Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK"

Transkripsi

1 Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK M. Luqman Fadlli dan Sony Maulana Sikumbang Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Abstrak Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkuat kedudukan BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kebebasan dan kemandirian BPK direalisasikan dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada BPK untuk membuat Peraturan BPK. Peraturan tersebut diakui keberadaannya bahkan sebelum kewenangan pembentukannya ada, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun Penelitian ini akan membahas tiga permasalahan utama. Pertama, akan dijelaskan dasar hukum kewenangan pembentukan Peraturan BPK. Kedua, akan dijelaskan kedudukan Peraturan BPK, apakah merupakan produk peraturan perundang-undangan atau tidak. Ketiga, akan dijelaskan dalam hal terjadi pengaturan yang sama, maka peraturan mana yang akan digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis. Kata kunci: kewenangan; pembentukan peraturan; Peraturan BPK; atribusi; delegasi (The Authority of Badan Pemeriksa Keuangan in the Making of Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan) Abstract The amendment of constitution of Republic of Indonesia Year 1945 has strengthen the position of BPK as an independent Audit Board. The independence of BPK has been realized with the enactment of Act Number 15 Year 2006 concerning Audit Board which replaced Act Number 5 Year Act Number 5 Year 2006 give the authority to Audit Board to make a regulation. The regulation is acknowledged by Act Number 10 Year 2004 even before the authority to make such regulation is given. This study will probe three main subjects. First, it will explain the legal basis for the authority of the establishment of Peraturan BPK. Second, it will explain the legal status of Peraturan BPK, whether it is counted as regulation or not. Third, it will explain how to determine the regulation that will be used in case there are rules that regulate similar matters. The method used in this study is juridical normative which is based on secondary data and presented descriptively and analytically. Keywords: authority; competence; rule-making; Audit Board Regulation; delegated attribution; legislation 1. Pendahuluan Dalam negara yang demokratis, salah satu hak yang penting dari rakyat melalui perwakilan yang langsung dipilihnya adalah hak dan wewenang untuk mengawasi dan menguji kebijaksanaan Pemerintah antara lain di bidang penguasaan dan pengurusan kekayaan dan keuangan negara. Tugas dan wewenang untuk memeriksa tanggung jawab

2 tentang keuangan negara itu oleh Undang-Undang Dasar 1945 dipercayakan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, sedang hasil pemeriksaannya harus diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 1 Konsepsi keuangan negara di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan pemahaman filosofis yang tinggi terhadap kedudukan keuangan negara yang ditentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan kata lain, hakikat public revenue dan expenditure keuangan negara dalam APBN adalah kedaulatan negara. 2 Sehubungan dengan penetapan APBN, DPR memiliki hak begrooting yang menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Dengan demikian, secara filosofis-yuridis, hal itu merupakan wujud kedaulatan rakyat melalui DPR. Pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk Undang-Undang. Di sisi lain, pemerintah dalam menjalankan APBN wajib mempertanggungjawabkannya kepada DPR. Pemeriksaan terhadap APBN sebagai bagian dari keuangan negara dilakukan oleh BPK dan hasilnya disampaikan kepada DPR. 3 Keberadaan BPK dalam struktur kelembagaan negara Indonesia terkait dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Karena fungsi pengawasan oleh DPR itu bersifat politis, diperlukan lembaga khusus yang dapat melakukan pemeriksaan keuangan (financial audit) secara lebih teknis. Lembaga seperti ini juga ada di Belanda dengan nama Raad van Rekenkamer. Di Perancis, lembaga yang mirip dengan lembaga tersebut adalah Cour des Comptes. Bedanya, di dalam sistem Perancis, lembaga ini disebut cour atau pengadilan karena memang berfungsi juga sebagai forum yudisial bagi pemeriksaan mengenai penyimpangan yang terjadi dalam tanggung jawab pengelolaan keuangan negara. 4 Para pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara 1 Badan Pemeriksa Keuangan, 25 Tahun Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Utama Badan Pemeriksa Keuangan, 1972), hal Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, Buku VII: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Nasional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) hal Ibid. 4 Ibid., hal 30.

3 merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Kedudukan BPK sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Sebagai pelaksanaan Pasal 23G ayat (2) Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang mencabut dan mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun Ada hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, yaitu mengenai kewenangan BPK untuk membentuk Peraturan BPK. Pemberian wewenang itu disebutkan dalam beberapa pasal antara lain, Pasal 6 ayat (6), Pasal 12, Pasal 15 ayat (5), dan Pasal 30 ayat (3). Kewenangan tersebut tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun Dalam undang-undang tersebut hanya disebutkan bahwa pembagian tugas, tata kerja dan pengambilan keputusan Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, tanpa menyebutkan lebih lanjut mengenai mekanisme apa yang digunakan, apakah melalui peraturan atau ketetapan.11 Dengan demikian BPK hanya bisa mengatur secara internal dalam lingkup kelembagaannya saja. Sedangkan dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 telah disebutkan secara eksplisit bahwa mekanisme yang digunakan BPK untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang dan lain-lain diatur oleh Peraturan BPK. Karena Peraturan BPK diakui keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan, maka lingkup pengaturan BPK tidak terbatas pada pengaturan internal, tetapi juga bisa mengatur keluar. Hal ini menarik karena dalam UU BPK yang lama (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973) tidak memberi wewenang BPK untuk membentuk Peraturan BPK, dan perubahan UUD 1945 juga tidak menyebutkan kewenangan BPK dalam pembentukan Peraturan BPK, tetapi UU Nomor 10 Tahun 2004 mengakui keberadaan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan. Baru setelah keluar UU BPK yang baru (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 206), kewenangan BPK untuk membentuk Peraturan BPK diberikan secara eksplisit. Sehubungan dengan kewenangan BPK mengeluarkan Peraturan BPK, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat merupakan kewenangan eksklusif para wakil rakyat yang berdaulat untuk

4 menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of liberty of the sovereign people). 5 Hal ini lah yang mendasari penulis untuk menyusun skripsi mengenai Badan Pemeriksa Keuangan berkaitan dengan Peraturan BPK sebagai produk hukum dan kewenangan BPK ditinjau dari fungsi-fungsi negara dengan batasan masalah Apakah dasar hukum kewenangan BPK dalam membentuk Peraturan BPK? Bagaimana kedudukan peraturan yang dikeluarkan BPK dalam hal produk peraturan perundang-undangan? Jika terjadi pengaturan yang sama dan bertentangan, peraturan mana yang digunakan? Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan lembaga negara di luar DPR, dalam hal ini BPK, yang memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan, serta kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan secara khusus yaitu untuk meninjau sumber kewenangan BPK dalam membentuk Peraturan BPK; meninjau kedudukan Peraturan BPK dalam peraturan perundang-undangan; dan mengetahui peraturan mana yang harus digunakan apabila terjadi pengaturan yang sama. 2. Tinjauan Teoritis 2.1. Sumber Kewenangan Hukum Administrasi Negara mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan pemerintah, antara lain, mengenai fungsi, aktivitas, otoritas, serta susunan pemerintah suatu negara. 6 Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, kekuasaan dan kewenangan sangatlah penting. Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara Jimly Asshiddiqie (a), Perihal Undang-Undang, cet. 3, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 6 Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 35.

5 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban. 8 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Sedangkan Soerjono Soekanto menguraikan beda antara kekuasaan dan wewenang bahwa Setiap kemampuan untuk memengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. 9 Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid). 10 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 11 Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1998), hal. 9 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hal Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 65.

6 barang siapa diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam lingkup kewenangan itu. Dalam Hukum Administrasi Negara, kewenangan dapat bersumber melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Namun dalam hal pembentukan peraturan perundangundangan, hanya ada dua sumber kewenangan pembentukan peraturan yaitu atribusi dan delegasi Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Peraturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur. Sedangkan perundang-undangan didefinisikan sebagai sesuatu yang bertalian dengan undang-undang; seluk-beluk undangundang. 12 Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). 13 Dalam Bahasa Belanda, istilah perundang-undangan disebut dengan wetgeving. Pengertian wetgeving dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut: a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. b. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. 14 Kedua pengertian itu didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Daring, < 13 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd handwoordenboek, (Groningen/Batavia: J.B. Wolters, 1948), dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, ps. 1 angka 1.

7 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 16 Sedangkan mengenai pengertian peraturan perundang-undangan, Maria Farida juga berpendapat bahwa definisi tersebut tidak sepenuhnya dapat memberikan pemahaman yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena peraturan dari suatu lembaga negara atau pejabat yang berwenang belum tentu merupakan suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan tertulis yang bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus dapat berupa peraturan perundang-undangan, bisa juga peraturan kebijakan di bidang pemerintah, dan dapat juga sebagai peraturan yang berlaku secara intern (intern regelingen). 17 Dalam disertasinya, A. Hamid S. Attamimi juga menuliskan bahwa peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur: a. norma hukum (rechtsnormen); b. berlaku ke luar (naar buiten werken); dan c. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin) 18 Ketiga unsur tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: a. norma hukum Norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengandung salah satu sifatsifat di bawah ini: 1) perintah (gebod); 2) larangan (verbod); 3) pwngizinan (toestemming); dan 4) pembebasan (vrijstelling). b. berlaku ke luar Ruiter berpendapat bahwa norma dalam peraturan perundang-undangan selalu berlaku ke luar, yaitu ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya maupun antara rakyat dengan pemerintah. Sedangkan norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian 16 Indonesia (a), op.cit., Pasal 1 angka Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal D.W.P. Ruiter, Bestuursrechtelijke wetgevingsleer, (Asen/Maastricht: Van Gorcum, 1987), hal. 7, dalam A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I PELITA IV), Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 314.

8 organisasi pemerintahan dianggap bukan norma hukum yang sebenarnya, paling jauh dianggap sebagai norma organisasi. c. bersifat umum dalam arti luas Bersifat umum jika dilihat dari adressaat berarti merujuk kepada alamat yang dituju, yaitu ditujukan kepada setiap orang (umum), bukan kepada orang tertentu saja (individu). Serta jika dilihat dari hal yang diaturnya dibedakan pula antara abstrak (mengatur peristiwaperistiwa tidak tertentu) dan konkret (mengatur peristiwa-peristiwa tertentu). Dalam hal peraturan perundang-undangan, maka norma yang dipakai bersifat umum-abstrak. Menurut Bagir Manan, sebagaimana dikutip Maria Farida, pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Setiap peraturan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum. b. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan. c. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu. d. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering disebut dengan algemeen verbindende voorschrift yang meliputi antara lain: de supra-nationale algemeen verbindende voorschrift, wet, AMvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciale State verordeningen. 19 Satjipto Rahardjo menuliskan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki ciri sebagai berikut: a. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. b. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. c. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Pencantuman klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, Oktober 1994), hal. 1-3, dalam Maria Farida Indrati, op.cit., hal Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1996), hal , dalam Ridwan HR, op.cit., hal.

9 Menurut Jimly Asshiddiqie, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator maupun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana undang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan peraturanperaturan tertentu menurut peraturan yang berlaku. 21 Selain peraturan yang berbentuk undang-undang, ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana undang-undang. Setiap lembaga pelaksana undang-undang dapat diberi kewenangan regulasi oleh undang-undang dalam rangka menjalankan undang-undang yang bersangkutan. Di samping itu, pemerintah karena fungsinya diberi kewenangan pula untuk menetapkan sesuatu peraturan tertentu, di samping undang-undang itu sendiri dapat pula menentukan adanya lembaga regulasi yang bersifat tertentu pula. Semua produk hukum tertulis yang berisi norma yang bersifat mengatur (regeling) itu dalam ilmu hukum kita namakan peraturan perundang-undangan. 22 Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik persamaan bahwa peraturan perundangundangan itu bersifat umum-abstrak, yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut: a. Waktu (tidak hanya berlaku pada saat tertentu) b. Tempat (tidak hanya berlaku pada tempat tertentu) c. Orang (tidak hanya berlaku pada orang tertentu) d. Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, dengan kata lain untuk perbuatan yang berulang-ulang). 23 Untuk membahas lebih lanjut mengenai peraturan perundang-undangan, perlu diuraikan mengenai ruang lingkup peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum dan sesudah perubahan, hal-hal mengenai peraturan perundang-undangan tidak banyak dikemukakan, selain menyebut beberapa jenisnya. Secara eksplisit, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya tumbuh dan berkembang seiring dengan praktek ketatanegaraan dan tata pemerintahan Negara Republik Indonesia Jimly Asshiddiqie (b), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal Ibid., hal Ridwan HR, op.cit., hal Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 183.

10 Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ruang lingkup peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah semua jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud yaitu Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Maajelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 25 Penyebutan Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai perautran perundang-undangan sebenarnya tidak tepat jika ditinjau dari teori hierarki norma hukum negara oleh Hans Nawiasky. Hans Nawiasky mengembangkan teori Hans Kelsen tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Menurut Nawiasky, suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. 26 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain berjenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok, yang terdiri dari empat kelompok besar, yaitu: Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang formal ) Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom) Apabila Pancasila yang terdapat dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu merupakan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm), sedangkan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis yang berupa Konvensi Ketatanegaraan Negara merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), maka Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia yang merupakan formell Gesetz dan Verordnung & Autonome Satzung adalah Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga 25 Indonesia (a), op.cit., Pasal 7 ayat Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 44.

11 pemerintahan dalam perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan yang bersumber dari kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 27 Dengan demikian jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut: A. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat 1) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 2) Peraturan Pemerintah 3) Peraturan Presiden 4) Peraturan Menteri 5) Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen 6) Peraturan Direktur Jenderal Departemen 7) Peraturan Badan Hukum Negara B. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah 1) Peraturan Daerah Provinsi 2) Peraturan/Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi 3) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 4) Peraturan/Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota. 28 Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ruang lingkup peraturan perundangundangan tidak hanya terbatas pada undang-undang saja, tetapi juga peraturan-peraturan di bawahnya. Kewenangan pembentukan peraturan-peraturan di bawah undang-undang berasal dari peraturan yang lebih tinggi baik melalui atribusi maupun delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (atributie van wetgevingsbevoegdheid) adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan adas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan. 29 Sedangkan delegasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan kewenangan membetuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi 27 Ibid., hal Ibid. 29 Ibid., hal. 55.

12 kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak. 30 Ada perbedaan pendapat mengenai pendelegasian kewenangan pembentukan peraturan. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pendelegasian kewenangan untuk mengatur diberikan kepada Pemerintah atau lembaga-lembaga dalam lingkup kekuasaan eksekutif. Pendapatnya ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Jellinek. Dalam menjalankan fungsi pemerintahan, pemerintah tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang, tetapi juga sebagai pembuat kebijakan. Menurut Jellinek, pemerintahan mengandung dua segi, yaitu arti formal dan arti material. Pemerintahan dalam arti formal mengandung kekuasaan mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus (entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material berisi dua unsur yaitu unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das elemen der regierung und das der vollziehung). 31 Hal serupa juga diutarakan oleh Van Wijk dan Konijnenbelt bahwa pelaksanaan (uitvoering) dapat berupa pengeluaran penetapan-penetapan atau berupa perbuatan-perbuatan nyata lainnya ataupun berupa pengeluaran peraturan-peraturan lebih lanjut (gedelegeerde wetgeving). 32 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan pemerintahan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 itu mengandung juga kekuasaan pengaturan dalam arti membentuk peraturan. Philipus M. Hadjon juga menuliskan mengenai kekuasaan Presiden dibidang perundang-undangan yang menjelma dalam berbagai bentuk; pertama, kekuasaan dalam pembentukan Undang-Undang bersama-sama dengan DPR; kedua, pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; ketiga, pembentukan Peraturan Pemerintah; dan keempat, pembentukan Keputusan Presiden. 33 Istilah Keputusan Presiden sekarang sudah diganti dengan Peraturan Presiden. pendapat-pendapat tersebut tidak menyebutkan adanya kewenangan pembentukan peraturan di luar lembaga pemerintahan. 30 Ibid., hal G. Jellinek, Allgemeine Staatslehre, (Berlin, Zurich: Max Gehlen, 1900), hal. 617, dalam Hamid S. Attamimi, Peranan...,op.cit., hal H.D. van Wijk & W. Konijnenbelt, Hoofdstuken van administratiefrecht, (Culemborg: Lemma, 1988), hal. 149, dalam Ibid. 33 Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hal

13 Jimly, berpendapat bahwa delegasi kewenangan pembentukan peraturan perundangundangan tidak hanya terbatas kepada pemerintah saja, tetapi bisa juga didelegasikan kepada lembaga negara lain di luar lingkup kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari tulisannya:... Dengan demikian, kewenangan lembaga pelaksana untuk membentuk peraturan pelaksana undang-undang harus dimuat dengan tegas dalam undangundang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan legislasi (legislative delegation of rulemaking power) dari pembentuk undang-undang kepada lembaga pelaksana atau kepada pemerintah. 34 Lembaga pelaksana tersebut bisa merupakan lembaga negara apa saja baik di dalam maupun di luar lingkup eksekutif yang melaksanakan undang-undang yang dimaksud. Dalam bukunya yang lain Jimly mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalam legislative act dan executive act atau regulative act. Legislative act merupakan peraturan yang dalam pembuatannya setidak-tidaknya melibatkan lembaga legislatif, dalam hal ini DPR. Sedangkan executive act adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga pelaksana. Jimly mengatakan bahwa pengertian executive act dalam arti luas merupakan semua lembaga yang menetapkan sesuatu dalam rangka menjalankan undang-undang. 35 Pendapat inilah yang akhirnya lebih diterima dan diterapkan di Indonesia dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengakui keberadaan peraturan perundang-undangan yang lain yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat Kewenangan Pembentukan Peraturan BPK Dalam menjalankan tugasnya, BPK dapat mengeluarkan Peraturan BPK. Keberadaan Peraturan BPK dapat ditelusuri dari UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diakui keberadaannya sebagai 34 Jimly Asshiddiqie (a), op.cit., hal Jimly Asshiddiqie (c), Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006), hal

14 peraturan perundang-undangan. 36 Namun dasar hukum pemberian kewenangan BPK untuk mengeluarkan peraturan tersebut baru diatur dua tahun setelahnya, yaitu dalam UU Nomor 15 Tahun Sumber kewenangan BPK untuk mengeluarkan peraturan BPK bisa dilihat dari rumusan pasal-pasal berikut ini: Pasal 6 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan Peraturan BPK. Pasal 15 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diatur dengan peraturan BPK. Pasal 30 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, BPK dapat membentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah Peraturan BPK. Penjelasan lebih lanjut mengenai Peraturan BPK akan dibahas pada bab berikutnya. 3. Pembahasan 3.1. Keberadaan Peraturan BPK Jika ingin menelusuri keberadaan Peraturan BPK, maka dimulai dengan melihat ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 beserta penjelasannya: Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; 36 Pasal 7 ayat (4): Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4): Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

15 e. Peraturan Daerah. (2)... (3)... (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) menyebutkan: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undangundang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa Peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diakui keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengakui (bentuk aktif dari diakui) berarti: 1. mengaku akan (kesalahan, dosa, dsb); 2. menyatakan sah (benar, berlaku, dsb); 3. menyatakan berhak (atas); 4. memasuki (tt setan, jin, dsb). 37 Dilihat dari arti kedua, mengakui berarti menyatakan sah dan berlaku, sehingga peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan adalah peraturan yang sah keberadaan dan keberlakuannya. Dengan demikian bisa diartikan bahwa ketentuan tersebut merupakan atribusian dalam pembentukan peraturan Peraturan BPK. Namun dalam membaca ketentuan undang-undang tidak boleh sepenggal-sepenggal. Perlu diperhatikan bahwa peraturan tersebut diakui sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada saat itu belum ada peraturan perundangundangan yang memerintahkan kepada BPK untuk membuat peraturan. Dengan kata lain, dalam undang-undang ini tidak ada atribusian maupun delegasian kewenangan pembentukan Peraturan BPK. Kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 15 Tahun Dalam undang-undang inilah pertama kali nama Peraturan BPK disebutkan secara jelas. Hal ini dapat dilihat dari 37 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Daring, <

16 rumusan Pasal 1 angka 17 yang mendefinisikan bahwa Peraturan BPK adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh BPK yang mengikat secara umum dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, BPK dapat mengeluarkan Peraturan BPK sebagaimana disebutkan dalam: Pasal 6 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan Peraturan BPK. Pasal 15 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diatur dengan peraturan BPK. Pasal 30 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK. Dengan demikian, keberadaan Peraturan BPK menjadi jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 karena sejak saat itu BPK memiliki kewenangan pembentukan Peraturan BPK yang secara tegas diperintahkan oleh undang-undang Dasar Pembentukan Peraturan BPK Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal dua macam sumber kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dasar pembentukan peraturan perundangundangan bisa berasal dari atribusi atau delegasi. Atribusi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (attributie van wetgeningsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau Wet kepada suatu lembaga negara/pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan. 38 Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas 38 Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 55.

17 maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan diwakilkan, dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. 39 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dibedakan unsur-unsur atribusian dan delegasian sebagai berikut: Tabel 1. Perbedaan Atribusi dan Delegasi dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan Atribusi Pemberian kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan oleh UUD atau UU kepada suatu lembaga negara Kewenangan diberikan Bersifat terus-menerus Kewenangan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri Delegasi Pelimpahan kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah Kewenangan tidak diberikan, tetapi diwakilkan Bersifat sementara Kewenangan baru dapat dilaksanakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada Sumber: Diolah oleh penulis dari Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal Dari pengertian di atas, bagaimanakah dasar pembentukan Peraturan BPK? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka tidak terlepas dari pembahasan mengenai keberadaan Peraturan BPK yang sebelumnya telah dijelaskan. Pertama, dilihat dari sumber kewenangan penentuan Peraturan BPK. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyebutkan perihal Peraturan BPK, namun hanya menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang. Hal tersebut merupakan amanat UUD untuk membuat undang-undang yang berkaitan dengan BPK kepada lembaga pembentuk undangundang, dalam hal ini yang memiliki atribusian untuk membentuk undang-undang adalah DPR bersama dengan Presiden berdasarkan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1). Berdasarkan perintah tersebut, maka keluar berbagai undang-undang yang berkaitan dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor Ibid., hal. 56.

18 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 40. Dalam undang-undang ini, disebutkan mengenai definisi Peraturan BPK dan bahwa Peraturan BPK akan digunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal tertentu sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kedua, jika dilihat dari rumusannya, undang-undang tidak memberikan kewenangan pembentukan peraturan, tetapi mewakilkan kewenangan tersebut sebatas menyangkut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK; tata cara pelaksanaan wewenang BPK; tata cara pemilihan anggota BPK; tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK; dan keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK. 41 Ketiga, kewenangan pembentukan Peraturan BPK bersifat sementara. Artinya jika UU BPK dicabut maka BPK tidak bisa membuat Peraturan BPK. Berbeda halnya dengan kewenangan DPR yang setiap saat bisa mengusulkan rancangan undang-undang dan membahasnya bersama dengan Presiden. Keempat, BPK tidak bisa membentuk Peraturan BPK atas prakarsa sendiri. BPK hanya bisa membentuk Peraturan BPK selama perintah untuk mengatur dalam UU BPK masih ada. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dasar pembentukan Peraturan BPK berasal dari delegasian kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (dalam hal ini UU BPK) kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Peraturan BPK). Namun dapatkah kewenangan pembentukan peraturan diberikan kepada BPK? Bukankah kewenangan pembentukan peraturan hanya dapat didelegasikan kepada lembaga eksekutif saja? Dalam perkuliahan Hukum Administrasi Negara, memang benar bahwa kewenangan pengaturan didelegasikan kepada pemerintah, berkaitan dengan fungsi pemerintahan yang di dalamnya terkandung juga fungsi pengaturan sebagaimana dijelaskan pada Bab II. Namun ada pengertian pemerintahan dalam arti luas yang dikemukakan oleh Jimly dalam bukunya yang meliputi kegiatan eksekutif, legislatif dan yudikatif. 42 Dalam Bahasa Inggris, pengertian 40 Undang-Undang lain yang berkaitan dengan Badan Pemeriksa Keuangan antara lain: UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 41 Lihat Undang-Undang Noor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 6 (6), Pasal 12, Pasal 15 ayat (5), dan Pasal 30 ayat (3). 42 Jimly Asshiddiqie (d), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. VII.

19 Government sendiri juga memiliki lingkup yang berbeda. Di Inggris, istilah Government hanya berkaitan dengan kekuasaan eksekutif dari suatu negara, yang meliputi kepala pemerintah dan kabinet serta seluruh pelaksana di bawahnya. Sementara di Amerika Serikat, pengertian Government mencakup kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. 43 Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, Jimly Asshiddiqie mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalam produk legislasi dan produk regulasi, sehingga muncul istilah legislative act dan executive act atau regulative act. Perbedaan antara legislasi dan regulasi adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur itu dari produk legislasi yang bersangkutan. 44 Dengan kata lain, legislative act adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif, sedangkan executive act atau regulative act adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif yang dasar pembentukannya biasanya berasal dari delegasi kewenangan dari legislative act. Lembaga eksekutif yang mengeluarkan produk regulasi tersebut tidak terbatas pada lembaga eksekutif dalam lingkup pemerintah saja, karena Jimly mendefinisikan executive act dalam arti sempit dan dalam arti luas. Executive act dalam arti sempit adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga eksekutif dalam rangka melaksanakan undang-undang. Sedangkan dalam arti luas, semua lembaga negara yang menetapkan sesuatu dalam rangka menjalankan ketentuan undang-undang apabila menetapkan suasuatu peraturan sebagai pelaksana undangundang yang bersangkutan, maka peraturan tersebut dapat pula disebut executive act. Sebagai executive act, bentuk peraturan yang dimaksud tidak disebut sebagai produk legislatif melainkan disebut sebagai produk regulatif atau regulasi, bukan legislasi. 45 Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan pengaturan dari pengertian eksekutif dalam arti luas. Kewenangan regulasi yang dimiliki BPK berasal dari kewenangan delegasian, yaitu dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 43 Safri Nugraha, dkk, op.cit., hal Jimly Asshiddiqie (c), op.cit., hal Ibid., hal

20 3.3. Kedudukan Peraturan BPK sebagai Peraturan Perundang-undangan Kedudukan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan diakui oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 46 Jika dilihat, rumusan tersebut tidak menyebutkan jenis peraturan perundang-undangan secara tegas, hanya menyebutkan peraturan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga. Dengan demikian peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tidak terbatas pada Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan saja, tetapi juga peraturan lain yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Namun sepanjang pencarian penulis, Badan Pemeriksa Keuangan tidak pernah mengeluarkan peraturan yang mengikat secara umum selain dalam bentuk Peraturan BPK. Untuk mengetahui kedudukan Peraturan BPK sebagai Peraturan Perundang-undangan, pertama harus dicari terlebih dahulu apakah Peraturan BPK dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan teori hierarki norma oleh Hans Nawiasky, yang didasarkan pada pemikiran Hans Kelsen bahwa Suta norma hukum di negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. 47 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis dan berjenjang, norma-norma hukum tersebut juga berkelompok ke dalam empat kelompok besar: Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang formal ) 46 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Penjelasan Pasal 7 ayat (4). 47 Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 44.

21 Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom) 48 Apabila Pancasila yang terdapat dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu merupakan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm), sedangkan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis yang berupa Konvensi Ketatanegaraan Negara merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), maka Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia yang merupakan formell Gesetz dan Verordnung & Autonome Satzung adalah Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga pemerintahan dalam perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan yang bersumber dari kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 49 Peraturan BPK, dalam kelompok di atas termasuk ke dalam kelompok keempat, yaitu sebagai peraturan pelaksana karena merupakan ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun Namun karena BPK bukan merupakan lembaga pemerintahan, maka kedudukan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan dinilai kurang tepat jika dilihat dari penjelasan tersebut karena peraturan pelaksana yang dimaksud adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga dalam ranah eksekutif. Sebenarnya ada dua pendapat mengenai peraturan perundang-undangan ini. Pertama, pendapat Hamid Attamimi dan Maria Farida yang menyatakan bahwa peraturan perundangundangan yang termasuk dalam aturan pelaksana hanya peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan. Pendapat ini dipengaruhi oleh teori pemerintahan dalam arti luas yang mana di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengatur sebagaimana diuraikan pada BAB II. Kedua, pendapat Jimly Asshiddiqe yang menyatakan bahwa peraturan pelaksana tidak hanya terbatas pada peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan, tetapi juga lembaga lain sepanjang lembaga tersebut adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang yang memerintahkannya. Jimly menyebut peraturan pelaksana tersebut dengan istilah executive act yang memiliki dua arti. Dalam arti sempit adalah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan dalam arti luas adalah peraturan yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pelaksana undang-undang. Pendapat Jimly inilah yang lebih diterima sehingga kemudian diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Ibid., hal Ibid., hal. 183.

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011 REPOSISI PERATURAN DESA DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Pendahuluan Ada hal yang menarik tentang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB IV PEMBAHASAN TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB IV PEMBAHASAN TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Posisi Peraturan Bank Indonesia Dalam Hierarki Peraturan Perundangundangan Membicarakan Posisi Peraturan Bank Indonesia

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa 16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Oleh Epita Eridani I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK The House of Representatives is a real

Lebih terperinci

BAB III. Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensi Peraturan Desa Sebagai Wujud. Demokratisasi di Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Desa

BAB III. Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensi Peraturan Desa Sebagai Wujud. Demokratisasi di Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Desa BAB III Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensi Peraturan Desa Sebagai Wujud Demokratisasi di Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Desa Untuk memahami bagaimana lembaga demokratisasi di desa dalam kaitannya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Armen Yasir, 2007. Hukum Perundang-Undangan. Bandar Lampung: Pusat Studi Universitas Lampung. Bagir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, maka keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan di Indonesia sebenarnya telah mulai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Definisi tentang peran bisa diperoleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1051) yang mengartikannya sebagai perangkat tingkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kelembagaan Negara 1.1.1 Teori Tentang Lembaga Negara Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,

Lebih terperinci

Abstract. Monika Suhayati *

Abstract. Monika Suhayati * KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Monika Suhayati * Abstract

Lebih terperinci

KEDUDUKAN BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA ABSTRACT

KEDUDUKAN BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA Sekar Anggun Gading Pinilih * ABSTRACT The existence of Bank Indonesia as the central bank explicitly

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Widayati, Absori, & Aidul Fitriciada Azhari Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta. Email: widayati.winanto@gmail.com

Lebih terperinci

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PERATURAN (REGELING) DAN PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDREGEL) DI BAWAH PERATURAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS

KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PERATURAN (REGELING) DAN PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDREGEL) DI BAWAH PERATURAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PERATURAN (REGELING) DAN PERATURAN KEBIJAKAN (BELEIDREGEL) DI BAWAH PERATURAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS BIRO HUKUM KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS AGUSTUS 2012 1 KATA PENGANTAR Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Tubagus Haryo Karbyanto, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejatien

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : H. ENDANG SUPRIATNA, S.H., M.Si. dan EVI NOVIAWATI, S.H.,

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

BAB III KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 31 BAB III KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG A. Hak Inisiatif DPD dalam Membuat Rancangan Undang-Undang Di dalam UUD 1945 Pasal 22D ayat (1); dijelaskan bahwasanya

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT AKIBAT HUKUM PENOLAKAN PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Oleh Anak Agung Ngurah Wisnu Shari Bhuana Kaleran Edward Thomas Lamury Hadjon Hukum Pemerintahan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 2, April-Juni 2014 ISSN 1978-5186 DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fakultas Hukum, Universitas Lampung Email: Martha.rianand@fh.unila.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun (1999, 2000, 2001, dan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang-

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang- 92 BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pemerintahan desa yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya mengenai hak angket terdapat pada perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Perundang-undangan: DAFTAR PUSTAKA Adams. Wahiduddin, 2012, Proses Penyusunan Peraturan Daerah, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, AR. Suharyono, 2012, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan Peraturann Perundangundangan,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. , 2002, Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. , 2002, Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA I. Buku-buku A. Hamid S. Attamimi, 1990, PERANAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM (DKPP) DALAM PEMILU LEGESLATIF DI KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2014 A. Kode Etik Penyelenggara Pemilu Amandemen UUD 1945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan dan Kewenangan Wakil Kepala Daerah dalam Menandatangani Produk Hukum Daerah Ditinjau dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hukum Perundang-Undangan (HPU) Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Rabu, 16 April 2008

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah ini

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. 112 DAFTAR REFERENSI BUKU Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Cet. 1. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHAN), 2005. Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara berdasarkan hukum pada

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM

BAB III SUMBER HUKUM BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016

Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016 KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR 1/MPR/2003, TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN SATUS HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR TAHUN 1960-2002 HUBUNGANNYA HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERATURAN DESA PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 SAIFUL / D

EKSISTENSI PERATURAN DESA PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 SAIFUL / D EKSISTENSI PERATURAN DESA PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 SAIFUL / D 101 07 461 ABSTRAK Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani *

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedikit mulai terusik dengan adanya pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT

PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT In the past, the Result of BPK investigation was only reported to The House of Representative.

Lebih terperinci

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati 118 IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Abstract The direction of the state is a guideline for state officials to

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR 2, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Email: bambangantariksa.sh.mh@gmail.com Abstract: Based

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu dalam Struktur Ketatanegaran Republik Indonesia Corruption Eradication Commission Institutional

Lebih terperinci

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 Yudi Widagdo Harimurti 2 Email : yudi.harimurti@trunojoyo.ac.id Abstrak Dasar hukum

Lebih terperinci

PROSPEK KEWENANGAN MPR DALAM MENETAPKAN KEMBALI KETETAPAN MPR YANG BERSIFAT MENGATUR*

PROSPEK KEWENANGAN MPR DALAM MENETAPKAN KEMBALI KETETAPAN MPR YANG BERSIFAT MENGATUR* Jurnal Hukum POSITUM Vol. 1, No. 1, Desember 2016, Hal 39-50 P-ISSN : 2541-7185 E-ISSN : 2541-7193 PROSPEK KEWENANGAN MPR DALAM MENETAPKAN KEMBALI KETETAPAN MPR YANG BERSIFAT MENGATUR* Hernadi Affandi**

Lebih terperinci