PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA. Jurusan/Program Studi Peternakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA. Jurusan/Program Studi Peternakan"

Transkripsi

1 PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA Jurusan/Program Studi Peternakan Oleh : Nur Wahyuningsih H FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit 2012 to user

2 PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jurusan/Program Studi Peternakan Oleh : Nur Wahyuningsih H FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit 2012 to user i

3 KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Performan Anak Babi Silangan Berdasarkan Pejantan dan Paritas Induknya. Selama penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ketua Jurusan Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ir. YBP. Subagyo, M. S dan drh. Sunarto, M. Si selaku Pembimbing Utama dan Pembimbing Pendamping. 4. Ratih Dewanti, S. Pt., M. Sc selaku Penguji yang telah memberi bimbingan, evaluasi, dan masukannya. 5. Sigit Prastowo, S. Pt., M. Si dan Nuzul Widyas, S. Pt., M. Sc yang telah memberikan dukungan serta bantuannya. 6. Segenap staf CV. Adhi Farm yang telah membantu proses penelitian ini. 7. Keluarga tercinta, Bapak Sugiyanto, BE., Ny. Supartini, Muhammad Wahyudianto, S. S., Saleh Abdul Rasyid, S. Pd., dan Mujiono atas dukungan dan semangatnya. 8. Teman-teman Jurusan Peternakan, atas doa dan dukungannya selama ini. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Surakarta, Desember 2012 Penulis iii

4 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii RINGKASAN... ix SUMMARY... x I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Babi Babi Landrace Babi Duroc Babi Hampshire... 5 B. Paritas... 5 C. Performan Anak Babi... 9 D. Littersize HIPOTESIS III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian B. Bahan dan Alat Penelitian C. Pelaksanaan Penelitian dan Analisis Data D. Peubah yang Diamati dan Parameter yang Diestimasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN commit... to user 18 iv

5 A. Bobot Lahir Pengaruh Pejantan Pengaruh Induk dalam Paritas B. Littersize Pengaruh Pejantan Pengaruh Induk dalam Paritas C. Kesetimbangan Bobot Lahir dengan Littersize Berdasarkan Paritas 22 D. Korelasi Bobot Lahir dengan Littersize E. Variasi Bobot Lahir dalam Sekelahiran Pengaruh Pejantan Pengaruh Induk dalam Paritas V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

6 PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA Nur Wahyuningsih H RINGKASAN Induk babi merupakan ternak yang sering menghasilkan anak dengan jumlah yang banyak dalam satu kelahiran. Jumlah anak yang dilahirkan berpengaruh pada besar kecilnya bobot lahir anak babi yang dihasilkan. Jumlah anak babi per kelahiran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah faktor kesuburan induk dan pejantan, serta perkawinan antar bangsa, umur dan paritas induk babi. Perkawinan mendorong terjadinya kontribusi genetik dari pejantan dan induk sehingga anaknya dapat mewarisi sifat tetuanya. Paritas induk berhubungan dengan umur induk saat melahirkan anak, maupun jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan (littersize) akan meningkat jika induk memiliki paritas tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pejantan dan paritas induk terhadap performan (bobot lahir) anak babi silangan, serta mengetahui paritas yang menghasilkan performan baik pada anak babi silangan. Penelitian dilakukan selama 4 bulan dan dilaksanakan di perusahaan babi milik CV. Adhi Farm, Kebakkramat, Karanganyar. Materi yang digunakan adalah babi pejantan berjumlah 3 ekor berbangsa Landrace, Duroc, dan Hampshire. Babi betina berjumlah 21 ekor berbangsa Landrace, dan anak babi dari hasil perkawinan serta data dari perusahaan. Rancangan percobaan pada penelitian ini Rancangan Tersarang (Nested Design). Peubah yang diamati dan parameter yang diestimasi meliputi bobot lahir, littersize, korelasi bobot lahir dengan littersize, dan variasi bobot lahir dalam sekelahiran. Data yang menunjukkan adanya pengaruh, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Least Significant Difference) untuk paritas yang tersarang pada pejantan dan Uji Jarak Berganda Duncan s (Duncan s Multiple Range Test/DMRT) untuk paritas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pejantan dan paritas yang tersarang pada pejantan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot lahir dan littersize. Selain itu, antara bobot lahir dan littersize yang dibandingkan dari tiap paritas yang tersarang pada pejantan menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Kesetimbangan bobot lahir dan littersize anak babi silangan terdapat pada paritas 1. Korelasi antara bobot lahir dengan littersize bernilai 0,166. Variasi bobot lahir dalam sekelahiran adalah 0,019-0,155. Kesimpulan penelitian ini adalah pejantan dan paritas induk berpengaruh terhadap performan bobot lahir dan littersize anak babi silangan. Korelasi antara bobot lahir dengan littersize menunjukkan bahwa semakin banyak littersize, maka bobot lahir akan semakin rendah. Rendahnya nilai variasi dari bobot lahir dalam sekelahiran menunjukkan adanya banyak keseragaman. Kata kunci : Performan, Anak Babi, commit Pejantan, to user Paritas Induk ix

7 PERFORMANCE OF HYBIRD PIGLETS BASED ON BOARS AND SOWS PARITY Nur Wahyuningsih H SUMMARY Sow is an animal that often bears piglet in large numbers in a single birth. The number of piglets born has effect on the weight of piglets which are produced. The number of piglets per litter is influenced by several factors. These factors are the parent and male fertility factors, as well as cross nation, age and parity sows. The marriage push be genetic contribution from boar and sow that inheritance to piglets. Parity is related to the age of the parent stem in childbirth, and the number of piglets born. The number of littersize will increase if the mother has high parity. The aim of this study was to determine the effect of performance of the parent parity (birth weight) of hybrid piglets, and to know the parity that produces good performance of the hybrid piglets. This research was conducted in 4 months in the company of CV. Adhi Farm in Kebakkramat, Karanganyar. The material in this study were 3 boars (Landrace, Duroc and Hampshire), 21 Landrace sows, piglets from the marriage, and the data from the company. The design of experiments in this study was nested design. The variables that were observed and the parameter that was estimated included birth weight, littersize, the correlation of littersize to the birth weight, and birth weight variation in birth. The data showed the influence, then followed by Least Significant Difference Test (Least Significant Difference) for parity nested in boar and Duncan's Multiple Range Test (DMRT) for parity. The results showed that boar and boar parity nested exerted a highly significant (P <0.01) for birth weight and littersize. In addition, between birth weight and littersize were compared from each boar parity nested were significantly different (P<0.05). Balanced birth weight and hybrid piglets littersize were at parity 1. The correlation between weight birth and littersize were -0,166. The variation in birth weight per littersize was 0,019 to 0,155. The conclusions of this study are the influence of the boar and parity sow has effect on birth weight of piglet s performance of hybrids and littersize. The correlation between birth weight and littersize were the more littersize has the lower the birth weight. The lower value of the variation in birth weight showed a lot of uniformity of birth weight. Keywords: Performance, Piglets, Boars, Sows Parity x

8 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ternak babi merupakan salah satu komoditi ternak penghasil protein hewani yang mempunyai peranan penting dalam hal pemenuhan konsumsi daging. Menurut Sution (2010), beberapa alasan mengapa ternak babi mempunyai arti penting dalam ekonomi di antaranya, karena babi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif cepat dari modal yang dikeluarkan. Babi dapat beranak dua kali dalam setahun dan sekali beranak dapat menghasilkan anak yang banyak. Babi juga mudah beradaptasi dengan lingkungan. Sementara di sisi lain, pakan untuk babi mudah diperoleh karena tersedia di alam sehingga babi dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat/peternak. Babi memiliki keunggulan daripada ternak lain seperti sifat produksi dan reproduksinya. Pardosi (2004) menyatakan beberapa sifat penting pada ternak babi adalah jumlah anak yang dilahirkan per induk per kelahiran, bobot lahir, jumlah anak lepas sapih, dan bobot sapih. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perkawinan antar bangsa dan frekuensi beranak dari induk (parity) atau paritas. Perkawinan antar bangsa merupakan perkawinan antara pejantan dan betina yang berasal dari bangsa yang berbeda. Tetua pejantan dan betina menurut Wolf et al. (1999), berpengaruh secara signifikan terhadap keturunannya (anak). Hal ini disebabkan oleh kontribusi genetik dari keduanya. Tetua betina lebih banyak menurunkan sifat reproduksi, sedangkan tetua pejantan lebih dominan menurunkan sifat produksi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pejantan yang digunakan harus mempunyai sifat genetik yang unggul agar keturunannya juga mewarisi sifat tetuanya. Kemampuan betina dalam bereproduksi dapat mengarah ke paritas. Kata paritas berasal dari bahasa Latin, pario, yang berarti menghasilkan. Paritas didefinisikan sebagai jumlah beranak yang pernah dialami induk dalam melahirkan anak, baik dalam keadaan hidup ataupun mati, tanpa melihat 1

9 2 jumlah anaknya, serta kelahiran kembar hanya dihitung sebagai satu kali paritas (Maimunah, 2005). Paritas induk berhubungan dengan umur induk saat melahirkan anak, maupun jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan (littersize) akan meningkat jika induk memiliki paritas tinggi. Hal ini sehubungan dengan kondisi fisiologis organ reproduksi induk yang berkembang sejalan dengan stadium kebuntingan. Kapasitas induk dalam menampung fetus akan terbatas, sehingga littersize pun juga akan terbatas (Fenton et al., 1970). Hal ini berhubungan dengan pendistribusian nutrisi dari induk yang merata pada fetus. Kemampuan fetus dalam mencerna nutrisi dari induk akan menyebabkan perbedaan bobot lahir fetus dalam sekelahiran. Selain itu, anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang sedikit akan meningkatkan bobot lahir, sedangkan anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang banyak akan menurunkan bobot lahir. B. Perumusan Masalah Induk babi merupakan ternak yang sering menghasilkan anak dengan jumlah yang banyak dalam satu kelahiran. Kapasitas induk dalam menampung jumlah fetus yang dikandung berbanding lurus dengan jumlah anak yang akan dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan berpengaruh pada besar kecilnya bobot lahir anak babi yang dihasilkan. Jumlah anak babi per kelahiran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah faktor kesuburan induk dan pejantan, serta perkawinan antar bangsa, umur dan paritas induk babi. Perkawinan antar bangsa merupakan perkawinan dari bangsa yang berbeda baik itu pejantan maupun betina. Hal tersebut mendorong terjadinya kontribusi genetik dari pejantan dan betina sehingga secara signifikan dapat mempengaruhi keturunannya (anak). Sifat reproduksi lebih banyak diturunkan dari tetua betina sedangkan sifat produksi lebih dominan dari tetua pejantan. Oleh karena itu, pengaruh pejantan sangat penting karena performan anaknya dapat mewarisi sifat tetua pejantan.

10 3 Sementara di sisi lain, pengaruh betina dalam kemampuan bereproduksi, dalam hal ini adalah paritas. Paritas pertama pada induk akan menghasilkan anak babi yang lebih sedikit jika dibandingkan pada kelahiran berikutnya. Jumlah anak babi yang dilahirkan akan meningkat seiring dengan seringnya induk tersebut mengalami paritas, dan diharapkan anak babi dalam sekelahirannya menghasilkan performan yang lebih baik bila dibandingkan dengan induk yang hanya sekali mengalami paritas. Namun tiap kali paritas, induk akan menghasilkan variasi bobot lahir anak babi. Variasi bobot lahir anak babi sangat beragam karena dalam sekelahiran, induk dapat menghasilkan anak babi 6-12 ekor. Jumlah anak sekelahiran yang sedikit akan meningkatkan bobot lahir, begitu juga sebaliknya. Anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang banyak akan menurunkan bobot lahir. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai pengaruh pejantan dan paritas induk dalam menghasilkan performan yang baik bagi anak babi. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui pengaruh pejantan dan paritas induk terhadap performan (bobot lahir) anak babi silangan. 2. Mengetahui paritas keberapa yang menghasilkan performan baik pada anak babi silangan.

11 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Ternak babi menurut produksi dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, babi penghasil daging atau disebut tipe pork. Kedua, babi penghasil daging yang berlemak atau tipe bacon. Ketiga, tipe lard atau babi penghasil lemak (Hardjosubroto,1994). Jenis babi yang banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa Landrace, Duroc, Yorkshire, Hampshire yang mempunyai kualitas dan produksi daging yang tinggi serta babi hasil persilangan yang biasanya digunakan sebagai pejantan. 1. Babi Landrace Bangsa babi Landrace merupakan babi tipe bacon yang sangat istimewa (Hardjosubroto, 1994). Babi Landrace sekarang ada beberapa tipe yaitu Denmark, Swedia, Amerika dan sebagainya. Babi Landrace banyak digunakan untuk program persilangan babi-babi di daerah tropik, terutama di Asia Tenggara. Namun, babi Landrace sangat peka terhadap sengatan sinar matahari (Reksohadiprodjo, 1984). Bangsa babi Landrace mempunyai ciri-ciri tubuh panjang besar lebar dan dalam, warna putih dengan bulu halus, kepala kecil agak panjang dengan telinga terkulai, leher panjang, bahu rata, kaki letaknya baik kuat dengan paha yang kuat (Blakely dan Bade, 1996). Sihombing (1997), menyatakan bahwa bobot badan babi American Landrace sebesar kg pada babi jantan dewasa, dan kg pada induk. 2. Babi Duroc Babi Duroc berwarna merah dan bertipe lard dengan ditandai sifatnya yang baik dalam memanfaatkan pakan. Dewasa ini babi Duroc banyak yang telah diubah menjadi tipe pork untuk memenuhi kebutuhan pasar (Hardjosubroto, 1994). Bangsa babi Duroc mempunyai ciri-ciri tubuh panjang, besar, warna merah bervariasi mulai dari merah muda sampai merah tua, punggung berbentuk commit to busur user dari leher sampai ekor, kepala 4

12 5 sedang dengan telinga terkulai ke depan, produksi cukup tinggi dan banyak anak (Blakely dan Bade, 1996). 3. Babi Hampshire Babi Hampshire dikembangkan di Kentucky, Amerika Serikat. Warnanya hampir sama dengan babi Wessex Saddleback dari Inggris. Perbedaan yang terlihat adalah pada telinga. Wessex Saddleback bertelinga rebah, sedangkan Hampshire bertelinga tegak. Salah satu ciri khas babi Hampshire adalah lilit putih melingkari tubuhnya yang berwarna hitam. Warna putih juga terdapat di kedua ujung kaki depan (Sihombing, 1997). Menurut Reksohadiprodjo (1984), warna putih seperti ikat pinggang pada babi ini terletak dibagian ¼ badan muka. Selanjutnya, Sihombing (1997) menyatakan bahwa babi yang digunakan untuk bibit dengan ujung kaki belakang berwarna putih boleh dipergunakan asalkan warna putih tidak mencapai ujung paha. Selain itu, babi ini merupakan tipe pedaging (pork) yaitu bertubuh besar dan mempunyai kekuatan tulang kaki sedang. Bobot babi jantan dewasa adalah kg, sedangkan induk kg. Berdasarkan informasi dari perusahaan CV. Adhi Farm bahwa standar bobot badan babi untuk menjadi indukan adalah babi dengan umur 8 bulan dengan berat mencapai kg, sedangkan bobot babi dewasa bisa mencapai 250 kg. Kostaman dan Sutama (2006) menyatakan bahwa induk kambing yang berbobot badan besar mempunyai kemungkinan beranak kembar lebih tinggi daripada induk yang berbobot badan lebih kecil. Bobot badan induk mempunyai pengaruh lebih besar daripada pejantan terhadap bobot lahir anak. B. Paritas Paritas merupakan frekuensi atau urutan keberapa kali induk dalam melahirkan anak. Paritas pertama pada induk babi akan menghasilkan nilai yang rendah pada performan anak babi. Pada paritas kedua akan meningkat sampai pada paritas kelima. Kemudian akan menurun pada paritas keenam dan seterusnya (Thornton, 2011). Penyebab hal ini menurut Gordon (2008) ialah

13 6 tingginya kadar hormon LH pada babi induk dibandingkan pada babi dara. Tomaszewska et al., (1991) menyatakan bahwa hormon LH (Luteinizing Hormone) merupakan hormon yang menyebabkan ovulasi terjadi. Toelihere (1993), menyatakan bahwa ovulasi terjadi selama berahi dan sebagian ovum dilepaskan 38 sampai 42 jam sesudah permulaan berahi. Lama berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, paritas dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara. Berahi biasanya terjadi tiga sampai delapan hari sesudah penyapihan apabila anak anak babi dipisahkan enam sampai delapan minggu sesudah partus. Lama proses ovulasi menurut Toelihere (1993) adalah 3,8 jam. Ovulasi pada babi induk kira kira empat jam lebih cepat daripada babi dara sehingga babi induk mengovulasikan lebih banyak rata rata dua ovum daripada babi dara. Paterson et al. (1980), menyatakan bahwa jumlah ovulasi rata-rata pada babi paritas pertama adalah 10,9 ± 0,14 ovum dan jumlah rata-rata anak yang lahir 8,0 ± 0,12 ekor. Berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan daripada jumlah ovum yang dilepaskan, menurut Tomaszewska et al., (1991) disebabkan oleh kematian embrio sebelum implantasi (perlekatan) pada dinding uterus, sebagian besar disebabkan tidak normalnya kromosom yang berhubungan dengan pembuahan dan pembelahan awal dari sel yang tidak dapat dihindari atau dicegah. Laju ovulasi menurut Sihombing (1997) akan mengalami peningkatan sampai paritas ketujuh, tetapi pada umumnya, induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Hal ini dikarenakan daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah. Selain itu, menurut Toelihere (1993) bahwa tingginya angka ovulasi ternyata dapat menyebabkan kematian prenatal atau kematian embrio dini, dimana kematian ini terjadi sebelum hari ke-25 pada masa commit kebuntingan. to user Kematian prenatal kemungkinan

14 7 akan naik seiring dengan umur dan paritas. Penyebabnya ialah angka ovulasi yang meninggi tetapi tidak diikuti dengan perbaikan jumlah litter, serta adanya kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus akan menyebabkan kematian embrio dini. Kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus menurut Hardjopranjoto (1995), disebabkan ada 3 yaitu, penyakit, stres, dan hormonal. Pertama, penyakit pada induk yang menimbulkan peningkatan suhu tubuh dan demam dapat menimbulkan kematian embrio. Ke-dua, faktor stres panas pada uterus disebabkan suhu kandang yang tinggi. Ke-tiga, faktor hormonal khususnya ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron. Kadar hormon estrogen yang berlebih dalam darah pada awal kebuntingan menyebabkan terjadinya kontraksi dinding uterus yang berlebihan sehingga diikuti oleh kematian embrio. Demikian juga dengan kekurangan sekresi hormon progesteron yang disebabkan adanya regresi korpus luteum pada awal kebuntingan, dapat diikuti kematian embrio dini. Hormon progesteron pada awal kebuntingan berfungsi untuk memelihara pertumbuhan mukosa uterus dan kelenjar-kelenjarnya sehingga mampu menghasilkan cairan yang merupakan bahan penting sebagai sumber pakan embio. Sihombing (1997), menyatakan bahwa periode yang efektif untuk menginseminasi adalah sekitar 24 jam, antara 24 hingga 36 jam setelah puncak berahi. Jika pengawinan dilakukan terlalu awal, sperma tiba di tuba fallopii terlalu awal dan mungkin mati sebelum ada telur yang lepas. Bila dikawinkan terlalu lambat, telur terlalu masak (lebih dari enam jam) dan akan berakibat lebih dari satu sperma masuk ke dalam satu telur untuk membuahi (polyspermy). Partodihardjo (1982), menyatakan bahwa jika terjadi polispermia maka fertilisasi bisa dianggap gagal karena dapat menghasilkan makhluk baru dengan jumlah kromosom lebih dari normalnya. Kromosom tersebut bersifat letal dan makhluk tersebut akan mati sebelum implantasi terjadi. Menurut Sihombing (1997), Frekuensi pengawinan sebanyak dua kali pada tiap kali berahi dapat meningkatkan laju kebuntingan ternak babi karena

15 8 ovum yang tidak dibuahi pada pengawinan pertama kemungkinan besar akan terbuahi pada pengawinan yang kedua. Inseminasi yang pertama harus lengkap 12 sampai 16 jam setelah dideteksi awal siap kawin (puncak berahi) dan sekali lagi 12 sampai 14 jam kemudian. Inseminasi yang kedua harus dilakukan walaupun induk tidak memperlihatkan tanda siap kawin dan jangan menggunakan dosis yang kedua untuk menginseminasi induk lain, sebab kemungkinan dapat menyebabkan anak yang lahir sedikit, meskipun induk akan bunting. Kebuntingan terjadi apabila adanya fertilisasi yaitu bila satu sperma bersatu dengan ovum untuk membentuk zigot dan di dalam uterus terdapat pertumbuhan embrio dan fetus. Keberhasilan pengawinan dipengaruhi oleh deteksi berahi yang tepat. Deteksi berahi pada induk sebaiknya dilakukan setiap hari, sedangkan pada babi dara dua hari sekali. Deteksi berahi dapat ditingkatkan dengan cara melihat tingkah laku induk ketika terjadi kontak langsung dengan pejantan. (Pitcher, 1997 cit Timur, 2006). Peningkatan paritas atau keacapan melahirkan anak pada babi, ada 3 cara. Pertama, memperkecil rasio antara babi dara dan induk dengan meningkatkan manajemen babi induk. Kedua, menyapih anak babi pada umur dini untuk mengurangi waktu dari lahir sampai induk dikawinkan kembali. Ketiga, meningkatkan laju konsepsi dengan jalan inseminasi buatan disertai pengawinan betina dua kali berturut-turut (Sihombing, 1997). Sementara di sisi lain, Thornton (2011) menyatakan bahwa keputusan dalam kunci untuk memanajemen kontrol pada paritas, tertumpu pada beberapa informasi dasar tentang keadaan spesifik dari produktivitas. Produktivitas dari paritas dapat dicapai jika genotip dan sistem manajemen saling beriringan agar dapat memaksimalkan keuntungan dari sebuah farm dan distribusi paritas. Distribusi paritas yang ideal di suatu peternakan menurut Carroll (1999) cit Lawlor dan Lynch (2007) adalah 17% untuk paritas 1 sampai persentase menurun < 4% untuk paritas 8 ke atas.

16 9 C. Performan Anak Babi Bobot lahir adalah bobot badan anak babi yang ditimbang segera setelah dilahirkan. Bobot lahir ini sangat bervariasi dan dipengaruhi beberapa faktor seperti umur induk, bangsa induk, efek keindukan dari betina (Pardosi, 2004). Bobot lahir dipengaruhi juga oleh genetik (Sihombing, 1997), jenis kelamin anak (Widodo dan Hakim, 1981), littersize dan paritas (Akdag et al., 2009). Indikasi bahwa paritas berpengaruh terhadap bobot lahir anak babi dan secara keseluruhan yaitu berupa rendahnya bobot lahir pada paritas pertama dibandingkan paritas berikutnya (Milligan et al., 2002). Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh keindukan. Pengaruh keindukan adalah kemampuan seekor induk dalam memelihara dan mengasuh anaknya. Pengaruh keindukan dapat terjadi pada masa prenatal dan postnatal. Prenatal adalah masa kehidupan embrio (di dalam uterus) dan postnatal adalah masa kehidupan anak babi setelah proses kelahiran dan ini sangat dipengaruhi oleh sifat keindukan, dan produksi susu induk (Legates, 1972). Widodo dan Hakim (1981) menambahkan bahwa faktor yang memberikan dan menjaga pertumbuhan dari fetus dalam uterus dapat mempengaruhi bobot lahir anak babi. Jumlah fetus yang dikandung oleh induk menurut Gordon (2008), sangat berdampak pada masa kebuntingan. Jumlah fetus yang sedikit di dalam uterus akan mempengaruhi bobot lahir pada anak babi, seperti jika jumlah fetus sedikit, maka perkembangan fetus di dalam uterus akan memakan waktu lama sehingga kebuntingan juga akan lama dan bobot badan anak babi akan bertambah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pamungkas et al. (2005) bahwa bobot induk kambing saat melahirkan anak berpengaruh sangat nyata terhadap bobot lahir anak, dimana semakin besar bobot induk saat melahirkan maka semakin besar pula bobot lahir anaknya. Begitu pula terhadap littersize, bobot induk saat melahirkan anak memberikan pengaruh yang nyata terhadap littersize. Paritas menurut Milligan et al. (2002), ternyata memberikan pengaruh signifikan terhadap rata-rata commit kelangsungan to user dari kehidupan anak babi, serta

17 10 indikasi tingginya variasi dari kelangsungan rata-rata kehidupan anak babi pada paritas pertama atau paritas berikutnya. Kelangsungan kehidupan anak babi dipengaruhi oleh adanya faktor mortalitas. Sihombing (1997), menyatakan bahwa besarnya mortalitas anak babi dari lahir sampai sapih sebesar 9,400 ekor untuk jumlah anak yang lahir, sedangkan yang dapat disapih adalah 7,300 ekor. Akdag et al. (2009), menambahkan bahwa paritas tidak memberikan perbedaan nyata terhadap bobot lahir anak babi, tetapi littersize memberikan pengaruh signifikan terhadap bobot lahir. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara bobot lahir anak babi dengan littersize menunjukkan korelasi yang negatif. Menurut Warwick et al, (1984), korelasi genetik bersifat negatif akan membatasi kemajuan yang dapat dicapai untuk kedua sifat itu secara bersamaan. Sihombing (1997), rerata bobot lahir anak babi bervariasi antara 1,090-1,770 kg. Menurut Aritonang dan Silalahi (2001), bobot lahir anak dari hasil purebreed babi Duroc (D) 1,120 kg; Landrace (L) 1,180 kg; Hampshire (H) 1,100 kg; dan Yorkshire (Y) 1,220 kg. Sementara di sisi lain, bobot lahir anak dari hasil crossbreed babi DxL 1,460 kg; HxL 1,220 kg; dan YxL 1,300 kg. D. Littersize Jumlah anak per kelahiran adalah jumlah anak yang dilahirkan per induk per kelahiran. Babi dara yang baru dikawinkan akan menghasilkan jumlah anak per kelahiran yang lebih sedikit daripada babi induk. Selanjutnya umur induk babi mencapai dewasa reproduksi adalah pada saat umur 3 tahun atau kelahiran ke-4 dan ke-5. Pada umur 4,5 tahun sebaiknya induk tersebut diafkir karena sudah tidak efektif lagi untuk dikawinkan (Sihombing, 1997). Jumlah anak per kelahiran akan dipengaruhi oleh umur induk, bangsa, dan paritas (Gordon, 2008), genetik, manajemen, lama laktasi, penyakit, stres, dan fertilitas pejantan (Lawlor dan Lynch, 2007). Menurut Gordon (2008), littersize ini dipengaruhi oleh kematian selama fertilisasi dan embrio, lama bunting, tatalaksana dan pakan.

18 11 Littersize akan meningkat diikuti dengan umur, tetapi pada paritas tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada littersize dalam umur yang sama (French et al.,1979). Selanjutnya, induk muda menghasilkan jumlah anak yang sedikit daripada induk tua. Sejak kelahiran pertama, jumlah anak cenderung meningkat dan mencapai puncak pada kelahiran ketiga dan keempat, kemudian stabil hingga kelahiran ketujuh dan selanjutnya menurun (Lawlor dan Lynch, 2007). Semakin dewasa induk menurut Tomaszewska et al. (1991), akan semakin bertambah pula bobot hidupnya yang diikuti dengan kematangan fungsi organ reproduksi, sehingga meningkatkan daya tampung uterus dan memungkinkan perkembangan fetus secara maksimal. Aritonang dan Silalahi (2001) menyatakan bahwa littersize yang berasal dari perkawinan dari bangsa murni diperoleh hasil yang sangat nyata lebih banyak bila dibandingkan dengan perkawinan dari bangsa yang berbeda (hasil persilangan). Hasilnya berupa littersize pada bangsa murni Landrace 11,400 ekor; Yorkshire 10,400 ekor; Hampshire 9,400 ekor; dan Duroc 9,000 ekor; sedangkan hasil dari persilangan mempunyai litttersize 6,800 sampai 9,200 ekor. Littersize merupakan hal terpenting dalam memaksimalkan jumlah produksi babi dan mengarahkan seleksi agar menunjang intensitas seleksi untuk diterapkan. Asumsi normal, bahwa produksi littersize utamanya dipercayakan pada betina, tetapi, ternyata pejantan juga memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya littersize oleh induk. Hal ini disebabkan oleh fertilitas pejantan yang digunakan dalam proses perkawinan (Rahnefeld dan Swierstra, 1970). Hal tersebut menurut Gordon (2008), bahwa littersize merupakan efek dari hasil fertilitas induk dengan pejantan serta sistem manajemen kontrol yang dilakukan baik saat perkawinan maupun saat pemeliharaan.

19 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perusahaan babi CV. Adhi Farm, Desa Sepreh, Kelurahan Kemiri, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar. Penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu bulan September - Desember B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah babi jantan, babi betina dan anak babi serta data yang diperoleh dari perusahaan. Pejantan yang digunakan berjumlah 3 ekor dan berasal dari bangsa yang berbeda, yaitu : Landrace (umur 3 tahun dengan bobot badan 190 kg), Duroc (umur 2 tahun dengan bobot badan 180 kg), dan Hampshire (umur 2 tahun dengan bobot badan 175 kg). Betina yang digunakan berjumlah 21 ekor berbangsa Landrace (berumur 1-5 tahun dengan bobot badan rata-rata 180 ± 15 kg). Satu ekor pejantan mengawini tujuh ekor babi betina. Kemudian keturunan hasil dari perkawinan tersebut diamati littersize dan performan bobot lahirnya. Skema Perkawinan Babi Duroc Hampshire Landrace L 1 12 LS L 8 13 LS L LS L 2 11 LS L 9 12 LS L LS L 3 11 LS L LS L 17 9 LS L 4 13 LS L LS L LS L 5 10 LS L LS L LS L 6 11 LS L 13 9 LS L LS L 7 10 LS 14 LS L 14 L LS Keterangan : L = Landrace, LS = Littersize Gambar 1. Skema perkawinan babi 13

20 14 Tabel 1. Data pakan yang diberikan pada babi No. Bahan Pakan Ransum Pejantan Dara Betina Bunting % Bekatul 30,612 48,980 48, Jagung 32,653 20,408 20, MBM (Meat Bone Meal) / 2,041 2,041 2,041 Tepung Tulang dan Daging 4. SBM (Soya Bean Meal) / 24,490 8,163 8,163 Tepung hasil sampingan dari Kedelai 5. Pollar Putih (White Pollard) 10,204 20,408 20,408 / Tepung hasil sampingan dari Gandum Total Jumlah Pakan (kg/hari) 3,5-4 2,3-2,5 2,3-2,5 Sumber: Laporan Gudang Pakan CV Adhi Farm Bulan September - Desember 2011 Alat yang digunakan adalah timbangan merek Summa kapasitas 3 kilogram dengan kepekaan 0,1 gram, marker (spidol), alat tulis dan kamera. C. Pelaksanaan Penelitian dan Analisis Data 1. Persiapan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observatif. Persiapan penelitian berupa penyusunan formulir antara lain, pejantan, indukan dan keturunan dari tetua tersebut. Formulir digunakan untuk mempermudah pengisian data saat pelaksanaan di lapangan. 2. Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Tersarang (Nested Design). Rancangan tersebut berfungsi untuk mengetahui adanya pengaruh paritas terhadap peubah yang diamati yaitu bobot lahir dan littersize. Model analisis : Y ijk = µ +α i + α(β) ij + ε ijk

21 15 dengan : µ : Rerata dari data bobot lahir maupun littersize α i α(β) ij ε ijk : Pejantan i : Pejantan (paritas j) i : Galat (Astuti, 1980). Pengaruh lingkungan dalam penelitian ini, dianggap tidak ada. Semua babi berada di bawah satu manajemen sehingga faktor lingkungan seperti cuaca, kondisi kandang, dan pakan semuanya seragam. Faktor yang diteliti adalah pengaruh dari tetua. Pengaruh tetua jantan (α i ) dan pengaruh dari betina (β) dalam hal ini adalah paritasnya. Rancangan tersarang dipilih karena faktor-faktor yang diamati adalah pejantan dan betina (dalam hal ini paritas) yang tersarang dalam pejantan. Pejantan kawin dengan beberapa betina, sedangkan betina hanya bisa kawin dengan satu pejantan. Selanjutnya, faktor induk (baik jantan dan betina) akan dianalisis dengan anova. Apabila hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT/Least Significant Difference) untuk paritas yang tersarang pada pejantan dan Uji Jarak Berganda Duncan s (Duncan s Multiple Range Test/DMRT) untuk paritas. 3. Alur Penelitian Proses pengambilan data dilakukan dengan pencatatan data tetua yang diperoleh dengan melihat recording baik dari induk dan dari pejantan yang digunakan saat proses perkawinan. Recording dari induk berupa nama, bangsa, umur, paritas keberapa dan pejantan yang digunakan. Selain itu, diambil pula data dari recording pejantan berupa nama, bangsa, dan umur. Kemudian ditunggu sampai induk tersebut bunting dan beranak. Selanjutnya, saat induk melahirkan anak babi silangan. Anak babi ditimbang segera atau dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah dilakukan penanganan berupa pembersihan cairan amnion dan pemotongan plasenta. Pencatatan yang dilakukan meliputi bobot lahir dan littersize anak babi dalam sekelahiran.

22 16 D. Peubah yang Diamati dan Parameter yang Diestimasi 1. Bobot lahir 2. Littersize per kelahiran. Bobot lahir adalah bobot badan anak babi saat lahir. Littersize adalah banyaknya anak babi yang dilahirkan oleh induk 3. Korelasi bobot lahir dengan littersize Korelasi bobot lahir dengan littersize merupakan hubungan antara dua sifat yang diakibatkan adanya pengaruh genetik. Korelasi ini mempunyai nilai -1 sampai +1. Warwick et al, (1984) menyatakan bahwa korelasi dapat bernilai positif, yaitu apabila suatu sifat meningkat maka sifat yang lain juga meningkat. Sebaliknya, korelasi dapat bernilai negatif, yaitu jika suatu sifat meningkat maka sifat yang lain akan menurun. Tabel 2. Nilai korelasi genetik Koefisien Korelasi (r) Negatif Positif Rendah -0,3 sampai -0,1 0,1 sampai 0,3 Sedang -0,5 sampai -0,3 0,3 sampai 0,5 Tinggi -1,0 sampai -0,5 0,5 sampai 1,0 Sumber : Maylinda, 2010 Rumus yang digunakan dalam perhitungan korelasi menurut Hardjosubroto, (1994) adalah r G = ( s cov s )( s 2 2 s( x) s( y) ) Keterangan : r G = korelasi genetik antara bobot lahir dengan littersize cov s = komponen peragam antar bobot lahir dengan littersize s = komponen peragam bobot lahir 2 s(x) 2 s s(y) = komponen peragam littersize 4. Variasi bobot lahir dalam sekelahiran Variasi bobot lahir dalam sekelahiran merupakan variasi dari bobot lahir anak di dalam suatu kelahiran induk dengan jumlah anak per kelahiran sama.

23 17 Rumus yang digunakan dalam menentukan variasi menurut Steel dan Torrie (1995) adalah å ( x-mx) 2 s x= n-1 2 Keterangan : 2 s x = variasi bobot lahir dalam satu littersize yang sama n = jumlah anak dalam satu induk yang sama

24 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah rerata bobot lahir, variasi bobot lahir dalam sekelahiran, dan littersize anak babi silangan. Data diambil dari anak babi silangan sejumlah 240 ekor, yang berasal dari hasil persilangan antara pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire dengan betina Landrace. Kemudian hasil tersebut dianalisis berdasarkan paritas induknya. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 3. Rerata bobot lahir dan littersize anak babi silangan berdasarkan paritas induk yang tersarang pada pejantan Pejantan Duroc Hampshire Landrace Paritas Rerata Bobot Variasi Bobot Lahir Littersize Anak Lahir (kg) dalam sekelahiran Babi (ekor) 1 (L 1 ) 1,258 x 0,030 ± 0, bc 3 (L 2 ) 1,427 x 0,031 ± 0, bcd 4 (L 3 ) 1,261 x 0,095 ± 0, bcd 6 (L 4 ) 1,149 y 0,085 ± 0, b 7 (L 5 ) 1,833 x 0,046 ± 0, bcde 8 (L 6 ) 1,302 x 0,069 ± 0, bcd 10 (L 7 ) 1,237 x 0,019 ± 0, bcde Rerata 1,430 o 0,0003 ± 0,018 11,231 n 1 (L 8 ) 1,734 x 0,155 ± 0, b 1 (L 9 ) 1,584 x 0,093 ± 0, b 2 (L 10 ) 1,601 x 0,063 ± 0, bc 3 (L 11 ) 1,650 x 0,038 ± 0, bcd 5 (L 12 ) 1,148 y 0,098 ± 0, b 7 (L 13 ) 1,181 y 0,081 ± 0,284 9 bcdef 8 (L 14 ) 1,256 x 0,065 ± 0, a Rerata 1,146 o 0,002 ± 0,045 12,190 m 2 (L 15 ) 1,625 x 0,037 ± 0, bcde 3 (L 16 ) 1,447 x 0,032 ± 0, bcd 5 (L 17 ) 1,672 x 0,116 ± 0,341 9 bcde 7 (L 18 ) 1,309 x 0,069 ± 0, bc 7 (L 19 ) 1,647 x 0,109 ± 0, bc 8 (L 20 ) 1,438 x 0,066 ± 0, a 9 (L 21 ) 1,513 x 0,039 ± 0, bcd Rerata 1,752 o 0,0001 ± 0,010 11,333 n Total 21 1,435-11,600 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada hasil pengamatan. 18

25 19 Tabel 4. Rerata bobot lahir dan littersize anak babi silangan berdasarkan paritas induknya Paritas Umur Induk (tahun) Jumlah Induk (ekor) Jumlah Anak Babi (ekor) Rerata Bobot Lahir (kg) Rerata Littersize (ekor) ,531 vw 12,351 c 2 1, ,612 v 11,091 e ,508 vw 11,000 e 4 2, ,261 xy 11,000 e ,363 wx 11,364 d ,149 y 13,000 b 7 3, ,495 vw 10,619 f ,334 wxy 13,154 a 9 4, ,513 vw 11,000 e ,237 xy 10,000 g Total ,435 11,600 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada hasil pengamatan. A. Bobot Lahir 1. Pengaruh Pejantan Hasil pengamatan rerata bobot lahir anak babi silangan berdasarkan pejantan disajikan dalam Tabel 3. Pejantan dari bangsa Duroc, Landrace, dan Hampshire ternyata dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot lahir. Namun, bangsa pejantan yang dibandingkan tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05) terhadap bobot lahir. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bangsa pejantan terhadap bobot lahir anak babi silangan tidak memberikan perbedaan. Bobot lahir dipengaruhi oleh faktor genetik (Sihombing, 1997). Faktor genetik berasal dari kontribusi gen yang berasal dari tetua pejantan dan betina. Maka, pejantan dapat mempengaruhi bobot lahir anak babi silangan. 2. Pengaruh Induk dalam Paritas Hasil pengamatan rerata bobot lahir anak babi silangan berdasarkan paritas induknya disajikan dalam Tabel 3 dan 4. Berdasarkan analisis variansi, paritas dan paritas yang tersarang pada pejantan dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot lahir. Selain

26 20 itu, antara bobot lahir yang dibandingkan dari tiap paritas dan tiap paritas yang tersarang pada pejantan menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Sihombing (1997), rerata bobot lahir anak babi bervariasi antara 1,090 sampai 1,770 kg. Sementara hasil penelitian diperoleh bahwa rerata bobot lahir anak babi silangan adalah 1,435 kg. Rerata bobot lahir anak babi yang baik terdapat pada paritas 1, 2, 3, 7 dan 9. Rerata bobot lahir terkecil yaitu 1,149 kg pada paritas ke-6 dan rerata terbesar 1,612 kg pada paritas ke-2 (Tabel 4). Paritas kedua mempunyai bobot lahir anak babi silangan yang lebih besar bila dibandingkan dengan paritas pertama (Tabel 4). Menurut Thornton (2011), paritas pertama pada induk babi akan menghasilkan nilai yang rendah pada kualitas anak babi. Hal tersebut disebabkan adanya banyak faktor yang mempengaruhi. Bobot lahir anak sangat bervariasi dan dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis kelamin anak (Widodo dan Hakim, 1981), littersize dan paritas (Akdag et al., 2009). Jadi, setiap paritas induk mempunyai pengaruh yang berbeda pada besarnya bobot lahir anak babi silangan, namun beberapa pada paritas ke-2 sampai ke-4 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pada bobot lahir anak babi silangan (Tabel 3). Hal tersebut disebabkan karena faktor maternal effect (faktor keindukan). Faktor keindukan ada dua yaitu prenatal (di dalam uterus) dan postnatal (kehidupan anak babi setelah proses kelahiran). Penurunan bobot lahir di sini disebabkan oleh maternal effect pada saat prenatal. Menurut Widodo dan Hakim (1981), semua faktor yang memberikan dan menjaga pertumbuhan dari fetus dalam uterus dapat mempengaruhi bobot lahir anak babi. Selain itu, jumlah fetus yang dikandung oleh induk sangat berdampak pada masa kebuntingan. Jika jumlah fetus sedikit, maka perkembangan fetus di dalam uterus akan memakan waktu lama sehingga kebuntingan juga akan lama dan bobot badan anak babi akan bertambah (Gordon, 2008).

27 21 B. Littersize 1. Pengaruh Pejantan Hasil pengamatan rerata littersize anak babi silangan berdasarkan pejantan disajikan dalam Tabel 3. Pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire yang disilangkan dengan betina Landrace ternyata dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) dan menunjukkan perbedaan (P<0,01) terhadap littersize. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bangsa pejantan terhadap littersize anak babi silangan memberikan perbedaan. Littersize menurut Gordon (2008), merupakan efek dari hasil fertilitas induk dengan pejantan serta sistem manajemen kontrol yang dilakukan baik saat perkawinan maupun saat pemeliharaan. Data pada paritas ke-3 yang disilangkan dengan pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire, ternyata dihasilkan littersize yang sama. Sementara di sisi lain, pada paritas ke-7 dan ke-8 dihasilkan littersize yang berbeda (Tabel 3). Hal ini dijelaskan oleh Rahnefeld dan Swierstra (1970), bahwa asumsi normal, produksi littersize utamanya dipercayakan pada betina, tetapi ternyata pejantan juga memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya littersize oleh induk. Hal ini disebabkan oleh fertilitas pejantan yang digunakan dalam proses pengawinan. 2. Pengaruh Induk dalam Paritas Hasil pengamatan rerata littersize anak babi silangan berdasarkan paritas induknya disajikan dalam Tabel 3 dan 4. Berdasarkan análisis variansi, paritas dan paritas yang tersarang pada pejantan dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap littersize. Selain itu, antara littersize yang dibandingkan dari tiap paritas dan tiap paritas yang tersarang pada pejantan menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Rerata littersize anak babi sekelahiran adalah 11,600. Rerata littersize anak babi sekelahiran yang baik terdapat pada paritas 1, 6, dan 8. Rerata littersize tertinggi terletak di paritas ke-8 yaitu 13,154 ekor, dan yang terendah yaitu 10 ekor paritas ke-10. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari jumlah induk

28 22 tidak sama di tiap paritas yang berbeda. Sementara di sisi lain, littersize pada paritas ke-3 cenderung stabil dengan hasil 11 ekor anak per kelahiran (Tabel 3). Menurut Lawlor dan Lynch, (2007), bahwa sejak kelahiran pertama, jumlah anak cenderung meningkat dan mencapai puncak pada kelahiran ketiga dan keempat, lalu stabil hingga kelahiran ketujuh dan selanjutnya menurun. Penyebabnya menurut Sihombing (1997) adalah ovulasi pada babi induk mengovulasikan lebih banyak rata rata dua ovum daripada babi dara. Laju ovulasi akan meningkat terus hingga paritas ketujuh tetapi pada umumnya induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Hal ini dikarenakan daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah. Selain itu, menurut Tomaszewska et al. (1991), semakin dewasa induk, semakin bertambah bobot hidupnya yang diikuti dengan kematangan fungsi organ reproduksi, sehingga meningkatkan daya tampung uterus dan memungkinkan perkembangan fetus secara maksimal. Jumlah anak per kelahiran akan dipengaruhi oleh umur induk, bangsa, dan paritas (Gordon, 2008). Menurut French et al.,(1979), littersize akan meningkat diikuti dengan umur, tetapi pada paritas tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada littersize dalam umur yang sama. Hal tersebut juga menunjukkan hasil yang sama yaitu jika paritas meningkat, maka littersize tidak selalu diimbangi adanya peningkatan (Tabel 4). C. Kesetimbangan Bobot Lahir dengan Littersize Berdasarkan Paritas Rerata bobot lahir anak babi dan littersize yang baik terdapat pada paritas 1, 2, 3, 7, 9 dan paritas 1, 6, 8 (Tabel 4). Jadi rerata yang baik berdasarkan kesetimbangan bobot lahir dan littersize anak babi silangan terdapat pada paritas 1. Hal ini menunjukkan bahwa pada paritas 1 atau babi dara dapat memberikan hasil yang baik pada bobot lahir maupun littersize anak babi silangan jika dibandingkan dengan paritas seterusnya atau babi induk.

29 23 Bobot lahir dan littersize anak babi silangan pada paritas 1 dapat mengungguli paritas seterusnya kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keberhasilan pengawinan dipengaruhi oleh deteksi berahi yang tepat. Pitcher (1997) cit Timur (2006) menyatakan bahwa deteksi berahi pada induk sebaiknya dilakukan setiap hari, sedangkan pada babi dara dua hari sekali. Deteksi berahi dapat ditingkatkan dengan cara melihat tingkah laku induk ketika terjadi kontak langsung dengan pejantan. Pengawinan pada babi betina (baik itu babi dara maupun babi induk) yang dilakukan berdasarkan puncak berahi pada babi dara, dapat menimbulkan perbedaan pada performan anak yang dilahirkan oleh babi dara maupun babi induk. Pengawinan yang dilakukan tidak tepat pada waktunya berahi, seperti pengawinan terlalu dini atau saat berahi yang terlewatkan dapat menyebabkan kegagalan pembuahan (fertilisasi) sehingga persentase kebuntingan rendah. Menurut (Sihombing, 1997) jika pengawinan dilakukan terlalu awal, sperma tiba di tuba fallopii terlalu awal dan mungkin mati sebelum ada telur yang lepas. Bila dikawinkan terlalu lambat, telur terlalu masak (lebih dari enam jam) dan akan berakibat lebih dari satu sperma masuk ke dalam satu telur untuk membuahi (polyspermy). Partodihardjo (1982) menyatakan bahwa jika terjadi polispermia maka fertilisasi bisa dianggap gagal karena dapat menghasilkan makhluk baru dengan jumlah kromosom lebih dari normalnya. Kromosom tersebut bersifat letal dan makhluk tersebut akan mati sebelum implantasi terjadi. Selain itu, kematian embrio dapat disebabkan oleh tidak setimbangnya jumlah ovum yang dikeluarkan dari ovarium dengan ovum yang dapat dibuahi. Banyaknya ovum yang diovulasikan pada babi induk lebih tinggi daripada babi dara sehingga babi induk cenderung lebih banyak mengalami kematian embrio. Kematian embrio dini dan ketidakseimbangan lingkungan di dalam uterus induk dapat menyebabkan berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan. Tomaszewska et al., (1991) menyatakan bahwa kematian embrio dini disebabkan oleh kematian embrio sebelum implantasi (perlekatan) pada dinding uterus, sebagian besar commit disebabkan to user tidak normalnya kromosom yang

30 24 berhubungan dengan pembuahan dan pembelahan awal dari sel yang tidak dapat dihindari atau dicegah. Sementara di sisi lain, Toelihere (1993) menyatakan bahwa kematian prenatal atau kematian embrio dini kemungkinan akan naik seiring dengan umur dan paritas. Penyebabnya ialah angka ovulasi yang meninggi tetapi tidak diikuti dengan perbaikan jumlah litter, serta adanya kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus akan menyebabkan kematian embrio dini. Kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus menurut Hardjopranjoto (1995), disebabkan ada 3 yaitu, penyakit, stres, hormonal. Pertama, penyakit pada induk yang menimbulkan peningkatan suhu tubuh dan demam dapat menimbulkan kematian embrio. Ke-dua, faktor stres panas pada uterus disebabkan suhu kandang yang tinggi. Ke-tiga, faktor hormonal khususnya ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron. Thornton (2011) menyatakan bahwa keputusan dalam kunci untuk memanajemen kontrol pada paritas, tertumpu pada beberapa informasi dasar tentang keadaan spesifik dari produktivitas. Produktivitas dari paritas dapat dicapai jika genotip dan sistem manajemen saling beriringan agar dapat memaksimalkan keuntungan dari sebuah farm dan distribusi paritas. D. Korelasi Bobot Lahir dengan Littersize Gambar 2. Diagram garis hubungan bobot lahir dengan littersize

31 25 Hasil analisis korelasi antara bobot lahir dengan littersize anak babi silangan bernilai 0,166. Nilai tersebut menunjukkan tingkat keeratan yang rendah dari bobot lahir dengan littersize. Nilai korelasi rendah (nilai ± 0,1) berarti jika dilakukan seleksi terhadap littersize maka akan memberikan respon peningkatan yang lemah terhadap bobot lahir. Menurut Akdag, et al. (2009), paritas tidak memberikan perbedaan nyata terhadap bobot lahir anak babi, tetapi littersize memberikan pengaruh signifikan terhadap bobot lahir. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara bobot lahir anak babi dengan littersize menunjukkan korelasi yang negatif. Nilai korelasi bersifat negatif menunjukkan adanya hubungan yang berkebalikan dari keduanya. Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anak sekelahiran (littersize), maka bobot lahir akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya. Menurut Warwick et al. (1984), korelasi genetik bersifat negatif akan membatasi kemajuan yang dapat dicapai untuk kedua sifat itu secara bersamaan. Jadi, hubungan antara littersize dan bobot lahir pada hasil penelitian sebesar 16,6% dipengaruhi oleh faktor genetik dan 83,4% dipengaruhi lingkungan. E. Variasi Bobot Lahir dalam Sekelahiran 1. Pengaruh Pejantan Hasil pengamatan variasi bobot lahir anak babi silangan berdasarkan pejantan disajikan dalam Tabel 3. Pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire yang disilangkan dengan betina Landrace ternyata memberikan tingkat variasi yang sangat rendah terhadap bobot lahir sebab mendekati nilai nol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bangsa pejantan terhadap variasi bobot lahir anak babi silangan tidak memberikan variasi. 2. Pengaruh Induk dalam Paritas Hasil pengamatan variasi bobot lahir dalam jumlah anak babi sekelahiran disajikan dalam Tabel 3. Variasi bobot lahir dalam jumlah anak babi sekelahiran bervariasi commit yaitu 0,019 to user - 0,155 yang berarti tingkat variasi

32 26 rendah. Semakin rendah nilai variasi dari bobot lahir dalam sekelahiran menunjukkan adanya banyak keseragaman dari bobot lahir dalam sekelahiran, begitu juga sebaliknya. Jika semakin tinggi nilai variasi dari bobot lahir dalam sekelahiran, maka akan menunjukkan rendahnya keseragaman dari bobot lahir dalam sekelahiran. Milligan et al. (2002), menyatakan bahwa efek dari paritas memberikan pengaruh signifikan serta indikasi tingginya variasi dari ratarata kelangsungan kehidupan anak babi pada paritas pertama atau paritas berikutnya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya variasi seperti bobot lahir menghubungkan pada bobot sapih, tetapi tidak berpengaruh terhadap rerata bobot sapih. Pengaruh maternal effect pada masa postnatal (kehidupan anak babi setelah proses kelahiran) dan adanya faktor mortalitas diyakini sebagai faktor yang memberikan dampak pada kelangsungan anak babi dari bobot lahir sampai sapih (Legates, 1972).

Performan Anak Babi Silangan Berdasarkan Paritas Induknya

Performan Anak Babi Silangan Berdasarkan Paritas Induknya Sains Peternakan Vol. 10 (), September 01: 56-63 ISSN 1693-888 Performan Anak Babi Silangan Berdasarkan Paritas Induknya N.Wahyuningsih, Y.B.P. Subagyo, Sunarto, S. Prastowo dan N. Widyas Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya

Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya Tropical Animal Husbandry Vol. (1), Januari 013: 8-33 ISSN 301-991 Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya K. Satriavi, Y. Wulandari, Y.B.P.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang cepat, jumlah anak per kelahiran (littersize) yang tinggi dan efisiensi

TINJAUAN PUSTAKA. yang cepat, jumlah anak per kelahiran (littersize) yang tinggi dan efisiensi 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Babi Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan ternak babi memiliki sifat dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KINERJA REPRODUKSI INDUK BABI LANDRACE YANG DI FLUSHING DAN DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN DUROC SERTA DUROC PIETRAIN.

PERBANDINGAN KINERJA REPRODUKSI INDUK BABI LANDRACE YANG DI FLUSHING DAN DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN DUROC SERTA DUROC PIETRAIN. digilib.uns.ac.id PERBANDINGAN KINERJA REPRODUKSI INDUK BABI LANDRACE YANG DI FLUSHING DAN DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN DUROC SERTA DUROC PIETRAIN Skrips I Jurusan / Program Studi Peternakan Oleh : AGUS

Lebih terperinci

VI. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VI. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VI VI. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK PERFORMANS BABI SILANGAN

PARAMETER GENETIK PERFORMANS BABI SILANGAN digilib.uns.ac.id PARAMETER GENETIK PERFORMANS BABI SILANGAN Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan Di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jurusan/Program

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PERKAWINAN (IB) ANTARA BABI JANTAN DUROC DAN DUROC PIETRAIN DENGAN BETINA LANDRACE. Jurusan/Program Studi Peternakan

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PERKAWINAN (IB) ANTARA BABI JANTAN DUROC DAN DUROC PIETRAIN DENGAN BETINA LANDRACE. Jurusan/Program Studi Peternakan PERBANDINGAN KEBERHASILAN PERKAWINAN (IB) ANTARA BABI JANTAN DUROC DAN DUROC PIETRAIN DENGAN BETINA LANDRACE Jurusan/Program Studi Peternakan Oleh : Agung Wicaksono H0507014 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing dapat menjadi salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani di Indonesia. Kambing merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES Nico ferdianto, Bambang Soejosopoetro and Sucik Maylinda Faculty of Animal Husbandry, University

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tipe Babi Pada pokoknya babi bisa dibedakan menjadi tiga tipe (Sihombing, 2006) : 1). Lard type (babi tipe lemak) Termasuk kelompok babi tipe lemak ialah yang memili ciri-ciri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kambing adalah salah satu jenis ternak penghasil daging dan susu yang sudah lama dikenal petani dan memiliki potensi sebagai komponen usaha tani yang penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing Kingdom Bangsa Famili Subfamili Ordo Subordo Genus Spesies : Animalia : Caprini : Bovidae :Caprinae : Artiodactyla : Ruminansia : Capra : Capra sp.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembibitan Sapi Perah Dalam kerangka budidaya sapi perah, pembibitan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari ketiga pilar bidang peternakan yaitu, pakan, bibit dan manajemen.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

Penampilan Reproduksi Induk Babi Landrace yang Dipelihara Secara Intensif di Kabupaten Badung

Penampilan Reproduksi Induk Babi Landrace yang Dipelihara Secara Intensif di Kabupaten Badung Penampilan Reproduksi Induk Babi Landrace yang Dipelihara Secara Intensif di Kabupaten Badung ( REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF THE LANDRACE SOWS INTENSIVELY MAINTAINED IN BADUNG) Ita Octarina Purba 1, Made

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

Animal Agriculture Journal 4(2): , Juli 2015 On Line at :

Animal Agriculture Journal 4(2): , Juli 2015 On Line at : On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENDUGAAN KEUNGGULAN PEJANTAN KAMBING PERANAKAN ETTAWA BERDASARKAN BOBOT LAHIR DAN BOBOT SAPIH CEMPE DI SATKER SUMBEREJO KENDAL (Estimation of

Lebih terperinci

Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan ISSN: Vol. 2 No. 1 Tahun 2017

Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan ISSN: Vol. 2 No. 1 Tahun 2017 USAHA PEMBIBITAN TERNAK BABI MAULAFA Tri Anggarini Y. Foenay, Theresia Nur Indah Koni Jurusan Peternakan - Politani Negeri Kupang Email: anggarini.foenay@gmail.com ABSTRAK Tujuan dari kegiatan IbM adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) Kambing PE pada awalnya dibudidayakan di wilayah pegunungan Menoreh seperti Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Pengasih (Rasminati,

Lebih terperinci

PEMILIHAN BIBIT DAN TIPE TERNAK BABI

PEMILIHAN BIBIT DAN TIPE TERNAK BABI TUGAS MAKALAH KELOMPOK MANAJEMEN PEMBIBITAN NONRUMINANSIA PEMILIHAN BIBIT DAN TIPE TERNAK BABI Oleh: KELOMPOK I Dimas Panji Pangestu Pebrianto Retta Fadli Isra Saite Syahrul Mubarak Taufik Hidayat Muh.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Boerawa Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer jantan dan PE betina. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, kambing Boer merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Boerawa Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa (PE) betina. Kambing hasil persilangan ini mulai berkembang

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK PTP101 Dasar Produksi Ternak 3(2-3) Mata kuliah ini memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan, memahami tentang arti, fungsi jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Domba Domba merupakan jenis ternak potong yang tergolong ternak ruminansia kecil, hewan pemamah biak dan merupakan hewan mamalia. Disamping sebagai penghasil daging

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos banteng atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos banteng atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Menurut Aafls (1934) yang dikutip oleh Meijer (1962), sapi bali yang berasal dari famili Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing 1. Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing Boer

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi

Lebih terperinci

pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL

pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keunggulan antara lain karena pertumbuhannya yang cepat, konversi ransum yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keunggulan antara lain karena pertumbuhannya yang cepat, konversi ransum yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Babi Ternak babi adalah ternak monogastrik penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember RINGKASAN Induk domba yang subur mampu menghasilkan anak

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

Analisis litter size, bobot lahir dan bobot sapih hasil perkawinan kawin alami dan inseminasi buatan kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE)

Analisis litter size, bobot lahir dan bobot sapih hasil perkawinan kawin alami dan inseminasi buatan kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE) Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 23 (3): 41-46 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Analisis litter size, bobot lahir dan bobot sapih hasil perkawinan kawin alami dan inseminasi buatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ternak Domba Domba diklasifikasikan sebagai hewan herbivora (pemakan tumbuhan) karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba lebih menyukai rumput dibandingkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong merupakan bangsa-bangsa kambing yang terdapat di wilayah Jawa Tengah (Dinas Peternakan Brebes

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus TINJAUAN PUSTAKA Babi Yorkshire Klasifikasi zoologis ternak babi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Salah satu komoditas kekayaan plasma nutfah nasional di sub sektor peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang dapat memproduksi susu,

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang kan oleh peternak di Lampung. Populasi kambing di Lampung cukup melimpah, tercatat pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Peranakan Etawah Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo Ruminansia, Famili Bovidae, dan Genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burns,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup

Lebih terperinci

PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan

PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan Oleh : Sri Wahyuningsih H0509062 FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo ruminansia, famili Bovidae, dan genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burn, 1994). Kambing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan di Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT P a g e 1 MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT TERNAK DOMBA POTONG EKOR GEMUK (DEG) DAN DOMBA EKOR TIPIS (DET )DI INDONESIA UNTUK SIFAT PRODUKSI DAGING MELALUI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT Erwin Jatnika Priyadi*, Sri Bandiati Komar Prajoga, dan Deni Andrian Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi Puyuh ( Coturnix Coturnix Japonica) Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan terus berkembang hingga ke penjuru dunia, dikenal dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli yang dikembangkan di Indonesia. Ternak ini berasal dari keturunan asli banteng liar yang telah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERIODE BERANAK DENGAN LITTER SIZE DAN BOBOT LAHIR ANAK BABI, DI PERUSAHAN PETERNAKAN BABI, KEDUNGBENDA, KEMANGKON PURBALINGGA

HUBUNGAN ANTARA PERIODE BERANAK DENGAN LITTER SIZE DAN BOBOT LAHIR ANAK BABI, DI PERUSAHAN PETERNAKAN BABI, KEDUNGBENDA, KEMANGKON PURBALINGGA HUBUNGAN ANTARA PERIODE BERANAK DENGAN LITTER SIZE DAN BOBOT LAHIR ANAK BABI, DI PERUSAHAN PETERNAKAN BABI, KEDUNGBENDA, KEMANGKON PURBALINGGA (THE CORRELATION AMONG LAMBING PERIOD, LITTER SIZE AND PIGLET

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba lokal dapat didefinisikan sebagai domba hasil perkawinan murni atau silangan yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan diketahui sangat produktif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland, 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Sapi Perah FH Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland, Belanda. Sapi tersebut di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau

Lebih terperinci