SSG hanya berlaku untuk susu dan cengkeh (12 pos tarif untuk susu dan 1 pos tarif untuk cengkeh). SSG bisa diberlakukan jika terjadi distorsi pasar domestik (injury) karena volume impor produk tersebut sangat banyak sehingga menekan harga produk sejenis di dalam negeri dan secara ekonomi merugikan petani. Permentan No. 47/2013 direvisi lagi pada tanggal 30 Agustus 2013 menjadi Permentan No. 86/2013. RIPH yang baru ini memuat keputusan yang sama dengan RIPH sebelumnya tentang jenis sayur dan buah yang impornya diatur, yaitu 5 jenis sayuran (kentang, bawang merah, bawang bombay, wortel, cabai) dan 10 jenis buah (pisang, nanas, mangga, jeruk, anggur, melon, pepaya, durian, apel, dan lengkeng). Perbedaan RIPH yang baru dengan sebelumnya adalah adanya penetapan harga referensi untuk impor cabai dan bawang merah yang akan ditetapkan oleh Menteri Perdagangan (pasal 5 ayat 4). Referensi harga cabai dan bawang merah ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada tanggal 3 Oktober Secara spesifik penentuan harga refenrensi untuk cabai dan bawnag merah adalah dnegan pertimbagan sebagai berikut: a. Dalam menjaga stabilisasi pasokan dan harga produk hortikultura (bawang merah, cabai merah besar/keriting, dan cabai rawit merah), pemerintah menetapkan kebijakan Harga Referensi, sebagaimana diatur dalam Permendag No. 16/2013 Jo Permendag No. 47/2013. b. Harga Referensi Produk Hortikultura merupakan harga acuan impor untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga di konsumen pada tingkat wajar dengan tetap mempertimbangkan kepentingan petani. c. Melalui Keputusan Dirjen PDN No. 118/PDK/KEP/10/2013 tanggal 3 Oktober 2013, Harga Referensi bawang merah, cabai merah besar/keriting, dan cabai 4

6 rawit merah ditetapkan masing-masing sebesar Rp /kg, Rp / kg, dan Rp /kg. Harga referensi ini sejak ditetapkan hingga akhir tahun 2014 belum pernah direvisi mengingat masih relevan. Walaupun demikian harga ini adalah untuk melindungi konsumen yaitu akan dilakukan impor jika harga relatif tinggi. Jika harga terlalu rendah sama sekali petani tidak mendapat perlindungan sehingga kadangkadang terjadi kerugian karena harga jual petani lebih rendah dari biaya produksi. Bersamaan dengan peraturan ini, pengaturan tempat pendaratan buah dan sayuran impor sesuai dengan Permentan No. 42/OT.140/6/2012 mulai berlaku pada 19 Juni 2012 di empat pelabuhan laut utama dan satu bandara internasional. Keadaan ini di satu pihak akan semakin menyulitkan importir dengan konsekuensi kegiatan ekonomi dan bisnisnya, namun di pihak lain pemerintah akan lebih mudah melakukan pengendalian. Disamping itu juga ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 43/ Permentan/Ot.140/6/2012 tentang tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan sayuran umbi lapis segar ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, Juni Permentan No. 42/OT.140/6/2012 tentang tindakan karantina tumbuhan mengatur pemasukan buah dan sayuran buah segar kedalam wilayah Republik Indonesia. Hal ini memberikan keleluasaan kepada petugas karantina pertanian melakukan pemeriksaan kesehatan barang/produk buah segar impor terkait infestasi lalat buah, termasuk pemeriksaan atas pemenuhan persyaratan administratif (kelengkapan dokumen). Diantara aspek yang menonjol dalam peraturan ini adalah ketentuan tentang pelabuhan/tempat masuknya buah impor, yakni pelabuhan laut Belawan (Medan), Tanjung Perak (Surabaya), Soekarno-Hatta (Makassar), dan pelabuhan udara Soekarno-Hatta (Jakarta). Pelabuhan lain yang memungkinkan untuk impor buah segar adalah adalah kawasan perdagangan bebas Batam, Bintan, dan Karimun. Peraturan ini lebih banyak memuat ketentuan tindakan terhadap Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) dengan maksud pencegahan masuknya dan tersebarnya hama lalat buah di dalam negeri. Dalam kaitan ini, harus 5

7 diakui bahwa petani buah Indonesia sudah sejak lama mengalami serangan hama lalat buah, seperti petani buah jeruk di wilayah Tanah Karo, Sumatera Utara. Dengan kenyataan ini, peraturan yang mengharuskan impor buah dari negara yang bebas infestasi lalat buah menjadi tidak relevan karena petani buah di dalam negeri masih berjuang mengendalikannya. Pelabuhan Tanjung Priok hanya bisa diakses oleh negara-negara yang memperoleh MRA (mutual recognition agreement) dari Pemerintah Indonesia, yaitu Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Akhir-ahkir ini sebagain besar impor buah yang semula melalui Tanjung Priok dimasukkan ke Tanjung Perak karena sebagian besar konsumen buah impor di Jawa. Walaupun demikian biaya pemasaran untuk daerah Jakarta dan sekitarnya menjadi lebih mahal. Sejak penetapan Pelabuhan Impor untuk produk hortikultura, Pemerintah memberlakukan pengecualian untuk produk hortikultura dari negara-negara tertentu untuk dapat masuk melalui Pleabuhan tanjung Priok. Semula hanya empat negara yang mendapat pengecualian melalui Mutual Recognition Agreement (MRA), yaiu Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru dan Australia. Hingga tahun 2014 jumlah negara yang memperoleh eksportir produk hortikulkutra yang memperoleh MRA bertambah banyak dengan jensis-jenis produk teritama buah-buahan, yaitu: a) Amerika (USA) semua komoditi hortikultura b) Australia, semua komoditi hortikultura c) Canada, semua komoditi hortikultura d) New Zealand/Selandia Baru, semua komoditi hortikultura e) Belanda (Zeeland dan Flevoland) komoditi bawang bombay f) Perancis (daerah Anger Provinsi Pays De Loire) komoditi apel g) Pakistan (daerah Sargoda Provinsi Punjab) komoditi jeruk kinnow Harga Bawang Merah Dan Cabai Merah di Tingkat Produsen dan Konsumen Harga eceran cabai merah rata-rata mulai naik sejak diberlakukan pengaturan impor tahun Pada tahun dan 2012 rata-rata harga eceran cabai merah Rp dan Rp per kg, kemudian naik menjadi Rp per kg pada 6

8 tahun Selanjutnya hingga Agustus 2014 rata-rata harga cabai merah kembali menjadi Rp / per kg (Tabel 1). Tabel 1. Harga Produsen, Grosir, dan Eceran Cabe Merah, (Rp/kg) Bulan Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran Jan 22,074 30,329 40,362 16,033 26,568 27,569 Peb 16,536 24,348 34,382 9,888 17,217 20,695 Mar 13,638 16,087 25,271 11,804 18,757 21,634 April 7,921 12,279 18,968 10,218 16,069 23,143 Mei 6,540 9,477 16,146 10,255 16,602 22,306 Juni 4,707 7,757 15,314 14,080 22,283 27,224 Juli 4,828 7,634 15,314 12,531 20,680 27,224 Agsts 6,170 9,094 15,465 10,963 16,920 23,623 Sept 8,830 14,503 19,007 11,019 15,240 19,449 Okt 12,292 19,100 21,761 11,095 17,668 20,675 Nov 18,196 22,220 25,440 8,495 14,365 18,451 Des 19,953 25,550 28,968 7,236 13,750 19,163 Rata-rata 11,807 16,531 23,033 11,135 18,010 22,596 Sumber: Ditjen P2HP (2014) Tabel 1. Lanjutan Bulan Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran Jan 13,735 19,364 22,406 24,617 29,989 32,069 Peb 13,381 19,064 25,991 18,199 23,504 27,263 Mar 13,715 19,401 26,731 14,441 19,891 26,114 April 12,592 17,667 24,819 8,929 17,316 24,187 Mei 14,541 20,404 28,543 7,246 11,197 19,903 Juni 24,313 27,110 33,372 6,730 9,525 18,669 Juli 19,730 26,550 35,911 6,421 10,210 19,538 Agsts 15,017 22,400 33,285 7,783 11,762 19,320 Sept 16,328 21,083 29,052 Okt 26,019 30,249 36,130 Nov 22,269 29,003 32,036 Des 22,214 26,546 33,034 Rata-rata 17,821 23,237 30,109 11,796 16,674 23,383 Sumber: Ditjen P2HP (2014) 7

9 Tingkat keuntungan atau marjin yang diperoleh pedagang besar dan pedagang pengecer bervariasi antar tahun. Pedagang besar (grosir) memperoleh marjin sebesar 45, 63, 33, dan 49 persen selama tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 dari pembelian di tingkat petani. Sedangkan pedagang pengecer memperoleh marjin sebesar 50, 27, 31 dan 53 persen selama periode yang sama (Tabel 2). Tabel 2. Marjin yang Diperoleh Grosir dan Pedagang Eceran Cabe Merah, Bulan Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Jan Peb Mar April Mei Juni Juli Agsts Sept Okt Nov Des Rata-rata Sumber: Ditjen P2HP (2014), diolah Harga eceran cabai keriting rata-rata sebesar Rp dan Rp selama tahun 2011 dan Pada tahun 2013 dan 2014 rata-rata harga eceran cabai keriting sebesar Rp dan Rp per kg (Tabel 3). 8

10 Tabel 3. Harga Produsen, Grosir, dan Eceran Cabe Keriting, (Rp/ Bulan Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran Jan 32,877 39,497 42,231 20,163 27,841 30,857 Peb 25,196 34,407 37,642 8,410 14,842 22,074 Mar 16,121 18,824 27,796 10,522 13,971 22,185 April 7,351 11,247 19,306 10,980 14,763 24,674 Mei 4,551 9,706 16,149 11,079 14,999 23,075 Juni 3,763 6,485 14,946 15,693 24,520 27,330 Juli 4,122 7,599 14,946 14,059 21,556 27,330 Agsts 5,558 8,188 14,473 10,619 18,908 24,111 Sept 9,756 16,540 18,661 8,012 15,301 19,031 Okt 14,759 20,213 23,289 10,493 16,495 20,302 Nov 19,573 24,352 27,662 8,087 13,395 18,944 Des 25,417 27,775 30,766 7,005 11,342 18,918 Rata-rata 14,087 18,736 23,989 11,260 17,328 23,236 Sumber: Ditjen P2HP (2014) Tabel 3. Lanjutan Bulan Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran Jan 12,307 17,335 22,797 23,251 30,712 32,955 Peb 12,639 20,210 26,932 16,289 21,619 27,393 Mar 12,818 17,194 27,613 13,898 16,718 25,122 April 12,700 16,069 25,797 7,208 11,881 22,860 Mei 16,737 26,879 29,513 4,939 12,094 19,353 Juni 23,822 31,949 33,405 4,106 10,366 17,719 Juli 21,337 31,315 35,525 4,225 11,295 18,023 Agsts 15,340 22,863 29,918 5,272 12,304 20,052 Sept 15,296 21,063 26,933 Okt 28,079 34,944 35,855 Nov 25,464 32,044 32,575 Des 18,765 26,332 30,210 Rata-rata 17,942 24,850 29,756 9,899 15,874 22,934 Sumber: Ditjen P2HP (2014) Marjin pedagang besar cabai keriting rata-rata lebih tinggi dari marjin pedagang eceran. Pada tahun 2011 hingga 2014 marjin pedagang besar antar 40 hingga 93 persen. Sementara itu pada periode yang sama pedagang eceran mendapat marjin berkisar dari 24 hingga 54 persen (Tabel 4). 9

11 Tabel 4. Marjin yang Diperoleh Grosir dan Pedagang Eceran Cabe Keriting, Bulan Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Jan Peb Mar April Mei Juni Juli Agsts Sept Okt Nov Des Rata-rata Sumber: Ditjen P2HP (2014), diolah Harga eceran bawang merah rata-rata mulai meningkat sejak diberlakukan pengaturan impor seperti pada komoditas cabai. Pada tahun 2011 dan 2012 harga rata-rata bawang merah adalah Rp dan Rp per kilogram. Pada tahun 2013 dan 2014 harga eceran bawang merah menjadi Rp dan Rp per kg (Tabel 5). 10

12 Tabel 5. Harga Produsen, Grosir, dan Eceran Bawang Merah, (Rp/kg) Bulan Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran Jan 14,715 19,472 24,056 3,983 8,515 12,584 Peb 15,275 19,162 24,710 4,679 8,873 12,586 Mar 13,450 16,868 24,214 4,990 8,884 12,657 April 8,794 11,135 19,424 6,044 9,350 13,909 Mei 10,320 11,927 18,401 8,767 12,256 16,260 Juni 11,488 14,651 19,943 8,988 13,006 17,684 Juli 11,871 14,287 19,943 7,814 10,458 17,684 Agsts 7,173 9,778 17,672 7,359 9,363 13,449 Sept 6,873 10,224 15,672 6,411 8,992 12,783 Okt 6,325 10,505 14,643 6,737 9,102 12,150 Nov 5,261 9,895 14,065 9,121 11,184 14,271 Des 4,286 8,749 13,388 9,638 11,917 16,507 Rata-rata 9,652 13,054 18,844 7,044 10,158 14,377 Sumber: Ditjen P2HP (2014) Tabel 5. Lanjutan Bulan Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran Jan 9,911 14,931 20,305 10,049 18,928 29,022 Peb 12,307 17,475 22,589 7,315 14,598 21,528 Mar 26,497 32,060 36,315 9,399 14,588 20,982 April 26,403 34,828 41,562 9,806 14,203 21,238 Mei 21,189 26,032 31,362 11,065 16,339 22,800 Juni 15,052 23,270 29,456 13,756 17,749 25,608 Juli 22,508 40,840 49,207 13,766 18,147 27,284 Agsts 21,236 37,940 60,549 10,815 17,109 23,689 Sept 13,496 21,030 33,873 Okt 13,428 19,258 26,212 Nov 14,643 22,938 29,184 Des 13,811 23,086 31,467 Rata-rata 17,540 26,141 34,340 10,746 16,458 24,019 Sumber: Ditjen P2HP (2014) Marjin pedagang besar bawang merah meningkat sejak 2011 hingga 2014, yaitu dari 43 menjadi 57 persen. Pada periode yang sama marjin pedagang eceran bawang merah berfluktuasi dari 47 menjadi 46 persen (Tabel 6). 11

13 Tabel 6. Marjin yang Diperoleh Grosir dan Pedagang Eceran Bawang Merah, Bulan Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Jan Peb Mar April Mei Juni Juli Agsts Sept Okt Nov Des Rata-rata Sumber: Ditjen P2HP (2014), diolah Suplai Bawang Merah dan Cabai Merah dari Produksi Domestik dan Impor Dari analisis data yang dilakukan oleh Rachmat dkk (2014) diperoleh pola puncak panen dan periode kekurang produksi dalam negeri untuk komoditas bawang merah dan cabai (Tabel 7). Bawang merah mengalami puncak musim panen antara bulan Juni hingga Agustus. Produksi bawang merah sangat sedikit dan persediaan cenderung defisit antar bulan Februari dan Maret. Dengan demikian impor bawang merah disarankan pada bulan Februari dan Maret dan jika memungkinkan ekspor bawnag merah antra Juni hingga Agustus. Musim puncak panen cabai terjadi antara April hingga Juli dan panen relatif sedikit serta cenderung deficit pada November hingga Januari. Impor cabai disarankan pada bulan November hingga Januari. Sementara itu impor cabai tidak disarankan antara April hingga Juli. Tabel 7. Periode Panen Puncak dan Kekurangan Produksi Cabai dan Bawang Merah Komoditi Puncak Panen Waktu Produksi Rendah dan Defisit Bawang merah Juni, Juli, Agustus Februari - Maret Cabai April, Mei, Juni, Juli November- Desember-Januari- Februari Sumber: Rachmat dkk (2014) 12

14 Permintaan Domestik Untuk Bawang Merah dan Cabai Merah; Produksi bawang merah pada tahun sebesar ton dan meningkat menjadi ton pada tahun Pada periode yang bersamaan impor bawang merah turun dari ton menjadi ton (Tabel 8). Sementara itu ekspor bawang merah dalam bentuk olahan berlangsung dan dalam volume relatif kecil. Kemandirian bawang merah naik dari 90,38 persen manjdi 99,72 persen. Selama periode 2011 hingga 2013 produksi cabai merah naik dari ton menjadi ton. Impor cabai pada periode tersebut turun dari ton menjadi 290 ton. Kemandirian cabai naik dari 90 persen menjadi 93,91 persen. Tabel 8. Produksi, Ekspor, Impor, dan Ketersediaan Bawang Merah dan Cabai, 2011 dan 2013 Tahun Komoditi Produksi Ekspor Impor Ketersediaan Kemandirian (000 Ton) (000 Ton) (000 Ton) (000 Ton) (%) 2011 Bawang Merah Cabai Bawang Merah , Cabai Usulan Kebijakan Untuk Stabilisasi Harga Bawang Merah Dan Cabai Merah 1. Peran Pemerintah Daerah dalam Upaya Stabilisasi Harga Cabai Merah dan Bawang Merah Pengaturan Pola Tanam Kebijakan perencanaan tanam dari Pusat untuk komoditas yang mempengaruhi inflasi, termasuk cabai merah dan bawang merah. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat juga mempunyai perencanaan tanam yang tercantum dalam Rencana Strategis, tetapi angkanya lebih rendah dibanding Pusat (diperoleh dari trend angka tetap). Sosialisasi perencanaan tanam dilakukan di 13

15 tingkat provinsi untuk petugas Dinas dari kabupaten, dan secara berjenjang petugas Dinas dari kabupaten yang melakukan sosialisasi kepada para penyuluh untuk disosialisasikan lebih lanjut kepada para petani. Pengaturan pola tanam kepada petani hanya sebatas himbauan, karena petani tidak diberi fasilitas (seperti saprodi). Petani akan melakukan pola tanam anjuran kalau disertai dukungan bantuan. Petani yang menanam cabai secara monokultur dalam satu tahun dapat tiga kali tanam, namun kebanyakan petani menanam cabai secara tumpangsari dengan sayuran lain, seperti sawi putih, kubis, tomat, kentang, ataupun kacang merah. Untuk lahan sawah, petani menanam cabai setelah tanam padi. Produksi cabai merah keriting: 4-8 ons/pohon atau 10 ton/ha, sedangkan produksi cabai merah besar: 8-12 ons/pohon atau 16 ton/ha. Populasi cabai dalam 1,0 ha mencapai 20 ribu pohon. Salah satu faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga cabai merah dan bawah merah adalah adanya petani dadakan yang menanam komoditas tersebut. Program Pusat (Drektorat Pengembangan Budidaya) berupa pengembangan kawasan, tahun 2015 sudah ada keterpaduan antara produksi dan pengolahan, dengan bantuan alat pengolahan dari Ditjen P2HP. Pengolahan cabai merah berupa saos, abon cabai, dan bubuk cabai, sedangkan bawang merah berupa bawang goreng. Pengolahan abon cabai dan bubuk cabai dilakukan oleh industri skala kecil (rumah tangga), sedangkan saos dilakukan oleh industri skala sedang-besar. Permasalahan pemasaran masih menjadi kendala bagi para petani produsen, rantai pemasaran yang panjang, kondisi infrastruktur pedesaan yang kurang memadai seperti ketersediaan informasi pasar, sarana pemasaran dan sistem pemasaran yang belum adil terkait dengan keterbatasan modal menyebabkan banyak petani yang terikat dalam sistem ijon sehingga melemahkan posisi tawar petani. Di samping itu kemampuan petani terbatas dalam menyimpan produknya sehingga seringkali hasil panen dijual segera setelah panen. Kondisi tersebut diperburuk dengan membanjirnya produk impor di pasar domestik akibat liberalisasi perdagangan. Selain itu upaya pemerintah dalam memberikan jaminan harga 14

16 terkendala oleh kemampuan pendanaan. Cabai merah dan bawang merah dinilai perlu untuk mendapatkan perlindungan harga dari Pemerintah. Pemasaran Cabai Merah dan Bawang Merah Melalui Sub Terminal Agribisnis Kebijakan Dinas TPH Kabupaten Garut adalah: (1) Meningkatkan kemampuan aparatur pertanian baik teknis maupun administrasi; (2) Meningkatkan peran dan kemampuan usaha petani tanaman pangan dan hortikultura; (3) Penguatan akses petani terhadap iptek, pasar, dan permodalan bunga rendah; dan (4) Mengembangkan pasar produksi pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Wilayah sentra cabai: Kecamatan Cikajang, Cisurupan, Samarang, Tarogong Kidul. Petani terkendala oleh waktu tanam, sehingga berpengaruh terhadap harga. Saat ini luas tanam cabai merah di Kabupaten Garut mencapai ha, seharusnya bisa dikendalikan pada luasan ha. Upaya yang sudah dilakukan Dinas TPH Kabupaten Garut adalah sosialisasi di tingkat kabupaten dan kecamatan dengan peserta petani skala besar yang mempunyai luasan lahan > 3,0 ha (sekitar 5% dari total petani), sehingga tidak mencakup semua petani. Pengaturan pola tanam dalam implementasinya relatif sulit. Penanaman cabai keriting sudah hampir di seluruh kecamatan, karena petani menilai bahwa cabai sangat prospektif, dalam waktu satu tahun diperoleh satu kali keuntungan yang sangat besar. Semua program dari Ditjen terkait (Pusat) turun ke Dinas TPH, dalam pelaksanaan di lapangan melibatkan penyuluh yang menginduk di Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K), dan koordinasi antara Dinas TPH dengan BP4K relatif sulit. Di tingkat kecamatan koordinasi antara Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan: (1) Kondisi sosial penyuluh ataupun mantri tani, seperti faktor senioritas menjadi kendala untuk menjalin kerjasama yang harmonis; (2) Pengawasan dari seluruh unit kerja yang lemah; (3) Ketidakterbukaan tentang anggaran kegiatan/program. 15

17 Upaya Dinas TPH untuk menjaga stabilisasi harga cabai merah dengan cara pengaturan pola tanam dan mendorong petani agar memasarkan cabai keriting di Sub Terminal Agribisnis (STA) sebagai jembatan antara produsen dan konsumen yang memperpendek rantai pemasaran. STA memasok produk ke pasar lokal, pasar induk (Jakarta, Bandung, Bekasi), dan antar pulau (Bangka Belitung, Kalimantan), serta membangun kemitraan dengan PT. Indofood dan PT. ABC. Saat ini STA terkendala dengan ketersediaan modal, selain itu bagi petani yang menjual produknya ke STA perlu biaya transportasi yang tinggi, karena jarak antara lahan petani dengan STA tergolong jauh. STA menjadi salah satu indikator dari fungsi dinas sebagai fasilitator bagi petani dengan pihak-pihak luar, setelah 2 (dua) tahun mengalami stagnasi maka pada tahun 2007 STA memulai penataan kembali dengan persiapan dan pembentukan kepengurusan yang baru. Pada tahap persiapan revitalisasi STA kegiatan-kegiatan yang dilakukan berupa penyusunan Rencana Strategis STA beserta rencana bisnisnya dan penyiapan sistem kelembagaan STA yang memungkinkan melayani kebutuhan pelaku agribisnis sebagai lembaga pelayanan (service provider). Kegiatan transaksi di STA baru dimulai kembali pada pertengahan November 2007 oleh pengelola yang baru hasil restrukturisasi STA. Hasil yang telah dicapai adalah sebagai berikut: (1) STA telah memiliki rencana strategis, rencana bisnis dan standar operasi dan prosedur (SOP) untuk penanganan beberapa komoditas utama; (2) Dimulainya transaksi antar pulau; (3) Dimulainya transaksi pasokan untuk pasar ekslusif (Carefore, Makro, Superindo); (4) Terciptanya permintaan-permintaan komoditas agribisnis baik tingkat lokal, antar pulau maupun ekspor; (5) Mulai terbangunnya hubungan-hubungan yang lebih kuat dan lebih sinergis antara STA dengan stakehoulders, (6) Terbangunnya komitmen dari mitra STA untuk peningkatan usaha dan peningkatan sarana seperti pembangunan sentra rumah pengemasan (packing house). Realisasi produksi sayuran di Kabupaten Garut pada tahun 2013 mencapai ton atau 144,8 persen dari sasaran produksi Tahun 16

18 2013 sebesar ton. Apabila dibandingkan dengan pencapaian pada Tahun 2012 mencapai ton, terjadi peningkatan sebesar 30,6 persen ( ton). Pengembangan Kelembagaan Petani Dalam upaya peningkatan nilai tambah hasil pertanian dan daya saing di Kabupaten Garut, maka kebijakan yang ditetapkan adalah: (1) Menata dan memantapkan agribisnis tanaman pangan dan hortikultura secara berkelanjutan; (2) Pembangunan sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani; (3) Pengembangan industri hilir pertanian di pedesaan yang berbasis kelompok tani; (4) Penguatan akses petani terhadap iptek, pasar dan permodalan bunga rendah; dan (5) Mengembangkan pasar industri pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Peningkatan peran sektor pertanian baik tanaman pangan, hortikultura bagi pendapatan daerah antara lain dengan memperluas pemasaran baik lokal, regional maupun melalui ekspor ke negara lain melalui promosi dan kerjasama (kemitraan). Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan posisi permintaan akan komoditi hasil pertanian lebih meningkat. Berkembangnya kegiatan agribisnis di berbagai daerah sentra, perlu mendapat dukungan dari segi sarana, prasarana, dan kelembagaan ekonominya. Pengembangan kemitraan yang telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, mengalami perkembangan-perkembangan yang cukup memuaskan namun harus tetap ditingkatkan. Pasar Tani Kabupaten Garut bernama Pasar Tani Mukti Rahayu dan dalam pelaksanaannya dilaksanakan oleh Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Mukti Rahayu. Aspartan Mukti Rahayu Kabupaten Garut didirikan pada tanggal 25 Mei 2009, yang beranggotakan petani/kelompok tani baik kelompok tani sayuran maupun kelompok pengolah. Pasar Tani Kabupaten Garut selama ini dilaksanakan dengan menggunakan tenda yang bisa di bongkar pasang. Pasar tani dilaksanakan rutin sebulan sekali dengan tempat berpindah-pindah diantaranya adalah di Alun-alun Garut (Otista), Lapang Gelora Merdeka (Kherkhof), Pendopo dan halaman Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Mukti Rahayu juga 17

19 aktif dalam Gelar Pasar Jawa Barat, yang dilaksanakan di Gedung Sate Bandung setiap bulannya. Pada Tahun 2011, Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Mukti Rahayu mendapatkan bantuan dari Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pertanian Ditjen P2HP yaitu bantuan membuat Outlet Pasar Tani, yang bertempat di Jalan Pembangunan Simpang Lima Garut. Fungsi Pasar Tani antara lain adalah: (1) Menampung dan memasarkan produk-produk pasar tani yang di jual secara langsung kepada konsumen (meningkatkan akses pasar petani); (2) Menyediakan sarana pemasaran hasil pertanian bagi petani; (3) Sebagai upaya pemberdayaan dan pengembangan pasar yang berwawasan agribisnis; (4) Meningkatkan kemandirian dan kerjasama di antara anggota pasar tani; (5) Menyediakan sarana pemasaran sebagai ajang promosi penumbuhan image cinta produk Indonesia dan pengembangan pasar produk pertanian khususnya produk unggulan Kabupaten Garut. Kegiatan Pengembangan Kawasan cabai berbasis pertanian berkelanjutan. dengan anggaran Rp 200 juta realisasi Rp 191,9 juta atau sebesar 96 persen. Keluaran kegiatan ini adalah terselenggaranya administrasi kegiatan, terlaksananya pengadaan benih cabai, terlaksananya pengadaan pupuk kandang, terlaksananya pengadaan kapur pertanian, terlaksananya NPK Phonska, terlaksananya pengadaan fungisida, terlaksananya pengadaan ajir, terlaksananya pengadaan mulsa plastik. Hasil dari kegiatan ini adalah lancarnya administrasi kegiatan 1 paket, tersedianya benih cabai 800 sachet, tersedianya pupuk kandang 800 ribu kg, tersedianya kapur pertanian 8 ribu kg, tersedianya NPK Phonska 1200 kg, tersedianya fungisida, tersedianya ajir 100 ribu batang, tersedianya mulsa plastik 40 roll. Kegiatan Pengembangan Komoditas cabai keriting dengan anggaran Rp 50 juta realisasi Rp 47,805 juta. Sasaran kegiatan ini adalah kelompok petani cabai keriting. Keluaran kegiatan ini adalah terselenggaranya administrasi kegiatan, terlaksananya pengadaan benih cabai keriting, terlaksananya pengadaan pupuk kandang, terlaksananya pengadaan budidaya cabai keriting. Hasil kegiatan ini adalah terwujudnya pengembangan cabai keriting 2,0 ha. Kegiatan Pengembangan 18

20 Pengolahan Hasil Pertanian yang bersumber dari dana Tugas Pembantuan APBN Tahun 2013 sebesar Rp 728,9 juta terealiasi sebesar Rp 717 juta atau sebesar 99,2 persen, yang dipergunakan untuk revitalisasi penggilingan padi sebanyak 2 paket dan fasilitasi agroindutri hortikultura (cabai) sebanyak 1 paket. Sasaran kegiatan adalah meningkatnya unit usaha pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura. Lokasi fasilitasi agroindustri hortikultura (cabai) tersebar di Kelompok Tani Mulyasari Desa Talaga Kecamatan Pasirwangi dan Koperasi STA Intan Agro Mandiri Desa Karyajaya Kecamatan Bayongbong. Beberapa rantai pemasaran cabai (merah keriting, merah besar, dan rawit): 1) Petani Pedagang Pengumpul Pedagang antar Daerah Pedagang Pasar Induk Pedagang Pengecer 2) Petani Pedagang Pengumpul Pedagang antar Pulau Grosir Pedagang Pengecer 3) Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer (di daerah sentra) 4) Petani Pedagang Pengecer (di daerah sentra) Grosir cabai merah: Batam, Bangka, Pekan Baru, Padang, dan Kuala Tungkal. Untuk pedagang antar pulau kalau harga cabai merah tinggi, tidak mengirimkan barang, karena lebih menguntungkan jika cabai merah dijual di pasar induk. Keuntungan paling besar bagi pedagang antar pulau bila harga cabai merah rendah, baru dikirimkan ke antar pulau seperti Sumatera dan Kalimantan. Tingkat keuntungan yang diperoleh pedagang antar pulau dapat mencapai 60 persen. Petani yang masih tergantung pinjaman modal dari pedagang pengumpul sekitar 20 persen, dan cabai yang dihasilkan petani dijual ke pedagang tersebut dengan harga yang diterima petani di bawah harga pasar. Petani yang tidak mempunyai ikatan pinjaman, juga menjual cabai ke pedagang pengumpul, karena akses jalan dari lahan petani ke pasar termasuk sulit (dari wilayah dataran tinggi pegunungan), biaya transportasi mahal dengan tingkat produksi yang relatif kecil. Klaster cabai Garut dibentuk pada tahun 2011 atas inisiasi Dinas TPH, Bank Indonesia, dan Pisisi UNPAD (LSM), dengan tujuan pasarnya: ekspor, pasar modern/ 19

21 swalayan, pabrikan/industri, persyaratan: spesifikasi cabai dan kontinyuitas. Persyaratan cabai yang dijual ke pabrik/industri: warna merah sempurna, pedas, dan tidak cacat, sedangkan untuk swalayan yang menjadi persyaratan hanya ukuran cabai. Klaster cabai merah beranggotakan 40 orang, namun yang aktif hanya 26 orang dengan cakupan wilayah mencapai 9 Kecamatan: Cigedug, Cikajang, Cisurupan, Bayongbong, Sukaresmi, Pasirwangi, Sucinagara (7 kecamatan termasuk wilayah dataran tinggi, kaki Gunung Cikurai), sedangkan Cibatu dan Leles termasuk dataran menengah. Pada tahun 2009 Gapoktan Intan Buana Cikurai telah bekerjasama dengan PT. Indofood. Tahun 2011 Koperasi Cagarit (cabai Garut rawit) telah bekerjasama dengan PT. ABC, kontrak dilakukan selama satu tahun dengan harga cabai tetap. Jika harga di pasar mengalami kenaikan atau lebih tinggi daripada harga yang telah disepakati dalam kontrak, maka PT. ABC akan memberikan kompensasi kenaikan harga setelah beberapa hari kemudian. Misal harga cabai ditetapkan dalam kontrak Rp 10 ribu, di pasar terjadi kenaikan harga hingga mencapai Rp 20 ribu, selisih harga diambil nilai tengahnya, sehingga kompensasi harga ada penambahan Rp 5 ribu, dan harga yang diterima petani Rp 12,5 ribu. PT. Indofood maupun PT. ABC menempatkan Agronomist di lokasi petani untuk melakukan pembinaan teknik budidaya cabai. Pada tahun 2013 akhir setelah Hari Raya, Koperasi Cagarit tidak ada lagi kontrak dengan PT. ABC, karena harga cabai di pasaran mahal, sehingga petani tidak mau menjual cabai dengan sistem kontrak. Asosiasi Pasar Tani Mukti Rahayu Kabupaten Garut berdiri pada tahun 2011 yang beranggotakan petani, pedagang, dan pengolah, dengan tujuan memperpendek rantai pemasaran, produk yang diperdagangkan seluruh komoditas pertanian (termasuk ternak dan produk olahan pertanian). Asosiasi mempunyai outlet yang bertempat di Simpang Lima Garut, dengan bangunan permanen. Outlet merupakan binaan Ditjen P2HP (seluruh Indonesia terdapat beberapa outlet), sejak bulan Maret 2014 outlet tersebut direhab, sehingga tidak ada kegiatan. Lahan outlet dan rehab bangunan didanai dari Pemda Garut. Kegiatan outlet sebelum direhab adalah menjual 20

22 hasil pertanian seperti sayuran segar dan produk olahan (dodol, keripik) di Lapangan Gasibu Bandung dalam satu bulan sekali setiap hari Jumat, dengan harga jual 20 persen di bawah harga pasar. Outlet setelah direhab akan dikelola dengan manajemen profesional, yang menggaji seorang manajer dan 2 orang tenaga pelayan. Outlet akan mendapat bantuan alat-alat dari Dinas TPH Kabupaten Garut, sedangkan modal kerja direncanakan dari pengurus. Tauke atau bandar memberikan pinjaman modal kepada petani untuk semua kebutuhan, tidak hanya untuk pembelian saprodi tetapi juga untuk membuat rumah, biaya anak sekolah dengan bunga 5 persen/bulan, sebagian pedagang lainnya mengenakan bunga sebesar 1,5-2 persen. Di kecamatan terdapat 1-2 orang tauke/bandar dan terdapat 30 persen petani yang memiliki lahan luas (> 3,0 ha) tergantung pada tauke/bandar. Petani selalu menanam cabai merah keriting dan rawit dengan sistem tumpang sari, untuk meminimalkan risiko, sedangkan cabai merah besar ditanam dengan sistem monokultur. Petani yang menanam cabai di MK dan panen di MH akan mendapatkan nilai jual yang tinggi, karena hanya petani tertentu yang bisa menanam di MK, yang terkendala dengan ketersediaan air. Pada komoditas cabai tidak ada pengaturan pola tanam. Petani sulit diatur pola tanamnya, walaupun oleh pemilik modal yang memberikan pinjaman modal. Harga jual dinilai layak oleh petani pada kisaran Rp ribu/kg, biaya produksi rawit monokultur sebesar Rp 90 juta/ha atau Rp 4,5 ribu/pohon (termasuk biaya sewa lahan), sedangkan cabai merah keriting sebesar Rp 60 juta/ha. Biaya sewa lahan berkisar antara Rp 5-15 juta/ha/tahun. Biaya saprodi mencapai 40 persen dari total biaya produksi (harga bibit cabai Rp 150), sedangkan 60 persen lainnya digunakan untuk biaya tenaga kerja. Pada kondisi normal produksi rawit mencapai 15 ton/ha, sedangkan cabai merah keriting mencapai 12 ton/ha. Keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul Rp /kg jika harga cabai Rp ribu; Rp /kg jika harga cabai > Rp 20 ribu. Pembayaran yang diterima petani dari pedagang pengum- 21

23 pul 3 hari setelah barang diambil, sedangkan dari PT. Indofood 10 hari kemudian, dari PT. ABC sekitar 3 minggu-1 bulan. Ongkos angkut cabai dari Garut ke Pasar Induk Kramat Jati Jakarta per truk (6 ton) sebesar Rp 1,5 juta, biaya bongkar muat Rp 500 ribu, biaya meal (uang suap di jalan) sebesar Rp 500 ribu/colt engkel. Jika pedagang pengumpul membeli cabai di tingkat petani seharga Rp 10 ribu, maka cabai dijual dengan harga Rp 15 ribu dengan memperhitungkan biaya susut dan sortir sebesar 5 persen jika dijual ke pasar, bila cabai dijual ke industri maka biaya susut dan sortir jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 30 persen. Harga cabai diperkirakan petani akan mencapai harga sangat tinggi (> Rp 70 ribu/kg) setiap 4 tahun sekali atau pada waktu petani menanam di MK. Hasil analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai di Kabupaten Garut dan bawang merah di Kabupaten Majalengka saat ini relatif menguntungkan (Tabel 9, 10, 11 dan 12). Walaupun demikian petani akan mendapatkan keuntungan lebih tinggi jika Pemerinath daerah ikut aktif berperan. 22

24 Tabel 9. Analisis Usahatani Cabai Merah Keriting di Kabupaten Garut, 2014 No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga 1 Penerimaan Penjualan Hasil Kg Pengeluaran a SARANA PRODUKSI Benih/Bibit gram Pupuk Organik Kg Pupuk Buatan Kg Pestisida kg/l Jumlah (a) TENAGA KERJA Pengolahan Tanah HOK b Penanaman/nyulam HOK Pemeliharaan HOK Pemanenan HOK Jumlah (b) PERALATAN Hand Sprayer Biaya Power Splayer penyusutan Pompa Air c DrumPlastik/Tali Lanjaran/Tali Mulsa Rool Tali Rapia Jumlah (c)

25 No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga BIAYA LAINNYA d Sewa Tanah 1ha Jumlah (d) JUMLAH PENGELUARAN (A+B+C+D ) Keuntungan Keuntungan (v=1-2 ) R/C Rasio = (1/2 ) 1.86 B/C Rasio = (u/2 ) 0.86 Keuntungan Per Bulan u/ Keuntungan Per Kg

26 Tabel 10. Analisis Usahatani Cabai Merah Besar di Kabupaten Garut, 2014 No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga 1 Penerimaan Penjualan Hasil Kg Pengeluaran a SARANA PRODUKSI Benih/Bibit gram Pupuk Organik Kg Pupuk Buatan Kg Pestisida kg/l Jumlah (a) TENAGA KERJA Pengolahan Tanah HOK b Penanaman/nyulam HOK Pemeliharaan HOK Pemanenan HOK Jumlah (b) PERALATAN Hand Sprayer Biaya Power Splayer penyusutan c Pompa Air DrumPlastik/Tali Lanjaran/Tali Mulsa Rool Tali Rapia Jumlah (c)

27 No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga BIAYA LAINNYA d Sewa Tanah 1ha Jumlah (d) JUMLAH PENGELUARAN (A+B+C+D ) Keuntungan Keuntungan (v=1-2 ) R/C Rasio = (1/2 ) 2.09 B/C Rasio = (u/2 ) 1.09 Keuntungan Per Bulan u/ Keuntungan Per Kg

28 Tabel 11. Analisis Usahatani Cabai Rawit di Kabupaten Garut, 2014 No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga 1 Penerimaan Penjualan Hasil Kg Pengeluaran a SARANA PRODUKSI Benih/Bibit perpohon Pupuk Organik Kg Pupuk Buatan Kg Pestisida kg/l Jumlah (a) TENAGA KERJA Pengolahan Tanah HOK b Penanaman/nyulam HOK Pemeliharaan HOK Pemanenan HOK Jumlah (b) PERALATAN Hand Sprayer Biaya Power Splayer penyusutan c Pompa Air DrumPlastik/Tali Lanjaran/Tali Mulsa Rool Tali Rapia Jumlah (c)

29 No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga BIAYA LAINNYA d Sewa Tanah 1ha Jumlah (d) JUMLAH PENGELUARAN (A+B+C+D ) Keuntungan Keuntungan (v=1-2 ) R/C Rasio = (1/2 ) 3.30 B/C Rasio = (u/2 ) 2.30 Keuntungan Per Bulan U/12 bln Keuntungan Per Kg Tabel 12. Analisis Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, 2014 No. Uraian Kegiatan Satuan Volume Nilai (Rp) I. Biaya usahatani 1.1 Pengolahan tanah a. Mencangkul/bajak HOK 32 1,600,000 b. Kedangan HOK 24 1,200,000 c. Saluran air HOK , Sarana produksi a. Bibit kg 600 1,800,000 b. Pupuk: Urea kg ,000 SP-36 kg ,000 NPK kg ,000 c. Pupuk kandang karung 80 1,600,000 d. Pestisida lt/kg ,000 28

30 1.3 Pemeliharaan Pertanaman a. Penyiangan HOK 32 1,600,000 b. Pempukan HOK 24 1,200,000 c. Pengairan HOK ,000 d. Penyemprotan HOK 30 1,500, Panen dan pasca panen a. Panen HOK 50 2,500,000 b. Pasca panen HOK 30 1,500, Sewa lahan 6,000,000 Total biaya 24,242,000 II Pendapatan Produksi bawang merah kg 6,600 52,800,000 III Keuntungan 28,558, Kebijakan yang Perlu Diperbaiki i. Peningkatan Produksi Hortikultura Bermutu Agar dapat mengambil manfaat dari masuknya Indonesia dalam pasar global yang liberal, maka Indonesia harus memacu diri meningkatkan produksi hortikultura yang bermutu dan berdaya saing. Saat ini impor produk hortikultura cenderung terus meningkat terutama disebabkan oleh kurangnya pasokan produksi bermutu dari dalam negeri. Untuk mendukung terbangunnya sistem produksi yang menghasilkan produksi berkualitas perlu didukung dengan penerapan GAP spesifik lokasi. Dengan penerapan GAP dimungkinkan dilakukannya peningkatan produktivitas dan mutu sesuai permintaan pasar dan konsumen. 29

31 ii. Perbaikan Sistem Tataniaga/Distribusi Sejalan dengan sistem panen diatas, maka diperlukan perbaikan sistem tataniaga dan distribusi yang menjamin dihasilkannya produk hortikultura berkualitas. Diperlukan keterkaitan antara setiap sub sistem terutama antara produksi dengan pasar dan konsumen dengan pendekatan Pengelolaan Rantai Pasokan (Supply Chain Management -SCM). Dengan pendekatan SCM maka peningkatan daya saing dimungkinkan dapat dilakukan disetiap sistem mencakup produktivitas, kualitas produk, pengemasan, pemberian merk, efisiensi, transportasi, informasi, sertifikasi, penguatan kelembagaan dan penciptaan inovasi secara kontinyu dan sistematik. iii. Perbaikan Sistem Logistik dan Pasca Panen Upaya pemerintah untuk mendorong kearah itu telah dilakukan dengan diperkenalkannya Sistem Resi Gudang (SRG), melalui penetapan UU Nomor 9/2006 tentang SRG disahkan dan direvisi menjadi UU Nomor 9/2011. SRG merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. SRG dapat memfasilitasi pemberian pembiayaan kepada pelaku usaha dengan agunan inventori (komoditas yang disimpan di gudang) yang dimiliki pelaku usaha, terutama kolompok tani dan UKM. Resi gudang diterbitkan oleh Pengelola Gudang dan dapat dijadikan agunan sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya. Dalam hal ini, pelaku usaha dapat menjaminkan resi gudang untuk memperoleh modal kerja dan kebutuhan pembiayaan. iv. Pengaturan Waktu Impor Pengaturan waktu impor dilakukan agar masuknya impor terjadi pada saat pasokan dalam negeri berkuran karena produksi dalam negeri pada kondisi rendah atau tidak bersamaan dengan waktu puncak produksi dalam negeri. Secara umum produksi Produksi bawang merah menyebar antar waktu, namun puncak produksi terjadi di bulan Juli sampai Agustus. Di luar 30

32 bulan bulan tersebut setiap tahunnya mengalami defisit di bulan Februari bulan Maret, kecuali di tahun 2013 produksi bawang merah relatif surplus. Untuk produksi cabai merah, produksi relatif tinggi terjadi pada bulan April sampai Juli dan produksi relatif paling sedikit terjadi di bulan Oktober, November, Desember, Januari dan Februari v. Pengaturan Pelabuhan Masuk Impor Pengurangan pelabuhan masuk merupakan salah satu hambatan perdagangan non tariff. Pada bulan September 2012 pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan pintu masuk untuk produk hortikultura yang mulai berlaku sejak tanggal 28 September Dengan ketetapan ini pemerintah akan menutup beberapa pelabuhan impor untuk produk hortikultura, sehingga impor hanya boleh masuk ke wilayah pabean Indonesia melalui empat pintu masuk, yaitu Pelabuhan Belawan, Tanjung Perak, Makassar dan Bandara Soekarno-Hatta. Berdasarkan peraturan ini, akan ada beberapa ketentuan lain mengenai impor hortikultura, terutama yang terkait dengan kesehatan dan lingkungan. Tujuannya adalah melindungi kepentingan konsumen, terutama dalam hal pengendalian masuknya hama penyakit. Selanjutnya kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian nasional, terutama bagi masyarakat umum sebagai konsumen dan petani sebagai produsen. Kebijakan pembatasan pintu masuk produk hortikultura sering diasosiasikan dengan pembatasan impor hortikultura, sebab implementasi kebijakan ini hampir bisa dipastikan akan mengurangi jumlah impor hortikultura. Kebijakan ini diharapkan juga dapat merangsang produsen domestik untuk meningkatkan produksinya. Dengan kebijakan ini pendapatan dan kesejahtaraan petani hortikultura sebagai produsen dalam negeri diharapkan akan meningkat. Namun di sisi lain, kebijakan ini dapat juga mengurangi ketersediaan produk hortikultura yang belum sepenuhnya bisa 31

33 terpenuhi dari dalam negeri dan dampak peningkatan inflasi yang mungkin akan diakibatkannya. Kebijakan pembatasan pintu masuk impor produk hortikultura bisa dikategorikan sebagai kebijakan non-tarif (non tariff policy), karena implementasinya diharapkan akan mampu mengurangi komoditas impor yang disasar tanpa menggunakan instrumen tarif. Pelabuhan bebas yang termasuk dalam area perdagangan bebas seperti Batam dan Karimun perlu diawasai secara ketat. Impor cabai dan bawang merah dalam jumlah relatif besar merupakan modus penyelundupan ke daerah lain yang seharusnya tidak boleh terjadi. vi. Harga Referensi Kebijakan pengendalian impor yang dilakukan saat ini terutama untuk bawang merah dan cabai adalah penerapan harga referensi. Kebijakan harga referensi mempunyai arti bahwa impor hanya dapat dilakukan pada saat harga di pasar domestik melebihi harga referensi. Mekanismenya tergantung pada pilihan referensi harga tetap (Fix Reference Price) atau harga rata-rata bergerak (Moving Average Reference Price). Sejak impor cabai dan bawang merah diatur melalui harga referensi. Perdagangan atau impor komoditas hortikultura (Cabai dan Bawang Merah) akan terjadi pada saat harga di pasar domestik berada pada tingkat 15% di atas harga referensi. Selanjutnya perdagangan harus dihentikan pada saat harga di tingkat eceran sudah menurun sampai pada tingkat referensi harga dan kegiatan impor selanjutnya akan menggunakan harga referensi yang baru. Walaupun demikian larangan impor cabai segar pada semester 2 tahun 2014 membuat harga eceran cabai terlau tinggi. vii. Penerapan Kuota Quota import adalah non-tariff trade barrier yang dimaksudkan untuk membatasi volume import dari komoditas tertentu. Dengan cara membatasi import, kebijakan quota dapat digunakan untuk menstabilkan harga di atas 32

34 harga dunia untuk melindungi produk domestik. Pemasok atau petani hortikultura akan menerima keuntungan dari harga yang tinggi. Kebijakan quota impor ini diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada industri domestik dan juga tidak memberatkan konsumen. Importir dapat membeli produk pada tingkat harga yang murah di pasar dunia dan menjualnya dengan harga yang mahal di pasar domestik. Oleh karena itu quota sebetulnya hak dari pemerintah Indonesia yang dialokasikan kepada pemerintah negara eksportir. Biaya yang diakibatkan oleh quota impor akan ditanggung oleh konsumen dari produk yang terkena quota impor. Pada 2012 Indonesia mengimplementasikan rejim quota impor untuk produk hortikultura. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menstimulant agar Indonesia dapat mencapai self-sufficient untuk produk hortikultura. Penetapan volume impor adalah dari selisih antara konsumsi dan produksi, kecuali cabai merah dan bawang merah, yang sekarang menggunakan harga referensi. Penentuan harga referensi untuk cabai dan bawang merah adalah harga di tingkat petani (biaya produksi ditambah 40% keuntungan) dikalikan dengan rasio harga eceran terhadap harga petani selama 3 tahun terakhir. viii. Tarif-Optimal / Pajak Impor Tarif adalah kebijakan perdagangan yang paling sederhana, yaitu pajak yang dikenakan pada barang yang diimpor. Tujuan utama dari penerapan tarif adalah melindungi produsen produsen domestik dari harga rendah sebagai akibat dari kompetisi impor. Penerapan tarif terhadap barang-barang impor akan meningkatan harga yang diterima produsen domestik. Alasan mengapa tarif lebih baik dibandingkan dengan kebijakan lainnya adalah karena tarif dapat menjadi penerimaan Negara. Berdasarkan Schedule XXI-WTO produk hortikultura memiliki bound tariff sekitar 40-60%. Dengan demikian masih diperkenankan untuk menetapkan applied tariff di bawah bound tariff yang telah ditentukan. Walaupun tiap negara diperkenankan menerapkan applied tariff maximum 33

35 sama dengan bound tariff, namun dengan pertimbangan beberapa hal antara lain daya beli masyarakat Indonesia, maka pada tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor yang jauh dibawah bound tariff dengan kisaran antara 0%-5%. Bila dibandingkan dengan applied tariff beberapa tahun sebelumnya yang berkisar antara 5%-10%, maka terlihat bahwa mulai tahun 1998 applied tariff yang diterapkan di Indonesia khususnya untuk produk pertanian sangatlah kecil. Masih terlihat ada perbedaan yang besar antara bound tariff dan applied tariff. Pengertian konsep tarif optimal dalam teori perdagangan internasional adalah tingkat tarif yang dapat memaksimumkan manfaat neto yang bersumber dari meningkatnya nilai tukar perdagangan di negara yang memberlakukan tarif, sehingga dapat mengimbangi dampak negatif yang diakibatkan oleh berkurangnya volume perdagangan yang diakibatkan pemberlakuan tarif. Namun demikian dalam studi ini hanya dihitung tarif optimal sebagai tarif bea masuk yang dikenakan dan diharapkan menjamin tingkat harga tertentu di pasar domestik (harga eceran dan harga jual petani), dan dapat menghasilkan keuntungan petani yang layak. Saat ini penerapan tarif diberlakukan untuk semua komoditi sebesar 5 %. penerapan tarif optimal dapat dilakukan pada komoditi bawang merah, cabai merah. Saat ini tingkat keuntungan petani baang merah sebasar 24,19 %, dan untuk menjamin pencapaian tingkat keuntungan petani bawang merah sebesar 30 % maka impor bawang merah dapat dikenakan tarif impor sebesar 25,2 %. Demikian seterusnya apabila ditargetkan terjadinya peningkatan keuntungan petani maka dapat dilakukan peningkatan penerapan tarif impor. Penerapan tariff impor pada cabai hanya direkomendasikan apabila diinginkan tingkat keuntungan petani diatas 50 persen. Cakupan pengaturan berdasarkan jumlah, referensi harga, waktu /musim dan pengaturan pelabuhan agar lebih transparan untuk mengurangi pemburuan rente yang tidak perlu sehingga sistem yang fully on-line perlu terus ditingkatkan dan 34

36 diperketat. Untuk itu diperlukan penguatan data yang lebih baik dan terkini ditingkat nasional dan regional. Instrumen anti dumping, safeguard dan tarif MFN dapat digunakan untuk pengaturan impor. Instrumen lain selain harga yang dapat memberikan insentif kepada petani juga perlu diperhatikan terutama yang masuk dalam Green Box. Selain pengaturan impor maka langkah untuk terus meningkatkan ekspor juga tidak kalah penting. WTO tidak melarang pengaturan impor disuatu negara namun harus diperhatikan instrumen apa yang akan digunakan yang tidak merugikan negara lain dan sesuai dengan aturan-aturan dalam WTO. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Pengendalian harga cabai dan bawang merah sangat penting untuk dilakukan mengingat komoditas ini sangat strategis dalam hal pengendalian inflasi, pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat dan peningkatan pendapatan petani. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah antara lain melalui pengaturan impor produk hortikultura. Pengaturan pola tanam kedua jenis komoditas oleh pemerintah pusat bekerjasama denga pemerintah daerah tempat sentra produksi cabai dan bawang merah akan dapat mengurangi produksi berlebihan pada musim panen. Dismaping itu perlu diupayakan penanaman di luar musim di daerah potensial produksi cabai dan bawang merah agar defisit kedua komoditas tidak terlalu besar. Bantuan teknis berupa pendampingan, penyuluhan dan bantuan modal dalam bentuk kredit lunak sangat bermanfaat. Fasilitasi pemasaran dengan sistem kemitraan akan menjamin harga di tingkat petani khususnya selama panen raya. Peningkatan produk berkualitas agar harga jual lebih baik dan lebih disukai konsumen, bahkan untuk pasar global, akan menguntungkan petani. Perbaikan sistem tata niaga atau distribusi dengan menerapkan supply chain management akan membuat agribisnis kedua jenis komoditas menjadi lebih efisien. Perbaikan logistik dan pasca panen memungkinkan kedua komoditas tersedia bagi konsumen tepat 35

37 waktu dan bahkan dapat disalurkan di luar musim panen. Pengaturan waktu impor diperlukan agar harga di dalam negeri tidak terlalu rendah ketika musim panen sehingga merugikan kosnumen. Demikian juga pengaturan waktu impor agar dapat dilakukan ketika persediaan dalam negeri menipis agar konsumen tidak dirugikan karena harga yang terlalu tinggi. Pengaturan impor tidak harus dilakukan setiap enam bulan tetapi bisa lebih sering sesuai kebutuhan. Pengaturan pelabuhan impor dapat mengendalikan harga impor agar tidak terlalu murah sehingga merugikan petani. Pelabuhan impor yang telah ditetapkan, khususnya Pelabuhan Belawan Medan dan Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar supaya lebih dioptimalkan. Pada saat yang bersamaan impor melalui daerah perdagangan bebas harus diminimalkan. Disamping itu MRA perlu ditinjau kembali karena pemberian MRA dilakukan tiap dua tahun. Semakin banyak negara yang diperbolehkan impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok akan cenderung merugikan petani. Harga refererensi untuk impor hendaknya dipatuhi terutama selama persediaan di dalam negeri menipis sehingga harga eceran tidak terlalu tinggi yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dan mendorong inflasi. Kuota impor sebaiknya diterapkan secara transparan sehingga semakin banyak importir yang terlibat sehingga tidak menyebabkan monopoli impor yang akan merugikan konsumen dan produsen di dalam negeri. Tarif bawang merah masih dinaikkan agar kepentingan petani lebh terlindungi tetapi tidak merugikan konsumen. Tariff impor cabai tidak perlu dinaikkan karena keuntungan petani cabai sudah relatif tinggi. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kompilasi Laporan Mingguan Harga Produk Pertanian. Jakarta. Kementerian Perdagangan Tinjauan Pasar Cabai. Edisi Cabai/Desember/2012. Jakarta. Kementerian Perdagangan Tinjauan Pasar Bawang Merah. Edisi Bawang Merah/Okt/2013. Jakarta. 36

38 Kementerian Perdagangan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M- Dag/4/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Jakarta. Kementerian Perdagangan Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP). Jakarta. Kementerian Pertanian Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86/Permentan/ OT.140/8/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Jakarta. Rachmat, M., B. Sayaka, H. Mayrowani, R. Kustiari, V. Darwis dan C. Muslim Kajian Kebijakan Pengendalian Impor Produk Hortikultura. Laporan Teknis. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 37

39 LAMPIRAN 1. Peta Perdagangan cabai antar Wilayah Peta perdagangan cabai antar wilayah a. Daerah sentra produksi cabai: Garut, Ciamis, Majalengka Purworejo, Magelang Blitar/Kediri Banyuwangi : menyumbang 60% produksi Jabar : menyumbang 60% produksi Jateng : menyumbang 30% produksi Jatim : menyumbang 30%-40% produksi Jatim Seluruhnya memproduksi cabai merah besar (CB), cabai merah keriting (CK) dan cabai rawit merah (CR), kecuali banyuwangi hanya CB dan CR. b. Peta distribusi cabai: Garut, Ciamis, Majalengka Jakarta Purworejo, Magelang Jakarta Blitar/Kediri Surabaya Banyuwangi Surabaya Lampung wilayah Sumatera, terutama Sumbar NTB (insidentil) Jakarta, Surabaya, dan NTT Jakarta Batam dan Pontianak PETA DISTRIBUSI CABE Sumatera Barat Batam Pontianak Balikpapan Papua Banjarmasin Jakarta Lampung Magelang Surabaya Daerah Produsen Garut Ciamis Majalengka Purworejo Blitar/ Kediri Banyuwangi NTB NTT Daerah Konsumen Daerah Konsumen dan Transit Alur Distribusi Surabaya Banjarmasin, Balikpapan, dan Papua 38

POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA. Dr. Muchjidin Rahmat

POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA. Dr. Muchjidin Rahmat POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA Dr. Muchjidin Rahmat PENDAHULUAN 1. Dalam dekade terakhir impor produk hortikultura cenderung meningkat, akibat dari keterbukaan pasar,

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA

KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2014 KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA Oleh : Muchjidin Rachmat Bambang Sayaka Henny Mayrowani Chaerul Muslim Valeriana Darwis PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

PASAR. Oleh: Delima Hasri. Azahari

PASAR. Oleh: Delima Hasri. Azahari LAPORAN AKHIR TA. 2013 ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PASAR BUAH-BUAHAN Oleh: Bambang Sayaka Sahat M. Pasaribu Ening Ariningsih Sri Nuryanti Delima Hasri Azahari Edi A. Saubari Yuni Marisa PUSAT SOSIAL

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor ini memiliki share sebesar 14,9 % pada

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH S u w a n d i DASAR PEMIKIRAN Bawang merah merupakan salah satu komoditi strategis dan ekonomis untuk pemenuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INFLASI ACEH

PERKEMBANGAN INFLASI ACEH PERKEMBANGAN INFLASI ACEH Inflasi Aceh pada triwulan I tahun 2013 tercatat sebesar 2,68% (qtq), jauh meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang minus 0,86% (qtq). Secara tahunan, realisasi inflasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

2017, No Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Perubahan atas Peratur

2017, No Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Perubahan atas Peratur No.788, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Sayuran Umbi Lapis Segar. Pemasukan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/PERMENTAN/KR.040/6/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapupaten Brebes merupakan sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark mengingat posisinya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI Oleh: Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2017 KEMTAN. Impor Produk Hortikultura. Rekomendasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMENTAN/HR.060/5/2017 TENTANG REKOMENDASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian Indonesia adalah pertanian tropika karena sebagian besar daerahnya berada di daerah yang langsung dipengaruhi oleh garis khatulistiwa. Di samping pengaruh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMENTAN/HR.060/5/2017 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMENTAN/HR.060/5/2017 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMENTAN/HR.060/5/2017 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dari sektor pertanian untuk komoditas sayuran. Keadaan topografi daerah yang berbukit dan bergunung membuat Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Pada kondisi rawan pangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan

gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu

Lebih terperinci

cepa), namun dalam statistic internasional (FAOSTAT) hanya dikenal istilah Onion

cepa), namun dalam statistic internasional (FAOSTAT) hanya dikenal istilah Onion PRODUKSI, PERDAGANGAN DAN HARGA BAWANG MERAH Muchjidin Rachmat, Bambang Sayaka, dan Chairul Muslim I. PENDAHULUAN Bawang merah merupakan sayuran rempah yang dikonsumsi rumahtangga sebagai bumbu masakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memenuhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki berbagai macam potensi sumber daya alam yang melimpah serta didukung dengan kondisi lingkungan, iklim, dan cuaca yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ir. Bambang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang dibudidayakan dalam hortikultura meliputi buah-buahan, sayur-sayuran,

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, BAWANG MERAH, JERUK, DAN PISANG JAWA TENGAH TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, BAWANG MERAH, JERUK, DAN PISANG JAWA TENGAH TAHUN 2014 No. 76/12/33 Th. VIII, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, BAWANG MERAH, JERUK, DAN PISANG JAWA TENGAH TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PRODUKSI USAHA TANAMAN CABAI MERAH PER

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga desa di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yaitu Desa Ciherang, Cipendawa, dan Sukatani. Pemilihan lokasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA 2015-2019 Dalam penyusunan Rencana strategis hortikultura 2015 2019, beberapa dokumen yang digunakan sebagai rujukan yaitu Undang-Undang Hortikultura Nomor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

3. STA BAYONGBONG KABUPATEN GARUT

3. STA BAYONGBONG KABUPATEN GARUT 3. STA BAYONGBONG KABUPATEN GARUT Nama Alamat Pengelola Kontak Person Komoditas Penanggung Jawab Operasional STA Bayongbong Jalan Raya Bayongbong (Saung Cendol) desa Karyajaya Bayongbong KM. 10 Kab. Garut

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN KINERJA PERDAGANGAN ANTAR PULAU DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN. Reni Kustiari

KAJIAN PENINGKATAN KINERJA PERDAGANGAN ANTAR PULAU DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN. Reni Kustiari KAJIAN PENINGKATAN KINERJA PERDAGANGAN ANTAR PULAU DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN PENDAHULUAN Reni Kustiari 1. Perbedaan sumber daya alam membentuk keunikan komoditas di masingmasing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya penduduk dan tenaga

Lebih terperinci

Tahun Bawang

Tahun Bawang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.148,2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Rekomendasi. Impor. Produk. Hortikultura. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03/Permentan/OT.140/1/2012 TENTANG REKOMENDASI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dalam perekonomian nasional dinilai strategis dan mampu menjadi mesin penggerak pembangunan suatu negara. Pada tahun 2009 sektor

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan impor jeruk yang kian meningkat dalam sepuluh tahun ini

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan impor jeruk yang kian meningkat dalam sepuluh tahun ini I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan impor jeruk yang kian meningkat dalam sepuluh tahun ini membuat Indonesia menjadi pangsa pasar yang menjanjikan bagi negara lain dalam memasarkan produknya.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1071, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Impor. Hortikultura. Rekomendasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk dan tenaga

Lebih terperinci

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017 RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 217 TPI dan Pokjanas TPID INFLASI IHK Inflasi Bulan Februari 217 Terkendali Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat,23% (mtm) di bulan Februari. Inflasi di bulan ini

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 6.1 Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari total produksi usahatani sayuran per hektar yang dikelola oleh petani di Kelompok Tani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

Percepatan Pelaporan Data Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Bawang Merah dan Cabai. Aston Hotel Solo, 6-8 April 2016

Percepatan Pelaporan Data Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Bawang Merah dan Cabai. Aston Hotel Solo, 6-8 April 2016 Percepatan Pelaporan Data Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Bawang Merah dan Cabai Aston Hotel Solo, 6-8 April 2016 2. Tiga tahun terakhir menjadi perhatian publik terutama terkait dengan Bw Merah dan

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI JAWA TIMUR BULAN FEBRUARI 2012

NILAI TUKAR PETANI JAWA TIMUR BULAN FEBRUARI 2012 BPS PROVINSI JAWA TIMUR NILAI TUKAR PETANI JAWA TIMUR BULAN FEBRUARI 2012 No. 18/03/35/Th.X, 1 Maret 2012 Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur Bulan Februari 2012 Turun 1,39 persen. Nilai Tukar Petani (NTP)

Lebih terperinci

POINTER ARAH KEBIJAKAN TERKAIT PENYEDIAAN DAN PASOKAN DAGING SAPI. Disampaikan pada: Bincang Bincang Agribisnis

POINTER ARAH KEBIJAKAN TERKAIT PENYEDIAAN DAN PASOKAN DAGING SAPI. Disampaikan pada: Bincang Bincang Agribisnis POINTER ARAH KEBIJAKAN TERKAIT PENYEDIAAN DAN PASOKAN DAGING SAPI Disampaikan pada: Bincang Bincang Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Bidang Pangan dan Pertanian 2016 Permasalahan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaya hidup sehat atau kembali ke alam (Back to nature) telah menjadi trend baru masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian Indonesia memiliki potensi yang besar dalam segi sumberdaya dan kualitas, sehingga dapat menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan pendapatan negara. Saat ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional Indonesia adalah negara agraris yang banyak bergantung pada aktivitas dan hasil pertanian, dapat diartikan juga sebagai negara yang mengandalkan sektor

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, DAN JERUK TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, DAN JERUK TAHUN 2014 No. 79/12/19/Th.II, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, DAN JERUK TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PRODUKSI USAHA TANAMAN CABAI MERAH PER SATU HEKTAR UNTUK SEKALI MUSIM TANAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dewasa ini salah satunya diprioritaskan pada bidang ketahanan pangan, sehingga pemerintah selalu berusaha untuk menerapkan kebijakan dalam peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi wilayah (Badan Litbang Pertanian

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

Karakteristik Sistem Usahatani Bawang Merah Dan Potensi Sebagai Penyangga Supplay Di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat

Karakteristik Sistem Usahatani Bawang Merah Dan Potensi Sebagai Penyangga Supplay Di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat Karakteristik Sistem Usahatani Bawang Merah Dan Potensi Sebagai Penyangga Supplay Di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat Muji Rahayu dan Irma Mardian Balai pengkajian Teknologi Pertanian Jl. Raya Peninjauan

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun Produksi (Ton) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wortel merupakan salah satu tanaman sayuran yang digemari masyarakat. Komoditas ini terkenal karena rasanya yang manis dan aromanya yang khas 1. Selain itu wortel juga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi yang berdampak pada kenaikan harga pangan dan energi, sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah

II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Cabai Merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agribisnis Cabai Merah Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan tanaman hortikultura sayursayuran buah semusim untuk rempah-rempah, yang di perlukan oleh seluruh lapisan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia sebagai negara agraris

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH

1. PENDAHULUAN 2. STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH Lampiran 1.b. BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 71/12/73/Th. II, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, BAWANG MERAH, DAN JERUK TAHUN 2014 PROVINSI SULAWESI SELATAN TOTAL

Lebih terperinci

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Yohanes Andika Tj. 2013110060 Al Faisal Mulk 2013110067 M. Ibnu Haris 2014110011 Abstrak Kebijakan asuransi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA

DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA MANUAL IKSP DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA (2016) Nama IKSP Jumlah Produksi Aneka Cabai (Ton) Direktur Jenderal Hortikultura Jumlah produksi aneka cabai besar, cabai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang

BAB I PENDAHULUAN. pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain memiliki masa panen yang cukup pendek, permintaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting karena selain sebagai penghasil komoditi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sektor pertanian juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mencapai keadaan tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan alam Indonesia sangat melimpah, tak heran jika banyak aneka jenis

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan alam Indonesia sangat melimpah, tak heran jika banyak aneka jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam Indonesia sangat melimpah, tak heran jika banyak aneka jenis buah-buahan yang diproduksi oleh negeri agraris ini. Melihat jumlah produksi yang cukup

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN HORTIKULTURA 2016

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN HORTIKULTURA 2016 RENCANA KERJA PEMBANGUNAN HORTIKULTURA 2016 Disampaikan pada acara : Pramusrenbangtannas Tahun 2016 Auditorium Kementerian Pertanian Ragunan - Tanggal, 12 Mei 201 KEBIJAKAN OPERASIONAL DIREKTORATJENDERALHORTIKULTURA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumbu penyedap makanan serta obat tradisonal. Komoditas ini juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bumbu penyedap makanan serta obat tradisonal. Komoditas ini juga merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi berarti peluang pasar internasional bagi produk dalam negeri dan

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi berarti peluang pasar internasional bagi produk dalam negeri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi membuat keterkaitan ekonomi nasional dengan perekonomian internasional menjadi makin erat. Dalam skala nasional, globalisasi berarti peluang pasar internasional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu.

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu. 37 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang petani mengalokasikan sumberdaya yang ada, baik lahan, tenaga

Lebih terperinci