DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR FARIDA AYU BRILLYANTI H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR FARIDA AYU BRILLYANTI H"

Transkripsi

1 DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR FARIDA AYU BRILLYANTI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, April 2012 Farida Ayu Brillyanti H

3 RINGKASAN FARIDA AYU BRILLYANTI. Dampak Bantuan Langsung Pupuk Organik Terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi di Propinsi Jawa Timur (dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI). Kementrian Pertanian, membuat program yang memberikan bantuan langsung pada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP). Program BLP dilaksanakan dengan memberikan dua jenis pupuk yaitu (1) pupuk anorganik (NPK), dan (2) pupuk organik (Pupuk Organik Granul/POG dan Pupuk Organik Cair/POC). Penelitian ini menganalisis mengenai insentif ekonomi yang diperoleh melalui program BLP Organik terhadap produksi padi, pendapatan petani, dan persepsi petani yang telah menggunakannya. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Penelitian ini menjadikan Propinsi Jawa Timur sebagai lokasi penelitian dengan total sampel sebanyak 60 responden petani padi di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) analisis usahatani; (2) analisis fungsi produksi cobb douglas; dan (3) analisis respon petani. BLP Organik berhasil meningkatkan produksi padi sebesar 10,06% yaitu dari 4,9 ton menjadi 5,4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Analisis usahatani menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan usahatani terhadap biaya total sebesar 26,3% yaitu dari Rp. 7,5 juta/ha menjadi Rp. 9,5 juta/ha. Berdasarkan analisis fungsi produksi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap produksi padi (GKP) adalah variabel luas lahan, tenaga kerja manusia, pupuk Urea, dan POC. Secara umum, 73,33% responden petani menyatakan puas terhadap program BLP Organik; 95,00% petani tidak merasakan adanya dampak negatif dari penggunaan pupuk organik; dan 98,33% petani ingin terus menggunakan pupuk organik meski tanpa menerima bantuan.

4 DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR Oleh: FARIDA AYU BRILLYANTI H Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

5 Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Induk Mahasiswa : Dampak Bantuan Langsung Pupuk Organik Terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi di Propinsi Jawa Timur : Farida Ayu Brillyanti : H Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP Tanggal Kelulusan :

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini berjudul Dampak Bantuan Langsung Pupuk Organik Terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi di Propinsi Jawa Timur. Kebijakan subisidi pupuk organik merupakan topik yang menarik karena diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap produksi padi, kesejahteraan petani, dan perkembangan pertanian organik. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di Propinsi Jawa Timur. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produksi dan produktivitas padi dengan menggunakan pupuk organik, menganalisis dampak BLP Organik terhadap pendapatan petani padi; serta menganalisis persepsi petani terhadap BLP Organik di Propinsi Jawa Timur. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. 2. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen penguji utama beserta Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Seluruh keluarga besar PSP3 yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan berkenaan dengan data dan pengolahan data. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dan kerja samanya. 5. Teman-teman satu bimbingan: Puspasari, Fikanti, Herdiana, Chris; serta keluarga IE 45 khususnya: Rina Sondari, Dian Fitriani, Nisaul Haq, Chairun Nisa, Deviyantini atas kebersamaan dan dukungan selama ini. 6. Ibu, Bapak, Didin, Irsy, dan Suami yang telah memberikan dukungan, doa, cinta dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan. 7. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala dukungan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung Bogor, April 2011 Farida Ayu Brillyanti H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Farida Ayu Brillyanti, lahir di Nganjuk Jawa Timur pada tanggal 28 Juli Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Dwi Arijanto, M.M., Akuntan dan Yettiningsih Peni Utami, S.H. Penulis memulai pendidikan di Tadika Puri Surabaya dan lulus pada tahun 1995; pendidikan dasar di SD Negeri Dr.Sutomo V Surabaya pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001; kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 49 Jakarta pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004; melanjutkan ke SMA Negeri 14 Jakarta pada tahun 2004 dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan jenjang pendidikan perguruan tinggi di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2007 hingga 2008 dengan jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, minor Manajemen Fungsional, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis menikah dengan Ariyandi, A.E, Li. ketika duduk di semester VII. Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan selama menjadi mahasiswa. Penulis aktif di organisasi Bengkel Karya Tulis TPB IPB, Duta Anti Korupsi Jilid I BEM KM IPB, serta Entrepreneur Development Unit BEM KM IPB. Selain berorganisasi, penulis juga membuat Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) dengan judul Model Lembaga Akomodatif Dalam Mewujudkan Desa Mandiri Usaha pada tahun 2009; dan Revitalisasi Penanganan Sumber Air sebagai Solusi dalam Mengatasi Kekeringan di Wilayah Bogor (Studi Kasus Parung Panjang, Bogor) pada tahun 2011, serta Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dengan judul Spiritual Sosio Agricultural Entrepreneurship : Model Implementasi Kemandirian Usaha Pertanian Kreatif Untuk Para Penyandang Cacat di Kabupaten Bogor pada tahun 2010.

8 DAFTAR ISI DAFTAR ISI.. vii DAFTAR TABEL.. ix DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.. xi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian.. 6 BAB II TINJUAN PUSTAKA Tinjuan Teori Teori Produksi Teori Subsidi Subsidi Pupuk Pupuk Organik Usahatani Teori Persepsi dan Adopsi Teknologi Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Analisis Pendapatan Usahatani Analisis Imbangan Biaya dan Manfaat Fungsi Produksi Cobb-Douglas Asumsi dalam Analisis Regresi Uji Kriteria Statistik BAB IV GAMBARAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK DAN PROPINSI JAWA TIMUR Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran Gambaran Umum Propinsi Jawa Timur 44 BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR Karakteristik Responden dan Implementasi Penerimaan Program BLP Organik 50 x

9 5.2. Dampak Program BLP Organik terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Persepsi Petani terhadap Hasil dan Program BLP Organik BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran.. 72 DAFTAR PUSTAKA 73 LAMPIRAN... 77

10 DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia Tahun Tabel 1.3. Tabel Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu Tabel 3.1. Sebaran dan Jumlah Sampel Usahatani Padi di Propinsi Jawa Timur 30 Tabel 3.2. Permasalahan, Metode Analisis, dan Indikator Observasi.. 31 Tabel 4.1. Lima Propinsi Penerima BLP Terbanyak Tahun Tabel 4.2. Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun Tabel 4.3. Subsektor Pertanian PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun (Juta Rupiah).. 47 Tabel 4.4. Tabel Produksi Tanaman Pangan di Propinsi Jawa Timur Tahun (Ton) Tabel 4.5. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Propinsi Jawa Timur Tahun Tabel 4.6. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun (ribuan orang). 49 Tabel Karateristik Responden Petani Padi Jawa Timur 51 Tabel Karateristik Lahan Responden Petani Padi Jawa Timur. 52 Tabel Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik.. 53 Tabel Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik.. 54 Tabel Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik.. 54 Tabel Perbandingan Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Tabel Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) Tabel Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total). 57 Tabel 5.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Tabel Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi 61 Tabel Penggunaan Pupuk Organik sebelum memperoleh BLP Organik.. 67 Tabel Masalah dalam Pelaksanaan Program BLP Organik Tabel Manfaat dalam Menggunakan Pupuk Organik Tabel Dampak Negatif yang Dirasakan dengan Menggunakan Pupuk Organik 69 Tabel Motivasi Penggunaan Pupuk Organik Meski Tanpa Bantuan... 70

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi. 9 Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran.. 27 Gambar 4.1. Gambar Peta Propinsi Jawa Timur... 45

12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. PDRB Propinsi Jawa Timur Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun (Juta Rupiah) Lampiran 2a. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai).. 79 Lampiran 2b. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total).. 80 Lampiran 3. Fungsi Produksi Padi Setelah Menggunakan BLP Organik 81

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan berdasarkan FAO pada World Food Summit 1996 menyatakan bahwa: food security exist when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe, and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life (FAO, 2008). Tabel 1.1. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton GKG) , , , , , , , , , , *) , Sumber: *) Angka Ramalan III.

14 Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Produksi tanaman padi di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat di tiap tahunnya. Secara umum, Tabel 1.1. menggambarkan kondisi yang cukup baik, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2,4% per tahun (BPS, 2011). Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia Tahun Tahun Arus Nilai Perdagangan Berat Perdagangan (USD) (Kg) 2000 Impor Re-Impor Impor Impor Impor Impor Impor Impor Impor Impor Impor Impor Sumber: www. data.un.org, 2012 Walaupun produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan, Indonesia tetap melakukan impor beras seperti yang ditunjukkan oleh Tabel Kegiatan impor beras tersebut salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel Salah satu tantangan mendasar dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional adalah pertumbuhan penduduk yang menyerupai deret ukur sehingga tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi yang hanya mendekati deret hitung. Pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan bahan pangan, sementara keadaan yang sama juga akan menyebabkan semakin

15 sempitnya lahan pertanian yang dapat dikuasai (Daniel, 2004). Hal tersebut membuat Indonesia harus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah yang ada. Tabel 1.3. Tabel Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Sumber: Catatan : Termasuk Penghuni Tidak Tetap (Tuna Wisma, Pelaut, Rumah Perahu, dan Penduduk Komuter) Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian, membuat suatu program yang memberikan bantuan langsung pada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Pelaksanaan BLP dan BLBU didasari oleh kenyataan bahwa petani pangan belum menggunakan bibit unggul bersertifikat dan belum menggunakan pupuk lengkap karena keterbatasan permodalan, sehingga menyebabkan petani pangan kesulitan mengakses faktor-faktor produksi tersebut. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang BLP dan Peraturan Menteri Pertanian No.17/Permentan/OT.140/2/2008 tentang BLBU, program BLP dan BLBU mempunyai tiga tujuan pokok. Tujuan pertama, adalah meningkatkan kesadaran petani tentang penggunaan dan manfaat benih unggul dan pupuk majemuk NPK serta pupuk organik. Kedua, untuk meringankan beban petani dalam pengadaan benih unggul dan pupuk. Sedangkan, tujuan ketiga adalah untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai.

16 Apabila ketiga tujuan tersebut tercapai, maka diharapkan kemandirian dalam membangun ketahanan pangan nasional dapat terpelihara, serta dapat meningkatkan pendapatan petani dari waktu ke waktu. Program BLP dilaksanakan dengan memberikan dua jenis pupuk bagi petani, yaitu (1) pupuk anorganik (NPK), dan (2) pupuk organik (Pupuk Organik Granul/POG dan Pupuk Organik Cair/POC). Pemberian bantuan pupuk organik kepada petani dianggap sebagai langkah strategis dalam meningkatkan produktivitas lahan sawah yang telah mengalami degradasi kualitas akibat penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam jangka waktu yang panjang selama program Revolusi Hijau. Penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang akan merusak struktur tanah, menciptakan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah, serta menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Sebagai akibatnya, produktivitas lahan akan mengalami degradasi. Perilaku petani tanaman pangan dalam memupuk tanamannya harus diubah agar produktivitas lahan sawahnya dapat ditingkatkan. Petani harus didorong untuk menggunakan pupuk secara berimbang, dengan mengurangi pupuk anorganik dan mensubstitusi pengurangan tersebut dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik. Untuk mempercepat proses tersebut, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik). Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang memberikan kontribusi sekitar 17% bagi produksi padi nasional (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Jawa Timur juga merupakan salah satu propinsi yang menerima alokasi BLP Organik terbanyak secara nasional. Jawa Timur memiliki potensi sebesar

17 64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman (eastjava.com, 2012). Di Propinsi Jawa Timur, jumlah tenaga kerja yang terserap masih didominasi oleh Sektor Pertanian (39,70%). Hal ini merupakan ciri dari daerah pedesaan yang masih menjadi wilayah terluas di Jawa Timur. Bahkan pada daerah pedesaan, Sektor Pertanian mampu menyerap hingga 59,0% pekerja (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Pemberian BLP Organik bersama dengan paket teknologi produksi lainnya (BLBU dan BLP Anorganik) diharapkan akan meningkatkan produktivitas lahan pangan secara signifikan, terutama di Propinsi Jawa Timur 1.2. Perumusan Masalah Kelemahan dari pupuk organik adalah tingginya harga pupuk organik daripada harga pupuk anorganik (kimia). Secara rinci penggunaan pupuk organik berbiaya lebih mahal yaitu Rp ,-/ha, sedangkan dengan pupuk anorganik berbiaya Rp ,-/ha (Hartatik, 2006). Selain itu, pupuk organik tidak dapat dijadikan sebagai pupuk tunggal. Diperlukan pengelolaan pupuk secara terpadu yaitu memadukan pemberian pupuk organik dan anorganik sebagai upaya meningkatkan produktivitas lahan sawah (Simanungkalit et. al., 2006). Program BLP Organik memerlukan aspek insentif ekonomi untuk merangsang petani agar mau mengikuti paket program yang direkomendasikan. Insentif ekonomi yang dimaksud dapat berupa kuantitas hasil produksi, penurunan biaya produksi, serta peningkatan pendapatan setelah menggunakan pupuk organik. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian mengenai insentif ekonomi yang

18 diperoleh melalui program BLP Organik terhadap produksi padi, pendapatan usahatani, dan persepsi petani yang menggunakannya Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis produksi dan produktivitas padi dengan menggunakan pupuk organik; 2. Menganalisis dampak BLP Organik terhadap pendapatan petani padi; serta 3. Menganalisis persepsi petani terhadap BLP Organik Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari program BLP Organik sehingga dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pihak terkait mengenai kelanjutan program tersebut, serta sebagai bahan informasi untuk penelitian-penelitian serupa di kemudian hari.

19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori Teori Produksi Fungsi produksi merupakan keterkaitan antara faktor-faktor produksi dan capaian tingkat produksi yang dihasilkan, di mana faktor produksi sering disebut dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000). Menurut Nicholson (2005), hubungan antara masukan dan keluaran diformulasikan dengan fungsi produksi yang berbentuk: Q = ƒ(k, L,M ) (2.1.) di mana Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode, K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, M mewakili bahan mentah yang dipergunakan, dan masih terdapat kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses produksi. Di bidang pertanian, produksi fisik dihasilkan oleh beberapa faktor produksi sekaligus, seperti tanah, bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan teknologi (misal: traktor). Seorang produsen yang rasional akan mengombinasikan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga mencapai usahatani yang efisien (Mubyarto, 1995). Persamaan 2.1. diasumsikan memberi pemecahan teknis dari masalah bagaimana cara terbaik untuk menggabungkan masukan-masukan ini menjadi keluaran.

20 Produk fisik marginal (marginal physical product) merupakan keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dapat diformulakan sebagai berikut: produk fisik marginal dari modal = MP K = = ƒk (2.2.) Produktivitas fisik rata-rata adalah keluaran (output) yang dihasilkan tiap unit masukan (input) baik masukan modal maupun tenaga kerja (Nicholson, 1995). Sebuah usaha tertentu dikatakan mengalami peningkatan produktivitas ketika keluaran tiap unit masukan tenaga kerja meningkat. Produktivitas rata-rata sering dipergunakan sebagai ukuran efisiensi. Definisi produk rata-rata luas lahan (APL) adalah sebagai berikut: ton/hektar (2.3.) Return to scale (RTS) merupakan tanggapan keluaran dari proses peningkatan semua masukan secara bersamaan. Jika fungsi produksi diketahui Q=ƒ(KL) dan semua masukan digandakan dengan kostanta positif yang sama, m (di mana m>1), maka dapat diklasifikasikan hasil berbanding skala dari fungsi produksi tersebut dengan kriteria: (1) apabila kenaikan yang proporsional dalam masukan meningkatkan keluaran dengan proporsi yang sama, maka fungsi produksi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan; (2) apabila keluaran yang meningkat kurang dari proporsional, fungsi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun; dan (3) apabila keluaran

21 meningkat lebih dari proporsional, terdapat hasil berbanding skala yang meningkat (Nicholson, 2005). Fungsi produksi dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 2.1.) yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan tambahan output yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan bahwa jika makin banyak jumlah suatu faktor produksi yang ditetapkan untuk sejumlah faktor yang tetap, maka akan tercapai situasi di mana setiap tambahan produk total dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan sebelumnya. Sumber: Nicholson (2005) Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi Elastisitas produksi (εp) merupakan persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, yang dapat ditunjukan melalui persamaan berikut: atau (2.4.)

22 Gambar 2.1. menghubungkan antara elastisitas produksi (εp), produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan produk marjinal (MP) adalah sebagai berikut: 1. Tahap I: Nilai elastisitas produk lebih besar dari satu (εp > 1), produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal mengalami peningkatan yang kemudian produk marjinal menurun hingga nilainya sama dengan produk rata-rata (increasing rate). Tahap I merupakan tahap irasional karena faktor produksi yang digunakan belum optimal sehingga perlu dilakukan penambahan kuantitas input. 2. Tahap II : Nilai elastisitas produk kurang atau sama dengan satu (0<εp 1), produk total mengalami peningkatan, namun produk ratarata dan produk marjinal mengalami penurunan hingga marjinal produk sama dengan nol (diminishing rate). Tahap II merupakan tahap yang rasional karena input yang digunakan telah optimal sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi. 3. Tahap III : Nilai elastisitas produk lebih kurang dari nol (εp < 0), produk total dan produk rata-rata mengalami penurunan, sedangkan produk marjinal bernilai negatif (decreasing rate). Tahap III merupakan tahap irasional karena input yang digunakan telah melebihi batas optimal sehingga perlu dilakukan pengurangan input Teori Subsidi Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada badan usaha atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka

23 dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah (Handoko dan Patriadi, 2005). Menurut Suparmoko (2003) dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy). Subsidi dalam bentuk uang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk barang merupakan subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu, yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen atau produsen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran di bawah harga pasar (Handoko dan Patriadi, 2005). Adanya subsidi akan memberikan pengaruh pada permintaan untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau penawaran untuk produksi bersubsidi (subsidized production) (Handoko dan Patriadi, 2005). Pengaruh subsidi terhadap produksi dapat dilihat pada Gambar Produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kuantitas produk yang dihasilkan (Q menjadi Q ) dan membuat perubahan harga dari P menurun menjadi P. Kebijakan pemberian subsidi umumnya dikaitkan pada barang dan jasa yang memiliki eksternaslitas positif dengan tujuan untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke proses produksi barang dan jasa tersebut. Secara umum, subsidi juga memberikan dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain: (1) subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak

24 efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar sehingga muncul kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi; dan (2) subsidi dapat menyebabkan distorsi harga (Spencer dan Amor dalam Handoko dan Patriadi, 2005). (Handoko dan Patriadi, 2005) Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi Subsidi Pupuk Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Subsidi yang diberikan sebagian besar dialokasikan pada penyediaan pupuk dan benih dibanding subsidi harga output pertanian. Terdapat beberapa alasan bahwa subsidi input lebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu: (1) sebagian besar petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimalisasi biaya, sehingga insentif input lebih sesuai; (2) dengan adanya insentif input akan terbuka peluang untuk mengadopsi teknologi baru guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output; dan (3) pengelolaan dan penjaminan

25 harga pada subsidi input akan lebih mudah dicapai dibandingkan subsidi output (Kementrian Pertanian, 2006). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2004), kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem distribusi pupuk antara lain adalah: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani karena penggunaan pupuk sudah melampaui takaran anjuran; (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik lokasi, dan waktu penggunaan berdasarkan acuan analisis bagan warna daun; (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik serta sistem irigasi yang baik; (4) perbaikan standardisasi dan sertifikasi pupuk sehingga petani terhindar dari pupuk alternatif yang diragukan kualitas dan efektivitasannya; (5) peningkatan kinerja usaha tani padi dengan mengupayakan sumber pertumbuhan selain peningkatan produktivitas; serta (6) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga di tingkat petani. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk secara berimbang, mengingat di satu sisi harga jual produksi pertanian yang sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani dan di sisi lain semakin mahalnya biaya produksi. Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani dan pada akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional (Adnyana dan Kariyasa, 2000). Untuk mengurangi permasalahan di atas, pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor

26 pertanian (tanaman pangan dan perkebunan rakyat) untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhan dengan harga yang lebih murah, dengan harapan produktivitas dan pendapatan petani meningkat (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004). Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun Uraian Subsidi Pupuk (trilyun rupiah) 3,2 6,3 15,2 18,3 18,4 18,8 Volume (ribu ton) 5.674, , , , , ,9 * Urea 3.962, , , , , ,0 * SP-36/Superphose 711,0 765,0 558,0 582,1 644,0 750,0 * ZA 601,0 702,0 751,0 751,3 713,0 850,0 * NPK 400,0 637,0 956, , , ,9 * Organik ,0 236,5 246,0 704,0 Sumber: Kementrian Pertanian dalam RUU APBN, 2012 Kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran pupuk sejak awal didasari oleh pemenuhan prinsip enam tepat dalam penyalurannya, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu. Alokasi anggaran subsidi pupuk rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun, hal ini ditunjukkan oleh Tabel Pada tahun 2008, pemerintah memperkenalkan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Program BLBU yang dimulai sejak tahun 2007 telah memberikan bantuan benih unggul untuk padi, jagung, dan kedelai kepada petani di 249 kabupaten yang tersebar di 29 propinsi. Sementara, program BLP yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159 kabupaten yang tersebar di 17 propinsi. Untuk program BLP, dari segi cakupan luas areal dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Tahun 2008 luas areal baru hektar, kemudian tahun 2009 diperluas menjadi hektar, atau meningkat sebesar 60,68%.

27 Menurut perencanaan, tahun 2010 diperluas kembali menjadi hektar atau meningkat sebesar 64,47% (PSP3 IPB, 2010). Bagi daerah-daerah yang telah berproduktivitas relatif tinggi dimantapkan dengan fokus pengembangan yang diarahkan kepada aspek rekayasa sosial, ekonomi dan kelembagaan. Peningkatan produktivitas tersebut dilakukan melalui penggunaan benih bermutu dari varietas unggul; pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik; pengaturan pengairan dan tata guna air; penggunaan alat mesin pertanian; serta perbaikan budidaya (PSP3 IPB, 2010). Benih Bermutu dari Varietas Unggul. Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul difasilitasi melalui pembinaan produsen benih untuk dapat menghasilkan benih secara enam tepat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul adalah: (a) inventarisasi stok dan penangkaran benih; (b) pemanfaatan stok benih yang ada secara optimal; serta (c) pembinaan kepada produsen/penangkar benih agar proses produksi benih terlaksana secara berkelanjutan (PSP3 IPB, 2010). Pemupukan Berimbang dan Pupuk Organik. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan kualitas hasil dilakukan pemupukan berimbang, sehingga perbandingan penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan secara seimbang. Rekomendasi dosis pemupukan berimbang berpedoman kepada dosis anjuran spesifik lokasi yang dinamis (PSP3 IPB, 2010). Berkenaan dengan program Bantuan Langsung Pupuk, menurut Permentan No. 30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk tahun anggaran 2008, kegiatan BLP dijalankan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini didasari fakta dimana kendala yang dihadapi selama ini

28 adalah masih rendahnya penggunaan pupuk berimbang N, P dan K. Faktor ini telah menyebabkan produktivitas tanaman belum tercapai secara optimal. Sementara, penggunaan pupuk anorganik kurang berimbang yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, telah menyebabkan kerusakan struktur tanah. Dampak lain adalah terjadinya inefisiensi penggunaan pupuk anorganik (PSP3 IPB, 2010). Salah satu penyebab rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik antara lain disebabkan daya beli, tingkat kesadaran, serta keyakinan petani yang masih rendah. Kontribusi penggunaan pupuk NPK dan organik dalam meningkatkan produktivitas, produksi bahkan mutu hasil telah terbukti secara signifikan dalam peningkatan produksi komoditas tanaman pangan. Dengan demikian, ketersediaan dan penggunaan pupuk NPK dan organik merupakan suatu syarat keharusan bagi peningkatan ketahanan pangan nasional (PSP3 IPB, 2010). Berkenaan dengan itu, pemerintah melalui BUMN termasuk PT. Pertani (Persero) memberikan Bantuan Langsung Pupuk NPK dan Pupuk Organik untuk didistribusikan kepada petani. Tujuan kegiatan ini adalah (a) memperkenalkan kepada petani penggunaan pupuk majemuk NPK dan pupuk organik; (b) meringankan beban petani dalam penyediaan dan penggunaan pupuk NPK serta pupuk organik; (c) meningkatkan penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik; (d) meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman pangan; serta (e) meningkatkan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (PSP3 IPB, 2010). Pada hakekatnya, Program BLP dan BLBU dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat desa sampai nasional, sehingga pemanfaatan bantuan dapat terlaksana dengan efektif efisien dan tepat sasaran. Agar bantuan dapat

29 mendukung upaya peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan, Dinas Pertanian Propinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota melakukan pembinaan, pendampingan dan monitoring secara optimal kepada kelompok tani penerima bantuan pupuk serta melakukan evaluasi pada akhir kegiatan. Untuk menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas bantuan, maka pembinaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh Pembina Teknis secara berkala dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan (PSP3 IPB, 2010). Monitoring dan evaluasi bantuan ditujukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan penyaluran bantuan sesuai rencana alokasi di setiap kabupaten/kota; monitoring kuantitas dan kualitas yang disalurkan kepada kelompok tani; memonitor realisasi pertanaman padi yang menggunakan bantuan di setiap kabupaten/kota; memantau dan melakukan bimbingan teknis penerapan anjuran teknologi untuk budidaya lainnya; mengetahui peningkatan produktivitas dan produksi padi di setiap kabupaten/kota; serta mengetahui kemungkinan permasalahan yang dihadapi sedini mungkin, guna memberikan solusi pemecahannya sehingga tingkat keberhasilan pelaksanaan program dapat dicapai (PSP3 IPB, 2010) Pupuk Organik Pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Berdasarkan pembuatannya, pupuk dibedakan menjadi pupuk buatan (anorganik) dan pupuk alami (organik). Menurut Keputusan Menteri Pertanian No.238/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pedoman Penggunaan Pupuk Anorganik, pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses

30 rekayasa secara kimia, fisik dan atau biologis, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Sedangkan pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.37/Permentan/SR.130/5/ 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010, dikemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, menyebabkan kerusakan pada struktur tanah, soil sicknes (tanah sakit), soil fatigue (kelelahan tanah), dan inefisiensi penggunaan pupuk anorganik. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan penurunan pertumbuhan hasil produktivitas tanaman pangan yang signifikan, tetapi juga menjadi salah satu penyebab sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah sentra produksi padi di Indonesia. Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, dan sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau

31 merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas (Simanungkalit et al., 2006) Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert/ Hk.060/2/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan memasok bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan pada masa Revolusi Hijau telah banyak mempengaruhi keberadaan berbagai mikroba berguna dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting dalam membantu tersedianya berbagai hara yang berguna bagi tanaman. Praktek inokulasi merupakan suatu

32 cara untuk memberikan atau menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah (Simanungkalit et al., 2006). Bahan organik berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al., 2006). Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan (Simanungkalit et al., 2006). Menurut Simanungkalit et al. (2006), berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu kurang dari 2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya kurang dari 1%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih dari

33 2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi (Simanungkalit et al., 2006) Usahatani Menurut Soekartawi (1995) usahatani adalah upaya seseorang dalam mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani dengan harga jual produk yang dihasilkan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut, TR = Y Py (2.5.) keterangan: TR : penerimaan total (total revenue) Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py : harga dari produk Y Jika komoditas tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu maka persamaan dapat dimodifikasi menjadi,

34 (2.6.) Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Pengeluaran usahatani dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak terkait dengan jumlah barang yang diproduksi, sehingga petani tetap harus membayar biaya tersebut berapapun jumlah komoditas yang dihasilkannya. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah seiring dengan perubahan besarnya jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan. Biaya tetap (fixed cost) dapat ditunjukkan oleh persamaan, keterangan: FC : biaya tetap (fixed cost) Xi : banyaknya input ke-i Pxi : harga dari variabel Xi (input) (2.7.) Sedangkan persamaan biaya total adalah, TC = FC + VC (2.8.) keterangan: TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost) VC : biaya tidak tetap (variable cost) Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,

35 Π = TR TC (2.9) keterangan: Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost) Teori Persepsi dan Adopsi Inovasi Menurut Soekartawi (1988), terdapat empat tahapan yang dilalui petani dalam mengadopsi suatu teknologi/inovasi. Tahapan tersebut antara lain (a) tahap kesadaran dan menaruh minat; (b) tahap evaluasi; (c) tahap mencoba; kemudian (d) tahap adopsi. Pada tahap kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dimiliki tentang teknologi baru yang akan diadopsi masih bersifat umum. Beralih pada tahapan menaruh minat yaitu petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk mengadopsi inovasi. Pada tahap ini, petani mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, baik dari media cetak maupun media eletronik (Soekartawi, 1988). Tahapan evaluasi merupakan tahap mempertimbangkan lebih lanjut mengenai minat dalam mencoba suatu inovasi. Hal ini berarti bahwa petani melakukan penilaian secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki (Soekartawi, 1988). Setelah pembuatan keputusan pada tahap evaluasi, maka tahapan selanjutnya adalah tahap mencoba. Biasanya petani akan melakukan percobaan inovasi untuk skala kecil terlebih dahulu. Pada tahap ini, petani akan dihadapkan dengan suatu permasalahan yang nyata. Untuk itu, terkadang petani memerlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar percobaan suatu inovasi dapat

36 berhasil. Apabila percobaan ini berhasil, maka petani akan mencoba melakukan inovasi tersebut dalam skala yang lebih luas (Soekartawi, 1988). Tahap adopsi merupakan tahapan dimana petani telah memutuskan bahwa inovasi baru yang telah dipelajari memberikan dampak yang baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang lebih luas. Tahapan-tahapan yang telah dipaparkan tidak selalu dilakukan secara berurutan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan melakukan penyesuaian dalam melakukan adopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988). Menurut Soekartawi (1988), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Faktor internal yang dapat mempengaruhi adalah (a) umur; (b) pendidikan; (c) keberanian mengambil risiko; (d) motivasi berkarya; (e) sistem kepercayaan tertentu; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi antara lain (a) dorongan masyarakat di sekelilingnya; (b) pengalaman petani lain di sekitar tempat tinggal; (c) ketersediaan sumberdaya yang dimiliki; (d) kepuasan setelah mencoba inovasi tersebut; dan lain-lain. Menurut Mulyana (2008), dalam membentuk persepsi, pemikiran-pemikiran yang ada di pengaruhi oleh faktor-faktor dari eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi dapat berupa (a) gerakan, (b) intensitas stimuli, (c) perulangan objek yang dipersepsi, (d) kontras, (e) prinsip kedekatan atau persamaan, dan lain-lain. Sedangkan faktor internal yang dapat mempengaruhi persepsi adalah (a) gender, (b) biologis, (c) fisiologis, (d) sosiopsikologis, (e) sikap, (f) kebiasaan, (g) kemauan, dan lain-lain.

37 2.2. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan tahun 2010 pada tujuh propinsi di Indonesia, Program BLP dan BLBU berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya kg menjadi kg/ha, atau meningkat sebesar 17.56% Penerapan program BLBU dan BLP menyebabkan terjadi peningkatan biaya total sebesar 21.53% pada usahatani padi. Karena peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar, maka keuntungan bersih usahatani tetap meningkat. Pendapatan usahatani padi meningkat dari Rp ,- menjadi Rp ,- per ha atau meningkat sebesar 34.56%. Peningkatan ini juga terjadi karena adanya faktor peningkatan harga pada padi (GKP) sebesar 8.74%. Angelia (2011) dalam penelitian Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor), menyatakan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi. Yuliarmi (2006) dalam penelitian Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi menunjukkan bahwa faktor pendorong utama yang menyebabkan petani mengikuti program pemupukan berimbang di Kecamatan Plered, Jawa Barat, adalah mengharapkan produksi yang lebih tinggi. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi per hektar padi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah ton GKP dengan nilai keuntungan sebesar Rp.

38 ,- per musim tanam. Sedangkan petani non peserta program pemupukan berimbang memperoleh rata-rata produksi sebesar ton GKP, dengan nilai keuntungan sebesar Rp per musim tanam. Produksi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta program pemupukan berimbang. Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti Wilayah Metode Peningkatan Produksi, Pendapatan, dan Persepsi Petani PSP3 (2010) Tujuh Propinsi Benefit/Cost (B/C) Ratio Produktivitas padi meningkat, Pendapatan meningkat, Persepsi petani positif Angelia (2011) Yuliarmi (2006) Sianipar et.al (2009) Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Kabupaten Manokwari, Papua Fungsi Produksi Cobb Douglas Tingkat Penerapan Teknologi (TPT), Model Logit, dan Model Fungsi Produksi Fungsi Produksi Cobb Douglas variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi. Jumlah produksi padi dan pendapatan petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi daripada petani bukan peserta. variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani Tingkat penerapan teknologi rata-rata pada petani peserta program pemupukan berimbang sebesar 68,38% dan petani bukan peserta program pemupukan berimbang sebesar 60,70%. Kedua kelompok petani tersebut tergolong pada tingkat penerapan sedang (60% - 70%). Sedangkan variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi pemupukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Teori Produksi Fungsi produksi merupakan keterkaitan antara faktor-faktor produksi dan capaian tingkat produksi yang dihasilkan, di mana faktor produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan berdasarkan FAO pada World Food Summit 1996 menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan berdasarkan FAO pada World Food Summit 1996 menyatakan bahwa: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 1149 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

I. Pendahuluan. II. Permasalahan

I. Pendahuluan. II. Permasalahan A. PENJELASAN UMUM I. Pendahuluan (1) Padi sawah merupakan konsumen pupuk terbesar di Indonesia. Efisiensi pemupukan tidak hanya berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga terkait

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

SALINAN NOMOR 5/E, 2010 SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal yang berdasar pada teori yang digunakan dalam penelitian. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tingkat Produksi Kedelai Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih terbuka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSUSI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG 45 V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG 5.1 Karakteristik Petani Responden Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pupuk Kompos Pupuk digolongkan menjadi dua, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara SALINAN PROVINSI MALUKU PERATURAN WALIKOTA TUAL NOMOR 04 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2015 WALIKOTA TUAL,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, SALINAN PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BERITA DAERAH KOTA BOGOR BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG

Lebih terperinci

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan 6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional karena memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun secara tidak

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi

III. KERANGKA PEMIKIRAN. elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu yang akan digunakan dalam penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 PERATURAN GUBERNUR BANTEN MOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG 1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI Oleh Sri Hery Susilowati Supriyati Yulias Nuryatin Riyani Eni Darwati PUSAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2014

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori-teori Teori Subsidi. Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori-teori Teori Subsidi. Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1 Teori Subsidi Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat (Zarkasih, 2010). Menurut Handoko

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KEBUTUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan acuan alur berfikir dalam menjalankan penelitian. Penelitian ini mencakup teori produksi, konsep efisiensi,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TAHUN ANGGARAN 2016 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA BUPATI PENAJAM 9 PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Di Indonesia, tanaman jagung sudah dikenal sekitar 400 tahun yang lalu, didatangkan oleh orang Portugis dan Spanyol. Daerah sentrum produksi jagung di Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1.

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1. ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi ABSTRAK Tanaman pangan yang berkembang di Kabupaten Bekasi adalah padi, jagung, ubi kayu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIDOARJO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pertanian Organik Ada dua pemahaman umum tentang pertanian organik menurut Las,dkk (2006)

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA SURABAYA TAHUN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci