PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH. BERLAKUNYA UU No. 3 TAHUN (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH. BERLAKUNYA UU No. 3 TAHUN (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta)"

Transkripsi

1 1 PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH BERLAKUNYA UU No. 3 TAHUN 2006 (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta) A. Latar Belakang Masalah Di dalam sejarah kehidupan manusia mengalami 3 (tiga) peristiwa yang penting yaitu: kelahiran, perkawinan dan kematian. Dengan lahirnya seorang anak, akan timbul suatu hak dan kewajiban baru antara orang tua dan anak yang dilahirkan tersebut. Hak dan kewajiban tersebut melekat hingga anak tersebut dewasa, sehingga pada waktu phase berikutnya yaitu perkawinan. Perkawinan merupakan basis masyarakat yang baik dan teratur yang tidak hanya diikat oleh ikatan lahir tetapi juga diikat oleh ikatan batin dan jiwa. Salah satu tujuan dari perkawian adalah memperoleh keturunan yang sah, dan pula sebagaimana kondisi manusia yang normal, perkawinan tersebut akan menghasilkan anak, anak inilah yang kelak dikemudian hari akan melanjutkan sejarah dan nama keluarga, maka si anak inilah yang dinamakan sebagai ahli waris dan ia berhak atas segala hal yang ditinggalkan orang tuanya, jika kelak orang tua mereka meninggal dunia. Setelah si anak ditinggal mati orang tuanya, akan mengakibatkan timbulnya suatu goncangan atau suatu gangguan keseimbangan kehidupan, baik di dalam kehidupan masyarakat, lingkungan maupun diantara keluarga sendiri. gangguan itu pada mulanya rasa sedih atas kematian orang tuanya, kemudian ada anggota keluarganya yang merasa dirinya waris dari orang yang meninggal

2 2 dunia. Maka mereka akan membicarakan tentang pewarisan pada harta yang ditinggalkan oleh pewaris dan juga membicarakan tentang bagaimana cara menyelesaikan hubungan-hubungan hukum yang ada antara orang yang meninggal dunia (di dalam hal ini disebut pewaris), dan keluarga yang ditinggalkan (ahli waris). Pada hakekatnya hubungan-hubungan hukum yang diselesaikan itu berupa hak dan kewajiban baik yang dapat dinilai dengan uang maupun yang tidak dapat dinilai dengan uang (non materil). Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat hukum dari perpindahan tersebut bagi yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 1 Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris akan dibagi kepada ahli waris yang berhak untuk mewarisi yaitu keturunan dari pewaris yang hak-haknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia dewasa ini masih terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga Negara Indonesia yaitu: 1. Sistem hukum kewarisan perdata barat (Eropa), yang tertuang dalam Burgelijk Wetboek (BW/KUHPer). Hal Pasal 131 Indische Staatregeling (I.S) jo Staatsblad 1917 nomor 129 jo. Staatsblad 1924 nomor 557, jo. Staatsblad 1917 nomor 12 tentang penundukan diri terhadap Hukum Eropa, maka BW tersebut berlaku bagi: 1 A Pitlo, Hukum Waris, Pramadya Paramita, Jakarta, 1984, hlm.1.

3 3 a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa. b. Orang Timur Asing Tionghoa. c. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat, misalnya sistem matrilineal di Minangkabau, patrilineal di Batak, bilateral di Jawa, alterneren unilateral (sistem unilateral yang beralih-alih) seperti di Rejang Lebong atau Lampung Papadon, yang diberlakukan kepada orangorang Indonesia yang masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 3. Sistem Hukum Kewarisan Islam, yang juga terdiri dari pluralisme ajaran seperti ajaran Kewarisan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, ajaran Syi ah, ajaran Hazairin yang paling dominan dianut di Indonesia ialah ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Mahzab Syafi I, Hanafi, Hambali Dan Maliki) tetapi yang paling dominan pula di antara ajaran 4 (empat) mahzab tersebut di Indonesia dianut Syafi i di samping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh sejak tahun 1950, di Indonesia sebagai suatu ijtihad untuk menguraikan kewarisan dalam Qur an secara bilateral. 3 2 Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut BW, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran Dan Hadis, Ctk. Kelima, Tintamas, Jakarta, 1981, hlm.1.

