Menyoal Tidak Ditahannya Terdakwa dan Mereka Yang Divonis Bersalah di Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Menyoal Tidak Ditahannya Terdakwa dan Mereka Yang Divonis Bersalah di Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur"

Transkripsi

1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progres Report XI Tanggal 3 April 2003 Program Monitoring Pengadilan Pengadilan HAM Tim-tim Menyoal Tidak Ditahannya Terdakwa dan Mereka Yang Divonis Bersalah di Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur Oleh Tim Monitoring Pengadilan HAM Timor-Timur * I. Pengantar Ada yang ganjil di dunia hukum Republik ini. Di satu sisi, jika seseorang mengengam kekuasaan ditangannya meskipun divonis bersalah di pengadilan oleh hakim tetap bisa keluyuran bahkan bisa naik pangkat atau menjadi ketua dari sebuah lembaga terhormat yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Keganjilan ini pulalah yang kini dipertontonkan oleh Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur ketika para majelis hakim tidak memerintahkan para terdakwa dan orang yang telah divonisnya bersalah itu masuk kedalam tahanan. Pada hal tuduhannya adalah kejahatan paling serius di dunia yaitu kejahatan terhadap kemanusian dengan ancaman minimal 10 tahun penjara atau maksimal hukuman mati. Namun di sisi lain hukum begitu tegasnya terhadap mereka yang jauh dari kekuasaan. Seorang yang hanya dituduh mencuri sandal bekas bisa langsung masuk penjara meskipun pengadilan belum digelar untuknya. Atau seseorang yang diduga mencopet dijalanan bisa tersungkur diterjang peluru aparat dan kemudian merengang nyawa tanpa proses hukum atas dirinya. Perlakuan terhadap para terdakwa pelanggar HAM berat yang tidak pernah ditahan ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum yang tajam dalam penerapannya. Aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaaan dan Pengadilan yang telah memutus bersalah para terdakwa tidak menerapakan prinsip equality before the law. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum hanya mampu memperlihatkan kekuasaannya terhadap mereka yang lemah. Keganjilan yang bisa disebut sebagai praktek diskriminatif itulah yang terjadi dalam pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam beberapa bulan belakangan ini. Mendekati tahap akhir proses sidang tingkat * Nama Anggota Tim Pemantau terlampir di belakang. 1

2 pertama, Pengadilan HAM ad hoc untuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, Pengadilan telah memutus bersalah 5 (lima) orang terdakwa, masing-masing adalah Abilio Soares yang dijatuhi hukuman 3 tahun penjara pada 13 Agustus 2002, Eurico Gutteres yang dijatuhi hukuman 10 tahun pada 27 November 2002, Soedjarwo yang dijatuhi hukuman 5 tahun pada 27 Desember 2002, Hulman Gultom yang dijatuhi hukuman 3 tahun tanggal 20 Januari 2003, dan terakhir Noer Moeis dijatuhi hukuman penjara 5 tahun pada 12 Maret Diantara kelima terdakwa yang diputus bersalah, tidak satu pun dari mereka ditahan sampai saat ini. Memang ada dalih bahwa proses pengadilan belum selesai, karena masih ada pengadilan di tingkat banding. Padahal, jika ditilik dari alasan subyektif maupun obyektif, para tersangka selayaknya telah ditahan sejak masa penyidikan sampai dengan penuntutan. Apalagi saat ini mereka telah divonis bersalah secara meyakinkan. Tuduhan yang dialamatkan kepada para terdakwa sebenarnya cukup sebagai alasan untuk menahan mereka. Alasan hakim untuk tidak menahan mereka semestinya dikesampingkan jika mengingat dampak dari perbuatan bagi korban dan keluarganya. Jika ditilik ke belakang, tidak satu pun para tersangka yang ditahan oleh kejaksaan agung guna keperluan penyidikan. Akibatnya beberapa terdakwa dari kalangan militer atau polisi mendapatkan promosi jabatan dan naik pangkat. Dengan sendirinya para terdakwa tetap terus menjalankan tugas dan pengaruhnya didalam lingkungan kemiliteran. Hal itu memperlihatkan negara (pemerintah) merestui tindak kejahatan yang dituduhkan kepada para terdakwa atau membenarkan tindakan mereka selama bertugas di Timtim. Pembiaran tanpa penahanan itu telah memberikan hak istimewa yang secara leluasa bisa mereka gunakan di tengah masyarakat untuk membuat opini dan menghimpun dukungan atas tindakan mereka di Timor-Timur. Restu pemerintah serta opini dan dukungan itu telah menempatkan mereka sebagai pahlawan atas tindakannya bukan sebagai pihak yang sedang diperiksa kesalahanya. Tindak pidana yang didakwakan pada mereka adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang ancaman hukuman maksimumnya adalah hukuman mati. Selain itu, mengingat posisi strategis mereka sebagai aparat negara yang mempunyai akses terhadap barang bukti, ada alasan objektif bahwa mereka bisa saja menghilangkan alat bukti. Lebih jauh lagi, kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur adalah sebuah kejahatan serius yang dianggap sebagai kejahatan internasional, yang mempunyai dampak luas baik secara politik maupun hukum di Indonesia dan Timor-timur khususnya. Hal tersebut di atas tidak saja meniadakan efek jera (deterrent effect) dari sebuah proses hukum agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang. Lebih jauh lagi, tidak ditahannya para terdakwa dan terpidana menyebabkan proses pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini semakin menjauh dari sebuah proses yang kompeten dan adil, dan oleh karenanya semakin tidak sesuai dengan standar internasional sebuah pengadilan yang menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia. Laporan ini akan mengupas seberapa jauh penafikan standar-standar hukum yang terjadi dalam konteks ini dari sudut pandang legal-formal, yang menjelaskan bahwa TIDAK 2

3 ADA KEMAUAN POLITIK yang cukup dari pemerintah Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. II. Tindakan Terhadap Para Tersangka/Terdakwa pada Pengadilan HAM Dalam Perkara Pelanggaran HAM Yang Berat di Timor-Timur. a. proses penyelidikan : Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur pra dan pasca jajak pendapat, proses penyelidikan berada di instansi Komnas HAM sesuai dengan Pasal 18 UU No 26 Tahun Dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM kepada para tersangka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat tersebut tidak pernah dilakukan penahanan oleh Komnas HAM, karena kewenangan tersebut tidak diberikan kepada Komnas HAM sebagaimana diatur dalam pasal pasal 19 Undang-undang No. 26 tahun b. proses penyidikan dan penuntutan : Selanjutnya hasil penyelidikan dari Komnas HAM tersebut kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan proses penyidikan dan penuntutan. Pada tahap ini kewenangan penahanan kemudian berlaku dan ditegaskan berdasarkan Pasal 12 sampai dengan pasal 14 UU No. 26 Tahun Namun, walaupun Kejaksaan Agung memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap para tersangka pelaku pelanggaran HAM berat di Timor-timur, dalam prakteknya hal ini tidak pernah dilakukan. Hal ini dapat terlihat dalam semua surat dakwaan yang diajukan terhadap para terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum. Berbagai alasan yang dikemukakan untuk tidak dilakukannya penahanan tersebut antara lain, bahwa terdakwa mempunyai kemampuan/tanggungjawab yang masih diperlukan oleh instansinya atau tempatnya bertugas, terdakwa mempunyai itikad baik untuk 1 (1) penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak asasi manusia. (2). Komisi Nasional Hak asasi manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Hak Asasi Manusia dan unsure masyarakat. 2 (1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang : a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat: b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti; c. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk meminta dan didengar keterangannya; d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya; e. Meninjau dan mengumpilkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya; g. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. Pemeriksaan surat. 2. Penggeledahan dan penyitaan 3. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu. 4. Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. (2). Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik. 3

4 mengikuti semua proses persidangan. Padahal kalau dilihat dari ketentuan yang mengatur mengenai masalah penahanan ini, yaitu KUHAP terhadap para tersebut sebenarnya sudah cukup untuk dilakukan penahanan 3. Melihat dari Peraturan perundangan-undangan utama berkaitan dengan penahanan bagi tersangka maupun terdakwa di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 butir 21 KUHAP menyatakan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntutu umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Mengenai tujuan dari penahanan ini adalah : Pertama, untuk kepentingan penyidikan, penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Kedua, adalah penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum yang bertujuan untuk kepentingan penuntutan, dan yang ketiga adalah penahanan yang dilakukan oleh pengadilan untuk kepentingan persidangan. Adapun unsur yang menjadi landasan dasar penahanan pertama, adalah landasan unsur yuridis (objektif) karena undang-undang sendiri telah menentukan pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diperlakukan karena tidak semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa dasar unsur ini ditentukan dalam Pasal 21 ayat 4 yang menetapkan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dan juga tindak pidana tertentu pada pasal-pasal KUHP dan diluar KUHP. 4 Alasan tentang dapat ditahannya tersangka yang diancam pidana 5 tahun atau lebih adalah bahwa tindak pidana tersebut ialah kejahatan terhadap nyawa orang. sedangkan untuk tindak pidana tertentu adalah bahwa tindak pidana tersebut dianggap sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya, serta ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khusunya. 5 Landasan yang kedua, adalah landasan unsur keperluan (subyektif). Unsur ini menitikberatkan kepada keadaan ditinjau dari segi subjektifitas tersangka atau terdakwa yaitu keadaan yang diatur dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu berupa keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. 3. Supra note 1 4 Tindak Pidana dalam KUHP : yang terdapat dalam Pasal 282 ayat 3, Pasal 296, Pasal 335 ayat 1, Pasal 353 ayat 1, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan pasal M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pusataka Kartini, Jakarta, hal

5 Landasan ketiga adalah yang ditentukan oleh pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu penahanan harus memenuhi syarat : tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan, dugaan yang keras itu didasarkan pada bukti yang cukup. Berdasarkan landasan yuridis atau landasan obyektif, keperluan penahanan terhadap para tersangka seharusnya dapat dilakukan. Alasan yang mendasari bahwa para tersangka layak untuk ditahan adalah bahwa pertama, kejahatan yang dituduhkan kepada para tersangka adalah kejahatan kemanusiaan yang ancaman hukumannya adalah hukuman mati bahkan dikenakan pidana minimal mengingat bahwa kejahatan ini adalah kejahatan yang sangat serius terhadap umat manusia 6. Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang termasuk extraordinary crimes yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional dan menimbulkan kerugian materiil baik immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupu masyarakat. Landasan dilakukan penahanan berdasarkan keperluan (subyektif) juga sangat memadai dimana para pelaku adalah mantan pejabat, bahkan masih menjabat dan mendapatkan promosi jabatan yang mempunyai kekuasaan. Artinya, mereka masih mempunyai akses penuh terhadap barang bukti, sehingga kekhawatiran akan melakukan tindakan-tindakan seperti yang disyaratkan pasal 21 ayat 1 KUHAP sangat mungkin terjadi. Bahwa hampir semua terdakwa ini berasal dari suatu kesatuan dinas atau golongan yang sama, seperti TNI atau kepolisian, dimana dari 18 orang terdakwa yang diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc ini, 10 orang diantaranya berasal dari TNI, dari tingkatan yang paling bawah sampai tingkatan yang paling tinggi 7. Para saksi yang dihadirkan dalam proses pemeriksaan di pengadilan kebanyakan adalah bawahan/mantan bawahan terdakwa sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa telah terjadi koordinasi antara para terdakwa tersebut untuk menghilangkan barang bukti dan untuk mengamankan posisi masing-masing. Alasan terakhir bahwa para tersangka sangat layak untuk ditahan adalah bahwa telah terpenuhinya ketentuan pasal 21 ayat 1 yaitu dengan melihat proses diajukannya para tersangka ke pengadilan telah melalui berbagai proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dan telah disetujui oleh DPR untuk dibentuk pengadilan HAM ad hoc terhadap pelanggaran HAM yang barat di Timor-timur. Ketentuan untuk penahanan yang mensyaratkan adanya dugaan keras bahwa tersangka adalah pelaku 6 Lihat Bab VII UU No. 26 Tahun 2000 mengenai ketentuan pidana, ancaman hukuman antara 5 tahun sampai dengan pidana mati. 7 Lengkapnya adalah sebagai berikut: dari TNI Kapten Sugito, Mayor Ahmad Syamsudin, Letkol (CZI). Liliek Koeshadianto, Letkol (Inf). Asep Kuswani, Letkol (Inf) Endar Priyanto, Letkol (Inf). Soedjarwo, Kol (Inf). Yayat Sudrajat, Brig.Jend (TNI). M. Noer Muis, Brig. Jend (TNI). Tono Suratman dan May.Jend (TNI). Adam Damiri. Dari kepolisian antara lain, Letkol (Pol). Adios salova, Letkol (Pol). Hulman Gultom, Letkol (Pol). Gatot Subyaktoro dan Brig.Jend (Pol). GM. Timbul Silaen. Sedangkan dari sipil adalah Leonito Marthins, Herman Sedyono dan Abelio Soares. Dan yang tidak mempunyai atasan langsung adalah Eurico Gutteres. 5

6 tindak pidana dan adanya bukti yang cukup seharusnya didasarkan atau diproporsikan sesuai dengan tahap-tahap pemeriksaan yang berarti bahwa pada tahap penyidikan tentu sudah dapat dianggap cukup terbukti apabila telah ditemukan penyidik batas minimum pembuktian yang akan diajukan ke ke muka pengadilan sesuai dengan alatalat bukti yang ditentukan oleh pasal 184 KUHAP. Dari pengertian ini, bukti yang cukup tidak dapat dipersamakan dengan dengan pengertian cukup bukti yang kualitasnya telah dipergunakan hakim dalam suatu persidangan sebagai alasan untuk menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa. c. proses pemeriksaan disidang pengadilan : Landasan hukum untuk dilakukannya penahanan terhadap terdakwa pelaggar HAM berat pada tahap pemeriksaan dipengadilan ini didasarkan pada pasal 15 UU No. 26 Tahun kewenangan untuk menahan para terdakwa ini tidak dipernah dilakukan terlihat bahwa disemua surat dakwaan dinyatakan bahwa terdakwa tidak ditahan. Alasan yang bahwa tidak perlu dilakukan penahanan adalah sama dengan alasan tidak dilakukannya penahanan pada tahap penyidikan dan penuntutan. d. putusan pengadilan : Pengadilan HAM ad hoc untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, saat ini telah memutus bersalah lima orang terdakwa, masing-masing adalah Abilio Soares yang dijatuhi hukuman 3 tahun penjara pada 13 Agustus 2002, Eurico Gutteres yang dijatuhi hukuman 10 tahun pada 27 November 2002, Soedjarwo yang dijatuhi hukuman 5 tahun pada 27 Desember 2002, Hulman Gultom yang dijatuhi hukuman 3 tahun tanggal 20 Januari 2003, dan terakhir Noer Moeis dijatuhi hukuman penjara 5 tahun pada 12 Maret Namun, terhadap kelima terpidana tersebut Majelis Hakim dalam amar putusannya tidak satupun yang menyatakan agar para terpidana ini dimasukkan ke dalam penjara. Sebagian besar majelis hakim tidak memberikan alasan yang jelas mengenai kenapa para terpidana ini tidak ditahan atau diperintahkan untuk segera masuk tahanan. Dalam kasus dengan terdakwa Noer Muis dan Hulman Gultom, majelis hakim dalam putusannya memberikan argumentasi tentang tidak adanya perintah untuk dilakukannya penahanan. Alasan tidak dilakukannya perintah penahanan : Menimbang bahwa karena terdakwa selama proses persidangan tidak ditahan, selama persidangan menunjukkan sikap yang kooperatif, tidak ada kekhawatiran bahwa ia akan melarikan diri atau melakukan tindak pidana kembali. Tenaga serta pikiran terdakwa masih dibutuhkan oleh kesatuannya maka terhadap terdakwa tidak akan diperintahkan untuk ditahan. 8 8 Putusan Majelis Hakim dengan terdakwa Hulman Gultom, tanggal 20 Januari alasan yang tentang tidak ditahannya terpidana juga terdapat dalam putusan kasus dengan terdakwa M. Noer Muis, tanggal 12 Maret

7 Namun, disisi lain majelis hakim dalam amar putusannya menetapkan bahwa semua terdakwa yang dijatuhi pidana dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan ikut terlibat dalam pelanggaran HAM yang berat. Majelis hakim juga menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusian merupakan kejahatan internasional dan berakibat menggoncangkan nurani manusia (shocking conscience of mankind) dan masyarakat internasional menyatakan sebagai musuh bersama umat manusia yang menuntut semua negara untuk memeranginya. Bahwa penghukuman terhadap pelaku kejahatan kejahatan terhadap kemanusiaan mutlak dilakukan dan ketiadaan penghukuman terhadap pelaku kejahatan akan merupakan virtual licence bagi pelaku atau orang lain untuk mengulangi kejahatan serupa dikemudian hari. 9 Dasar pertimbangan dari berbagai putusan majelis hakim yang menyatakan para terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang dikutuk umat manusia, dan perlunya penghukuman bagi pelaku sebagai sebuah keadilan bagi korban dan fungsi pencegahan melalui proses penjeraan (detterent rationale) tanpa memerintahkan para terpidana untuk ditahan dan segera masuk penjara menimbulkan berbagai kekhawatiran. Alasan yang dikemukakan bahwa terdakwa bersikap kooperatif dan tidak ada kekawatiran akan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya merupakan alasan yang bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri, disamping bahwa kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang mengancam umat manusia. Membiarkan para pelaku kejahatan terhadap kemanusian bebas tanpa penahanan meskipun telah dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman akan sama artinya dengan gagal memahami makna kejahatan kemanusiaan itu sendiri. III. Implikasi Tidak Dilakukannya Penahanan Dampak atas tidak ditahannya para tersangka pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, pada tahap pemeriksaan di pengadilan, bahkan pada saat para terdakwa itu dinyatakan bersalah oleh pengadilan semakin meneguhkan kecurigaan bahwa tidak ada kesungguhan atau kemauan yang sungguh-sungguh untuk melakukan proses peradilan yang fair dan kompeten. Dalam praktek peradilan internasional yang mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam setiap tingkat proses pemeriksaan para tersangka semuanya ditangkap dan ditahan, kecuali yang masih dalam status buron atau belum tertangkap. Saat ini ada dua Pengadilan Internasional yang sedang memeriksa kasus pelanggaran HAM berat yaitu The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY). Untuk masingmasing kasus ini telah diperiksa sejumlah tersangka bahkan sebagian diantaranya sudah diperiksa di persidangan. Untuk tersangka kasus Rwanda, mereka ditahan di kota Arusha, 9 Lihat putusan terhadap terdakwa Eurico Guterres, Tanggal 27 November

8 Tanzania 10 sedangkan untuk tersangka/terdakwa kasus Yugoslavia, mereka ditahan di Den Hague, Belanda Jika dibandingkan dengan praktek peradilan dalam ICTR maupun ICTY, terdapat perlakuan yang sangat berbeda terhadap para pelaku yang dituduh melakukan pelanggaran HAM yang berat. Dalam ICTR maupun ICTR para pelaku kejahatan terhadap kemanusian diklasifikasikan sebagai pihak yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan terhadap para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur. Perbedaan perlakuan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan inilah bisa dianggap proses peradilan HAM ada hoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timor-timur tidak kompeten. Implikasi yang lebih besar dari tidak dilakukannya penahanan terhadap para tersangka/terdakwa ini adalah tersendatnya proses pembuktian saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Keengganan jaksa penuntut umum untuk menahan para terdakwa karena tidak ada kekhawatiran bahwa para terdakwa akan melakukan upaya untuk melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti berbuah dengan banyaknya saksi yang mencabut keterangannya di BAP dan cenderung mengungkapkan keterangan yang berbeda-beda. 11 Selain itu adalah dengan tidak ditahannya para terdakwa yang kebanyakan memiliki jabatan dan masih tetap memegang jabatannya sehingga 10 Sebagai contoh salah satu tersangka untuk kasus Rwanda adalah Tharcisse Renzaho. Renzaho ditangkap pada tanggal 29 September 2002 di Republik Demokratik Congo dan pada hari yang sama langsung ditransfer ke fasilitas penahanan pengadilan di Arusha, Tanzania. Ia ditahan sebagai tersangka karena keterlibatannya pada peristiwa genocide yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, pada saat itu Ia menjadi gubernur di Kigali. Selain Renzaho, yang juga dijadikan tersangka adalah Jenderal Augustin Bizimungu. Ia menjadi Panglima Militer Rwanda pada 1994 selama Genocide berlangsung. Dalam peristiwa ini sekitar suku Tutsi dan kelompok moderat suku Hutu dibunuh dalam jangka waktu 100 hari, oleh milisi bersenjata. Bizimungu adalah salah satu dari mereka yang dituduh sebagai dalang dari peristiwa tersebut dengan tuduhan mempersenjatai dan melakukan training kepada milisi. Ia akan dituntut dengan tuduhan melakukan genocide atau bekerjasama melakukan genoside, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 11 Salah satu indikasi yang terlihat dengan jelas adalah dalam perkara Herman Sedyono Dkk dimana dalam proses pemeriksaan saksi diwarnai dengan pencabutan beberapa point penting kesaksian dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh saksi. Saksi Sonik Iskandar mencabut seluruh BAP dengan alasan dibawah tekanan. Padahal keterangan saksi tersebut sangat significan mengenai keterlibatan saksi dalam penyerangan gereja Ave Maria Suai. Saksi I Wayan Suka Antara mencabut keterangannya di BAP berkaitan dengan bunyi suara tembak menembak, rapat koordinasi bupati dengan Kodim pada saat kejadian serta mengenai kata penyerangan. Jehezkiel Berek mencabut kesaksian yang mengatakan bahwa pembentukan milisi sipil itu dikukuhkan oleh kebijakan bupati setempat. Sonic Iskandar dan I wayan Suka Antara adalah anggota Kodim Covalima, sedangkan Jehezkiel Berek adalah Wakapolres Covalima. Preliminary Conclussion Report Elsam 2002, hal

