BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3)"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang secara konstitusional merupakan hasil amandemen ketiga Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia negara hukum, dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan unsur-unsur lainnya. 1 Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal adanya berbagai macam hukum, baik hukum yang tertulis yang merupakan peraturan peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum yang tidak tertulis yang merupakan hukum adat yang berakena ragam. 2 Berdasarkan kenyataan tersebut maka pengembangan ilmu di bidang Perundang-undangan terasa semakin diperlukan, sebagai wacana untuk membentuk hukum nasional, oleh karena hukum 1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, h Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (jenis, fungsi, dan materi muatan), Kanisius, Yogyakarta, h

2 2 nasional yang dicita-citakan akan terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Selain itu pembentukan hukum tertulis itu dirasakan sangat perlu bagi perkembangan masyarakat dan negara saat ini. 3 Pasal 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber hukum negara. Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia karena seluruh peraturan perundangundangan apapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mengacu kepada Pancasila, dalam arti seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. 4 Perkembangan mengenai peraturan perundangan-undangan di Indonesia mengalami beberapa perubahan, dari dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dengan Ketetapan MPR) Nomor XX/MPR/1966, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, lalu Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang- Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan MPR tidak dimasukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 3 Ibid. h Inu kencana Syafiie, 2002, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 172.

3 3 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ketapan MPR dimasukan kembali dalam hierarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Ketetapan MPR merupakan suatu wujud peraturan perundang-undangan yang sah berlaku di Indonesia, bahkan dalam hierarki peraturan perundangundangan memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah yang tegas dinyatakan dalam Pasal 7 Undang- Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dilihat dari sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, maka Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistem norma Hukum Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sumber dan dasar bagi pembentukan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan dalam Ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan Undang- Undang. 5 Maka dari pada itu tidaklah dibenarkan jika ada suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 5 Maria Farida Indrati S. Op. Cit., h. 65.

4 4 diatasnya. Apabila hal tersebut terjadi maka tindakan hukum yang patut diambil adalah melakukan Pengujian konstusionalitas peraturan perundang-undangan Pengujian konstusionalitas peraturan perundang-undangan atau judicial review on the constitutionality of law, yang kemudian popular disebut Judicial review saja, bertolak dari dasar pemikiran bahwa konstitusi adalah hukum dasar atau fundamental. 6 Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan agar tidak merugikan hak-hak warga negara, bahkan substansi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan ataupun konstitusi. 7 Kewenangan pengujian materi terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah kewenangan dari Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan kewenangan untuk melakukan pengujian materi undang-undang terhadap undangundang dasar adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Setelah dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat produk hukum berupa ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Padahal sebelumnya, produk hukum yang disebut Ketetapan MPR itu merupakan bagian dari tata urutan peraturan perundangundangan, sehingga memiliki sifat mengatur (regeling), yang tempatnya atau 6 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint), Sinar Grafika, Jakarta, h Iriyanto A. Baso Ence., Op. Cit., h. 110.

5 5 hierarkinya berada di atas undang-undang namun berada dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Sampai saat ini ada beberapa Ketatapan MPR masih berlaku berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang berjumlah 139 dikelompokan kedalam 6 pasal (kategori) yaitu: 1. Kategori I: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan) 2. Kategori II: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan) 3. Kategori III: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan) 4. Kategori IV: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan) 5. Kategori V: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan) 6. Kategori VI: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)

6 6 Permasalahan terjadi apabila suatu Ketapan MPR yang dinyatakan masih berlaku terdapat ketentuan atau norma yang di anggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan erundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Ketetapan MPR tersebut merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia ataupun obyek hukum yang dilindungi hak dan kewenangan konstitusionalnya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah mengeluarkan keputusan terkait pengujian terhadap Ketetapan MPR melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 86/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa Mahakamah Konstitusi tidak berhak untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR karena bukan termasuk ruang lingkup kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk menguji Ketetapan MPR yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Tetapi Ketetapan MPR yang di permasalahkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU- XI/2013 Tentang Pengujian Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 adalah Ketetapan

7 7 MPR Kategori VI yaitu Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan yang berjumlah 104 ketetapan, bukan 8 Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai saat ini berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang menjadi obyek permasalahan pada penelitian ini. Berlandaskan latar belakang tersebut cukuplah bagi saya untuk membuat skripsi yang berjudul KEWENANGAN PENGUJIAN MATERI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HAL BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN Rumusan Masalah Berdasarkan urutan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Lembaga Negara manakah yang berwenang dalam pengujian materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? 2. Bagaimanakah mekanisme pengajuan permohonan yang dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

8 8 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk mencegah adanya pembahasan yang tertalu luas dan menyimpang dari pokok permasalahan maka sangatlah diperlukan adanya pembatasanpembatasan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Pertama adalah tentang lembaga negara manakah yang berwenang dalam pengujian materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Kedua akan dibahas mengenai mekanisme pengajuan permohonan yang dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Orisinalitas Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil buah karya asli dari penulis, merupakan suatu buah pemikiran penulis yang dikembangkan sendiri oleh penulis. Sepanjang sepengetahuan penulis dan setelah melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan gudang skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana dan didalam internet) tidak ditemukan adanya suatu karya ilmiah atau skripsi yang membahas atau menyangkut permasalahan tentang Kewenangan Pengujian Materi Ketetapan Majelis

9 9 Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Tujuan Umum 1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa 2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum 4. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dan jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan memahami lembaga negara yang berwenang dalam pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonanyang dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

10 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini ditulis untuk mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum dan juga sebagai upaya pendalam ilmu hukum khususnya tentang kewenangan pengujian materi Keteapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini ditulis untuk dapat memberikan masukanmasukan, ide-ide atau tindakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan guna membangun lingkungan yang tertib sesuai peraturan yang ada. 1.7 Landasan Teoritis Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalahanpermasalahan hukum terkait. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berupa Teori Negara Hukum, Teori Perundang-undangan dan Teori Pemisahan Kekuasaan Negara, dan Teori Pengujian Peraturan Perundang- Undangan.

11 Teori Negara Hukum. Secara Konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang di ketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Untuk dapat disebut sebagai negara hukum maka harus memiliki dua unsur pokok yakni adanya perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. 8 Dalam perkembangannya timbul dua teori negara hukum. Unsur-unsur rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa barat Kontinental sebagai berikut: 1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia. 2. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan teori Trias Politica. 3. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, pemerintah berdasarkan Undang- Undang (wetmatigbestuur). 4. Aapabila dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasarkan Undang- Undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang) maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. 9 Lain halnya dengan AV Dicey dari kalangan hukum Anglo Saxon memberikan pengertian the rule of law sebagai berikut: 1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik rakyat ataupun pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang dan keputusankeputusan pengadilan Moh Kusnardi dan Bintang R. Saranggih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya Media Pratama, Jakarta, h Ibid. 10 Anwar C.S.H., 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, h. 48.

12 12 Selanjutnya Internasional Commision of Jurists pada konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 menekankan bahwa disamping hak-hak politik rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk standar-standar dasar ekonomi. Komisi ini dalam konfrensi tersebut juga merumuskan syarat-syarat pemerintahan demokratis di bawah rule of law sebagai berikut: 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi haruslah pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh hak-hak yang di jamin. 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. 3. Pemilihan umum yang bebas. 4. Kebebasan menyatakan pendapat. 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi. 6. Pendidikan kewarganegaraan. 11 Dari ciri-ciri negara hukum material tersebut, menurut Anwar C.S.H memperlihatkan adanya perluasan makna negara hukum formil dan pengakuan peran pemerintah yang lebih luas sehingga dapat menjadi rujukan bagi berbagai konsepsi Negara Hukum. 12 Tujuan utama Rechtsstaat adalah untuk melindungi kebebasan individu warga negara dari kekuasaan negara. Ini merupakan konsepsi Rechtsstaat yang liberal, yang menurut Carl Schmitt, diberi batasan dan penertian khusus yang sekaligus merupakan cirri-cirinya yaitu: 1. Suatu negara dianggap sebagai rechtsstaat jika campur tangan terhadap kemerdekaan individu dilakukan semata-mata atas dasar undang-undang. Jadi disini negaralah yang diberi persyaratan dan prioritas untuk terikat oleh undang-undang 2. Suatu negara dianggap sebagai rechtsstaat jika seluruh aktifitasnya sepenuhnya tercakup dalam sekumpulan kewenangan yang batas-batasnya 11 Ibid. 12 Ibid.

13 13 ditentukan secara pasti. Disini yang menjadi prinsip fundamentalnya adalah pembagian dan pemisahan kekuasaan 3. Independensi atau kemerdekaan hakim 13 Berdasarkan atas uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ciri-ciri dari suatu negara hukum adalah, adanya pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak, dan legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya Teori Perundang-Undangan Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian begripsvorming dan begripsverheldering, dan bersifat kognitif erklärungsorientier. 14 Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, yang dimaksud peraturan perundang-undangan atau wet in materiële zin mengandung tiga unsur, yaitu: 1. Norma Hukum (rechtsnorm) 2. Berlaku ke luar (naar buiten werken); dan 3. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin) 15 Dalam Kaitanya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki, dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber 13 I Dewa Gede Palguna, Op.cit h Maria Farida Indrati S. Op. Cit., h Ibid., h. 35.

