BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Didalam suatu usaha untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk membahagiakan seluruh bangsa Indonesia, maka mutlak perlu dilakukan pembangunan disegala bidang. Seperti diketahui bahwa faktor yang terpenting didalam pembangunan adalah uang, karena uang merupakan urat nadinya atau dengan kata lain sebagai darahnya perekonomian. Karena arus beredarnya uang merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya pembangunan dibidang ekonomi. Oleh karena itu, adanya atau timbulnya beberapa gangguan berupa tindakan-tindakan yang melanggar hukum yang berkaitan dengan masalah ini, pengaruhnya dapat menggangu kelancaran mekanisme dibidang perekonomian itu sendiri, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada bidang-bidang yang lain. Adapun masalah yang akan saya angkat dalam proposal skipsi ini adalah mengenai penegakan hukum tindak pidana pemalsuan, seiring dengan majunya perkembangan jaman dan semakin meningkatnya kebutuhan ekonomi yang terasa semakin menghimpit bagi kalangan ekonimi kelas menengah ke bawah, seharusnya pemerintah bisa memberikan lapangan kerja yang seluas-luasnya agar warga negaranya bisa tertolong I

2 2 untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mungkin dengan begitu angka kriminalitas dan tindak kejahatan pun akan sedikit berkurang. Seperti halnya tindak pidana pemalsuan uang yang akhir-akhir ini cukup meresahkan di kalangan masyarakat pada umumnya, modus-modus yang mereka gunakan pun tak kalah canggihnya, alat-alat yang mereka gunakan bisa tergolong sangat modern yang mana hanya orang-orang yang memiliki pemikiran jenius yang mampu menggunakannya, mereka terkadang mampu menghasilkan uang palsu dalam jangka waktu yang singkat dengan jumlah milyaran rupiah dan hasilnya pun hampir mirip dengan uang asli, oleh sebab itu masalah ini janganlah kita anggap sederhana baik oleh pemerintah, aparat hukum dan masyarakat harus sungguh-sungguh mengatasi masalah ini, karena kejahatan pemalsuan uang ini dapat memasuki ruang lingkup yang luas. Sebagaimana dikatakan diatas bahwa kejahatan pemalsuan uang atau uang palsu bukanlah persoalan yang mudah, melainkan sulit untuk diselidiki dan itu merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh para penegak hukum dan pemerintah Negara ini. Oleh sebab itu pemerintah kita juga mempunyai badan yang menangani kasus pemalsuan uang tersebut adalah Badan Koordinasi Pemberantasan uang Palsu dan untuk selanjutnya disebut BOTASUPAL. Badan ini dibentuk berdasarkan Inpres ( Instruksi Presiden ) No. 1/1971 dengan koordinator kepala Bakin ( Badan Koordinasi Intelijen) dan para anggota yang terdiri dari pejabat BI ( Bank Indonesia ), Markas Besar

3 3 Polisi Republik Indonesia, Bea cukai, Perum Peruri, dan Kejaksaan Agung. 1 Mudah-mudahan dengan terbentuknya badan ini pemerintah dan segenap masyarakat pada umumnya yang selalu menjadi korban dari sindikat uang palsu dapat mampu berharap banyak kepada para anggota BOTASUPAL untuk melakukan tugas dan perannya secara sungguh-sungguh menangani pemberantasan tindak pidana pemalsuan uang, sehingga BOTASUPAL dapat memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap mata uang rupiah. Peran BOTASUPAL adalah ujung tombak untuk menangani masalah uang palsu. meskipun demikian kenyataannya kejahatan pemalsuan uang menjadi berkurang, karena sampai saat ini sedikit sekali masyarakat yang mengetahui atas keberadaan badan tersebut, masyarakat tidak bergantung pada pada pihak Kepolisian karena biasa dikatakan bahwa tindak pidana pemalsuan uang merupakan suatu delik khusus yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu dan hanyanya suatu badan khususnya yang mampu menyelidiki tindak pidana tersebut. Suatu akibat pasti akan timbul dari suatu sebab itu, begitu pula dengan tindak pidana pemalsuan uang, semua yang melakukan pelanggaran tersebut akan dikenakan dengan sanksi yang telah ada. Dalam Undang-undang sanksi yang diancam demikian beratnya, menandakan beratnya sifat tindakan pidana ini, hal ini dapat dimengerti karena dengan tindak pidana ini kepercayaan masyarakat runtuh. Menurut sejarah jaman dahulu di beberapa negara Eropa, para pembuat uang palsu ini diancam dengan pidana hukuman mati, dan hukuman mati ini benar-benar 1 Mulyana W Kusuma, Bencana uang palsu cet.i, Elstreba, Yogyakarta, 2000, hal.6

4 4 dilaksanakan, namun kenyataannya tindak pidana pemalsuan uang tetap berlangsung. Seperti halnya di Indonesia sanksi yang ada dalam KUHP ( Kitab Undang-undang Hukum Pidana ) semoga saja mampu menyelesaikan kasus-kasus pemalsuan uang di negara ini. Tindak pidana pemalsuan uang di atur dalam KUHP dalam buku ke II bab X dan terdiri dari beberapa pasal yaitu pasal 244, 245, 246, 247, 249, 250 dan pasal 251, dengan adanya peraturan yang mengatur suatu tindak pidana tersebut diharapkan bahwa semua pelaku pemalsuan uang dapat dikenakan sanksi pidana yang telah diatus didalamnya. Dari uraian singkat tersebut diatas,maka saya tertarik untuk melakukan pembahasan yang mendalam dalam bentuk skipsi yang berjudul PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA 2. Rumusan masalah sebagai berikut : Masalah yang akan dibahas di dalam penulisan skipsi ini adalah 1. Apa yang dimaksud tindak pidana pemalsuan uang dalam pasal KUHP dan Undang-undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata uang 2. Bagaimanakah terhadap penegakan hukum tindak pidana pemalsuan uang di Indonesia Kedua permasalahan tersebut akan saya bahas dalam bab berikutnya.

5 5 3. Penjelasan Judul Dalam penulisan skripsi yang berjudul PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA, membahas pengertian Kejahatan meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas yang kadang disingkat dengan pemalsuan uang adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, kepercayaan terhadap uang harus dijamin. kejahatan ini diadakan berhubungan untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat terhadap uang sebagai alat pembayaran tersebut. Dalam penulisan ini juga menerangkan bagaimanakah terhadap penegakan hukum kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal itu ada 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: pa244, 245, 246, 247, 249, 250, 251. Pada pembahasan skripsi ini akan dibahas mengenai Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP dan dalam pasal UU No. 7 tahun 2011 tentang mata uang. 4. Alasan pemilihan judul Seperti diketahui bahwa faktor yang terpenting didalam pembangunan adalah uang, karena uang merupakan urat nadinya atau dengan kata lain sebagai darahnya perekonomian. Karena arus beredarnya uang merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya

6 6 pembangunan dibidang ekonomi. Oleh karena itu, adanya atau timbulnya beberapa gangguan berupa tindakan-tindakan yang melanggar hukum yang berkaitan dengan masalah ini, pengaruhnya dapat menggangu kelancaran mekanisme dibidang perekonomian itu sendiri, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada bidang-bidang yang lain. Selanjutnya dengan beranjak pada pokok permasalahan dalam penulisan skipsi ini yang berjudul : PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA, hal mana dimaksudkan sebagai upaya pengamatan saya terhadap kasus atau tindak pidana dengan jalan memalsukan uang. Dari beberapa alasan dasar tersebut saya mengamati bahwa permasalahan pokok tentang tindak pidana dengan cara pemalsuan uang cukup menarik perhatian untuk di bahas. Sebagai landasan untuk berpijak dalam pengamatan saya guna merealisir keinginan tersebut, maka saya sengaja mengamati pemalsuan uang yang terjadi di wilayah hukum Polres Gresik. dari hasil studi ini diharapkan nantinya dapat memperoleh gambaran secara lengkap dan terperinci sehingga diperoleh suatu bahasan yang cukup memadai dengan bekal pengetahuan yang ada pada diri saya, meskipun di sadari bahwa bekal pengetahuan yang saya miliki adalah terbatas. 5. Tujuan Penelitian Tujuan saya membuat penelitian ini sebagai dasar tujuan :

7 7 a. Sebagai tugas akhir mahasiswa Fakultas hukum Universitas Wiyaya Putra Surabaya untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. b. Untuk memberi informasi kepada masyarakat apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemalsuan uang c. Untuk memberi gambaran terhadap masyarakat tentang upaya penegakan hukum uang palsu 6. Manfaat Penelitian Untuk memberikan pandangan terhadap masyarakat dan penegak hukum tentang penegakkan hukum tindak pidana pemalsuan uang. 7. Metode Penelitian a. Jenis dan Pendekatan Secara singkat dapat dijelaskan bahwa saya memilih melakukan penelitian yang bersifat normatif deskriptif. Kedua konsep ini dikombinasikan/ digabungkan menjadi satu dan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut, pertama konsep penelitian normatif menurut menyatakan bahwa penelitian hukum normatif merupakan konsep kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap data-data sekunder belaka. Penelitian normatif dapat dibedakan dalam penelitian inventarisir hukum positif, penelitian untuk menemukan hukum in concreto ( hukum dalam kenyataan ), penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

8 8 Kedua, konsep deskriptif. konsep ini berawal dari kata benda yaitu deskripsi. Deskripsi dalam difinisinya Black and Champion sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekanto mendefinisikan sebagai : a cataloging or classification of the range of elements seer as compriseing a given subject matter domain. Secara bebas terjemahan dari kutipan diatas adalah sebagai berikut bahwa yang dimaksud dengan deskripsi adalah proses penyusunan atau pengelompokan dari serangkaian elemen yang dianggap mencakup ruang lingkup atau suatu persoalan tertentu. b. Jenis dan Sumber Data Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif, terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan dan peraturan peraturan lain yang berlaku ( hukum positif ) yang pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang di bahas. Bahan hukum sekunder berupa buku literatur, jurnal hukum, internet, makalah-makalah seminar atau pertemuan ilmiah lainnya. Dalam menggunakan bahan hukum, tidak dibatasi pada peraturan hukum tertentu, melainkan semua aturan hukum yang berkaitan. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) macam. Pertama, sumber data primer adalah narasumber (responden atau resource person) yang diperoleh dari wawancara atau observasi. kedua sumber data sekunder atau bahan hukum.

9 9 c. Metode Pengumpulan Data Pertama-tama melakukan pengumpulan bahan-bahan hukum dan menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan.kemudian bahan hukum diklasifikasikan dengan cara memilah-milah bahan hukum dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang bersifat khusus. Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan pada hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, pasal yang satu dengan pasal yang lainnya, dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. 8. Sistematika Pertanggung Jawaban Skipsi ini di susun dalam empat bab dan tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab, adapun sistematika untuk setiap bab adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini saya akan memasukkan latar belakang yang nantinya akan di bahas dalam skripsi ini, di dalam perumusan masalah saya memberikan dua pokok permasalahan yang akan di bahas nantinya, penjelasan judul dan alasan pemilihan judul dalam penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian,

10 10 metode penelitian dan yang terakhir adalah sistematika penulisan dan semuanya akan dimaksukan dan diuraikan ke dalam bab I BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG Dalam bab ini penulis akan membahas dan menguraikan segala sesuatu tentang tinjauan pidana dimulai dari pengertian tindak pidana pemalsuan uang, pemalsuan uang menurut pasal KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ), dan menurut Undang-undang No. 7 tahun 2011 tentang mata uang BAB III : PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG Pada bab ke tiga ini penulis akan membahas ketentuan hukumbagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan uang BAB IV : PENUTUP Saya akan akan memasukan beberapa kesimpulan mengenai apa yang telah saya bahas pada bab sebelumnya juga saransaran mengenai segala sesuatunya tentang apa yang dibahas dalam skipsi ini

11 11 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG 2.1. Pengertian Pemalsuan uang Sebelum kita membahas pengertian tindak pidana pemalsuan uang atau kejahatan pemalsuan uang, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian pemalsuan uang. Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah tiruan. 2 Pemalsuan berasal dari Bahasa Belanda yaitu Vervalsing atau Bedrog yang artinya adalah proses, cara atau perbuatan memalsu. 3 Sedangkan uang adalah alat tukar atau standart pengukuran nilai (kesatuan hitungan yang sah dikeluarkan oleh pemerintah suatu Negara yang berupa kertas, emas, perak,logam yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu). 4 Menurut Drs. Dai Bahtiar, SH uang palsu adalah semua benda berupa hasil tiruan uang baik uang kertas maupun uang logam atau semacam uang atau uang yang dipalsukan yang dapat dan atau dengan maksud akan diedarkan serupa yang asli. 5 ini yaitu : Beberapa pengertian yang perlu dipahami dalam pemalsuan uang 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta:,2001, hal Kamus Hukum, Pramadya Putra, Semarang,1977, hal Kamus Besar Bahasa Indonesia,op.cit., hal Bambang Irawan, Bencana Uang Palsu, Elstreba, Yogyakarta, 2000, hal.37

12 12 a. Mata uang :Uang yang dibuat dari logam/emas, perak, nikel, tembaga dan sebagainya. b. Uang kertas :Uang yang dibuat dari kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah c. Uang kertas bank :Uang yang dibuat dari kertas yang dikeluarkan oleh Bank sirkulasi, Bank mana yang dipercaya oleh pemerintah untuk mengeluarkannya. d. Uang :Alat tukar yang sah dan terdiri dari semua jenis mata uang yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang. Alat tukar yang sah yang dikeluarkan oleh pemerintah asing berdasarkan undang-undang dari Negara asing tersebut ( Dolar, Yen, Golden dan sebagainya) 6 Kejahatan meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas yang kadang disingkat dengan pemalsuan uang adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, kepercayaan terhadap uang harus dijamin. kejahatan ini diadakan berhubungan untuk melindungi kepentingan hokum masyarakat terhadap uang sebagai alat pembayaran tersebut. 7 hal Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1982, hal Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,

13 13 Perbuatan meniru dan memalsu tersebut juga memiliki suatu perbedaan. Yang dimaksud perbuatan meniru adalah 1) Seorang mencuri peralatan pembuatan uang dan bahan-bahan pembuat uang, dengan peralatan dan bahan itu ia membuat uang. Karena dibuat dengan bahan dan peralatan yang sama, maka uang yang dibuatnya adalah sama atau tidak berbeda dengan uang yang asli. Walaupun demikian uang yang dibuatnya itu tetap sebagai uang palsu (tidak asli). Membuat uang dengan cara demikian adalah termasuk perbuatan meniru. 2) Orang atau badan yang menurut peraturan berhak membuat atau mencetak uang, namun ia membuat uang melebihi dari jumlah yang diperintahkan atau menurut ketentuan. Maka membuat atau mencetak lebih dari ketentuan tadi adalah berupa perbuatan meniru. Walaupun uang yang dihasilkan secara fisik adalah sama persis seperti uang aslinya, tetap juga termasuk pengertian uang palsu (tidak asli). 8 Dalam pengertian perbuatan meniru, tidak diperdulikan tentang nilai bahan yang digunakan dalam membuat uang itu apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari bahan pada uang yang asli. Dengan kata lain apabila uang hasil dari perbuatan meniru nilai logamnya (misalnya emas) lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai mata uang asli, tetap saja perbuatan seperti ini dipidana sebagai perbuatan meniru. Jika dalam meniru itu terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah mata uang asli dan tidak dipalsukan 9. berdasarkan pasal Ibid., hal Ibid.,

14 14 KUHP meniru adalah membuat barang yang menyerupai uang, biasanya memakai logam yang sama atau lebih mahal harganya. 10 Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan atau menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum perbuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada uang asli ini dilakukan perbuatan menambah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi. Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai yang asli dan tidak palsu, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana. 11 Memalsu uang dalam penjelasan pasal 244 KUHP adalah uang tulen dikurangi bahannya, kemudian ditempelkan dengan bahan yang lebih murah, demikian rupa sehingga uang tersebut tetap serupa dengan yang aslinya R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, Adami Chazawi, op.cit., hal R.soesilo, op.cit.,

15 Pemalsuan Uang Menurut KUHP dan Undang-undang nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang Dalam rangkaian pembahasan mengenai pengertian tindak pidana pemalsuan uang sebagaimana yang tertuang dalam pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka saya akan menguraikan perihal pemalsuan uang menurut pasal 244 KUHP dan Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang. Di dalam penjelasan pasal 244 KUHP, meniru uang adalah membuat barang yang menyerupai uang, biasanya memakai logam yang lebih murah harganya, akan tetapi meskipun memakai logam yang sama atau lebih mahal harganya, dinamakan pula meniru. Sedangkan memalsu uang adalah uang tulen dikurangi bahannya, kemudian ditempel dengan bahan yang lebih murah, demikian rupa, sehingga uang itu tetap serupa dengan uang yang betul. 13 Mencetak uang kertas serupa dengan uang resmi sama dengan meniru uang. Dalam pengertian pasal 244 KUHP supaya dapat dikenakan dalam pasal ini dalam hal tindak pidana pemalsuan uang maka pembuat dalam hal ini peniruan dan pemalsuan uang itu harus dilakukan dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang itu seakanakan uang yang tulen. 13 R. Soesilo, op.cit., hal. 184

16 16 Tindak pidana terhadap uang ini yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP),pada garis besarnya meliputi sebagai berikut : 1) Tindak pidana dengan cara meniru atau memalsukan mata uang, uang kertas Negara atau uang kertas Bank, diatur dalam pasal 244 KUHP. 2) Tindak pidana dengan cara mengurangi nilai mata uang atau merusak mata uang, uang kertas Negara, atau uang kertas Bank, diatur dalam pasal 246 KUHP. 3) Tindak pidana dengan cara mengedarkan mata uang, uang kertas Negara, atau uang kertas Bank yang palsu atau yang telah dikurangi nilainya diatur dalam pasal 245 KUHP dan 247 KUHP. 4) Tindak pidana dengan cara mengedarkan mata uang atau uang kertas palsu yang tidak termasuk ketentuan dalam pasal 245 KUHP dan 247 KUHP diatur dalam pasal 249 KUHP. 5) Tindak pidana dengan cara membuat atau mempunyai alat untuk meniru, memalsukan atau mengurangi nilai uang diatur dalam pasal 250 KUHP. 6) Tindak pidana dengan cara menyimpan atau memasukan ke Indonesia keping-keping Atau lembaran perak (logam) yang dirubah untuk dijadikan mata uang palsu diatur dalam pasal 251 KUHP.

17 17 7) Tindak pidana dengan cara membuat, menjual dan sebagainya benda yang menyerupai mata uang atau uang kertas Negara atau uang kertas bank diatur dalam pasal 519 KUHP. Uang Rupiah menurut UU No 7 tahun 2011 tentang mata uang selanjutnya disebut dengan UU Mata uang yaitu mata uang adalah uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.di dalam Pasal 1. UU No 7 tahun 2011 tentang Mata uang Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran,warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. Dan Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna gambar, dan / atau desainnya mneyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum. 14 Dalam perkembangan mutakir fungsi uang dapat dibedakan dalam 2 kategori, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Menurut Glyn Davies fungsi umum uang adalah sebagai aset likuid (liquid asset), factor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market allocative system), factor penyebab dalam perekonomian ( a causative factor in the economy) dan factor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy). Sedangkan fungsi khusus uang sebagai berikut : Uang sebagai alat tukar ( medium of exchange) 14 Undang-Undang No. 7 Tahun 2001 Tentang Mata uang 15 Solikin Suseno, Uang, Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian, Bank Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 21

18 18 2. Uang sebagai alat penyimpanan nilai (store of value) 3. Uang sebagai satuan hitung (unit of account) 4. Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda ( standart of deffered payment) 5. Uang sebagai alat pembayaran (means of exchange) 6. Uang sebagai alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common measure of value) Kedudukan sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) ini dinyatakan didalam uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank sentral setiap Negara. Didalam legal tender terdapat dua elemen yang esensial yaitu pertama keberadaannya dinyatakan oleh hokum dan kedua untuk pembayaran. Ditinjau dari teori hokum tata Negara, suatu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu badan atau lembaga bersifat atributif artinya tidak menimbulkan kewajiban menyampaikan laporan atas pelaksanaan kekuasaan itu. Didalam pasal 11 UU No. 7 tahun 2011 tentang mata uang disebutkan bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengeluaran, pengedaran, dan atau pencabutan dan penarikan Rupiah untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut,menarik dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Jenis uang yang dikeluarkan Bank Indonesia yaitu uang kertas dan uang logam. Uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya. Uang logam adalah uang dalam bentuk koin yang terbuat dari aluminium, bronze, kupronikel dan bahan lainnya. Harga uang adalah nilai nominal atau pecahan uang yang

19 19 dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Ciri uang adalah tanda-tanda tertentu pada setiap uang yang ditetapkan oleh bank Indonesia, dengan tujuan untuk mengamankan uang tersebut dari upaya pemalsuan. Tanda tanda tersebut dapat berupa warna, gambar, ukuran, berat, dan tanda-tanda lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam Pasal 4 UU No.7 tahun 2011 tentang mata uang ciri rupiah terdiri atas ciri umum dan ciri khusus. Ciri Rupiah kertas dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 2011 tentang mata uang paling sedikit memuat : a. Gambar lambang Negara Garuda Pancasila b. Frasa Negara Kesatuan Republik Indonesia c. Sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya d. Tanda tangan pihak pemerintah dan Bank Indonesia e. Nomor seri pecahan f. Teks DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI.. dan g. Tahun emisi dan tahun cetak. Dalam ayat pasal 5 ayat (2) Ciri Rupiah logam paling sedikit memuat : a. Gambar lambang Negara Garuda Pancasila b. Frasa Republik Indonesia c. Sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya, dan d. Tahun emisi

20 20 Setiap pecahan Rupiah selain memiliki ciri umum juga memiliki ciri khusus sebagai pengaman yang terdapat pada desain, bahan dan teknik cetak. Ciri khusus bersifat terbuka, semi tertutup dan tertutup.

21 21 BAB III PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG 3.1. Ketentuan Hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang Kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas, yang kadang disingkat dengan pemalsuan uang, adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, kepercayaan terhadap uang harus dijamin. Kejahatan ini diadakan berhubungan untuk melindungi masyarakat terhadap uang sebagai alat pembayaran tersebut. Dalam sistem hukum pidana kita, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah berupa kejahatan berat. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan yang mendukung pernyataan itu, yakni 16 : 1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249) Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Rajawali Pers, Bandung, 2005, hlm.

22 22 2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 4 sub 2 KUHP). Mengadakan kejahatan-kejahatan yang oleh Undang-undang ditentukan berlaku asas universaliteit bukan saja berhubungan terhadap kepentingan hukum masyarakat Indonesia dan kepentingan hukum negara RI, juga bagi kepentingan hukum masyarakat internasional. Sebagai contoh hukum pidana Indonesia dapat digunakan untuk menghukum seorang warga negara asing yang memalsukan uang negaranya yang kemudian melarikan diri ke Indonesia, di mana negara tersebut tidak mempunyai perjanjian mengenai ekstradisi dengan Indonesia Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal itu ada 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, Pada pembahasan skripsi ini akan dibahas mengenai Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP. A. Meniru dan memalsu uang ( Pasal 244 KUHP) Pasal 244 merumuskan sebagai berikut: Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedakan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. 17 Ibid

23 23 Apabila dirinci rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 18 a. Unsur-unsur objektif : 1) Perbuatan : a) Meniru ; b) Memalsu ; 2) Obyeknya : a) mata uang b) uang kertas Negara c) uang kertas bank b. Unsur-unsur subyektif yaitu dengan maksud untuk : 1) mengedarkan; atau 2) menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu seolaholah asli dan tidak dipalsu. A.1. Perbuatan Meniru Perbuatan meniru (namaken) adalah membuat sesuatu yang menyerupai atau seperti yang asli dari sesuatu itu 19. Dalam kejahatan ini sesuatu yang ditiru itu adalah mata uang dan uang kertas, meniru diartikan sebagai membuat mata uang (uang logam) atau uang kertas yang menyerupai atau mirip dengan mata uang atau uang kertas yang asli. Untuk adanya perbuatan ini disyaratkan harus terbukti ada yang asli atau yang ditiru. Membuat mata uang atau uang kertas yang tidak ada yang asli atau yang ditiru, tidak termasuk dalam pengertian meniru. Misalnya membuat lembaran uang kertas dengan nominal Rp ,00. Walaupun pada pembuatnya terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya, perbuatan membuat uang itu tidak termasuk perbuatan 18 Adami Chazawi, op.cit., hal Adami Chazawi, op.cit., hal 23.

24 24 yang dilarang oleh ketentuan ini, karena perbuatan itu bukan perbuatan meniru. Dalam perbuatan meniru terkandung pengertian bahwa orang yang meniru tersebut tidak berhak (melawan hukum) untuk melakukan perbuatan membuat mata uang atau uang kertas. Oleh sebab itu juga termasuk pengertian meniru dalam hal seperti : a) Seorang mencuri peralatan pembuat uang dan bahan-bahan pembuat uang. Dengan peralatan dan bahan itu ia membuat uang. Karena dibuat dengan bahan dan dengan peralatan yang sama, maka uang yang dibuatnya ini adalah sama dan tidak berbeda dengan uang asli. Walaupun demikian uang yang dibuatnya ini tetap sebagai uang palsu (tidak asli). Membuat uang dengan cara demikian adalah termasuk perbuatan meniru. b) Orang/badan yang menurut peraturan berhak membuat atau mencetak uang, namun ia membuat uang melebihi dari jumlah yang diperintahkan/menurut ketentuan. Maka membuat/mencetak uang lebih dari ketentuan tadi adalah berupa perbuatan meniru. Walaupun uang yang dihasilkannya secara fisik adalah sama persis seperti uang aslinya, tetap juga termasuk pengertian uang palsu (tidak asli). Dipidana atau tidaknya bagi orang ini, bergantung sepenuhnya pada bagaimana sikap batinnya. Bila dalam dirinya ada kesengajaan untuk membuat uang melebihi yang ditentukan yang menjadi wewenangnya, dan adanya masksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya, sudah termasuk larangan dalam pasal ini. Sebaliknya bila ia dalam

25 25 membuat uang melebihi dari yang ditentukan itu karena lalai atau lupa belaka, dan tentunya tidak terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya seolah-olah asli dan tidak dipalsu, maka membuat uang melebihi dari ketentuan tadi tidak termasuk larangan menurut ketentuan Pasal 244. Dalam pengertian perbuatan meniru, tidak mempedulikan tentang nilai bahan yang digunakan dalam membuat uang itu apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari bahan pada uang yang asli. Dengan kata lain apabila uang hasil dari perbuatan meniru nilai bahannya lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai uang kertas yang asli, tetap saja perbuatan sepeti itu dipidana sebagai perbuatan meniru, jika dalam meniru itu terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah uang kertas asli dan tidak dipalsu. A.2. Perbuatan Memalsu Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum perbuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada uang asli ini dilakukan perbuatan menambah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi. Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkannya atau

26 26 menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana. 20 Kejahatan Pasal 244 KUHP dirumuskan secara formil, maksudnya ialah melarang melakukan perbuatan tertentu, dan tidak secara tegas menimbulkan akibat tertentu. Sebagai tindak pidana formil, terwujudnya atau selesainya kejahatan ini bergantung pada selesainya perbuatan meniru atau memalsu. Untuk dapat selesai atau terwujudnya perbuatan meniru atau memalsu diperlukan suatu syarat yakni hasil atau akibat dari perbuatan. Perbuatan meniru menghasilkan mata uang atau uang kertas yang palsu atau tidak asli, sedang dari perbuatan memalsu menghasilkan mata uang atau uang kertas yang dipalsu. A.3. Mata Uang dan Uang Kertas Uang adalah suatu benda yang wujudnya sedemikian rupa yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah dan berlaku pada saat peredarannya. Sah dalam arti yang menurut peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Lembaga yang berwenang ini adalah negara atau badan yang ditunjuk oleh negara seperti bank. Uang terdiri dari mata uang dan uang kertas. Mata uang berupa uang yang terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga perak dan lain sebagainya. Uang kertas adalah uang yang terbuat dari lembaran kertas. Uang kertas dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni uang kertas negara dan uang kertas bank. Uang kertas negara adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dan uang kertas bank adalah uang kertas yang 20 Adami Chazawi, op.cit., hlm.25.

27 27 dikeluarkan oleh suatu bank yang ditunjuk pemerintah. Di Indonesia bank yang ditunjuk oleh pemerintah ini adalah Bank Indonesia. A.4. Maksud untuk: a) Mengedarkan dan b) Menyuruh Mengedarkan Mata Uang atau Uang Kertas Itu sebagai Asli dan Tidak Dipalsu Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara maupun uang kertas bank sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUHP adalah unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerfk) berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan perbuatan meniru dan memalsu uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang, didorong oleh suatu kehendak (maksud) yang ditujukan untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu (uang kertas yang tidak asli) atau uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang yang dipalsu tersebut sebagai uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang asli dan tidak dipalsu. Memperhatikan unsur kesalahan dalam rumusan Pasal 244 KUHP, dapat disimpulkan bahwa: a) di samping pelaku menghendaki untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan; dan b) juga ia harus mengetahui atau mata uang atau uang kertas itu adalah tidak asli atau dipalsu. Tidak asli atau palsunya itu diketahuinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri berupa meniru atau memalsu. Kesadaran pelaku juga harus ditujukan pada palsunya uang, sedangkan penyebab palsunya itu disadarinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri, maka sikap batin pelaku terhadap perbuatan meniru

28 28 atau memalsu yang menghasilkan tidak asli atau palsunya mata uang atau uang kertas itu adalah sikap batin sebagaimana yang dimaksud oleh unsur kesengajaan yang menurut MvT sebagai willens en wetens. Oleh karena itu, walaupun secara formal tidak dicantumkan unsur kesengajaan terhadap perbuatan meniru atau memalsu, secara tersirat unsur kesengajaan terhadap kedua perbuatan materil itu sesungguhnya ada. Kesengajaan terhadap kedua perbuatan itu adalah berupa unsur yang terselubung. Oleh karena unsur kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan meniru atau memalsu tidak dicantumkan dalam rumusan, kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan itu tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan bahwa telah terjadinya perbuatan, maka dianggap unsur kesengajaan itu telah terbukti pula. Berdasarkan pada pandangan ini, hal yang tidak mungkin terjadi pada pemalsuan uang yang dilakukan oleh sebab atau kelalaian (culpa). 21 Perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu tidak perlu telah terwujud. Perihal mengedarkan atau menyuruh mengedarkan adalah berupa apa yang dituju oleh maksud pelaku belaka, berupa unsur subjektif. Selesainya kejahatan ditentukan oleh perbuatan meniru atau memalsu, bukan pada telah terjadinya perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan. Uang palsu yang telah diedarkan tidak termasuk kejahatan Pasal 244 KUHP tetapi masuk dalam kejahatan Pasal 245 KUHP. 21 Adami Chazawi, op.cit.,hal.28.

29 29 B. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP) Pasal 245 KUHP merumuskan sebagai berikut : Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Dalam rumusan Pasal 245 tersebut di atas, ada 4 (empat) bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu, yaitu: Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, uang palsu mana ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; 22 Adami Chazawi,op.cit., hal

30 30 c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; Unsur subjektif: 4) Dengan sengaja. 2. Melarang orang yang waktu menerima mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank diketahuinya sebagai palsu, dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya; Unsur subjektif: 4) Dengan sengaja. 3. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu, yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu oleh dirinya sendiri dengan maksud untuk mengedakan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: a) menyimpan;

31 31 b) memasukkan ke Indonesia; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; Unsur subjektif: 4) Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu. 4. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang pada waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: a) menyimpan; b) memasukkan ke Indonesia; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara palsu (tidak asli) atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat menerimanya. Unsur subjektif:

32 32 4) Dengan maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. Bentuk pertama dan kedua memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur kesengajaan. Perbedaannya, pada bentuk pertama ialah tidak aslinya atau palsunya uang itu disebabkan perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan olehnya sendiri. Berarti dalam bentuk pertama, sebelum perbuatan menegdarkan dilakukan, terlebih dahulu pelaku melakukan perbuatan meniru atau memalsu, perbuatan mana sama dengan perbuatan dalam Pasal 244 KUHP, Sedangkan pada bentuk kedua, tidak aslinya atau palsunya uang itu bukan disebabkan oleh perbuatan pelaku, tetapi oleh orang lain selain pelaku. Orang lain ini tidak perlu diketahuinya, melainkan pada waktu menerima uang itu ia mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Pengetahuannya itu harus ditujukan pada tidak asli atau palsunya uang dan bukan pada si pembuat palsunya uang. 23 Kemudian bentuk ketiga dan bentuk keempat juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur subjektif. Perbedaannya sama dengan bentuk pertama, bahwa pada bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Berarti sebelum pelaku melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia terlebih dahulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu. Pada bentuk ketiga selain harus terbukti perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, juga harus terbukti 23 Ibid.

33 33 adanya perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan oleh orang yang sama. Sedangkan pada bentuk keempat, pelaku tidak melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu, yang melakukannya adalah orang lain, dan orang lain itu tidak perlu diketahui olehnya, melainkan pelaku pada waktu menerima uang itu mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Pengetahuan perihal tidak aslinya atau palsunya uang itu harus ada sebelum ia melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. Berarti dalam hal ini ada 2 (dua) sikap batin, yaitu ia mengetahui tentang tidak aslinya atau palsunya uang yang diterimanya, dan yang kedua sikap sengaja yang ditujukan pada perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu sebagai asli dan tidak dipalsu. Jika terjadi kejahatan bentuk pertama atau bentuk ketiga dengan sendirinya telah juga terjadi kejahatan Pasal 244.KUHP oleh karena bentuk pertama dan bentuk ketiga kejahatan Pasal 245 KUHP yang melarang perbuatan mengedarkan, menyimpan dan memasukkan ke Indonesia uang palsu (tidak asli atau dipalsu) hasil dari perbuatan meniru atau memalsu dalam kejahatan Pasal 244 KUHP yang artinya telah terjadi 2 (dua) kejahatan sekaligus, dipandang dari sudut ini tampaknya tidak adil menetapkan ancaman pidana yang sama (maksimum 15 tahun penjara) bagi Pasal 244 KUHP dan Pasal 245 KUHP Bukankah kejahatan Pasal 245 KUHP lebih berat dari kejahatan Pasal 244 KUHP, karena di dalam kejahatan Pasal 245 KUHP ada kejahatan Pasal 244 KUHP, dan tidak ada kejahatan Pasal 245KUHP di dalam kejahatan Pasal 244 KUHP.

34 34 Delik tersebut di atas yang mencantumkan syarat dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan dapat melemahkan penuntutan dalam hal uang palsu dimaksud belum diedarkan. Seyogianya dengan terpenuhinya unsur meniru atau memalsu uang, maka delik tersebut telah memenuhi unsur pemalsuan uang. Sedangkan unsur mengedarkan seyogianya merupakan unsur yang memberatkan. Dalam melihat kasus pemalsuan uang rupiah, hendaknya tidak terfokus pada timbulnya kerugian setelah uang palsu itu diedarkan, akan tetapi haruslah dilihat pula dari sisi lain, yaitu bahwa uang rupiah merupakan salah satu symbol kenegaraan, sehingga tindakan pemalsuan uang rupiah dapat pula dianggap sebagai kejahatan terhadap simbol negara. Oleh karena itu, meskipun belum diedarkannya uang palsu dimaksud seyogianya tidak menjadi alasan yang meringankan hukuman karena terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya. Seharusnya, yang menjadi fokus adalah dengan telah selesainya perbuatan memalsukan uang rupiah, maka kejahatan tersebut telah selesai dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, maka perbuatan mengedarkan uang palsu seharusnya adalah delik yang berdiri sendiri (terpisah dari perbuatan memalsukan uang), sehingga apabila pelaku pemalsuan uang juga sekaligus mengedarkan uang palsu tersebut, maka hukumannya harus lebih berat. Namun, saat ini Pasal 244 dan 245 KUHP tersebut sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di Indonesia, di mana perlu disesuaikan bahwa uang kertas yang dikeluarkan oleh Pemerintah sudah tidak ada lagi. Hanya ada uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank (dalam hal ini Bank Indonesia) yang sah sebagai alat pembayaran di Negara kita

35 35 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata uang larangan meniru uang diatur dalam pasal 24 dan ketentuan pidana meniru uang diatur dalam pasal 34, sedangkan larangan memalsu uang diatur dalam pasal 36 dan ketentuan pidana memalsukan uang diatur dalam pasal 36 yaitu : Pasal 34 (1) Setiap orang yang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuanpendidikan dan promosi dengan memberi kata spesimensebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidanadengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun danpidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratusjuta rupiah). (2) Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan pidana denda paling banyakrp ,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 36: (1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama

36 36 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah). (3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh miliar rupiah). (4) Setiap orang yang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh miliar rupiah). (5) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus miliar rupiah) Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang Menurut Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Undang-undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata uang. 25

37 37 Sebagaimana yang telah kita ketahui penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan uang telah diatur dalam pasal 244 KUHP, pasal 245 KUHP dan pasal 250 KUHP yang mana peraturan tersebut hukuman bagi pelaku tindak pidana pemalsuan uang itu paling lama 15 ( lima belas) tahun. Tetapi seharusnya hukuman terhadap pemalsu uang itu harus diperberat, sebab pemalsuan uang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana khusus karena berhubungan dengan masalah stabilitas dan keamanan Negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala bagian Pengelolaan dan Pengelolaan uang Bank Indonesia Difi Johansyah dalam acara workshop wartawan ekonomi dan perbankan di Hotel Aston, Bandung, selama ini hukuman yang dijatuhkan aparat penegak hukum masih melihat berapa besarnya jumlah bukti yang ditemukan padahal sekecil apapun tindak pemalsuan uang berdampak pada kredibilitas Negara yang bersangkutan sebagai pihak yang berwenang menerbitkan uang tersebut. 26 Kita tidak bisa menyangkal bahwa kejahatan bahwa kejahatan selalu ada dalam masyarakat, walaupun demikian kehadirannya tidak dikehendaki oleh masyarakat karena setiap kejahatan pada hakekatnya merugikan siapa saja yang menjadi korbannya, baik secara individu maupun secara kelompok yaitu masyarakat, Negara dan juga merupakan perintang penghambat pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dengan adanya kerugian baik dari pihak korban, masyarakat dan Negara akibat dari kejahatan, maka dengan demikian kejahatan harus dicegah dan ditanggulangi. Dimana hal ini sesuai dengan pendapat Paul 26

38 38 Moedikdo Moeliono yang mengatakan : kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugiakan, menjengkelkan dan tidak bisa dihilangkan sama sekali 27 Didalam hal penanggulangan kejahatan, hampir semua kriminolog mangatakan bahwa upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan dan mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agara dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik, jelasnya kajahatan tidak bisa dihilangkan sama sekali. Di Indonesia yang berwenang dan bertanggung jawab serta memimpin mayarakat dalam upaya penanggulangan kejahatan adalah intansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan lembaga Pemasyarakatan. Penanggulangan kejahatan yang banyak dipakai oleh Negaranegara yang telah maju merupakan azas umum dalam penaggulangan kejahatan, azas ini merupakan gabungan dari dua sistem, yaitu : 1. Cara moralistic : dilaksanakan dengan penyebaran luas ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan tang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu berbuat jahat. 2. Cara abolionistik : berusaha memberantas, sebab musababnya umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan maka usaha mencapai kesejateraan untuk 27 Soedjono D, Penanggulangan Kejahatan, Cetakan ke II, Alumni, Bandung, 1976, Hal.31.

39 39 mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan yang Abolionistik. 28 Sedangkan menurut Sutherland mengemukaan 2 (dua) metode usaha menanggulangi kejahatan yaitu : 1. Metode reformasi, suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis / kejahatan ulangan 2. Metode prevensi, cara ini di arahkan kepada usaha pencegahan terhadap kejahatan yang pertama kali dilakukan seseorang. 29 Dengan adanya dua pendapat tersebut diatas tentang cara penanggulangan kejahatan itu harus dilihat dari segi antara lain : 1. Jika suatu kejahatan sudah atau telah terjadi, maka bagaimana usaha menghadapi penjahat tersebut. 2. Dan apabila kejahatan itu belum terjadi, maka bagaimana upaya pencegahannya agar perbuatan itu tidak sampai terjadi Mengenal upaya-upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan uang meliputi : 1. Upaya penanggulangan preventif 2. Upaya penanggulangan represif 1 ) Upaya penangulangan preventif 28 Ibid, hal Ibid, hal. 56

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS FACHRIZAL AFANDI, S.Psi.,., SH., MH PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA A. Perkembangan dan Modus Operandi Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya Perkembangan pemalsuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Sejarah Hukum Tentang Tindak Pidana Membuat Dan Mengedarkan Benda Semacam Mata Uang Atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan dengan pertukaran antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM)

PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM) PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM) Oleh: Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia I. Pendahuluan Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 7 /PBI/2012 TENTANG PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 7 /PBI/2012 TENTANG PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 7 /PBI/2012 TENTANG PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI. Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI. Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK Penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana pemalsuan uang telah dilaksanakan

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk larangan bagi korporasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut pendapat Ta adi, Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal dengan Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015. TINDAK PINDANA PENYELUNDUPAN SEBAGAI DELIK EKONOMI 1 Oleh : Ryan Merianto 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015. TINDAK PINDANA PENYELUNDUPAN SEBAGAI DELIK EKONOMI 1 Oleh : Ryan Merianto 2 TINDAK PINDANA PENYELUNDUPAN SEBAGAI DELIK EKONOMI 1 Oleh : Ryan Merianto 2 Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan tentang penyeludupan itu dan bagaimana pemecahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi permasalahan, banyaknya kasus yang ditemukan oleh aparat penegak hukum merupakan suatu bukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar peranannya di dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Dengan. mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. besar peranannya di dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Dengan. mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara perlu adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan rakyat. Peran dan partisipasi rakyat sangat besar peranannya

Lebih terperinci

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada ketentuan peraturan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN PASAL 245 KUHP TENTANG MENGEDARKAN UANG PALSU KEPADA MASYARAKAT 1 Oleh: Recky V. Ilat 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana implikasi hukum terhadap peredaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015 PEMALSUAN UANG RUPIAH SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UU NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG 1 Oleh: Hendra Aringking 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Uang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu negara, uang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini banyak ditemukan tindak pidana atau kejahatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini banyak ditemukan tindak pidana atau kejahatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak ditemukan tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan senjata api,salah satu jenis kejahatan menggunakan senjata api yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/68; TLN NO.3699 Tentang: PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas sesuatu atau objek, di mana sesuatu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci