Perbedaan Parenting Self-Efficacy pada Ibu dengan Commuter Marriage dan Ibu yang Tinggal dengan Suaminya
|
|
- Sugiarto Sudjarwadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Perbedaan Parenting Self-Efficacy pada Ibu dengan Commuter Marriage dan Ibu yang Tinggal dengan Suaminya Prisilia Riski, Erniza Miranda Madjid Sebuah pengaturan rumah tangga yang pada sebagian waktunya salah satu dari pasangan tinggal di dekat tempat kerjanya disebut dengan istilah commuter marriage. Menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan dapat membuat ibu yang menjalani commuter marriage mengalami kelelahan fisik dan emosional (Bergen, 2006). Ketidakberadaan suami dalam keseharian ibu yang menjalani commuter marriage mungkin dapat mengakibatkan berkurangnya dukungan suami pada ibu. Dukungan dari suami dapat mempengaruhi parenting self-efficacy pada ibu (Tsou, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan parenting self-efficacy pada ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Tiga puluh orang ibu dengan commuter marriage dan tiga puluh orang ibu yang tinggal dengan suaminya menjadi partisipan dalam penelitian ini. Parenting self-efficacy ibu diukur dengan menggunakan Self-Efficacy for Parenting Tasks Index (Coleman & Karraker, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Beberapa jenis pekerjaan memerlukan perjalanan jauh atau mengharuskan pekerjanya untuk menetap di lokasi kerja (seperti bidang pertambangan, militer, dan lain-lain). Tuntutan pekerjaan ini dapat membuat pekerja yang telah menikah harus tinggal terpisah dengan pasangan dan anak-anaknya. Pasangan yang tinggal terpisah ini bertemu kembali setiap jangka waktu tertentu. Pengaturan rumah tangga seperti ini disebut dengan istilah commuter marriage (Gerstel & Gross, 1982; Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006; Bergen, 2006; Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Commuter marriage sebagai salah satu alternatif bagi pasangan suami-istri kini semakin meningkat jumlahnya. Biro Sensus Amerika Serikat pada tahun 2006 melaporkan bahwa 3.6 juta orang warga Amerika yang sudah menikah tinggal terpisah dari pasangan mereka. Pada bulan Maret 2009, Worldwide ERC, asosiasi untuk mobilitas tenaga kerja, merilis sebuah laporan yang mengungkapkan bahwa tiga perempat dari 174 agen relokasi yang disurvei telah menangani setidaknya satu
2 commuter marriage pada tahun 2007, naik 53% sejak 2003 (Conlin, 2009). Chamratrithirong, Morgan, dan Rindfuss (dalam Schvaneveldt dkk., 2001) memperkirakan 41% pasangan di daerah pusat Thailand tinggal terpisah setelah menikah. Di Indonesia belum ditemukan data yang menyebutkan jumlah pasangan yang tinggal terpisah secara pasti, namun berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2008 (dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2008), jumlah tenaga kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) mencapai sekitar 1.8 juta orang. Tenaga kerja AKAD sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebanyak 1.6 juta, sementara tenaga kerja AKAD perempuan hanya berjumlah sekitar 212 ribu orang. Menurut data Sakernas, yang dimaksud konsep Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) adalah mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan sekali. Pekerja dengan mobilitas seperti ini diasumsikan memiliki tempat tinggal yang jauh dari lokasi atau tempat kerjanya. Selain tenaga kerja AKAD, di Indonesia juga terdapat tenaga kerja Antar Kerja Antar Negara (AKAN) yang umumnya disebut dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW). Berdasarkan data Sakernas, penempatan TKI di luar negeri berjumlah setiap tahunnya antara 450 ribu sampai dengan 700 ribu selama periode Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cenderung lebih banyak lakilaki yang bermigrasi demi karir mereka daripada perempuan, sementara perempuan cenderung menjadi trailing spouse (atau disebut juga tied mover), yaitu pihak yang ikut bermigrasi dengan pasangannya demi karir pasangannya (Van der Klis, 2009). Hal ini sesuai dengan data yang ditemukan di Indonesia bahwa tenaga kerja AKAD sebagian besar adalah laki-laki. Berdasarkan fakta ini, dapat diasumsikan bahwa terdapat fenomena ibu yang harus mengasuh anak-anak tanpa kehadiran ayah dalam kesehariannya jika ibu tersebut tidak ikut bermigrasi bersama suaminya.
3 Menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan dapat membuat ibu yang menjalani commuter marriage mengalami kelelahan fisik dan emosional (Bergen, 2006). Ketidakberadaan suami karena secara terus-menerus berpergian atau bekerja yang merupakan ciri-ciri dari commuter marriage, jika merujuk pada hasil penelitian Tsou (2010), ternyata merupakan salah satu indikator pernikahan yang dianggap negatif oleh para ibu. Peran sebagai orang tua (parenthood) terlalu penting dan terlalu banyak memakan waktu untuk diserahkan kepada satu orang (Dienhart; Risman & Johnson-Sumerford, dalam Olson & DeFrain, 2006). Oleh karena itu, kondisi keluarga dengan commuter marriage yang pada kesehariannya jauh dari ayah mungkin dapat mempengaruhi pengasuhan (parenting) dalam keluarga tersebut. Salah satu elemen kognitif yang penting dalam kompetensi di bidang parenting adalah parenting self-efficacy, yaitu perkiraan pribadi orang tua mengenai kompetensi mereka dalam peran sebagai orang tua atau persepsi mereka terhadap kemampuan mereka untuk mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak-anak mereka secara positif (Coleman & Karraker, 2000). Tingkat parenting self-efficacy yang tinggi secara kuat diasosiasikan dengan kapasitas orang tua untuk menyediakan lingkungan yang adaptif, menstimulasi, dan memelihara anak. Sebaliknya, tingkat parenting self-efficacy yang rendah diasosiasikan dengan parental depression, parental stress, masalah perilaku pada anak, dan sebagainya (Coleman & Karraker, 2000). Dukungan dari suami dapat mempengaruhi parenting self-efficacy pada ibu (Tsou, 2010). Terlebih lagi, dari semua sumber dukungan sosial yang mungkin didapatkan oleh ibu, yang paling berhubungan dengan parenting self-efficacy ibu adalah dukungan suami (Elder dkk., 1995). Ketidakberadaan suami dalam keseharian ibu yang menjalani commuter marriage mungkin dapat mengakibatkan berkurangnya dukungan suami pada ibu dan dapat berpengaruh terhadap parenting self-efficacy ibu. Akan tetapi sejauh ini belum ada penelitian mengenai parenting self-efficacy pada commuter marriage. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat
4 perbedaan antara parenting self-efficacy pada ibu yang menjalani commuter marriage dengan ibu yang tinggal serumah dengan suaminya. Parenting Self-Efficacy Self-efficacy yang dikemukakan oleh Albert Bandura (1977) adalah keyakinan (belief) seseorang bahwa ia mampu secara sukses menampilkan perilaku tertentu. Self-efficacy dipercaya menjadi prediktor langsung dari praktik parenting yang positif (Tsou, 2010). Self-efficacy dalam ranah parenting disebut dengan istilah parenting self-efficacy. Parenting self-efficacy adalah perkiraan pribadi orang tua mengenai kompetensi mereka dalam peran sebagai orang tua atau persepsi mereka terhadap kemampuan mereka untuk mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak-anak mereka secara positif (Coleman & Karraker, 2000). Terdapat lima domain dari tugas parenting pada anak usia kanak-kanak madya menurut Coleman dan Karraker (2000), antara lain pencapaian anak di sekolah (achievement), kebutuhan anak untuk berekreasi dan bersosialisasi (recreation), penetapan disiplin (discipline), pengasuhan secara emosional (nurturance), serta pemeliharaan kesehatan fisik anak (health). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy diantaranya adalah pengetahuan orang tua mengenai parenting (Tomczewski, 2009), pengalaman orang tua dengan anak-anak (Coleman & Karraker, 2000), pengalaman masa kecil orang tua (Tsou, 2010), tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi orang tua (Holloway, Suzuki, Yamamoto, & Behrens, 2005), serta dukungan sosial yang diterima oleh orang tua (Elliot, 2007). Commuter Marriage Pada umumnya, pasangan suami-istri tinggal dalam satu kediaman bersama anak-anak mereka, akan tetapi kini terdapat beberapa pasangan yang sehari-harinya tinggal di tempat berbeda dan bertemu kembali dalam jangka waktu tertentu. Beberapa peneliti menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut kondisi ini. Gerstel dan Gross (1982) menyebutnya commuter marriage, dan istilah ini sering
5 digunakan pula oleh peneliti lain, seperti Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006), Bergen (2006), serta Papalia, Olds, dan Feldman (2009). Selain itu ada pula istilah commuter family dari Anderson dan Spruill (1993), dual-resident marriage dari Schvaneveldt, Young, dan Schvaneveldt (2001), living apart together dari Adams (2004), serta commuter partnership dari Van der Klis (2009). Van der Klis (2009) mengadaptasi istilah commuter marriage dari Gerstel dan Gross (1982) menjadi commuter partnership untuk memasukkan pasangan yang tidak menikah. Commuter marriage atau commuter partnership menurut Van der Klis (2009) adalah sebuah pengaturan rumah tangga yang tidak biasa, yang pada sebagian waktunya salah satu dari pasangan tinggal di dekat tempat kerjanya dan jauh dari rumah keluarganya karena jarak antara rumah dengan tempat kerjanya terlalu jauh untuk ditempuh sebagai perjalanan sehari-hari. Alasan commuter marriage adalah kebutuhan ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan (Schvaneveldt dkk., 2001). Kondisi keluarga dan kondisi tempat tinggal yang tidak memungkinkan seluruh keluarga untuk ikut bermigrasi juga terkadang menjadi pertimbangan untuk menjalani commuter marriage (Green dkk., dalam Van der Klis, 2009). Keuntungan dari commuter marriage adalah meningkatnya karir atau pendidikan (Gerstel & Gross, dalam Bergen, 2006), konsentrasi pada pekerjaan (Bergen, 2006), keuntungan finansial (Schvaneveldt dkk., 2001), otonomi dan independensi (Bergen, 2006), serta meningkatnya dinamika keluarga (Jackson, Brown, & Patterson-Stewart, 2000). Kerugian dari commuter marriage dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kerugian secara finansial (financial costs), kerugian secara fisik dan emosional (physical and emotional costs), serta kerugian secara sosial (social costs) (Bergen, 2006). Financial costs adalah biaya transportasi yang digunakan oleh pasangan untuk berkumpul kembali, biaya sewa atau pembelian rumah kedua, biaya pengeluaran rumah tangga dari kedua rumah, dan biaya untuk memelihara komunikasi antar pasangan melalui telepon atau internet. Physical and emotional costs adalah waktu yang diperlukan dan stres yang diakibatkan perjalanan jauh jika pasangan ingin berkumpul, kelelahan fisik dan emosional karena menjaga
6 rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan, serta rasa kesepian karena terpisah dari pasangan, keluarga maupun teman. Social costs adalah kehidupan sosial yang terbatas dan merasa aneh karena tidak sesuai dengan norma budaya pasangan yang menikah pada umumnya. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap enam puluh orang ibu dengan anak usia kanak-kanak madya, yaitu anak berusia 5 hingga 12 tahun (Bornstein, 2002). Partisipan terdiri dari tiga puluh orang ibu yang sedang menjalani commuter marriage dan tiga puluh orang ibu yang tinggal dengan suaminya. Untuk mengetahui parenting self-efficacy pada partisipan, peneliti menggunakan SEPTI (Self-Efficacy for Parenting Tasks Index) yang dikembangkan oleh Coleman dan Karraker (2000). Selain itu, untuk mendapatkan gambaran mengenai commuter marriage yang dijalani oleh partisipan, peneliti menyertakan pertanyaan-pertanyaan tambahan seputar commuter marriage. Tipe penelitian ini adalah penelitian aplikatif, deskriptif, dan kuantitatif. Desain penelitian ini termasuk penelitian cross-sectional, retrospektif, dan noneksperimental. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling, convenience sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Teknik statistik yang digunakan peneliti untuk mengolah data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Independent sample t-test, ANOVA (Analysis of Variance), dan statistika deskriptif. Hasil Penelitian Usia partisipan secara keseluruhan berkisar antara 31 hingga 50 tahun. Partisipan pada kelompok ibu dengan commuter marriage mayoritas berusia dewasa muda, sekitar tahun, dan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya mayoritas berusia dewasa madya, sekitar tahun. Suami partisipan secara keseluruhan berusia antara 31 hingga 55 tahun keatas. Sama seperti istri mereka,
7 suami partisipan pada kelompok commuter marriage mayoritas berusia dewasa muda, sekitar tahun, dan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya mayoritas berusia dewasa madya, sekitar tahun. Mayoritas partisipan berpendidikan S1dan tidak bekerja. Mayoritas partisipan pada kelompok ibu dengan commuter marriage memiliki pengeluaran keluarga per bulan Rp 5 juta Rp 10 juta. Pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, mayoritas pengeluaran keluarga partisipan per bulan adalah Rp 3 juta Rp 5 juta. Pengaturan keuangan keluarga baik pada kelompok ibu dengan commuter marriage maupun pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, mayoritas diserahkan kepada partisipan sebagai istri. Tabel 1 Gambaran Bentuk Keterlibatan Suami dalam Pengasuhan Anak Bentuk Keterlibatan Commuter Marriage Ibu yang tinggal dengan suaminya f % f % Bertanggung jawab secara finansial % % Mendidik anak dengan nilai-nilai tertentu % % Menjadi teman bermain bagi anak % 15 50% Mengawasi perilaku anak % % Mendukung ibu secara emosional 12 40% 21 70% Memastikan bahwa anak dalam lingkungan yang % % aman Terlibat dalam urusan sekolah anak 9 30% % Membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga 6 20% 6 20% Tidak mengisi 0 0% % Bentuk keterlibatan suami yang paling banyak dilaporkan oleh partisipan, baik pada kelompok commuter marriage maupun ibu yang tinggal dengan suaminya, adalah bertanggung jawab secara finansial, sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah membantu pekerjaan rumah tangga. Partisipan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya menyebutkan tiga bentuk keterlibatan yaitu mengawasi perilaku anak, mendukung ibu secara emosional, dan terlibat dalam urusan sekolah anak, lebih banyak jumlahnya daripada kelompok ibu dengan commuter marriage.
8 Berdasarkan hasil perhitungan komparasi mean skor parenting self-efficacy antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor parenting selfefficacy pada ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya (t=-0.778, sig=0.493, p>0.05). Pada kelompok ibu dengan commuter marriage, tidak terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan pada aspek pekerjaan (F=1.308, sig= 0.294, p>0.05). Begitu pula pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan pada aspek pekerjaan (F=1.258, sig=0.313, p>0.05). Pada kelompok ibu dengan commuter marriage, terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek pendidikan (F=3.459, sig=0.022, p<0.05). Sebaliknya, pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek pendidikan dalam kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya (F =0.475, sig=0.702, p>0.05). Terdapat perbedaan mean parenting self-efficacy yang signifikan berdasarkan aspek pengeluaran per bulan dalam kelompok ibu dengan commuter marriage (F =4.948, sig=0.008, p<0.05). Pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan berdasarkan aspek pengeluaran per bulan (F=1.424, sig=0.258, p>0.05). Mayoritas partisipan (86.67%) melaporkan bahwa yang menjadi alasan mereka menjalani commuter marriage adalah pekerjaan suami yang lokasi kerjanya jauh dari rumah atau mengharuskan suami untuk menetap di lokasi kerjanya. Jarak antara tempat tinggal partisipan dengan suaminya bervariasi dari satu kota hingga beda negara. Sebanyak 53.33% partisipan melaporkan bahwa suami mereka tinggal di kota yang berbeda dengan mereka namun masih berada dalam satu pulau. Mayoritas partisipan (50%) melaporkan bahwa mereka bertemu dengan suami mereka beberapa kali per bulan, rata-rata 3 kali dalam sebulan. Sejumlah 20% partisipan melaporkan pertemuan dengan suami mereka beberapa kali per minggu, rata-rata 3 kali dalam seminggu.
9 Tabel 2 Gambaran Commuter Marriage Aspek Variasi Jumlah Persentase Alasan menjalani Pekerjaan suami % commuter marriage Pekerjaan istri % Pendidikan suami % Pendidikan istri % Pendidikan anak % Anak tidak betah % Harus merawat keluarga % Jarak Satu kota % tempat tinggal Beda kota, satu pulau % partisipan Beda pulau % dengan suaminya Beda negara 3 10% Frekuensi Beberapa kali per minggu 6 20% pertemuan Beberapa kali per bulan 15 50% partisipan Beberapa kali per tahun % dengan suaminya Lainnya 6 20% Tidak mengisi % Mulai Sejak awal pernikahan % commuter marriage Sebelum mempunyai anak % Setelah mempunyai anak 21 70% Hal-hal positif yang Konsentrasi terhadap % dirasakan partisipan pekerjaan/anak selama menjalani Keuntungan finansial % commuter marriage Otonomi & independensi 18 60% Dinamika keluarga meningkat 12 40% Anak lebih mandiri 3 10% Lebih sabar % Hal-hal negatif Kesepian % yang dirasakan Kesulitan mengasuh anak % partisipan Waktu untuk bersama kurang % selama menjalani Hilangnya intimasi 9 30% commuter marriage Tekanan sosial % Lelah fisik & emosional 15 50% Anak kurang dekat dengan % ayahnya Tidak bisa melayani suami 3 10% Sejumlah 6.67% partisipan melaporkan bahwa mereka bertemu dengan suami mereka beberapa kali per tahun, rata-rata 3 kali setahun. Selain itu, 20% partisipan memiliki pola frekuensi pertemuan yang berbeda seperti 1 kali per 2 bulan, 1 kali
10 dalam 3 bulan, 1 kali per 21 hari, 3 bulan dalam setahun, dan ada pula suami partisipan yang pulang selama 4 minggu lalu bekerja selama 6 minggu, serta ada yang pulang selama 2-3 bulan lalu kembali bekerja selama 5-6 bulan. Hal-hal positif yang dirasakan oleh partisipan selama menjalani commuter marriage diantaranya adalah mereka dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaan dan anak, mendapatkan keuntungan finansial, mendapatkan otonomi dan independensi dalam menjalani kegiatan sehari-hari, dinamika keluarga meningkat karena interaksi efektif, anak menjadi lebih mandiri, dan partisipan menjadi lebih sabar. Dari semua itu, yang paling banyak disebutkan oleh partisipan adalah otonomi dan independensi (60%). Selain itu, selama menjalani commuter marriage partisipan juga merasakan hal-hal negatif seperti kesepian, kesulitan mengasuh anak, kurangnya waktu bersama dengan suami, hilangnya intimasi dengan suami, adanya tekanan sosial, merasa lelah secara fisik maupun emosional, anak menjadi kurang dekat dengan ayahnya, dan khawatir karena tidak dapat melayani suami. Mayoritas partisipan (50%) menyebutkan mengenai kelelahan secara fisik maupun emosional karena harus menjaga rumah tangga dan anak sendirian. Sebanyak 43.33% partisipan menilai pertemuan dengan suami mereka memuaskan. Jika dikonversikan ke dalam angka, penilaian tersebut adalah 5 dari skala 1-6. Hanya satu partisipan yang memberikan nilai 1 untuk suaminya, yang berarti sangat tidak memuaskan. Mayoritas partisipan (50%) menilai bahwa commuter marriage cukup umum di Indonesia, yang berarti bernilai 4 dari skala 1-6. Hampir seluruh partisipan (86.67%) melaporkan bahwa mereka tidak berencana untuk terus menjalani commuter marriage. Diskusi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan parenting self-efficacy ibu yang tinggal dengan suaminya. Ada beberapa hal yang menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan ini. Pertama, tidak terdapatnya perbedaan
11 yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Kedua, adanya faktor-faktor selain dukungan suami yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu seperti dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan teman (Holloway, Suzuki, Yamamoto, & Behrens, 2005), pengetahuan mengenai parenting (Tomczewski, 2009), pengalaman dengan anak-anak (Coleman & Karraker, 2000), pengalaman masa kecil (Tsou, 2010), serta tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi (Holloway dkk., 2005) yang mungkin dapat membantu meningkatkan parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu adalah dukungan suami. Bentuk dukungan dari suami diantaranya adalah partisipasi suami secara aktif dalam perawatan anak dan pendidikan anak, menjamin keamanan finansial, serta dukungan emosional kepada istri (Tsou, 2010). Dalam penelitian ini, keterlibatan ayah maupun dukungan suami tidak diteliti secara mendalam. Peneliti hanya menanyakan persepsi ibu terhadap keterlibatan suami mereka dalam pengasuhan anak dan bentuk keterlibatan suami tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Mayoritas partisipan, baik pada kelompok commuter marriage maupun pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya, menilai bahwa suami mereka terlibat dalam pengasuhan anak. Bentuk keterlibatan suami yang paling banyak dilaporkan oleh partisipan adalah bertanggung jawab secara finansial sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak mungkin membuat kehadiran suami dalam keseharian ibu tidak begitu berpengaruh terhadap parenting self-efficacy ibu. Selain itu, ibu dan anak secara umum menghabiskan lebih banyak waktu bersama daripada ayah dan anak (Bornstein, 2002). Ibu memegang hampir seluruh tugas untuk mengatur dalam
12 keluarga, misalnya mengatur jadwal anak untuk mandi dan mengerjakan PR (Brooks, 2011). Bentuk keterlibatan suami yang paling banyak dilaporkan oleh partisipan adalah bertanggung jawab secara finansial. Bentuk keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dengan bertanggung jawab secara finansial saja mungkin sudah dianggap cukup oleh para ibu. Menurut Musa (dalam Krismantari, 2012), pasangan suami-istri di Indonesia percaya bahwa tugas ayah adalah bekerja dan memperoleh uang sementara tugas ibu adalah mengurus anak-anak. Pemahaman ini berakar dari nilai-nilai patriarkal yang kuat di Indonesia. Selain itu, pengetahuan orangtua di Indonesia mengenai pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak juga masih kurang sehingga keterlibatan ayah di Indonesia rendah. Bentuk keterlibatan suami dalam pengasuhan anak yang paling sedikit dilaporkan oleh partisipan adalah membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sarwono (dalam Roopnarine & Gielen, 2005) menyatakan bahwa secara tidak sadar, orang-orang Indonesia yang paling konservatif dan religius tidak mengabaikan ideide tradisional, yang menekankan peran domestik perempuan tanpa memerdulikan tingkat pendidikannya. Oleh karena itu, sebagian besar suami tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Perbedaan keterlibatan ayah antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya terlihat pada bentuk keterlibatan seperti mengawasi perilaku anak, mendukung ibu secara emosional, dan terlibat dalam urusan sekolah anak. Ketiga bentuk keterlibatan ini, terutama dukungan emosional, lebih sedikit dilaporkan oleh kelompok ibu dengan commuter marriage jika dibandingkan dengan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya. Kondisi suami ibu dengan commuter marriage yang pada sebagian waktunya tinggal di lokasi berbeda nampaknya menjadi kendala sehingga ketiga bentuk keterlibatan tersebut lebih sedikit dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bergen (2006) bahwa salah satu kerugian dari commuter marriage adalah kelelahan fisik dan emosional karena menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan.
13 Selain dukungan suami, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi parenting self-efficacy, yaitu diantaranya adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan teman (Holloway dkk., 2005), pengetahuan mengenai parenting (Tomczewski, 2009), pengalaman dengan anak-anak (Coleman & Karraker, 2000), pengalaman masa kecil (Tsou, 2010), serta tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi (Holloway dkk., 2005). Faktor-faktor lain ini dapat membantu meningkatkan parenting self-efficacy ibu yang menjalani commuter marriage. Pada penelitian ini faktor tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang digali melalui data demografis sesuai dengan tujuan penelitian ini. Data demografis partisipan menunjukkan mayoritas kelompok ibu dengan commuter marriage memiliki tingkat pengeluaran per bulan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya. Penelitian pada data demografis partisipan juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan parenting selfefficacy yang signifikan pada ibu dengan commuter marriage berdasarkan aspek pendidikan dan aspek pengeluaran per bulan. Hal ini sesuai pendapat Holloway dkk. (2005) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu. Ibu dengan tingkat status sosial ekonomi yang lebih tinggi akan memiliki parenting self-efficacy yang lebih tinggi pula. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi akan merasa lebih berhasil dalam parenting karena mereka dapat lebih mudah memahami dan berkomunikasi dengan guru, mampu membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas sekolahnya, serta secara umum membantu kegiatan yang diperlukan untuk keberhasilan anak (Holloway dkk., 2005). Commuter marriage mendatangkan keuntungan finansial, yaitu penghasilan yang dikirim ke rumah oleh suami yang bermigrasi (Schvaneveldt, Young, & Schvaneveldt, 2001). Oleh karena itu, keuntungan finansial yang diperoleh kelompok ibu dengan commuter marriage mungkin membantu meningkatkan parenting selfefficacy mereka, Pada aspek pekerjaan, pendidikan, maupun pengeluaran per bulan kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya tidak terdapat perbedaan parenting self-efficacy
14 yang signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan, status sosial ekonomi (Holloway dkk, 2005), dan pekerjaan (Jackson & Scheines, 2005) dapat mempengaruhi parenting self-efficacy. Tidak terdapatnya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kurang beragamnya partisipan pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya. Mayoritas partisipan pada kelompok ini memiliki pengeluaran Rp 3-5 juta per bulan, tidak bekerja, dan berpendidikan S1. Pada penelitian ini, peneliti juga meneliti tentang gambaran commuter marriage yang dijalani oleh partisipan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alasan mayoritas partisipan menjalani commuter marriage adalah pekerjaan suami yang lokasi kerjanya jauh dari rumah atau mengharuskan suami untuk menetap di lokasi kerjanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Van der Klis (2009) bahwa pekerjaan selalu menjadi alasan utama mengapa pasangan memilih untuk menjalani commuter marriage. Selama menjalani commuter marriage, partisipan merasakan hal-hal positif maupun negatif. Hal positif yang paling banyak disebutkan oleh partisipan adalah otonomi dan independensi. Menurut Bergen (2006), otonomi dan independensi merupakan keuntungan dari commuter marriage, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan, mereka dapat melakukan apapun yang mereka sukai kapanpun serta terbebas dari peran-peran tradisional sebagai istri seperti menyiapkan makanan untuk suami (Gerstel & Gross, dalam Bergen, 2006). Hal ini juga nampaknya berlaku bagi budaya Indonesia yang masih menerapkan pembagian peran suami dan istri secara tradisional, yang menekankan peran domestik perempuan tanpa memerdulikan tingkat pendidikannya (Sarwono, dalam Roopnarine & Gielen, 2005). Mayoritas partisipan menyebutkan bahwa hal negatif yang mereka rasakan selama menjalani commuter marriage adalah kelelahan secara fisik maupun emosional karena harus menjaga rumah tangga dan anak sendirian. Partisipan pada kelompok ibu dengan commuter marriage memang lebih sedikit melaporkan bahwa suami mereka mendukung secara emosional jika dibandingkan dengan kelompok ibu
15 yang tinggal dengan suaminya. Sebagaimana dikatakan oleh Bergen (2006), salah satu kerugian dari commuter marriage adalah kelelahan fisik dan emosional. Kelompok ibu dengan commuter marriage mayoritas berusia dewasa muda yaitu sekitar tahun. Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), masa dewasa muda, yaitu usia tahun, adalah masa ketika orang-orang mulai mandiri, membina rumah tangga, dan membuktikan diri dalam kegiatan yang mereka pilih. Commuter marriage, atau disebut juga dengan living apart together, merupakan salah satu gaya hidup yang dijalani oleh pasangan dewasa muda yang memiliki karir terpisah (Adams, 2004). Hampir seluruh partisipan melaporkan bahwa mereka tidak berencana untuk terus menjalani commuter marriage. Hal ini sesuai dengan hasil penelitan Schvaneveldt dkk. (2001) yang mayoritas partisipannya juga berencana untuk tinggal serumah di masa depan. Menurut Kirschner dan Walum (dalam Bunker, Zubek, Vanderslice, & Rice, 1992) sebagian besar pasangan yang menjalani commuter marriage memandang commuter marriage sebagai pengaturan sementara dan berharap kesempatan kerja yang tepat akan memungkinkan mereka untuk tinggal serumah. Tahap perkembangan ibu dengan commuter marriage yang berada dalam tahap dewasa muda mungkin berkaitan dengan rencana mereka terhadap commuter marriage. Masa dewasa muda adalah masa ketika orang-orang mulai mandiri, membina rumah tangga, dan membuktikan diri dalam kegiatan yang mereka pilih (Papalia dkk., 2009). Oleh karena itu, mereka menjalani commuter marriage untuk sementara demi membuktikan diri dalam karir. Mayoritas partisipan menilai bahwa commuter marriage cukup umum di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan tidak merasakan tekanan sosial atau merasa aneh karena tidak sesuai dengan norma budaya pasangan yang menikah pada umumnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat dari Gerstel dan Gross (1982) yang menyatakan bahwa pasangan commuter marriage merasakan tekanan sosial. Meskipun partisipan merasa bahwa commuter marriage cukup umum, sejauh
16 ini peneliti belum menemukan data yang akurat mengenai jumlah orang-orang yang menjalani commuter marriage di Indonesia. Kurangnya data tentang jumlah yang akurat dan informasi demografis yang detail dari commuter marriage juga terjadi di negara lain, seperti Amerika Serikat (Glotzer & Federlein, 2007). Orang-orang yang menjalani commuter marriage tidak memiliki organisasi dan belum dilihat sebagai kategori tertentu meskipun jumlah mereka terus bertambah. Kurangnya data yang akurat ini juga berarti commuter marriage belum diperhatikan dengan baik (Glotzer & Federlein, 2007). Mayoritas partisipan mulai menjalani commuter marriage setelah mempunyai anak. Partisipan yang mulai menjalani commuter marriage setelah mempunyai anak mayoritas melaporkan bahwa anak tersebut bukan anak pertama. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya kebutuhan ekonomi yang meningkat setelah pasangan memiliki anak dan dapat menjadi salah satu alasan pasangan untuk menjalani commuter marriage. Penelitian Schvaneveldt dkk. (2001) menunjukkan bahwa salah satu alasan pasangan memilih untuk melakukan commuter marriage adalah kebutuhan ekonomi dan commuter marriage memang mendatangkan keuntungan finansial. Peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam melakukan penelitian yang mungkin dapat menjadi sumber kesalahan bagi penelitian ini, Hal-hal tersebut diantaranya adalah kurang beragamnya partisipan dan metode pengambilan data yang kurang menggali informasi. Kurang beragamnya sampel dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh metode pengambilan sampel yang digunakan oleh peneliti, yaitu dengan metode non-probability sampling. Jenis nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kemudahan dalam mengakses sampel penelitian (Gravetter & Forzano, 2009). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan diolah secara kuantitatif. Metode ini ternyata kurang dapat menggali informasi mengenai kehidupan pernikahan partisipan, khususnya pada ibu dengan
17 commuter marriage. Peneliti merasa akan mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan lebih jelas jika menggunakan metode lain. Perbedaan parenting self-efficacy pada ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal selain kehadiran suami yang dapat mempengaruhi parenting selfefficacy ibu. Dalam penelitian ini, hal-hal tersebut kurang tajam ditanyakan kepada partisipan. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan parenting self-efficacy ibu yang tinggal dengan suaminya. Penelitian pada aspek demografis partisipan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada aspek pendidikan dan aspek pengeluaran per bulan dalam kelompok ibu dengan commuter marriage, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek pekerjaannya. Sebaliknya, pada kelompok ibu yang tinggal dengan suaminya tidak terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan dalam aspek pekerjaan, pendidikan, maupun pengeluaran per bulan. Saran Peneliti menyarankan penelitian selanjutnya memperbanyak jumlah sampel dan memperluas jangkauannya gar hasil penelitian lebih mewakili populasi. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan lebih jelas mengenai kehidupan pernikahan partisipan, akan lebih baik jika menggunakan metode kualitatif atau wawancara. Faktor-faktor yang mempengaruhi parenting self-efficacy ibu selain kehadiran suami secara fisik sebaiknya dikontrol atau diteliti juga secara lebih komprehensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu dengan commuter marriage dan
18 parenting self-efficacy ibu yang tinggal dengan suaminya, yang mungkin disebabkan oleh tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan pada keterlibatan ayah secara fisik dalam pengasuhan anak antara kelompok ibu dengan commuter marriage dan ibu yang tinggal dengan suaminya. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tidak penting. Semakin tinggi keterlibatan ayah dalam rutinitas anak, maka masalah perilaku anak akan semakin berkurang, anak semakin supel, dan semakin berbuat lebih baik di sekolah (Moore, dalam Olson & DeFrain, 2006). Oleh karena itu, penyelenggaraan seminar-seminar atau penyuluhan bagi para ayah perlu diadakan untuk meningkatkan kesadaran ayah dan pengetahuan ayah mengenai pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Terdapat perbedaan parenting self-efficacy yang signifikan pada ibu dengan commuter marriage berdasarkan aspek pendidikan dan aspek pengeluaran per bulan. Menurut Holloway dkk. (2005) tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi dapat mempengaruhi parenting self-efficacy. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlu diadakannya penyuluhan atau pelatihan seputar parenting untuk meningkatkan parenting self-efficacy pada ibu yang memiliki tingkat sosial ekonomi dan pendidikan rendah. Penyuluhan atau pelatihan ini mungkin dapat dilakukan oleh praktisi, pemerintah, atau lembaga-lembaga yang berkaitan. Hasil penelitian mengenai gambaran commuter marriage menunjukkan bahwa mayoritas partisipan merasakan kelelahan secara fisik maupun emosional karena harus menjaga rumah tangga dan anak sendirian, meskipun mereka menilai suami mereka terlibat dalam pengasuhan anak. Menurut Bergen (2006) salah satu kerugian dari commuter marriage adalah kelelahan fisik dan emosional karena menjaga rumah tangga tanpa bantuan atau dukungan dari pasangan. Berkaitan dengan hal ini, peneliti menyarankan bagi pasangan yang menjalani commuter marriage untuk meningkatkan komunikasi melalui berbagai media agar istri tetap mendapatkan dukungan emosional dari suami meskipun tinggal terpisah.
19 Kepustakaan Adams, B.N. (2004), Families and family study in international perspective. Journal of Marriage and Family, 66, 5, Anderson, E. A. & Spruill, J.W. (1993), The Dual-Career Commuter Family: a lifestyle on the move, Families on the Move: Migration, Immigration, Emigration, and Mobility, Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review, 84, Bergen, K. M. (2006). Women s Narratives about Commuter Marriage: How Women in Commuter Marriages Account for and Communicatively Negotiate Identities with Members of Their Social Networks, dissertation, University of Nebraska, Lincoln Bornstein, M. H. (Ed.). (2002), Handbook of Parenting: 2 nd Edition. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Brooks, J. (2011), the Process of Parenting: 8 th Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Bunker, B.B., Zubek, J.M., Vanderslice, V.J., & Rice, R.W., (1992), Quality of life in dual-career families: Commuting versus single-residence couples, Journal of Marriage and Family, 54, 2, Coleman, P. K. & Karraker, K. H. (2000), Parenting self-efficacy among mothers of school-age children: Conceptualization, measurement, and correlates, Family Relations, 49, 1, Conlin, J. (2009, 4 Januari). Living apart for the paycheck. The New York Times. diunduh dari anted=all pada tanggal 22 Maret 2012 pukul WIB DeGenova, M. K. (2008), Intimate Relationships, Marriages, & Families 7 th Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Elder, G. H., Jr., Eccles, J. S., Ardelt, M., & Lord, S. (1995). Inner-city parents under economic pressure: Perspectives on the strategies of parenting. Journal of Marriage and the Family, 57, Gerstel, N., & Gross, H. E. (1982), Commuter marriages: A review. Marriage & Family Review, 5, Glotzer, R. & Federlein, A.C. (2007), Miles that bind: Commuter marriage and family strengths. Michigan Family Review, 12, 7-31 Holloway, S. D., Suzuki, S., Yamamoto, Y., & Behrens, K. Y. (2005), Parenting Self- Efficacy among Japanese Mothers, Journal of Comparative Family Studies, 36, 1 Jackson, A. P., Brown, R. P., & Patterson-Stewart, K. E. (2000), African Americans in Dual-Career Commuter Marriages: An Investigation of their Experiences, The Family Journal, 8, 22
20 Jackson, A. P. & Scheines, R. (2005), Single Mothers' Self-Efficacy, Parenting in the Home Environment, and Children's Development in a Two-Wave Study, Social Work Research, 29, 1, 7-21 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. (2008). Antar Kerja Antar Daerah (AKAD), diunduh dari =doc_download&gid=295&itemid=112 pada tanggal 20 Maret 2012 pukul WIB Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. (2008). Antar Kerja Antar Negara (AKAN), diunduh dari =doc_download&gid=297&itemid=112 pada tanggal 20 Maret 2012 pukul WIB Krismantari, I. (2012, 22 Februari). Calling fathers back to the family. The Jakarta Post. diunduh dari pada tanggal 17 Desember 2012 pukul WIB Olson, D.H & DeFrain, J. (2006), Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and Strengths 5 th. New York: The Mc Graw Hill Companies Inc. Papalia, D. E., Olds, S.W., & Feldman, R. D. (2009), Human Development: 11 th Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies Inc. Roopnarine, J.L. & Gielen, U.P. (Ed.). (2005), Families in Global Perspectives. Boston : Pearson Education Inc. Schvaneveldt, P. L, Young, M. H., & Schvaneveldt, J. D., (2001), Dual-resident marriages in Thailand: A comparison of two cultural groups of women, Journal of Comparative Family Studies, 32, 3, Tomczewski, D. K. (2009). Predictors of Anticipated Parenting Efficacy in Younger Adults, thesis, West Virginia University, Morgantown Tsou, L. M. (2010). The Relation of Childhood Memories and Husband Support to Parenting Self-Efficacy in Japanese Mothers, dissertation, University of California, Berkeley Williams, B. K, Sawyer, S. C., & Wahlstrom, C. M. (2006), Marriages, Families, & Intimate Relationships: A Practical Introduction. Boston: Pearson Education Inc. Van der Klis, M. (2009), Commuter Partnerships: Balancing Home, Family, and Distant Work. Amsterdam: Printpartners Ipskamp B.V.
PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA ISTRI YANG MENJALANI COMMUTER MARRIAGE TIPE ADJUSTING NURI SABILA MUSHALLIENA ABSTRAK
PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA ISTRI YANG MENJALANI COMMUTER MARRIAGE TIPE ADJUSTING NURI SABILA MUSHALLIENA ABSTRAK Perkawinan saat ini diwarnai dengan gaya hidup commuter marriage. Istri yang menjalani
Lebih terperinciGAMBARAN PROFIL ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PERNIKAHAN PADA WANITA BEKERJA USIA TAHUN YANG BELUM MENIKAH. Siti Anggraini
GAMBARAN PROFIL ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PERNIKAHAN PADA WANITA BEKERJA USIA 30-40 TAHUN YANG BELUM MENIKAH Siti Anggraini Langgersari Elsari Novianti, S.Psi. M.Psi. Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari proses kematangan dan pengalaman dalam hidupnya. Perubahan-perubahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia selalu mengalami serangkaian perubahan yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman dalam hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut dinamakan perkembangan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. dengan menggunakan uji U Mann Whitney Test yaitu sig = 0,0001 (P<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa bahwa hasil penelitian ini
BAB V PENUTUP 5.1. Bahasan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis statistik nonparametrik dengan menggunakan uji U Mann Whitney Test yaitu sig = 0,0001 (P
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang berbeda mulai dari gender hingga tuntutan sosial yang masing-masing diemban. Meskipun memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanakkanak, masa remaja, masa
Lebih terperinciPengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA
35 SERI BACAAN ORANG TUA Pengaruh Perceraian Pada Anak Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan hidup adalah dengan peningkatan ekonomi. Didalam orang yang sudah berkeluarga tentunya mempunyai berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia mengalami perkembangan seumur hidupnya. Perkembangan ini akan dilalui melalui beberapa tahap. Setiap tahap tersebut sangat penting dan kesuksesan di suatu
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA PARENTING SELF-EFFICACY DAN KONFLIK PERAN PADA IBU BEKERJA DARI TODDLER
HUBUNGAN ANTARA PARENTING SELF-EFFICACY DAN KONFLIK PERAN PADA IBU BEKERJA DARI TODDLER Wigati Ambar Pertiwi dan Erniza Miranda Madjid Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16242,
Lebih terperinciPerbedaan Parenting Self-Efficacy Pada Ibu dengan Status Sosial Ekonomi Menengah Ke Atas dan Bawah yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya
Perbedaan Parenting Self-Efficacy Pada Ibu dengan Status Sosial Ekonomi Menengah Ke Atas dan Bawah yang Memiliki Anak Usia Kanak-Kanak Madya Yufa Azmi Madieni, Erniza Miranda Madjid, Efriyani Djuwita Fakultas
Lebih terperinciGambaran Karakteristik Partisipan Penelitian
43 4. ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisis data dan interpretasi hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bagian pertama bab ini, akan diuraikan gambaran
Lebih terperinciSTUDI DESKRIPTIF MENGENAI PARENTING TASK PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK BERPRESTASI NASIONAL DI SD X
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PARENTING TASK PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK BERPRESTASI NASIONAL DI SD X ARINA MARLDIYAH ABSTRACT Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran parenting task pada anak
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA
LAPORAN PENELITIAN PERILAKU BERHUTANG DENGAN PERASAAN SENANG PADA MAHASISWA Oleh : Mohamad Iksan NIS : 151095156 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG 2015
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN MATERNAL SELF-EFFICACY PADA ANAK AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN MATERNAL SELF-EFFICACY PADA ANAK AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD) Zulfa Kumala Hidayati, Dian Ratna Sawitri Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai orang tua yang memiliki anak, tugas utamanya adalah
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Sebagai orang tua yang memiliki anak, tugas utamanya adalah membesarkan dan mengasuh anaknya. Demikian juga dengan orangtua tunggal. Orangtua tunggal adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan kasih sayang. Melainkan anak juga sebagai pemenuh kebutuhan biologis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU
Lebih terperinci1. Pendahuluan PENYULUHAN TENTANG PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS KELUARGA DI DESA TANJUNGWANGI
Prosiding SNaPP 2015 Kesehatan pissn 2477-2364 eissn 2477-2356 PENYULUHAN TENTANG PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS KELUARGA DI DESA TANJUNGWANGI 1 Kusdwiratri, 2 Endang Pudjiastuti, 3 Eni Nuraeni Nugrahawati, 4
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan
PENDAHULUAN I.A. Latar belakang Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan seseorang, disamping siklus lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian (Pangkahila, 2004).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dididik, dan dibesarkan sehingga seringkali anak memiliki arti penting dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah terindah dan tak ternilai yang diberikan Tuhan kepada para orangtua. Tuhan menitipkan anak kepada orangtua untuk dijaga, dididik, dan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan jarak jauh (long distance relationship) Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak
Lebih terperinciAnindhita Prameswari Jl. Kuta V Blok D6 no.21 Kompleks Graha Cinere, Depok Efi Afifah ABSTRAK
PERBEDAAN PERKEMBANGAN SOSIO- EMOSIONAL ANAK ANTARA KETERLIBATAN ORANGTUA DENGAN POSITIF BELIEF DAN KETERLIBATAN ORANGTUA DENGAN NEGATIF BELIEF DI PAUD BAITURRAHMAH Anindhita Prameswari Jl. Kuta V Blok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rumah tangga sudah tentu terdapat suami dan istri. Melalui proses perkawinan, maka seseorang individu membentuk sebuah miniatur dari organisasi sosial
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN TERHADAP PENYAKIT DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA BANDUNG CANCER SOCIETY RIO HATTU ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN TERHADAP PENYAKIT DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA BANDUNG CANCER SOCIETY RIO HATTU ABSTRAK Penelitian mengenai kanker payudara menunjukkan bahwa penerimaan
Lebih terperinciPELATIHAN KECERDASAN BERJUANG UNTUK MENINGKATKAN KEYAKINAN DIRI IBU DALAM MENGASUH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR INKLUSI
PELATIHAN KECERDASAN BERJUANG UNTUK MENINGKATKAN KEYAKINAN DIRI IBU DALAM MENGASUH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR INKLUSI Budiarda Widya Laksana Email; barda.wul2@gmail.com Fakultas Tarbiyah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak perubahan di mana ia harus menyelesaikan tugastugas perkembangan, dari lahir, masa kanak-kanak, masa
Lebih terperinciProfil Orientasi Masa Depan Bidang Pernikahan Pada Wanita Karir Usia Tahun Yang Belum Menikah
Profil Orientasi Masa Depan Bidang Pernikahan Pada Wanita Karir Usia 26-29 Tahun Yang Belum Menikah Catri Damayanti Langgersari Elsari Novianti, S.Psi. M.Psi.¹ Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan anugrah yang sangat berarti bagi orang tua karena setelah pasangan menikah, peran selanjutnya yang di dambakan adalah menjadi orang tua dari anak-anak
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS HASIL Gambaran umum responden. bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai identitas responden.
BAB 4 ANALISIS HASIL 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran umum responden Responden dalam penelitian ini adalah anggota dari organisasi nonprofit yang berjumlah 40 orang. Pada bab ini akan dijelaskan tentang
Lebih terperinciBAB V FAKTOR PEMICU KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA
BAB V FAKTOR PEMICU KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA 5.1 Pendahuluan Fenomena konflik pekerjaan keluarga atau work-family conflict ini juga semakin menarik untuk diteliti mengingat banyaknya dampak negatif yang
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Bab ini akan menjelaskan hasil pengolahan data dan analisis data yang
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan hasil pengolahan data dan analisis data yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berisi hasil pengolahan data dan pembahasan hasil penelitian. 4.1
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA WANITA YANG BEKERJA SEBAGAI PENYULUH DI KABUPATEN PURBALINGGA
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA WANITA YANG BEKERJA SEBAGAI PENYULUH DI KABUPATEN PURBALINGGA Ade Tri Wijayanti, Endang Sri Indrawati Fakultas Psikologi, Universitas
Lebih terperinciGAMBARAN KOMITMEN PADA EMERGING ADULT YANG MENJALANI HUBUNGAN PACARAN JARAK JAUH DAN PERNAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN
GAMBARAN KOMITMEN PADA EMERGING ADULT YANG MENJALANI HUBUNGAN PACARAN JARAK JAUH DAN PERNAH MENGALAMI PERSELINGKUHAN RIMA AMALINA RAHMAH Langgersari Elsari Novianti, S.Psi., M.Psi. 1 Fakultas Psikologi
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN INTERPRETASI
48 BAB 4 HASIL DAN INTERPRETASI 4.1 Gambaran Partisipan penelitian berdasarkan data partisipan Dalam bab 4 ini akan dipaparkan gambaran demografis partisipan, gambaran tingkat konflik kerja-keluarga dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rentang usia dewasa awal. Akan tetapi, hal ini juga tergantung pada kesiapan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan manusia pada masa dewasa. Pernikahan idealnya dimulai ketika individu berada pada rentang usia dewasa awal.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian
Lebih terperinciDwi Rachmawati Endah Mastuti
PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN DITINJAU DARI TINGKAT PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA ISTRI BRIGIF 1 MARINIR TNI AL YANG MENJALANI LONG DISTANCE MARRIAGE Dwi Rachmawati Endah Mastuti Abstract. The research
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang
BAB I PENDAHULUAN l.l Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Merekalah yang akan menerima kepemimpinan dikemudian hari serta menjadi penerus perjuangan bangsa. Dalam
Lebih terperinciGAMBARAN STRES DAN STRATEGI KOPING IBU BEKERJA YANG MEMILIKI ANAK DIASUH ASISTEN RUMAH TANGGA. Abstrak.
GAMBARAN STRES DAN STRATEGI KOPING IBU BEKERJA YANG MEMILIKI ANAK DIASUH ASISTEN RUMAH TANGGA Rachel Satyawati Yusuf 1, Novy Helena Catharina Daulima 2 1. Program Studi Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan,
Lebih terperinciKEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL
KEPUTUSAN HIDUP MELAJANG PADA KARYAWAN DITINJAU DARI KEPUASAN HIDUP DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah suatu hubungan yang sah dan diketahui secara sosial antara seorang pria dan seorang wanita yang meliputi seksual, ekonomi dan hak serta tanggung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu yang belajar di Perguruan Tinggi. Setelah menyelesaikan studinya di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa merupakan individu yang memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang melanjutkan pendidikan ke sebuah perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar
Lebih terperinciTabel 4.1 Tabel Integratif Gambaran Umum Partisipan
4. HASIL DA A ALISIS PE ELITIA Dari sejumlah kuesioner yang disebarkan kepada partisipan-partisipan yang berdomisili di Jakarta, terkumpul 226 kuesioner. Tidak semua kuesioner layak untuk diolah. Terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak perubahan dimana ia harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangan, dari lahir, masa kanak-kanak,
Lebih terperinciPENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KEDISIPLINAN ANAK DI SEKOLAH KELOMPOK A TK ISLAM ORBIT 2 PRAON NUSUKAN SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2013/2014
PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KEDISIPLINAN ANAK DI SEKOLAH KELOMPOK A TK ISLAM ORBIT 2 PRAON NUSUKAN SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 NASKAH PUBLIKASI Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi reproduksi dan memberikan perlindungan kepada anggota keluarga dalam masyarakat. Keluarga
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
29 3. METODE PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai desain penelitian, masalah yang diteliti secara konseptual dan operasional, penjabaran variabel-variabel yang terkait, dan beberapa hal berkaitan
Lebih terperinciGAMBARAN KEMANDIRIAN EMOSIONAL REMAJA USIA TAHUN BERDASARKAN POLA ASUH AUTHORITATIVE NUR AFNI ANWAR LANGGERSARI ELSARI NOVIANTI S.PSI. M.
GAMBARAN KEMANDIRIAN EMOSIONAL REMAJA USIA 12-15 TAHUN BERDASARKAN POLA ASUH AUTHORITATIVE NUR AFNI ANWAR LANGGERSARI ELSARI NOVIANTI S.PSI. M.PSI 1 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN ABSTRAK Kemandirian
Lebih terperinciGambaran Trust Pada Pasangan Suami-Istri yang Menjalani Commuter Marriage Tipe Adjusting dengan Usia Pernikahan 0-5 Tahun.
Gambaran Trust Pada Pasangan Suami-Istri yang Menjalani Commuter Marriage Tipe Adjusting dengan Usia Pernikahan 0-5 Tahun. Mutiara Amanah Dibimbing Oleh : Langgersari Elsari Novianti, S.Psi, M.Psi ABSTRAK
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Empty Nest 1. Definisi Empty Nest Salah satu fase perkembangan yang akan terlewati sejalan dengan proses pertambahan usia adalah middle age atau biasa disebut dewasa madya, terentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang paling penting dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat yang terbentuk dari hubungan pernikahan laki-laki dan wanita untuk menciptakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Saat ini,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang adalah salah satu negara yang menjadi bagian dari Perang Dunia II dan mengalami kekalahan. Kekalahan ini yang menyebabkan ekonomi Jepang memburuk, karena dua
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN ANALISIS HASIL
BAB 4 HASIL DAN ANALISIS HASIL Pada bab berikut ini akan dibahas mengenai hasil yang didapatkan setelah melakukan pengumpulan data dan analisis dari hasil. Dalam sub bab ini akan dijabarkan terlebih dahulu
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini akan dipaparkan hasil pengolahan data dari penelitian
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengolahan Data Berikut ini akan dipaparkan hasil pengolahan data dari penelitian mengenai hubungan antara cara mengajar guru dengan self-efficacy siswa pada pemerolehan
Lebih terperinciPENYESUAIAN PERKAWINAN DENGAN KECENDERUNGAN KESENJANGAN KONSEP PERAN SUAMI ISTRI
1 2 3 PENYESUAIAN PERKAWINAN DENGAN KECENDERUNGAN KESENJANGAN KONSEP PERAN SUAMI ISTRI Novi Qonitatin Fakultas Psikologi Universitas Dipoengoro qonitatin_novi@yahoo.co.id ABSTRAK Perkawinan merupakan kesepakatan
Lebih terperinciPENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP KEKERASAN DALAM PACARAN PADA REMAJA DI JAKARTA
PENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP KEKERASAN DALAM PACARAN PADA REMAJA DI JAKARTA Fitria Fauziah Psikologi, Gading Park View ZE 15 No. 01, 081298885098, pipih.mail@gmail.com (Fitria Fauziah, Cornelia Istiani,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan gambaran dua orang yang dipersatukan dari perbedaan yang memerlukan tanggung jawab dan penyesuaian dalam berkeluarga (Anjani dan Suryanto, 2006:3).
Lebih terperinciMARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!
MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, seiring harapan untuk memiliki anak dari hasil pernikahan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa menjadi orang tua merupakan masa yang alamiah terjadi dalam kehidupan seseorang, seiring harapan untuk memiliki anak dari hasil pernikahan. Menjadi orangtua membutuhkan
Lebih terperinci5. ANALISIS HASIL DAN INTERPRETASI DATA
47 5. ANALISIS HASIL DAN INTERPRETASI DATA Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian dan interpretasinya. Pembahasan dalam bab 5 ini meliputi gambaran umum partisipan dan hasil penelitian berkaitan dengan
Lebih terperinciGAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN ISTRI PADA PASANGAN COMMUTER MARRIAGE. Liza Marini1 dan Julinda2 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN ISTRI PADA PASANGAN COMMUTER MARRIAGE Liza Marini1 dan Julinda2 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Kehidupan pekerjaan saat ini sangat dipengaruhi oleh globalisasi
Lebih terperinciGambaran Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Suami-Istri yang Menjalani Commuter marriage Tipe Adjusting yang Memiliki Anak. Fakhiratun Nisa B.
Gambaran Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Suami-Istri yang Menjalani Commuter marriage Tipe Adjusting yang Memiliki Anak Fakhiratun Nisa B. Dibimbing Oleh : Dr. Hj. Hendriati Agustiani, M.Si ABSTRAK Commuter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah perempuan dalam keluarga utuh (dua orangtua) sebagai tenaga kerja berbayar, meningkat secara drastis dalam 50 terakhir (Frediksen-Goldsen & Scharlach, 2001).
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KOMITMEN KERJA DAN KESIAPAN MENIKAH PADA WANITA DEWASA MUDA YANG BEKERJA
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN KERJA DAN KESIAPAN MENIKAH PADA WANITA DEWASA MUDA YANG BEKERJA (The Correlation between Occupational Commitment and Readiness for Marriage in Young Adult Working Women) Neysa
Lebih terperinciPERBEDAAN PENYESUAIAN PERNIKAHAN PADA SUAMI DAN ISTERI YANG DIJODOHKAN DENGAN YANG TIDAK DIJODOHKAN. Wiken Tri Nurfitria Dewanti
PERBEDAAN PENYESUAIAN PERNIKAHAN PADA SUAMI DAN ISTERI YANG DIJODOHKAN DENGAN YANG TIDAK DIJODOHKAN Wiken Tri Nurfitria Dewanti Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia ABSTRAK Pernikahan merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Banyak orang yang mengatakan masa remaja adalah masa yang paling
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak orang yang mengatakan masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan. Dimana individu tersebut tidak lagi dianggap sebagai anak-anak, mulai diberi kebebasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan salah satu proses yang biasanya dijalani individu sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan pasangan. Pada masa pacaran, individu saling
Lebih terperinciPROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN Oleh: Aries Yulianto *
Running Head : PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN 14 PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN Oleh: Aries Yulianto * Cemburu, yang dalam hubungan percintaan disebut romantic jealousy (Bringle, 1991),
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak
7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seperti kesehatan, ekonomi, sosial, maupun politik. Pergeseran peran tersebut terjadi karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa dekade terakhir peran wanita telah bergeser dari peran tradisional menjadi modern. Hal ini terlihat dari peran sosial yang diikuti sebagian wanita dalam
Lebih terperinciParental Community: Sebuah Langkah untuk Memajukan PAUD. Leonie N. W.,
Parental Community: Sebuah Langkah untuk Memajukan PAUD Leonie N. W., 125120300111041 Pendahuluan "At the end of the day, the most overwhelming key to a child's success is the positive involvement of parents."
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
3. METODE PENELITIAN Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan operasionalisasi dari variabel penelitian, menjelaskan tipe dan desain penelitian yang digunakan, instrumen penelitian beserta metode skoring,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tingkat produktifitas maksimal. Persaingan yang ketat juga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kini menghadapi percepatan pembangunan dalam bidang ekonomi, teknologi, dan infrastruktur. Industrialisasi bangkit dalam skala global dengan melibatkan segala
Lebih terperinciDefinisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href="http://www.upi.edu">universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a>
Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi Oleh Didi Tarsidi universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 1. Definisi Istilah konseling rehabilitasi yang dipergunakan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. PERNIKAHAN 2.1.1. Definisi Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pernikahan adalah suatu hubungan yang sakral atau suci dan pernikahan memiliki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan adalah suatu hubungan yang sakral atau suci dan pernikahan memiliki banyak keuntungan dibandingkan hidup sendiri, karena pasangan yang sudah menikah dapat
Lebih terperinciGAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERSIAPAN PENSIUN KARYAWAN BUMN PT. X FARATIKA NOVIYANTI ABSTRAK
GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA MASA PERSIAPAN PENSIUN KARYAWAN BUMN PT. X FARATIKA NOVIYANTI ABSTRAK Dalam menjalani karirnya individu akan terus mengalami pertambahan usia sampai memasuki fase pensiun.
Lebih terperinciHubungan antara Loneliness dan Parenting Self-Efficacy pada Ibu Tunggal yang Memiliki Anak Usia Kanak Madya
Hubungan antara Loneliness dan Parenting Self-Efficacy pada Ibu Tunggal yang Memiliki Anak Usia Kanak Madya Yumna Shabrina*, Efriyani Djuwita, dan Erniza Miranda Madjid Fakultas Psikologi, Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. wanita dari masyarakat dan pengusaha pun semakin tinggi. Di Amerika Serikat,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sudah banyak wanita yang bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing dan di berbagai macam perusahaan. Permintaan untuk karyawan wanita dari masyarakat
Lebih terperinciGAMBARAN KOMITMEN BERPACARAN PADA KORBAN SEXUAL INFIDELITY USIA TAHUN YANG TETAP MEMERTAHANKAN RELASI BERPACARANNYA SEKAR NAWANG WULAN
GAMBARAN KOMITMEN BERPACARAN PADA KORBAN SEXUAL INFIDELITY USIA 18-25 TAHUN YANG TETAP MEMERTAHANKAN RELASI BERPACARANNYA SEKAR NAWANG WULAN Eka Riyanti Purboningsih, S.Psi., M.Psi. 1 Fakultas Psikologi
Lebih terperinciBAB 5 ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
44 BAB 5 ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA Pada bagian ini peneliti memaparkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian diperoleh dari pengolahan data secara statistik dengan menggunakan
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
25 3. METODE PENELITIAN Pada bagian ketiga ini, peneliti akan menjelaskan mengenai permasalahan penelitian, hipotesis penelitian, variabel-variabel penelitian, tipe dan desain penelitian, partisipan penelitian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kesatuan yang semakin maju dan berkembang.kondisi tersebut menuntut masyarakat pada setiap tahap rentang kehidupannya untuk meneruskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia, yaitu antara seorang pria dengan seorang wanita (Cox, 1978). Menurut Hurlock (1999) salah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam meningkatkan derajat kesehatan komunitas. Keluarga sebagai sistem yang berinteraksi dan merupakan unit
Lebih terperinci5. PENUTUP. Universitas Indonesia
126 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Reaksi yang ditunjukkan oleh ketiga subjek ketika mengetahui anaknya mengalami tunaganda-netra adalah terkejut, sedih, dan marah. Ketiganya pun merasa bersalah terhadap ketunaan
Lebih terperinciAntar Kerja Antar Daerah (AKAD)
Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Konsep Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) merujuk pada mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
62 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian untuk menjawab masalah penelitian dan temuan-temuan yang diperoleh dari penelitian. Disamping itu, akan dibahas pula
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan sarana utama untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan dan pengetahuan dasar. Sekolah merupakan sarana yang diharapkan mampu menolong individu
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme
Lebih terperinciPERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN APARTEMEN DI KOTA BANDUNG SEBAGAI TEMPAT TINGGAL TETAP PADA MAHASISWA PERANTAU FITRIYANTI
PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN APARTEMEN DI KOTA BANDUNG SEBAGAI TEMPAT TINGGAL TETAP PADA MAHASISWA PERANTAU FITRIYANTI Dibimbing oleh: Prof. Dr. Tb. Zulrizka Iskandar, S.Psi., M.Sc. ABSTRAK Keterbatasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Fungsi utama Rumah Sakit yakni melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi kedokteran,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Tujuan perkawinan adalah mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan, dan keturunan. Menikah dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagian besar waktunya. Walaupun berbeda, pekerjaan dan keluarga
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia menghabiskan sebagian besar waktunya. Walaupun berbeda, pekerjaan dan keluarga interdependent satu sama lain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia teknologi yang sangat pesat tentunya mempunyai. dampak negatif, termasuk perkembangan game online yang dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia teknologi yang sangat pesat tentunya mempunyai dampak negatif, termasuk perkembangan game online yang dapat menyebabkan kecanduan pada anak usia sekolah.
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan
BAB II LANDASAN TEORI A. KEPUASAN PERNIKAHAN 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang
Lebih terperinci