9 mendapatkan promosi, 12 sehingga status terdakwa yang masih memiliki jabatan dan kekuasaan ini turut pula mempengaruhi proses pemberian kesaksian. 13 Setelah proses pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai seperti yang dinyatakan dalam pasal 182 ayat 1 KUHAP, tahap persidangan selanjutnya adalah penuntutan/requisitor, pembelaan/pledooi, replik dan duplik. Dan apabila tahap inipun telah dinyatakan selesai, maka tahap selanjutnya adalah putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Mengenai putusan ini tergantung dari hasil musyawarah hakim berdasarkan penilaian fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Pada umumnya putusan ini terdiri dari 3 jenis, yaitu putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan. Dalam hal putusan pemidanaan yang dijatuhkan, maka sudah jelas bahwa putusan tersebut adalah putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan pidana yang dijatuhkan, sehingga sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP maka terhadap terdakwa tersebut harus segera dimasukkan ke dalam penjara. Namun dalam kenyataannya -walaupun sampai dengan tanggal 12 Maret Pengadilan HAM Ad Hoc yang memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat di Tim-tim telah memutus bersalah 5 (lima) terdakwa sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata dari kelima terdakwa tersebut tidak ada satupun putusan yang menyatakan bahwa terdakwa tersebut harus segera masuk penjara, padahal syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP sudah terpenuhi 14. Secara teoritis bahwa putusan pemidanaan dalam hal terdakwa tidak ditahan berimplikasi pada dua perintah dari pengadilan yaitu memerintahkan terdakwa tetap dalam status tidak ditahan dan memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Pasal 193 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal terdakwa tidak ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan jika memenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat cukup alasan untuk itu. Syarat untuk harus terpenuhinya ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk penahanan itu merupakan hak subyektif dari pendapat majelis hakim tentang perlu atau tidaknya terdakwa yang telah dinyatakan bersalah ditahan. 12 Diantaranya adalah Brigjen Tono Suratman dan Kolonel Yayat Sudrajat. 13 kesaksian Kapolres Liquisa Adios Salova yang memberikan kesaksian pada tanggal 19 Agustus 2002 dalam perkara Tono Suratman yang mencabut kesaksiannya dalam BAP mengenai pengumpulan massa pro integrasi di samping Kodim Liquisa. Selain itu Adios salova juga mencabut keterangannya yang mengatakan bahwa dia (Adios Salova) baru menerima tempat kejadian perkara (TKP) dari Dandim Liquisa Asep Kuswani pada jam tanggal 6 April Disamping itu, Adios Salova juga mencabut keterangannya dalam BAP yang mengatakan bahwa dia menerima 5 mayat dari TNI. Terakhir, dalam memberikannya keterangannya, sebelum menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum atau majelis hakim, Adios Salova sebelum menjawab pertanyaan selalu melihat dulu kepada terdakwa atau penasehat hukumnya, sehingga dia diperingatkan oleh Ketua Majelis Hakim, Andi Samsan Nganro. 14 Yang antara lain menetapkan bahwa untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih dapat dilakukan penahanan. 9

10 Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat ini ternyata majelis hakim memilih untuk meneruskan jejak jaksa penuntut umum untuk tidak melakukan penahanan atau perintah untuk segera masuk penjara. Majelis hakim sebagaimana halnya jaksa penuntut umum masih memaknai para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sama seperti halnya dengan pelaku kejahatan biasa lainnya padahal tingkat kejahatan ini adalah merupakan kejahatan yang paling serius. Tidak ditahannya para terdakwa selama masa penyidikan dan penuntutan ditambah putusan hakim yang memutus bersalah para terdakwa, tetapi tidak memerintahkan untuk segera masuk penjara tersebut menunjukkan bahwa : 1. Kurang sungguh-sungguhnya (unwilling) pengadilan dalam mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM yang berat di Tim-tim, meskipun masyarakat dunia telah menganggap kejahatan ini sebagai musuh utama umat manusia (hostis humanis generis) dan setiap orang mempunyai kewajiban menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan (erga omnes obligatio). 2. Pengadilan ini telah memperlakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagai kejahatan ringan atau pelanggaran biasa, sehingga hakim tidak perlu buru-buru untuk memerintahkan para terdakwa ini masuk penjara. 3. Pengadilan ini tidak mampu memberikan efek penjera (deterrent effect) bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. 4. Telah terjadi penghinaan yang luar biasa terhadap rasa kemanusiaan sebenarnya, karena pengadilan telah meng-korup keadilan para korban dan pengadilan ini telah salah memahami konsep kejahatan terhadap kemanusiaan 15. IV. Penutup Tidak ditahannya para terdakwa dalam seluruh proses pengadilan HAM ad hoc Timor Timur tidak lepas dari keengganan para penengak hukum untuk melakukan proses peradilan yang sesuai atau berdasarkan praktek-praktek internasional. Disisi lain tidak ditahannya para terdakwa juga telah mengkhianati prinsip equality before the law. Dengan demikian pengadilan yang fair dan kompeten sebagaimana yang diharapkan jauh dari harapan jika kita menyimak secara menyeluruh dari proses pengadilan ini. Sementara itu para Majelis hakim secara terang-terangan telah mempermainkan akal sehat, karena keputusannya yang menyatakan para terdakwa bersalah secara sah dan mayakinkan dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusian namun tidak memberikan perintah penahanan. Sandiwara para majelis hakim itu telah merampas perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tujuan pokok dari pemidanaan. Disamping itu juga telah mengkorupsi makna dari keadilan. Beberapa poin yang terurai di atas mempertontonkan secara sesunguhnya bahwa mesin kekuasaan otoriter masa lalu masih bekerja secara efektif dalam praktek hukum di Indonesia. Akibatnya tidak ada koreksi terhadap praktek kekuasaan otoriter itu baik dalam artian koreksi terhadap prilaku aparat mau pun koreksi terhadap pradigma politik dan hukum itu sendiri. Ketiadaan koreksi itu bisa dilihat dari pertama tetap bercokolnya 15 Hasil Diskusi Panel Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-tim, 28 January 2003, Elsam,, hal

11 para terdakwa dalam posisinya atau mendapat promosi dalam karirnya. Arti kata sampai saat ini para terdakwa tidak pernah diangap sebagai pihak yang bersalah oleh korpsnya atau oleh pemerintah yang memungkinkan promosi itu terjadi. Sedangkan ketiadaan koreksi terhadap paradigma terlihat dari penjelasan hakim mengenai tidak ditahannya para terdakwa yaitu tenaga dan pikiran mereka masih dibutuhkan oleh kesatuannya. 16 Akibatnya hukum tetap masih mengabdi kepada para pihak yang berkuasa dan memiliki senjata. Dengan tidak adanya perintah penahanan dari para Mejelis Hakim terhadap para terdakwa yang divonis bersalah maka pengadilan ini telah menghilangkan kesempatan bagi TNI untuk memperbaiki diri dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Semestinya keputusan pengadilan HAM ad hoc Timtim ini tidak membiarkan TNI menjadi tawanan dari kesalahan masa lalu yang terjadi di Timtim melainkan memberikan kesempatan kepada TNI untuk memperbaiki diri dan mengkoreksi segala kesalahan dengan keputusan yang bermutu. Namun apa lacur para Majelis Hakim telah mengetukan palunya dan para terdakwa kemudian dengan senyum dan lenggang kangkung tetap mengengam jabatan dan kekuasaanya dalam korps masing-masing. Akhir kata para Mejelis Hakim yang tidak memerintahkan penahan terhadap para terdakwa dan mereka yang telah divonis bersalah telah membiarkan sebuah kejahatan serius dan pelakunya berkeliaran aktif ditengah masyarakat sebagai kejadian biasa. Akibatnya kita sebagai bangsa tidak bisa belajar apapun untuk memperbaikinya dimasa datang dan para pelakunya akan tetap menepuk dada bahwa perbuatannya adalah benar.** 16 argumentasi hakim seperti ini sangat menyesatkan. Seorang terdakwa dan kemudian divonis bersalah oleh pengadilan dengan tuduhan kejahtan terhadap kemanusian semestinya diberhentikan secara tidak hormat dan dilarang untuk mengambil posisi dan kebijakan penting karena dia telah melakukan kejahtan serius. Jika dibiarkan maka kesatuannya akan melindungi dan kemudian akan merekayasa berbagai hal untuk melindungi kesatuan. 11

12 LAMPIRAN : Daftar Nama Terdakwa Yang Sudah Divonis Hakim 17 Nama Terdakwa Tuntutan JPU PUTUSAN Ketua Majelis ABELIO SOARES 10 tahun 6 bulan 3 Tahun penjara Marni Emmy penjara Mustafa TIMBUL SILAEN 10 tahun 6 Bulan dibebaskan Andi Samsan penjara nganro Herman Sedyono: 10 Tahun 3 bulan Liliek Kushadianto: 10 tahun 6 Bulan dibebaskan Cicut Sutiarso HERMAN SEDYONO dkk Gatot Subiyaktoro: 10 tahun 3 bulan Achmad Syamsudin: 10 Tahun. Sigito : 10 Tahun ENDAR PRIYANTO 10 tahun penjara dibebaskan Amril, SH Asep Kuswani : 10 tahun penjara ASEP KUSWANI Adios salova : 10 dibebaskan Cicut Sutiarso dkk tahun penjara. Leonito Martins : 10 tahun penjara. 17 Pasal 42 (1) Komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggung jawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yuridiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu : (a) Komando militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ; dan (b) Komando militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (2). Seseorang atasan, baik polisi maupun sipil, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : (a) Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau, baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ; (b) Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (3). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal

13 EURICO 10 tahun penjara 10 Tahunpenjara Herman keller GUTTERES Hutapea SOEDJARWO 10 Tahun penjara 5 tahun penjara Andi Samsan biaya perkara Rp Nganro 7000,00 (tujuh ribu rupiah) YAYAT SUDRAJAT 10 Tahun penjara dibebaskan Cicut Sutiarso HULMAN 10 tahun penjara 3 Tahun penjara Andriani Nurdin GULTOM M. Noer Muis 10 tahun penjara 5 tahun penjara Andriani Nurdin 13

14 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Tim Monitoring Pengadilan Ad Hoc untuk Kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur Koordinator Analis Koord. Asisten Lapangan Asisten Lapangan Sekretariat dan Humas : Agung Yudhawiranata : Abdul Haris Semendawai Amiruddin Ifdhal Kasim Indriaswati Dyah Saptaningrum : Supriyadi Widodo Eddyono : Fajrimei A. Ghofar Rusmana Wahyu Wagiman Zainal Abidin Nyak Anwar Beny Yusnandar : Hasanuddin Aviva Nababan 14

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002. PROGRESS REPORT IX Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur Jakarta, 20 Desember 2002. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB Lembaga Studi dan Advokasi

Lebih terperinci

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Supriyadi Widodo Eddyono 2 Pengantar Perlindungan saksi yang di praktekkan selama ini dalam kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia sebenarnya

Lebih terperinci

Perlindungan Saksi dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur

Perlindungan Saksi dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur Catatan Atas Pengalaman Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur Supriyadi Widodo Eddyono Wahyu Wagiman Zainal Abidin Jakarta 2005 kami dari NTT naik Kapal yang biayanya ini sekali,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur I. Pengantar Pada bulan April 2002, masing-masing Majelis

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

Progress Report VII. Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-Tim

Progress Report VII. Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-Tim Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-Tim I. Masalah Administrasi yang berkaitan dengan sumberdaya Yudisial (Hakim) Standar-standar Internasional yang berkenaan dengan suatu pengadilan independen menuntut pihak berwenang

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli

restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H.,

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

MAKALAH. PENGADILAN HAM DI INDONESIA (Catatan Kritis Terhadap Pengadilan HAM Ad Hok Timor Timur dan Tanjung Priok)

MAKALAH. PENGADILAN HAM DI INDONESIA (Catatan Kritis Terhadap Pengadilan HAM Ad Hok Timor Timur dan Tanjung Priok) JAMUAN ILMIAH RULE OF LAW/RECHTSSTAAT: PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA Hotel Grand Mercure Jakarta Harmony, 29 November -1 Desember 2016 MAKALAH PENGADILAN HAM DI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 7 November 2009 I. Pendahuluan Menjelang

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA 3.1 Hak-Hak Tersangka Tidak Mampu Dalam Perundang-Undangan Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang Uitlevering van Vreemdelingen. 1:1010 UNDANG-UNDANG (UU) Nomor : 1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal : 18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Sumber : LN 1979/2; TLN NO. 3130 Tentang : EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1 PROGRESS REPORT #1 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TIM-TIM ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662, 791

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci