BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI SALURAN NAFAS Keberhasilan dari tindakan laringoskopi dan intubasi yang dilakukan oleh ahli anastesi, membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dari saluran nafas. Adapun istilah saluran nafas yang terdapat pada bahasan ini mengacu kepada saluran nafas atas. Saluran nafas atas tersebut terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakhea, dan bronkus utama. 1,31 Terdapat dua jalan yang menghubungkan saluran nafas dengan dunia luar, yaitu: hidung yang akan menuju pada nasofaring, dan mulut yang akan menuju pada orofaring. Kedua saluran tersebut, pada bagian anterior dipisahkan oleh palatum, dan kedua saluran tersebut akan bersatu dibagian posterior, yaitu didalam faring 1. Faring merupakan saluran yang dipergunakan bersama oleh saluran nafas dan saluran pencernaan. Faring terbentang dari mulai nares internal hingga mencapai jalan masuk menuju ke laring dan esofagus (gambar 2.1). Faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)(gambar 2.2) 1,32. Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring 32, dan dipisahkan dari orofaring oleh garis datar hayal yang membentang dari palatum lunak (palatum molle) ke arah posterior 1,32. Orofaring membentang antara palatum lunak dan dasar lidah (setentang tulang lidah). Laringofaring merupakan bagian paling bawah dari faring, terletak antara tulang lidah hingga jalan masuk menuju ke laring dan esofagus. 32 Udara dari faring masuk ke laring melalui saluran yang sempit yang disebut glotis 32. Epiglotis berfungsi mencegah aspirasi dengan cara menutup glotis saat menelan makanan. Laring adalah suatu rangka yang dibentuk oleh beberapa tulang rawan yang dipadukan oleh ligamen dan otot 1. Rangka laring disusun dari sembilan tulang rawan (gambar 2.3). Tiga tulang rawan besar yang tidak berpasangan, yaitu: tiroid, krikoid, dan epiglotis. Kemudian terdapat tiga pasang tulang rawan yang lebih kecil, yaitu: aritenoid, kornikulata dan kuneiformis 1,31,32. Tulang rawan tiroid merupakan tulang rawan yang berbentuk perisai/tameng 8

2 merupakan tulang rawan yang paling besar, yang membentuk hampir keseluruhan dinding anterior dan dinding lateral laring 32. Tulang rawan tiroid ini berfungsi melindungi conus elasticus yang membentuk vocal cords 1. Gambar 2.1 : Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital) 32 Gambar 2.2 : Pembagian Faring 1 9

3 Gambar 2.3 : Struktur tulang rawan laring 32 Persarafan sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Divisi oftalmik dan divisi maksila dari saraf trigeminus (saraf kranial V) memberikan persarafan pada mukosa hidung melalui saraf etmoidalis anterior, saraf nasopalatina, dan saraf sfenopalatina. Saraf palatina yang merupakan percabangan dari saraf sfenopalatina, memberikan persarafan sensoris kepada palatum keras (palatum durum) dan palatum lunak (palatum molle). Divisi mandibula dari saraf trigeminus membentuk saraf lingual yang memberikan persarafan sensoris pada dua pertiga bagian anterior lidah. Sedangkan sepertiga bagian posterior lidah dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (saraf kranial IX). Orofaring, tonsil dan bagian dalam dari palatum molle juga dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (gambar 2.4) 1,21. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus (saraf kranial X), terbagi menjadi cabang eksternal (motorik) dan cabang internal (sensorik). Cabang internal dari saraf laringeal superior memberikan persarafan sensoris pada daerah laring (antara epiglotis dan vocal cords). Saraf laringeal rekuren, yang merupakan cabang lain dari saraf vagus memberikan persarafan 10

4 pada laring yang berada dibawah vocal cords dan trakhea. Tabel 2.1 akan menggambarkan lebih lanjut persarafan motorik dan sensorik dari laring. 1,21 Gambar 2.4 : Persarafan sensorik saluran nafas 1 Laring pada orang dewasa terletak mulai vertebra C3 dan berakhir pada vertebra C6 21. Laring berfungsi dalam modulasi suara dan memisahkan trakhea dari kerongkongan saat menelan 21, sehingga mencegah terjadinya aspirasi ke dalam trakhea 1. Namun mekanisme perlindungan ini, ketika berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya spasme laring 21. Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus laringeal rekuren, kecuali otot krikotiroid yang dipersarafi nervus laringeal internal (motorik) yang merupakan cabang dari nervus laringeal superior 1. Vocal cords merupakan celah yang paling sempit pada saluran nafas dewasa, yang dibentuk oleh ligamen tiroaritenoid. Dimensi anterior-posterior vocal cords mendekati 23 mm pada laki-laki, dan mencapai 17 mm pada wanita

5 Tabel 2.1 : Persarafan motorik dan sensorik laring 21 Nervus Sensorik Motorik Laringeal superior Epiglotis Tidak ada (divisi internal) Dasar lidah Mukosa Supraglotis Thyroepiglottic joint Cricothyroid joint Laringeal superior Mukosa anterior subglotis krikotiroid (divisi internal) (Adductor Tensor) Laringeal rekuren Mukosa subglotis Tiroaritenoid Muscle spindles Krikoaritenoid lateralis Interaritenoid (adductors) Krikoaritenoid posterior (adductor) Trakhea dimulai dari vertebra C6 dan berakhir pada carina yang berada di mediastinum setingkat vertebra T5. Panjang trakhea sekitar 11 cm dengan diameter 2.5 cm. Trakhea memiliki tulang rawan. Tulang rawan yang paling atas merupakan satu-satunya tulang rawan yang berbetuk cincin, sedangkan sisanya berbentuk ladam kuda (bentuk C). Tulang rawan tersebut berfungsi untuk melindungi saluran nafas, dan menjaga kekakuan dari trakhea sehingga tidak mengempis ataupun terlalu mengembang akibat adanya perubahan tekanan pada saluran nafas. 1,21,32 Trakhea bercabang di carina, membentuk bronkus utama kanan dan bronkus utama kiri. Seperti halnya trakhea, bronkus utama juga memiliki tulang rawan yang berbentuk C. Bronkus utama kanan memberi pasokan udara ke paru kanan, sedangkan bronkus utama kiri memberikan pasokan udara ke paru kiri. Diameter bronkus utama kanan lebih besar dari bronkus utama kiri, dengan sudut yang lebih curam menuju bronkus utama kanan. Karena alasan tersebut kebanyakan benda asing yang masuk ke dalam trakhea akan lebih mudah masuk ke bronkus utama kanan

6 2.2. PENILAIAN SALURAN NAFAS Penilaian saluran nafas merupakan langkah awal agar sukses dalam melakukan manajemen saluran nafas. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk menilai kesulitan saat melakukan tindakan intubasi endotrakhea. Untuk menghindari mortalitas dan morbiditas, seorang ahli anastesi haruslah dapat melakukan ventilasi (dengan atau tanpa intubasi) 1. Penilaian tersebut antara lain: 1 Pembukaan mulut : Pada dewasa diharapkan jarak antara gigi seri atas dan bawah 3 cm atau lebih Tes menggigit bibir atas : gigi bagian bawah diletakkan didepan gigi atas, hal ini untuk menilai pergerakan dari sendi temporomandibula Klasifikasi Mallampati : merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran lidah didalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap struktur faring, maka kemungkinan kesulitan intubasi akan semakin besar (gambar 2.5). Jarak Thyromental : jarak antara mental dan superior thyroid notch diharapkan lebih dari 3 jari Lingkar leher : lingkar leher lebih dari 27 inchi diduga akan kesulitan dalam visualisasi glotis. Klasifikasi Mallampati: 1 Kelas I : palatum molle (soft palate), tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat Kelas II : palatum molle, tenggorokan dan uvula dapat terlihat Kelas III : palatum molle dan dasar dari uvula dapat terlihat Kelas IV : palatum molle tidak dapat terlihat 13

7 Gambar 2.5 : A : Klasifikasi Mallampati B: Penilaian visualisasi laring INTUBASI ENDOTRAKHEA Intubasi endotrakhea dibutuhkan untuk menjamin patensi dari saluran nafas pada pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi, ataupun pada pasien yang sulit menjaga saluran nafasnya dengan menggunakan sungkup, ataupun juga bagi pasien yang memerlukan kontrol ventilasi dalam waktu yang lama. Intubasi juga diperlukan pada tindakan pembedahan khusus seperti pada pembedahan kepala/leher, pembedahan intratoraks, dan pada pembedahan intra abdomen Laringoskop Intubasi endotrakhea biasanya dilakukan dengan menggunakan laringoskop rigid (gambar 2.6). Penggunaan laringoskop rigid disukai karena kemudahannya, tingkat kesuksesan yang tinggi, dan dapat memberikan visualisasi yang baik 34. Selain itu laringoskop dapat juga dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan pada laring 1,33. Gagang (handle) dari laringoskop rigid biasanya berisi baterai 14

8 untuk menghidupkan bola lampu (bulb) yang terdapat pada ujung bilah (blade), ataupun pada ujung dari gagang tersebut 1,34. Bilah yang sering digunakan pada laringskop adalah bilah Macintosh dan bilah Miller (gambar 2.7) 1,33. Gambar 2.6 : Laringoskop rigid 1 Gambar 2.7 : Beberapa jenis bilah laringoskop 1 Bilah Macintosh adalah bilah yang lengkung yang ujungnya diletakkan pada vallecula (ruang antara dasar lidah dan epiglotis)(gambar 2.8). Bilah Macintosh memberikan visualisasi yang cukup baik terhadap orofaring dan hipofaring, dan 15

9 juga dapat memberikan ruang yang cukup untuk masuknya pipa endotrakhea dengan kemungkinan yang kecil terjadinya trauma pada epiglotis. Ukuran bilah ini dibuat dari mulai bilah no.1 sampai no.4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no ,33 Bilah Miller adalah bilah yang lurus yang ujungnya diletakkan dibawah epiglotis (gambar 2.8). Dengan bilah ini, epiglotis dapat diangkat untuk bisa melihat vocal cords. Bilah Miller memberikan paparan yang baik terhadap glotis, namun memberikan ruang yang lebih kecil untuk bisa melewati orofaring dan hipofaring. Ukuran bilah ini dibuat dari bilah no. 1 sampai no. 4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 2 ataupun no ,33 Gambar 2.8 : Pasien dalam posisi sniffing. A. Bilah lurus diletakkan dibawah epiglotis, B. Bilah lengkung diletakkan pada vallecula 34 16

10 Selain itu, masih banyak bentuk modifikasi tertentu dari laringoskop (misalnya Bullard, Upsher, Wu) dan juga bilah laringoskop (misalnya McCoy, Siker) yang bisa digunakan untuk melakukan intubasi endotrakhea pada kondisi yang sulit ataupun pada kondisi yang lain dari biasanya 33. Karena tidak ada bilah yang cocok untuk segala situasi, maka setiap ahli anastesi haruslah terbiasa dengan berbagai macam bentuk bilah Pipa Endotrakhea Pipa endotrakhea (Endotracheal Tube/ETT) biasanya terbuat dari polyvinyl chloride (PVC). Panjang dari ETT diberi tanda dalam satuan centimeters. Sedangkan ukuran diameter dalam (ID) dari ETT dalam satuan millimeters atau bisa juga dengan skala French (diameter luar ETT dalam satuan millimeters dikali tiga). 1 Tahanan terhadap aliran udara, utamanya bergantung pada diameter dari ETT, namun dapat juga dipengaruhi oleh panjang dari ETT dan kelengkungannya. Pilihan diameter yang dipakai adalah dengan memperhitungkan antara penggunaan ukuran ETT yang besar agar aliran udara lebih maksimal, atau menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil agar mengurangi resiko trauma pada saluran nafas. Pada kebanyakan kasus, ETT yang digunakan pada wanita adalah ETT dengan diameter internal 7.0 mm atau 7.5 mm, dan pada pria digunakan ETT dengan diameter internal 8.0 mm. Panduan dalam pemakaian ukuran ETT akan dijabarkan pada tabel ,34 Tabel 2.2 : Panduan ukuran ETT 1 Usia Diameter Internal (mm) Panjang (cm) Bayi cukup bulan Anak-anak 4+(usia/4) 14+(usia/2) Dewasa Wanita Laki-laki

11 ETT pada dewasa biasanya memiliki valve pada sistem inflasi cuff, balon pilot, selang inflasi dan cuff (gambar 2.9). Valve berfungsi untuk mencegah keluarnya udara inflasi pada cuff. Balon pilot berguna untuk memperkirakan tekanan yang ada pada cuff. Selang inflasi menghubungkan valve dengan cuff. Dengan dikembangkannya cuff, maka terjadilah tracheal seal. Dan dengan adanya tracheal seal tersebut, akan mencegah terjadinya aspirasi dan akan memudahkan untuk memberikan ventilasi tekanan positif. 1 Gambar 2.9 : Pipa endotrakhea (Endotracheal tube/ett) 1 Terdapat dua macam cuff pada ETT: high pressure (low volume), dan low pressure (high volume). ETT cuff yang high pressure sering menyebabkan iskemik pada mukosa trakhea dan kurang sesuai bila digunakan untuk intubasi jangka lama. ETT cuff yang low pressure sering menyebabkan aspirasi, ekstubasi spontan, dan sore throat oleh karena daerah mukosa yang kontak dengan cuff lebih luas. Namun, karena insidensi yang rendah terjadinya iskemik pada mukosa trakhea maka ETT cuff yang low pressure lebih sering digunakan Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Untuk melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi dibutuhkan beberapa persiapan. Persiapan tersebut berupa pemeriksaan dari peralatan yang akan dipakai, posisi pasien yang baik, dan pemeriksaan dari ETT yang akan dipakai. 18

12 ETT haruslah diperiksa untuk mengetahui apakah ada kebocoran pada cuff ataupun pada valve. Konektor pada ETT harus terpasang dengan baik dan kuat, sehingga tidak terlepas pada saat dipakai nanti. Jika menggunakan stylet, maka setelah stylet dimasukkan kedalam ETT, kemudian dibentuk menyerupai tongkat hoki (gambar 2.10). Tujuan dari membentuk ETT menyerupai tongkat hoki adalah untuk melakukan intubasi pada pasien dengan posisi laring yang anterior. Bilah laringoskop yang dipakai haruslah sudah terpasang, dan bola lampu laringoskop harus menyala dengan baik. ETT dengan ukuran yang lebih kecil harus disediakan sebagai cadangan. Alat penghisap (suction) juga harus dipersiapkan untuk membersihkan jalan nafas dari cairan ataupun darah. 1 Gambar 2.10 : ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki 1 Kesuksesan tindakan intubasi juga bergantung pada posisi pasien yang baik. Kepala pasien haruslah sejajar atau lebih tinggi dari pinggang ahli anastesi, agar mencegah terjadinya nyeri pinggang pada ahli anastesi. Kepala pasien menggunakan bantal (alas yang lunak) yang tingginya sekitar 10 cm, kemudian pasien diatur dalam posisi sniffing (gambar 2.11). Sebelum tindakan induksi dan intubasi, terlebih dahulu dilakukan preoksigenasi dengan oksigen 100%. Perlindungan terhadap mata pasien juga harus dilakukan dengan memakaikan salep mata dan menutup mata dengan plester. 1 19

13 Intubasi orotrakhea dilakukan dengan cara laringoskop dipegang ditangan kiri, mulut pasien dibuka dengan cara mendorong gigi premolar pada mandibula pasien dengan ibu jari kanan. Bilah laringoskop dimasukkan ke dalam sisi kanan mulut pasien, dengan berhati-hati agar tidak terkena gigi pasien 34. Lidah pasien disisihkan ke sisi kiri dengan menggunakan sayap (flange) pada bilah, sehingga dapat memberikan lapangan pandang yang baik untuk memasukkan dan menempatkan ETT. Saat mencapai dasar lidah, dan terlihat epiglotis, maka ujung dari bilah lengkung diletakkan pada vallecula dan ujung dari bilah lurus menekan epiglotis ke dasar lidah sehingga epiglotis akan tertutupi oleh bilah lurus 1,31. Kemudian tangan kiri mengangkat gagang laringoskop dengan arah menjauhi pasien untuk menampakkan vocal cords 1 (gambar 2.11). ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil dan kemudian dimasukkkan ke dalam vocal cords 33. Cuff ETT diletakkan kira-kira 2 cm setelah melewati vocal cords 31. Kemudian laringoskop ditarik dan dikeluarkan dari mulut secara perlahan-lahan agar tidak merusak gigi. Cuff dikembangkan secukupnya sehingga tidak terjadi kebocoran udara saat dilakukan ventilasi positif. 1 Gambar 2.11 : Posisi sniffing dan laringoskopi dengan bilah lengkung 1 20

14 Setelah tindakan intubasi, untuk memastikan intubasi trakhea berhasil, maka dilakukan inspeksi dan auskultasi pada thoraks dan epigastrium 1, serta dilakukan pemasangan capnograph 1,33. Adanya CO2 pada capnograph merupakan konfirmasi berhasilnya intubasi trakhea 1,33. Jika suara pernafasan hanya terdengar pada satu sisi thoraks saja, maka kemungkinan ETT telah masuk ke bronkus dan harus ditarik sampai udara terdengar di kedua sisi thoraks 33. Kemudian ETT difiksasi untuk menjaga agar tidak bergeser 1. Intubasi nasotrakhea mirip dengan tindakan intubasi oral, hanya saja sebelum dilakukan laringoskopi, ETT terlebih dahulu dimasukkan melalui hidung menuju nasofaring dan kemudian mencapai orofaring. Lubang hidung yang dipilih adalah yang paling leluasa dipakai bernafas oleh pasien. Sebelum ETT dimasukkan ke dalam hidung, terlebih dahulu hidung ditetesi dengan Phenylephrine (0.25% atau 0.5%) sebagai vasokonstriktor dan juga menciutkan membran mukosa. ETT diolesi dengan jeli terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam hidung. ETT dimasukkan perlahan-lahan hingga terlihat di orofaring. Kemudian dilakukan laringoskopi untuk melihat vocal cords, dan ETT diarahkan masuk ke dalam vocal cords. Jika terjadi kesulitan mengarahkan ETT untuk masuk ke dalam vocal cords, maka bisa digunakan Magill forceps sebagai alat bantu untuk mengarahkan ETT tersebut. Hati-hati saat menggunakan Magill forceps agar tidak merusak cuff ETT Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi Komplikasi dari tindakan laringoskopi dan intubasi berupa hipoksia, hiperkarbi, trauma pada gigi dan saluran nafas, munculnya respon fisiologis akibat dari instrumentasi pada saluran nafas, ataupun malfungsi dari ETT. Komplikasikomplikasi tersebut dapat terjadi saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi, saat ETT sudah terpasang, ataupun setelah tindakan ekstubasi (komplikasi segera ataupun lambat)(tabel 2.3). 1,21 21

15 Tabel 2.3 : Komplikasi dari tindakan intubasi 21 Komplikasi intubasi trakea Saat dilakukan laringoskopi dan intubasi Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut Hipertensi sistemik dan takikardi Disritmia jantung Iskemik miokard Aspirasi cairan lambung Saat ETT terpasang Obtruksi ETT Intubasi bronkus Intubasi esophagus ETT bocor Barotrauma paru Distensi gaster Terlepas dari mesin anastesi Iskemik mukosa trakhea Ekstubasi tanpa sengaja Komplikasi segera dan komplikasi lambat setelah ekstubasi Spasme Laring Aspirasi cairan lambung Faringitis (sore throath) Laringitis Edema laring atau edema subglotis Ulkus pada laring Stenosis trakhea Kelumpuhan vocal cord Dislokasi tulang rawan arytenoid Respon fisiologis akibat instrumentasi saluran nafas Telah diketahui bahwa laringoskopi dan intubasi endotrakhea akan menyebabkan munculnya respon simpatis yang akan melepaskan katekolamin, dan akhirnya akan menimbulkan perubahan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi 2,3,35. Peningkatan hemodinamik tersebut dapat dikurangi dengan pemberian intravena lidokain, opioid, β-blocker, ataupun dengan mendalamkan anastesi inhalasi sebelum melakukan tindakan laringoskopi. Obat-obat hipotensif seperti sodium nitroprusside, nitrogliserin, esmolol dan nikardipin juga efektif untuk mengurangi respon hipertensi akibat laringoskopi dan intubasi. 1 22

16 Spasme laring merupakan spasme involunter otot-otot laring akibat perangsangan sensoris dari nervus laringeal superior. Laringospasme dapat muncul oleh karena adanya cairan pada faring, ataupun karena ETT melewati laring saat ekstubasi. Spasme laring biasanya bisa dicegah dengan cara melakukan ekstubasi dalam, ataupun ekstubasi sadar penuh. Penanganan pada spasme laring adalah dengan memberikan ventilasi tekanan posistif dengan menggunakan oksigen 100%, atau dengan memberikan lidokain (1-1.5mg/kgBB). Jika spasme laring masih menetap dan terjadi hipoksia, diberikan suksinilkolin dosis kecil ( mg/kgbb) dan dapat ditambahkan propofol dosis kecil untuk relaksasi dari otot-otot laring sehingga dapat melakukan kontrol ventilasi. 1 Spasme bronkus juga merupakan reflek akibat intubasi yang sering terjadi pada pasien penderita asma. Terjadinya spasme bronkus juga dapat menjadi petunjuk terjadinya intubasi bronkus Upaya mengurangi peningkatan hemodinamik Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea merupakan stimulasi noksius yang sangat kuat, yang akan menyebabkan symphatetic discharge dan akan menyebabkan hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor). 36 Laringoskopi dan intubasi trakhea menstimulasi reseptor aferen nosisepsi viseral dan somatik dari epiglotis, hipofaring, daerah peri trakhea dan vocal cords, sehingga terjadi augmentasi aktivitas simpatis cervical dan mengakibatkan peningkatan amine simpatis (adrenalin dan noreadrenalin). 3,7 Respon pressor merupakan bagian dari respon stress, berasal dari peningkatan aktifitas simpatis dan simpatoadrenal yang akan meningkatkan konsentrasi katekolamin plasma. 24 Respon pressor akibat laringoskopi dan intubasi merupakan refleks simpatis yang diprovokasi oleh stimulasi pada orolaringofaring. 15 Faring bagian bawah (hipofaring), epiglotis dan laring mengandung sejumlah reseptor sensorik yang bertanggung jawab terhadap rangsangan kimia, panas dan mekanik. Reseptor mekanik banyak terdapat pada dinding faring bagian bawah, epiglotis dan vocal cords. Perangsangan reseptor mekanik ini akan memicu munculnya refleks seperti batuk, cegukan, dan juga 23

17 refleks perangsangan simpatis. 4 Munculnya respon simpatoadrenal terhadap intubasi endotrakhea adalah adanya rangsangan area supraglotik akibat iritasi pada jaringan yang terkena laringoskop. Rangsangan di area infraglotik berupa sentuhan pipa endotrakhea melintasi pita suara dan pengembangan balon memberikan kontribusi lebih rendah. 2 Peningkatan rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-50% 5, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila tidak ada usaha tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik. 6 Respon ini biasanya bersifat sementara, dan terjadi pada 30 detik setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, dan bertahan lebih kurang selama 10 menit 8. Respon ini tidaklah berbahaya bagi pasien yang sehat 7,8,21. Tetapi hal tersebut bisa berbahaya bila terjadi pada pasien-pasien dengan faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskuler, miokard infark dan tirotoksikosis 2,8,21. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah tindakan intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular 9. Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari RPP yang meningkat hingga diatas selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina. 2 Pada pasienpasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard. 16 Peningkatan tekanan darah tanpa peningkatan denyut jantung masih lebih baik untuk oksigenasi miokard bila dibandingkan peningkatan tekanan darah yang terjadi bersamaan dengan peningkatan denyut jantung. 2,15 Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi sebanyak 19%, takikardi 29%, disritmia 6.5% dan henti jantung % sebagai 24

18 komplikasi akibat tindakan intubasi 9. Miokard infark merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas paska operasi pada pasien-pasien normotensi. Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang disebabkan oleh hipertensi dan takikardi akibat tindakan laringoskopi dan intubasi 10,11 (tabel 2.4). Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10% saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi 12. Tabel 2.4 : Morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi 9 Potensi morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi Miokard strain, iskemi, infark Gagal ventrikel kiri akut, gagal ventrikel kanan akut Gagal jantung kongestif Disritmia, iskemi Kolaps kardiovaskular paska hipertensi Peningkatan aliran/tekanan darah serebral Perdarahan cerebral Diseksi aorta Ruptur aneurisma pada toraks, abdomen, serebral, mata Akselerasi perdarahan Perubahan pada dinamika aliran katup Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga 25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi trakhea 13. Oleh kerena itu pencegahan terhadap perubahan hemodinamik akibat dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan 2,7. Tindakan laringoskopi yang berlama-lama haruslah dihindari pada pasien-pasien tersebut. Tindakan intubasi haruslah dilakukan dengan anastesi yang dalam. 13 Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan intubasi dengan waktu sesingkat mungkin 13,, dengan menggunakan bilah laringoskop jenis tertentu (McCoy lebih baik dari Macintosh) 37,38, ataupun dengan obat-obatan tertentu. Adapun dengan pemberian obat-obatan antara lain dengan pemberian hipnotik 17, mendalamkan anastesi inhalasi 1,5,13,17, opioid 2,3,7,13, β-adrenergic blocker 2,3,7,8, 25

19 anastesi lokal intra vena 2,3,8,17, calcium channel blocker 2,3,7, vasodilator (hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside) 5,7,17,18, dan magnesium sulfat 7,29,35. Opioid (misalnya fentanyl) merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mengurangi respon peningkatan tekanan darah dan denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi untuk analgesia preemptif Fentanyl Struktur kimia Fentanyl merupakan turunan dari agonis opioid fenilpiperidin sintetik yang strukturnya mirip mepiridin (gambar 2.12). Sebagai analgetik fentanil x lebih poten daripada morfin. 39 Gambar 2.12 : Struktur kimia fentanyl Farmakokinetik Opioid sintetik ini bersifat larut dalam lemak, mulai kerjanya cepat, durasi kerjanya singkat, dan efek puncak obat terjadi dalam waktu 3 5 menit 40. Setelah pemberian secara intra vena, fentanyl akan cepat berdistribusi ke otak, paru-paru, jantung dan organ lain yang memiliki perfusi jaringan yang besar 39,40. Dalam waktu singkat, fentanyl akan berdistribusi ke seluruh tubuh, sehingga kadarnya di dalam plasma akan sangat menurun 40. Lebih dari 80% dari dosis yang diinjeksikan akan meninggalkan plasma dalam waktu kurang dari 5 menit

20 Terminasi efek dari fentanyl terjadi bila fentanyl mengalami redistribusi dari susunan saraf pusat 40. Konsentrasi plasma menurun lebih lambat pada saat fase eliminasi. Biotransformasi fentanyl menjadi metabolit yang tidak aktif terjadi didalam hati, yang biasanya dalam bentuk norfentanyl dan beberapa produk hidroksilasi. Hanya sekitar 6-8% yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin. Nilai clearance fentanyl pada hati sangat tinggi, sehingga lebih dari 60% fentanyl dibersihkan pada first pass. Oleh karena volume distribusinya yang besar, maka kebanyakan obat ini akan berada pada ekstra vaskuler dan tidak mengalami biotransformasi. Waktu paruh fentanyl mendekati 8 jam lamanya 40. Waktu paruh yang lama tersebut mencerminkan dari volume distribusinya yang besar. Volume distribusi yang besar tersebut oleh karena sifatnya yang sangat mudah larut dalam lemak, sehingga lebih cepat masuk ke dalam jaringan. 39 Pada pasien lansia, pemanjangan dari waktu paruh fentanyl dikarenakan oleh menurunnya clearance di hati. Hal ini mencerminkan menurunnya aliran darah hati, menurunnya aktifitas enzim mikrosom, ataupun menurunnya produksi albumin (79-87% fentanyl berikatan dengan protein). Oleh karena itu pemberian fentanyl yang diberikan akan efektif dalam waktu yang lebih lama pada pasien lansia dibandingkan pada pasien yang lebih muda Metabolisme Fentanil kebanyakan di metabolisme oleh N-demethylation yang menghasilkan norfentanyl, hidroxyproprionyl-fentanyl dan hidroxyproprionyl-norfentanyl. Norfentanil secara struktur sama dengan normeperidine dan merupakan metabolit utama fentanyl pada manusia. Fentanyl diekskresikan oleh ginjal dan dijumpai pada urin dalam waktu 72 jam setelah pemberian dosis tunggal fentanyl intravena. Sekitar 10% fentanyl yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin

21 Efek samping Fentanyl dapat menyebabkan depresi pernafasan yang dapat menjadi masalah paska operasi. Efek depresi pernafasan akibat pemberian fentanyl lebih bertahan lama daripada efek analgesiknya 41. Kombinasi fentanyl dan benzodiazepin bersifat sinergis dalam hal hipnosis dan depresi pernafasan 39. Bahkan dengan dosis kecil fentanyl (50 µg) yang dikombinasikan dengan sedatif dapat menimbulkan depresi pernafasan 41. Bradikardi dapat terjadi pada pemberian fentanyl, dan terkadang akibat dari bradikardi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan curah jantung 39. Rigiditas otot sering terjadi pada pemberian fentanyl. Awalnya rigiditas otot ini disangkakan hanya terbatas pada otot-otot abdomen dan otot-otot toraks. Namun belakangan diketahui bahwa otot-otot pada leher dan otot-otot pada ekstremitas bisa juga ikut terlibat. Dengan pemberian fentanyl dosis 1-2 µg/kgbb, rigiditas otot dapat terjadi. Kejadian rigiditas ini biasanya muncul pada saat dilakukan induksi anastesi. Rigiditas ini sepertinya lebih sering terjadi pada pasien lansia dan juga pada saat pemberian fentanyl (opioid) bersamaan dengan nitrous oxide Penggunaan Klinis Pada penggunaan secara klinis, fentanyl digunakan dengan rentang dosis yang lebar. Contohnya fentanyl dosis kecil (low dose), 1-2 µg/kgbb intra vena, diberikan sebagai analgetik. Dosis 2-20 µg/kgbb, dapat diberikan sebagai adjuvant anastesi inhalasi untuk mengurangi respon sirkulasi pada saat laringoskopi dan intubasi trakhea ataupun pada saat stimulasi pembedahan. Pemberian fentanyl sebelum munculnya rangsang nyeri akibat pembedahan, dapat mengurangi dosis fentanyl yang dibutuhkan sebagai analgetik paska operasi. 39 Opioid dengan dosis yang besar terbukti efektif dalam mencegah respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi 24, namun penggunaannya dibatasi oleh karena efek sampingnya yang besar 42. Fentanyl dosis besar terbukti efektif dalam mencegah respon simpatis akibat laringoskopi dan intubasi, namun dengan dosis yang besar sering terjadi efek samping seperti bradikardi, hipotensi, mual, muntah, depresi nafas dan rigiditas 18,42. Berbagai obat telah dicoba sebagai 28

22 tambahan (adjunct) bagi opioid agar dosis opioid yang digunakan dapat berkurang, namun hal itu juga tidak sepenuhnya bebas dari efek samping 24. Dalam penggunannya, fentanyl sering digabungkan dengan sedatif untuk mengurangi respon hemodinamik akibat intubasi 3. Penggunaan fentanyl dosis 5 µg/kgbb efektif dalam mengurangi respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Penggunaan dengan dosis yang lebih kecil µg/kgbb dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan mengurangi setengah dari respon simpatis. 20 Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, tindakan induksi dan intubasi trakhea merupakan saat resiko terbesar terjadinya iskemi miokard. Pemberian fentanyl dosis tinggi sering digunakan pada pasien-pasien tersebut dan efektif dalam mencegah peningkatan hemodinamik dan perubahan EKG saat dilakukan intubasi. Namun pemakaian fentanyl dosis tinggi dapat menyebabkan waktu untuk pulih sadar menjadi lebih lama dan sering dibutuhkan penggunaan dukungan pernafasan paska pembedahan. Karena itu penggunaan fentanyl dosis tinggi tidaklah dianjurkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang menjalani pembedahan yang singkat, ataupun yang membutuhkan penilaian status neurologis paska pembedahan. 12 Kauto dkk mengatakan fentanil 2 µg/kgbb secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgbb secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µg/kgbb lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µg/kgbb dan 2 µg/kgbb. 23 Malde A dan Sarode V, melakukan penelitian terhadap 90 pasien ASA 1, usia tahun yang akan dilakukan pembedahan elektif dengan menggunakan anastesi umum intubasi trakhea. Mereka membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgbb yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi dan dibandingkan dengan pemberian lidokain 1.5 mg/kg yang diberikan 5 menit sebelum tindakan 29

23 intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgbb terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. 6 Hassani V dkk, melakukan penelitian terhadap 37 pasien dengan penderita hipertensi, ASA 2, umur tahun yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang diberikan fentanyl 2 µg/kg BB dengan fentanyl 2 µg/kg BB + lidokain 1.5 mg/kg BB yang diberikan 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa fentanyl atau fentanyl + lidokain efektif dalam mengurangi respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. 3 Namun terdapat juga beberapa penelitian negatif tentang penggunaan fentanyl. Helfman dkk mengatakan dengan pemberian fentanyl 200 µg tidak dapat mengurangi peningkatan hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi. 6 Haidry MA dan Khan FA dari penelitiannya mendapati bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgbb pada pasien dewasa ASA 1 dan 2, yang diberikan 3 menit sebelum intubasi, masih terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 22.9% dan peningkatan tekanan darah diastolik sebesar 27% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dengan laringoskop Macintosh. 38 Shah RB dkk, dari penelitiannya terhadap pasien usia tahun ASA 1 dan 2 yang diberikan fentanyl 2 µg/kgbb 3 menit sebelum induksi anastesi masih terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 21.1% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi. 43 Bajwa SJS dkk, melakukan penelitian pada 100 pasien asa 1 dan 2, umur tahun yang menjalani operasi elektif. Dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgbb yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi. 24 Shin HY dkk melakukan penelitian terhadap 150 pasien ASA 1 dan 2, usia tahun yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif dengan anastesi 30

24 umum intubasi trakhea. Pasien tersebut dibagi dalam 5 kelompok yang masingmasing kelompok diberikan lidokain 2 mg/kgbb 3 menit sebelum intubasi, fentanyl 2 µg/kgbb 4 menit sebelum intubasi, nicardipin 30 µg/kgbb 2 menit sebelum intubasi, esmolol 1 mg/kgbb 90 detik sebelum intubasi, dan kelompok kontrol mendapatkan normal salin sebelum intubasi. Dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgbb 3 menit sebelum intubasi terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2%, peningkatan tekanan arteri rerata 19.95% dan peningkatan RPP sebesar 47.47% (nilainya mencapai 14600) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi Lidokain Lidokain telah digunakan sebagai obat anastesi dan analgesi selama lebih dari setengah abad. Lidokain pertama kali dibuat oleh Logfren pada tahun 1943 dan telah digunakan bertahun-tahun sebagai obat anatesi lokal. Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amida. Selain sebagai obat anastesi lokal, lidokain juga dipakai oleh ahli anastesi untuk penanganan aritmia yang terjadi saat tindakan pembedahan. Sejak tahun 1963 lidokain digunakan untuk penanganan aritmia pada saat dan sesudah tindakan pembedahan jantung. Sejak saat itu lidokain telah digunakan secara luas secara intravena sebagai penanganan aritmia jantung akibat infark miokard akut. 44,45, Struktur kimia Struktur kimia lidokain terdiri dari gugus aromatik (2,6-xylidine) yang berpasangan dengan diethylglycine melalui ikatan amida. Lidokain merupakan basa lemah dengan pka Mekanisme kerja Lidokain merupakan anastesi lokal golongan amida yang bekerja menghambat voltage gated sodium channels pada membran sel neuron paska sinaptik yang akan mencegah terjadinya depolarisasi dan menghambat munculnya impuls pada saraf. Pada konsentrasi yang rendah, lidokain hanya mempengaruhi neuron 31

25 sensorik, sedangkan pada konsentrasi yang besar lidokain akan memberi efek yang lebih luas. Lidokain juga memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulasi. Bila dibandingkan dengan obat lain pada kelasnya, lidokain memiliki mula kerja yang cepat dan masa kerja yang tergolong menengah (intermediate). 46 Gambar 2.13 : Struktur kimia lidokain Farmakokinetik dan farmakodinamik Lidokain didistribusikan keseluruh tubuh setelah pemberian secara intravena, dengan volume distribusi pada dewasa l/kg. 46 Pemberian lidokain secara intravena akan mencapai kadar terapi dalam 1-2 menit. 45 Lidokain dapat menembus plasenta dan juga sawar darah otak. Pada kadar terapi, 60-80% lidokain berikatan dengan protein, utamanya berikatan dengan alpha-1-acid glycoprotein. Dosis lidokain yang menimbulkan efek analgesia belumlah diketahui secara pasti, namun dari beberapa penelitian menunjukkan kadar pada plasma yang lebih rendah untuk penanganan aritmia (1.5-5 µg/ml) dan jauh dibawah kadar toksik (6 µg/ml). 46 Lidokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb, menghasilkan kadar lidokain plasma sebesar 3 µg/ml, dan dapat menekan refleks batuk. Namun durasi Lidokain intravena adalah pendek (5-20 menit). 47 Lidokain utamanya dimetabolisme di hati, dengan proses degradasi utamanya adalah konversi menjadi monoethylglycinexylidide (MEGX) oleh oksidatif N-deethylation, dan akan dimetabolisme lebih jauh glycinexylidide (GX). Kedua senyawa tersebut merupakan senyawa yang aktif, namun potensinya tidak sama dengan lidokain. Setelah pemberian lidokain secara intravena, konsentrasi MEGX dan GX dalam plasma sekitar 10-40% dan 5-10% dari konsentrasi 32

26 lidokain yang diberikan. Baik lidokain dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal. 46 Sekitar 10% dari dosis lidokain yang diberikan akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah, bergantung pada ph urin. 45,46 Clearance dari lidokain adalah 0.95 l/menit. 44 Nilai rata-rata waktu paruh lidokain adalah jam, namun dapat memanjang pada pasien-pasien yang mendapat infus lidokain lebih dari 24 jam. 46 Penyakit hati ataupun penurunan aliran darah hati dapat menurunkan laju metabolisme dari lidokain, waktu paruh lidokain bisa mencapai lebih dari dua kali lipat dari orang dewasa yang sehat. 44,46 Disfungsi ginjal dapat menyebabkan terjadinya akumulasi dari MEGX dan GX. Lidokain tidak dapat dihilangkan melalui dialisa Toksisitas lidokain Tanda awal toksisitas lidokain adalah eksitasi susunan saraf pusat, gugup, kepala terasa ringan atau pusing, cemas, tinnitus, pandangan kabur atau pandangan ganda, rasa panas ataupun rasa dingin, ataupun mati rasa, twitching, tremor, muntah. Waktu terjadinya eksitasi susunan saraf pusat bisa singkat pada beberapa pasien, namun ada juga yang tidak mengalami fase tersebut dan langsung terjadi gejala-gejala depresi susunan saraf pusat. Pasien juga dapat mengalami takipnea, takikardi, demam, dan metabolic asidosis. Gejala-gejala dapat berlanjut pada konsentrasi yang lebih tinggi (> 5 µg/ml), berupa kejang tonik-klonik, tekanan darah dan denyut jantung yang labil, depresi nafas, dan sistem kardiovaskular menjadi kolaps. 46 Pasien-pasien yang mengalami gejala-gejala awal toksisitas haruslah dikurangi pemakaian dari infus lidokain. Bila tidak juga ada perbaikan dari gejala yang terjadi, maka infus lidokain haruslah dihentikan. Pasien dengan gejala yang berat, maka pemakaian lidokain haruslah segera dihentikan dan diberikan terapi suportif. 46 Penanganan terhadap gejala-gejala toksisitas pada susunan saraf pusat dapat diberikan sedatif. Kejang dapat diberikan penanganan dengan barbiturat ataupun diazepam. 45 Pemberian emulsi lipid intra vena merupakan cara yang efektif dalam mengurangi konsentrasi lidokain. The American Society of Regional Anesthesia 33

27 and Pain Medicine (ASRA) menganjurkan pemberian emulsi lipid pada pasienpasien yang mengalami toksisitas anastesi lokal yang diikuti dengan penanganan jalan nafas, pemberian benzodiazepin untuk penanganan kejang, dan mengendalikan aritmia jantung. Panduan dari ASRA menganjurkan bolus emulsi lipid 20% sebanyak 1.5 ml/kgbb yang diikuti pemberian secara infus 0.25 ml/kgbb/menit dengan penyesuaian yang bergantung pada respon pasien Penggunaan Klinis Lidokain telah digunakan sebagai anastesi lokal dan sebagai analgetik selama lebih dari setengah abad. Lidokain telah dipakai dengan berbagai metode pemberian seperti intravena, intramuskular dan topikal. 46 Lidokain telah lama digunakan untuk mengurangi respon kardiovaskular akibat intubasi. Lidokain bekerja dengan menghambat sodium channels pada membran sel saraf, mengurangi sensitifitas otot jantung tehadap impuls listrik, dapat mendepresi jantung dan memiliki kemampuan melakukan vasodilatasi. Lidokain juga menekan refleks saluran nafas. 27 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efek dari lidokain untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Lidokain telah dicoba dengan berbagai bentuk antara lain gel, semprotan dan inhalasi sebelum tindakan induksi anastesi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lidokain memang memberikan efek dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik. 6 Penelitian yang dilakukan Mohseni G dkk menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgbb yang diberikan 90 detik sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi lebih efektif mengurangi peningkatan hemodinamik dibandingkan dengan pemberian nifedipin sublingual. 28 Sukron dkk menyatakan pemberian lidokain 1.5 mg/kgbb intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dapat mengurangi gejolak kardiovaskular. 2 Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Gupta R dkk, menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgbb yang diberikan 1 menit sebelum tindakan intubasi efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD) dan tekanan arteri rerata (TAR) dibandingkan dengan basal. 27 Lev dan 34

28 Rosen menulis bahwa dosis profilaksis dengan lidokain 1.5 mg/kgbb intravena 3 menit sebelum intubasi memberikan hasil yang optimal. Tidak ada penelitian yang menunjukkan akibat yang berbahaya pada pemberian profilaksis lidokain sebelum intubasi. 6 Gupta R dkk melakukan penelitian pada 120 pasien asa 1 dan 2, usia tahun yang dilakukan tindakan pembedahan elektif. Mereka membandingkan efek diltiazem 0.2 mg/kgbb (kelompok D), lidokain 1.5 mg/kgbb (kelompok L), diltiazem 0.2 mg/kgbb + lidokain 1.5 mg/kgbb dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Obat-obat tersebut diberikan satu menit sebelum tindakan laringoskopi. Setiap pasien diberikan premedikasi midazolam 1 mg 5 menit sebelum induksi dan fentanyl 2 µg/kgbb 2 menit sebelum induksi. Dari hasil penelitian mereka menyatakan bahwa baik pemberian lidokain ataupun diltiazem efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi, sedangkan penggabungan diltiazem dan lidokain terlihat lebih efektif dari pemberian diltiazem tunggal ataupun lidokain tunggal. 27 Namun beberapa penelitian mempertanyakan efek dari lidokain tersebut. Sing dkk, Van den Berg dkk, dan Kindler dkk melakukan penelitian terhadap pemberian lidokain 1.5 mg/kgbb intravena ternyata tidak efektif mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Kemudian pada dua penelitian yang berbeda, menunjukkan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgbb dan 2 mg/kgbb tidak efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik saat rapid sequence induction. 6 Valeshabad AK dkk melakukan penelitian terhadap 62 pasien asa 1 dan 2, usia tahun yang menjalani tindakan pembedahan ginekologi elektif. Mereka membandingkan pemberian propacetamol sebanyak 2 g yang dicampurkan ke dalam 100 ml normal salin (diberikan 1 jam sebelum induksi) dengan lidokain 1.5 mg/kgbb (diberikan 2 menit sebelum induksi) dalam hal mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Sebelum induksi seluruh pasien diberikan premedikasi midazolam 0.02 mg/kgbb dan fentanyl 2 µg/kgbb. Dari penelitian mereka menyatakan bahwa propacetamol efektif dalam 35

29 mengurangi efek peningkatan denyut jantung bila dibandingkan dengan lidokain. Propacetamol dan lidokain tidak efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan arteri rerata akibat laringoskopi dan intubasi Magnesium Sulfat Magnesium Sulfat merupakan obat yang sering digunakan pada penanganan eklampsi dan profilaksis eklampsi pada pasien-pasien dengan preeklampsi berat. Magnesium sulfat pertama kali digunakan untuk mencegah kejang pada eklampsi pada tahun 1906 yang disuntikkan secara intratekal. Penyuntikan magnesium sulfat secara intramuskular untuk mencegah kejang rekuren pada pasien eklampsi dilakukan pada tahun 1926, dan penyuntikan secara intravena dilakukan pada tahun Fisiologi Magnesium Magnesium (Mg) merupakan kation yang terpenting keempat didalam tubuh (setelah fosfor, kalsium dan kalium), dan merupakan kation kedua terpenting di dalam sel (setelah kalium) 50,51,52. Magnesium di dalam tubuh terdistribusi pada tulang 53%, pada sel otot 27% dan pada jaringan lunak 19% 51. Dari total magnesium tubuh, hanya sekitar 1% magnesium yang terdapat pada cairan ekstra seluler 50,51,53,54, dan sekitar 0.3% darinya dijumpai didalam plasma 51,53. Konsentrasi total magnesium plasma normal berkisar meq/l ( mg/dl atau mmol/l) 54, dimana 33% berikatan dengan protein (utamanya albumin), 7% membentuk senyawa kompleks dengan anion (biasanya sitrat dan fosfat), dan 60% dalam bentuk terionisasi 51,53. Bentuk yang aktif adalah yang terionisasi 54. Magnesium mempunyai pengaruh yang besar terhadap transport ion pada membran sel jantung, ikut berperan dalam mengaktifkan sekitar 300 reaksi enzimatis, termasuk enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme energi dan sintesa asam nukleat 50,51,54. Disamping itu magnesium juga berperan dalam ikatan hormon dan reseptor, pengaturan calcium channels, kontraksi otot, aktifitas 36

30 neuronal, pengendalian tonus vasomotor, eksitabilitas jantung, dan pelepasan neurotransmiter 30,35,51. Adenosin trifosfat (ATP) dapat bekerja bila berikatan dengan magnesium. Magnesium merupakan regulator esensial bagi kalsium untuk masuk ke dalam sel dan bekerja di dalam sel 50. Magnesium adalah antagonis fisiologis dari kalsium 35,50,51,54. Pelepasan asetilkolin pada presinaptik bergantung pada kerja dari magnesium. Magnesium dapat memberi efek analgesik melalui kerjanya sebagai antagonis NMDA reseptor. Magnesium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik dan koroner serta dapat mengurangi reperfusion injury. 50 Konsentrasi normal magnesium pada plasma diperoleh dan dijaga melalui penyerapan dari usus halus dan ekskresi dari ginjal. Kelainan dari konsentrasi magnesium plasma dan seluler biasanya bersamaan dengan kelainan elektrolit lainnya 50. Hipomagnesemia bisa terjadi bersamaan dengan hipokalemia 50,51,52, hipofosfatemia 51, hiponatremia dan hipokalsemia 51, Hipermagnesemia Penyebab peningkatan kadar Mg 2+ dalam plasma seringkali iatrogenik oleh karena asupannya yang berlebihan (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium, nutrisi parenteral), terutama pada pasien dengan gangguan ginjal (GFR < 30 ml/menit). Ada juga penyebab lainnya antara lain insufisiensi adrenal, hipotiroid, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium. Pemberian magnesium sulfat pada eklamsi dan preeklamsi juga dapat menyebabkan hipermagnesemia pada ibu dan juga fetus 55. Hipermagnesemia merupakan antagonis terhadap pelepasan dan efek asetilkolin pada neuromuscular junction. Akibatnya dapat terjadi depresi pada fungsi otot rangka dan blokade neuromuskular. 54,55 Tanda dari hipermagnesemia biasanya muncul dalam manifestasi neurologis, neuromuskular dan kardiak seperti refleks yang menurun, sedasi, kelemahan otot, dan depresi pernafasan. Hipotensi dapat terjadi oleh karena vasodilatasi, bradikardi dan depresi miokard. Pada EKG dapat dijumpai P-R interval yang memanjang dan melebarnya kompleks QRS 55. Pada kadar magnesium plasma diatas 4 meq/l maka refleks dari tendon akan menurun 30,54. 37

31 Ketika kadar magnesium melebihi 10 meq/l, dapat terjadi henti nafas (apnu), kelumpuhan, bahkan henti jantung (tabel 2.5) 54. Tabel 2.5 : Manifestasi dari perubahan konsentrasi magnesium plasma 54 Konsentrasi Mg mg/dl meq/l mmol/l Manifestasi < >12 < >10 < >5 Tetani Kejang Aritmia Iritabilitas neuromuskular Hipokalsemia Hipokalemia Konsentrasi Mg normal Asimtomatis Lesu Mengantuk Flushing Mual dan Muntah Refleks tendon melemah Somnolen Refleks tendon hilang Hipotensi EKG berubah Complete Heart block Henti jantung Apnu Lumpuh Koma Pada hipermagnesemia ringan penanganannya dengan menghentikan sumber asupannya (biasanya antasida) 55. Pada kasus hipermagnesemia yang relatif tinggi dengan adanya tanda klinis toksisitas dari magnesium dapat diberikan kalsium glukonas (10-15 mg/kgbb intra vena). Juga diberikan loop diuretik dan pemberian cairan untuk meningkatkan pengeluaran magnesium melalui urin (pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal) 50,55. Pada pasien dengan gangguan ginjal kemungkinan diperlukan juga tindakan dialisa. Pada toksisitas magnesium yang berat kemungkinan dibutuhkan dukungan dengan ventilator dan juga dukungan untuk sirkulasi (hemodinamik)

32 Hipomagnesemia Hipomagnesemia selalu berhubungan dengan defisiensi dari komponen intra sel lainnya seperti kalium dan fosfor. Sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan kardiotoraks ataupun abdomen 55. Dikatakan hipomagnesemia bila konsentrasi magnesium plasma kurang dari 0.7 mmol/l 53. Defisiensi magnesium terjadi oleh karena kurangnya asupan, berkurangnya penyerapan dari saluran cerna atau peningkatan ekskresi pada ginjal (tabel 6) 53,55. Obat-obatan yang dapat menyebabkan pembuangan magnesium antara lain etanol, teofilin, diuretik, cisplatin, aminoglikosida, siklosporin, ampoterisin B, pentamidin dan granulocyte colony stimulating factor 55. Tabel 2.6 : Penyebab hipomagnesemia 55 Asupan yang kurang Nutrisi Berkurangnya penyerapan saluran cerna Sindroma malabsorbsi Fistula pada usus halus atau kantung empedu Penghisapan (suctioning) isi lambung secara berulang-ulang Muntah-muntah atau diare berat Penguna laksatif kronis Meningkatnya pengeluaran ginjal Diuretik Ketoasidosis diabetik Hiperparatiroid Hiperaldosteron Hipofosfatemia Obat-obatan nefrotoksik Diuresis paska obstruksi Multi faktor Peminum alkohol Malnutrisi kalori protein Hipertiroid Pankreatitis Luka bakar 39

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dimulai tahun 1880 Sir William Mac. Ewen ahli bedah Skotlandia untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dimulai tahun 1880 Sir William Mac. Ewen ahli bedah Skotlandia untuk 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Laringoskopi dan intubasi Dimulai tahun 1880 Sir William Mac. Ewen ahli bedah Skotlandia untuk pertama kalinya melakukan intubasi endotrakea tanpa melalui trakeostomi. Lalu

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

ETT. Ns. Tahan Adrianus Manalu, M.Kep.,Sp.MB. SATU dalam MEDISTRA membentuk tenaga keperawatan yang Profesional dan Kompeten

ETT. Ns. Tahan Adrianus Manalu, M.Kep.,Sp.MB. SATU dalam MEDISTRA membentuk tenaga keperawatan yang Profesional dan Kompeten ETT. Ns. Tahan Adrianus Manalu, M.Kep.,Sp.MB SATU dalam MEDISTRA membentuk tenaga keperawatan yang Profesional dan Kompeten Pendahuluan Endotracheal Tube (ETT) adalah sejenis alat yang digunakan di dunia

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum untuk mengurangi atau menumpulkan respon

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT

JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT A.HIPERKALEMIA a. pengertian JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi b. penyebab 1.pemakaian obat tertentu yang menghalangi pembuangan kalium oleh ginjal misalnya spironolakton

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pasien-pasien mata umumnya memiliki risiko khusus terhadap tindakan anestesi. Pasien biasanya datang dengan umur yang ekstrim, sangat muda atau justru sangat tua. Oleh

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Lidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi lokal kuat yang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Lidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi lokal kuat yang BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 1. LIDOKAIN Lidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Lidokain disintesa

Lebih terperinci

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Hipertensi dalam kehamilan Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi DEFINISI Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmhg sistolik atau 90 mmhg diastolik pada dua kali

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk melakukan pembedahan diperlukan tindakan anestesi yang dapat berupa anestesi umum atau regional. Masing masing teknik anestesi ini mempunyai keuntungan dan kerugian.

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan nafas.

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Intubasi endotrakeal merupakan gold standard untuk penanganan jalan nafas. BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan

Lebih terperinci

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah.

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah. 1. Hipokalsemia HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dl darah. PENYEBAB Konsentrasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infark miokard akut mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibart suplai darah yang tidak adekuat, sehingga aliran darah koroner

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA

PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Dept. Obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA GEJALA DAN TANDA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak BAB 1 PENDAHULUAN 11 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit Nyeri bersifat subjektif,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif,

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang paling penting yang harus dimiliki ahli anestesi. Ketidakmampuan menjaga jalan napas dapat menimbulkan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut. B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Anestesi intravena total adalah suatu tehnik anestesi yang dilakukan hanya dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat anestesi inhalasi.

Lebih terperinci

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi atau disebut juga tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Tekanan darah pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 30 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Airway Management Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support) (2008), Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1 Data Hasil Penelitian Uji perbandingan antara keempat kelompok sebelum perlakuan menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok kontrol adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini dikarenakan memiliki waktu mula kerja, durasi dan waktu pulih sadar yang singkat. 1,2 Disamping

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

Anestesi Persiapan Pra Bedah

Anestesi Persiapan Pra Bedah Anestesi Persiapan Pra Bedah Persiapan Diri Anestetis Perawat anestesi harus sehat fisik dan psikis, memiliki pengetahuan dan keterampilan anestesi yang memadai serta memiliki kemauan yang kuat untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Persalinan Induksi persalinan diindikasikan pada pre-eklampsia dengan kondisi buruk seperti gangguan

Persalinan Induksi persalinan diindikasikan pada pre-eklampsia dengan kondisi buruk seperti gangguan HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN 1.1 Definisi Definisi hipertensi pada kehamilan berdasarkan nilai tekanan darah absolut (sistolik 140 atau diastolik 90 mmhg) dan dibedakan antara kenaikan tekanan darah ringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat

Lebih terperinci

Preeklampsia dan Eklampsia

Preeklampsia dan Eklampsia Preeklampsia dan Eklampsia P2KS PROPINSI SUMATERA UTARA 1 Tujuan Membahas praktek terbaik untuk mendiagnosis dan menatalaksana hipertensi, pre-eklampsia dan eklampsia Menjelaskan strategi untuk mengendalikan

Lebih terperinci

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar.

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar. Pengertian Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman : 1. Pengertian Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses persalinan yang disertai dengan anestesi mempunyai angka kematian maternal yang rendah (sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

EMBOLI CAIRAN KETUBAN

EMBOLI CAIRAN KETUBAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN DEFINISI Sindroma akut, ditandai dyspnea dan hipotensi, diikuti renjatan, edema paru-paru dan henti jantung scr cepat pd wanita dlm proses persalinan atau segera stlh melahirkan sbg

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal merupakan organ ekskresi utama pada manusia. Ginjal mempunyai peran penting dalam mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal memiliki fungsi yaitu mempertahankan keseimbangan

Lebih terperinci

BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX. Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral

BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX. Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX 2.1 Definisi Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral radiography, gagging merupakan salah satu masalah terbanyak. Gagging yang juga sering disebut gag

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol OBAT KARDIOVASKULER Kardio Jantung Vaskuler Pembuluh darah Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung Jenis Obat 1. Obat gagal jantung 2. Obat anti aritmia 3. Obat anti hipertensi 4. Obat anti angina

Lebih terperinci

BAB 1 1. PENDAHULUAN

BAB 1 1. PENDAHULUAN BAB 1 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penanganan nyeri paska bedah yang efektif adalah penting untuk perawatan pasien yang mendapat tindakan pembedahan. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI Oleh : Furkon Nurhakim INTERVENSI PASCA OPERASI PASE PASCA ANESTHESI Periode segera setelah anesthesi à gawat MEMPERTAHANKAN VENTILASI PULMONARI Periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman

Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman Banyak orang terpikat untuk mengonsumsi minuman berenergi. Dengan publikasi/promosi yang menarik, minuman berenergi dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Pada Anak-Anak Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stres emosional pada anak dan orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER

STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER Tujuan Pembelajaran Menjelaskan anatomi dan fungsi struktur jantung : Lapisan jantung, atrium, ventrikel, katup semilunar, dan katup atrioventrikular Menjelaskan

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA. A. Organ-Organ Pernapasan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP IX (SEMBILAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PERNAPASAN MANUSIA A. Organ-Organ Pernapasan Bernapas merupakan proses yang sangat penting bagi manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

Carolina M Simanjuntak, S.Kep, Ns AKPER HKBP BALIGE

Carolina M Simanjuntak, S.Kep, Ns AKPER HKBP BALIGE Carolina M Simanjuntak, S.Kep, Ns Preeklamsia adalah tekanan darah tinggi yang disertai dengan proteinuria (protein dalam air kemih) atau edema (penimbunan cairan), yang terjadi pada kehamilan 20 minggu

Lebih terperinci

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Dr. Suparyanto, M.Kes GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT CAIRAN TUBUH Cairan tubuh adalah larutan isotonik yang tersusun atas air dan zat terlarut (mineral)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN Niken Andalasari PENGERTIAN Hipoglikemia merupakan keadaan dimana didapatkan penuruan glukosa darah yang lebih rendah dari 50 mg/dl disertai gejala autonomic dan gejala neurologic.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dislipidemia A.1. Definisi Dislipidemia ialah suatu kelainan salah satu atau keseluruhan metabolisme lipid yang dapat berupa peningkatan ataupun penurunan profil lipid, meliputi

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saliva memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai proteksi, pengaturan reseptor pengecapan, dan turut menentukan persepsi rasa melalui interaksinya dengan stimulus sensoris.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini di dunia kafein banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein terdapat dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

ATROPIN OLEH: KELOMPOK V

ATROPIN OLEH: KELOMPOK V ATROPIN OLEH: KELOMPOK V ATROPIN ATROPIN 0,25 MG/ML INJEKSI GOLONGAN : K KANDUNGAN : Atropine sulfat DOSIS : 250-1000 µg secara subkutan. KEMASAN : Injeksi 0,25 mg/ml x 30 ampul @1 ml SEDIAAN : ampul inj.im/iv/sk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008). 19 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan sebagai ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan homeostasis oksigen dan karbondioksida.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laryngeal Mask Airway (LMA) didesain oleh Archibald I.J. Brain, MA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laryngeal Mask Airway (LMA) didesain oleh Archibald I.J. Brain, MA, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laryngeal Mask Airway (LMA) didesain oleh Archibald I.J. Brain, MA, LMSSA, FFARCSI pada tahun 1981. LMA pertama kali digunakan pada pasien tahun 1981. Pada tahun 1988,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anestesi Spinal a. Definisi Anestesi spinal adalah suatu cara memasukan obat anestesi lokal ke ruang intratekal untuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya

Lebih terperinci

SYOK/SHOCK SITI WASLIYAH

SYOK/SHOCK SITI WASLIYAH SYOK/SHOCK SITI WASLIYAH SYOK sebagai kondisi kompleks yang mengancam jiwa, yang ditandai dengan tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan dan sel-sel tubuh (Rice 1991). Komponen-komponen aliran darah

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN PENCABUTAN GIGI PADA PASIEN HIPERTENSI, DIABETES MELLITUS DAN POST STROKE. Oleh : Rozario N. Ramandey

PENATALAKSANAAN PENCABUTAN GIGI PADA PASIEN HIPERTENSI, DIABETES MELLITUS DAN POST STROKE. Oleh : Rozario N. Ramandey PENATALAKSANAAN PENCABUTAN GIGI PADA PASIEN HIPERTENSI, DIABETES MELLITUS DAN POST STROKE Oleh : Rozario N. Ramandey 200852089 PENCABUTAN GIGI Pencabutan gigi yang ideal pencabutan tanpa rasa sakit satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan nasional, khususnya di bidang kesehatan, menghasilkan dampak positif, yakni meningkatnya harapan hidup penduduk di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

Lab Ketrampilan Medik/PPD-UNSOED

Lab Ketrampilan Medik/PPD-UNSOED PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE Oleh dr. Catharina W. LEARNING OUTCOME 1. Mahasiswa mengetahui indikasi intubasi pipa endotrakeal (Endo tracheal Tube = ETT). 2. Mahasiswa trampil melakukan intubasi Endotrakeal

Lebih terperinci

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Penyakit flu umumnya dapat sembuh dengan sendirinya jika kita cukup istirahat, makan teratur, dan banyak mengkonsumsi sayur serta buah-buahan. Namun demikian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasa sakit didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman dan suatu pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan tubuh (Levine, 2012), oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Gagal Jantung Kongestif 1.1 Defenisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak

Lebih terperinci