Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016"

Transkripsi

1 KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR 1/MPR/2003, TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN SATUS HUKUM KETETAPAN MPRS/MPR TAHUN HUBUNGANNYA HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011, TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh *) Abstrak Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD Berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan, pasca amandemen UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam. Menurut penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. Pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi masalahnya akan berdampak kepada soal uji materi mengenai lembaga negara manakah yang akan berwenang menguji TAP MPR jika keberadaannya melanggar UUD Kedua, Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR/MPRS kembali dilakukan pembuat undang-undang, ini menunjukkan kebingungan pembuat UU itu sendiri untuk menempatkan posisi yang tepat mengenai status hukum Tap MPR. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun Ini berarti, Ketetapan MPRS/MPR dari tahun perlu diteliti dan disisir kembali apa saja yang menjadi bagian dari hukum. Memperhatikan dengan saksama Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR tahun , berarti Tap MPR yang belum dicabut dan masih diakui itu, merupakan bagian dari hukum yang keberadaanya mengikat, baik ke dalam maupun keluar anggota majelis. Kata Kunci : Ilmu Perundang-undangan, Peraturan Perundang-undangan A. PENDAHULUAN STATUS HUKUM KETETAPAN MPR Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang *) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 28

2 Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR kembali dilakukan pembuat undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011, memasukkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Peraturan Perundang- Undangan dibawah UUD Meski sebelumnya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, TAP MPR ditempatkan urutan kedua di bawah UUD Namun, setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Status Hukum TAP MPR justru dihilangkan dari hierarki tata urutan Peraturan Perundang-Undangan. Disini terlihat tampak kebingungan pembuat Undang- Undang untuk menentukan Status Hukum Ketetapan MPR tersebut, apakah bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan atau tidak. Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/ MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan pasca amandemen UUD 1945, yang mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) 1 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Aturan Tambahan psl. I. mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam. Gambaran Umum perbandingan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan TAP MPR No: III/MPR/2000 dengan UU. No. 10 Tahun 2004 dan UU. No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan- Undangan: Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. UUD 1945; 2. TAP MPR; 3. UU/PERPU; 4. PP; 5. PERPRES; 6. PERDA PROVINSI; 7. PERDA KABUPATEN KOTA Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 memuat pengelompokan Ketetapan MPR/MPRS sejak Dalam pengelompokan ini masing-masing Ketetapan MPRS/MPR pada hakekatnya merupakan putusan yang bersifat penetapan yang bersifat individual, konkrit dan final, tidak lagi merupakan peraturan yang bersifat umum dan abstrak yang mengikat kedalam dan keluar. Pengelompokan tersebut menempatkan Ketetapan MPRS/MPR ke dalam lima kelompk yaitu, Ketetapan Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 29

3 MPRS/MPR yang memuat aturan yang sekaligus memberi tugas kepada Presiden: Ketetapan MPR MPR/MPRS yang bersifat penetapan (beschikking): Ketetapan MPR/MPRS yang bersifat mengatur kedalam (intern regeling); Ketetapan MPR yang bersifat deklaratif; Ketetapan MPRS/MPR yang bersifat rekomendasi dan perundang-undangan. 2 Dikutip dari Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Putusan MPR yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI. Berdasar Ketetapan MPR tersebut diatas status hukum Ketetapan MPRS/MPR dikelompokkan menjadi 6 (enam) kategori, yaitu: Pasal I TAP MPR No. I/MPR/2003 TAP MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku ada (8 Ketetapan) yaitu; 1. Ketetapan MPRS RI Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. 2 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Cetakan I, 1998, hal. 54 dalam Rachmani Puspita Dewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 25 No. 4, Oktober 2007, hal Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2011), hal Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/ 1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan. 4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/ 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lem-baga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. 5. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/ 1988 tentang Pemilihan Umum. 6. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR /1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. 7. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/ MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. 8. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Kedelapan TAP tersebut telah berakhir masa berlakunya dan/atau telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/ Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. 2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/ MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 30

4 3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Pasal 3 TAP MPR No. I/MPR/2003 TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ada 8 (delapan) Ketetapan, yaitu; 1. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/ 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/ 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 3. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/ MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/ 2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. 5. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. 6. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/ 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/ 2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional. 8. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/ 2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Kedelapan TAP tersebut tidak berlaku karena Pemerintahan hasil Pemilu 2004 telah terbentuk. Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang ada 11 (sebelas) Ketetapan, yaitu; 1. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/ 1966 Pengangkatan Pahlawan Ampera. 2. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 3. TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan. 5. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. 6. TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 7. TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. 8. TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 31

5 9. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan. 10. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/ 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN. 11. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/ 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 5 TAP MPR No. I/MPR/2003 Tap MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 ada 5 (lima) Ketetapan, yaitu; 1. TAP MPR No. II/MPR/ TAP MPR No. I/MPR/ TAP MPR No. II/MPR/ TAP MPR No. V/MPR/ TAP MPR No. V/MPR/2002 Sudah tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya Peraturan Tata Tertib MPR hasil Pemilu Pasal 6 TAP MPR No. I/MPR/2003 TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan ada 104 (seratus empat) Ketetapan. UU. No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan telah menempatkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Tata Urutan Peraturan Perundang- Undangan dibawah UUD Setelah menyimak dengan saksama akhirnya dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara manakah yang berwenang melakukan uji materi TAP MPR tersebut?. 2. Apakah TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis?. 3. Sudah tepatkah TAP MPR dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan?. B. PEMBAHASAN LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 1. Istilah Konstitusi Istilah Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah Konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Grondwet. 3 Perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar. Di negaranegara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. 4 Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang- Undang Dasar), L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau grondwet (Undang- Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, 3 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal Sri Soemantri M, Susunan Ketatanegaraan menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia,(Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 29. Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 32

6 dalam disertasinya menyebutkan Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. 5 Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negaranegara dunia termasuk di Indonesia. Konstitusi suatu negara termuat di dalam Undang-Undang Dasar(Grondwet, fundamental law) dan berbagai aturan Konvensi. Bahkan Inggris tidak memiliki Undang-Undang Dasar. Konstitusinya terdiri dari beberapa prinsip dan aturan yang timbul dan berkembang selama berabad-abad sejarah bangsa dan negaranya. Para sarjana politik berpendapat bahwa harus dibedakan antara negara berkonstitusi dan negara yang mempunyai pemerintahan Konstitusional (constitution state, constitutional government). Negara yang mempunyai konstitusi (mempunyai Undang- Undang Dasar yang lengkap dan indah) belum tentu mempunyai pemerintahan yang konstitusional Die Theorie vom stufenordnung der Rechtsnormen Hans Kelsen, dalam Maria Farida (2007: 41) dikemukakan oleh Monika Suhayati menyatakan, Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen merupakan teori yang dikemukakan oleh Hans Nowiasky. Teori ini dikembangkan dari Stufentheorie dari Hans Kelsen. Hans Kelsen dari teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) menyatakan bahwa norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis menyatakan dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih 5 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,(Bandung: Alumni, 1987), hal.1 6 Prajudi Admosudirdjo, Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia- Inggris, Cet. 1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hal.5 rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar dikatakan pre-supposed. 7 Menurut Hans Kelsen, hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain itu. Karena, norma hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dengan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut pertama. 8 Teori jenjang norma hukum diilhami dari seorang murid Hans Kelsen yang 7 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russell&Russel, 1945, hal. 113 Dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hal. 41. Disampaikan oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011, hal. 179 diterjemahkan dari General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal.184 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 33

7 bernama Adolf Merkl. Adolf Merkl mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz), yaitu suatu norma hukum keatas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi kebawah suatu norma hukum juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya. Oleh karena itu suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, dimana masa berlaku suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau terhapus pula. 9 Diilhami teori Adolf Merkl tersebut, Hans Kelsen mengemukakan dalam hal susunan atau hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) menjadi tempat bergantungnya norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar berubah maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada dibawahnya. 10 Sthufentheori kemudian dikembangkan oleh salah satu murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky dalam die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen, yang 9 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang- Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang- Undangan (1), hal. 41. Dalam Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal.185 menyatakan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok. Pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara), staatsgrundgesetz (aturan dasar negara atau aturan pokok negara), formeel gezetz (undang-undang formal), verordnung@autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom). 11 Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) merupakan norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara. Norma fundamental negara merupakan norma tertinggi dalam suatu negara dan tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat Presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum dibawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan lagi merupakan norma yang tertinggi Hans Nawiasky, Allgemene Rechts als System der rechtlichen Grundbegriffe, Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, cet. 2, 1948, hal. 31 dst dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1), hal Disampaikan oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang- Undangan (1), hal. 46. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 34

8 Menurut Hans Nawiasky, staatsfundamentalnorm berisi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm berisi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm yaitu syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. 13 Sedangkan staatsgrundgesetz (aturan dasar negara atau aturan pokok negara) merupakan kelompok norma hukum dibawah staatsfundamentalnorm. Norma dari staatsgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga merupakan norma hukum tunggal. Suatu staatsgrundgeset dapat dituangkan di dalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar. Di dalam setiap staatsgrundgesetz biasanya diatur hal-hal mengenai Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang- Undangan (1), hal. 46. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal.186 pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, hubungan antar lembaga-lembaga negara dan hubungan antar negara dengan warga negaranya Perundang-Undangan yang Berlaku Indonesia sebagai negara hukum, ditegaskan didalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: Negara Indonesia adalah negara hukum, untuk mewujudkan Negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 22A UUD 1945, yang menyebutkan: ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Bagir Manan, di dalam Monika Suhayati, peraturan Perundang-Undangan merupakan: a. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku atau yang bersifat umum; b. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan; c. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum abstrak atau abstrak umum, artinya tidak meng- 14 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang- Undangan (1), hal. 46. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal.186 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 35

9 atur atau tidak ditujukan pada obyek, perisiwa atau gejala konkret tertentu; d. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemen verbindende voorschrift yang meliputi antara lain de supra-nationale algemeen verbindende voorchrifen, wet, AmvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciaale staten verordeningen. 15 Pengertian perundang-undangan (wetgeving) dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut: 1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik ditingkat pusat, maupun ditingkat daerah; 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional, makalah disampaikan pada pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, Oktober 1994, hal. 1-3 dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundangundangan (1), hal Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd hanwoordenboek, Groningen/Batavia: J.B. Wolters, 1948 dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1), hal Ketetapan MPR/MPRS Ketetapan MPR/MPRS sebelum perubahan UUD 1945 mempunyai kekuatan mengikat kedalam Anggota MPR/MPRS dan juga mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar anggota MPRS/MPR yaitu kepada lembaga tertinggi negara, Presiden, legislatif, yudikatif, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan serta kepada seluruh lapisan masyarakat. 17 Ketetapan MPR/MPRS merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahannya. Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan sumber dan dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 18 Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perun- Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1982, hal Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundangundangan (1), hal. 90. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal.188 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 36

10 dang-undangan yang berlaku ataukah tidak. 19 Menurut Sri Soemantri, hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 20 Jadi hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Apabila suatu Undang-Undang dilihat dari isinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Lembaga negara yang diberi wewenang untuk melakukan uji materi Undang-Undang terhadap UUD adalah Mahkamah Konstitusi sebagaimana kewenangnya diatur di dalam Pasal 24C UUD Harun Al Rasid, menyatakan bahwa secara yuridis, UUD 1945 masih berlaku sementara, walaupun berlakunya UUD tersebut dengan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang kemudian disetujui oleh DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, appeal tersebut berdasarkan pasal 3 UUD 1945 sebagai tugas MPR untuk menetapkan UUD Dekrit presiden merupakan political decision yang sudah tidak bisa diubah lagi, dengan demikian persetujuan DPR terhadap dekrit tersebut sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai efek yuridis, karena DPR fungsinya membuat undang-undang Sri Soemantri M, Hak Menguji Material Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal Ibid.,hal.8 21 Harun Al Rasid, Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR, Menurut Yamin, harus jelas bagi rakyat apakah Undang-Undang Dasar akan menuju pada Republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu, Undang-Undang Dasar harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalahmasalah yang berkaitan dengan Negara dan juga memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya, singkatnya kebebasankebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu, serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita. 22 ANALISA 1. Tereduksinya Kewenangan MPR Pasca amandemen UUD 1945, MPR kewenangannya menjadi tereduksi, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Monika Suhayati, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan ini mengamanatkan kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat, bertugas memberi mandat kepada penyelenggara negara lainnya, yang wajib memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang diberikan. 23 Hamid S. Attamimi dengan meminjam (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003), hal Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Cet.2, (Jakarta: Temprint, 2001), hal Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 37

11 istilah JJ Rousseau dalam Monika Suhayati menggambarkan kedudukan dan kualitas rakyat dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Citoyen atau burger (rakyat yang berdaulat). Setelah MPR dibentuk, rakyat asli dinamakan suyet atau onderdaan (rakyat yang diperintah). 24 Kehendak MPR adalah kehendak rakyat yang berdaulat (citoyen/burer) dan MPR berarti Majelis Perundingan/negotiation/deliberation rakyat 25, sedangkan kehendak rakyat yang diperintah diwakili oleh DPR. Sebagai pemegang kedaulatan Rakyat, Ketetapan MPR/ MPRS berada langsung dibawah UUD 1945 dan di atas undang-undang dalam hierarki peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Jakarta: FHUI, 1990, hal dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006, hal. 47. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal Muhamad Ridwan Indra, MPR Selayang Pandang. Jakarta: Haji Masagung, 1984, hal.19 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal. 47, Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat hal.189 tentang memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia serta Ketetapan MPR No. III/MPR /2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan. Perubahan Pasal I ayat (2) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan salah satu lembaga negara diantara lembaga negara lainnya yang memiliki kedudukan setara, namun dengan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berbeda. MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagi parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan kedaulatan rakyat, sekaligus menandai tamatnya doktrin supremasi MPR yang menyebutkan MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara dan bahwa karena MPR memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesia Constitutional Reform : An Evaluation of Constitutional Making Transtition, Bandung: Penerbit Mizan, 2007, hal Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat DPR-RI, 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.191 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 38

12 Perubahan UUD 1945 lainnya yang mempengaruhi kewenangan MPR yaitu perubahan pada Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD Pasal 3 UUD 1945 Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Setelah mengalami perubahan, Pasal 3 UUD 1945 berbunyi: 1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD; 2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; 3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Sedangkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan meniadakan kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 meniadakan kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden. Perubahan Pasal 3 UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Maria Farida Indrati, di dalam Monika Suhayati telah mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan yang berisi peraturan yang berlaku keluar. Hilangnya kewenangan untuk membentuk ketetapan yang mengatur keluar tersebut merupakan akibat adanya ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut mempunyai akibat bahwa presiden tidak lagi mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab menjalankan garis-garis besar daripada haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, oleh karena presiden bukan lagi merupakan mandataris MPR. 27 Pasca Perubahan UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya berwenang mengeluarkan putusan yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam MPR. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar diatur di dalam TAP MPR No: I/MPR/2003, Tentang Peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun Menurut Jimly, di dalam Monika Suhayati setelah perubahan UUD 1945, pada hakekatnya MPR tetap dapat disebut sebagai suatu institusi yang tersendiri, meskipun kedudukannya tidak lagi bersifat tertinggi dikarenakan UUD 1945 menentukan MPR ditentukan terdiri atas anggota DPR dan DPD, dan UUD 1945 juga menentukan adanya kewenangan MPR yang bersifat tersendiri maka mau tidak mau MPR juga harus dipahami sebagai suatu lembaga yang tersendiri. MPR masih diberi wewenang untuk memilih dalam rangka mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang kosong, kewenangan memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Hanya saja sifat pekerjaan MPR 27 Maria Farida S., Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, al Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.192 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 39

13 tidak bersifat tetap dan terus-menerus, melainkan hanya bersifat Ad Hoc. 28 Perubahan kewenangan MPR setelah perubahan UUD 1945 diikuti dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR/MPRS dari hierarki peraturan perundangundangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun Ketentuan ini menempatkan undang-undang langsung berada dibawah UUD C. PENUTUP Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun masih terdapat beberapa Ketetapan MPR/MPRS yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, menurut Monika Suhayati, (2011:2007) terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan memasukkan kembali Ketetapan MPR/MRS dalam hierarki peraturan perundang-undangan atas dasar Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Ketetapan MPR/ MPRS yang substansinya belum secara keseluruhan digantikan dengan Undang-Undang antara lain, tentang Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966 mengenani pembubaran Partai Komunis Indonesia, Ketetapan MPR Nomor: XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Ketetapan MPR Nomor: 28 Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2011), hal.193 V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang sudah digantikan dengan undang-undang antara lain, Ketetapan MPR Nomor: XI/MPR/ 1998, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang- Undangan; Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000, Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 29 Saya sependapat dengan analisa Monika Suhayati (2011: ), bahwa Ketetapan MPRS/MPR yang dimasukkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011 apabila dikaji menurut teori Hans Nawiasky adalah tepat. Karena merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrungezets) sebagaimana dengan batang tubuh UUD 1945, selain itu, Ketetapan MPRS/MPR sebelum perubahan UUD 1945 merupakan landasan pembentukan Undang-Undang (formeel gezetz) dan peraturan lain yang lebih rendah. Sehingga dengan adanya Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrundgezet) yang mana berkedudukan dibawah UUD 1945 dan di atas undang-undang. Namun Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi jika disimak dengan saksama akan berdampak kepada soal uji materi. Lembaga negara manakah yang berwenang menguji TAP MPR jika melanggar UUD 1945? 29 Ibid, hal. 207 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 40

14 Kedua, meski pasca amandemen UUD 1945 kedudukan MPR mengalami pergeseran dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara, bersebab, antara lain kewenangannya dipangkas secara signifikan tidak memilih presiden lagi, namun dalam prakteknya, MPR tetap sebagai lembaga tertinggi negara. MPR selain dapat menghapus dan menambah sederetan lembagalembaga negara melalui perubahan UUD 1945, MPR yang berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bersalah melakukan pelanggaran hukum, baik penyuapan, pengkhianatan terhadap negara atau melakukan perbuatan tercela. Dalam hal permasalahan ini saran penulis : 1. Jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara yang berwenang melakukan uji materi idealnya MPR itu sendiri. Karena MPR yang mengeluarkan TAP MPR, MPR sendiri yang mengetahui isi kandungannya. 2. TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis karena TAP MPR bagian dari peraturan perundang-undangan. 3. TAP MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, mengingat TAP MPR amanat Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun D. DAFTAR PUSTAKA Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia, 2003 Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966 Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004 Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006 Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987 Garna, Judistira. Pemikiran Modern dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Primaco Akademika, 1997 Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbi Kanisius, 2007 Indriati S., Maria Farida. Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD Yuridika. Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 41

15 Indrayana Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reformn : An Evaluation of Contitutional- Making Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007 Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968 Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011 Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993 Mertokusumo,Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004 Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante ), Jakarta: Temprint, 2001 Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989 Puspita Dewi, Rachmani. Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah perubahan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 25 No. 4, Oktober 2007 Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 42

Abstract. Monika Suhayati *

Abstract. Monika Suhayati * KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Monika Suhayati * Abstract

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at MPR DAN PERUBAHAN STRUKTUR KETATANEGARAAN Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan

Lebih terperinci

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia

Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis Di Negara kita (Indonesia) hukum tidak tertulis dan hukum tertulis berfungsi untuk mengatur

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004. Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Cetakan Pertama, Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD 1945 Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM Abstrak Salah salah satu berkah reformasi adalah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : H. ENDANG SUPRIATNA, S.H., M.Si. dan EVI NOVIAWATI, S.H.,

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas: Problematika Kedudukan Tap MPR 121 PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Tyan Adi Kurniawan

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR 2, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA Ismail Marzuki Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram e-mail:mailmarzuki78@yahoo.com

Lebih terperinci

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak Kedududukan TAP MPR, Implikasi, Hirarki Peraturan Perundang-undangan. 90 KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA Oleh : Irwandi,SH.MH. 1 Abstrak Terjadinya

Lebih terperinci

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Email: bambangantariksa.sh.mh@gmail.com Abstract: Based

Lebih terperinci

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 2, April-Juni 2014 ISSN 1978-5186 DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fakultas Hukum, Universitas Lampung Email: Martha.rianand@fh.unila.ac.id

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/ penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan Pejabat Presiden

Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/ penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan Pejabat Presiden D A F T A R I S I KATA SAMBUTAN...iii KATA PENGANTAR...v Ketetapan-ketetapan MPRS-RI Tahun 1960 Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Sebagaimana judul di atas, dalam Bab ini pula akan membahas dua point, yaitu hasil penelitian dan analisis. Dalam point pertama, yaitu hasil penelitian, terdapat dua

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3

BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3 BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3 PERATURAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. TAP MPR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PENDAHULUAN 1 PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 2 Tuntutan Reformasi Sebelum Perubahan Latar Belakang Perubahan Tujuan Perubahan Antara lain: Amandemen UUD 1945 Penghapusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Lahir : Solo, 14 Juni 1949 Alamat Rumah : Jl. Margaguna I/1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Alamat Kantor : Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PENDAHULUAN 1 PENDAHULUAN PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 2 Tuntutan Reformasi Sebelum Perubahan Latar Belakang Perubahan Antara lain: Amandemen UUD 1945 Penghapusan doktrin Dwi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Malik Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang Abstrak KETETAPAN MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya

Lebih terperinci

CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009

CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009 CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2009 Posted on Maret 5, 2010 by nestiituagnes CONTOH SOAL-SOAL LOMBA CERDAS CERMAT UUD NRI 1945 DAN TAP MPR TINGKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 Jurnal Ilmu Hukum Rechtsidee Vol. 2 No. 1, Januari - Juni 2015, hlm. 1-77 tersedia daring di: PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 PROBLEMATIC

Lebih terperinci

DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract

DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Lebih terperinci

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional Dewi Triwahyuni AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional revision To alter the constitution Constitutional

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011 Rechtsidee Available online at: Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011 Problematika Ketetapan MPR Pasca Reformasi dan Setelah Terbitnya Undang-Undang No. 12 Tahun

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati*

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati* Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 70-89 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 Oleh : Masriyani, SH.MH Abstract Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website : KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA NEGARA SETELAH

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Widayati, Absori, & Aidul Fitriciada Azhari Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta. Email: widayati.winanto@gmail.com

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN UUD

SEJARAH PERKEMBANGAN UUD SEJARAH PERKEMBANGAN UUD [18 Agustus 1945 dan Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959] Dr. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2017 Pokok Bahasan

Lebih terperinci

BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ------------ BAHAN TAYANGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI TAHUN 2011 BAHAN TAYANGAN MATERI SOSIALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 AMMAR ABDULAH ARFAN Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Majalengka, Jl. KH.

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang dasar 1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

UUD Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959

UUD Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 UUD 1945 Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 11/9/2008 Sub-Pokok Bahasan Alasan pemberlakuan kembali UUD

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR I/MPR/2003 TENTANG

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR I/MPR/2003 TENTANG KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR I/MPR/2003 TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN STATUS HUKUM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA DAN KETETAPAN MAJELIS

Lebih terperinci

EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA ABSTRACT

EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA ABSTRACT EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA Oleh : Malik Ibrahim Dosen Fakultas Hukum Universitas 7 Agustus 945 Samarinda

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. 112 DAFTAR REFERENSI BUKU Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Cet. 1. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHAN), 2005. Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Laurensius Arliman S Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang Jalan A.R.Hakim No.6, Padang, Sumatera Barat laurensiusarliman@gmail.com

Lebih terperinci

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945 BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945 A. SEJARAH PELAKSANAAN DAN AMANDEMEN UUD 1945 MPR hasil Pemilu 1999, mengakhiri masa tugasnya dengan mempersembahkan UUD 1945 Amandemen IV. Terhadap produk terakhir

Lebih terperinci

PROSPEK KEWENANGAN MPR DALAM MENETAPKAN KEMBALI KETETAPAN MPR YANG BERSIFAT MENGATUR*

PROSPEK KEWENANGAN MPR DALAM MENETAPKAN KEMBALI KETETAPAN MPR YANG BERSIFAT MENGATUR* Jurnal Hukum POSITUM Vol. 1, No. 1, Desember 2016, Hal 39-50 P-ISSN : 2541-7185 E-ISSN : 2541-7193 PROSPEK KEWENANGAN MPR DALAM MENETAPKAN KEMBALI KETETAPAN MPR YANG BERSIFAT MENGATUR* Hernadi Affandi**

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa 16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Armen Yasir, 2007. Hukum Perundang-Undangan. Bandar Lampung: Pusat Studi Universitas Lampung. Bagir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

PENGUJIAN NORMA HUKUM KETETAPAN MPR NO. XI/MPR/1998 DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENGUJIAN NORMA HUKUM KETETAPAN MPR NO. XI/MPR/1998 DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENGUJIAN NORMA HUKUM KETETAPAN MPR NO. XI/MPR/1998 DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Agus Rasyid Candra Wijaya Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sukabumi Jl. R. Syamsudin No. 50, Cikole,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1

Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan

Lebih terperinci

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati 118 IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Abstract The direction of the state is a guideline for state officials to

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berhentinya Presiden Soeharto di tengah-tengah krisis ekonomi dan moneter menjadi awal dimulainya era reformasi di Indonesia. 1 Dengan adanya reformasi, masyarakat berharap

Lebih terperinci

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Oleh: Jamal Wiwoho Disampaikan dalam Acara Lokakarya dengan tema Penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR : Evaluasi Terhadap Akuntablitas Publik Kinerja Lembaga-Lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, bahkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara berdasarkan hukum pada

Lebih terperinci

9/29/2010 BASIC LAW FUNDAMENTAL NORM

9/29/2010 BASIC LAW FUNDAMENTAL NORM FUNDAMENTAL NORM Konstitusi yg tertulis dimiliki oleh hampir sebagian besar negara modern dan konstitusi ada di seluruh negara yg demokratis. Eric Barendt dlm Bambang Wijayanto BASIC LAW Konstitusi menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 24 November 2008

PERATURAN PRESIDEN. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 24 November 2008 PERATURAN PRESIDEN R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 24 November 2008 Pokok Bahasan Peristilahan Perpres (persandingan dengan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA THE EXISTENCE OF MPR/S PROVISION IN HIERARCHY OF LAWS AND REGULATIONS IN INDONESIA M. Saoki Oktava Magister Ilmu Hukum

Lebih terperinci

Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Perundang-undangan: DAFTAR PUSTAKA Adams. Wahiduddin, 2012, Proses Penyusunan Peraturan Daerah, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, AR. Suharyono, 2012, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan Peraturann Perundangundangan,

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia LEMBAGA LEMBAGA NEGARA Republik Indonesia 1. Sumbernya a. Berdasarkan UUD (Constitutionally entrusted powers) b. Berdasarkan UU (Legislatively entrusted powers) 2. fungsinya a. lembaga yang utama atau

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan

Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan Posted by KuliahGratisIndonesia Materi soal Undang-undang merupakan salah satu komposisi dari Tes Kompetensi Dasar(TKD) yang mana merupakan

Lebih terperinci

STATUS HUKUM KETETAPAN MPR/S PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

STATUS HUKUM KETETAPAN MPR/S PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN STATUS HUKUM KETETAPAN MPR/S PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Triyanto Prodi PPKn FKIP Univ. Sebelas Maret Surakarta Email: try_uns@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci