FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008"

Transkripsi

1 PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL S K R I P S I DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH GELAAS SARJANA HUKUM OLEH : HENDRA JUSANDA NIM : DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL DISETUJUI OLEH : KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP Pembimbing I Pembimbing II Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP Arif, SH, M.H NIP FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

2 KATA PENGANTAR Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul : PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Penulis skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafaruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3 5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, sekaligus Dosen Pembimbing I yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 6. Bapak Arif, SH, M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 7. Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini. 8. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi. Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua. Medan, Maret 2008 Penulis, Hendra Jusanda

4 B A B I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini khususnya hukum internasional sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu cabang baru dalam hukum internasional. Cabang yang dimaksud adalah International Humanitarian Law yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Hukum Humaniter Internasional atau Hukum Internasional Humaniter. Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang perang dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan hukum perang (laws of war, kriegsrecht, oorlogsrecht) dan sebagainya. Dimana hukum perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar merupakan hukum yang tertulis. Seorang sarjana bernama Kunz berpendapat bahwa hukum perang itu merupakan bagian tertua dari hukum internasional dan yang pertama dikodifikasi. Hukum perang ini juga dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan internasional. 1 Sejalan dengan perkembangan hukum perang tersebut khususnya setelah Perang Dunia I yang ternyata membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi umat manusia, baik itu kombatan (tentara) maupun penduduk sipil, orang-orang mulai membenci istilah hukum perang. Perang telah membawa banyak korban dan kerugian 1 GPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 1-2.

5 baik itu harta, benda maupun jiwa manusia sehingga membuat manusia membenci perang dan berupaya sekuat-kuatnya memperkecil kemungkinan terjadinya perang. 2 Suasana anti perang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak lagi mengingingkan adanya perang, maka dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai lagi. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa pertikaian bersenjata masih ada walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian bersenjata itu adalah perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilah baru untuk hukum perang ini, yaitu laws of armed conflict atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hukum pertikaian bersenjata. Seorang sarjana bernama J. Pictet, menyatakan : the term armed conflict tends to replace, at kast in all relevant legal formulation the older nation of war. Sehingga akhirnya istilah laws of war atau hukum perang berubah menjadi laws of armed conflict atau hukum pertikaian bersenjata. Hingga kemudian setelah mengalami perkembangan, maka kemudian istilah pertikaian bersenjata ini mengalami perubahan dan berkembang lagi menjadi Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Selanjutnya istilah laws of armed conflict tersebut secara formal dipakai dalam Konvensi, Resolusi dan Protocol Internasional, yaitu : a. Konvensi Jenewa b. Konvensi Den Haag c. Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 d. Resolusi Majelis Umum PBB 3 2 Ibid, hal J. Pictet, The Principle of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, hal. 7.

6 Sesudah Perang Dunia II, setelah melihat kekejaman perang dan hasil teknologi atom di Hiroshima dan Nagasaki, segi-segi kemanusiaan yang selama ini ditinggalkan, dibicarakan kembali dan mempunyai pengaruh yang cukup. Aspek ini ikut memberi peluang timbulnya hukum humaniter internasional. Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi tertentu (perang), serta akibat perang (perlindungan terhadap korban perang). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai focus sentral bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Sehubungan dengan arah hukum humaniter internasional tersebut di atas, kiranya hukum humaniter internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban sengketa bersenjata, sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan internasional yang lain yang berhubungan dengan itu. Hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis dan tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang (definisi hukum humaniter Departemen Kehakiman). Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi serta peranannya dalam situasi tertentu (konflik) tersebut diperlakukan sama bagi semua/sesama individu/warga Negara yang sedang bersengketa (baik dari kombatan maupun penduduk sipil) yang merupakan landasan utama pemikiran para ahli huikum humaniter internasional untuk menciptakan hukum humaniter internasional sebagai bagian dari hukum internasional.

7 Timbulnya hukum humaniter internasional secara material mencoba menggabungkan ide moral dan ide hukum dalam suatu disiplin ilmu. J. Pictet menyatakan : humanitarian law appers to combine two ideas of a different character, the one legal and the other moral. 4 Demikianlah ruang lingkup dan perkembangan hukum humaniter internasional yang dapat disamakan dengan hukum perang. Namun sejalan dengan telah diadakannya Konvensi Jenewa 1949 dan kemudian dilengkapi dengan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa I dan II tahun 1977, hukum humaniter internasional terikat oleh aturan-aturan formal yang menyangkut aturan kemanusiaan, ialah sejauh mana manusia tetap dapat dilindungi dalam krisis/perang dan dalam situasi tertentu. Menurut J. Pictet, hukum humaniter internasional adalah : aturan hukum yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya. Sehingga cabang hukum ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya pertikaian senjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional. Sejalan dengan hal tersebut, perubahan situasi dunia saat ini sangat menuntut adanya penerapan hukum humaniter internasional. Walaupun tidak ada istilah perang, namun kondisi dunia sekarang ini sangat rawan dengan pertikaian senjata. Konflik senjata terjadi dimana-mana di belahan dunia, seperti konflik bersenjata antara Palestina dan Israel, Konflik di Kosovo, Invasi Amerika Serikat ke Irak yang sangat banyak memakan korban harta dan jiwa baik dari kombatan (tentara) maupun dari penduduk sipil. 5 4 J. Pictet pertama kali memakai istilah International Humanitarian Law dalam bukunya The Principles of International Humanitarian Law, ICRC, Geneva Swiss, (tanpa tahun) hal. 9, seperti dikutip oleh GPH. Haryomataram, hal H.A. Masyhur Effendi, Hukum Humanier Internasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1994, hal. 49.

8 Ketidakmampuan PBB untuk melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia menyebabkan banyaknya terjadi konflik bersenjata. Ketidakmampuan PBB menahan sepak terjang Amerika Serikat di Irak, menyebabkan Bush secara fundamental mengubah Amerika dan dunia. Hanya dalam waktu 17 bulan, misalnya, Presiden Bush telah mendeklarasikan dua perang besar. Ketika melengserkan rezim Taliban, tujuannya adalah memburu Osama bin Laden. Tapi, pada saat yang sama, keuntungan strategis dari menempatkan pangkalan militer di sekujur Asia Tengah juga diperoleh. 6 Lebih dari 650 pakar urusan luar negeri dari Amerika Serikat dan negaranegara lain menandatangani surat terbuka yang mengecam kebijakan luar negeri pemerintahan George W Bush Surat terbuka tersebut menjabarkan serangkaian kesalahan di Irak, Afghanistan dan tempat lainnya di dunia. 7 Para pakar menilai bahwa kebijakan Amerika saat ini yang berpusat sekitar perang di Irak merupakan kebijakan yang paling salah arah sejak periode Vietnam, yang membahayakan tujuan perjuangan melawan teroris-teroris ekstrim. Diimbuhkan bahwa akibat dari kebijakan ini telah sangat negatif bagi kepentingan Amerika Serikat, namun hal tersebut tidak mengurangi niat George W. Bush untuk menginvasi Irak. 8 Demikianlah kalau dilihat invasi Amerika Serikat di Irak. PBB yang notabene sebagai organisasi perdamaian internasinal dan dunia tidak mampu meredam hal tersebut. Invansi Amerika Serikat telah menelan banyak korban baik korban jiwa maupun harta di Irak. Tujuan invasi yang seakan dibuat-buat makin 6 Hartono Ruslam DES, Demokratisasi dan Restrukturisasi DK PBB, Harian Republika, Jumat 24 Oktober Abdul Halim Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hal ws/223507/idkanal/10, 9 April 2003, suara pembaharuan.online.