14 14 dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Gurndnorm). 16 Menurut Adolf Merkl suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah juga ia menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum dibawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung dari pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka secara otomatis norma-norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau terhapus pula. 17 Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompokkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu: 1. Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) 2. Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara) 3. Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang formal ) 4. Kelompok IV :Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan turan otonom) Ibid., h Ibid. 18 Ibid., h. 44.

15 15 Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Teori Pemisahan Kekuasaan Negara Salah satu ciri dari negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara, yang dibagi menjadi tiga kekuasaan, pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan diberbagai negara, dan orang-orang yang mengemukakan teori ini adalah John Locke dan Montesquieu. John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara kedalam: 1. Kekuasaan legislatif, adalah kekuasaan untuk membuat undang-undangan 2. Kekuasaan eksekutif, adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang 3. Kekuasaan federatif, adalah kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar negeri. 19 Menurut John Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama lainnya. dan setelah itu, Montesquieu dengan diilhami oleh pemisahan kekuasaan dari John Locke, mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat jenis kekuasaan yang diperincinya kedalam: 1. Kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu perwakilan rakyat (Parlemen) 2. Kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau raja, dengan bantuan mentri-mentri atau kabinet) 19 Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), h. 283.

16 16 3. Kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahakamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. 20 Ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara lebih dikenal dengan istilah Trias Politica. Tujuan dari ajaran ini adalah untuk menghindari tindakan sewenag-wenang dari raja. 21 Pada Pokoknya, ajaran Trias Politica isinya adalah sebagai berikut: 1. Kekuasaan Legislatif Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan yang terletak dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakan pada suatu badan tertentu, maka mungkinkanlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Didalam negara demokrasi, peraturan perundangundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang ialah yang dinamakan legislatif. sebagai bahan pembentuk undang-undang maka legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undangundang itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain Kekuasaan Eksekutif 20 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2008, Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga kini, Rineka Cipta, Jakarta, h Ibid. 22 Ibid., h. 75.

17 17 Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara. kepala negara ini tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala negara dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pemerintah atau negara yang bersamasama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang yang disebut eksekutif Kekuasaan Yudikatif Kekuasaan yudikatif ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. 24 Hal demikan telah ditentukan dalam pembagian bab-bab didalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: 1) BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif) 2) BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif) 3) BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiaman (Yudikatif) dengan demikian, penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal dan konteks kekuasaan yang bersifat vertikal. Perspektif vertikal dengan horizontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut Indonesia sebelum amandemen Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bahwa 23 Ibid. 24 Ibid.

18 18 kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen itu dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan dalam konteks yang bersifat vertikal, sedangkan sekarang, sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen adalah sistem pemisahan kekuasaan (seperation of power) berdasarkan prinsip checks and balances system Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam praktek pengujian peraturan perundang-undangan, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji. Ketiganya merupakan bentuk norma hukum dari sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: 1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling) 2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat administratif (beschikking) 3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) 26 Ketiga bentuk norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (judicial review) ataupun mekanisme diluar peradilan. Dalam Konsep pengujian peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial preview. Review berarti memandang, menilai atau mengkaji kembali, sedangkan preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan obyek yang dipandang itu Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit., h Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II), h.1 27 Ibid. h.3

19 19 Bentuk dari pengujian peraturan perundang-undangan ada dua, yaitu pengujian secara materil yaitu pengujian atas materi muatan peraturan perundangundang, sedangkan pengujian formil adalah pengujian atas pembentukan dari peraturan perundang-undangan. 28 Di Indonesia ada dua lembaga tinggi Negara yang berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan yaitu Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, mempunyai wewenang lainnya diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 1.8 Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode 28 Ibid. h. 38

20 20 ilmiah.karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis Jenis Penelitian Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, mengingat penelitian ini berhubungan dengan implementasi dari peraturan perundangundangan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dan putusan pengadilan, terutama bahan hukum primer Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbegai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. penelitian hukum normatif umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yakni: 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach) 2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Apporoach) 5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) 6. Pendekatan sejarah (Historical Approach) 7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) 30 Dalam rangka penyelesaian suatu masalah, dan berdasarkan dari latar belakang, serta rumusan masalah yang penulis sajikan, maka jenis pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Perundangundangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), h Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 30 Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar, h. 75

21 21 Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Apporoach) dan Pendekatan sejarah (Historical Approach) yaitu menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hukum positif dan fakta-fakta yang berlaku dilapangan serta dikaitkan dengan sejarah-sejarah yang terkait dalam penulisan ini Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat dan terdiri dari: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun ) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 5) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 6) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

22 22 7) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 8) Peraturan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 9) Peraturan Mahkamah Konsitusi Negara Republik Indonesia Nomor 18 TAHUN 2009 Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hukum. 31 Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundangundangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bertitik tolak pada bahan hukum primer dan skunder. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri menggunakan metode bola salju (snow ball method) dan teknik sistem kartu (card system). Bahan pustaka dan dokumen yang diteliti berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan 31 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 144.

23 23 keweangan pengujian terhadap Ketetapan MPR dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka dilanjutkan dengan menganalisa data dengan teknik deskripsi dan argumentasi, serta teknik konstruksi terhadap permasalahan yang ada. Dalam penulisan skripsi ini, data primer dan data skunder yang telah terkumpul, kemudian dianalisa menurut disiplin ilmu Hukum Tata Negara sehingga menjadi pembahasan yang sinergi dan terpadu. Dengan teknik deskripsi penulis menguraikan dimana duduk permasalahannya dan teknik argumentasi penulis memberikan argumentasi penyelesaian masalah yang terjadi berdasarkan bahan-bahan yang ada, dan dengan menggunakan teknik konstruksi, penulis membentuk konstruksi yuridis agar permasalah dalam penelitian ini dapat terselesaikan.

24 24

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta:

DAFTAR PUSTAKA. - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-Buku - Arifin Hoesein, Zainal, Kekuasaaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: Imperium, 2013. - Asshiddiqe, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. Ketiga, Jakarta: RajaGrafindo

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena itu segala tindakan dan kewenangan pemerintah harus berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. karena itu segala tindakan dan kewenangan pemerintah harus berdasarkan atas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu segala

Lebih terperinci

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi Tubagus Haryo Karbyanto, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejatien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Mengenal Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Mengenal Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia MODUL 1 Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Mengenal Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H., dkk. M PENDAHULUAN odul ini berjudul Mengenal Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI 07940077 PROGRAM KEKHUSUSAN: HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD 1945 Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM Abstrak Salah salah satu berkah reformasi adalah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Konstitusi Republik Indonesia dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, 1 yang mempunyai tujuan untuk menciptakan tata tertib hukum dan kepastian

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahannya berupa pola pikir pemerintah dalam struktur pemerintahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde baru terdapat berbagai permasalahan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan Indonesia. Bentuk permasalahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA Angga Setiawan P.U Ari Widido Bayu Gilang Purnomo Arsyadani Hasan Binabar Sungging L Dini Putri P K2510009 K2510011 K2510019 K2111007 K2511011 K2511017 N E G A R

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM

BAB III SUMBER HUKUM BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI A. PENGANTAR Istilah Negara Hukum baru dikenal pada Abad XIX tetapi konsep Negara Hukum telah lama ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan. Dimulai dari jaman Plato

Lebih terperinci

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. Pendahuluan Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah judicial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Lebih terperinci

REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA WAHANA INOVASI VOLUME 3 No.1 JAN-JUNI 2014 ISSN : 2089-8592 REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA Haposan Siallagan Dosen Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "negara Indonesia

Lebih terperinci

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF

EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF EKSEKUTIF, LEGISLATIF, DAN YUDIKATIF HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA - B Adriana Grahani Firdausy, S.H., M.H. BADAN EKSEKUTIF PENGERTIAN Badan pelaksana UU yang dibuat oleh badan legislatif bersama dengan Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA; MOMENTUM MENGEFEKTIFKAN PENGAWASAN PREVENTIF DAN PELAKSANAAN HAK UJI MATERIIL MA Oleh: M. Nur Sholikin * Naskah diterima: 24 pril 2017; disetujui:

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Sebagaimana judul di atas, dalam Bab ini pula akan membahas dua point, yaitu hasil penelitian dan analisis. Dalam point pertama, yaitu hasil penelitian, terdapat dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA Pembahasan mengenai analisis data mengacu pada data-data sebelumnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD NRI 1945, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Gagasan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Armen Yasir, 2007. Hukum Perundang-Undangan. Bandar Lampung: Pusat Studi Universitas Lampung. Bagir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan adalah buah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan pengujian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Mahkamah Agung belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintahan Daerah atau di negara-negara barat dikenal dengan Local Government dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki otonomi yang didasarkan pada asas, sistem,

Lebih terperinci

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung 1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015 KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 1 Oleh : Magdalena E. J. Sarkol 2 ABSTRAK Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk politik semestinya ditempatkan sebagai norma yang digali bersumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota I. PEMOHON Agus II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci