BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Konstruksi Hukum Hak Pemberhentian/Pergantian Antarwaktu oleh Politik dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Politik Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum. UU ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama (Ni matul Huda, 2011: 462). Pencantuman hak recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan Soekarno. Itulah mengapa hak recall ini diatur dalam suatu UU bukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR- GR, didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Terib hanya mengikat secara intern sedangkan UU akan megikat juga ekstern Parpol atau Organisasi Politik yang mempunyai kursi di DPR-GR (Ni matul Huda, 2011: 462). Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut: a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan; b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya; 36

2 37 c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 telah mengalami perubahan tiga kali dan yang terakhir dengan UU No. 2 Tahun Di dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1985 ditentukan, Hak mengganti wakil organisasi peserta pemilu atau golongan karya ABRI ada pada organisasi peserta pemilu yang bersangkutan atau pada Panglima Angkatan Bersenjata, dan pelaksanaannya terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan Pimpinan DPR. Selanjutnya dalam ayat (6) dinyatakan bahwa tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan lawan politik di tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (Ni matul Huda, 2011: 462). Di dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan, Anggota MPR berhenti antar waktu sebagai angggota karena: a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR; c. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Berhenti sebagai Anggota DPR; e. Tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

3 38 f. Dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat dengan keputusan MPR; g. Terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (1). Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di dalam Pasal 85 ayat (1) ditegaskan Anggota DPR berhenti antar waktu karena: a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c. Diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu yang diatur dalam ayat (2) karena: a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR; b. Tidak lagi memeneuhi syarat-syarat calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu; c. Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR; d. Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.

4 39 Hak recall kembali diatur dalam ketentuan Pasal 213 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa: (1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; atau c. Diberhentikan. Selanjutnya hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 213 ayat (2) yang menyatakan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD; g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU ini; h. diberhentikan sebagai anggota parpol sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

5 40 i. menjadi anggota parpol lain. Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menggantikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak banyak diubah mengenai ketentuan hak recall di dalamnya. Dalam Pasal 239 ayat (1) dinyatakan bahwa: (1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; atau c. Diberhentikan. Sedangkan, hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 239 ayat (2) yang menyatakan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD; f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;

6 41 g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau h. menjadi anggota partai politik lain. Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak recall oleh partai politik juga kembali diatur dalam Undang-Undang tentang Politik tepatnya pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Politik yang menyatakan bahwa: (1) Anggota Politik diberhentikan keanggotaannya dari Politik apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Politik. (3) Dalam hal anggota Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai mekanisme pelaksanaan permberhentian antarwaktu diatur dalam Pasal 214 Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

7 42 (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling alama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, mekanisme pelaksanaan permberhentian antarwaktu diatur dalam Pasal 240 yang berbunyi sama dengan pasal 214 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009, yakni: (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling alama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR. Selanjutnya di dalam Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditegaskan: (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, b, c, d, f dan huruf g dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari Pimpinan DPR, masyarakat dan/atau pemilih.

8 43 (2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan badan kehoramtan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. (4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPR. (5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Sedangkan dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menegaskan: (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. (2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib

9 44 menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRdari pimpinan DPR. Mekanisme pemberhentian antar waktu (recall) Anggota DPR yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan oleh pimpinan partai politiknya (Pasal 214) atau oleh Badan Kehormatan DPR (Pasal 215). Sedangkan dalam UU No. 17 Tahun 2014, diusulkan oleh pimpinan partai politiknya diatur dalam Pasal 240 dan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam Pasal 147. Dalam UU No 17 Tahun 2014 juga memberikan tambahan dalam Pasal 241, yakni: (1) Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Dalam hal pemberhentian didasarkan atas aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR. Dari sejarah dan perkembangan mengenai pengaturan hak recall terhadap anggota DPR di Indonesia menunjukkan adanya dinamika dalam menempatkan hak recall kepada partai politik. Memang awal mulanya bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik di parlemen, hak recall

10 45 memang pada saat ini dalam pengaturan diharapkan sebagai upaya kontrol dari partai politik kepada anggotanya yang menjabat sebagai anggota DPR. Namun dalam pelaksanaannya hak recall masih menjadi pro dan kontra. B. Kesesuaian Pelanggaran AD/ART sebagai Dasar dilaksanakannya Pemberhentian Antar Waktu oleh Politik dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 dijelaskan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Setelah dilakukan penelitian terhadap hak recall oleh partai politik dari berbagai macam sumber maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Daftar anggota DPR yang pernah direcall ataupun yang pernah diusulkan untuk dilakukan recall oleh partai politik yang bersangkutan dari mulai tahun 1977 s.d sebagai berikut: Tabel 1 Daftar Anggota DPR yang dilakukan recall atau diusulkan recall Tahun 1977 s.d Nama No Anggota DPR 1 Syarifudin Harahap Politik Persatuan Pembangunan (PPP) Periode Jabatan Keterangan Usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984 hingga Maret 1985

11 46 2 Tamim Achda 3 Murtadho Makmur Persatuan Pembangunan (PPP) Persatuan Pembangunan (PPP) 4 Rusli Halil Persatuan Pembangunan (PPP) 5 Chalid Mawardi Persatuan Pembangunan (PPP) 6 MA. Ganni Persatuan Pembangunan (PPP) 7 Darussamin AS 8 Ruhani Abdul Hakim 9 Sri Bintang Pamungkas 10 Usep Ranawidjaja 11 Abdul Madjid 12 Ny. D. Walandouw Persatuan Pembangunan (PPP) Persatuan Pembangunan (PPP) Persatuan Pembangunan (PPP) Demokrasi Indonesia (PDI) Demokrasi Indonesia (PDI) Demokrasi Indonesia (PDI) ditanggapi dingin oleh Pimpinan DPR waktu itu, Amir Machmud dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden Usulan FPP disetujui oleh Ketua DPR Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya Dipandang melakukan dosa politik (melanggar tata tertib partai)

12 47 13 Soelomo Demokrasi Indonesia (PDI) 14 Santoso Donoseputro 15 TAM. Simatupang 16 Abdullah Eteng Demokrasi Indonesia (PDI) Demokrasi Indonesia (PDI) Demokrasi Indonesia (PDI) 17 Marsoesi Demokrasi Indonesia (PDI) 18 Dudi Singadila Demokrasi Indonesia (PDI) 19 Nurhasan Demokrasi Indonesia (PDI) 20 Polensuka Demokrasi Indonesia (PDI) 21 Kemas Fachrudin Demokrasi Indonesia (PDI) 22 Edi Junaedi Demokrasi Indonesia (PDI) 23 Suparman Demokrasi Indonesia (PDI) Dipandang melakukan dosa politik (melanggar tata tertib partai)

13 48 24 Jaffar Demokrasi Indonesia (PDI) 25 Thalib Ali Demokrasi Indonesia 26 Rahmat Tolleng 27 Bambang Warih 28 Brigjen. Rukmini ABRI 29 Brigjen ABRI Samsudin 30 Brigjen. J. ABRI Sembiring 31 Azzidin Demokrat (PD) 32 Marissa haque 33 Djoko Edi Sutjipto Abdurrahman 34 Zaenal Ma'arif (PDI) Golkar Dianggap terlibat kasus Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 15 Januari 1974 Golkar Dipandang melakukan dosa politik (melanggar tata tertib partai) Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Amanat Nasional (PAN) Bintang Reformasi (PBR) Direcall karena mengkritisi pembelian kapal perang bekas milik pemerintah Jerman Direcall lewat pemecatan Badan Kehormatan. Kasus katering haji Maju sebagai calon Wakil Gubernur dalam Pilkada Propinsi Banten Ikut studi banding RUU Perjudian ke Mesir Poligami. Masih menjadi perdebatan.

14 49 35 Lily Chadijah Wahid Kebangkitan Bangsa (PKB) Sikapnya yang memilih berbeda dengan kebijakan fraksinya (PKB) yang mendukung pemerintah, yakni menerima hasil kerja Pansus terakit kasus Bank Century untuk diteruskan kepada lembaga penegak hukum. Lily merupakan satu-satunya anggota DPR fraksi PKB yang pada saat itu memiliki opsi C yang menyatakan ada permsalahan hukum dalam bail-out Century. 36 Effendy Choiri 37 I Gede Pasek Suardika Kebangkitan Bangsa (PKB) Demokrat (PD) 38 Arifinto Keadilan Sejahtera (PKS) Effendi Choirie dari Kebangkitan Bangsa (PKB) yang direcall karena terkait dengan sikapnya yang mendukung hak angket mafia pajak, padahal fraksi PKB saat itu justru menolak usul hak angket tersebut. Terakhir dalam perkembangan recall Sering bolos, terlibat Skandal,dan mengantuk saat paripurna

15 50 39 Fahri Hamzah 40 Gamari Sutrisno Keadilan Sejahtera (PKS) Keadilan Sejahtera (PKS) Sumber: diolah dari berbagai sumber Dianggap melakukan dosa politik, bersebrangan pendapat dengan pimpinan partai, dan dinilai membela mati-matian Setya Novanto dalam kasus "Papa Minta Saham", sehingga menimbulkan kericuhan dalam tubuh partai. Yang akhirnya di pecat dari semua jenjang jabatan Keadilan Sejahtera, dan masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Melakukan pelanggaran syariah sehingga diberhentikan dari semua jenjang jabatan di Keadilan Sejahtera. 2. Dissenting Opinion Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 terkait Hak Recall oleh partai politik. Empat orang hakim konsitiusi (Prof, Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, Laica Marzuki, Prof. Abdul Mukhtie Fajar) berpendapat dalam dissenting opinion-nya: Bahwa recall menyebabkan seseorang anggota dewan tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas konstitusionalnya selaku anggota DPR, sebagaimana dijamin konstitusi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD Pasal 12 huruf b UU Parpol, diberhentikan dari keanggotaan partai politik karena melanggar anggaran dasar dan rumah tangga, yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat(1) huruf c UU Susduk, yang menyatakan anggota berhenti antarwaktu karena diusulkan partai politik yang bersangkutan,sesungguhnya telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara wakil rakyat, rakyat pemilih, dan dengan lembaga negara yang

16 51 memperoleh kewenangannya dari UUD Meskipun tidaklah menjadi maksud untuk meniadakan peran partai politik dalam hubungannya dengan anggota DPR dalam menjalankan tugas konstitusional baik fungsi legislasi, pengawasan, anggaran dan menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya, akan tetapi dalam menjalankan perantersebut tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan menempatkan peran hukum konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan kepentingan bangsa serta NKRI. Peran partai politik sebagai peserta pemilu anggota DPR dan anggota DPRD sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, memang membenarkan dan sah secara konstitusional jika seorang anggota partai politik tertentu yang menjadi anggota DPR menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik tertentu yang mengusungnya, untuk juga diusulkan pemberhentiannya dari DPR. Akan tetapi jika alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART Politik, tidak dapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukum yang dapat memeriksa kelayakan alasan tersebut (Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 008/PUU-IV/2006). 3. Daftar rekam jejak 5 (lima) partai politik besar di Indonesia yang melakukan perubahan AD/ART maupun struktur kepengurusan dan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia: Tabel 2 Daftar Rekam Jejak Perubahan AD/ART dan Struktur Kepengurusan 5 Politik Besar di Indonesia No Politik 1 Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kali diubah Terbit dalam SK AD/ART Menkumham 3 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M-01. UM Tahun 2003 SK Menkumkam Nomor: M.HH-05.AH Tahun 2015

17 52 SK Menkumkam Nomor: M.HH-06.AH Tahun Golkar 1 kali berganti SK Menkumkam Nomor: MH-01. AH Tahun Gerindra 3 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M.HH-01.AH Tahun 2009 SK Menkumkam Nomor: M.HH-13.AH Tahun 2012 SK Menkumkam Nomor: M.HH-13.AH Tahun Demokrat 4 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M-54. UM Tahun 2003 SK Menkumkam Nomor: M.HH-09a.AH Tahun Keadilan Sejahtera SK Menkumkam Nomor: M.HH-06.AH Tahun 2013 SK Menkumkam Nomor: M.HH-12.AH Tahun kali berganti SK Menkumkam Nomor: M-05. UM Tahun 2007 SK Menkumkam Nomor: M.HH-13.AH Tahun 2011 SK Menkumkam Nomor: M.HH-18.AH Tahun 2015 Sumber : Dirjen. AHU Kemenkumham RI Prinsip-prinsip Kedaulatan Rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Prinsip-prinsip pemerintahan demokratis harus dijalankan oleh setiap pemerintah yang berkuasa (Stevanus Evan Setio, 2013: 103). Begitu juga halnya pemerintah Indonesia, karena UUD 1945

18 53 juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat...negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.... Selanjutnya pada sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat pada Pembukaan UUD 1945 berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang memuat ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara Demokrasi. Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi, telah terkandung dalam ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia menganut faham kedaulatan rakyat (Soehino, 2010: 95). Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya secara konstitusional, jelas sekali disebutkan bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (democratie). Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungghnya adalah rakyat, dimana dalam pelaksanaannya disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy) (Stevanus Evan Setio, 2013: 107). Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Hatta dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang mesti dijadikan pegangan menegakkan demokrasi adalah sebagai berikut: a. Politik; kekuasaan negara ada pada rakyat dengan melalui pemilihan umum; b. Ekonomi; gotong royong membangun masyarakat adil makmur di mana alat-alat produksi vital dikuasai oleh negara;

19 54 c. Sosial; sama rasa sama rata, di mana tidak berlaku penindasan dan penghisapan atas sesama manusia. d. Kebudayaan: kebebasan menganut agama, kebebasan menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu; e. Perikemanusiaan; hubungan persaudaraan antara bangsa-bangsa di seluruh dunia atas dasar persamaan status, serta menentang penjajahan dalam bentuk apa pun atas sesuatu bangsa oleh bangsa lain (Khairul Fahmi, 2011: 140). Dalam mewujudkan demokrasi juga dibutuhkan instrumen yang dinamai partai politik, jika dilihat dari fungsinya partai politik menurut Yves Meny dan Andrew Knapp (dalam Jimly Asshiddiqie, 2005: 59), fungsi partai politik itu mencakup fungsi: a. mobilisasi dan integrasi, b. sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), c. sarana rekruitmen politik, dan d. sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan. Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Politik, partai politik berfungsi sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. Partisipasi poltik warga negara Indonesia; dan

20 55 e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagai berikut: a. Prinsip Kebebasan Prinsip Kebebasan dalam kerangka batasan-batasan konstitusional dan hukum dapat ditemukan dalam ketentuan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain: 1) Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang ; 2) Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat;

21 56 3) Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain ; 4) Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. b. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan Prinsip persamaan juga telah diatur dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain: 1) Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ; 2) Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ; 3) Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak

22 57 mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. c. Prinsip Suara Mayoritas Prinsip Suara Mayoritas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat ditunjukkan dalam ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut: 1) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak 2) Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 3) Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

23 58 (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3 4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaiakan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. 4) Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. d. Prinsip Pertanggungjawaban Prinsip pertannggungjawaban telah diatur dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain: 1) Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

24 59 Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majleis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Persiden dan/atau wakil Presiden. 2) Pasal 22B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-sayat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Dari keempat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik masih sesuai ataukah tidak. Berikut pembahasan mengenai hak recall oleh partai politik terhadap anggota DPR berkenaan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: a. Prinsip Kebebasan Prinsip kebebasan dalam UUD 1945 telah tercermin dalam ketentuan Pasal 28, Pasal 28E, Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2). Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwan Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Jika dilihat dari tugas dan kewajiban dari anggota DPR sebagai wakil rakyat yang duduk di parlemen termasuk sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang, maka dengan adanya hak recall oleh partai

25 60 politik dapat membatasi apa yang ingin diwujudkan dari ketentuan Pasal 28 yang memberikan hak masing-masing individu untuk mengeluarkan pikiran baik secara tertulis maupun secara lisan. Jika dilihat dari kedudukannya, anggota partai politik yang sudah terpilih dan kemudian dilantik sebagai anggota DPR maka kedudukan anggota partai politik tersebut bukan lagi sebagai petugas partai namun sudah berubah menjadi pejabat publik. Sehingga konsekuensinya, anggota DPR harus tunduk pada hukum publik yang mengatur mengenai hak, dan kewajiban serta tugas dari anggota DPR, termasuk melaksanakan kode etik dari anggota DPR itu sendiri. Dalam kedudukannya sebagai pejabat publik dalam hal ini sebagai wakil rakyat, tentu tugas utama dari wakil rakyat yaitu sebagai penyambung lidah rakyat dan memperjuangkan apa yang menjadi dari aspirasi dan hak-hak masyarakat. Jika dilihat dari hak anggota DPR sebagaimana yang telah diatur dalam hak anggota DPR dalam ketentuan Pasal 80 Undang- Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa: Anggota DPR berhak: a. mengajukan usul rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; h. keuangan dan administratif; i. pengawasan; j. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan; dan

26 61 k. melakukan sosialiasi undang-undang Dalam pelaksanaan penyampaian aspirasi, sebagai anggota DPR pasti mengeluarkan pikiran maupun pendapat baik dalam bentuk secara lisan maupun tulisan. Maka dengan dengan adanya hak recall bisa menjadi pedang damocles bagi anggota DPR seperti apa yang telah diungkapkan oleh Mh. Isnaeni (1982: 57-58) Sehingga Anggota DPR dalam menyampaikan pendapat hanya menunggu petunjuk atau arahan dari pimpinan partai politik. Selanjutnya pada pasal 28E ayat (2) menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Jika melihat dari redaksi pasal tersebut, maka telah jelas konstitusi memberikan hak kepada individu untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dalam hal menjalankan tugas dan kewajibannya, tentu anggota DPR juga akan ditagih janji-janji yang telah disuarakan pada waktu masa kampanye dahulu kepada konstituen. Janji tersebutlah yang harus ditepati oleh anggota DPR terpilih. Namun, dalam proses perjalanan melaksanakan tugas sebagai anggota DPR pasti akan ada banyak tekanan dari berbagai pihak termasuk dari partai politik yang mengusungnya. Maka dengan adanya hak recall, bisa dimungkinkan hati nurani dari anggota DPR yang menjabat akan dipertaruhkan. Apakah anggota DPR akan tetap yakin pada hati nuraninya atau percaya pada beberapa golongan atau kepentingan kapitalis. Hak recall menjadi jalan terjal bagi anggota DPR. Kemudian jika dilihat kembali pada ketentuan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jelas kembali ditegaskan oleh konstitusi, bahwa individu dalam hal ini warga negara Indonesia diberikan hak penuh untuk menyatakan

27 62 pendapat. Maka apabila dikaitkan dengan adanya hak recall maka bisa dikatakan hak recall kembali menjadi tantangan bagi anggota DPR dalam menjalankan tugasnya. Selanjutnya jika dinilai dari Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.. Maka dapat dikatakan bahwa bilamana hak recall ini dilaksanakan terhadap anggota DPR dengan alasanalasan adanya pelanggaran AD/ART atau memang hanya karena kepentingan politis semata maka dapat dikatakan bahwa hak recall dapat merendahkan martabat dari anggota DPR yang direcall, hal ini disebabkan karena anggota DPR yang memang sudah dipilih secara langsung oleh konstituen berdasarkan suara terbanyak dan belum lagi biaya yang dikeluarkan dalam masa kampanye maka akan terlihat merendahkan martabat anggota DPR yang bersangkutan apabila dilakukan recall pada masa jabatannya. Namun, recall dapat dimaklumi apabila alasan pertimbangan recall disebabkan oleh pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode etik oleh anggota DPR yang bersangkutan. Selanjutnya jika dilihat dari ketentuan pasal 28G ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martbat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Maka hak recall juga dapat menyebabkan adanya perlakun merendahkan derajat martabat manusia dalam hal ini yaitu anggota DPR. Anggota DPR yang diberhentikan tentu akan mempunyai nama yang kurang baik di mata masyarakat.

28 63 b. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan Prinsip Persamaan atau Kesetaraan telah tercermin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD Dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) telah menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidnungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hal ini, anggota DPR yang di-recall memang harus berdasarkan alasan-alasan yang jelas atau yang sudah diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 213 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Anggota DPR diberhentikan antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD;

29 64 g. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU ini; h. Diberhentikan sebagai anggota parpol sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau i. Menjadi anggota parpol lain. Dan diatur kembali dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yakni: a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD; f. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; g. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau h. Menjadi anggota partai politik lain. Jika alasan recalling disebabkan oleh alasan yang tercantum dalam huruf e, h, dan i dalam Pasal 213 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 atau yang tercantum dalam huruf d, g,

30 65 dan h dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2014, maka akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengapa dapat disebut demikian? Dalam hal ini, anggota DPR sudah memiliki kedudukan sebagai pejabat negara bukan sebagai petugas parpol lagi, maka dengan adanya alasan tersebut maka hak recall tidak sesuai dengan harapan yang ingin diwujudkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Selanjutnya apabila dilihat dari ketentuan pasal 28H ayat (2) yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam hal menjalankan tugas dan kewajibannya anggota DPR sudah selayaknya mendapatkan kemudahankemudahan dalam hal ini partai politik sudah tidak lagi memberikan tekanan kepada anggotanya yang berada di parlemen untuk menyesuaikan atau melaksanakan apa yang telah menjadi garis kebijakan partai. Dari pasal-pasal yang mencerminkan prinsip kebebasan dalam UUD 1945, maka hak recall oleh partai politik sudah tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam UUD c. Prinsip Suara Mayoritas Prinsip-prinsip suara mayoritas dapat ditunjukkan dalam ketentuan pasal 2 ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4), Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7), dan Pasal 37 ayat (4) UUD Ketentuan tersebut telah menunjukkan bahwa hasil yang ingin diwujudkan dalam pasal tersebut yakni adanya penerapan suara terbanyak dalam pengambilan keputusan. Putusan MPR yang ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak. Kemudian, dalam hal penentuan presiden dan/atau wakil presiden juga

31 66 berdasarkan suara lebih dari 50%. Dalam hal lain, mengenai keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden juga mensyaratkan adanya suara mayoritas dalam hal ini mensyaratkan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan harus diahadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir. Maka dalam hal usulan recall oleh partai politik tidak sesuai dengan prinsip tersebut, dikarenakan sistem pemilihan umum yang digunakan saat ini adalah sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Konstituenlah yang menentukan terpilihnya anggota DPR, bukan lagi partai politik. Dalam hal tata cara pemberhentian anggota parpol, sebagai contoh di Demokrat, tata cara pemberhentian anggota telah diatur dalam Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga yang menyatakan bahwa: (1) Anggota dapat diberhentikan dan atau diberhentikan sementara karena tidak melaksanakan kewajibannya sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas, tujuan, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan partai. (2) Keputusan pemberhentian dilakukan oleh Dewan Pimpinan Pusat, sedangkan keputusan pemberhentian sementara dapat dilakukan oleh setiap dewan pimpinan partai setingkat di atas dewan pimpinan partai yang bersangkutan. (3) Keputusan pemberhentian sementara anggota diputuskan melalui rapat pleno dewan pimpinan partai. (4) Keputusan pemberhentian diatur pada ayat (2) dan ayat (3) pasal ini, diputuskan setelah diberikan peringatan

32 67 tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam rentang waktu minimal 21 (dua puluh satu) hari. (5) Anggota yang diberhentikan atau diberhentikan sementara, dapat mengajukan pembelaan dirinya di forum partai setingkat lebih tinggi sampai dengan tingkat kongres. Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Politik sebagai berikut: (1) Perselisihan Politik diselesaikan oleh internal Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Politik. (3) Susunan Mahkamah Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. (5) Putusan mahkamah Politik atau sebuatan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Politik diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Politik sebagai berikut:

33 68 Yang dimaksud dengan perselisihan Politik meliputi antara lain: (1) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) Pelanggaran terhadap hak anggota Politik; (3) Pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) Penyalahgunaan kewenangan; (5) Pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) Keberatan terhadap keputusan Politik. Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Politik menentukan: (1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 91 diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Jika dilihat dari ketentuan dalam pasal tersebut, belum ada substansi yang mengatur tentang keterlibatan konstituen dalam hal usul pemberhentian anggota DPR. Kemudian dalam hal penentuan recall dalam hal ini berdasarkan alasan usulan dari partai politik juga belum adanya putusan pengadilan yang menjadi kepastian hukum dari pengajuan hak recall oleh partai politik. Jika dikorelasikan dengan ketentuan pasal 7B ayat (3),

34 69 pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mensyaratkan adanya putusan dari Mahkamah Kontitusi terlebih dahulu. Namun, dalam recall anggota DPR belum adanya putusan pengadilan sebagai pertimbangan partai politik untuk usulan yang akan diajukan kepada pimpinan DPR. Dalam penentuan anggota DPR yang diberhentikan karena usulan dari partai politik maupun hasil keputusan dari Dewan Kehormatan DPR, dalam pengaturannya sampai saat ini tidak ada ketentuan yang mensyaratkan adanya persetujuan oleh mayoritas anggota DPR yang lain dalam sidang paripurna. Padahal jika dilihat dari ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7) UUD Hal ini menjadi kesenjangan antara mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dengan pemberhentian anggota DPR. Sehingga dari korelasi ketentuan tersebut dalam lingkup prinsip suara mayoritas, hak recall tidak sesuai dengan prinsip suara mayoritas. Dalam hal melibatkan konstituen mengenai usulan hak recall oleh partai politik juga belum diakomodir dalam UU No. 27 Tahun 2009, UU No. 17 Tahun 2014 maupun undangundang tentang partai politik. Padahal sistem pemilu yang digunakan dalam memilih anggota legislatif dalam hal ini anggota DPR salah satunya, yaitu menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Sehingga konstituen juga berhak mendapatkan kesempatan untuk mengusulkan adanya recall terhadap anggota DPR yang menurutnya bermasalah berdasarkan alasan yang telah diatur dalam ketentuan yang ada dalam undang-undang mengenai pemberhentian anggota DPR.

35 70 d. Prinsip Pertanggungjawaban Prinsip pertanggungjawaban dapat ditunjukkan dalam ketentuan Pasal 7A dan 22B UUD Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kemudian ketentuan pasal 22B UUD 1945 menyatakan bahwa, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-sayat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Dalam rangka mempertanggungjawabkan atas kedudukannya sebagai pejabat negara. Alasan atas pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden memang sudah jelas karena pelanggaran hukum. Namun, alasan pemberhentian anggota DPR tidak hanya karena pelanggaran hukum namun juga alasan kinerja yang tidak sesuai dengan arah kebijakan partai atau kinerja buruk dapat diusulkan recall oleh partai politik. Hal ini dapat dikatakan bahwa mekanisme hak recall tidak sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban. Padahal tugas sebagai pejabat publik dalam hal ini sebagai anggota DPR yaitu bertanggungjawab atas tugas dan kewajibannya kepada rakyat. Maka bukan pertanggungjawaban kepada partai politik lagi, tetapi pertanggungjawaban kepada rakyat. Padahal berdasarkan dengan teori kedaulatan rakyat bahwa kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh

36 71 rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) (Stevanus Evan Setio, 2013: 16). Maka anggota DPR yang terpilih saat ini merupakan hasil dari legitimasi rakyat melalui pemilihan umum, maka pertanggungjawabannya pun secara otomatis kepada masyarakat yang telah memberikan legitimasi. Hak recall oleh partai politik merupakan sarana yang disediakan oleh undang-undang untuk mengganti antar waktu anggota partai politik yang duduk sebagai anggota parlemen. Padahal sudah menjadi tugas dari parlemen untuk menyuarakan aspirasi rakyat sebagaimana asal mula kata parlemen, yakni le parle yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti to speak, atau bersuara (Nike K Rumokoy, 2012: 5). Dilihat dari segi dampaknya, hak recall oleh partai politik memberikan dampak negatif bagi kehidupan politik Negara ini. Nilai-nilai negatif yang dapat timbul antara lain: Pertama,dapat mengekang dan mengikat nalar dari anggota DPR yang kritis dan ingin menyuarakan suara konstituennya. Kedua, membentuk mentalitas anggota DPR untuk takut kepada organisasi induknya ( Politik), yang dapat menyebabkan anggota DPR lebih mengutamakan dan mementingkan kepentingan parpolnya, bukan lagi menyuarakan aspirasi konstituennya (Nike K. Rumokoy, 2012: 5). Berdasarkan beberapa alasan lain, jelas maka recall partai politik akan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Padahal kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain bertentangan dengan prinsip-

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Lebih terperinci

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH *14124 UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro 1 ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Oleh: Husendro Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.182, 2014 LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS VERIFIKASI SYARAT CALON PENGGANTI ANTARWAKTU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

PEDOMAN TEKNIS VERIFIKASI SYARAT CALON PENGGANTI ANTARWAKTU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009 PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN TEKNIS VERIFIKASI SYARAT CALON PENGGANTI ANTARWAKTU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PEMILIHAN UMUM TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

Bab III Keanggotaan. Bagian Kesatu. Umum

Bab III Keanggotaan. Bagian Kesatu. Umum Bab III Keanggotaan Bagian Kesatu Umum Pasal 7 1. Anggota berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang. 2. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS HAK RECALL OLEH PARTAI POLITIK DALAM SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA NASKAH PUBLIKASI

TINJAUAN YURIDIS HAK RECALL OLEH PARTAI POLITIK DALAM SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA NASKAH PUBLIKASI TINJAUAN YURIDIS HAK RECALL OLEH PARTAI POLITIK DALAM SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kata re yang artinya kembali dan call yang artinya panggil atau memanggil,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kata re yang artinya kembali dan call yang artinya panggil atau memanggil, BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hak Recall Recall merupakan kata yang diambil dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata re yang artinya kembali dan call yang artinya panggil atau memanggil, sehingga jika diartikan

Lebih terperinci

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT Title? Author Riendra Primadina Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov 2010 14:10:06 GMT Author Comment Hafizhan Lutfan Ali Comments Jawaban nya...

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KULIAH 11 1 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah SUSUNAN DAN KEDUDUKAN DPRD terdiri dari anggota Parpol hasil Pemilu Fungsi DPRD Fungsi Pengawasan Fungsi Anggaran 2 Fungsi legislasi DPRD merupakan lembaga perwakilan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 d. bahwa berdasarkan pada ketentuan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang pedoman teknis verifikasi syarat calon pengganti antarwaktu Anggota

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD I. PEMOHON Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/DPR RI/TAHUN 2009 TENTANG TATA TERTIB

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/DPR RI/TAHUN 2009 TENTANG TATA TERTIB PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/DPR RI/TAHUN 2009 TENTANG TATA TERTIB Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan kehidupan kenegaraan yang demokratis konstitusional berdasarkan

Lebih terperinci

I. U M U M PASAL DEMI PASAL II.

I. U M U M PASAL DEMI PASAL II. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Muchamad Ali Safa at

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Muchamad Ali Safa at DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Muchamad Ali Safa at DPRD Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah FUNGSI: Legislasi; Anggaran; Pengawasan; Representasi RAKYAT DI DAERAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Teori Kedaulatan Rakyat a. Istilah dan Pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga Kamus Hukum yang ditulis Sudarsono mengartikan kedaulatan

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH Jakarta, 2013 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka I. PEMOHON Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), dalam hal ini diwakili oleh Drs. H. Muhaimin Iskandar,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi. Dalam paham ini, rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab kedaulatan berada di tangan rakyat. Pasal 1

Lebih terperinci

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9 RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-77 - - 78 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN 1 PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN NUR MOH. KASIM JURUSAN ILMU HUKUM ABSTRAK Fitri Lameo.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini diwakili

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak hari Selasa, tanggal 12 April

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XVI/2018 Masa Jabatan Pimpinan MPR dan Kewajiban Badan Anggaran DPR Untuk Mengonsultasikan dan Melaporkan Hasil Pembahasan Rancangan UU APBN Kepada Pimpinan DPR

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DERAH PROVINSI JAWA TIMUR

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DERAH PROVINSI JAWA TIMUR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

TATA TERTIB DPR. Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1. Dalam Peraturan Tata Tertib ini yang dimaksud dengan :

TATA TERTIB DPR. Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1. Dalam Peraturan Tata Tertib ini yang dimaksud dengan : TATA TERTIB DPR 2009 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam Peraturan Tata Tertib ini yang dimaksud dengan : 1. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 PEMILIHAN UMUM R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 Sub Pokok Bahasan Memahami Sistem Pemilu dalam Ketatanegaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif

Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I. KETENTUAN UMUM BAB II. PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK BAB III. PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANG GARAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini

Lebih terperinci

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KABUPATEN CIAMIS Jln. Ir. H. Juanda No. 164 Tlp. (0265) 771522 Ciamis 46211 PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA TERTIB

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI KELENGKAPAN DOKUMEN PEMBERHENTIAN ANTARWAKTU, PENGGANTIAN ANTARWAKTU,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Istilah sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan.

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG 1 PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Re

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Re No.785, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DPD. Tata Tertib. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG TATA TERTIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

K E P U T U S A N DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 03/SB/2006

K E P U T U S A N DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 03/SB/2006 K E P U T U S A N DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 03/SB/2006 T E N T A N G PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/DPR RI/IV/2007-2008 TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengaturan Hak Recall menurut peraturan perundang-undangan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengaturan Hak Recall menurut peraturan perundang-undangan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Hak Recall menurut peraturan perundang-undangan Hak recall bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, dalam pengaturan perundang-undangan di Indonesia terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap I. PEMOHON Julkifli, SH. Kuasa Hukum Ahmad Irawan, SH., Dading Kalbuadi, SH., M.Kn.,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bahan TIMUS 23-06-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Diterbitkan oleh ; SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2005

PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Diterbitkan oleh ; SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2005 PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Diterbitkan oleh ; SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2005 KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 08/ DPR RI/I/2005.2006

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat I. PEMOHON 1. Rahadi Puguh Raharjo, SE. (Pemohon I); 2. Ma mun Murod, SH. (Pemohon II); 3. Mutaqin (Pemohon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam suatu negara harus memiliki hubungan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya agar negara yang dipimpin dapat berjalan dengan baik.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. DR. Busyro Muqoddas 2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 3. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)

Lebih terperinci