PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 PENGARUH MASING-MASING FAKTOR KEPRIBADIAN FIVE- FACTOR MODEL PADA COPING REMAJA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh : Amanda Febrianingtyas Siswanto FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 i

2 ii

3 iii

4 Mereka yang berhasil adalah mereka yang berpikiran Pasti Bisa..!!! (Erich Watson) iv

5 PERSEMBAHAN Saya persembahkan karya sederhana ini untuk : Allah SWT yang telah memberikan limpahan hidayah dan inayahnya kepada diri dan hidup saya. Nabi besar Muhammad SAW yang selalu menjadi teladan dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Bapak dan ibuku tersayang yang selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi. You are the best parents for me. My brother and My beloved sister Indira yang tak henti-hentinya mengingatkan untuk selalu berjuang mengerjakan skripsi. Teman terdekat saya Arga yang selalu menemani dan mendampingi. Sahabat-sahabatku, dan semua orang yang telah mengajariku arti kehidupan. v

6 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 15 Juli 2013 Penulis Amanda Febrianingtyas Siswanto vi

7 PENGARUH MASING-MASING FAKTOR KEPRIBADIAN FIVE- FACTOR MODEL PADA COPING REMAJA Amanda Febrianingtyas Siswanto ABSTRAK Penelitian kuantitatif non-eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh masingmasing faktor kepribadian five-factor model pada coping remaja Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah masing-masing faktor kepribadian berpengaruh signifikan pada coping. Subjek penelitian adalah 71 remaja yang berdomisili di kecamatan Ngemplak Sleman Yogyakarta. Variabel bebas pada penelitian ini adalah lima faktor kepribadian yaitu opennes to experience, conscientiousness, extravertion, agreeableness dan neuroticism. Sedangkan variabel tergantung pada penelitian ini adalah engagement coping dan disengagement coping. Pengambilan data dilakukan dengan pengisian skala kepribadian five-factor model dan skala coping. Uji reliabilitas pada skala coping adalah 0,860. Sedangkan pada skala kepribadian five-factor model adalah 0,878 pada opennes to experience, 0,885 pada conscientiousness, 0,837 pada extravertion, 0,799 pada agreeableness dan 0,902 pada neuroticism. Validitas skala ditentukan berdasarkan penilaian ahli. Metode analisis data menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis data menunjukkan bahwa masing-masing faktor kepribadian berpengaruh signifikan pada engagement coping dan disengagement coping. Dari kelima faktor kepribadian five-factor model, faktor extravertion memberikan kontribusi paling besar yaitu 38,3 %. Kata kunci : kepribadian five-factor model, engagement coping, disengagement coping, remaja vii

8 THE INFLUENCE OF EACH PERSONALITY FACTOR OF FIVE FACTOR MODEL ON ADOLESCENT COPING Amanda Febrianingtyas Siswanto ABSTRACT This quantitative non-experimental research aims to find out the influence of each personality factor of five-factor model on adolescent coping. The hypothesis that is proposed in this research is each personality factor influences to coping significantly. The research subjects are 71 adolescents who live in Ngemplak Sleman Yogyakarta. The independent variables of this research are openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness and neuroticism. While dependant variables of this research are engagement and disengagement coping. The gaining data was by filling personality factor of five-factor model and coping scale. Reliability test on coping shows 0,860. Whereas, five-factor model of personality scale shows 0,878 for openness, 0,885 for conscientiousness, 0,837 for extraversion, 0,799 for agreeableness, and 0,902 for neuroticism. Scale validity is determined by professional judgment. Data analysis method uses multiple regression analysis. Data analysis result shows that each personality factor influences to the engagement and disengagement coping. From those five personality factors, extraversion factor contributes mostly which is 38, 3%. Key words: five factor model of personality, engagement coping, disengagement coping, adolescent. viii

9 LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Amanda Febrianingtyas Siswanto Nomor Mahasiswa : Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : PENGARUH MASING-MASING FAKTOR KEPRIBADIAN FIVE- FACTOR MODEL PADA COPING REMAJA Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 15 Juli 2013 Yang menyatakan (Amanda Febrianingtyas Siswanto) ix

10 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah serta pertolongannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.). Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 4. Dr. A. Priyono Marwan, S.J. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu membimbing, mengarahkan, mendukung dan menyemangati penulis selama menyusun skripsi ini. 5. Bapak Agung Santoso, S.Psi., M.A yang telah memberikan saran bagi analisis data yang akan saya gunakan. 6. Dr. Tjipto Susana, M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan skripsi. x

11 7. Debri Pristinella, M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan skripsi. 8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas segala dukungan dan perhatiannya selama penulis belajar di Universitas Sanata Dharma. 9. Mas Gandung, Bu nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie atas bantuan, keramahan, dan senyumannya. 10. Bapak Landung dan Ibu Landung yang sudah membesarkan aku, menyayangi aku dan memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Kakakku Mbak Indi yang selalu memberikan nasehat-nasehat supernya ketika aku mulai putus asa. Terimakasih ya. 12. Adikku Billy yang selalu mengajakku bercanda dan berantem. Terimakasih sudah menghibur. 13. Pacarku Arga yang selalu menemani dan mendampingi di segala situasi dan kondisi. Terimakasih. 14. Teman-teman terbaikku Kris, Vista, Ricky, Ditya Nicho. Tanpa kalian, psikologi hampa. 15. Teman-teman seperjuangan Dewi, Sinto, Mengty, Jeje, Ratna, Wina, Andi, Ithin yang selalu berjuang bersama untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi Kita Pasti Bisa. 16. Teman-temanku SMA Anggun, Shonia, Ratna yang tak henti-hentinya memberikan motivasi untuk secepatnya wisuda. xi

12 17. Teman-temanku ELTI Mitha, Chicka, Alfi, Putri, Heny, Berto, PJ yang selalu melontarkan ejekan-ejekannya agar aku segera menyelesaikan skripsi. 18. Teman-teman P2TKP Pak Tony, Mbak Jes, Dewi, Ayu, Mila, Puput, Bella, Mbak Putri, Anju, Efrem, Vero, dll. Terimakasih atas kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Terima Kasih. Yogyakarta, 15 Juli 2013 Penulis Amanda Febrianingtyas Siswanto xii

13 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN MOTTO...iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR LAMPIRAN...xvii BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 6 C. Tujuan Penelitian... 6 D. Manfaat Penelitian Manfaat Bagi Remaja Manfaat Bagi Pendamping... 7 xiii

14 BAB II. LANDASAN TEORI... 8 A. Coping Stress Pengertian Stres Pengertian Coping Dimensi Coping Kategori Spesifik Coping B. Kepribadian Five-Factor Model Teori Trait Kepribadian Penjelasan Kepribadian Five-Factor Model Faset dalam Kepribadian Five-Factor Model Pengukuran Kepribadian Five-Factor Model C. Remaja Pengertian Remaja Ciri-ciri Masa Remaja Stres pada Remaja D. Pengaruh Faktor Kepribadian Five-Factor Model Pada Coping Remaja E. Skema Penelitian F. Hipotesis BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Variabel Penelitian C. Definisi Operasional Variabel Penelitian Coping xiv

15 2. Kepribadian Five-Factor Model D. Subjek Penelitian E. Metode Pengumpulan Data F. Alat Pengumpulan Data Skala Coping Skala Kepribadian Five-Factor Model G. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Uji Validitas Seleksi Item Uji Reliabilitas a. Skala Coping b. Skala Kepribadian Five-Factor Model H. Metode Analisis Data BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian B. Deskripsi Subjek Deskripsi Subjek Penelitian Deskripsi Data Penelitian C. Hasil Penelitian Uji Asumsi Uji Hipotesis D. Pembahasan xv

16 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran Untuk Remaja Untuk Pendamping Untuk Peneliti Selanjutnya DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvi

17 DAFTAR TABEL Tabel 1. Skor Item Positif Skala Coping Tabel 2. Blueprint Skala Coping Sebelum Seleksi Item Tabel 3. Skor Item Positif Pada Skala Kepribadian Five-Factor Model Tabel 4. Skor Item Negatif Pada Skala Kepribadian Five-Factor Model Tabel 5. Blueprint Skala Kepribadian Five-Factor Model Sebelum Seleksi Item Tabel 6. Blueprint Skala Coping Setelah Seleksi Item Tabel 7. Blueprint Sebaran Item Skala Coping Tabel 8. Blueprint Skala Kepribadian Five-Factor Model Setelah Seleksi Item Tabel 9. Blueprint Sebaran Item Skala Kepribadian Five-Factor Model Tabel 10. Deskripsi Subjek Penelitian Tabel 11. Deskripsi Data Penelitian Tabel 12. Uji Normalitas One Sample Kolmogrov-Smirnov Test Tabel 13. Uji Lineraritas (Test for Linearity) Tabel 14. Uji Heteroskedastisitas Faktor Kepribadian-Engagement Coping Tabel 15. Uji Heteroskedastisitas Faktor Kepribadian-Disengagement Coping Tabel 16. Uji Multikolonieritas Model Regresi Y1 dan Model Regresi Y Tabel 17. Uji Hipotesis Faktor Kepribadian pada Engagement Coping Tabel 18. Uji Hipotesis Faktor Kepribadian pada Disengagement Coping xvii

18 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Skala Coping (Try Out) Lampiran B Skala Kepribadian Five-Factor Model (Try Out) Lampiran C Uji Reliabilitas Lampiran D Skala Penelitian Coping Lampiran E Skala Penelitian Kepribadian Lampiran F Uji Asumsi Lampiran G Uji Hipotesis xviii

19 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad XXI merupakan abad globalisasi dan informasi yang ditandai dengan kompleksitas permasalahan kehidupan. Pandangan ini didukung oleh Wiramihardja (2002) yang menyatakan bahwa abad XXI adalah abad kekhawatiran mengenai kompleksnya permasalahan global yang memungkinan individu untuk mengalami stres. Lazarus (dalam Carver & Connor-Smith, 2010) mendefinisikan stres sebagai keadaan individu ketika menghadapi situasi yang menjadi beban atau melebihi kemampuannya. Stres dapat bersifat positif (eustress) ataupun negatif (distress). Situasi stres dapat mengenai semua individu, termasuk remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan fisik, kognitif dan psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian dan cenderung berdampak pada permasalahan remaja. Hurlock (1996) menyebut masa remaja sebagai masa usia bermasalah. Masalah dan konflik yang tidak ditangani dengan baik berdampak buruk dan menjadi sumber stres pada remaja. 1

20 2 Berbagai faktor dapat menyebabkan stres pada remaja abad XXI ini. Needlman (2004) menyatakan bahwa stres remaja disebabkan oleh faktor biologis, keluarga, sekolah atau akademik, teman sebaya dan lingkungan sosial. Terkait faktor biologis, Konstanski dan Gullone (1998) menemukan 80% remaja mengalami ketidakpuasan terhadap fisiknya. Penelitian di Baltimore US, menyebutkan faktor orangtua berkontribusi sebesar 68%, saudara kandung sebesar 64%, faktor sekolah berkontribusi sebesar 78%, permasalahan teman sebaya sebesar 64%, dan hubungan romantik sebesar 64% terhadap stres remaja (Center for Adolescent Health, 2006). Survei yang dilakukan American Psycological Assosiation Survey (2009) didapatkan bahwa 45% remaja (13-17 tahun) mengalami stres termasuk kecemasan. Zimmer-Gembeck dan Skinner (2008) juga melaporkan bahwa 25% remaja paling sedikit mengalami satu peristiwa yang menyebabkan stres. Fakta mencengangkan terjadi pada remaja Indonesia. Dorongan terbesar remaja merokok disebabkan oleh stres dengan prosentase 54,59% (Hadi, 2008). Selain itu, penghuni di RSJ Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh remaja yang mengalami stres karena faktor pendidikan (Setiabudi, 2010). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa stres dapat mengenai remaja. Terkait dengan stres, peneliti memilih untuk meneliti coping stres pada remaja karena keberhasilan remaja dari stressful life events tergantung pada bagaimana remaja memahami, merespon dan bereaksi dalam mengatasi masalahnya (Zimmer-Gembeck & Skinner, 2008). Apabila masalah dipandang negatif maka respon perilakunya juga negatif dan bersifat patologis. Sebaliknya,

21 3 apabila masalah dipandang positif maka respon perilaku yang ditampilkan dalam bentuk pengaturan diri dan cara mengatasi masalah yang sehat. Cara individu merespon dan menghadapi stres inilah yang disebut coping. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui perilaku coping. Akan tetapi, kebanyakan penelitian coping berfokus pada individu dewasa. Konsep penelitian coping juga berlandaskan model coping individu dewasa. Dalam sejumlah penelitian coping, pengukuran coping yang dikembangkan untuk individu dewasa diaplikasikan pada remaja dengan sedikit atau tanpa adaptasi (Compas et al., 2001). Untuk itu, Compas (2001) mengembangkan teori coping yang ditujukan bagi remaja. Compas dalam (Compas et a.l, 2001; Miller & Kaiser, 2001; Thomsen et al., 2002) mendefinisikan coping sebagai usaha kesadaran yang dikehendaki untuk mengatur emosi, pikiran, perilaku, fisiologi, dan merespon keadaan yang menyebabkan stres. Usaha-usaha tersebut adalah usaha yang mempunyai orientasi untuk menghadapi sumber stres (engagement coping) atau untuk menghindari sumber stres (disengagement coping). Penelitian ini menggunakan teori coping yang dikembangkan oleh Compas (2001) karena model coping tersebut banyak digunakan dalam penelitian coping remaja dan respon yang mengatur sebagian besar dimensi tersebut menjadi model yang koheren dari model lain seperti problem focused coping vs emotional focused coping (Miller & Kaiser, 2001). Masing-masing remaja melakukan coping secara berbeda terhadap sumber stres yang dialami. Tidak semua remaja dapat melakukan coping secara sehat dan adaptif. Remaja yang tidak mempelajari cara sehat untuk mengatur

22 4 stresnya akan berdampak negatif pada kesehatan (American Psycological Assosiation Survey, 2009). Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Connor- Smith (2000) dan Compas (2001) yang menyatakan bahwa cara merespon stres remaja penting untuk memahami perkembangan kesehatan remaja. Perkembangan kesehatan tersebut melingkupi pemahaman psikopatologi ataupun physical illness remaja. Peneliti-peneliti coping juga beranggapan bahwa cara individu menghadapi stresnya dapat mengurangi atau menambah efek yang merugikan kondisi kehidupan. Hal ini dikarenakan cara individu mengahadapi stresnya tidak hanya berpengaruh dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang pada perkembangan fisik dan kesehatan mental (Skinner et al., 2003). Penelitian terbaru yang dipublikasikan British Medical Journal menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan perilaku yang mungkin akan berkembang menjadi masalah mental pada saat dewasa (Manongga, 2012). Dari penjelasan di atas, penelitian coping dapat dijadikan acuan untuk berbagai rancangan intervensi psikologis yang ditujukan untuk pengobatan ataupun pencegahan psikopatologi. Pencegahan psikopatologi dilakukan dengan mengubah penilaian mereka terhadap stres atau meningkatkan kapasitas mereka untuk mengatasi stres secara adaptif (Compas et al., 2001; Zimmer-Gembeck, & Skinner, 2008). Individu yang memiliki coping yang adaptif adalah individu yang dapat mengatur emosi dan perilaku, merekonstruksi pikiran, mengkontrol tindakan pada lingkungan sosial dan

23 5 nonsosial untuk mengubah atau mengurangi sumber stres (Compas et al., 2001). Penggunaan coping antara individu satu berbeda dari individu lainnya. Masing-masing individu bereaksi secara berbeda terhadap sumber stres yang dialami. Segala sesuatu yang membuat individu berbeda dengan yang lainnya ada pada kepribadian individu masing-masing (Carver & Connor-Smith, 2010). Kepribadian terkait dengan tendensi biologis (genetik). Berhubung kepribadian berakar dari biologis, faktor kepribadian merupakan dasar awal dalam mempengaruhi coping sepanjang masa kehidupan (Connor-Smith & Flachsbart, 2007). Maka dari itu, peneliti memilih faktor kepribadian sebagai faktor awal yang mempengaruhi coping. McCrae dan Costa (dalam Primaldhi, 2008) mengatakan bahwa faktor kepribadian adalah salah satu yang menentukan kecenderungan coping yang digunakan individu. McCrae dan Costa (dalam Pervin, Cervone, dan John, 2010) menyebutkan kelima faktor kepribadian tersebut adalah Opennes to Experience (O), Conscientiousness (C), Extraversion (E), Agreeableness (A) dan Neuroticism (N). Penelitian ini menggunakan teori keribadian five-factor model karena teori ini mampu memprediksi berbagai hal, termasuk kecenderungan coping. Penelitian terkait pengaruh faktor kepribadian five-factor model pada coping telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Friedman-Wheeler (2008) yang meneliti pengaruh faktor neuroticism pada coping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor neuroticism berpengaruh positif dan signifikan dengan disengagement coping dan berpengaruh negatif

24 6 pada engagement coping. Hal ini membuktikan bahwa remaja dengan tingkat neuroticism tinggi, memiliki kecenderungan untuk menggunakan disengagement coping. Berdasar pada penelitian di atas, dikatakan bahwa kecenderungan kepribadian neurotic mempengaruhi coping yang digunakan remaja. Peneliti semakin tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor kepribadian lainnya pada coping remaja. Dengan mengetahui kecenderungan kepribadiannya, remaja dapat mengetahui kecenderungan coping dalam dirinya, apakah adaptif atau maladaptif. Untuk itu, penelitian ini berfokus pada pengaruh masing-masing faktor kepribadian five-factor model pada coping remaja. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah apakah masing-masing faktor kepribadian five-factor model berpengaruh pada engagement dan disengagement coping? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor kepribadian five-factor model pada engagement dan disengagement coping remaja.

25 7 D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat bagi remaja Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang kepribadian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi coping. Dari penelitian ini, remaja dapat lebih menyadari bahwa kecenderungan kepribadian akan mengarahkan coping yang digunakan. Apabila remaja sadar terdapat kecenderungan kepribadian yang bersaifat patologis, remaja diharapkan dapat belajar kemampuan coping yang adaptif. 2. Manfaat bagi pendamping Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pendamping (orangtua dan guru) mengenai pengaruh kepribadian pada coping remaja. Dari penelitian ini, orangtua dan guru dapat mengarahkan remaja pada penggunaan coping yang adaptif. Selain itu, orangtua dan guru dapat mengajak dan membimbing remaja untuk melatih kemampuan coping yang ia miliki apabila kecenderungan kepribadian yang dimliki remaja bersaifat patologis.

26 BAB II LANDASAN TEORI Bab landasan teori ini menguraikan sub-sub bab coping stress, kepribadian five-factor model, remaja dan pengaruh kepribadian five-factor model pada coping stress remaja. A. COPING STRESS Sub-bab ini menguraikan tentang pengertian stres, pengertian coping, pengelompokan coping dan kategori spesifik coping. 1. Pengertian Stres Lazarus (dalam Carver & Connor-Smith, 2010) mendefinisikan stres sebagai keadaan individu ketika menghadapi situasi yang menjadi beban atau melebihi kemampuannya. Dengan kata lain stres adalah pengalaman individu saat mengalami kesulitan dalam menangani segala hambatan, kehilangan, kerugian ataupun ancaman. Stres terjadi karena adanya stressor. Lazarus (dalam Safaria, 2006) mengatakan bahwa stressor adalah kondisi fisik, lingkungan dan sosial yang menyebabkan stres. Stres dapat bersifat positif ataupun negatif bagi individu. Selye (dalam Mclean et al., 2007) menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan pada persepsi individu terhadap situasi stres yang dialaminya, yaitu: 8

27 9 a. Eustress Eustress adalah stres yang bersifat positif dan dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress dianggap sebagai suatu pengalaman yang memuaskan. Hal ini dikarenakan kehadiran stres dapat mendorong individu untuk berkembang menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. b. Distress Distress adalah stres yang bersifat negatif dan merusak ketahanan diri individu. Distress terjadi karena adanya tuntutan sumber stres dan sumber daya individu yang tidak cukup untuk mengurangi ancaman, bahaya, dan kehilangan. Individu yang mengalami distress mengalami rasa cemas, ketakutan, kekhawatiran atau gelisah. Hal ini menyebabkan individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, gangguan fisik, dan gangguan kesehatan. Selain itu, individu yang mengalami distress memiliki keinginan untuk menghindar dan menarik diri dari lingkungan. Individu yang mengalami distress juga lebih menyukai kesendirian, mudah marah dan tersinggung. 2. Pengertian Coping Compas (dalam Compas et al., 2001; Miller & Kaiser, 2001; Thomsen et al., 2002) mengemukakan coping adalah usaha kesadaran yang dikehendaki untuk mengatur emosi, pikiran, perilaku, fisiologi, dan merespon keadaan yang menyebabkan stres. Tidak semua respon individu dalam menghadapi

28 10 stresnya dikatakan coping. Individu mungkin memiliki ketidaksengajaan atas emosi, perilaku, fisiologis, kognitif dalam merespon stres, yang tidak berfungsi untuk mengatur atau memodifikasi stres. Ketidaksengajaan respon tersebut dialami jauh di luar kendali individu. Saedangkan coping mengacu pada usaha-usaha pengaturan secara sadar dan sengaja diperankan dalam merespon stres (Connor-Smith et al., 2000). 3. Dimensi Coping Banyak dimensi yang digunakan untuk mengkategorikan coping (Compas et al., 2001; Connor-Smith dan Flachsbart, 2007). Dimensi coping tersebut adalah problem versus emotion focused coping, primary versus secondary control coping, dan engagement versus disengagement coping. Zeidner dan Endler (dalam Miller & Kaiser, 2001) mengatakan bahwa konsensus mengenai dimensi coping untuk menggambarkan respon stres belum tercapai. Respon coping yang dianggap mewakili satu dimensi sering mengalami tumpang tindih dengan dimensi lain. Meninjau keragaman respon coping yang ada, Compas dan rekan-rekannya mengusulkan dimensi coping dan respon yang mengatur sebagian besar dimensi tersebut menjadi model yang koheren (Connor-Smith et al., 2000; Miller & Kaiser, 2001). Dimensi coping yang diusulkan Compas (2001) adalah engagement coping dan disengagement coping. Penelitian ini menggunakan teori coping yang dikembangkan oleh Compas (2001) karena model coping ini banyak digunakan dalam penelitian

29 11 coping remaja. Selain itu, teori coping tersebut mendeskripsikan responrespon stres yang lebih baik daripada model- model coping yang lain. Model coping lain tersebut misalnya model coping populer yang dikemukakan oleh Lazarus (1984) yaitu problem-focused coping (PFC) versus emotion focused coping (EFC) (Miller & Kaiser, 2001). Model coping PFC dan EFC dianggap tidak cukup untuk menggambarkan struktur coping untuk young people (Ayers, 1996; Walken, 1997 dalam Compas et al., 2001). Model coping tersebut juga dipandang terlalu luas. Dimensi emotional focused coping mencakup strategi relaksasi, emotional suppresion dan mencari dukungan emosi dari orang lain. Dikatakan bahwa salah satu strategi tersebut mungkin dapat berhadapan langsung dengan dimensi problem focused coping dan emotional focused coping. Misalnya saja, individu pergi mencari teman untuk menghindari masalahnya. Mungkin saja, individu tersebut pergi untuk menenangkan diri dengan temannya (emotional focused coping ) atau bisa juga individu tersebut pergi untuk membicarakan masalah dengan temannya (problem focused coping). Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, peneliti memilih menggunakan model coping yang dikemukakan oleh Compas (2001). Perbedaan dimensi engagement dan disengagement coping yang dikemukakan Compas (2001) terletak pada orientasi kedua dimensi yang menuju atau menjauhi sumber stres. Engagement coping meliputi usahausaha aktif untuk mengatur situasi atau emosi yang terkait dengan stres. Sedangkan disengagement coping meliputi jarak seseorang dari sumber stres. Penjelasan kedua bentuk coping tersebut adalah sebagai berikut:

30 12 a. Engagement coping Engagement coping adalah coping yang bertujuan untuk menghadapi sumber stres yang menghasilkan distress. Connor-Smith dan Compas (2004) mengatakan bahwa engagement coping diprediksi memiliki penyesuaian yang lebih baik dalam menghadapi stres. Berdasarkan tujuannya, engagement coping terdiri dari dua faktor yaitu: 1) Primary control engagement coping. Compas et al., (2012) mengemukakan primary control coping adalah usaha untuk mengubah secara langsung situasi stressful atau sumber stres. Primary control coping ditujukan langsung untuk mengubah kondisi objektif seperti mengatur situasi atau respon emosional yang terkait dengan sumber stres. Strategi-strategi dalam primary control coping meliputi pemecahan masalah, pengaturan emosi berupa pengekspresian emosi secara tepat. 2) Secondary control engagement coping Secondary control engagement coping adalah usaha untuk menyesuaikan diri pada situasi stressfull (Compas dalam Compas et al., 2012; Miller & Kaiser, 2001). Secondary control engagement coping meliputi strategi-strategi yang menekankan pada adaptasi terhadap stres. Strategi tersebut adalah penerimaan, restrukturisasi kognitif, berpikir positif dan distraction atau selingan yang menyenangkan.

31 13 b. Disengagement coping Disengagement coping adalah usaha yang berorientasi untuk menghindar dari sumber stres atau reaksi yang menghasilkan distress (Compas et al., 2012). Disengagement coping meliputi penghindaran, wishful thinking, dan penyangkalan. Wishful thinking dan berfantasi akan menjauhkan individu dari sumber stres. Sedangkan denial atau penyangkalan akan menciptakan batas diantara realitas dan pengalaman individu. Sebagai contoh, jika sesorang mengalami ancaman nyata dalam hidupnya, kemudian orang tersebut menanggapi dengan pergi ke bioskop untuk menyangkal situasi yang sedang dialami. Disengagement coping umumnya tidak efektif dalam mengurangi tekanan dalam jangka panjang. Tipe ini dapat meningkatkan gangguan pikiran tentang sumber stres dan peningkatan suasana hati negatif serta kecemasan. Disengagement coping menciptakan masalah bagi individu sendiri. Sebagai contoh, individu yang mengkonsumsi alkohol dan obatobatan sebagai bentuk pelarian akan berdampak pada masalah kesehatan dan sosial. Perilaku tersebut termasuk dalam perilaku avoidance yang merupakan strategi disengagement coping. (Carver & Connor-Smith, 2010).

32 14 4. Kategori Spesifik Coping Sub-bab ini menguraikan kategori spesifik coping dalam engagement dan disengagement coping yang dikemukakan oleh Compas (2001 dalam Miller & Kaiser, 2001). Kategori spesifik coping dalam engagement coping terdiri dari dua bagian yaitu primary control engagement coping dan secondary control engagement coping. Kategori-kategori spesifik dalam primary control engagement coping adalah sebagai berikut: a. Problem solving Problem solving adalah usaha-usaha aktif individu untuk memecahkan sumber stres, melalui perencanaan, kemungkinan solusi yang mungkin terjadi, analisa logis dan pilihan-pilihan evaluasi, penerapan solusi dan pengorganisasian tugas. Dalam kuesioner Responses to Stress Questionaire (RSQ), individu meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya termasuk dalam kategori ini (Connor-Smith et al., 2000) b. Emotion regulation Emotion regulation adalah usaha aktif untuk mengurangi emosi negatif melalui penggunaan kontrol dalam strategi, seperti relaksasi atau olahraga, dan mengatur ekspresi emosi untuk meyakinkan bahwa perasaan dapat diekspresikan pada waktu yang tepat dalam cara yang konstruktif. Kategori-kategori spesifik dalam secondary control engagement coping adalah sebagai berikut:

33 15 c. Distraction Distraction adalah upaya mengambil waktu untuk beristirahat dari situasi stressful dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan. Distraction tidak termasuk usaha untuk menyangkal atau menghindari masalah. Distraction mengacu pada usaha-usaha aktif untuk mengatasi situasi stressful dengan melakukan sebuah aktifitas yang menyenangkan. Contohnya, melakukan hobi dengan berolahraga, nonton televisi, bertemu dengan teman ataupun membaca (Miller & Kaiser, 2001). Penelitian yang dilakukan Connor-Smith (2000) menunjukkan bahwa distraction berhubungan dengan engagement coping, tidak dengan disengagement coping. d. Acceptance Acceptance merupakan usaha individu untuk mempelajari, memahami atau menerima dan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan sumber stres. e. Cognitive restructuring Cognitive restructuring adalah penemuan cara yang lebih positif atau realistik tentang situasi buruk dengan melihat sisi positif, mengidentifikasi keuntungan dari timbulnya situasi, dan menemukan sisi lain yang bersifat humorous pada sumber stres (Connor-Smith & Flachsbart, 2007). Yang termasuk dalam cognitive restructuring adalah dengan berfokus pada hal positif, berpikir positif, optimisme, dan meminimalisir distress atau konsekuensi negatif (Skinner et al., 2003)

34 16 Sedangkan yang termasuk dalam kategori spesifik disengagement coping adalah: a. Avoidance Avoidance adalah usaha individu untuk menghindar dari masalah, pikiran-pikiran pada masalah tersebut dan emosi yang berkaitan pada masalah tersebut. b. Denial Denial adalah usaha-usaha aktif untuk menyangkal atau melupakan masalah, meniadakan masalah, dan menyembunyikan respon emosional dari diri sendiri atau orang lain. c. Wishful thinking Wishful thinking merupakan keadaan individu ketika berharap dapat diselamatkan secara magic dari situasi atau harapan agar situasi tersebut hilang. Selain itu individu cenderung berfantasi tentang hasil yang tidak mungkin dan individu berharap situasinya akan berbeda secara radikal. Keterangan kategori-kategori coping spesifik di atas digunakan dalam pembuatan alat ukur Responses to Stress Questionaire (RSQ). Maka dari itu peneliti juga menggunakan kategori-kategori coping spesifik tersebut dalam pembuatan skala coping dalam penelitian.

35 17 B. KEPRIBADIAN FIVE-FACTOR MODEL Bagian ini menguraikan tentang teori trait kepribadian, penjelasan kepribadian five-factor model, faset-faset dalam kepribadian five-factor model dan pengukuran kepribadian five-factor model. 1. Teori Trait Kepribadian Psikologi memiliki berbagai teori kepribadian dengan masing-masing perspektifnya. Teori-teori kepribadian tersebut adalah teori kepribadian psikodinamis, teori kepribadian fenomenologis, teori kepribadian trait atau sifat, teori kepribadian behaviorisme, teori kepribadian kognitif dan teori kepribadian sosial-kognitif. Penelitian ini menggunakan teori trait karena teori ini memberikan cara sederhana untuk mengetahui bagaimana individu berbeda dengan yang lain. Trait merupakan unit dasar kepribadian yang merupakan kecenderungan individu untuk merespon dengan cara tertentu. Dapat diasumsikan bahwa kepribadian dicirikan berdasarkan kecenderungan konsisten individu dalam bertindak, merasa atau berpikir dengan caranya masing-masing. (Pervin dkk., 2010) Teori kepribadian trait dikembangkan oleh Allport, Eysenk, dan Cattel (dalam Pervin dkk., 2010). Ketiga tokoh tersebut mengakui bahwa sifat merupakan unit dasar kepribadian. Akan tetapi, ketiga ahli tersebut memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan penggunaan analisis faktor dan jumlah serta karakteristik alamiah dimensi dasar sifat kepribadian. Isu tersebut belum terpecahkan, tidak teratur dan tidak tersusun. Untuk itu, sejak tahun 1980-an, perbaikan kualitas dan metode, khususnya analisis faktor telah menghasilkan

36 18 awal konsensus yang lebih besar dikalangan periset sifat. Konsensus tersebut adalah adanya teori big five atau model lima faktor. Banyak peneliti yang sekarang setuju bahwa perbedaan individual dapat diorganisir dalam lima dimensi yang luas dan bipolar ( McCrae & Costa dalam Pervin dkk., 2010). Teori Big five disebut juga dengan five-factor model. Dari aneka teori trait, penelitian ini memilih untuk menggunakan teori trait five-factor model (FFM) yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae (dalam Pervin dkk., 2010). Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa banyak hal mampu diprediksi dengan trait-trait kepribadian FFM seperti minat kerja dan kinerja, kesehatan, usia serta perawatan psikologis (Pervin dkk., 2010). Selain itu, teori FFM juga bersifat human universal karena teori ini konsisten pada budaya yang berbeda (Costa & McCrae, 1992; De Raad et al., 1998) termasuk di Indonesia (Widhiarso, 2004). Yang membedakan teori kepribadian FFM dengan teori kepribadian lain adalah teori kepribadian FFM bergantung pada pengukuran statistik objektif sedangkan teori kepribadian lain (teori kepribadian Freud, Jung, dan Rogers dalam Pervin dkk., 2010) sangat bergantung pada intuisi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penelitian ini menggunakan teori kepribadian FFM. 2. Penjelasan Five-factor Model of Personality McCrae dan John (1992) menjelaskan five-factor model (FFM) sebagai sebuah kesepakatan di antara pendekatan teoritis yang mengacu pada lima faktor dasar kepribadian. Kelima faktor tersebut terdiri dari Opennes to

37 19 Experience (O), Conscientiousness (C), Extraversion (E), Agreeableness (A) dan Neuroticism (N). Untuk memudahkan mengingatnya, kelima faktor tersebut disingkat menjadi OCEAN (Pervin dkk., 2010). Costa dan McCrae (dalam Pervin dkk., 2010) mencoba mendeskripsikan kelima faktor tersebut, termasuk individu yang memiliki tingkatan tinggi atau rendah untuk masing-masing faktor. 1. Opennes to Experience Faktor ini mengindikasikan pencarian proaktif dan penghargaan terhadap pengalaman untuk dirinya sendiri. Selain itu, faktor ini juga menunjukkan bagaimana individu menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Terkait dengan faktor ini, individu dapat dikelompokkan menjadi individu yang memiliki tingkat opennes tinggi dan opennes rendah. a. Individu dengan tingkat opennes tinggi Individu dengan opennes tinggi memiliki minat yang besar dan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu. Individu tersebut cenderung kreatif, orisinil, tidak tradisional, benar-benar sensitif, pintar dan memiliki pandangan luas dan imajinatif. b. Individu dengan tingkat opennes rendah Individu dengan opennes to experience rendah memiliki minat yang sempit terhadap sesuatu, sederhana, konvensional, kurang imajinatif dan kurang analitis

38 20 2. Conscientiousness Faktor ini mengindikasikan tingkat organisasi, ketekunan dan motivasi dalam perilaku yang berarah tujuan. Berkaitan dengan faktor ini, individu dapat dikelompokkan menjadi individu yang memiliki tingkat conscientiousness tinggi dan conscientiousness rendah. a. Individu dengan tingkat conscientiousness tinggi Individu dengan conscientiousness tinggi adalah individu yang dapat diandalkan, teratur, disiplin, tepat waktu, pekerja keras, rapi, tekun dan teliti serta memiliki ambisi yang tinggi. Selain itu, individu tersebut cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam cara yang terarah. Individu dengan conscientiousness tinggi juga memiliki sifat bertanggungjawab, kuat bertahan, dan berorientasi pada prestasi (Robbins dalam Mastuti, 2005) b. Individu dengan tingkat conscientiousness rendah Individu dengan conscientiousness rendah adalah individu yang cenderung kurang teratur, tidak dapat dipercaya, malas, ceroboh dan sembrono, serta memiliki kemauan yang lemah. 3. Extraversion Faktor ini menunjukkan kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal individu, tingkat aktivitasnya, kebutuhan untuk mendapatkan dukungan, dan kapasitas untuk menikmati kebahagiaan. Faktor ini juga menunjukkan tingkat kesenangan individu dalam menjalin hubungan.

39 21 Terkait dengan faktor ini, individu dapat dikelompokkan menjadi individu yang memiliki tingkat extraversion tinggi dan extraversion rendah. a. Individu ekstravert (tingkat extraversinya tinggi) Individu ekstravert cenderung mudah bersosialisasi, aktif, bersemangat, talkative, memiliki emosi yang positif, antusias, optimis, fun loving, dan affectionate. Selain itu individu tersebut cenderung ramah, terbuka dan memiliki banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati hubungan. b. Individu introvert (tingkat extraversinya rendah) Individu yang introvert cenderung menahan diri, bijaksana, berorientasi pada tugas, pendiam, tenang dan pemalu. Selain itu, individu yang introvert juga lebih senang dengan kesendirian dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dengan dunia luar. 4. Agreeableness Faktor ini mengindikasikan individu yang berhati lembut dan patuh pada orang lain dengan individu yang kejam dan tidak patuh pada orang lain (Costa & McCrae dalam Pervin dkk., 2010). Terkait dengan faktor ini, individu dapat dikelompokkan menjadi individu yang memiliki tingkat agreeableness tinggi dan agreeableness rendah. a. Individu dengan tingkat agreeableness tinggi Individu dengan agreeableness tinggi memiliki sifat lebih mudah percaya pada orang lain, suka menolong, pemaaf, jujur, kooperatif dan apa adanya. Selain itu, individu juga cenderung lembut, ramah dan

40 22 dipercaya oleh orang lain. Akan tetapi, individu dengan agreeableness tinggi cenderung mudah tertipu atau mudah terbujuk oleh orang lain. b. Individu dengan tingkat agreeableness rendah Individu dengan agreeableness rendah memiliki sifat kasar, suka mencurigai, tidak kooperatif, pendendam, kejam dan pemarah. Selain itu, individu tersebut juga cenderung suka memanipulasi dan lebih memusatkan perhatian pada kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan orang lain. 5. Neuroticism Faktor ini menunjukkan kestabilan dan ketidakstabilan emosi pada individu. Faktor ini juga mengidentifikasi kecenderungan individu untuk mudah mengalami stres atau tertekan secara psikologis, memiliki ide-ide yang kurang realistis, dan memiliki respon coping yang maladaptif. Berkaitan dengan faktor ini, individu dapat dikelompokkan menjadi individu yang memiliki tingkat neuroticism tinggi dan neuroticism rendah. a. Individu dengan tingkat neuroticism tinggi Individu dengan neuroticism tinggi memiliki kemantapan emosional yang negatif sehingga individu cenderung merasa dirinya tertekan, gelisah, khawatir, gugup, merasa tidak aman dan memiliki rasa cemas yang berlebihan.

41 23 b. Individu dengan nilai neuroticism rendah Individu dengan neuroticism rendah memiliki kemantapan emosional positif sehingga individu cenderung memiliki perasaan tenang, santai, tidak emosional, tabah, merasa aman, dan puas terhadap diri sendiri. 3. Faset dalam Kepribadian Five-Factor Model. Masing-masing faktor dari FFM terdiri dari beberapa facet. Facet adalah trait yang lebih spesifik yang merupakan komponen-komponen dari kelima faktor tersebut. Costa dan McCrae (dalam Pervin dkk., 2010; McCrae & John, 1992) menjelaskan setiap faktor dari FFM terdiri dari 6 faset. Faset-faset kelima faktor tersebut adalah: 1. Opennes to Experience, terdiri atas: a. Fantasy atau khayalan b. Aesthetics atau keindahan c. Feelings atau perasaan d. Ideas atau ide e. Actions atau tindakan f. Values atau nilai-nilai 2. Conscientiousness, terdiri atas: a. Self-dicipline atau disiplin diri b. Dutifulness atau patuh c. Competence atau kompetensi d. Order atau keteraturan

42 24 e. Deliberation atau pertimbangan f. Achievement striving atau pencapaian prestasi 3. Extraversion, terdiri atas: a. Gregariousness atau suka berkumpul b. Activity level atau tingkat aktivitas c. Assertiveness atau asertif d. Excitement seeking atau mencari kegirangan atau kegembiraan e. Positive emotions atau emosi yang positif f. Warmth atau kehangatan 4. Agreeableness, terdiri atas: a. Straightforwardness atau berterus terang b. Trust atau kepercayaan c. Altruism atau mendahulukan kepentingan orang lain d. Modesty atau bersahaja e. Tendermindedness atau berhati lembut f. Compliance atau penurut 5. Neuroticism, terdiri atas: a. Anxiety atau kecemasan b. Self-consciousness atau kesadaran diri c. Depression atau depresi d. Vulnerability atau rawan terluka e. Impulsiveness atau menuruti kata hati f. Angry hostility atau amarah bermusuhan

43 25 4. Pengukuran Kepribadian Five-Factor Model Kepribadian five-factor model diukur dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama berdasarkan self rating pada trait kata tunggal. Sebagai contoh, trait kata-kata tunggal seperti talkative, hangat, moody dan lain-lain. Pendekatan kedua menggunakan self rating pada aitem-aitem kalimat. Sebagai contoh berupa kalimat, seperti hidupku seperti langkah yang cepat (Larzen & Buss dalam Mastuti, 2005). Alat ukur telah dikembangkan dan diasosiasikan dengan sebagian besar teori kepribadian. Berbagai jenis alat ukur tersedia untuk mengukur kepribadian five factor model (Mastuti, 2005). Beberapa alat ukur tersebut adalah: 1. The Neuroticism-Extraversion-Opennes Personality Inventory Revised disingkat NEO-PI-R. 2. The Hogan Personality Inventory disingkat HPI 3. Personality Characteristic Inventory disingkat PCI 4. The NEO Five-factor Inventory disingkat NEO FFI 5. Abridge Big Five-factorial disingkat AB5C 6. Big Five-factor Maker dan lain-lain Alat ukur yang sangat terperinci dan sering digunakan secara luas adalah The Neuroticism-Extraversion-Opennes Personality Inventory Revised (NEO-PI- R) yang dikembangkan oleh Costa & McCrae (dalam Pervin dkk., 2010). Alat ini menggunakan pendekatan trait kata tunggal. Pada awalnya, kuesioner ini hanya mengukur tiga faktor yaitu neuroticism, extraversion dan opennes yang disebut

44 26 NEO-Personality Inventory. Setelah itu, mereka menambahkan faktor agreeableness dan conscientiousness untuk menguatkan model lima faktor. Penggunaan alat ukur NEO-PI-R memerlukan ijin khusus dari penyusunnya. Sebagai konsekuensinya instrumen alat ukur tersebut tidak dapat digunakan secara bebas oleh ilmuwan lain. Maka dari itu, Goldberg (dalam Mastuti, 2005) mempublikasikan International Personality Item Pool (IPIP) website. Aitem-aitem yang terdapat dalam IPIP sudah dibandingkan dengan berbagai alat ukur inventori kepribadian lain yang sudah baku, di antaranya dengan big five-factor marker, AB5C, 16 PF, CPI, MPQ, NEO-PI-R dan lain-lain. Aitem-aitem IPIP yang dibandingkan dengan NEO-PI-R mempunyai koefisien alpha 0,64 sampai 0,88. Sedangkan aitem-aitem NEO-PI-R memiliki koefisien alpha mulai 0,61 sampai 0,84. Hal ini menunjukkan aitem-aitem dalam IPIP mempunyai reliabilitas yang cukup baik. Sementara itu korelasi antara IPIP dengan NEO-PI-R mulai dari 0,51 sampai 0,77 (Mastuti, 2005). Maka dari itu penelitian ini menggunakan skala yang diadaptasi dari International Personality Item Pool (IPIP). C. REMAJA Bagian ini menguraikan pengertian remaja, ciri-ciri masa remaja dan stres pada remaja. 1. Pengertian Remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 11 atau 12 tahun hingga

45 27 awal usia duapuluhan. Pada masa ini terjadi perubahan besar baik perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Oleh karena itu, pada masa ini dianggap sebagai periode beresiko. Hal ini dikarenakan sebagian remaja banyak mengalami kesulitan akan terjadinya peubahan-perubahan yang terjadi dan mungkin membutuhkan bantuan untuk menghadapi bahaya (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). 2. Ciri-ciri Masa Remaja. Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyebutkan ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut: a. Masa Peralihan Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Peralihan ini diartikan sebagai perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Maka dari itu apa yang terjadi pada tahap tertentu akan mempengaruhi pola perilaku pada tahap berikutnya. b. Masa Pubertas Masa ini ditandai dengan adanya perubahan biologis dalam hal tinggi badan, berat badan, proporsi dan bentuk tubuh serta tercapainya kematangan seksual. Selain perubahan fisik, remaja juga mengalami perubahan kognitif dan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut memiliki resiko terhadap kesehatan mental. Maka dari itu perubahan-

46 28 perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian karena berpotensi menimbulkan masalah. c. Masa Krisis Tugas utama remaja adalah menghadapi masa krisis dari identitas vs kekacauan identitas. Untuk menjadi dewasa, remaja perlu memahami diri sendiri dan memiliki peran yang bernilai bagi sekitarnya. Apabila remaja mengalami kekacauan akan menghambat tercapainya kedewasaan secara psikologis. Akibatnya perilaku remaja akan menjadi kacau dan rendah diri. d. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Kecenderungan remaja yang gelisah ketika mendekati usia dewasa mencoba meninggalkan stereotip usia belasan tahun dan memberikan kesan bahwa mereka hampir dewasa. Hal ini terlihat dari perilaku remaja yang mulai memusatkan diri pada perilaku orang dewasa. Misalnya saja, perilaku merokok, minum minuman keras, penggunaan obat dan perilaku seks. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap masalah. Masa ini membutuhkan penyesuaian diri terhadap peralihan ataupun perubahan yang terjadi. Individu yang berada pada masa ini memiliki kecenderungan mengalami situasi stres.

47 29 3. Stres pada Remaja Selain ciri-ciri di atas, terdapat faktor-faktor yang dapat mengakibatkan stres pada remaja. Needlman (2004 dalam Kemala & Hasnida, 2005) menyebutkan faktor tersebut adalah faktor biologis, keluarga, sekolah atau akademik, teman sebaya dan lingkungan sosial. Penjelasan untuk masing-masing faktor adalah sebagai berikut: a. Faktor biologis Yang dimaksud faktor biologis adalah perubahan fisik yang terjadi secara dramatis pada remaja. Perubahan fisik yang dramatis tersebut adalah perubahan tinggi dan berat badan, proporsi dan bentuk badan, serta pencapaian kematangan seksual (Papalia dkk., 2009). Selain itu, remaja cenderung lebih memperhatikan penampilan fisik mereka karena mereka meanggap bahwa orang lain melihat dirinya (Needlman, 2004). Penelitian Konstanski dan Gullone (1998) menemukan 80% remaja mengalami ketidakpuasan terhadap fisiknya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepedulian terhadap citra tubuh semakin kuat pada masa ini. Perubahan perubahan tersebut cenderung menyebabkan stres pada remaja. b. Faktor keluarga Stres remaja dapat terjadi karena konflik dengan keluarga. Konflik keluarga terjadi karena keinginan remaja untuk mendapatkan kemandirian (Papalia dkk., 2009 ). Remaja cenderung menginginkan dirinya bebas dan mandiri tetapi mereka tetap ingin diperhatikan oleh orangtuanya (Needlman, 2004). Konflik-konflik yang biasa terjadi antara remaja

48 30 dengan orangtua berupa perdebatan mengenai kegiatan sehari-hari, tugas rumah, tugas sekolah, pakaian, uang dan jam malam (Papalia dkk., 2009). c. Faktor sekolah atau akademik Faktor sekolah atau akademik juga memicu terjadinya stres pada remaja. Hal-hal yang memicu terjadinya stres adalah keinginan remaja yang ingin mendapatkan nilai tinggi, dan ingin berhasil pada suatu bidang. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, remaja terus berusaha dan tidak ingin gagal. Remaja mengalami stres ketika keinginannya tidak terpenuhi (Neeldman, 2004) d. Faktor teman sebaya Teman sebaya merupakan faktor penting pada masa remaja. Kekuatan dan pentingnya teman sebaya paling besar dibandingkan dengan masa-masa lain sepanjang rentang kehidupan manusia (Papalia dkk., 2009). Penolakan teman sebaya merupakan salah satu penyebab remaja mengalami stres. Santrock (2003) menyatakan bahwa penolakan oleh teman sebaya berdampak pada remaja untuk mengalami kesepian. Akibatnya remaja melakukan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh teman sebaya. Perilaku tersebut berupa perilaku positif maupun negatif seperti merokok dan penggunaan alkohol (Papalia dkk., 2009). e. Faktor lingkungan sosial Lingkungan sosial juga berpengaruh sebagai faktor terjadinya stres. Remaja yang kurang mendapatkan tempat dalam pergaulan orang dewasa cenderung mengalami stres. Misalnya saja, remaja yang tidak mendapat

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen (bebas) adalah big five personality yang terdiri

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana BAB II LANDASAN TEORI A. PEMBELIAN IMPULSIF Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana perilaku pembelian ini berhubungan dengan adanya dorongan yang menyebabkan konsumen

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five 35 BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Personality Terhadap Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu berfungsi sebagai satu kesatuan yang utuh dan unik. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, karena individu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang Digunakan Metode penelitian yang pada penelitian ini adalah metode kuantitatif. Menurut Creswell (dalam Alsa, 2011, hal. 13), penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis A. Teori Lima Besar (Big Five Model) 1. Sejarah Big Five Model Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali dilakukan oleh Allport dan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Locus of Control 2.1.1 Definisi Locus of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial.

Lebih terperinci

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara Email:zamralita@fpsi.untar.ac.id ABSTRAK Dosen adalah salah satu komponen utama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Secondary Traumatic Stress Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan trauma sekunder yang sering diartikan dengan salah. Walau terlihat mirip akan tetapi memiliki definisinya

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov- Smirnov

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN A. Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Berdasarkan hasil uji normalitas data menggunakan program SPSS 16, didapatkan hasil bahwa data neuroticism memiliki nilai z = 0,605 dengan signifikansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tes psikologi adalah suatu pengukuran yang objektif dan terstandar terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk mengukur perbedaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode merupakan unsur penting dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menemukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Menurut Arikunto (2002) desain penelitian merupakan serangkaian proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel komitmen, dan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel komitmen, dan BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Dan Difinisi Operasional 1. Identivikasi Variabel. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel komitmen, dan variabel big five personality. Dimana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, yaitu kepribadian, yang terdiri dari:

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, yaitu kepribadian, yang terdiri dari: 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi. Regresi berguna untuk mencari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gaya Kepemimpinan 2.1.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepribadian. konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone, 2010).

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepribadian. konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone, 2010). BAB II LANDASAN TEORI A. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian a. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian yang akan diadakan dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kinerja 1. Pengertian Kinerja Prawirosentono (2008) menyatakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian (personality) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami menjadi tua sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami menjadi tua sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang memang mengakui bahwa menjadi tua itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari, akan tetapi pada dasarnya setiap manusia akan mengalami

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Agresi 1. Definisi Perilaku Agresi Perilaku agresi adalah merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh setiap manusia. Seperti yang dikemukakan Freud, Mc Dougall,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian,

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, BAB III METODE PENELITIAN Metode merupakan unsur penting dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menemukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa hidup yang dijalaninya tidak berarti. Semua hal ini dapat terjadi karena orang tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota BAB III METODE PENELITIAN 3.1 LOKASI, POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota Bandung. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik accidental

Lebih terperinci

PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KINERJA PADA PERAWAT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KINERJA PADA PERAWAT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KINERJA PADA PERAWAT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO (Studi Big Five Model sebagai Anteseden Variabel Kinerja) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecurangan Kecurangan sebagaimana yang umumnya dimengerti, berarti ketidak jujuran dalam bentuk suatu penipuan yang disengaja atau suatu kesalahan penyajian yang dikehendaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan diyakini menjadi unsur kunci dalam melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Manajemen 2.1.1 Pengertian Manajemen Manajemen adalah sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain dilakukan tes psikologi. Salah satu pengukuran yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain dilakukan tes psikologi. Salah satu pengukuran yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu yang berperan untuk mempelajari proses mental dan perilaku manusia. Untuk mempelajari perilaku manusia, para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit lepas dari belenggu anarkisme, kekerasan, dan perilaku-perilaku yang dapat mengancam ketenangan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu mengalami masa peralihan atau masa transisi. Yang dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping Coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan menghadang, melawan ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 18 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Locus Of Control 2.1.1 Definisi Locus Of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berubah atau mati!, adalah kalimat yang diserukan oleh para manajer di seluruh dunia untuk menggambarkan keharusan setiap organisasi atau perusahaan untuk terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Dan Definisi Operasional 1. Variabel Variabel penelitian pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekelompok (peer group) serta kurangnya kepedulian terhadap masalah kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekelompok (peer group) serta kurangnya kepedulian terhadap masalah kesehatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gambaran khas remaja yaitu pencarian identitas, kepedulian akan penampilan, rentan terhadap masalah komersial dan tekanan dari teman sekelompok (peer group)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk memproduksi barang atau jasa, serta mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan-tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi ganda. Penelitian korelasi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi ganda. Penelitian korelasi BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi ganda. Penelitian korelasi ganda merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory

Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory 1 Desti Yuniarti, 2 Temi Damayanti

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia 10 2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini mengulas tentang pelbagai teori dan literatur yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori tersebut adalah tentang perubahan organisasi (organizational change)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi subjek PT. Pusat Bisnis Ponorogo merupakan sebuah perusahaan muda yang berdiri pada tahun 2013. Perusahaan ini berfokus pada pengembangan pusat perbelanjaan

Lebih terperinci

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: 13 Yoanita Fakultas PSIKOLOGI TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG Eliseba, M.Psi Program Studi Psikologi HANS EYSENCK Dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen organisasi adalah cerminan dimana seorang karyawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan otomotif khususnya mobil, akan terus berusaha untuk memproduksi unit-unit mobil dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang BAB II LANDASAN TEORI A. Sumber Nilai Makna Hidup 1. Definisi Sumber Nilai Makna Hidup Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang neuropsikiater keturunan Yahudi dari kota Wina,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Menurut Babbie (Prasetyo, 2005) rancangan penelitian adalah mencatat perencanaan dari cara berfikir dan merancang suatu strategi untuk menemukan sesuatu.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT. Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment

BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT. Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT 1. Definisi Psychological Adjustment Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment merupakan proses psikologis yang

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadikannya sebagai insal kamil, manusia utuh atau kaffah. Hal ini dapat terwujud

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadikannya sebagai insal kamil, manusia utuh atau kaffah. Hal ini dapat terwujud BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Hidayat (2013) pendidikan adalah suatu upaya sadar yang dilakukan untuk mengembangkan potensi yang dianugrahkan tuhan kepada manusia dan diarahkan pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN THE BIG FIVE DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PARANORMAL DEWASA MADYA DI KOTA SEMARANG TESIS

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN THE BIG FIVE DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PARANORMAL DEWASA MADYA DI KOTA SEMARANG TESIS HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN THE BIG FIVE DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PARANORMAL DEWASA MADYA DI KOTA SEMARANG TESIS Oleh : PUPUT MULYONO 11.92.0003 PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan suatu kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyajian dan analisis data yang dilakukan dengan metode ilmiah secara sistematis yang hasilnya berguna untuk

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

PERILAKU MEMBELI PRODUK PERAWATAN WAJAH DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWI SKRIPSI. Oleh : Triani Trisnawati

PERILAKU MEMBELI PRODUK PERAWATAN WAJAH DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWI SKRIPSI. Oleh : Triani Trisnawati PERILAKU MEMBELI PRODUK PERAWATAN WAJAH DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI PADA MAHASISWI SKRIPSI Oleh : Triani Trisnawati 00.40.0309 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2010 i PERILAKU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami rasa kesepian dalam dirinya, yang menjadi suatu pembeda adalah kadarnya, lamanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ia berada karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. ia berada karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan besar bagi kehidupan bangsa karena pendidikan dapat mendorong serta menentukan maju mundurnya suatu proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS, BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak dahulu hingga saat ini terdapat penyakit yang dapat menimbulkan kesakitan secara mendalam bagi penderitanya, baik fisik maupun psikis. Penyakit ini

Lebih terperinci

PERAN CONSCIENTIOUSNESS DAN SELF EFFICACY TERHADAP STRES PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA

PERAN CONSCIENTIOUSNESS DAN SELF EFFICACY TERHADAP STRES PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA PERAN CONSCIENTIOUSNESS DAN SELF EFFICACY TERHADAP STRES PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA Nanik Purwanti Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap pasangan menikah pasti menginginkan agar perkawinannya langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan akan kelanggengan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perkembangan manusia, masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan dimana seorang individu mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep koping 1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa dengan bertambahnya usia, setiap wanita dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi dalam beberapa fase,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tes psikologi merupakan alat yang digunakan oleh Psikolog dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tes psikologi merupakan alat yang digunakan oleh Psikolog dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini tes Psikologi bukan merupakan hal yang asing lagi bagi masyarakat. Tes psikologi merupakan alat yang digunakan oleh Psikolog dalam melakukan penilaian

Lebih terperinci

BAB 3 Metode Penelitian

BAB 3 Metode Penelitian BAB 3 Metode Penelitian 3.1. Variabel Penelitian dan Hipotesis 3.1.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Terdapat enam variabel dalam penelitian ini, yaitu faktor kepribadian yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor LSM di Indonesia kini tengah menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini termasuk perubahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kepribadian 2.1.1.1 Definisi Kepribadian Kepribadian berasal dari kata Latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. merupakan jumlah total cara-cara di mana seorang individu beraksi atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. merupakan jumlah total cara-cara di mana seorang individu beraksi atas BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kepribadian Menurut Robbins dan Judge (2015) kepribadian (personality) merupakan jumlah total cara-cara di mana seorang individu beraksi

Lebih terperinci

Resolusi Konflik dalam Perspektif Kepribadian

Resolusi Konflik dalam Perspektif Kepribadian Resolusi Konflik dalam Perspektif Kepribadian Zainul Anwar Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang zainulanwarumm@yahoo.com Abstrak. Karakteristik individu atau sering dikenal dengan kepribadian

Lebih terperinci

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek? Pedoman Observasi 1. Kesan umum subyek secara fisik dan penampilan 2. Relasi sosial subyek dengan teman-temannya 3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview Pedoman Wawancara 1. Bagaimana hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa, pada dasarnya sebagai generasi penerus. Mereka diharapkan sebagai subyek atau pelaku didalam pergerakan pembaharuan. Sebagai bagian dari masyarakat,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak berubah dan selalu dibutuhkan. Hal ini bisa dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk berpasangan yang lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan bahwa pernikahan adalah salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress 1. Definisi Coping Stress Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan

Lebih terperinci

vii Universitas Kristen Maranatha

vii Universitas Kristen Maranatha Abstract The purpose of this research is to obtain an overview about the contribution of the five factor of personality/trait (extraversion, neuroticism, agreeableness, openness to experience, and conscientiousness)

Lebih terperinci

BAB II. meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

BAB II. meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat. BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Rahim (2001) manajemen konflik tidak hanya berkaitan dengan menghindari, mengurangi serta menghilangkan konflik, tetapi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Definisi Stres dan Jenis Stres Menurut WHO (2003) stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konflik Interpersonal dalam Organisasi. 1. Pengertian Konflik Interpersonal dalam Organisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konflik Interpersonal dalam Organisasi. 1. Pengertian Konflik Interpersonal dalam Organisasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik Interpersonal dalam Organisasi 1. Pengertian Konflik Interpersonal dalam Organisasi Menurut Donohue dan Kolt (1992) konflik interpersonal dapat diartikan sebagai situasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Sikap 1. Pengertian Sikap Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau

Lebih terperinci