PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA"

Transkripsi

1 PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Abstract: Based on the theory of the hierarchical structure of the legal system, states that the legal system is a tiered and layered in a structure (hierarchy). This paper discusses application of hierarchy of Laws and Regulations in Indonesia. The results confirm that the implementation of hierarchy of laws and regulations has been employed in the legal system following the Indonesian state administration system. UUD 1945 (amendment) explicitly mentions the existence of hierarchy of laws and regulations through institutions examining the hierarchy of laws and regulations, namely the Constitutional Court and Supreme Court, as well as the Laws concerning the hierarchy of laws and regulations. Keyword: hierarchy, laws and regulations Abstrak: Berdasarkan teori hierarki norma hukum, disebutkan bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu tata susunan (hierarki). Tulisan ini membahas mengenai penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Hasil Penelitian menunjukkan penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah diterapkan didalam sistem hukum yang mengikuti sistem ketatanegaraan di Indonesia. UUD 1945 (amandemen) secara eksplisit menyebutkan adanya hierarki Peraturan Perundang-Undangan melalui lembaga yang menguji hierarki Peraturan Perundang- Undangan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Kata Kunci: hierarki, peraturan, perundang-undangan Pendahuluan Hans Kelsen dikenal dengan teorinya tentang Hierarki Norma Hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Menurutnya, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

2 dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). 1 Berdasarkan teori di atas, maka hierarki dapat diartikan sebagai penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya, Hans Nawiasky, menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Menurut Nawiasky, bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokkan norma hukum dalam suatu negara tersusun dalam Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan, yaitu: 1). Staats Fundamentalnorm/Grundnorm (norma fundamental negara). 2). Staatsgrund Gezets (aturan dasar negara/pokok negara). 3). Formell Gezets (undang-undang). 4). Verordnung & Autonome Satzung (peraturan pelaksana dan aturan otonomi). 2 Bagi Indonesia, terhitung sejak lahirnya Negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka terbentuklah pula sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Apabila dibandingkan dengan teori jenjang norma hukum (Stufenbau Theorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, maka dapat dilihat adanya cerminan dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia maka norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, 1 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Ibid, 44, Lihat juga Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 39. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

3 sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu Pancasila. 3 Penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak lepas dari pengaruh politik yang kemudian membentuk sistem ketatanegaraan di Indonesia. Seperti disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, melainkan berada pada kedudukan yang kait-mengkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah, bahwa hukum harus senantiasa melakukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hukum mempunyai dinamika. Politik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan kepada iure constituendi, hukum yang seharusnya berlaku. 4 John Austin, salah seorang pelopor positivisme hukum, menyebutkan bahwa hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataankenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup. 5 Sejalan dengan pendapat John Austin di atas, Mahfud MD mengatakan bahwa pernyataan hukum sebagai produk politik adalah benar jika didasarkan pada das Sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif 3 I b i d, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. VI), Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, diakses 29 April 2017, Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

4 maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik. 6 Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah, bagaimanana penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan dalam Ketatanegaran Indonesia? Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian normatif atau penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan/studi dokumen baik bahan hukum primeir, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, sesuai masalah dalam penelitian. Bahan hukum primeir yang dimaksud terdiri dari: 1) Pancasila; 2) UUD 1945; 3) Ketetapan MPR; 4) Peraturan Perundang-Undangan; 5) Yurisprudensi; 6) Traktat. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primeir dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primeir, antara lain: 1) Rancangan peraturan-peraturan Perundang-Undangan; 2) Hasil karya ilmiah para sarjana; 3) Hasil-hasil penelitian. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder, misalnya: 1) Bibliografi; dan 2) Indek kumulatif. 7 6 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), 112. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

5 Pembahahasan Penerapan Hierakhi Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan teori Nawiasky seperti tersebut di atas, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Hamid menunjukkan struktur tata hukum berdasarkan teori tersebut adalah: 1). Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945; 2). Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) adalah Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR dan Konvensi Ketatanegaraan; 3). Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) adalah Undang-Undang; 4). Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) adalah secara hierarki mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. 8 Munir Fuady menyatakan bahwa teori hierarki Peraturan Perundang- Undangan telah banyak dipraktekkan diberbagai negara di dunia ini. Indikasi yang membuktikan berlakunya teori tersebut dalam suatu negara, dilihat antara lain jika dalam negara tersebut terdapat: 1). Adanya suatu lembaga yang khusus menganalisis apakah suatu undang-undang atau praktik kenegaraan bertentangan dengan konstitusi atau tidak. 2). Peran dari parlemen (yang membuat undang-undang sangat tinggi dengan kewenangan yang luas. 3). Peran dari pengadilan tidak begitu penting. 4). Sistem pemberantasan pidana yang lebih bersifat menjerakan dan represif, dengan mengabaikan usaha-usaha yang bersifat kuratif dan preventif. 5). Sistem hukum dan penerapan hukumnya sangat bersifat legalistik Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

6 6). Sistem hukum dan penegakan hukum yang sangat berorientasi pada sanksi dan hukuman. 9 UUD 1945 (Amandemen), yakni dalam Pasal 24 C ayat (1) menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 24 C ayat (1) memberikan pemahaman kepada kita bahwa secara substansi hukum, adanya hierarki yang lebih tinggi dari Undang-Undang Dasar sebagai Staatsgrundgesetz atau aturan pokok negara/aturan dasar negara dibandingkan dengan formeel Gesetz atau undang-undang. Selain itu tersirat juga makna norma hukum yang lebih rendah (undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi (Undang-Undang Dasar). Pasal tersebut juga menegaskan adanya sruktur hukum berupa lembaga Mahkamah Konstitusi yang khusus menganalisis apakah suatu undang-undang atau praktik kenegaraan bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Pasal lain dalam UUD 1945 yang mendeskripsikan secara tidak langsung adanya hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah Pasal 24 A ayat (1) yang menyebutkan: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Pasal ini dapat dipahami bahwa secara hierarki, kedudukan Formeel Gesetz atau Undang-Undang adalah lebih tinggi dari Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung). Peraturan Pelaksanaan dan peraturan Otonom tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, Pasal 24 A ayat (1) mengatur adanya kewenangan secara struktur hukum yakni lembaga 9 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

7 Mahkamah Agung untuk menguji sengketa antara Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang dengan Undang-Undang. Pendapat yang disampaikan oleh Munir Fuady tentang indikasi penerapan teori hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, menunjukkan bahwa penerapan teori hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah diterapkan didalam sistem hukum di Indonesia. Secara subtansi hukum, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka, telah diterbitkan beragam Peraturan Perundang- Undangan yang menerapkan sistem hierarki serta adanya lembaga (struktur hukum) yang menguji hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan dan Ketatanegaraan Indonesia Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak lepas dari sistem ketatanegaraan di Indonesia. Bahkan hal tersebut sudah dimulai sejak masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yakni sejak tahun 1800 sampai dengan Demikian juga pada masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 hingga tahun Setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa berlakunya UUD 1945 dari tahun 1945 hingga tahun 1949, tidak terdapat ketentuan hukum positif yang mengatur tentang hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan yang digunakan dalam praktek penyelengaraan pemerintahan tidak disusun berdasarkan hierarki, tetapi semata-mata hanya berdasarkan fakta dari jenis produk hukum yang berlaku pada saat itu. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat produk hukum yang diberlakukan, yakni: 1). Penetapan Presiden; 2). Peraturan Presiden; 3). Penetapan Pemerintah; 10 Bambang Antariksa, Qanun Bendera dan Lambang Aceh di Persimpangan Jalan, Validitas Produk Hukum daerah Dalam Perspektif Penerapan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, (Medan: Sofmedia, 2016), Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

8 4). Maklumat Pemerintah; 5). Maklumat Presiden; 6). Pengumuman Pemerintah. 11 Berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 hingga tahun 1950, pengaturan mengenai hierarki hierperaturan Perundang- Undangan, baru diatur secara implisit didalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 (UU No. 1/1950) tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. 12 Pasal 1 UU No. 1/1950 disebutkan: Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah: a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Menteri. Mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 UU No. 1/1950 yang menyebutkan: Tingkat kekuatan Peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1. Sehingga, pada masa Konstitusi RIS, jenis dan bentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sesuai hierarkinya adalah: 1). Konstitusi RIS; 2). Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3). Peraturan Pemerintah; 4). Peraturan Menteri. Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, tidak ada Peraturan Perundang-Undangan yang diterbitkan secara khusus mengatur tentang hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Jenis Peraturan Perundang- Undangan yang ada pada masa itu adalah: 1). UUDS 1950; 2). Undang-undang yang dibentuk oleh Pemerintah bersama dengan DPR; 11 Maria Farida Idrati, Op.Cit, Bambang Antariksa, Loc.Cit, 39. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

9 3). Undang-Undang Darurat; 4). Peraturan Pemerintah. Selain itu, dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara masih terdapat beberapa produk hukum yang berlaku yakni: 1). Peraturan Menteri; 2). Keputusan Menteri; dan 3). Peraturan Tingkat Daerah. 13 Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli Dekrit ini ditetapkan melalui Penetapan Presiden yang isinya menyatakan: 1). Pembubaran Konstituante; 2). Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950; dan 3). Pembentukan MPRS dan DPAS. Pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, maka seharusnya jenis dan bentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku adalah seperti pada awal berlakunya UUD Akan tetapi, berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara, tanggal 20 Agustus 1959, mengenai jenis Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, sehingga bentuk Peraturan Perundang-Undangan menjadi sebagai berikut: 1). UUD 1945; 2). Ketetapan MPR; 3). UU/Perpu/Penetapan Presiden; 4). Peraturan Presiden/Peraturan Pemerintah; 5). Keputusan Presiden; 6). Peraturan Menteri; 13 Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013), 57. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

10 7). Keputusan Menteri. 14 Surat Presiden tersebut kemudian dijawab oleh DPR dengan Surat No /DPR-RI/1959 tanggal 28 September 1959, yang kemudian dijawab lagi oleh Presiden dengan Surat No. 3639/HK/59, tanggal 26 November 1959, yang pokok isinya adalah: UUD 1945, KRIS 1949 dan UUDS 1950 memberi wewenang kepada lembaga negara untuk membuat produk hukum, tetapi tidak memberikan nama terhadap produk hukum yang dibuat tersebut. UUD 1945 hanya mengenal Undang- Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sehingga masing-masing lembaga negara memberikan nama secara sendiri-sendiri terhadap produk hukum yang dibuatnya. Untuk mencapai keseragaman, maka disarankan tindakan MPR diberi nama Keputusan MPR, Undang-Undang dibuat bersama antara DPR dan Presiden, persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) atau Undang-Undang Darurat oleh DPR dapat menggunakan Undang-Undang atau Keputusan DPR, adanya PERPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Penetapan Presiden dan Keputusan Presiden. 15 Selain jenis Peraturan sebagaimana disebutkan di atas, dalam praktek masih terdapat pula Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri, yang dibuat di Kementerian- Kementerian Negara/Departemen-Departemen Pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan/meresmikan pengangkatan-pengangkatan. Ketetapan (TAP) MPRS dan Peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II. 16 Setelah berakhirnya rezim Orde Lama, dan dalam rangka memberikan ketertiban mengenai sumber tertib hukum, pada Tahun 1966 MPRS menetapkan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, yang terdiri atas: 14 I b i d, I b i d, Noor M Aziz, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi Peraturan Perundang- Undangan Diluar Hierarki Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010), 30. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

11 1). UUD RI 1945; 2). Tap MPR; 3). Undang-Undang/Perpu; 4). Peraturan Pemerintah; 5). Keputusan Presiden; 6). Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya. 17 Paska runtuhnya rezim Orde Baru dan memasuki masa reformasi, pada tahun 2000, dikeluarkanlah Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan mengenai Jenis dan hierarki/tata urutan Peraturan Perundang-Undangan yang semula diatur dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menjadi tidak berlaku setelah ditetapkannya Ketetapan (TAP) MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 menentukan bahwa Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia adalah: 1). Undang-Undang Dasar 1945; 2). Ketetapan MPR; 3). Undang-Undang; 4). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU); 5). Peraturan Pemerintah; 6). Keputusan Presiden; 7). Peraturan Daerah. Pasal 4 ayat (2) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 menyebutkan: Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh 17 Bambang Antariksa, Op.Cit, 43. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

12 Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan Peraturan Perundang-Undangan ini. Maka, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) di atas, jenis Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku pada saat berlakunya TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tidak hanya sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 tetapi juga mencakup jenis peraturan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut, hanya saja yang tidak jelas adalah dimana letaknya dalam tata urutan. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan TAP MPR Nomor III/MPR/2003, telah menempatkan PERPU di bawah Undang-Undang. Bila kita merujuk kepada Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa: Dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Oleh karenanya, penempatan PERPU dibawah undangundang tidak tepat dan tidak sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, karena pada dasarnya kedudukan PERPU setingkat undang-undang. 18 Pada tahun 2004, dikeluarkanlah UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana telah menetapkan mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, menyebutkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia adalah: 1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 3). Peraturan Pemerintah; 4). Peraturan Presiden; 5). Peraturan Daerah. Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 juga mengakui jenis Peraturan Perundang-Undangan selain yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4), 18 Maria Farida Indrati, Op. Cit, Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

13 Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud mencakup peraturan yang dikeluarkan oleh: MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau oleh Pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) ini jelas bahwa peraturan yang ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang dijelaskan tersebut merupakan jenis Peraturan Perundang-Undangan, yang belum jelas adalah dimana letaknya dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Permasalahan lain dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, adalah tidak dimasukkannya Ketetapan MPR didalam tata urutan perundang-undangan. Karena berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yakni dalam Pasal 2 dan Pasal 4, masih terdapat 14 Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku. Oleh karenanya, tidak dicantumkan Ketetapan MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah suatu hal yang tidak tepat karena masih ada ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum di Indonesia. Dilihat dari sifat norma hukum didalamnya, seharusnya Ketetapan MPR diletakkan dibawah Undang-Undang Dasar karena sifatnya termasuk kedalam kelompok Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) dan lebih tinggi dari undang-undang. 19 Ketetapan MPR yang masih berlaku hingga saat ini 20 diantaranya adalah: 1. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap 19 I b i d, Bambang Antariksa, Op.Cit, Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

14 Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. 2. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. 3. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme. 4. TAP Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. 6. TAP MPR Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. 7. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 8. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. 9. TAP MPR Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 10. TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. 11. TAP MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 12. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. 13. TAP MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 14. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UU No. 10 Tahun 2004 ini kemudian digantikan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada UU No. 12 Tahun Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

15 211, Ketetapan MPR sudah dimasukkan kembali kedalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, yang posisinya berada di bawah UUD Menurut UU No. 12 Tahun 2011, yakni pada Pasal 7 ayat (1), disebutkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah: 1). Undang-Undang Dasar tahun 1945; 2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4). Peraturan Pemerintah; 5). Peraturan Presiden; 6). Peraturan Daerah Provinsi; dan 7). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain yang belum disebut dalam Pasal 7 ayat (1), diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yaitu: Jenis Peraturan Perundang- Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Perundang-Undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Akan tetapi, seperti terjadi pada UU No. 10/2004, Peraturan Perundang-Udangan diluar ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11/2012 meski diakui keberadaannya dan kekuatan Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

16 hukumnya, tetapi belum jelas letak masing-masing Peraturan Perundang-Undangan tersebut secara hierarki. 21 Penutup Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah diterapkan didalam sistem hukum yang mengikuti sistem ketatanegaraan di Indonesia, yakni sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia merdeka, hingga masa reformasi, melalui diterbitkannya beragam Peraturan Perundang-Undangan yang menerapkan sistem hierarki. UUD 1945 (amandemen) secara eksplisit menyebutkan adanya hierarki Peraturan Perundang- Undangan melalui adanya lembaga yang menguji hierarki Peraturan Perundang- Undangan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta adanya Undang- Undang yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan, seperti UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bibliography Books Antariksa, Bambang, Qanun Bendera dan Lambang Aceh di Persimpangan Jalan, Validitas Produk Hukum daerah Dalam Perspektif Penerapan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Medan: Sofmedia, Asshiddiqie, Jimly Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, Aziz, Noor M, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi Peraturan Perundang-Undangan Diluar Hierarki Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, I b i d, 48. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

17 Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, , Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, Mahfud MD, Moch, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. VI. Trijono, Rachmat, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, Websites Zoelva, Hamdan, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, diakses 29 April 2017, Laws Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

18 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Nomor RI 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Deliberatif Vol 1, No 1, Juni

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at MPR DAN PERUBAHAN STRUKTUR KETATANEGARAAN Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004. Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Cetakan Pertama, Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD 1945 Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM Abstrak Salah salah satu berkah reformasi adalah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dimana

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3

BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3 BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3 PERATURAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. TAP MPR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Widayati, Absori, & Aidul Fitriciada Azhari Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta. Email: widayati.winanto@gmail.com

Lebih terperinci

Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia

Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis Di Negara kita (Indonesia) hukum tidak tertulis dan hukum tertulis berfungsi untuk mengatur

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : H. ENDANG SUPRIATNA, S.H., M.Si. dan EVI NOVIAWATI, S.H.,

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Sebagaimana judul di atas, dalam Bab ini pula akan membahas dua point, yaitu hasil penelitian dan analisis. Dalam point pertama, yaitu hasil penelitian, terdapat dua

Lebih terperinci

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 2, April-Juni 2014 ISSN 1978-5186 DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fakultas Hukum, Universitas Lampung Email: Martha.rianand@fh.unila.ac.id

Lebih terperinci

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak Kedududukan TAP MPR, Implikasi, Hirarki Peraturan Perundang-undangan. 90 KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA Oleh : Irwandi,SH.MH. 1 Abstrak Terjadinya

Lebih terperinci

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR 2, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas: Problematika Kedudukan Tap MPR 121 PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Tyan Adi Kurniawan

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Lahir : Solo, 14 Juni 1949 Alamat Rumah : Jl. Margaguna I/1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Alamat Kantor : Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Lebih terperinci

Abstract. Monika Suhayati *

Abstract. Monika Suhayati * KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Monika Suhayati * Abstract

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA Ismail Marzuki Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram e-mail:mailmarzuki78@yahoo.com

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Malik Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang Abstrak KETETAPAN MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1 Yudi Widagdo Harimurti 2 Email : yudi.harimurti@trunojoyo.ac.id Abstrak Dasar hukum

Lebih terperinci

CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009

CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009 CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009 Posted on Maret 5, 2010 by nestiituagnes CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang dasar 1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PENDAHULUAN 1 PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 2 Tuntutan Reformasi Sebelum Perubahan Latar Belakang Perubahan Tujuan Perubahan Antara lain: Amandemen UUD 1945 Penghapusan

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia

Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia 142 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 1 VOL. 22 JANUARI 2015: 142-162 Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hirarki Perundang-Undangan di

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/ penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan Pejabat Presiden

Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/ penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan Pejabat Presiden D A F T A R I S I KATA SAMBUTAN...iii KATA PENGANTAR...v Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1960 Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan. di Perpustakaan Nasional RI. oleh : Suwarsih, MSi.

Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan. di Perpustakaan Nasional RI. oleh : Suwarsih, MSi. Tajuk Entri Bahan Pustaka Karya Perundang-undangan di Perpustakaan Nasional RI oleh : Suwarsih, MSi. I. Pendahuluan Pengolahan bahan pustaka merupakan salah satu inti dari tugas perpustakaan. Bahan pustaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat agar dapat berjalan tertib dan teratur PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Adalah peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kelembagaan Negara 1.1.1 Teori Tentang Lembaga Negara Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PENDAHULUAN 1 PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 2 Tuntutan Reformasi Sebelum Perubahan Latar Belakang Perubahan Antara lain: Amandemen UUD 1945 Penghapusan doktrin Dwi

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, bahkan

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN Oleh SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitisi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang POKOK BAHASAN 1. Perdebatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati*

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati* Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 70-89 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

9/29/2010 BASIC LAW FUNDAMENTAL NORM

9/29/2010 BASIC LAW FUNDAMENTAL NORM FUNDAMENTAL NORM Konstitusi yg tertulis dimiliki oleh hampir sebagian besar negara modern dan konstitusi ada di seluruh negara yg demokratis. Eric Barendt dlm Bambang Wijayanto BASIC LAW Konstitusi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur mengenai. tugas dan wewenang serta masing-masing lembaga yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur mengenai. tugas dan wewenang serta masing-masing lembaga yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses peradilan tindak pidana korupsi sebenarnya sama dengan tindak pidana yang lain yaitu dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 AMMAR ABDULAH ARFAN Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Majalengka, Jl. KH.

Lebih terperinci

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM DAN IMPLIKASI PERSETUJUAN MENTERI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA WAHANA INOVASI VOLUME 3 No.1 JAN-JUNI 2014 ISSN : 2089-8592 REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA Haposan Siallagan Dosen Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Oleh: Jamal Wiwoho Disampaikan dalam Acara Lokakarya dengan tema Penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR : Evaluasi Terhadap Akuntablitas Publik Kinerja Lembaga-Lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA ABSTRACT

EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA ABSTRACT EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA Oleh : Malik Ibrahim Dosen Fakultas Hukum Universitas 7 Agustus 945 Samarinda

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara.. & Apakah KONSTITUSI? 1. Akte Kelahiran suatu Negara-Bangsa (the birth certificate of a nation state); 2. Hukum Dasar atau hukum yang bersifat fundamental sehingga menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB III PENJELASAN 1. Proses Penyusunan Rancangan Undang - Undang 2. Penyusunan RUU Berdasarkan Program Legislasi Nasional ( Prolegnas )

BAB III PENJELASAN 1. Proses Penyusunan Rancangan Undang - Undang 2. Penyusunan RUU Berdasarkan Program Legislasi Nasional ( Prolegnas ) BAB III PENJELASAN 1. Proses Penyusunan Rancangan Undang - Undang Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. 112 DAFTAR REFERENSI BUKU Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Cet. 1. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHAN), 2005. Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website : KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA NEGARA SETELAH

Lebih terperinci

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia LEMBAGA LEMBAGA NEGARA Republik Indonesia 1. Sumbernya a. Berdasarkan UUD (Constitutionally entrusted powers) b. Berdasarkan UU (Legislatively entrusted powers) 2. fungsinya a. lembaga yang utama atau

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI LATAR BELAKANG MASALAH SEBELUM AMANDEMEN Substansial (regulasi) Struktural Cultural (KKN) Krisis Pemerintahan FAKTOR YANG

Lebih terperinci

Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016

Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016 KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR 1/MPR/2003, TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN SATUS HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR TAHUN 1960-2002 HUBUNGANNYA HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat)

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) 1 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) sehingga penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SUMBER PENELITIAN SEJARAH DOKUMEN / ARSIP BENDA / PRASASTI PELAKU SEJARAH SISTEM PRA KEMERDEKAAN PENJAJAHAN

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA THE EXISTENCE OF MPR/S PROVISION IN HIERARCHY OF LAWS AND REGULATIONS IN INDONESIA M. Saoki Oktava Magister Ilmu Hukum

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1, Volume 3, Tahun 2015 EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D 101 10 362 ABSTRAK Tujuan penulis

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Norma dan Asas Hukum Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang biasa dikenal

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang biasa dikenal BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang biasa dikenal juga penelitian teoritis hukum karena tidak mengkaji pelaksanaan ataupun implementasi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB IV PEMBAHASAN TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB IV PEMBAHASAN TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Posisi Peraturan Bank Indonesia Dalam Hierarki Peraturan Perundangundangan Membicarakan Posisi Peraturan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ------------ BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI TAHUN 2011 BAHAN TAYANGAN MATERI SOSIALISASI

Lebih terperinci