4 4 Hukum kewarisan Islam ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam yang berdasarkan Staatsblad 1854 nomor 129 diundangkan di Negeri Belanda dengan Staatsblad 1855 nomor 2 di Indonesia, dengan Staatsblad 1929 nomor 221, yang telah diubah, ditambah, dan sebagainya terakhir berdasarkan Pasal 29 undang-undang dasar 1945, jo ketetapan MPRS nomor II/1961 lampiran A nomor 34 jo, GBHN ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 Bab IV. 4 Kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW, terutama Pasal 528, tentang hak mewaris diindetikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari Pasal 584 KUHPerdata menyangkutkan hak waris sebagai salah satu cara memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke II KUHPerdata (tentang benda). Penempatan hukum kewarisan dalam buku ke II KUHPerdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan. 5 Menurut Staatsblad 1925 nomor 415 jo 447 yang telah diubah ditambah dan sebagainya terakhir dengan Staatsblad No. 221 Pasal 131 jo Pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUHPerdata tersebut diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut. Dengan Staatsblad 1917 nomor 129 jo Staatsblad 1924 nomor Ibid.hlm 11 5 Surini Ahlan Syarif, op-cit, hlm. 10.

5 5 hukum kewarisan dalam KUHPerdata diberlakukan bagi orang-orang Timur Asia Tionghoa. Dan berdasarkan Staatsblad 1917 nomor 12, tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUHPerdata. maka KUHPerdata (BW) ini diberlakukan kepada: 1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang. 2. Orang-orang Timur Asing Tionghoa. 3. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Pribumi menundukkan diri. 6 Pada tanggal 29 desember 1989, diundangkanlah Undang-Undang tentang Peradilan Agama, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49. lahirnya UU ini sekaligus mempertegas kedudukan dan kekuasaan bagi Peradilan Agama sebagai kekuasaan Kehakiman sesuai dengan lembaga Peradilan lainnya. 7 Eksistensi Peradilan Agama (PA) dengan penerapan hukum Islam menjadi lebih kukuh. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 UU ini antara lain menyatakan bahwa PA adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Pasal ini diperjelas lagi oleh Pasal 2 yang menentukan bahwa PA merupakan salah satu 6 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (Bw), Ctk. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm Suhrawardi K. Lubis Dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, sinar grafika, Jakarta, 2007, hlm. 13.

6 6 pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur UU ini. Rumusan penjelasan UU No 7 Tahun 1989 pada Pasal 49 masih cenderung menerapkan teori resepsi. karena susunan redaksional seperti itu, berarti pemberlakuan hukum waris Islam diserahkan pada kehendak para ahli waris. Apabila ada ahli waris yang tidak menghendakinya, hukum waris Islam tidak dapat diberlakukan. Istilah pilihan hukum dapat ditemukan di dalam penjelesan umum angka 2 alinea kelima, yang dirumuskan sebagai berikut:.. para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Pengertian sebelum berperkara berarti sebelum perkara diajukan ke pengadilan para pihak dapat memilih hukum apa saja yang akan dikehendaki. Oleh karena UU No. 7 Tahun 1989 dianggap belum maksimal maka UU tersebut diubah dengan UU No. 3 tahun PA sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam telah mengabulkan sengketa waris berdasarkan hukum Islam di daerah seperti di Yogyakarta. PA telah memberikan penetapan yang sekaligus dapat di pandang sebagai yurisprudensi tetap tentang sengketa waris di kalangan Hakim PA. namun, sebelum UU No. 3 Tahun 2006 berlaku masalah waris bukan kewenangan absolut PA karena para pihak diperbolehkan memilih pengadilan mana (PA/PN) untuk menyelesaikan sengketa waris.

7 7 Tanggal 20 april 2006 lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan PA diberi kewenangan absolute kepada PA untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perakara sengketa pewarisan berdasarkan hukum Islam. Dalam penjelasan umum UU No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA yang menyatakan Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk dapat memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian waris dinyatakan dihapus. Oleh karena itu, sejak diberlakukannya UU No 3 Tahun 2006 PA mencabut hak opsi ini, maka tidak ada lagi peluang menyelesaikan sengketa waris ke peradilan selain Peradilan Agama. Setelah di berlakukannya UU No.3 Tahun 2006 ini di PN Yogyakarta dan PN Sleman masih terdapat ahli waris yang beragama Islam mengajukan permohonan penyelesaian sengketa waris dan dikabulkannya permohonan oleh majelis Hakim. Dasar hukum hakim PN di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menerima permohonan sengketa waris adalah UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang kekuasaan kehakiman bahwa: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). memang pada hakekatnya dari seorang hakim hanya diharapkan atau diminta untuk mempertimbangkan tentang benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu hakim harus memeriksa dan mengadili

8 8 setiap perkara yang diajukan kepadanya. Andaikata peraturan hukumnya tidak atau kurang jelas, sebagai penegak hukum dan keadilan ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009) 8 Prinsip dan cara ini yang ditempuh hakim. Harus memeriksa perkara yang dijukan kepadanya dan untuk itu ia wajib mencari dan menemukan hukum objektif dan materiil yang hendak diterapkan menyelesaikan sengketa. Dan dalam penyelesaian sengketa tidak boleh berdasarkan perasaan atau pendapat subjektif hakim. Tetapi harus berdasarkan hukum objektif atau materiil yang hidup dalam masyarakat. Prinsip yang kedua dalam mencari dan menemukan hukum, hakim dianggap mengetahui semua hukum atau curia novit jus. dikatakan, hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum, oleh karena itu harus memberi pelayanan kepada setiap pencari keadilan yang memohon keadilan kepadanya, apabila hakim dalam memberi pelayanan menyelesaikan sengketa, tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara berdasar hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara. Berdasar adagium curia novit jus, hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum. Dengan demikian, hakim yang berwenang menentukan hlm Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006,

9 9 hukum objektif mana yang harus diterapkan sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara dalam konkreto. Karena itu soal menemukan dan menerapkan hukum objektif, bukan hak dan kewenangan para pihak, tetapi mutlak menjadi kewajiban dan kewenangan hakim. Para pihak tidak wajib membuktikan hukum apa yang harus diterapkan, karena hakim dianggap mengetahui hukum. 9 Hal yang sering terjadi adalah kesalahan memilih antara PN dan PA. Hal ini dapat terjadi karena dua hal, pertama karena kedua-duanya sama-sama mengadili perkara perdata; kedua pemilihan pengadilan ditentukan sendiri oleh pencari keadilan yang belum tentu memahami betul pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara yang akan diajukan. Memang perkara perdata yang menjadi wewenang PN dan PA serupa tapi tak sama. Dikatakan demikian karena perkara yang menjadi kewenangan PA serupa dengan PN. Hal ini seperti di bidang perkawinan, kewarisan, hibah dan wasiat yang kedua pengadilan tersebut sama-sama punya kewenangan tetapi pada obyek personalitas yang berbeda. Dimana PA hanya mengadili perkara pada obyek personalitas yang beragama Islam, sedang PN pada obyek personalitas selain Islam. Untuk menghindari praktik salah memilih pengadilan, dan juga untuk menghindari kemungkinan adanya kompetisi dalam kompetensi antara PN dan PA karena kedua-duanya merasa sama-sama berwenang sehingga akan menimbulkan dualisme putusan pada satu kasus yang sama, atau juga menghindari terlantarnya perkara akibat kedua pengadilan sama-sama menolak perkara karena sama-sama 9 M Yahya harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 821.

10 10 tidak berwenang, maka perlu dikaji secara mendalam dan seksama untuk menemukan garis batas yang jelas sehingga dapat diketahui mana-mana yang menjadi wewenang PA dan mana yang menjadi kewenangan PN. 10 Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik menyusun skripsi berjudul PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 3 TAHUN 2006 (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan: 1. Apa yang menjadi alasan hakim Pengadilan Negeri menerima dan mengabulkan sengketa waris orang Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa waris orang Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Negeri? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui alasan hakim Pengadilan Negeri menerima dan mengabulkan sengketa waris orang Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006? 2. Untuk mengetahui penyelesaian waris orang Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Negeri? 10 A. Mukti Arto, garis batas kekuasaan pengadilan agama dan pengadilan negeri, pnerapan asa personalitas keislaman sebagai dasar penentuan kekuasaan pengadilan agama makalah disampaikan pada varia peradilan tahun XXI no. 253 desember 2006.

11 11 D. Tinjauan Pustaka Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka akan sampai pada dua permasalahan pokok, yang pertama yaitu adanya orang yang meninggal dunia dan harta peninggalannya, serta yang kedua adalah orang yang berhak menerima warisan. Perkataan mawaris berasal dari bahasa arab warisa, yarisu, irsan. Menurut Lughot mawaris adalah perpindahan dari suatu golongan kepada golongan lain. Menurut istilah, mawaris adalah perpindahan kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup baik berupa uang, barang kebutuhan hidup ataupun hak-hak Syari ah. 11 Menurut Prof. Hasbi Ashidiqi, mawaris adalah jama dari mirots begitu juga irts, wirts, wirtsah, turats, dan mauruts yaitu harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya. 12 Sedang harta warisan sebagaimana yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajziz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan menurut Idris Ramulyo mawaris menurut istilah adalah harta kekayaan dari seorang yang meninggal dunia. 13 Sementara itu 11 Syaih Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Terjemahan Abdul Hamid Zahwan, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1994, hlm Hasbi Ashidiqi, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1992, hlm.106.

12 12 Prof. Dr. Wiryono Projodikoro, SH. Memberi batasan warisan yaitu seseorang yang meninggalkan harta kekayaan pada saat orang tersebut meninggal dunia. 14 Mengenai bagaimana sampai adanya sengketa masalah pembagian warisan, dapat kita jelaskan disini bahwa persoalan warisan memang sangat riskan terutama bagi mereka yang mempunyai kepentingan didalamnya, terlebih dalam masyarakat yang cenderung bersifat materialistis makin berkembang dewasa ini. Faktor yang menimbulkan adanya sengketa waris dalam keluarga pada umumnya adalah adanya hasrat untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dan tidak adanya kerukunan dalam keluarga. Kalau sudah demikian kejadiannya, seseorang akan pergi ke Pengadilan untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya melalui putusan baik dari PN ataupun PA bagi yang beragama Islam. Pada masa kemerdekaan, UUD No. 1 tahun 1951 menentukan adanya P.4 tentang pembentukan PA, penghapusan Peradilan Adat. Peraturan pelaksanaannya tertuang dalam PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan PA, mengatur yurisdiksi PA meliputi hukum keluarga, waris dengan syarat sepanjang hal itu hukum yang hidup di masyarakat, di sini mulai tampak adanya kekaburan yurisdiksi, kemudian menyebabkan terjadinya titik singgung dengan Peradilan Umum (PU). Selanjutnya pada tahun 1970, lahir UU No. 1 Tahun 1970, tentang pokokpokok kehakiman pada Pasal 10, yang menempatkan PA sebagai salah satu lingkungan kekuasaan kehakiman, kedudukannya menjadi PN sederajat dengan hlm Oemar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesi, Bina Aksara, Jakarta, 1987,

13 13 pengadilan lain untuk memeriksa perkara tertentu, pembinaan dan pengawasan fungsinya dibawah Mahkamah Agung. Kemudian tahun 1974 dibentuk UU No. 1 Tahun 1974, dan disusun kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan, putusan PA dikukuhkan oleh PN. Disini PA tidak sepenuhnya berwenang memeriksa baik masalah perkawinan maupun masalah pembagian warisan karena keputusan PA untuk bisa dieksekusi masih harus mendapat pengukuhan terlebih dahulu dari PN dengan demikian jika PN tidak sependapat dengan keputusan Hakim PA tersebut maka keputusan tidak bisa dilaksanakan. Oleh karenanya kemudian pada tanggal 29 desember 1989 dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1989, untuk mengatur kedudukan dan kewenangan PA yang kemudian menjadi badan peradilan yang berdiri sendiri sejajar dengan peradilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer). 15 Adanya UU No. 7 Tahun 1989 ini telah memberikan kewenangan kepada PA untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara waris terhadap orang-orang yang beragama Islam, pendelegasian wewenang tersebut ditegaskan dalam UU No. Tahun 1989 Pasal 49 ayat (1): Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: 15 Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1993, hlm.55-58

14 14 a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam c. Wakaf dan shodaqah Makna dari pasal tersebut adalah setiap orang yang mengaku Beragama Islam harus tunduk dan patuh tanpa kecuali dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh pasal-pasal diatas khususnya dalam pembagian harta warisan diantara mereka untuk diselesaikan di PA sebagai akibat absolut competensi dan bukan lagi menjadi kompetensi peradilan umum Hal-hal yang diperbolehkan oleh PA dalam memeriksa pembagian warisan tersebut adalah sebagaimana diterangkan dalam Pasal 49 ayat (3), bahwa bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapasiapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Dalam Pasal 49 ayat (3) tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah adanya ketentuan tentang pilihan hukum yang rumusannya terdapat dalam penjelasan UU No. 7 Tahun 1989 angka 2 yang menegaskan bahwa, sehubungan dengan hal itu para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan

15 15 Kalimat yang perlu diperhatikan dalam penjelasan UU No. 7 Tahun 1989 adalah kata para pihak sebelum berperkara yang berarti kesepakatan itu terjadi di luar pengadilan, maka Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dengan No. 2 Tahun 1990 tentang petunjuk pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1989 dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah pilihan hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang terletak diluar badan Peradilan, dan berlaku bagi mereka atau golongan rakyat yang hukum warisnya tunduk kepada hukum adat dan/atau hukum Islam atau hukum perdata barat (BW) dan atau hukum Islam, dimana mereka boleh memilih hukum adat atau hukum perdata barat (BW) yang menjadi wewenang PN atau memilih hukum Islam yang menjadi wewenang PA. Dilanjutkan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa perkara yang terjadi antara pihak-pihak berperkara yag beragama Islam, akan tetapi diajukan kepada PN sebelum tanggal 1 juli tahun 1990 tetapi diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan PU. Kemungkinan yang bisa terjadi dalam kesepakatan itu adalah apa yang boleh hukum lain (Hukum BW ataupun Hukum Adat) adalah termasuk ahli waris, akan tetapi dalam hukum Islam bukan termasuk ahli waris baik karena hubungan nasab atau karena sebab lain begitu juga sebaliknya, karena penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris selain hukum Islam bisa berbeda dengan penentuan menurut Alfaro id dalam Islam, satu misal dalam hal seseorang berkedudukan sebagai Ashobah (dalam Islam termasuk ahli waris) sedangkan tidak dianggap

16 16 sebagai ahli waris dalam hukum kesepakatan, apakah orang itu harus menggugat di PA? jika demikian keadaannya maka konsekuensinya adalah harus gugur kesepakatan itu, atau jika perkara itu sedang diperiksa di PN apakah dia dapat interferensi ke dalam perkara tersebut, contoh lain yang mungkin terjadi adalah seorang anak kandung karena sesuatu hal menjadi terhalang/tidak lagi bisa dianggap sebagai ahli waris menurut hukum Islam, kemudian anak itu menggugat melalui PN terhadap para ahli waris yang lain ketika perkara sedang diperiksa di PA, kemudian dipihak lain PN menyatakan dirinya berwenang mengadili karena obyek sengketa yang sama. Adanya ketentuan itu kekuatan PA dalam memeriksa masalah waris menjadi terpotong, kewenangan mutlak yang diberikan kepada pengadilan agama menjadi sangat tidak berarti jika dikaitkan dengan Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 49, maka khusus mengenai obyek sengketa harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan di lingkungan PU. Pengadilan Negeri dalam konteks ini hanya berwenang memeriksa obyek sengketanya saja, akan tetapi dalam prakteknya dengan alasan Pasal 50 selain memeriksa obyek yang menjadi sengketa sekaligus juga memeriksa kedudukan

17 17 para pihaknya, hal ini bisa dipahami karena antara obyek dan subyek tidak bisa dipisahkan dalam suatu perkara perdata khususnya dalam masalah waris. 16 Tuntutan reformasi hukum telah mulai mendapatkan respon dari Pemerintah berkaitan dengan reformasi di bidang Kekuasaan Kehakiman diundangkanlah UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Perubahan UU No 35 Tahun 1999 menjadi No 4 Tahun 2004 menjadi UU No. 48 Tahun 2009 dilatarbelakangi oleh adanya perubahan di tingkat konstitusi yaitu dengan adanya amandemen UUD 1945 yang memunculkan dua lembaga Negara yang memegang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Adanya perubahan pada UU tentang kekuasaan kehakiman yang cukup signifikan lebih disebabkan oleh adanya amandemen UUD hal ini tentu saja juga berimbas pada UU dibidang kekuasaan kehakiman yang lain, yaitu tentang Mahkamah Agung, undang-undang tentang Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Jadi adanya perubahan tersebut dilatarbelakangi oleh undang-undang sebelumnya yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. 17 Dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA dinyatakan, bahwa Peradilan Agama merupakan salah 16 Roihan A Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raya Grafindo, Jakarta, 1994, hlm Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm

18 18 satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 di atas berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA yang mencantumkan kata perdata sehingga sebelum adanya perubahan UU No. 7 Tahun 1989 ini, maka bunyi Pasal 2 itu adalah peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undangundang ini. 18 Dalam UU ini kewenangan pengadilan di lingkungan PA diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan umum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan dihapus. Kewenangan absolut PA telah dirumuskan dalam Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA sebagai berikut: PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: 18 Chatib Rasyid Dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 11.

19 19 Perkawinan., Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, Ekonomi syariah. 19 Selanjutnya dalam Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 ayat (1) dan (2) tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA menyatakan: 1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum 2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh PA bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Landasan hukum positif penerapan sengketa pembagian waris bagi orang Islam berdasarkan hukum Islam diharapkan lebih kokoh dengan UU No. 3 Tahun 2006 ini, karena telah menghapus permasalahan pemilihan hukum. UU PA yang lalu antara lain menyatakan dalam penjelasan umum bahwa: para pihak sebelum beperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian kewarisan sedangkan dalam UU No. 3 tahun 2006 rumusan tersebut dihapus. 19 Chatib Rasyid Dan Syaifuddin, op-cit, hlm. 13.

20 20 E. METODE PENELITIAN 1. Obyek penelitian a. Alasan hakim Pengadilan Negeri menerima dan mengabulkan sengketa waris orang Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006? b. Penyelesaian waris orang Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Negeri? 2. Subyek penelitian Karena yang diteliti PN Yogyakarta dan PN Sleman yang mengabulkan proses permohonan sengketa pembagian waris beragama islam, maka yang kami jadikan subyek penelitian adalah Hakim PN Yogykarta dan PN Sleman, yang mengabulkan gugatan waris sesuai nomor perkara yang nanti penulis dijadikan subyek peneliitian serta para pihak yang terkait dengan penelitian. 3. Sumber data a. Data primer, yakni data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subyek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara. b. Data sekunder, data yang diperoleh secara tidak langsung melalui kepustakaan dan dokumen, seperti peraturan perundang-undangan, literature, jurnal, putusan pengadilan, majalah yang berhubungan dengan hukum dan sengketa waris Islam dan lain-lain.

21 21 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara, yakni penulis akan mengadakan wawancara secara langsung dengan majelis Hakim yang mengabulkan permohonan sengketa pembagian waris dan mempelajari keputusan Hakim PN tentang sengketa pembagian waris. dan para pihak yang terkait dengan penelitian. b. Studi Kepustakaan, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundangundangan atau literatur yang berhubungan dengan masalah peneliti. Studi dokumentasi, yakni dengan mengkaji dokumen resmi institusional yang berupa putusan pengadilan dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Pendekatan Pendekatan Yuridis sosiologis: pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan melihat kenyataan sosial dimasyarakat Analisis Data. Data yang terkumpul disajikan secara deskriptif dan analisis secara kualitatif, yaitu lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta dinamika hubungan antar fenomena yang diamati menggunakan logika ilmiah. 21 Artinya bahan hukum yang sudah 20 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ctk Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, Hlm M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 133.

22 22 dikumpulkan, diuraikan dan ditata secara deskriptif dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan mengklasifikasikan data penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian kemudian disistemasikan yang selanjutnya dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan. Ini bukan berarti bahwa analisis kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif, tetapi penekanannya tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif.

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DAN DASAR PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA WARIS NON MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA KRAKSAAN (PENETAPAN NOMOR 0023/PDT.P/2015/PA. KRS). A. Analisis Kewenangan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya.

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di lihat dari letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis antara dua benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa oleh pendatang

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara naluri insani, setiap pasangan suami isteri berkeinginan untuk mempunyai anak kandung demi menyambung keturunan maupun untuk hal lainnya. Dalam suatu rumah tangga,

Lebih terperinci

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota 37 BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan. 32 BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan. Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun 1989

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belanda, meskipun saat ini penggolongan penduduk telah dihapus semenjak adanya

BAB I PENDAHULUAN. Belanda, meskipun saat ini penggolongan penduduk telah dihapus semenjak adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum waris yang berlaku di Indonesia dikenal sangat beragam, hal ini dikarenakan adanya pengaruh penggolongan penduduk yang pernah dilakukan pada masa Hindia Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem hukum waris Adat diperuntukan bagi warga Indonesia asli yang pembagiannya

BAB I PENDAHULUAN. Sistem hukum waris Adat diperuntukan bagi warga Indonesia asli yang pembagiannya BAB I PENDAHULUAN Saat ini di Indonesia masih terdapat sistem hukum waris yang beraneka ragam, yaitu sistem hukum waris Adat, hukum waris Islam, dan hukum waris Barat (KUHPerdata). Sistem hukum waris Adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sudah berjalan dua dekade lebih. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. Di dalam hukum Islam dikenal banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG 1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG Pengadilan Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI 1 EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H I EKSEPSI Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama adalah salah satu dari peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun 1989 yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, peradilan agama

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika :

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa pewarisan adalah perihal klasik dan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Apabila ada seseorang meninggal dunia, maka pada saat itulah

Lebih terperinci

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 1 S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 B. DESKRIPSI MATA KULIAH Mata kuliah ini mempelajari hukum waris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia mempunyai kehidupan jiwa yang selalu menyendiri. Namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai keturunan bagi keluarga yang tidak memiliki anak, baik yang tidak memiliki anak laki-laki ataupun anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses hidup manusia secara kodrati berakhir dengan suatu kematian yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan menimbulkan akibat hukum

Lebih terperinci

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 Abstraksi Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik secara teknis

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kedua orang tuanya. Setiap anak tidak hanya tumbuh dan berkembang dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk hubungan hukum yang mengandung hak-hak dan

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk hubungan hukum yang mengandung hak-hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang manusia selaku anggota masyarakat, selama hidup mempunyai tempat dalam kehidupan bermasyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk hubungan hukum yang mengandung

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Atas Putusan No. 1359/Pdt.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun pengadilan. Karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan

BAB I PENDAHULUAN. ataupun pengadilan. Karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam tatanan kehidupan berkeluarga, perkara yang berkaitan dengan warisan sering menimbulkan permasalahan. Dimana permasalahan tersebut sering menyebabkan sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia ( naturlijk person) sebagai subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Mereka saling tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1 Abstraksi Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu

BAB I PENDAHULUAN. peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu Kota, Kabupaten atau Kota. Sebagai Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (pewaris),

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

STUDI PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA STUDI PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2 Magister

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Proses perjalanan kehidupan manusia yang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, menimbulkan hak dan kewajiban serta hubungan antara keluarga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang

Lebih terperinci

Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata

Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata Modul 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., dkk. U PENDAHULUAN ntuk memahami hukum perdata, maka penting untuk diketahui pengertian dan ruang lingkup hukum perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai anggota dari masyarakat merupakan penyandang hak dan kewajiban. Menurut Aristoteles, seorang ahli fikir yunani kuno menyatakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 1 Kekuasaan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERKARA WARIS Rahmatullah, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum UIT Makassar

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERKARA WARIS Rahmatullah, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum UIT Makassar KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERKARA WARIS, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum UIT Makassar Abstract This inheritance issues often cause disputes or problems for heirs, because it

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995 A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam bukan keluarga besar (extended family, marga) bukan pula keluarga inti

BAB I PENDAHULUAN. Islam bukan keluarga besar (extended family, marga) bukan pula keluarga inti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem perkawinan menentukan sistem keluarga, sistem keluarga menentukan sistem kewarisan. Bentuk perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) 0 TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Al-Qur an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur an, Asy-Syifa, Semarang, 1992. A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan 61 BAB IV ANALISIS A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Yang Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Bangil Tentang Sengketa Waris. Setelah mempelajari duduk perkara No

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM HAL KEWARISAN DI INDONESIA. pemberian keadilan disuatu lembaga. 2 Dalam kamus Bahasa Arab disebut

BAB II KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM HAL KEWARISAN DI INDONESIA. pemberian keadilan disuatu lembaga. 2 Dalam kamus Bahasa Arab disebut 17 BAB II KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM HAL KEWARISAN DI INDONESIA A. Pengertian Peradilan Agama Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan. 1 Peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama sebagaimana lingkungan peradilan lainnya tidak hanya dilakukan oleh hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D 101 09 512 ABSTRAK Penelitian ini berjudul aspek yuridis harta bersama dalam

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. 1. Kompetensi absolut Peradilan Agama yang diikuti sengketa hak milik

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. 1. Kompetensi absolut Peradilan Agama yang diikuti sengketa hak milik BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kompetensi absolut Peradilan Agama yang diikuti sengketa hak milik Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Penulis menemukan bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuhtumbuhan dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec. SUMBER HUKUM HIR / RBg UU No. 7 / 1989 ttg PA UU No. 3 / 2006 Revisi I UU PA UU No. 50 / 2009 Revisi II UU PA UU No. 14 / 1970 kekuasaan kehakiman UU No. 14 / 1985 ttg MA UU No. 1 / 1974 ttg Perkawinan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji: RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 tanggal 13 Agustus 2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA A. Deskripsi Singkat Pada bab ini akan dibahas tentang Kedudukkan Peradilan Agama di Indonesia. Peradilan Agama di Indonsia mempunyai kedudukan yang istimewa karena dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dimaksud adalah tersebut dalam Pasal 25 ayat (3) Undang -Undang

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dimaksud adalah tersebut dalam Pasal 25 ayat (3) Undang -Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Islam. 1 Sebagai sistem hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Islam. 1 Sebagai sistem hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hukum waris di Indonesia, selama ini diwarnai oleh tiga sistem hukum waris. Ketiga sistem hukum waris itu adalah, sistem Hukum Barat, sistem Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk dalam lapangan atau bidang hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah,

Lebih terperinci

MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1

MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1 MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1 A. Pendahuluan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk memenuhi Salah Satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti dengan adanya data Bank Indonesia tahun 2012 mengenai Jaringan Kantor Perbankan Syariah yang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hikmah perkawinan untuk melahirkan dan menciptakan kesinambungan keturunan. Secara naluriah pasangan suami istri umumnya sangat mendambakan kehadiran anak.

Lebih terperinci

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI A. Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) Pasal 841 KUH Perdata Dengan Pasal 185 KHI Hukum

Lebih terperinci

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Definisi Oprasional

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Definisi Oprasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara normatif memang orang tua itu sudah menjadi wali bagi anak kandungnya, dan bisa mewakili anaknya di luar dan di dalam pengadilan, hal seperti ini sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk beragama Islam telah menganut adanya sistem hukum nasional. Dalam upaya menjamin adanya

Lebih terperinci

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI DASAR HUKUM PUTUSAN Pengadilan Agama Kendal telah memeriksa dan memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilaksanakan secara

BAB I PENDAHULUAN. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilaksanakan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara. 1 Biasanya tindakan eksekusi baru merupakan

Lebih terperinci

KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram)

KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram) KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram) A. Perkembangan dan perubahan kewenangan perkara Waris 1. Pengadilan Agama

Lebih terperinci