9 melengkapi penderitaan panjang di Irak. Seperti apa yang tertuang dalam Resolusi DK PBB nomor 1441 tahun 2002 yang diadopsi dalam sidang DK PBB yang ke 4644 tanggal 8 Nopember 2002 yang menyatakan bahwa Irak harus memberitahukan tempat-tempat pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklir. 9. Ternyata setelah 5 minggu Inspektur pemeriksa senjata dari PBB memeriksa hampir lebih dari 230 tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat pengembangan dan pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklir di Irak hasilnya adalah nol besar seperti yang diungkapkan oleh Jenderal Hossam Mohammed Amin Kepala Direktorat Monitoring Nasional Irak yang bekerja sama dengan United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission (UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA) 10. Setelah Perang Teluk pada tahun 1990 terjadi, dunia kembali dikejutkan dengan terjadinya invasi Amerika Serikat beserta Inggeris, Spanyol dan Australia ke Irak. Namun terdapat perbedaan dimana pada waktu Perang Teluk 1990 Amerika Serikat beserta sekutunya yang tergabung dalam pasukan multinasional mendapat restu dari PBB dan dunia internasional, tetapi dalam Invasi ke Irak ini, Amerika Serikat tidak mendapat dukungan dari dunia internasional maupun PBB secara resmi. Pada tanggal 19 Desember 2002 Amerika Serikat menyatakan dokumen Irak sama sekali tidak lengkap dan mengklaim AS pnya data intelijen tentang senjata pemusnah massal yang disembunyikan oleh Saddam Husein. Pada kenyataannya, PBB menyatakan tidak menemukan jenis dan bentuk proliferasi senjata pemusnah massal apapun di Irak. Dan, ternyata Irak juga bisa bersikap kooperatif dengan tim PBB, bahkan mengeluarkan deklarasi tentang kosongnya senjata pemusnah massal 9 A. Fatih Syuhud, Ambisi Amerika dan Realitas Dunia Multipolar, Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University of India, Waspada Online, 24 Juni

10 dan dengan sukarela menghancurkan rudal Al Samoud. Penemuan fakta di lapangan yang berbeda dengan harapan AS ternyata tidak mengurungkan niat untuk tetap menginvasi Irak. Kemudian di sinilah AS melakukan tindakan sepihak menyerang Irak, pada hal bukti profilerasi senjata tidak ditemukan PBB. Andaipun ternyata tim PBB menemukan bukti, maka pihak AS tidak serta merta memiliki otoritas meakukan serangan dengan menafsirkan kalimat konsekuensi serius secara sepihak. Akan tetapi kalimat tersebut masih harus diolah Dewan Keamanan PBB guna melakukan tindakan apa yang selanjutnya diberikan kepada Irak. Konsekuensi serius itu akan berada pada tahapan berikutnya, yaitu pada ruang Pasal 41 Piagam PBB. Pasal ini menyebutkan Dewan Keamanan masih harus menggunakan tindakan di luar kekuatan bersenjata agar keputusannya dapat dijalankan dan dapat meminta anggota PBB untuk melaksanakan tindakan itu. Tindakan itu antara lain pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio dan alat komunikasi lain, serta pemutusan hubungan diplomatik guna memaksa Irak menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal. 11 Invasi Amerika Serikat di Irak yang berkedok untuk menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal di Irak hanyalah kedok belaka. Saat ini terdapat sikap umum bahwa Amerika tidak tertarik pada demokrasi atau kesejahteraan rakyat Irak. Amerika Serikat hanya hendak menguasai ekonomi dan ladang minyak Irak. Politik membebaskan Irak tampaknya telah berganti arah setelah kegagalan strategi AS untuk memecah-belah Syiah dan Sunni. Pada minggu 11 Harian Kompas, Jakarta, edisi Minggu 13 April 2003, hal. 2.

11 lalu, kedua kelompok ini bertempur dengan sengit melawan pasukan pendudukan. Pada minggu kedua April, di Falluja saja lebih dari 600 warga Irak terbunuh oleh Amerika. Satu anggota dari Iraqi Governing Council (IGC) tunjukan AS mengundurkan diri. Adnan Pachachi, anggota pro-as, menyebut aksi Amerika di Falluja sebagai illegal. Apa yang paling menyakitkan rakyat Irak adalah larangan pasukan AS atas penyebaran suplai bantuan makanan dan obat-obatan. 12 Terdapat sejumlah kasus pembunuhan brutal atas rakyat yang tak berdosa di checkpoint militer. Begitu juga sejumlah kasus yang tidak diinginkan: penggeledahan yang tidak mempertimbangkan tata krama adat setempat, penahanan, penyiksaan, dan lain-lain. Apa yang menyulut lingkaran krisis di Irak adalah penundaan yang disengaja oleh pasukan pendudukan dalam memberlakukan aktivitas perbaikan dan rehabilitasi oleh Coaltion Provisional Authority (CPA) atau otoritas sementara koalisi dan 350 LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berada di Irak. Setahun telah berlalu dan tidak ada perbaikan terjadi dalam segi keamanan dan normalisasi kehidupan. Rakyat awam Irak lebih kuatir tentang penghasilan sehari-hari dan keamanan mereka. Rakyat Irak percaya bahwa beberapa persoalan seperti listrik, minyak, pekerjaan, komunikasi telepon, kebebasan rakyat untuk bepergian, pendidikan, dan lain-lain akan dapat diatasi oleh AS dalam beberapa bulan saja. Akan tetapi mereka tidak tertarik dalam hal-hal semacam ini. Sinyalemen seperti ini tampaknya benar karena semakin tidak stabil, tidak aman dan anarki, maka akan semakin besarlah alasan bagi pasukan pendudukan untuk tetap terlibat dalam bidang militer di Irak Ibid 13 A. Fatih Syuhud, op.cit.

12 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis ingin lebih mengetahui tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan terhadap penduduk sipil sebagai korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi manusia, sehingga dapat diketahui bahwa pada dasarnya penduduk sipil diberikan perlindungan dan tidak boleh menjadi sasaran dalam suatu konflik bersenjata. B. Rumusan Masalah Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional. 2. Bagaimana penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak. 3. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia. C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional. 2. Untuk mengetahui penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak.

13 3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia. Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk : 1. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang hal-hal yang berhubungan perlindungan yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Hak Asasi 2. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisaanalisa yang bersifat objektif. 3. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia global pada saat ini khususnya dalam perkembangan penerapan (law enforcement) terhadap hukum internasional dewasa ini. D. Keaslian Penulisan Pembahasan ini dengan judul : PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL, adalah judul yang sebenarnya tidak asing lagi di telinga kita, karena sebelumnya telah banyak dibahas di berbagai media, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah perlindungan yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional maupun

14 Hukum Hak Asasi. Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap hal tersebut. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional Isitilah hukum humaniter atau International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict berasal dari istilah hukum perang (laws of war) yang kemudian berkembang menjadi hukum persengketaan bersenjata (laws of armed conflict), yang pada akhirnya saat ini biasa dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. 14 Haryomataram membagi hukum Humaniter Internasional ini menjadi 2 (dua) aturan pokok, yaitu : 15 1). Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Law). 2). Hukum yang mengatur perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil akibat perang (Hukum Jenewa/The Jenewa Laws). Mochtar Kusumaatmadja membagi Hukum Perang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : GPH. Haryomataram, Op.cit, hal Ibid, hal Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12.

15 1). Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. 2). Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : a). hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b). hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Berdasarkan uraian di atas, maka hukum Humaniter Internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Seperti telah diketahui bersama, semula istilah yang digunakan adalah Hukum Perang, tetapi karena istilah Perang tidak disukai karena trauma yang disebabkan oleh Perang Dunia II yang memakan banyak korban, maka istilah Hukum Perang diganti menjadi Hukum Humaniter Internasional. 17 Hukum humaniter Internasional merupakan bagian dari hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan pada perlindungan individu, khususnya dalam siatuas tertentu, yaitu situasi perang/pertikaian bersenjata serta akibatnya yaitu perlindungan terhadap korban perang/pertikaian bersenjata. Dengan kata lain, hukum Humaniter Internasional mempunyai fokus sentral tentang bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi termasuk dalam kondisi perang. 17 Pada Perang Dunia I terdapat lebih dari 60 juta jiwa terbunuh. Pada abad ke-18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abad ke-19 mencapai 16 juta jiwa. Pada Perang Dunia II korban mencapai 38 juta jiwa, sedangkan pada koflik-konflik yang terjadi sejak tahun jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa, seperti dikutip oleh ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999, hal. 6.

16 Sehubungan dengan arah hukum Humaniter Internasional tersebut di atas, kiranya hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlidnungan korban sengketa bersenjata sebagaimana diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan Internasional lainnya yang berhubungan dengan itu. Sedangkan hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan asas atau kaidah dan ketentuan-ketentuan Internasional lainnya baik tertulis atau tidak yang mencakup Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat martabat pribadi seseorang. Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi dan wewenang dalam situasi tertentu (konflik) diperlakukan sama di muka hukum. Jaminan perlakuan dan perlindungan yang sama untuk semua individu/warga negara yang sedang bersengketa baik militer atau sipil merupakan landasan utama pemikiran para ahli Hukum Internasional untuk menciptakan hukum Humaniter Internasional sebagai bagian dari hukum Internasional. J. Pictet lebih lanjut menjelaskan arti hukum Humaniter Internasional, yaitu : International Humanitarian Law is wide sense, is constituted by all the International legal provisions, whether writers or customary ensuring respect for individual and his well being. 18 Dari definisi yang dikemukakan oleh J. Pictet ini tampak bahwa hukum Humaniter Internasional juga mencakup Hak Asasi Manusia. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa : Hukum Humaniter merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan 18 GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 15.

17 korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan melakukan perang itu sendiri. 19 Apabila diperhatikan kembali definisi dari hukum Humaniter Internasional tersebut dan dihubungkan dengan pembagian/cabang hukum Humaniter Internasional, maka dapat ditarik suatu pengertian umum, bahwa hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) terdiri dari dua cabang, yaitu Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai makna dan arah tidak hanya pengakuan akan adanya hak-hak asasi manusia, tetapi juga dihormati dan dilaksanakannya hak-hak asasi manusia pada waktu manusia dikuasai emosi, terutama pada saat-saat kritis dengan memperhatikan cara-cara (conduct of war) sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag, sehingga diharapkan penderitaan akibat perang menjadi seminimal mungkin untuk itu dibutuhkan akan adanya kesadaran Internasional yang tinggi. Gezaherzegh memberi definisi hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dengan membagi hukum Humaniter Internasional pada Hukum Jenewa saja. Alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Haryomataram sebagai berikut : a). Bahwa yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat Internasional dan Humaniter hanyalah apa yang disebut dengan Hukum Jenewa saja. Apabila The Hague dimasukkan, maka hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan. b). Human rights tidak dimasukkan karena di dalam Negara sosialis, human rights ini ditegakkan (enforced) oleh Negara dengan jalan menggunakan hukum nasional. 19 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980, hal. 5.

18 Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum Humaniter Internasional merupakan bagian dari Hukum Perang, khusus perlindungan korban perang. Sedangkan Hukum Perang itu sendiri mengatur cara berperang (conduct of war). 20 Pada hakikatnya Hukum Perang dalam arti luas (sejak awal sampai akhir suatu peperangan), termasuk korban perang, idealnya dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga segi-segi kemanusiaan tetap diperhatikan. Kalau demikian halnya, hukum Humaniter Internasional dalam arti luas tepat untuk dikembangkan dan diperhatikan terus dalam setiap pertikaian/konflik yang timbul antar dua negara. J.G. Starke termasuk aliran tengah, menurut istilah Haryomataram, menyatakan : as will appear post, the appellation laws of war has been replaced by that of International Humanitarian Law. 21 Kesan yang didapat dalam hal ini adalah bahwa dengan Hukum Humaniter Internasional berperang lebih dapat dikendalikan. Sedangkan Haryomataram berpendapat dan menyimpulkan bahwa hukum Humaniter Internasional mencakup baik Hukum Den Haag maupun Hukum Genewa dengan dua Protokol Tambahannya Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dalam Hukum Humaniter Internasional Prinsip atau asas pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam hukum Humaniter Internasional, yaitu suatu prinsip atau asas yang 20 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal Ibid, hal GPH. Haryomataram, Op.cit, ha.l. 25

19 membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yakni kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. 23 Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan objek kekerasan. Ini sangat penting ditekankan karena perang, sejak ia mulai dikenal, sesungguhnya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negaranegara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dan tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan ini sudah diakui sejak zaman kuno. Setiap kodifikasi hukum modern kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekerasan perang. 24 Menurut J. Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan : the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principle of application), yakni : 25 a). Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil. 23 Ibid,, hal ICRC, Op.cit, hal Ibid.

20 b). Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan (walaupun) dalam hal reprisal (pembalasan). c). Tindakan maupun ancaman kekekasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang. d). Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-tidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin. e). Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Uraian di atas menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dari pernyataan J. Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Karena, dengan adanya prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut serta dalam permusuhan dan karenanya tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan. Jadi, secara normative, prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja Ibid, hal. 75.

21 F. Metode Penelitian 1. Sifat/Bentuk Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak oleh Hukum Humaniter Internasional. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum internasional khususnya yang berkaitan penduduk sipil yang menjadi korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak oleh Hukum Humaniter Internasional. 2. D a t a Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar, internet dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data

22 Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. G. Sistematika Penulisan. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang merupakan sistematika penulisan. BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER SEBAGAI HUKUM PERANG

23 Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter, Sumber-Sumber Hukum Humaniter, Sarana dan Metoda Berperang dan Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia BAB III SEKILAS MENGENAI INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK Bab ini akan menguraikan mengenai Kemelut Panjang di negara Irak, Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Irak, Taktik Devide et Impera Amerika Serikat di Irak dan Reaksi Dunia dan Sejumlah Pakar terhadap Invasi Amerika Serikat Ke Irak BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Bab ini akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi den Haag 1899 dan 1907, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi Jenewa 1949, Status Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan 1977 dan Penerapan Prinsip Hukum Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil Yang Menjadi Korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi permasalahan tersebut.

24 BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER SEBAGAI HUKUM KONFLIK BERSENJATA A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Hukum Humaniter atau lengkapnyadisebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict,

25 pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter. Jean Pictet : International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being. 27 Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different. 28 Mochtar Kusumaatmadja: Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. 29 Esbjorn Rosenbland menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. 27 GPH Haryomataram, Op.cit.hal Ibid, hal Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit. hal. 52.

26 Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. 30 S.R Sianturi menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak. 31 Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. Berdasarkan berbagai rumusan dari para sarjana tentang definisi hukum humaniter di atas, maka dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibatakibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negaranegara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999, hal Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal Ibid, hal. 122.

27 menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan perang, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai peraturan tentang perang berperikemanusiaan. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu : 33 1). Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2). Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3). Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan. 33 GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 12.

28 Hukum perang atau yang sering disebutdengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasanpembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsabangsa. 34 Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negaranegara. 35 Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem 34 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal Ibid, hal. 24.

29 hukum yang benar-benar universal. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang. Hampir tidak mungkin menemukan bukti okumenter kapan dan dimana aturan-aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihakpihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter sebagai berikut : 36 1). Zaman Kuno Sebelum perang dimulai, maka pihakmusuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu dari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang 36 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 28, Bahan Bacaan : Kursus HAM Materi : Hukum Humaniter untuk Pengacara X, 2005, hal. 12.

30 tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut : 37 (1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai. (2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimanandisebutkan dalam seven works of true mercy, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu. (3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman. 37 GPH Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hal. 15.

31 (4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik. 2). Abad Pertengahan Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran.

32 Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu. 38 3). Zaman Modern Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggotan Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalamanpengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul Un Souvenir de Solferino (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran Solferino. Buku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam Societe d Utilite Publique 38 Ibid, hal. 20.

33 dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan Comite international et permanent de secours aux militaries blesses. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan menetralisir mereka. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unitunit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugastugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan

34 bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dan sebagainya. 40 Dengan demikian, tidak seperti pada masamasa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas negaranegara setelah tahun B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Humaniter Internasional, terlebih dahulu kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Internasional yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (1) Piagama Mahkamah Internasional yang terdiri dari : 39 ICRI, Op.cit, hal Ibid, hal. 45.

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 MEKANISME PENEGAKAN HUKUM (LAW ENFORCEMENT) TERHADAP KEJAHATAN-KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER S K R I P S I DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia,

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan. Manusia diciptakan bersuku suku dan berbangsa bangsa untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan. Manusia diciptakan bersuku suku dan berbangsa bangsa untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya semua manusia mendambakan untuk hidup dalam suasana damai, tenteram, dan sejahtera, bahkan tak satupun makhluk hidup ini yang suka akan penderitaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP INTERVENSI PIHAK ASING ATAS KONFLIK INTERNAL LIBYA BERDASARKAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA

HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA Seri Kursus HAM untuk Pengacara X I Tahun 2007 HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA Wahyu Wagiman, SH Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter? BAB I PENDAHULUAN 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tua nya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Tujuan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan

BAB I PENDAHULUAN. konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah 59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto rubiyanto.151161@gmail.com Abstract In fact Humanitary law had been arranged for civil defence organization. In reality some countries

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tertuang pada Bab II, maka dapat. disimpulkan bahwa:

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tertuang pada Bab II, maka dapat. disimpulkan bahwa: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tertuang pada Bab II, maka dapat disimpulkan bahwa: Aksi pembiaran yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya pada masa pendudukan

Lebih terperinci

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional A. Sejarah Gerakan Perang Solferino Pada tanggal 24 Juni 1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 13. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 13. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HAK ASASI MANUSIA Lembar Fakta No. 13 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PENDAHULUAN Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa.

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KETIKA PERANG DALAM HUKUM HUMINITER INTERNASIONAL. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KETIKA PERANG DALAM HUKUM HUMINITER INTERNASIONAL. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1 Gerungan L.K.F.R: Perlindungan Ter. Vol.XXI/No.3/April-Juni /2013 PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KETIKA PERANG DALAM HUKUM HUMINITER INTERNASIONAL 76 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1 A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SENJATA KIMIA OLEH SURIAH S K R I P S I

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SENJATA KIMIA OLEH SURIAH S K R I P S I TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SENJATA KIMIA OLEH SURIAH S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : STEFFY 100200092

Lebih terperinci

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA Pada bab ini penulis akan bercerita tentang bagaimana sejarah konflik antara Palestina dan Israel dan dampak yang terjadi pada warga Palestina akibat dari

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi arab. Perang ini diawali oleh unjuk rasa di Benghazi pada 15 Februari 2011,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Erwin Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Email :erwin_80@yahoo.co.id Abstract Armed conflict (war) have been there

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

Tuduhan Amnesty Internasional terhadap Sudan terkait penggunaan senjata kimia di Jabal Murrah

Tuduhan Amnesty Internasional terhadap Sudan terkait penggunaan senjata kimia di Jabal Murrah Tuduhan Amnesty Internasional terhadap Sudan terkait penggunaan senjata kimia di Jabal Murrah Rabu, 28 September 2016, Taryana Hassan, Direktur Riset Krisis dan Bencana di Lembaga Amnesty Internasional

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI ACEH SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca serangan kelompok teroris Al Qaeda di pusat perdagangan dunia yaitu gedung WTC (World Trade Centre) pada 11 September 2001 lalu, George Walker Bush sebagai Presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan. 1 Sengketa

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan.

BAB I. PENDAHULUAN. negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan pergaulan masyarakat internasional, kerjasama antar negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan. Namun demikian,

Lebih terperinci

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci