EVALUASI PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR DEVI SANDY AMBARPRATIWI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR DEVI SANDY AMBARPRATIWI"

Transkripsi

1 EVALUASI PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR DEVI SANDY AMBARPRATIWI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT DEVI SANDY AMBARPRATIWI. Achievement of Right to Food and Nutrition Fulfillment in Indonesia in the Last Three Decades. Under supervision of DRAJAT MARTIANTO. The objective of this study was to evaluate the achievement of right to food and nutrition fulfillment in Indonesia in the last three decades ( ). The study design was a descriptive study and a set of secondary data was used in the study. The evaluation used the indicators of right to food and nutrition that was established by FAO in The data was analyzed using Microsoft Excel 2007 for Windows and Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) version 16. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food availability per capita generally have been fulfilled. In the period , the level of energy availability was ranged from 98%-184% and protein was ranged from 87%-156%. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food access generally have not been fulfilled. The level of poverty and unemployment are still high although showed a decreasing trend. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food consumption generally have been fulfilled. In the period , the level of energy consumption was ranged 82%-102% and protein was ranged 88%-105%. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of food safety generally have not been fulfilled. The food poisoning outbreak remains a serious problem significantly increasing each year. The right to food and nutrition fulfillment from the aspect of nutritional status generally have not been fulfilled. The nutritional status of children under five years according to the index weight for age, height for age, and weight for height is still considered a health problem base on WHO criteria. Keywords: right to food and nutrition, Indonesia, food security.

3 RINGKASAN DEVI SANDY AMBARPRATIWI. Evaluasi Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir ( ). Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi ketersediaan pangan per kapita; 2) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi akses terhadap pangan berdasarkan tingkat kemiskinan dan indikator daya beli pangan; 3) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi konsumsi pangan; 4) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi keamanan pangan; 5) Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi status gizi masyarakat; 6) Mempelajari hubungan ketersediaan energi dan protein per kapita dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian; 7) Mempelajari hubungan konsumsi energi dan protein per kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran; 8) Mempelajari hubungan konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan ketersediaan energi per kapita; 9) Mempelajari hubungan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan tingkat kemiskinan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait. Pengolahan data dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada bulan April-Juli Evaluasi terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dianalisis secara deskriptif menggunakan indikator-indikator hak atas pangan yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO) tahun Jenis data yang digunakan terdiri atas data ketersediaan pangan per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pengeluaran, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, konsumsi pangan per kapita, Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan, dan status gizi. Data-data tersebut diolah menggunakan program Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16. Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi ketersediaan pangan per kapita secara umum telah terpenuhi. Selama tiga dekade terakhir, perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein mengalami peningkatan dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan energi berkisar 98%-184% dan protein 87%-156%. Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi akses pangan secara umum belum terpenuhi. Hal ini tercermin dari tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tergolong tinggi meski memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi konsumsi pangan per kapita secara umum telah terpenuhi. Selama tiga dekade terakhir, perkembangan konsumsi pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein mengalami peningkatan dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat konsumsi energi berkisar 82%-102% dan protein 88%-105%. Meski demikian, rata-rata pertumbuhan konsumsi energi dan protein

4 tergolong lambat, yaitu masing-masing 0,5% dan 1,8% per tahun selama periode Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi keamanan pangan secara umum belum terpenuhi. Situasi keamanan pangan di Indonesia menunjukkan masih banyaknya kasus ketidakamanan pangan. Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan masih sering ditemukan. Secara umum pada periode tahun , KLB keracunan makanan meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Jumlah penderita KLB keracunan makanan pada periode berkisar orang dan jumlah kasus KLB keracunan makanan pada periode berkisar kasus tiap tahunnya. Namun demikian, diduga masih banyak KLB keracunan pangan yang belum dilaporkan di Indonesia. Pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari sisi status gizi masyarakat secara umum belum terpenuhi. Hal ini tercermin dari status gizi pada balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/U masih dikategorikan masalah kesehatan berdasarkan kriteria WHO. Masalah gizi mikro seperti gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dan anemia gizi besi (AGB) juga masih dikategorikan masalah kesehatan. Selain masalah kekurangan gizi, Indonesia juga mulai dihadapkan pada masalah gizi lebih. Adanya masalah gizi lebih menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan gizi ganda. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata antara PDB per kapita dengan ketersediaan energi dan protein per kapita. Ketersediaan energi dan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya PDB per kapita. Akan tetapi, terdapat hubungan negatif dan nyata antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan energi dan protein per kapita. Ketersediaan energi dan protein per kapita semakin rendah seiring dengan meningkatnya persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN. Terdapat hubungan negatif dan nyata antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi energi dan protein per kapita. Konsumsi energi dan protein per kapita semakin rendah seiring dengan meningkatnya persentase penduduk miskin. Sementara itu, terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi energi dan protein per kapita. Konsumsi energi dan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sebulan. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan konsumsi energi per kapita. Konsumsi energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya ketersediaan energi per kapita. Akan tetapi, tidak terdapat hubungan yang nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Sementara itu, terdapat hubungan yang positif dan nyata antara persentase penduduk miskin dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) semakin tinggi seiring dengan meningkatnya persentase penduduk miskin.

5 EVALUASI PEMENUHAN HAK ATAS PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR DEVI SANDY AMBARPRATIWI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NIM : Evaluasi Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir : Devi Sandy Ambarpratiwi : I Disetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si NIP Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP Tanggal Lulus :

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul Evaluasi Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari arahan, masukan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, saran, semangat serta dorongan kepada penulis selama menjalankan studi di IPB dan selama penyusunan dan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas segala saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Badan Pusat Statistik (BPS) RI, Kementerian Kesehatan RI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Kementerian Pertanian RI, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI atas kerjasama dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini. 4. Keluarga tersayang: Papa, Mama, dan adikku Irdan yang setia memberi cinta, kasih, sayang, dukungan, doa, dan motivasi kepada penulis. 5. Sahabat-sahabat Prima: Devi Nur, Mayang, Nesyi, Siti Hajar atas persahabatan layaknya saudara yang menemani, mendukung, dan memberi semangat selama melaksanakan studi di IPB. Semoga persahabatan ini tetap prima. 6. Sahabat-sahabat tercinta: Ayu Mer, Detasya, Ainur, Rofika, Nicky, Isma, dan Ardita. 7. Teman-teman Luminaire atas kebersamaan, bantuan, pembelajaran, dan semangat yang telah diberikan. 8. Teman-teman seperjuangan : Anak Agung Ayu Widi Utari, Elfrida Yuliansari, dan Nesyi Febi Oktarina Putri yang telah berjuang bersama dari awal penelitian hingga selesai.

8 9. Teman-teman KKP Desa Sukajadi (Ezy, Dara, Linda, Ima, Gustam, dan Mbak Chyn) atas kebersamaan dan kerjasamanya selama dua bulan di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. 10. Teman-teman Internship Dietetic (ID) (Imam, Nesyi, Mbak Desie, Mbak Yudhit, dan Mbak Ummi) atas kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasamanya selama ID di Rumah Sakit Cibinong Bogor. 11. Keluarga besar Departemen Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU, teman-teman angkatan 43, 45, 46 atas segala bantuannya. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Oktober 2011 Devi Sandy Ambarpratiwi

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 11 Desember Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Engkos Kosasih dan Ibu Tita Maemunah. Penulis memulai pendidikan di TK Islamiah Sayang Cianjur pada tahun 1994, kemudian melanjutkan ke SDN Tanjungsari II Cianjur pada tahun 1995 dan lulus pada tahun Pada tahun , penulis melanjutkan pendidikan di SMP Plus Al-Ittihad Cianjur. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMAN 1 Cianjur dan lulus pada tahun Pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif menjadi anggota UKM Gentra Kaheman 2007/2008, anggota Klub Kebijakan Pangan dan Gizi Himagizi periode 2009/2010, dan staf marketing Majalah EMULSI periode 2010/2011. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Pada bulan Februari 2011, penulis melaksanakan Internship Dietetic (ID) di Rumah Sakit Cibinong Bogor. Selain itu, penulis juga aktif menjadi panitia dari berbagai acara yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (Himagizi). Penulis memiliki pengalaman dalam kepanitiaan diantaranya panitia Desa Mitra (DEMI) Himagizi, Gizi Bhakti Masyarakat Himagizi, Seminar Keprofesian Himagizi, Seminar Nasional Senzational (Gizi Seimbang yang Aman dan Enak). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Metabolisme Zat Gizi tahun 2010 dan Ekonomi Pangan dan Gizi tahun 2011.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 4 Kegunaan Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Aspek Hak atas Pangan... 5 Ketersediaan Pangan... 5 Akses Pangan... 6 Kemiskinan... 7 Pengangguran... 8 Produk Domestik Bruto (PDB)... 9 Konsumsi Pangan Kerawanan Pangan Keamanan Pangan Status Gizi KERANGKA PEMIKIRAN METODOLOGI PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jenis dan Sumber Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operational HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Ketersediaan Pangan Per Kapita di Indonesia Perkembangan Akses Pangan di Indonesia Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran Pengeluaran Per Kapita Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Perkembangan Konsumsi Pangan di Indonesia Kerawanan Pangan Perkembangan Keamanan Pangan di Indonesia Perkembangan Status Gizi Masyarakat di Indonesia Status Gizi a. Status Gizi Balita b. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) c. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) d. Anemia Gizi Besi (AGB)... 48

11 Halaman e. Kurang Vitamin A (KVA) f. Gizi Lebih Kesehatan Lingkungan a. Akses Air Minum Layak b. Akses Sanitasi Layak Hubungan Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita dan Persentase Anggaran Kementerian Pertanian di Indonesia Hubungan Konsumsi Energi dan Protein Per Kapita dengan Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengeluaran di Indonesia Hubungan Konsumsi Energi Per Kapita dan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Ketersediaan Energi Per Kapita di Indonesia Hubungan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Perkembangan Kebijakan dan Program di Bidang Ketahanan Pangan dan Gizi dan Pencapaiannya KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 86

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB standar baku antropometri WHO-NCHS Jenis, sumber, dan tahun data penelitian Indikator pemenuhan hak atas pangan dan gizi terpilih Perkembangan jumlah penderita kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Indonesia tahun Perkembangan kejadian luar biasa keracunan makanan yang terlaporkan tahun Prevalensi pendek/stunting anak balita < 2SD dari beberapa jenis survei Prevalensi kurus/wasting anak balita < 2SD dari beberapa jenis survei Proporsi BBLR SDKI dan Riskesdas Perkembangan prevalensi xerophthalmia (X1B) tahun Masalah gizi mikro di Indonesia berdasarkan studi masalah gizi mikro di 10 provinsi Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III dan Repelita IV Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V dan Repelita VI Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas dan RPJMN Perkembangan pencapaian pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir... 76

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Komponen-komponen hak atas pangan Kerangka pemikiran evaluasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia tahun Perkembangan ketersediaan protein per kapita di Indonesia tahun Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun Perkembangan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia tahun Perkembangan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan di Indonesia tahun Perkembangan PDB per kapita atas dasar harga konstan di Indonesia tahun Perkembangan konsumsi energi per kapita di Indonesia tahun Perkembangan konsumsi protein per kapita di Indonesia tahun Perkembangan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) di Indonesia tahun Perkembangan prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia tahun Perkembangan prevalensi gondok total (TGR) di Indonesia tahun Perkembangan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia tahun Perkembangan prevalensi anemia gizi besi pada balita di Indonesia tahun Perkembangan prevalensi gizi lebih (BB/U) pada balita di Indonesia tahun Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sumber air minum layak di Indonesia tahun

14 Halaman 18 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak di Indonesia tahun Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia ( ) Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia ( ) Perkembangan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia ( ) Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia ( ) Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan ketersediaan energi per kapita di Indonesia ( ) Hubungan antara persentasi penduduk defisit energi (<70% AKE) dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( )... 66

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan Hasil uji korelasi Person hubungan ketersediaan energi dan protein dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian Hasil uji korelasi Person hubungan konsumsi energi dan protein per kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran Hasil uji korelasi Person hubungan konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan ketersediaan energi per kapita Hasil uji korelasi Person hubungan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan tingkat kemiskinan... 87

16 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Pemenuhan pangan merupakan hak bagi setiap individu di setiap negara. Hak atas pangan telah diakui sebagai komponen utama pada hak atas standar kehidupan yang layak semenjak dicetuskannya Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hak ini secara luas diakui di dalam hukum internasional, seperti disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 25 ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan... International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966 pada pasal 11 ayat (1) lebih lanjut menyebutkan bahwa Negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak untuk diri dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan papan yang layak, serta peningkatan kondisi hidup yang berkelanjutan. Negara yang meratifikasi ketentuan dasar hak asasi manusia ini berarti mengakui bahwa hak atas pangan yang cukup harus direalisasikan secara progresif dan negara berkewajiban untuk: 1) menghormati, 2) melindungi, dan 3) memenuhi hak manusia atas pangan dan gizi. Hak atas pangan merupakan hak atas semua elemen gizi yang dibutuhkan setiap individu untuk hidup sehat dan aktif dan memiliki akses untuk mendapatkannya (FAO 2010). Menurut FAO (2006a), pemenuhan hak atas pangan dibangun berdasarkan tiga aspek yaitu: ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan kecukupan pangan (food adequacy). Lebih lanjut Komentar Umum No. 12 menjelaskan bahwa inti dari hak atas pangan yang cukup adalah: 1) Ketersediaan pangan dalam kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan individu, bebas dari substansi yang merugikan, serta bisa diterima oleh budaya setempat, 2) Aksesibilitas pangan yang berkesinambungan dan tidak mengganggu pemenuhan hak asasi manusia lainnya. Sejauh mana kewajiban negara dalam merealisasikan pemenuhan hak atas pangan, Komentar Umum Nomor 12 mendefinikan bahwa pemenuhan hak atas pangan yang cukup terrealisasi ketika setiap laki-laki, perempuan dan anak,

17 2 secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain, memiliki akses ekonomi dan fisik pada setiap waktu atas pangan yang cukup atau cara untuk mendapatnya. Hak atas pangan yang cukup harus diwujudkan secara progresif. Meski demikian, negara mempunyai kewajiban inti untuk mengambil tindakantindakan yang diperlukan untuk mengurangi dan menurunkan kelaparan, bahkan di kala bencana alam atau lainnya. Sebelum lahir Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, Indonesia telah lebih dahulu mempunyai komitmen akan pentingnya pemenuhan pangan setiap penduduk Indonesia, sebagai bagian dari penjabaran Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) Dalam pasal ini dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab di dalam memenuhi kebutuhan dasar (termasuk pangan) bagi setiap warganya. Memperkokoh aspek legal internasional dan UUD 1945 tersebut, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan juga menekankan bahwa pangan adalah hak asasi manusia (HAM) (Hardinsyah 2001). Ketahanan pangan merupakan kondisi awal untuk dapat mewujudkan hak atas pangan yang cukup bagi setiap individu. Begitu juga sebaliknya, pemenuhan hak atas pangan dapat mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan (FAO 2010). Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 ayat (17) yang menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu pihak berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan di pihak lain pemerintah berkewajiban meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah. Hasil kesepakatan dari Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan akan terwujud ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. World Food Summit yang dilaksanakan oleh FAO tahun 1996 tersebut menghasilkan deklarasi dan rencana aksi (plan of action) untuk mengurangi jumlah penduduk rawan pangan (food insecurity) menjadi setengahnya pada tahun 2015.

18 3 Konsep dan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional telah dimulai sejak awal kemerdekaan, yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu hingga Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun Namun demikian, berkembang pesatnya penduduk beserta seluruh aktivitas sosial, ekonomi, dan politik telah menimbulkan tantangan dan masalah yang sangat kompleks dan sangat mempengaruhi upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional (Suryana 2001). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama periode tahun sebesar 1,49% (BPS 2010a). Kondisi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 meningkat lebih dari setengahnya (61%) dari jumlah penduduk tahun 1980 (147,5 juta jiwa) (BPS 2010b). Menurut DKP (2011), dengan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia yang masih tinggi, maka dapat menjadi ancaman yang cukup besar dalam upaya penyediaan pangan nasional. Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka permintaan pangan akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan meningkat dalam jumlah, mutu, keragaman jenis, dan keamanannya. Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa termasuk Indonesia, memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional dengan keragaman antar daerah. Tidak satupun negara dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketahanan pangannya. Oleh sebab itu, perwujudan ketahanan pangan yang bertumpu pada sumberdaya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal telah menjadi komitmen nasional untuk diwujudkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama masyarakat dalam arti luas termasuk dunia usaha yang bergerak di bidang pangan (Suryana 2001). Menyadari pentingnya negara dalam merealisasikan pemenuhan hak atas pangan dan gizi maka evaluasi terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya menggambarkan sejauh mana negara dalam merealisasikan kewajibannya. Khususnya, menilai dampak dinamika tatanan sosial ekonomi politik terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia.

19 4 Tujuan Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir ( ). Tujuan khususnya adalah: 1. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi ketersediaan pangan per kapita. 2. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi akses terhadap pangan berdasarkan tingkat kemiskinan dan indikator daya beli pangan. 3. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi konsumsi pangan. 4. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi keamanan pangan. 5. Mempelajari perkembangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dari sisi status gizi masyarakat. 6. Mempelajari hubungan ketersediaan energi dan protein per kapita dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian. 7. Mempelajari hubungan konsumsi energi dan protein per kapita dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengeluaran. 8. Mempelajari hubungan konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan ketersediaan energi per kapita. 9. Mempelajari hubungan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dengan tingkat kemiskinan. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana pemerintah merealisasikan kewajibannya dalam memenuhi hak atas pangan dan gizi bagi setiap warga negara Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan dan program yang tepat untuk mewujudkan ketahanan pangan dan pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia.

20 5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah umum "all people (semua orang)" (FAO 2008). Atribut substantif dari hak atas pangan yang cukup pada dasarnya sama dengan ketahanan pangan yang didefinisikan oleh FAO, yaitu memiliki tiga pilar: ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan kecukupan pangan (food adequacy) (FAO 2006a). Pendekatan berbasis hak pada hak atas pangan memperluas ruang lingkup konsep ketahanan pangan (FAO 2008). s Hak atas Pangan Martabat Manusia Akuntabilitas Pemberdayaan Non-diskriminasi Partisipasi Transparan Penegakan Hukum Ketersediaan Pangan Akses Pangan Kecukupan Pangan Berbasis Hak Asasi Manusia Gambar 1 Komponen-komponen hak atas pangan (FAO 2006a) Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, dan keamanannya. Terdapat acuan kuantitatif untuk ketersediaan

21 6 pangan, yaitu Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita per hari untuk energi sebesar kkal dan protein 57 gram. Angka tersebut merupakan standar kebutuhan energi bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah kkal/kap/hari dan kecukupan protein sebesar 55 gram/kap/hari. Di samping itu juga terdapat acuan untuk menilai tingkat keragaman ketersediaan pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai PPH ideal. Kinerja keragaman ketersediaan pangan pada suatu waktu dapat dinilai dengan metode PPH (Bappenas 2008a). Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) impor pangan; dan (3) pengelolaan cadangan pangan. Mengingat jumlah penduduk yang cukup besar dengan kemampuan ekonomi yang relatif lemah, serta kemauan untuk menjadi bangsa yang mandiri, bangsa Indonesia telah sepakat untuk memenuhi sebesar mungkin kebutuhan pangannya dari produksi dalam negeri. Impor pangan merupakan pilihan akhir apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri. Hal ini secara politik dianggap penting untuk menghindarkan bangsa ini dari ketergantungan pangan terhadap negara lain, yang dapat berdampak pada kerentanan terhadap campur tangan asing secara ekonomi dan politik. Kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok, juga menyangkut harkat dan kelanjutan eksistensi bangsa (Bappenas 2008a). Akses Pangan Menurut Bappenas (2010b), akses pangan adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial, alam, manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/ atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumahtangga mampu dan memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Akses pangan setiap individu sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinu (Bappenas 2007). Aksesibilitas pangan atau keterjangkauan pangan oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: harga pangan, tingkat pendapatan atau daya beli, kestabilan keamanan sosial, anomali iklim, bencana alam, lokasi dan topografi

22 7 wilayah, keberadaan sarana dan prasarana transportasi, kondisi jalan perhubungan, dan lainnya (DKP 2011). Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah (Bappenas 2010b). Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1998), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. Menurut Suhardjo (2008), kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya. Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang dikukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditas. Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis komoditi untuk pedesaan (BPS 2008). World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam

23 8 menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganalisis kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari (BPS 2008). Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan lingkaran setan yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989). Pengangguran Salah satu penyebab terjadinya kekurangan pangan yaitu masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat yang berarti daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin sulit diwujudkan (Suntoro 2004). Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalahmasalah sosial lainnya. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran atau konsumsinya yang pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya tingkat kualitas hidup atau kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan atau berlangsung lama juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi penganggur bahkan keluarganya. Dari sisi nasional, tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan ketidakstabilan politik, keamanan, dan sosial sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Akibat jangka panjangnya adalah menurunnya Produk Nasional Bruto (Gross National Product) dan pendapatan per kapita suatu negara (BPS 2007a). Konsep dan definisi ketenagakerjaan yang digunakan BPS dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada konsep yang berlaku secara

24 9 internasional dari ILO (ILO Concept Approach). Hal ini bertujuan agar indikator ketenagakerjaan Indonesia bersifat internasional sehingga dapat dibandingkan dengan negara lain. Menurut konsep ILO, penganggur terbuka atau dikenal dengan istilah pengangguran didefinisikan sebagai mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Definisi ini digunakan pada pelaksanaan Sakernas sebelum tahun 2001, sedangkan sejak tahun 2001 definisi pengangguran mengalami penyesuaian/ perluasan menjadi sebagai berikut: penganggur adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, dan yang tidak mencari pekerjaan (BPS 2007b). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memberikan indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: TPT = (Penganggur/ Angkatan Kerja) x 100 % Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit (orang) maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pengangguran yang tinggi akan saling berkaitan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan kemiskinan serta berdampak terhadap timbulnya berbagai masalah kerawanan sosial di suatu wilayah (BPS 2007a). Produk Domestik Bruto (PDB) Perkembangan ekonomi akan sesuai dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi (economic resources). Sumber daya tersebut adalah tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Ketiga sumber daya tersebut dalam ilmu ekonomi disebut sebagai faktor-faktor produksi (factor of production). Dengan menggunakan faktor produksi tersebut, input antara (intermediate input) atau bahan baku dapat diubah menjadi output. Pengertian inilah yang relevan dengan istilah nilai tambah (value added). Penjumlahan nilai tambah dalam satu periode tertentu di suatu wilayah tertentu dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) (BPS 2010c). Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (1 tahun). PDB per kapita diperoleh apabila PDB per kapita dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di suatu negara tertentu. PDB menunjukkan

25 10 kemampuan sumber daya ekonomi suatu negara menghasilkan output pada suatu periode waktu. Nilai PDB yang besar menunjukkan output yang dihasilkan besar, begitu juga sebaliknya (BPS 2007b). Nilai tambah yang diciptakan, diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan) sektor ekonomi yaitu, sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih, bangunan, perdagangan-hotel-restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan-real estat-jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa (BPS 2010c). Nilai PDB disajikan melalui dua harga, yaitu atas dasar harga berlaku (at current market prices) dan harga konstan (constant prices). Konsep atas dasar harga konstan merupakan PDB atas dasar harga berlaku yang telah dihilangkan pengaruh perubahan harga. Oleh karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi dihitung dari PDB atas penilaian harga konstan. Hal ini mengandung maksud bahwa pertumbuhan ekonomi benar-benar merupakan pertumbuhan volume barang dan jasa, bukan nilai yang masih mengandung perubahan harga (BPS 2010c). Konsumsi Pangan Pangan bagi makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Namun, berbeda dengan kebutuhan hidup lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama jika dialami dalam jangka waktu lama, akan berdampak buruk pada kesehatan (Khumaidi 1989). Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Menurut Nasoetion dan Riyadi (1995), tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya.

26 11 Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982). Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan (DKP 2009). FAO (2006b), menetapkan konsumsi pangan sebagai salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu. Menurut DKP (2009), tercukupinya kebutuhan pangan antara lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara kualitatif. Untuk menilai pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII menganjurkan

27 12 konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing adalah kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah kkal/kap/hari dan kecukupan protein sebesar 48 gram/kap/hari. Untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan, selain diperlukan informasi tentang kuantitas konsumsi pangan perlu pula diketahui tingkat kualitasnya. Kualitas atau mutu konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai/ skor Pola Pangan Harapan (PPH). Nilai/ skor PPH ini dapat memberikan informasi mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi, yang menggambarkan pencapaian ragam (diversifikasi) konsumsi pangan. Semakin besar skor PPH yang dianggap sempurna diberikan pada angka kecukupan gizi dengan skor PPH mencapai 100 (Bappenas 2007b). Kerawanan Pangan Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat (Bappenas 2007b). Secara umum, kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan pangan dapat bersifat: (1) kronis, yang ditampakkan dengan adanya gejala kurang makan secara terus menerus karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik cara membeli atau menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikan rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; (2) kerawanan trasien, yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi, dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan musim, konflik sosial, dan lain-lain. Dampak buruk terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan

28 13 kemiskinan structural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya (BBKP 2003). Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga (DKP 2009). Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein (DKP 2006). Berdasarkan Depkes (1996), jika tingkat konsumsi energi <70% dikatakan defisit tingkat berat, 70-79% dikatakan defisit tingkat sedang, 80-89% dikatakan defisit tingkat ringan, % dikatakan normal dan 120% dikatakan berlebihan. Bappenas (2007b), mendefinisikan penduduk rawan pangan sebagai mereka yang rata-rata tingkat konsumsi energinya antara 71 89% dari norma kecukupan energi, sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi. Keamanan Pangan Aspek keamanan pangan menjadi salah satu terpenting dalam ketahanan pangan, dimana pangan tidak hanya tersedia dalam jumlah yang cukup, tetapi juga dalam kondisi yang aman untuk dikonsumsi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan menjadi salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu (FAO 2006b). Mutu dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh langsung

29 14 terhadap kesehatan manusia, tetapi juga terhadap produktifitas ekonomi dan perkembangan sosial, baik individu, masyarakat, maupun negara. Selain itu, persaingan internasional yang semakin ketat di bidang perdagangan makanan menuntut produk-produk makanan lebih bermutu dan aman. Mutu dan keamanan pangan terkait erat dengan kualitas pangan yang dikonsumsi sehingga berpengaruh kepada kualitas kesehatan serta pertumbuhan fisik dan intelegensi manusia (BBKP 2003). Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/ senyawa beracun atau organisme patogen. Penyakit semacam ini masih sering terjadi di Indonesia. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama, yaitu infeksi dan intoksifikasi. Istilah infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksifikasi adalah keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun (Anwar 2006). Dalam aspek keamanan pangan, ada dua hal penyebab permasalahan yang memerlukan penanganan lebih lanjut, yaitu: (1) residu pestisida pada beberapa produk pertanian yang sudah melampaui batas toleransi, dan meninggalkan residu di atas ambang batas maksimum, baik pada produk maupun pada lingkungan usahatani; dan (2) perilaku produsen makanan jajanan (banyak yang belum terdaftar), yang dalam proses produksinya belum menggunakan standar yang ditetapkan, bahkan kadang menggunakan zat pengawet, zat pewarna, dan zat pemanis buatan yang tidak sesuai ketentuan. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan keracunan pada makanan, bahkan dapat menjadi salah satu penyebab Penyakit Bawaan Makanan/ PBM (foodborne disease) bagi konsumen (DKP 2011). Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan (Bappenas 2007b). Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan dapat terjadi karena adanya interaksi antara agen pangan dengan inang, yang menyebabkan infeksi atau intoksikasi. Ada dua tipe KLB keracunan pangan, pertama adalah kasus-kasus sporadis yang tersebar di lingkungan masyarakat melalui air maupun pangan (protracted outbreak). Kasus ini juga dapat tersebar

30 15 pada suatu tempat (rumah sakit, hotel, industri, asrama, dan lain-lain). Kedua, keracunan pangan sebagai point source, misalnya terjadi pada saat pesta, baik di sekolah maupun di rumah tangga ataupun di pertemuan-pertemuan sosial (Sparringa & Rahayu 2011). WHO (World Health Organization) mendefinisikan KLB penyakit akibat pangan (foodborne disease outbreak) secara point source outbreak sebagai kejadian di mana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi suatu pangan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai penyebabnya. Pada kasus KLB sporadis atau protracted outbreak, yang disebut sebagai kejadian luar biasa akibat pangan adalah peningkatan kejadian kesakitan/ kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Contohnya, air dan pangan yang telah terkontaminasi tersebar dalam masyarakat/ suatu tempat dan telah melampaui baseline jumlah kasus pada suatu populasi yang dibandingkan dengan kasus yang sama pada periode tertentu (Sparringa & Rahayu 2011). Status Gizi Status gizi dan kesehatan merupakan indikator kesehatan yang ada kaitannya dengan kualitas hidup. Pengukuran pertumbuhan dan perkembangan anak melalui cara antropometri paling banyak digunakan dalam menilai status gizi masyarakat (BPS 2000). Pengukuran status gizi anak umumnya digunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pemantauan status gizi balita lebih tepat menggunakan baku WHO-NCHS 2005 dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (Z-skor). Keuntungan penggunaan Z-skor adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Gibson 1993). Indeks BB/U dipakai untuk memantau pertumbuhan berat badan anak secara individual dan menggambarkan status gizi saat ini (current nutritional status). Indeks TB/U dapat memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks ini bersifat independen terhadap umur (Supariasa et al. 2001). Penilaian status gizi menurut WHO-NCHS adalah sebagai berikut:

31 16 Tabel 1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB standar baku antropometri WHO-NCHS No Indeks Batas Pengelompokan Status Gizi < -3 SD Z-skor Gizi buruk 1 BB/U - 3 Z-skor <-2 SD Gizi kurang - 2 SD Z-skor 2 SD Gizi baik > 2 SD Z-skor Gizi lebih < -3 SD Z-skor Sangat Pendek 2 TB/U - 3 Z-skor <-2 SD Pendek - 2 SD Z-skor 2 SD Normal > 2 SD Z-skor Tinggi < -3 SD Z-skor Sangat Kurus 3 BB/TB - 3 Z-skor <-2 SD Kurus - 2 SD Z-skor 2 SD Normal > 2 SD Z-skor Gemuk Sumber: Kemenkes 2011 Menurut Supariasa et al. (2002), status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari gizi dalam bentuk variabel tertentu. Sebagai contoh adalah Kurang Energi Protein (KEP) merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran energi dan protein di dalam tubuh seseorang. Status gizi yang optimal adalah keseimbangan antara asupan gizi dengan kebutuhan zat gizi sehingga asupan gizi mempengaruhi status gizi seseorang.

32 17 KERANGKA PEMIKIRAN Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Pemenuhan pangan merupakan hak bagi setiap individu di setiap negara. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sebagai suatu negara menunjukkan komitmennya bahwa pemenuhan pangan merupakan hal yang penting bagi setiap penduduk Indonesia, sebagai penjabaran pasal 34 dan pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun Dalam pasal ini dinyatakan bahwa negara berkewajiban di dalam memenuhi kebutuhan dasar (termasuk pangan) bagi setiap warganya. Memperkokoh UUD 1945 tersebut, Undang- Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 mengamanatkan pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-undang ini merupakan salah satu produk hukum yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pangan di Indonesia saat ini. Menyadari pentingnya ketahanan pangan dan sebagai pelaksanaan UU Pangan No. 7 Tahun 1996, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Pentingnya pembangunan pangan guna terwujudnya pemenuhan hak atas pangan, kebijakan-kebijakan umum negara sering kali meletakkan ketahanan pangan sebagai salah satu pilar penopang keberlanjutan pemerintah dan bangsa Indonesia. Pada awal era orde baru, salah satu prioritas Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yaitu pangan dan perbaikan gizi. Selanjutnya pada era reformasi saat ini, disusun Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) sebagai acuan bagi para stakeholders pangan. Argumen KUKP pada intinya menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan umum tersebut menjadi arahan pemerintah daerah dalam menentukan program dan sasaran yang tepat guna merealisasikan kewajibannya dalam menjamin pemenuhan pangan bagi setiap warga. Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu bukan pada istilah umum "all people (semua orang)". Komponen dari hak atas pangan yang cukup pada dasarnya sama dengan ketahanan pangan yang didefinisikan oleh FAO, yaitu memiliki tiga pilar: ketersediaan pangan, akses

33 18 pangan, dan kecukupan pangan. Komponen-komponen tersebut merupakan aspek penting dalam memantau dan menilai sejauh mana negara merealisasikan pemenuhan hak atas pangan dan gizi bagi setiap warganya (FAO 2008). Kerangka pemikiran evaluasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada Gambar 2. Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) Upaya Pemerintah/ Negara Kebijakan Program dan Anggaran Indikator Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi Output/ Outcome UU Pangan No. 7 Program: Tahun 1996 PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan pangan PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan PP No. 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal UU Kesehatan No. 36 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Program Pembangunan Nasional (Propenas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) Peningkatan produktivitas komoditas pangan Pemberdayaan lumbung pangan masyarakat Subsidi Pangan P2KPG Desa Mandiri Pangan, dll Anggaran: Anggaran Pertanian 1 Ketersediaan Pangan 2 Akses Pangan 3 Kecukupan Pangan Kebutuhan Pangan a. Konsumsi Pangan b. Status Gizi Keamanan Pangan Tahun 2009 Keterangan: : bagian yang diteliti : bagian yang tidak diteliti Gambar 2 Kerangka pemikiran evaluasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dalam tiga dekade terakhir

34 19 METODOLOGI PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada bulan April-Juli Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder. Jenis, sumber, dan tahun data penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis, sumber, dan tahun data penelitian No. Jenis Data Sumber Data Tahun Data 1 Ketersediaan Pangan Kementerian Pertanian RI, 1980 s.d Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 2 Tingkat Kemiskinan Badan Pusat Statistik RI 1980 s.d (BPS RI) 3 Tingkat Pengangguran SAKERNAS, Badan Pusat 1980 s.d Statistik RI (BPS RI) 4 Pengeluaran Per Kapita Sebulan SUSENAS, Badan Pusat 1980 s.d Statistik RI (BPS RI) 5 Produk Domestik Bruto (PDB) Per International Monetary Fund 1980 s.d Kapita (IMF) 6 Konsumsi Pangan SUSENAS, Badan Pusat 1980 s.d Statistik RI (BPS RI) 7 Keamanan Pangan Kementerian Kesehatan RI 1986 s.d dan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI) 8 Status Gizi Kementerian Kesehatan RI 1980 s.d (Riskesdas, SKRT, SDKI) dan BPS RI 9 Akses Air Bersih dan Sanitasi SUSENAS, Badan Pusat 1980 s.d Layak Statistik RI (BPS RI) dan SKRT 10 Anggaran Kementerian Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS RI) 1980 s.d Dokumen Kebijakan & Program : - Repelita - Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) - Program Pembangunan Nasional (Propenas) - RPJMN - Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) BAPPENAS Badan Ketahanan Pangan (BKP), Kementerian Pertanian BAPPENAS BAPPENAS BAPPENAS

35 20 Data ketersediaan pangan diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketersediaan energi dan protein per kapita di Indonesia. Menurut Depkes (1996), situasi ketersediaan pangan (%AKE) dikelompokkan menjadi: < 70% 70 79% 80 89% % : Normal : Defisit tingkat berat : Defisit tingkat sedang : Defisit tingkat ringan 120% : Kelebihan Aksesibilitas pangan pada penelitian ini dilihat berdasarkan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, pengeluaran per kapita sebulan, dan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel tingkat kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data persentase penduduk miskin. Variabel tingkat pengangguran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tingkat pengangguran terbuka (TPT). Variabel pengeluaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan. Pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan merupakan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku yang dihitung menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK). Perhitungan pengeluaran per kapita atas dasar harga konstan menggunakan rumus: Pengeluaran harga konstan = Pengeluaran harga berlaku x IHK tahun dasar IHK berlaku Data Produk Domestik Bruto (PDB) diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah data PDB per kapita atas dasar harga konstan. Data konsumsi pangan diperoleh dari data nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumsi energi dan protein per kapita di Indonesia. Kemudian, data persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) diperoleh dari pengolahan data konsumsi energi per kapita. Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi energi aktual dengan angka kecukupan energi dalam persen. Menurut Supariasa et al. (2001), secara umum tingkat konsumsi energi dapat dirumuskan sebagai berikut:

36 21 TKGi = (Ki /AKGi) x 100% TKGi = Tingkat konsumsi energi individu Ki = Konsumsi energi AKGi = Angka kecukupan energi Klasifikasi tingkat kecukupan pangan (konsumsi energi dan protein) dikelompokan menjadi: < 70% : Defisit tingkat berat 70 79% : Defisit tingkat sedang 80 89% : Defisit tingkat ringan % : Normal 120% : Kelebihan (Depkes 1996) Data keamanan pangan diperoleh dari data nasional selama dua puluh empat tahun terakhir di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Indonesia. Data status gizi masyarakat diperoleh dari data status gizi balita dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Selain itu, digunakan data proporsi berat badan lahir rendah (BBLR), prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), prevalensi anemia gizi besi (AGB), dan prevalensi kurang vitamin A (KVA), dan prevalensi gizi lebih. Selain itu, digambarkan pula angka kematian balita dan umur harapan hidup. Kesehatan lingkungan dilihat dari data akses air dan sanitasi layak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum dan sanitasi yang layak di Indonesia. Data anggaran Kementerian Pertanian diperoleh dari RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Variabel anggaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia. Data kebijakan dan program di bidang ketahanan pangan dan gizi diperoleh dari dokumen-dokumen nasional selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. Dokumen-dokumen yang digunakan yaitu Repelita III s.d. Repelita VI, Propenas , dan RPJMN

37 22 Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16. Evaluasi terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia dianalisis secara deskriptif menggunakan indikator-indikator hak atas pangan yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO) tahun Indikator-indikator tersebut digunakan sebagai alat untuk mengukur realisasi pemenuhan hak atas pangan dan gizi di tingkat nasional. Berikut merupakan tabel indikator terpilih yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 3 Indikator pemenuhan hak atas pangan dan gizi terpilih Indikator Sub Indikator 1 Ketersediaan Pangan (Food Availability) 1.1 Ketersediaan pangan per Ketersediaan energi dan protein per kapita kapita 2 Akses Pangan (Food Accessibility) 2. 1 Persentase populasi miskin dan sangat miskin 3. Kecukupan Pangan (Food Adequacy) 3.1 Kebutuhan Pangan Persentase populasi kekurangan gizi (undernutrition) Persentase populasi defisiensi zat gizi mikro Persentase populasi kelebihan gizi (overnutrition) - Persentase dan jumlah penduduk miskin - Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) - Pengeluaran per kapita sebulan - PDB per kapita - Konsumsi energi dan protein per kapita - Persentase penduduk defisit energi (<70% AKE) - Prevalensi balita Underweight,Stunted,dan Wasted - Proporsi BBLR - Prevalensi GAKY - Prevalensi Anemia - Prevalensi Xeropthalmia - Prevalensi balita gizi lebih - Prevalensi overweight pada remaja 3.2 Keamanan Pangan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak*) Ket. : indikator-indikator terpilih dengan penyesuaian *) termasuk ke dalam aspek ketersediaan pangan, akses pangan, dan kecukupan pangan

38 23 Analisis data dilakukan dengan cara mempelajari perkembangan ketersediaan energi dan protein per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, pengeluaran per kapita sebulan, PDB per kapita atas dasar harga konstan, konsumsi energi dan protein per kapita, persentase penduduk defisit energi (<70%AKE), Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan, dan status gizi masyarakat. Ketersediaan energi dan protein per kapita kemudian dipelajari hubungannya dengan PDB per kapita dan persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN. Konsumsi energi dan protein per kapita dipelajari hubungannya dengan tingkat kemiskinan dan pengeluaran per kapita sebulan. Konsumsi energi per kapita dan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dipelajari hubungannya dengan ketersediaan energi per kapita. Persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) dipelajari hubungannya dengan tingkat kemiskinan. Kebijakan dan program ketahanan pangan dan gizi dianalisis secara deskriptif dengan metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk melihat arah kebijakan ketahanan pangan dan gizi selama tiga dekade terakhir, yaitu dari Repelita III, Repelita IV, Repelita V, Repelita VI, Propenas , sampai RPJMN Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan gizi selama tiga dekade terakhir ( ). Definisi Operasional Anggaran Kementerian Pertanian adalah rencana keuangan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian RI untuk membiayai semua pengeluaran Kementerian Pertanian selama 1 tahun. Gizi kurang adalah indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) dengan Z-skor <-2 SD (underweight), tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan Z-skor <-2 SD (stunted), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan - 3 Z-skor <-2 SD (wasted). Hak atas pangan adalah hak atas semua elemen gizi yang dibutuhkan setiap individu untuk hidup sehat dan aktif dan memiliki akses untuk mendapatkannya (FAO 2010).

39 24 Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi domestik atau dari sumber lain untuk memenuhi kebutuhan pangan di suatu negara tertentu. Ketersediaan pangan per kapita adalah ketersediaan rata-rata tiap individu di suatu negara yang merupakan hasil bagi antara ketersediaan pangan suatu negara dengan jumlah penduduk pertengahan tahun negara tersebut. Konsumsi pangan adalah kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Konsumsi pangan per kapita adalah konsumsi rata-rata tiap individu di suatu negara yang merupakan hasil bagi antara konsumsi pangan suatu negara dengan jumlah penduduk pertengahan tahun negara tersebut. Persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN adalah perbandingan antara besarnya anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN. Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.

40 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Ketersediaan Pangan Per Kapita di Indonesia Ketersediaan pangan per kapita mengindikasikan rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan. Berdasarkan hasil analisis Neraca Bahan Makanan (NBM), dapat diketahui perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi per kapita selama tiga dekade terakhir ( ) memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dan berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan energi berkisar 98%-184% dan secara umum kuantitasnya sudah melebihi angka rekomendasi hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Tingkat ketersediaan energi pada tahun 1980 sebesar kkal/kap/hari dan meningkat pada tahun 2010 menjadi kkal/kap/hari atau memenuhi 184% dari AKE. Selama tahun , capaian tertinggi ketersediaan energi per kapita terjadi pada tahun Menurut kategori Depkes (1996), tingkat ketersediaan energi pada tahun 2010 termasuk dalam kategori lebih (>120% AKE). Hal tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan pangan Indonesia termasuk dalam kategori tahan pangan. Pada periode , rata-rata pertumbuhan energi sebesar 1,7% per tahun. Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia pada tahun dapat dilihat pada Gambar 3. 4,039 (kkal/kap/hr) 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 2,489 2,542 2,502 2,565 2,516 2,519 2,660 2,580 2,712 2,640 2,781 2,790 2,968 2,899 2,879 3,133 3,234 2,939 3,021 3,120 2,974 2,991 2,962 3,082 3,005 2,912 2,989 3,358 3,382 3,509 AKE: 2550 kkal AKE: 2200 kkal Tahun Sumber : BPS RI, Publikasi NBM Ket. : - Tahun 2009 Angka Sementara, Tahun 2010 Angka Perkiraan Awal - Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VI Tahun 1998 : kkal/kap/hr - Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VIII Tahun 2004 : kkal/kap/hr Gambar 3 Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia tahun

41 26 Selain itu, dari sisi ketersediaan protein per kapita juga terjadi peningkatan selama tiga dekade terakhir. Perkembangan ketersediaan protein per kapita selama tahun dapat dilihat pada Gambar 4. (gram/kap/hr) AKP: 55 g AKP: 57 g Tahun Sumber : BPS RI, Publikasi NBM Ket. : - Tahun 2009 Angka Sementara, Tahun 2010 Angka Perkiraan Awal - Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VI Tahun 1998 : 55 gram/kap/hr - Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VIII Tahun 2004 : 57 gram/kap/hr Gambar 4 Perkembangan ketersediaan protein per kapita di Indonesia tahun Ketersediaan protein per kapita selama tiga dekade terakhir ( ) memperlihatkan kecenderungan yang meningkat pula. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan protein berkisar 87%-156% dan secara umum kuantitasnya sudah melebihi angka rekomendasi hasil WNPG. Tingkat ketersediaan protein pada tahun 1980 sebesar 49,4 gram/kap/hari dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 88,1 gram/kap/hari atau memenuhi 155% dari AKP. Selama tahun , capaian tertinggi ketersediaan protein terjadi pada tahun 2009 (89,2 gram/kap/hari). Walaupun demikian, sumber ketersediaan protein tahun 2009 masih didominasi dari bahan nabati yaitu 73,15 gram/kap/hari, sedangkan kontribusi protein hewani hanya sebesar 16,04 gram/kap/hari. Rata-rata pertumbuhan protein selama tiga dekade terahir mencapai 2,2% per tahun. Dari segi komposisi, secara umum ketersediaan pangan masih dapat dikatakan belum seimbang. Hal ini antara lain dicirikan oleh sangat tingginya kontribusi pangan sumber karbohidrat, tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sebagai sumber protein, serta rendahnya ketersediaan pangan sumber protein, vitamin dan mineral (kacang-kacangan, pangan hewani, sayuran dan buah-buahan) (Bappenas 2000). Pada tahun 2008, kelompok padi-padian menyumbang energi sebesar 62%, dan protein sebesar 63,6%. Kontribusi pangan hewani terhadap ketersediaan protein hanya 17,9%. Selain itu, kontribusi

42 27 pangan hewani (3,94%), kacang-kacangan (3,54%), sayur dan buah (4,03%) pada tahun 2008 masih belum memenuhi kontribusi ideal menurut pola pangan harapan (PPH). Perkembangan Akses Pangan di Indonesia Aksesibilitas pangan merupakan salah satu aspek pemenuhan hak atas pangan (FAO 2006b). Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah (Bappenas 2010b). Tingkat Kemiskinan Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tampak berfluktuasi. Secara umum, tingkat kemiskinan mutlak di Indonesia sudah menurun drastis, terutama dalam dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1980 mencapai 42,3 juta jiwa (28,6%), yang menurun menjadi 35 juta jiwa (21,6%) pada tahun 1984, dan akhirnya menjadi 22,5 juta jiwa (11,34%) pada tahun Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun dengan menggunakan garis kemiskinan nasional dapat dilihat secara rinci pada Gambar Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin (%) Sumber : BPS RI Ket. : - Tahun 1976 s.d. 1996a: menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998) - Tahun 1996b s.d. 2010: berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan Gambar 5 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun

43 28 Krisis ekonomi pada pertengahan 1997 telah mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk miskin, baik dalam arti kemiskinan mutlak ataupun relatif meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,23%) pada tahun Dari jumlah tersebut, 17,6 juta jiwa (21,92%) penduduk miskin tinggal di perkotaan dan 31,9 juta jiwa (25,72%) tinggal di pedesaan. Kondisi kemiskinan pada tahun 1998 ini mendekati kondisi tahun 1981 dan tahun Pada periode terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 12,87 juta, yaitu dari 47,97 juta jiwa pada tahun 1999 menjadi 35,1 juta jiwa pada tahun Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43% pada tahun 1999 menjadi 15,97% pada tahun Menurut Soekirman (2000), penurunan tingkat kemiskinan yang dimulai pada tahun 1999 tidak terlepas dari salah satu kegiatan utama Jaring Pengaman Sosial (JPS) 1998/1999, yaitu subsidi beras melalui OPK (Operasi Pasar Khusus) yang dilakukan oleh Bulog. Kegiatan ini dinilai berhasil menolong pendapatan dan ketahanan pangan banyak keluarga miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan. OPK yang menjual beras dengan harga Rp 1.000,- per kg atau sekitar 30% harga pasar, pada tahun 1999 telah menjangkau 10,5 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia. Menurut perhitungan para pakar ekonomi perberasan, OPK telah mendorong turunnya angka kemiskinan pada tahun Apabila tidak ada OPK diperkirakan pendapatan masyarakat miskin akan turun sebesar 11%, dan pada masyarakat yang paling miskin turun 22%. Pada periode terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin secara drastis sebesar 4,2 juta jiwa, yaitu dari 35,1 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 39,30 juta jiwa pada tahun Akibatnya persentase penduduk miskin juga meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin tersebut terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut meningkat yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,11%. Dengan demikian, penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dan pada tahun 2010 menjadi 31,01 juta jiwa (13,33%) atau berkurang 8,29 juta jiwa dibandingkan tahun Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 tersebut bahkan lebih kecil dari jumlah penduduk miskin sebelum krisis ekonomi dan moneter tahun Turunnya jumlah penduduk miskin ini juga diikuti dengan

44 29 turunnya jumlah pengangguran terbuka yang turun secara signifikan dari 11,24% pada bulan November tahun 2005 menjadi 7,41% pada tahun Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2010, menunjukkan kesenjangan tingkat kemiskinan antarprovinsi masih sangat tinggi dan perlu ditangani secara efektif. Dari 33 provinsi, 17 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional, sementara 16 provinsi masih memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Selain itu, tingkat kemiskinan di daerah perdesaan (16,56%) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (9,87%) sehingga memerlukan peningkatan pembangunan perdesaan. Pada umumnya karakteristik penduduk miskin secara spesifik antara lain adalah: (a) sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60%); (b) sebagian besar (60%) berpenghasilan rendah dan mengkonsumsi energi kurang dari kkal/hari; (c) proporsi pengeluaran pangan (>60%) dan kecukupan gizi (energi <80%); dan (d) penduduk miskin dengan tingkat sumber daya manusia yang rendah umumnya tinggal di wilayah marginal, dukungan infrastruktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah. Kemiskinan yang dihadapi oleh petani sendiri sebagian besar disebabkan karena kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan peluang untuk memperoleh peluang penting yang menjadi hak setiap orang (DKP 2011). Hal penting yang perlu dilakukan adalah upaya peningkatan pendapatan masyarakat, terutama petani dan masyarakat perdesaan yang tingkat kemiskinannnya tinggi sehingga daya beli dan kemampuan mereka untuk mengakses pangan semakin meningkat. Menurut BBKP (2003), kemampuan masyarakat miskin ini dalam mengakses pangan, khususnya mereka yang tergolong net konsumen pangan seperti petani-nelayan kecil, buruh, dan pekerja sektor informal di pedesaan maupun perkotaan, sangat menurun manakala terjadi penurunan pasokan yang berakibat pada kenaikan harga pangan. Jika kelompok masyarakat miskin tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% dari norma kecukupan gizi, maka dalam waktu tertentu akan mengalami kerawanan pangan, yang akan diikuti dengan kerawanan gizi. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan (DKP 2006). Tingkat Pengangguran Berdasarkan data BPS dari hasil Sakernas, dapat diketahui perkembangan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Perkembangan

45 30 tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada tahun 1980 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 6. (%) (Agust) (Agust) (Agust) 2001 (Agust) (Agust) 2005 (Feb) 2005 (Nov) 2006 (Feb) 2006 (Agust) 2007 (Feb) 2007 (Agust) 2008 (Feb) 2008 (Agust) 2009 (Feb) 2009 (Agust) 2010 Tahun Sumber: BPS RI, Sakernas berbagai tahun Gambar 6 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia tahun Dari Gambar 6, dapat diketahui bahwa tingkat pengangguran terbuka dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan dan mulai cenderung menurun dari bulan November tahun Pengangguran terbuka dari tahun 1980 sampai tahun 2010 sudah mengalami pertumbuhan sebesar 321%, artinya selama periode ini pengangguran terbuka sudah bertambah sebanyak tiga kali lipat lebih. Penurunan tingkat pengangguran terbuka mulai tahun 2005 hingga tahun 2010 merupakan hasil upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode cenderung meningkat. Menurut data BPS, rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut sebesar 6,4%. Perekonomian pada telah memberikan peningkatan terhadap jumlah orang yang bekerja, sehingga angka pengangguran telah berhasil diturunkan. Dalam hal ini, meski terjadi penurunan, pengangguran terbuka masih tergolong tinggi. Target RPJMN untuk menurunkan angka pengangguran terbuka menjadi 5,1% pada tahun 2009 tidak tercapai. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2009 berada pada level 7,87%. Tingginya tingkat pengangguran mendorong banyak masyarakat bekerja pada lapangan kerja yang kurang produktif. Hal ini pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan yang selanjutnya dapat menyebabkan jumlah penduduk miskin dan rentan jatuh di bawah garis kemiskinan (near poor) semakin tinggi (Bappenas 2009a). Menurut Suntoro (2004), tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat yang

46 31 berarti daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin sulit diwujudkan. Oleh karena itu, penciptaan lapangan kerja perlu dikembangkan agar masyarakat mampu meningkatkan pendapatannya. Pengeluaran Per Kapita Tinjauan aspek ekonomi mengenai akses penduduk terhadap pangan dapat diukur pula dari pengeluaran per kapita sebulan. Pengeluaran per kapita sebulan penduduk dapat mencerminkan tingkat pendapatan per kapita penduduk tersebut setiap bulannya (DKP 2011). Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah meningkatnya pendapatan yang berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan dan gizi yang lebih baik. Berikut gambar perkembangan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan di Indonesia pada tahun berdasarkan data BPS dari hasil Susenas. (Rp/kap/bln) ,336 6,319 6,799 7,702 26,912 30,030 37,684 31,672 45,766 67,834 61,179 62,059 78,661 80, , , , , , , ,338 0 Tahun Sumber: BPS RI, Susenas berbagai tahun (Diolah) Gambar 7 Perkembangan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan di Indonesia tahun Gambar 7 menunjukkan bahwa secara umum pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pengeluaran per kapita sebulan mengalami penurunan pada tahun 1997, 2000, dan 2006 dengan laju penurunan masing-masing sebesar 16%, 10%, dan 3%. Selama periode , pengeluaran per kapita sebulan dengan harga konstan meningkat dari Rp pada tahun 1980 menjadi Rp pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 33%. Pengeluaran per kapita sebulan dapat dijadikan proksi tingkat pendapatan penduduk sebulan. Adanya peningkatan pengeluaran per kapita penduduk selama periode dapat mencerminkan tingkat pendapatan penduduk yang meningkat selama periode tersebut. Secara nominal tingkat pengeluaran per kapita sebulan meningkat, tetapi dari perspektif kesejahteraan rakyat yang paling penting adalah kemampuan daya beli bukan nominal dari

47 32 pengeluaran. Hukum Engel menyatakan semakin miskin seseorang maka akan semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk makanan (BPS 2008). Penduduk yang memiliki tingkat pendapatan rendah cenderung untuk membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan daripada penduduk yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Data Susenas menunjukkan pada tahun 1980 sebesar 69,3% pengeluaran penduduk digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Persentasenya dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan menurun, dan menjadi 51,43% pada tahun Pengeluaran pangan per kapita sempat meningkat dari 55,27% pada tahun 1996 menjadi 62,94% pada tahun 1999 kemudian menurun kembali menjadi 58.47% pada tahun Dari angka tersebut terlihat bahwa tekanan ekonomi yang terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan kesejahteraan penduduk menurun sehingga daya beli juga menurun dan akibatnya pangsa pengeluaran untuk pangan menjadi meningkat. Kemudian pangsa pengeluaran pangan menurun kembali setelah terjadi pemulihan ekonomi, namun nilainya masih relatif besar. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita PDB per kapita merupakan suatu indikator kesejahteraan. Semakin tinggi PDB per kapita suatu negara mengindikasikan semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Namun menurut Sohardjo et al. (1986), PDB hendaknya tidak digunakan sebagai satu-satunya ukuran pembangunan suatu wilayah karena PDB tidak selalu menunjukkan kualitas hidup rakyat yang bertempat tinggal di wilaya tersebut. Nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan tahun dapat dilihat pada Gambar 8. PDB Per Kapita (Juta Rp) Tahun Sumber: IMF (2011), World Economic Outlook Database Gambar 8 Perkembangan PDB per kapita atas dasar harga konstan di Indonesia tahun

48 33 Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa pada periode secara umum PDB per kapita dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Meski PDB per kapita sempat mengalami penurunan secara drastis (14,4%) pada tahun 1998 setelah dilanda krisis ekonomi, PDB per kapita kembali pulih dan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat mulai tahun Ratarata pertumbuhan PDB per kapita setiap tahunnya mencapai 3,4%. PDB per kapita dari tahun 1980 (3,7 juta rupiah) sampai tahun 2010 (9,9 juta rupiah) sudah mengalami pertumbuhan sebesar 163%, artinya selama periode ini PDB per kapita sudah bertambah sebanyak satu setengah kali lipat lebih. Indonesia telah berhasil meningkatkan statusnya menjadi negara dengan pendapatan menengah pada tahun 2007 (Bappenas 2007a). PDB per kapita Indonesia tahun 2007 mencapai 8,7 juta rupiah. Meski demikian, PDB per kapita yang tergolong cukup tinggi tersebut belum dinikmati oleh semua kalangan. Pembangunan yang belum merata menyebabkan semakin besarnya kesenjangan antar penduduk serta jumlah orang miskin dengan mengacu pada garis kemiskinan nasional masih tergolong cukup tinggi. Perkembangan Konsumsi Pangan di Indonesia FAO (2006b), menetapkan konsumsi pangan sebagai salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu. Hasil Susenas yang dipublikasikan BPS menunjukkan perkembangan konsumsi energi dan protein per kapita pada periode Perkembangan konsumsi energi dan protein perkapita di Indonesia pada tahun 1980 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. 2,200 (kkal/kap/hr) 2,100 2,000 1,900 1, AKE: 2200 kkal AKE: 2000 kkal , Tahun Sumber : BPS RI, Susenas berbagai tahun Ket. : Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VI Tahun 1998 : kkal/kap/hari Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VIII Tahun 2004: kkal/kap/hari Gambar 9 Perkembangan konsumsi energi per kapita di Indonesia tahun

49 34 (gram/kap/hr) AKP: 48 g AKP: 52 g Tahun Sumber : BPS RI, Susenas berbagai tahun Ket : Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VI Tahun 1998 : 48 gram/kap/hari Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VIII Tahun 2004 : 52 gram/kap/hari Gambar 10 Perkembangan konsumsi protein per kapita di Indonesia tahun Perkembangan konsumsi energi dan protein per kapita di Indonesia pada periode mengalami peningkatan dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat konsumsi energi berkisar 82%-102% dan protein 88%-105%. Secara umum, konsumsi energi per kapita selama periode lebih rendah dibandingkan rekomendasi hasil WNPG meski ketersediaan energi per kapita sudah jauh melebihi kebutuhan. Lain halnya dengan konsumsi protein yang sudah melebihi angka rekomendasi mulai tahun Selama periode , rata-rata pertumbuhan konsumsi energi dan protein tergolong lambat, yaitu masing-masing 0,5% dan 1,8% per tahun. Tingkat konsumsi energi dan protein pada tahun 1980 sebesar kkal/kap/hari dan 42,7 gram/kap/hari, kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi kkal/kap/hari dan 55,0 gram/kap/hari atau memenuhi 96% dari AKE dan 106% dari AKP. Menurut kategori Depkes 1996, tingkat konsumsi energi pada tahun 2010 termasuk dalam kategori normal (90-119% AKE). Hal tersebut menggambarkan bahwa konsumsi pangan Indonesia termasuk dalam kategori tahan pangan. Secara agregat, konsumsi energi dan protein pada tahun 1996 mencapai kkal/kap/hari dan 54,5 gram/kap/hari. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menurunkan konsumsi energi menjadi kkal/kap/hari dan protein 48,7 gram/kap/hari pada tahun Namun demikian setelah krisis berakhir, konsumsi energi masyarakat berangsur pulih dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Tingkat konsumsi protein pada masa

50 35 krisis mengalami perkembangan yang sama namun setelah masa krisis sudah membaik dan bahkan pada tahun 2005 sudah melebihi tingkat sebelum krisis. Menurut Susenas tahun 2002, secara agregat nasional, situasi konsumsi pangan penduduk tahun 2002 lebih baik dari tahun 1999, dan mendekati tingkat konsumsi sebelum krisis moneter tahun Hal ini mengindikasikan, bahwa berbagai usaha pemulihan ekonomi yang sudah dan sedang dijalankan telah membawa dampak positif terhadap perbaikan konsumsi pangan penduduk. Konsumsi energi pada tahun 2002 menurut Susenas 2002 sebesar kkal/kap/hari, naik 7,4% dari konsumsi tahun 1999 sebesar kkal/kap/hari. Konsumsi protein juga naik 11,8% dari 48,7 gram/kap/hari pada tahun 1999 menjadi 54,4 gram/kap/hari pada tahun Rata-rata konsumsi pangan per kapita per hari penduduk selama periode mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat sampai tahun 2008, kemudian terus menurun sampai tahun Pada tahun 2009, konsumsi energi adalah sebesar kkal/kap/hari atau turun 111 kilokalori dan konsumsi protein adalah sebesar 54,4 gram/kap/hari atau berkurang 3,1 gram dibandingkan tahun Konsumsi per kapita per hari untuk energi tersebut lebih rendah 72 kilokalori dari angka kecukupan yang dianjurkan, sedangkan untuk konsumsi protein telah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi protein per kapita per hari umumnya sudah tercukupi meski harus disadari bahwa sebagian besar sumber protein yang dikonsumsi berasal dari pangan nabati, khususnya padi-padian. Beras, khususnya tidak hanya penyumbang energi terbesar tetapi juga merupakan penyumbang protein yang terbesar. Data Susenas menunjukkan kelompok padi-padian menyumbang 40,6% (22,06 gram/kap/hari) terhadap konsumsi protein pada tahun 2009 dan menurun menjadi 39,6% pada tahun 2010 (21,76 gram/kap/hari). Secara nasional, kualitas (keragaman dan keseimbangan) konsumsi pangan penduduk yang ditunjukkan dengan nilai skor Pola Pangan Harapan (PPH) mengalami penurunan dari 82,8 pada tahun 2007, menjadi 81,9 pada tahun 2008, dan turun menjadi 75,7 pada tahun Penurunan kualitas konsumsi pangan yang sangat tajam pada tahun 2009, disebabkan menurunnya konsumsi seluruh jenis komoditas pangan dalam 9 kelompok bahan pangan, kecuali minyak sawit dan minyak lainnya dari kelompok minyak dan lemak serta konsumsi minuman (BKP 2010).

51 36 Menurut Suryana (2003), kebijakan pangan bila dikaitkan dengan konsumsi, tidak hanya menyangkut masalah penyediaannya tetapi juga berkaitan erat dengan persoalan distribusinya. Sebagai contoh, baik penyediaan ataupun tingkat konsumsi pangan nasional pada tahun 1984 sudah mencapai tingkat kecukupan. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, ternyata masih terdapat penduduk yang pola konsumsinya masih di bawah standar kecukupan. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh adanya keragaman potensi sumberdaya serta faktor-faktor sosial, ekonomis, dan demografis setempat. Kerawanan Pangan Penduduk dikatakan rawan konsumsi energi apabila rataan konsumsi energinya kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup aktif dan sehat (DKP 2009). Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein (DKP 2006). Berdasarkan hasil pengolahan data Susenas tahun 1987 hingga 2010, dapat diketahui persentase penduduk defisit energi (<70% AKE) di Indonesia. Hasil pengolahan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia kondisi penduduk rawan pangan masih cukup tinggi. Perkembangan penduduk defisit energi (<70% AKE) di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat secara rinci pada Gambar Tahun Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun (Diolah) Gambar 11 Perkembangan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) di Indonesia tahun Berdasarkan data pada Gambar 11 dapat diketahui perkembangan persentase penduduk defisit energi (<70% AKE) di Indonesia. Selama periode (%)

52 , perkembangan persentase penduduk defisit energi cenderung berfluktuatif. Pada tahun 1987 persentase penduduk yang termasuk sangat rawan konsumsi pangan mencapai 10,84% dan meningkat menjadi 12,84% pada tahun Bila dibandingkan dengan kondisi saat puncak krisis ekonomi tahun 1999 yang persentasenya adalah 23,47%, maka baik persentase maupun jumlah penduduk yang sangat rawan konsumsi pangan mengalami penurunan yang cukup tajam. Menurut DKP (2009), penurunan ini terjadi karena dua hal: 1) karena keberhasilan program dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan yang berimbas pada meningkatnya rata-rata konsumsi energi, dan 2) penurunan standar kecukupan energi (AKE) yang diamanatkan dalam WNPG. Masih cukup tingginya proporsi penduduk rawan konsumsi pangan menunjukkan bahwa pencapaian kondisi ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah masih belum secara langsung menjamin tercapainya tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga dan daya beli rumah tangga serta masih tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga (DKP 2009). Perkembangan Keamanan Pangan di Indonesia Isu tentang keamanan pangan merupakan masalah penting karena diperkirakan lebih dari 90% masalah kesehatan manusia terkait dengan makanan. Berdasarkan data WHO tahun 2000 diketahui penyakit karena pangan (foodborne disease) merupakan penyebab 70% dari sekitar 1,5 milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3 juta kematian anak berusia di bawah 5 tahun (Bappenas 2007b). Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan (Bappenas 2007b). Menurut Sparringa & Rahayu (2011), peristiwa keracunan pangan telah banyak diberitakan di media cetak maupun elekronika. Beberapa peristiwa penting mengenai keracunan pangan antara lain keracunan susu instan yang dialami 160 murid sekolah dasar di Medan (Media Indonesia 2004), keracunan pangan yang melanda 117 karyawan pabrik garmen di Sleman Yogyakarta (Media Indonesia 2003), dan keracunan pangan yang dialami 135 orang pada pesta pernikahan di Lumajang (Media Indonesia 2004). Namun,

53 38 tampaknya pemberitahuan tersebut masih dianggap berita biasa dan tenggelam oleh berita spektakuler seperti demam berdarah yang merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) nasional. Keracunan pangan yang dilaporkan pada media cetak dan elektronika sebenarnya merupakan fenomena puncak gunung es. Kasus atau KLB Keracunan Pangan terungkap dan terlihat sebagai puncak gunung es yang umumnya adalah keracunan akut dari korban yang mendapat perawatan di unitunit pelayanan kesehatan dan rumah-rumah sakit. Sebagian besar korban sakit setelah mengkonsumsi pangan pada acara pesta, keluarga maupun karyawan pabrik. Sedangkan pada kasus-kasus individu yang sebenarnya juga KLB, misalnya mereka yang sakit setelah mengkonsumsi pangan dari restauran atau sumber makanan siap saji dengan gejalanya cepat (beberapa jam) atau lama (beberapa hari/ minggu) umumnya tidak dilaporkan (Sparringa & Rahayu 2011). Menurut data Kementerian Kesehatan RI, secara umum dalam periode tahun , jumlah penderita keracunan makanan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Pada periode , jumlah penderita meningkat dari 321 orang (1986) menjadi orang (1992). Jumlah penderita keracunan makanan sempat menurun pada tahun 1993 (424 orang). Pada periode , jumlah penderita keracunan makanan meningkat kembali hingga tahun Data jumlah penderita keracunan makanan tahun dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Perkembangan jumlah penderita kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Indonesia tahun Tahun Jumlah Penderita Jumlah Meninggal CFR(%) , , , , , , , , , , , , , , ,47 Sumber: Kementerian Kesehatan RI

54 39 Secara umum dalam satu dekade terakhir ( ), kejadian keracunan makanan meningkat sangat signifikan setiap tahunnya. Pada periode , jumlah kasus keracunan meningkat dari 26 kasus pada tahun 2001 menjadi 163 kasus pada tahun Peningkatan kasus tersebut diikuti juga dengan jumlah orang yang terkena sakit dari orang pada tahun 2001 menjadi orang pada tahun Demikian juga jumlah yang meninggal semakin meningkat dari 40 orang atau 0,46% pada tahun 2006 menjadi 79 orang atau 0,88% pada tahun 2008, dan menjadi 68 orang atau 1,23% pada tahun Namun demikian, diduga masih banyak KLB keracunan pangan yang belum dilaporkan di Indonesia. Perkembangan kejadian luar biasa keracunan pangan tahun secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan kejadian luar biasa keracunan pangan yang terlaporkan tahun Tahun Jumlah KLB Terpapar Sakit Meninggal CFR*) IR**) , , , , , , , , ,52 1, ,23 2,32 Sumber: Badan POM RI, 2011 *) Case Fatality Rate (CFR): perbandingan antara jumlah yang meninggal dengan yang sakit dikalikan 100. **) Incident Rate (IR) adalah angka kejadian per penduduk. Ada beberapa penyebab keracunan makanan, yaitu akibat cemaran mikrobiologi dan cemaran kimia. Penyebab KLB keracunan pangan yang dilaporkan pada tahun 2010 diketahui sebesar 2,45% mikroba terkonfirmasi, 7,36% mikroba suspect, 13,5% kimia suspect, 42,94% tidak diketahui penyebabnya, dan sebanyak 33,74% tidak ada sampel. Penyebab keracunan pangan mikrobiologi yang sering terjadi antara lain Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella sp, dan E.coli patogen. Sementara penyebab keracunan pangan kimia antara lain nitrit, histamin, formalin, sianida, methanol, serta tetrodotoksin. Sumber pangan penyebab keracunan pangan untuk tahun 2009 adalah pangan rumah tangga (40,87%), pangan olahan (24,35%), pangan jajanan

55 40 (19,13%), pangan jasa boga (15,65%), sedangkan pada tahun 2010 adalah masakan rumah tangga (43,56%), pangan jasa boga (19,63 %), pangan olahan (17,18%), pangan jajanan (13,5%), lain-lain (2,45%), serta tidak dilaporkan (3,68%). Lokasi atau tempat KLB keracunan pangan pada tahun 2010 masih didominasi di tempat tinggal (46,63%) dan sekolah dasar (17,18%). Kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, kesalahan penanganan sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan (Sparringa & Rahayu 2011). Untuk mengantisipasi hal tersebut, penanganan masalah mutu dan keamanan pangan memerlukan kepedulian dan antisipasi dari semua unsur pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu pemerintah, produsen, industri pengolahan pangan, pedagang, dan konsumen serta dukungan dari kalangan perguruan tinggi. Perlunya standar minimum kandungan zat-zat yang terdapat pada pangan/ makanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia. Badan Ketahanan Pangan propinsi/ kabupaten/ kota bersama Balai POM dan perguruan tinggi telah melakukan berbagai kegiatan, antara lain: (1) penyuluhan kepada para produsen makanan jajanan; (2) operasionalisasi pengawasan bahan pangan/ makanan melalui pengkajian; dan (3) pengambilan sampel untuk dianalisis dengan uji laboratorium. Bahan pangan yang diuji di laboratorium meliputi: (a) bahan segar berupa sayur (wortel, kol, sawi, slada), buah-buahan (apel, mangga, pepaya, pisang), dan daging (ayam, sapi); (b) bahan pangan nutrisi dari nenas, jagung, dan kedelai; (c) bahan pangan olahan dari jajanan anak sekolah dan jajanan pasar serta makanan di warung. Pada prinsipnya mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab antara pemerintah, industri makanan (produsen), dan konsumen. Untuk itu, perlu koordinasi yang jelas dan efektif antara ketiga unsur tersebut guna memahami dan menerapkan mutu dan keamanan pangan (BBKP 2003).

56 41 Perkembangan Status Gizi Masyarakat di Indonesia Status Gizi Tolak ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005). Selain itu, keadaan gizi masyarakat juga dapat diketahui dari keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) dan besarnya masalah kekurangan gizi mikro pada kelompok rentan, yaitu gangguan akibat kurang yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), dan kurang vitamin A (KVA). Akhir-akhir ini permasalahan gizi lebih (kegemukan dan obesitas) juga terus meningkat (Bappenas 2010b). a. Status Gizi Balita Status gizi pada anak balita sering digunakan untuk melihat status gizi masyarakat secara umum karena status gizi pada masa ini sangat menentukan kualitas hidup dan kesehatan untuk sepanjang hidupnya (Bappenas 2010b). Secara umum status gizi balita menurut indeks BB/U membaik pada periode Pada tahun 1986 dan 1987, data status gizi balita yang dikeluarkan Susenas menggunakan standar baku Harvard. Menurut BPS (1986), status gizi balita dengan baku Harvard diklasifikasikan menjadi gizi buruk (di bawah 60% baku), gizi kurang (60 s.d. 69,9% baku), gizi sedang (70 s.d. 79,9% baku), dan gizi baik (80% baku ke atas). Prevalensi kekurangan gizi (<70% baku Harvard) menurun sekitar 2% dari 12,9% pada tahun 1986 menjadi 10,97% pada tahun Periode , data status gizi balita yang dikeluarkan Susenas mulai menggunakan standar baku WHO-NCHS. Standar baku WHO-NCHS mengklasifikasikan status gizi balita (BB/U) menjadi gizi buruk (Z-skor <-3 SD), gizi kurang (- 3 Z-skor <-2 SD), gizi baik (- 2 SD Z-skor 2 SD), dan gizi lebih (Z-skor > 2 SD). Selama periode tersebut, kekurangan gizi (gizi buruk dan gizi kurang) menurun dari 37,47% menjadi 17,9%. Walaupun demikian, kasus gizi buruk cenderung berfluktuasi dan secara agregat tidak mengalami penurunan berarti. Pada periode 2000 hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi (BB/U) pada balita dan pada tahun 2005 menjadi 28,04%. Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatnya prevalensi gizi buruk terutama sejak tahun 2001 yang meningkat dari 6,3% menjadi 8,8% pada tahun Dengan angka ini, maka pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7

57 42 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8 juta diantaranya mengalami gizi buruk. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yaitu sebuah survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada balita telah menurun secara signifikan menjadi 18,4%. Dengan demikian dalam kurun waktu dua tahun sejak 2005, kekurangan gizi menurun hampir 10% poin. Dengan angka ini, maka tujuan RPJMN sebesar 20% pada tahun 2009 dan target MDGs sebesar 18,7% pada tahun 2015 telah tercapai. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, besarnya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional masing-masing adalah 4,9% dan 13%. Terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi jika dibandingkan dengan tahun Akan tetapi, penurunan tersebut tergolong lambat dalam kurun waktu 3 tahun (0,4%). Hasil Susenas oleh BPS tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan kurang di Indonesia masing-masing sebesar 6,3% dan 31,17%. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan dalam upaya perbaikan gizi selama tiga dekade terakhir. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama. Jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk dalam masalah berat (Depkes 2000). Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan menurut umur (BB/U) di Indonesia selama tiga dekade terakhir ( ) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar Prevalensi Gizi Buruk (%) Prevalensi Gizi Kurang (%) Prevalensi Gizi Buruk + Kurang (%) Sumber: BPS, Susenas , Riskesdas 2007 dan 2010 Ket. : Tahun , menggunakan standar Median Baku Harvard Tahun , menggunakan standar Baku WHO-NCHS Gambar 12 Perkembangan prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia tahun

58 43 Dengan memperhatikan gambar di atas tampak adanya penurunan prevalensi gizi buruk dan kurang sebesar 20% dalam kurun waktu Ini berarti setiap tahun pemerintah hanya dapat menekan angka gizi buruk dan kurang rata-rata ± 1,6%. Menurut Riskesdas (2010), walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Dari 33 provinsi di Indonesia, masih terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk di atas angka prevalensi nasional. Namun demikian, semua provinsi di Indonesia masih memiliki prevalensi underweight (gizi kurang+buruk) di atas batas non-public health problem menurut WHO, yaitu 10%. Gizi buruk terjadi karena kekurangan gizi tingkat berat yang bila tidak ditangani dengan segera dapat mengakibatkan kematian. Untuk itu, surveilans gizi buruk perlu dilakukan dengan semakin baik sehingga upaya untuk menanggulangi anak balita dengan gizi buruk semakin dapat ditingkatkan (Bappenas 2010b). Menurut Bappenas (2005), suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila tingkat pendidikan penduduknya semakin baik, derajat kesehatan tinggi, usia harapan hidup panjang, dan pertumbuhan fisiknya optimal. Di negara maju anakanak tumbuh lebih cepat daripada di negara berkembang karena asupan gizi yang lebih baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. Terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan fisik dengan perkembangan mental anak usia dini. Anak berstatus gizi baik dan sehat akan merespon perubahan lingkungan lebih aktif yang selanjutnya dapat mempercepat perkembangan mental anak. Tampaknya upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia belum dikatakan optimal. Hal ini terlihat dari angka gizi buruk yang masih berfluktuatif. Walaupun terjadi penurunan kekurangan gizi (BB/U) secara signifikan, kekurangan gizi kronis (TB/U) masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 35,6% balita mengalami stunting (Z-skor <-2 SD) berdasarkan Riskesdas Tinggi badan menurut umur yang rendah merupakan indikator malnutrisi kronis yang paling umum digunakan. Sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi stunting di atas angka prevalensi nasional. Bila dibandingkan dengan batas non public health problem menurut WHO untuk masalah stunting sebesar 20%, maka semua provinsi masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat.

59 44 Dari beberapa survei, prevalensi anak balita stunting masih tergolong tinggi. Masih sekitar 26-40% anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek (Tabel 6). Tinggi badan rata-rata anak balita ini umumnya mendekati kondisi normal hanya sampai 5-6 bulan, setelah usia enam bulan rata-rata tinggi badan anak balita lebih rendah dari kondisi normal (Bappenas 2007b). Menurut Bappenas (2010b), anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran BB/U dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran TB/U yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar poin. Tabel 6 Prevalensi pendek/stunting anak balita < 2SD dari beberapa jenis survei Survei Prevalensi Stunting IBT (Indonesia Bagian Timur), Tahun 1991 (4 Provinsi) 44,5 Suvita (Survei Nasional Vit. A),Tahun 1992 (15 Provinsi) 41,4 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 1995 Nasional 45,9 JPS (Jaring Pengaman Sosial), Tahun 1998/99 43,8 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 2001 Nasional 34,3 SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), Tahun 2004 Nasional 25,8 Studi Masalah Gizi Mikro, Puslitbang Gizi Tahun 2006 (10 Provinsi) 36,2 Riskesdas ,8 Riskesdas ,6 Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Berat badan menurut tinggi badan yang rendah merupakan indikator malnutrisi akut yang paling sensitif dan paling umum digunakan. Seperti terlihat pada Tabel 7 prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/ wasting, Z-skore <-2 SD) berkisar antara 7-16%. Tabel 7 Prevalensi kurus/wasting anak balita < 2SD dari beberapa jenis survei Survei Prevalensi Wasting IBT (Indonesia Bagian Timur), Tahun 1991 (4 Provinsi) 9,7 Suvita (Survei Nasional Vit. A),Tahun 1992 (15 Provinsi) 8,6 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 1995 Nasional 13,4 SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), Tahun 1995 Nasional 11,6 JPS (Jaring Pengaman Sosial), Tahun ,7 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 2001 Nasional 15,6 SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), Tahun 2004 Nasional 10,3 Studi Masalah Gizi Mikro, Puslitbang Gizi Tahun 2006 (10 Provinsi) 7,1 Riskesdas ,6 Riskesdas ,3

60 45 Prevalensi kurus dan sangat kurus (wasting) berdasar BB/TB pada anak balita tidak turun bermakna selama 3 tahun terakhir. Menurut hasil Riskesdas (2010), sebanyak 13,3% anak balita masih ditemukan kurus dan sangat kurus. Terdapat 19 provinsi yang memiliki prevalensi kekurusan di atas angka prevalensi nasional. Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB kurus antara 10,1%- 15,0%, dan dianggap kritis bila di atas 15,0%. Pada tahun 2010, secara nasional prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 13,3%. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dari 33 provinsi, ada 5 provinsi yang masuk kategori moderate (prevalensi 10%), 19 provinsi termasuk kategori serius (prevalensi antara 10,1% sampai 15%), dan 9 provinsi termasuk dalam kategori kategori kritis (prevalensi >15%). b. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari gram yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir. Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu (1) BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu), dan (2) BBLR karena intra uterine growth retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di negara berkembang banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil (Kemenkes 2009). Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Seperti yang terlihat pada Tabel 8, proporsi BBLR berkisar antara 7-16% selama periode Menurut Atmarita dan Fallah (2004), kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi.

61 46 Tabel 8 Proporsi BBLR SDKI dan Riskesdas SDKI SDKI SDKI SDKI Riskesdas Riskesdas Nasional 7,3 7,1 7,7 7,6 11,5 11,1 Perkotaan 6,8 6,6 Perdesaan 7,3 8,4 Rentang Provinsi 2,3-16,7 3,6-15,6 Riskesdas 2007, mendata berat badan bayi baru lahir dalam 12 bulan terakhir. Tidak semua bayi diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir. Dari bayi yang diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir, 11,5% lahir dengan berat badan kurang dari gram atau BBLR. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan proporsi BBLR mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2007, yaitu 11,1%. Persentase BBLR hasil SDKI menunjukkan 7,6% bayi lahir dengan BBLR, dan Riskesdas 2007 seperti disebutkan di atas sebesar 11,5%. Adanya perbedaan metode survei maka tidak dapat langsung dinilai adanya peningkatan BBLR, hal ini perlu mendapat perhatian. c. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) Masalah gizi lain yang juga menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah adanya gangguan pertumbuhan (khususnya pada anak usia sekolah) karena GAKY. Soekirman (2000), menyatakan bahwa pada anak usia sekolah dan dewasa GAKY dapat berakibat pembesaran kelenjar gondok, cacat mental, dan fisik. Berikut merupakan perkembangan prevalensi Gondok Total (TGR) di Indonesia tahun (Gambar 13). (%) Tahun Sumber: Dit. Gizi Masyarakat, Ditjen Kesmas, Survey Pemetaan GAKY Nasional Tahun 1980, 1990, 1996/98, Survey GAKY Nasional Tahun 2003 Gambar 13 Perkembangan prevalensi gondok total (TGR) di Indonesia tahun Hasil survei pemetaan GAKY nasional tahun 1980/1982, 1987/1990, dan 1996/1998 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY dengan kriteria TGR (Total Goitre Rate) yang cukup berarti. Pada tahun 1980/82, prevalensi GAKY pada

62 47 anak usia sekolah (6-11) tahun adalah 37,2% dan menurun menjadi 27,7% pada tahun 1987/1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei GAKY tahun 2003 menunjukkan prevalensi GAKY sedikit meningkat (11,1%), walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti. Jumlah kabupaten yang tergolong endemik berat menurun, yaitu dari 22 kabupaten pada tahun 1996/1998 menjadi 14 kabupaten pada tahun Menurut WHO, GAKY dalam suatu populasi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat apabila TGR anak sekolah di atas 5%. Hal ini berarti GAKY masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Secara internasional, perhitungan proporsi penduduk yang menderita gondok sebagai indikator GAKY sudah tidak dianjurkan lagi karena secara statistik dianggap kurang sahih. Di samping itu, indikator tersebut baru timbul pada tingkat akhir sebagai akumulasi terjadinya kekurangan yodium untuk waktu lama sehingga dianggap terlambat jika dipakai sebagai dasar tindak pencegahan. Indikator GAKY yang dianjurkan WHO adalah (i) kadar yodium dalam urine (EYU= Eksresi Yodium Urine), yaitu proporsi EYU di bawah 100 μg/l harus kurang dari 50% dan proporsi EYU di bawah 50 μg/l harus kurang dari 20% dan (ii) konsumsi garam beryodium oleh rumah tangga, yaitu 90% rumah tangga menggunakan garam mengandung cukup yodium. Kedua indikator tersebut sudah dapat dilihat pada tahap awal, saat tingkat kekurangan yodium masih ringan. Oleh karena itu, kedua indikator itu dapat digunakan sebagai dasar tindak pencegahan sebelum timbul gondok atau akibat lain yang lebih parah seperti kerdil dan cacat mental (Bappenas 2007b). Pada tahun 2003 median EYU anak sekolah di Indonesia adalah 22,9 μg/l, sedangkan data proporsi EYU sudah mencapai 16,7 persen dari proporsi 100 μg/l. Berdasarkan data Susenas, cakupan konsumsi garam beryodium secara nasional meningkat dari 68,5 persen di tahun 2002 menjadi 72,8 persen di tahun Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi terjadinya GAKY pada masyarakat. Kekurangan yodium tingkat awal pada anak terbukti dapat menurunkan kecerdasan atau IQ. Anak yang kekurangan yodium memiliki IQ poin lebih rendah dari anak sehat (Bappenas 2007b). Menurut hasil Riskesdas 2007, persentase anak 6-12 tahun dengan EYU <100 µg/l (indikasi terjadinya TGR) sebesar 12,9%. Dari 30 kabupaten/ kota, tidak ada satupun dengan persentase kadar iodium urin <100 μg/l yang mencapai 50%. Nilai rata-rata nasional EYU adalah 224 μg/l, yang merupakan

63 48 kategori di atas yang dianjurkan. Cakupan konsumsi garam mengandung cukup yodium secara nasional 62,3%, yang terendah propinsi NTB 27,9% dan tertinggi propinsi Bangka Belitung 98,7%. Sebanyak 6 provinsi telah mencapai target Universal Salt Iodization 2010 (90%), yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo dan Papua Barat. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah melalui garam yang telah difortifikasi yodium sesuai standar. Masalah rendahnya konsumsi garam beryodium cukup (>30ppm) di rumah tangga, adalah hanya 62,3% (Riskesdas 2007), antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat (Bappenas 2010b). d. Anemia Gizi Besi (AGB) Masalah gizi juga dapat ditunjukkan oleh prevalensi anemia (Bappenas 2007). Anemia gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi. Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan masalah gizi terutama anemia gizi besi (Kemenkes 2010a). (%) SKRT 1986 SKRT 1992 SKRT 1995 SKRT 2001 Riskesdas 2007 Tahun Ket: Anemia Gizi Besi (WHO) untuk wanita dewasa hamil: Hb dalam darah <11 g/dl Gambar 14 Perkembangan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia tahun Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Riskesdas menunjukkan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil mengalami penurunan yang signifikan dari 73,3% pada tahun 1986 (SKRT) menjadi 24,5% pada tahun 2007 (Riskesdas 2007). Namun demikian, keadaan ini mengindikasikan bahwa anemia gizi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian

64 49 tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil. Ibu hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya. Konsumsi zat besi sangat diperlukan oleh ibu hamil yang ditujukan untuk mencegah ibu dan janin dari anemia, dan faktor risiko lainnya. Diharapkan ibu hamil dapat mengonsumsi tablet Fe lebih dari 90 tablet selama kehamilan. Pada kenyataannya, hanya 18% persentase ibu minum tablet Fe berdasarkan jumlah hari minum (90 hari atau lebih). Dijumpai 38% ibu hamil di Sumatera Utara dan 3,6% di DI Yogyakarta yang tidak pernah minum tablet Fe (Riskesdas 2007). Menurut Kemenkes (2009), keadaan kekurangan besi pada ibu hamil dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik pada sel tubuh maupun sel otak pada janin. Pada ibu hamil dapat mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, bayi berat lahir rendah (BBLR), perdarahan sebelum serta waktu melahirkan, dan pada anemia berat dapat menimbulkan kematian ibu dan bayi. Pada anak dapat mengalami gangguan pertumbuhan, tidak dapat mencapai tinggi yang optimal dan anak menjadi kurang cerdas. Selain pada ibu hamil, anemia gizi besi juga terjadi pada anak balita. Telah lama dibuktikan bahwa kejadian anemia pada anak berhubungan dengan berkurangnya prestasi kognitif sehingga berakibat rendahnya pencapaian tingkat pendidikan pada anak sekolah (Soemantri et al dalam Bappenas 2010b). Gambar 15 adalah perkembangan prevalensi anemia pada balita di Indonesia tahun (%) Tahun Sumber: SKRT 1992, 1995, 2001, dan Susilowati dkk (2006), Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia Tahun 2006 di 10 Provinsi Ket : Anemia Gizi Besi (WHO) untuk balita (6 bl-5 th): Hb dalam darah <11 g/dl Gambar 15 Perkembangan prevalensi anemia pada balita di Indonesia tahun Hasil SKRT, menunjukkan prevalensi anemia pada balita sebesar 55,5% pada tahun 1992 dan menurun menjadi 40,5% pada tahun Berdasarkan SKRT 2001, prevalensi anemia anak balita masih cukup tinggi (47,8%) dan meningkat dibandingkan tahun Semakin muda usia bayi, prevalensi

65 50 anemia cenderung semakin tinggi; pada bayi < 6 bulan (61,3%), bayi 6-11 bulan (64,8%), dan anak usia bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2-5 tahun (Bappenas 2007b). Sementara itu hasil survei yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2006 prevalensi AGB pada anak balita relatif lebih rendah, yaitu 26,3%. Prevalensi terendah ditemukan di Bali (19,8%) dan tertinggi di Maluku (36,3%). e. Kurang Vitamin A (KVA) Kurang vitamin A dikenal sebagai buta senja atau xerophthalmia ( mata kering ) yang dapat berlanjut kebutaan. Sejak tahun 1980-an, diketahui terjadi peningkatan angka kematian balita yang kurang vitamin A, bahkan sebelum terlihat tanda-tanda xerophthalmia. Kurang vitamin A dapat menyebabkan balita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi (Rimbawan & Baliwati 2006). Survei Nasional Xerophthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b (bitot spot) pada anak balita 1,3%, dan pada tahun 1992 turun menjadi 0,33%. Dengan keberhasilan ini maka kebutaan akibat KVA secara nasional sudah bukan masalah masyarakat lagi jika mengacu pada kriteria WHO (xerophthalmia <0,5%). Namun demikian, masih terdapat tiga provinsi dengan prevalensi di atas kriteria WHO. Provinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan (2,9%), Maluku (0,8%), dan Sulawesi Tenggara (0,6%). Ditinjau dari indikator subklinis yaitu berdasarkan kadar vitamin A dalam darah (serum retinol < 20 μg/dl) masih terdapat 50,2% balita menderita KVA subklinis. Dengan indikator ini, KVA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena lebih tinggi dari batas ambang menurut International Vitamin A Consultative Group (IVACG) sebesar 15%. Tabel 9 Perkembangan prevalensi xerophthalmia (X1B) tahun Tahun Prevalensi Xerophthalmia (XIB) 1977/78 1, , ,13 Sumber Dit Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes RI, Survei Xerophthalmia 1977/78 Dit Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes RI, Survei Xerophtalmia Nasional Tahun 1992 di 15 Provinsi Susilowati dkk (2006), Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia Tahun 2006 di 10 Provinsi Pada tahun 1992, Indonesia telah dinyatakan bebas dari xeropthalmia, namun masih dijumpai 50,2% balita mempunyai serum retinol <20 μg/dl, sebagai pertanda Kurang Vitamin A (KVA) Sub-Klinik. Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Kementerian Kesehatan RI di 10 provinsi di Indonesia, pada tahun 2006 prevalensi Xerophtalmia adalah 0,13% dan

66 51 prevalensi anak balita dengan serum retinol <20 μg/dl sekitar 14,6% yang berarti menunjukkan indikasi penurunan (Tabel 10). Oleh karena itu, masalah kurang Vitamin A (KVA) sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi karena berada di bawah 15% (batasan IVACG). Namun demikian perlu dicatat bahwa berdasarkan hasil tersebut juga ditemukan bahwa konsumsi (intake) vitamin A dari makanan hanya sekitar 20% dari rekomendasi (AKG atau RDA). Tabel 10 Masalah gizi mikro di Indonesia berdasarkan studi masalah gizi mikro di 10 provinsi Masalah Gizi Indikator Prevalensi 1. KVA 1. Xerophthalmia 0,13% 2. Serum retinol<20 µg/dl 14,6% 2. Anemia Gizi Besi Balita Kadar Hb <11 gr/dl 26,3% 3. Zinc 32% 4. Asupan Zat Gizi Vit A 20% dari RDA Zat Besi 40% dari RDA Zink 30% dari RDA Sumber: Studi Masalah Gizi Mikro di 10 Provinsi, P3GM 2006 Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan masalah KVA sangat dibantu oleh adanya program suplementasi bagi anak balita. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa rata rata nasional untuk suplementasi vitamin A mencapai 69,8% dengan cakupan tertinggi di Propinsi DIY (91,1%) dan terendah di Papua Barat (49,3%). Meski tidak seluruh anak balita tercakup program suplementasi, namun sekitar 7 dari 10 anak balita diperkirakan telah mendapat asupan vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali. Menurut DKP (2009), dengan rendahnya intake (asupan) vitamin A dari pangan, ke depan program diversifikasi konsumsi pangan untuk mewujudkan gizi seimbang perlu diperkuat dengan meningkatkan konsumsi pangan sumber vitamin A dari pangan hewani, sayuran dan buah dan dari pangan-pangan yang difortifikasi dengan vitamin A. f. Gizi Lebih Selain gizi kurang, secara bersamaan Indonesia juga mulai menghadapi masalah gizi lebih dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain saat ini Indonesia tengah menghadapi masalah gizi ganda. Gizi lebih (Z Skore > 2SD) pada balita menurut berat badan terhadap umur (BB/U) tahun 1989 yaitu 0,77% dan meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2010 (Gambar 16).

67 52 8 (%) Tahun Sumber: BPS RI, Susenas , Riskesdas 2007 dan 2010, menggunakan standar Baku WHO-NCHS Gambar 16 Perkembangan prevalensi gizi lebih (BB/U) pada balita di Indonesia tahun Berdasarkan indeks BB/TB juga dapat dilihat prevalensi kegemukan di kalangan balita. Pada tahun 2010, prevalensi kegemukan secara nasional di Indonesia adalah 14%. Terjadi peningkatan prevalensi kegemukan yaitu dari 12,2% tahun 2007 menjadi 14% tahun Dua belas provinsi memiliki masalah kegemukan di atas angka nasional (Riskesdas 2010). Selain pada balita, masalah gizi lebih juga dihadapi penduduk umur 18 tahun ke atas yang diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa sebesar 21,7% penduduk (18 tahun ke atas) mengalami obesitas umum (berat badan lebih+obese, IMT 25). Kondisi ini akan menjadi beban ganda dalam pembangunan gizi masyarakat di masa mendatang. Kesehatan Lingkungan Salah satu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar (Bappenas 2009b). a. Akses Air Minum Layak Akses rumah tangga terhadap air bersih pada tahun 1980an dapat dilihat dari hasil SKRT 1980, SUPAS 1985, dan SKRT 1986, yaitu masing-masing 35,7%, 36%, dan 30%. Kriteria akses terhadap air bersih yang digunakan pada SKRT 1980, SUPAS 1985, dan SKRT 1986 adalah bila air yang diperoleh bersumber dari ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan (Kemenkes 1988). Mulai tahun 1993, data akses terhadap sumber air minum dapat dilihat dari hasil Susenas. Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, Susenas menggunakan kriteria sumber air minum layak yang digunakan pemerintah dalam laporan Millennium Development Goals (MDGs) tahun Kriteria

68 53 akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/ atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan (Bappenas 2010a). (%) Tahun Sumber: SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, dan BPS, Susenas Gambar 17 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sumber air minum layak di Indonesia tahun Akses rumah tangga ke sumber air minum yang layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan, akses air minum layak meningkat dari 37,7% pada tahun 1993 menjadi 47,7% pada tahun 2009 (Gambar 17). Masih relatif rendahnya akses air minum yang layak mencerminkan bahwa laju penyediaan infrastruktur air minum, terutama di perkotaan, belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk; di samping banyak sarana dan prasarana air minum tidak terpelihara dan pengelolaannya tidak berkelanjutan (Bappenas 2010a). b. Akses Sanitasi Layak Akses rumah tangga terhadap sanitasi layak pada tahun 1980an dapat dilihat dari hasil SKRT 1980 dan SKRT 1986, yaitu masing-masing 33,6% dan 37,9%. Kriteria sanitasi layak yang digunakan pada SKRT 1980 dan SKRT 1986 adalah penduduk yang memakai jamban (Kemenkes 1988). Pada tahun 1992, data akses sanitasi layak didapatkan dari hasil Susenas. Kriteria sanitasi layak pada tahun 1992 adalah bila rumah tangga menggunakan septik tank dan lubang pembuangan tinja. Mulai tahun 1993, untuk menilai akses terhadap sumber air minum, Susenas menggunakan kriteria sanitasi layak yang digunakan pemerintah dalam laporan Millennium Development Goals (MDGs) tahun Kriteria akses terhadap sanitasi layak yang digunakan MDGs adalah bila penggunaan fasilitas tempat buang air besar

69 54 (BAB) milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. (%) Tahun Sumber: SKRT 1980, SKRT 1986, dan BPS, Susenas Gambar 18 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak di Indonesia tahun Akses rumah tangga terhadap fasilitas sanitasi yang layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan peningkatan akses sanitasi layak dari 24,8% pada tahun 1993 menjadi 51,2% pada tahun 2009 (Gambar 18). Menurut Bappenas (2010a), laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan utama yang dihadapi dalam meningkatkan cakupan sanitasi layak. Dengan memperhatikan kecenderungan capaian akses sanitasi layak selama ini, Indonesia harus memberikan perhatian khusus, termasuk peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi, guna mencapai target MDGs pada tahun 2015 (62,4%). Upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak (Bappenas 2010a).

70 55 Hubungan Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita dan Anggaran Kementerian Pertanian di Indonesia Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (1 tahun). PDB per kapita diperoleh apabila PDB per kapita dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di suatu negara tertentu. PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB per kapita atas dasar harga konstan tahun PDB atas dasar harga konstan menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi suatu negara menghasilkan output pada suatu periode waktu yang telah dihilangkan pengaruh perubahan harganya. Nilai PDB yang besar menunjukkan output yang dihasilkan besar, begitu juga sebaliknya (BPS 2007b). Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia selama tiga dekade terakhir ( ) dapat dilihat pada Gambar 19. Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr) 3,900 3,600 3,300 3,000 2,700 2,400 y = 1, x R² = 0,826 Rata-Rata Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr)) 3,500,000 6,500,000 9,500,000 PDB Per Kapita (Rp) Gambar 19 Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,909, p<0,01) antara PDB per kapita dengan ketersediaan energi per kapita. Ketersediaan energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya PDB per kapita, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 1, x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara PDB per kapita dengan ketersediaan energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi PDB per kapita maka ketersediaan energi per kapita akan semakin tinggi. PDB per kapita berpengaruh 82,6 persen (R 2 =0,826) terhadap ketersediaan energi per kapita.

71 56 Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan PDB per kapita dapat dilihat pada Gambar 20. Ketersediaan Protein (gram/kap/hr) y = x + 27,43 R² = 0,892 Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr)) 45 3,500,000 5,500,000 7,500,000 9,500,000 PDB Per Kapita (Rp) Gambar 20 Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,945, p<0,01) antara PDB per kapita dengan ketersediaan protein per kapita. Ketersediaan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya PDB per kapita, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = x + 27,43 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara PDB per kapita dengan ketersediaan protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi PDB per kapita maka ketersediaan protein per kapita akan semakin tinggi. PDB per kapita berpengaruh 89,2 persen (R 2 =0,892) terhadap ketersediaan protein per kapita. Ketersediaan pangan pada umumnya merupakan hasil (output) dari sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup tanaman bahan makanan, peternakan, holtikultura, perkebunan, dan perikanan. Berdasarkan laporan evaluasi RPJMN , sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi tersebut terindikasi dari kontribusi pembentukan PDB, penerimaan devisa melalui ekspor, penyediaan bahan baku industri dan penyerapan tenaga kerja (Bappenas 2009a). Pada tahun 2009, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 15,8 persen terhadap PDB nasional (World Bank 2010). PDB yang tinggi menunjukkan output yang tinggi dalam menghasilkan barang dan jasa di suatu negara. Output yang besar merupakan indikasi tingginya produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Peningkatan produksi barang dan jasa dalam berbagai sektor, khususnya sektor pertanian akan mendorong pula peningkatan ketersediaan pangan suatu negara.

72 57 Anggaran Kementerian Pertanian Menurut Bappenas (2008b), ketersediaan pangan harus didukung pula oleh peningkatan investasi di bidang pertanian pangan yang memadai terutama untuk pengadaan sarana dan prasarana pembangunan tanaman pangan. Perkembangan persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN tahun dapat dilihat pada Gambar 21. % Tahun Sumber: Bappenas, RAPBN berbagai tahun Gambar 21 Perkembangan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa perkembangan persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tampak berfluktuatif dan memperlihatkan kecenderungan yang menurun selama periode tahun Berikut disajikan hubungan antara persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN dengan ketersediaan energi per kapita di Indonesia (Gambar 22). Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr) 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 y = -212,5x R² = 0, % Anggaran Kementerian Pertanian terhadap Total RAPBN Rata-Rata Ketersediaan Energi (Kal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Energi (Kal/kap/hr)) Gambar 22 Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun

73 58 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,673, p<0,01) antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan energi per kapita. Ketersediaan energi per kapita semakin tinggi seiring dengan menurunnya persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -212,5x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya, semakin tinggi persentase anggaran Kementerian Pertanian maka ketersediaan energi per kapita akan semakin rendah. Persentase anggaran Kementerian Pertanian berpengaruh 45,8 persen (R 2 =0,458) terhadap ketersediaan energi per kapita. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN dengan ketersediaan protein per kapita dapat dilihat pada Gambar 23. Ketersediaan Protein (Gram/kap/hr) y = -7,174x + 101,1 R² = 0,420 Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr)) % Anggaran Kementerian Pertanian terhadap Total RAPBN Gambar 23 Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,646, p<0,01) antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan protein per kapita. Ketersediaan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan menurunnya persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -7,174x + 101,1 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya, semakin tinggi persentase anggaran Kementerian Pertanian maka ketersediaan protein per kapita akan semakin rendah. Persentase anggaran Kementerian Pertanian berpengaruh 42 persen (R 2 =0,42) terhadap ketersediaan protein per kapita.

74 59 Pertanian dalam arti luas mencakup tanaman bahan makanan, hortikultura, peternakan dan hasil-hasilnya, tanaman perkebunan, perikanan, serta kehutanan. Anggaran Kementerian Pertanian mencakup pembiayaan program terkait tanaman bahan makanan, holtikultura, dan tanaman perkebunan. Sektor pertanian berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka memenuhi hak atas pangan. Salah satu komponen yang diperlukan dalam menjalankan pembangunan pertanian adalah pembiayaan. Investasi pemerintah dalam pembiayaan pembangunan diterjemahkan sebagai pengalokasian anggaran. Permasalahan pada sektor pertanian seperti rendahnya produktivitas dan mutu, serta terbatasnya akses terhadap sumberdaya produktif, termasuk permodalan dan layanan usaha, memerlukan pembiayaan yang memadai. Secara nominal terjadi peningkatan anggaran Kementerian Pertanian selama periode , yaitu dari 122,4 milyar pada tahun 1980 menjadi 8038 milyar pada tahun Akan tetapi, secara persentase terhadap total RAPBN cenderung memperlihatkan penurunan. Hal ini disebabkan terjadinya perluasan sektor atau bidang pembiayaan dari tahun ke tahun sehingga distribusi alokasi anggaran semakin luas. Persentase anggaran Kementerian Pertanian seharusnya dapat berkorelasi positif terhadap ketersediaan energi dan protein. Hasil uji korelasi menggunakan Pearson dalam penelitian ini menunjukkan hubungan sebaliknya. Hubungan Konsumsi Energi dan Protein Per Kapita dengan Tingkat Kemiskinan dan Pengeluaran Per Kapita di Indonesia Tingkat Kemiskinan Konsep kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS 2008). Ketidakcukupan konsumsi kalori dan protein erat kaitannya dengan kemiskinan. Bagian terbesar dari penduduk yang mengalami defisit kalori dan protein adalah penduduk miskin. Walaupun dari tahun ke tahun penduduk miskin secara persentase dilaporkan menurun, namun secara absolut jumlahnya masih cukup besar (Suryana 2003). Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara

75 60 konsumsi energi per kapita dengan persentase penduduk miskin dapat dilihat pada Gambar 24. 2,050 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) 2,000 1,950 1,900 1,850 1,800 1,750 y = -12,16x R² = 0,422 Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)) Persentase Penduduk Miskin (%) Gambar 24 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,65, p<0,01) antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi energi per kapita. Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi energi per kapita akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -12,16x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi energi per kapita akan semakin rendah. Persentase penduduk miskin berpengaruh 42,2 persen (R 2 =0,422) terhadap konsumsi energi per kapita. Konsep garis kemiskinan yang didasarkan atas tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pangan (energi), maka rumahtangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumahtangga tidak mampu membeli kebutuhan panganmaka ketahanan pangan dan status gizi dari kelompok rawan mulai terancam (Soekirman 2000). Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan persentase penduduk miskin dapat dilihat pada Gambar 25.

76 61 60 Konsumsi Protein (gram/kap/hr) y = -0,765x + 64,88 R² = 0,349 Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr)) Persentase Penduduk Miskin (%) Gambar 25 Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,591, p<0,01) antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi protein per kapita. Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi protein per kapita akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0,765x + 64,88 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya, semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi protein per kapita akan semakin rendah. Persentase penduduk miskin berpengaruh 34,9 persen (R 2 =0,349) terhadap konsumsi protein per kapita. Berdasarkan Susenas tahun 2010, konsumsi energi dan protein per kapita penduduk sebesar 1926 kkal dan 55,0 gram. Angka ini menunjukkan bahwa pencapaian indikator untuk konsumsi energi 96 persen dan protein 106 persen. Angka ini relatif mencukupi, akan tetapi ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi, karena masih terdapat penduduk yang mengkonsumsi <70 persen dari kecukupan yang dianjurkan. Ini mengindikasikan bahwa isu ketahanan pangan masih perlu terus diwaspadai (Bappenas 2005). Laporan Pencapaian MDGs tahun 2010, juga menegaskan bahwa upaya peningkatan dan perbaikan konsumsi terutama bagi masyarakat miskin masih sangat mendesak untuk dilakukan. Istilah hunger paradox sering digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena telah mantapnya ketahanan pangan nasional, yang dicerminkan oleh ketersediaan energi dan protein di atas angka kebutuhan gizi, namun kelaparan atau kekurangan gizi masih terjadi di mana-mana. Sebenarnya mereka yang

77 62 mengalami rawan pangan bukan hanya golongan miskin, tetapi juga mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Disertasi doktor Yayuk F. Baliwati (2001) menganalisis ketahanan pangan rumahtangga petani. Ditemukan bahwa 44 persen petani sampel termasuk kategori miskin, tetapi ternyata yang mengalami rawan pangan lebih dari 80 persen (Bappenas 2005). Menurut Bappenas (2005), tampaknya rumah tangga miskin pasti akan mengalami ketidaktahanan pangan, tetapi mereka yang rawan pangan belum tentu hanya dari golongan miskin. Batas kemiskinan di Indonesia mungkin ditetapkan dengan cut-off point terlalu rendah sehingga rumah tangga miskin sebenarnya sudah masuk kategori sangat sangat miskin dan mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sebernarnya sudah sangat miskin. Pengeluaran Per Kapita Pengeluaran per kapita sebulan penduduk dapat mencerminkan tingkat pendapatan per kapita penduduk tersebut setiap bulannya. Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah meningkatnya pendapatan yang berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan dan gizi yang lebih baik. Penduduk yang memiliki tingkat pendapatan rendah cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan daripada penduduk yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Dengan demikian, penduduk dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran per kapita yang rendah dapat dikategorikan sebagai penduduk yang rentan terhadap perubahan pendapatan atau kenaikan harga pangan (DKP 2011). Hubungan antara pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan dengan konsumsi energi per kapita di Indonesia selama tiga dekade terakhir ( ) dapat dilihat pada Gambar 26. 2,100 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) 2,050 2,000 1,950 1,900 1,850 1,800 y = 3, x R² = 0,292 Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)) 1, , , , ,000 Pengeluaran Per Kapita Sebulan (Rp) Gambar 26 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia ( )

78 63 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,541, p<0,05) antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi energi per kapita. Konsumsi energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sebulan, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 3, x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi pengeluaran per kapita sebulan maka konsumsi energi per kapita akan semakin tinggi. Pengeluaran per kapita sebulan berpengaruh 29,2 persen (R 2 =0,292) terhadap konsumsi energi per kapita. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan dapat dilihat pada Gambar Konsumsi Protein (gram/kap/hr) y = x + 46,72 R² = 0,551 Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr)) , , , ,000 Pengeluaran Per Kapita Sebulan (Rp) Gambar 27 Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,742, p<0,01) antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi protein per kapita. Konsumsi protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sebulan, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = x + 46,72 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi pengeluaran per kapita sebulan maka konsumsi protein per kapita akan semakin tinggi. Koefisien determinasi (R 2 ) yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0,551, artinya pengeluaran per kapita

79 64 berpengaruh 55,1% terhadap konsumsi protein per kapita. Pengeluaran per kapita dapat mencerminkan tingkat pendapatan per kapita penduduk. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka diharapkan daya beli pangan akan meningkat dan berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan yang lebih baik. Hubungan Konsumsi Energi Per Kapita dan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Ketersediaan Energi Per Kapita di Indonesia Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,577, p<0,01) antara ketersediaan energi per kapita dengan konsumsi energi per kapita. Konsumsi energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya ketersediaan energi per kapita, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 0,117x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara ketersediaan energi per kapita dengan konsumsi energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi ketersediaan energi per kapita maka konsumsi energi per kapita akan semakin tinggi. Ketersediaan energi per kapita berpengaruh 33,2 persen (R 2 =0,332) terhadap konsumsi energi per kapita. Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk (Suhardjo 1989). Menurut DKP (2009), jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi mencerminkan aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. 2,050 Konsumsi Energi (Kal/kap/hr) 2,000 1,950 1,900 1,850 1,800 y = 0,117x R² = 0,332 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Linear (Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)) 1,750 2,400 2,900 3,400 3,900 4,400 Ketersediaan Energi (Kal/kap/hr) Gambar 28 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan ketersediaan energi per kapita di Indonesia ( ) Sementara itu, hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang positif dan tidak nyata (r=0,093, p>0,05) antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Artinya tidak ada hubungan yang nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Tingginya ketersediaan energi seharusnya

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia 5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah

Lebih terperinci

Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan

Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan LAMPIRAN 85 86 Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan Pengeluaran per Pengeluaran per Indeks Harga Tahun atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat yang terkait. Masalah kekurangan gizi juga merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Menurut data dari pada World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Ketersediaan Pangan Per Kapita di Indonesia Ketersediaan pangan per kapita mengindikasikan rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan. Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan

Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan Arif Haryana *) Pendahuluan Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN

KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN Aku sehat karena panganku cukup, beragam, bergizi seimbang, aman, dan halal TEORI KETAHANAN PANGAN Indikator Swasembada Pangan Kemandirian Pangan Kedaulatan Pangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 2007 ARIS ZAINAL MUTTAQIN PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A54104039 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H. KATA PENGANTAR Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS POLA KONSUMSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita 22 KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup 7 II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Pola makan anak balita Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup khususnya manusia. Pangan merupakan bahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA NADIYA MAWADDAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA Kebijakan pangan merupakan prioritas

Lebih terperinci

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR Oleh : Endang Pudji Astuti A14104065 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

TANTANGAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

TANTANGAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL TANTANGAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL SEAFAST Center LPPM Dept Ilmu dan Teknologi Pangan INSTITUT PERTANIAN BOGOR Presentasi disampaikan pada acara Seminar dan Sosialisasi Program Indofood Riset Nugraha

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah ada sejak dahulu, namun jenis dan karakternya selalu berubah.

BAB I PENDAHULUAN. sudah ada sejak dahulu, namun jenis dan karakternya selalu berubah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai masalah ekonomi yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia sudah ada sejak dahulu, namun jenis dan karakternya selalu berubah. Permasalahan tersebut mencapai

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR DIAH IMAS SRIMARYANI

POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR DIAH IMAS SRIMARYANI POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI PADA RUMAH TANGGA PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR DIAH IMAS SRIMARYANI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

Tujuan 2. Menghentikan kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan

Tujuan 2. Menghentikan kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan : Multi-stakeholder Consultation and Workshop, 26-27 April 2017, Jakarta, Tujuan 2. Menghentikan kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan Hak atas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketahanan Pangan 2.1.1. Defenisi Ketahanan Pangan Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain : 1. Dalam undang undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu sedangkan menurut Almatsier

Lebih terperinci

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA Ringkasan Selama 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan sosial dan politik luar biasa yang telah membentuk latar belakang bagi pekerjaan layak di negeri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI disampaikan pada : Temu Ilmiah Internasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian November 2014 OUTLINE 1. Pendahuluan 2. Permasalahan

Lebih terperinci

ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT ANEMIA GIZI BESI (AGB) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA DAN BIAYA PENANGGULANGANNYA MELALUI SUPLEMENTASI ZAT BESI

ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT ANEMIA GIZI BESI (AGB) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA DAN BIAYA PENANGGULANGANNYA MELALUI SUPLEMENTASI ZAT BESI ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI AKIBAT ANEMIA GIZI BESI (AGB) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA DAN BIAYA PENANGGULANGANNYA MELALUI SUPLEMENTASI ZAT BESI YULIA WULANSARI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI I. PENJELASAN UMUM Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, POLA KONSUMSI DAN TINGKAT KECUKUPAN GIZI PENDAKI GUNUNG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JESA NUHGROHO DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan ketahanan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup, sehingga usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar

Lebih terperinci

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki ketangguhan fisik, mental

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 I. Pendahuluan Setelah melalui perdebatan, pemerintah dan Komisi XI DPR RI akhirnya menyetujui asumsi makro dalam RAPBN 2012 yang terkait

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial dan komoditas paling strategis dalam kehidupan manusia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia. Ketahanan pangan berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN dan KEDAULATAN PANGAN

PENGANEKARAGAMAN dan KEDAULATAN PANGAN PENGANEKARAGAMAN dan KEDAULATAN PANGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Seafast center LPPM Departemen Ilmu & Teknologi Pangan KETAHANAN PANGAN (Food Security) UU No 7 (1996) Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan berusaha keras untuk

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5360 KESEJAHTERAAN. Pangan. Ketahanan. Ketersediaan. Keamanan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 I. LATAR BELAKANG Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan menetapkan bahwa Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mengadakan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketahanan pangan Konsep ketahanan pangan (food security) mulainya berkembang pada tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

Lebih terperinci