BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA"

Transkripsi

1 BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA A. Perkembangan dan Modus Operandi Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya Perkembangan pemalsuan surat-surat berharga di Indonesia, umumnya banyak dilakukan pada uang kartal dibandingkan dengan uang giral. Hal ini dimungkinkan karena peredaran uang kartal lebih luas daripada uang giral, dan sasarannya adalah masyarakat luas di perbatasan negara terutama di pulau-pulau perbatasan, di kota-kota kecil dan kota-kota besar daerah urban. Pemalsuan uang kertas dilakukan dengan cara peniruan (conterfeiting). Peniruan merupakan tindak pemalsuan dengan cara mereproduksi atau meniru suatu dokumen secara utuh. Pelaku berupaya agar hasil initasi mempunyai kemiripan dengan yang asli. Akan tetapi mengingat uang kertas mempunyai tingkat sekuritas yang tinggi dan mahal, maka biasanya uang hasil tiruan mempunyai kualitas jauh lebih rendah. Tindak peniruan ini bukanlah merupakan suatu fenomena khusus abad ke-20. Kejahatan tersebut selalu tumbuh setiap kurun waktu dan berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Sehingga fenomena peniruan uang ini harus ditangani secara serius. Tindakan meniru uang dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya seolah-olah uang tersebut asli merupakan suatu tindak kejahatan berat yang dapat dikenai hukuman pidana Eddi Wibowo, op. cit., hal

2 Korban pertama kejahatan pemalsuan uang ini adalah masyarakat dan pada gilirannya negara akan merasakan akibat dari kejahatan tersebut. Botasupal (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu) melaporkan tindak pemalsuan uang kertas rupiah dari tahun mencapai nilai Rp termasuk di dalamnya adalah hasil pemalsuan uang kertas rupiah di luar negeri sebesar Rp 9,4 miliar. Dari data tersebut di atas terungkap bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat tindak kejahatan pemalsuan uang sangatlah besar, dan khususnya bagi negara seperti Indonesia akan berpengaruh pada perekonomian negara. Dengan banyaknya peredaran uang kertas rupiah palsu pada tahun 1970-an yang tidak saja akan merusak perekonomian Indonesia dan dengan pertimbangan kemungkinan adanya tujuan politis, maka pada waktu itu Presiden selaku Mandataris MPR melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1971 menginstruksikan kepada Kepala Bakin antara lain untuk membentuk Botasupal. 25 Perkembangan Pemalsuan dengan Memanfaatkan Perkembangan Teknologi Perkembangan teknik-teknik pemalsuan uang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi grafika baik di dalam maupun di luar negeri. Pada dasarnya baik teknik-teknik pemalsuan yang sederhana sampai kepada yang menggunakan teknologi canggih, dapat dimanfaatkan dalam 25 Ibid., hal

3 upaya-upaya pemalsuan jenis peniruan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Pemalsuan jenis peniruan dapat digolongkan menjadi jenis-jenis kurang berbahaya dan berbahaya, yaitu: 26 a. Jenis yang kurang berbahaya Yaitu jenis pemalsuan uang dengan kualitas relatif kurang baik, masyarakat mudah membedakannya dengan yang asli, pembuatannya dilakukan satu-persatu (kuantitas produksinya rendah). 1. Lukisan Tangan Peniruan dilakukan dengan cara melukis dengan bahan antara lain cat air, hasil lukisan tampak buruk, tidak sempurna, tidak rapi dan mudah dideteksi. 2. Fotokopi hitam putih Pemalsuan dengan alat fotokopi hitam putih memberikan penampakan pada hasil cetakan antara lain garis-garis relief dan garis halus hilang terputus-putus atau tidak jelas. Penyempurnaan warna gambar dilakukan dengan menggunakan cat air. 3. Cetakan kasa / sablon Proses ini memerlukan alat fotografi untuk memisahkan warna-warna yang ada pada gambar aslinya. Sebagai acuan cetak digunakan kasa (screen) missal nilon, sebanyak jumlah warna yang diperlukan. b. Jenis berbahaya 26 Ibid., hal

4 Yaitu jenis pemalsuan dengan kualitas baik, mendekati sempurna dan sulit dibedakan dengan yang asli jika dideteksi tanpa menggunakan alat deteksi serta kuantitas produksinya tinggi. 1. Proses photo mechanic (fotografi) Reproduksi dengan cara pemisahan setiap komponen warna. Komponen-komponen warna tersebut kemudian dikombinasikan sesuai dengan urutan pencetakannya. 2. Proses colour separation Pemisahan warna dilakukan dengan filter pada kamera bagi masing-masing warna proses (cyan, magenta, yellow dan black). Penomoran dilakukan dengan menggunakan teknik cetak offset yang banyak digunakan percetakan non-sekuritas. 3. Proses multi-colour Pemisahan warna secara selektif dan pencetakannya sesuai dengan jumlah warna secara berurutan. Unsur pengaman yang ada pada uang kertas antara lain warna kertas, tanda air, benang pengaman, dan serat-serat berwarna dapat juga ditiru dengan proses ini. Reproduksi dengan proses multi-colour relatif memerlukan keahlian dan ketelitian dengan waktu persiapan yang lebih lama dibandingkan dengan colour separation. Uang kertas rupiah palsu hasil reproduksi dengan proses multi-colour secara teknis merupakan ancaman potensial menuju kualitas sangat berbahaya. 4. Fotokopi berwarna

5 Kemajuan teknologi fotokopi berwarna berkembang pesat. Dewasa ini mesin fotokopi berwarna mampu mereproduksi semua warna yang tampak. Yaitu empat warna dasar yang dikenal sebagai warna cyan, magenta, yellow dan black. Meskipun teknik ini memberikan hasil satu-satu, kapasitas rendah dan biaya mahal, namun mesin fotokopi berwarna mempunyai tingkat berbahaya yang sangat tinggi karena dapat dioperasikan dengan mudah oleh siapa saja secara diam-diam. Hal ini dapat dianggap lebih berbahaya dalam pengedarannya karena dilakukan bukan oleh sindikat yang dianggap lebih mudah dilacak oleh pihak yang berwajib. 27 Perkembangan Pemalsuan Uang di Indonesia dan di Kotamadya Medan Di Indonesia Ditinjau dari pelaku pemalsuan uang kertas rupiah, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri, dapat bersifat: a. Secara professional Uang kertas rupiah palsu yang dibuat secara professional oleh organisasi sindikat (organized crime), umumnya dapat dogolongkan pada jenis berbahaya, dimana semua gambar pada uang palsu merupakan hasil reproduksi dengan proses photo mechanic, dicetak offset dengan pemberian warnanya secara colour separation atau multi colour menggunakan tinta cetak biasa sampai penggunaan tinta-tinta sekuritas. Kertas yang digunakan umumnya mirip Ibid. 28 Ibid., hal

6 dengan asli kecuali pemalsuan benang pengaman dan tanda air yang kualitasnya sangat rendah. Kasus-kasus pemalsuan uang kertas rupiah eks-luar negeri dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Semua pemalsuan uang kertas rupiah eks-singapura dan Malaysia dilakukan melalui proses colour separation. 2. Semua pemalsuan uang kertas rupiah eks-hongkong dan Tawao (Filipina Selatan) dilakukan melalui proses multi colour. b. Secara amatir Uang kertas palsu yang dibuat secara amatir baik oleh suatu kelompok maupun perorangan ini pada umumnya dapat digolongkan jenis kurang berbahaya sampai dengan jenis berbahaya biasanya dilakukan di dalam negeri. Modus operandi pemalsuannya, yaitu: 1. Digambar atau dilukis satu-persatu secara sederhana atau difotokopi dan kemudian diberi warna 2. Dicetak dengan alat cetak sederhana (handpress, sablon) 3. Pemindahan warna (colour transfer) c. Kualitas uang kertas palsu lainnya Dari hasil pemeriksaan terhadap uang kertas palsu yang pernah diperiksa di Laboratorium Perum Peruri, poses pemalsuan berkisar dari cara yang paling

7 sederhana yaitu lukisan tangan, colour transfer, dan cetakan kombinasi antara offset dengan etterpress-thermography. Mutu hasil pemalsuan bervariasi dari kurang baik pada tingkat pemalsuan kurang berbahaya sampai sangat baik bagi uang palsu dengan tingkat pemalsuan yang berbahaya. Kelemahan umum yang teramati pada uang kertas rupiah palsu terdapat pada ciri-ciri gambar, ciri-ciri kertas dan ciri-ciri tinta cetak. 29 a. Gambar Ciri-ciri gambar utama dari hasil cetak intaglio memiliki ketajaman gambar dengan gradasi cetakan blok sampai dengan garis-garis halus (dengan kaca pembesar), dengan peralihan warna yang sempurna. Pada uang palsu ciri-ciri ini tidak dapat ditiru dengan sempurna. b. Kertas Sesuai dengan tujuan pemalsu yang mencari keuntungan, maka pada umumnya kertas yang digunakan adalah kertas yang terdapat di pasaran, sehingga mutunya rendah dan memedar di bawah sinar ultra-violet, hal tersebut berbeda dengan kertas uang asli yang tidak memedar bila dikenai sinar ultra-violet. c. Warna tinta cetak Warna tinta merupakan karakteristik dalam mengidentifikasi uang-uang palsu, maka dalam pemeriksaan memerlukan pembanding, dengan toleransi 29 Ibid.

8 akibat perubahan warna baik dalam proses produksi ataupun akibat perubahan dalam peredaran. Ada beberapa hal mengenai kejahatan pemalsuan mata uang ini, yaitu sebagai berikut: 1. Pelaku Pembuat : a. Pencetus ide (aktor) b. Penyandang dana c. Ahli cetak d. Tempat penyimpan hasil cetakan e. Penyedia bahan baku (kertas, plastik, tinta, alat cetak dan sebagainya) Pengedar : a. Agen pengedar b. Pengedar biasa Hubungan antara pelaku pembuat atau pengedar selalu terputus (sistem sel) atau bisa juga agen pengedar termasuk kelompok pembuat. 2. Korban Individu : a. Masyarakat/rakyat b. Pedagang c. Toko-toko d. Pasar

9 Lembaga : a. Lembaga pemerintah (bank-bank negara) b. Instansi pemerintah c. Lembaga swasta (bank-bank swasta) d. Money Changer e. Perusahaan-perusahaan swasta 3. Motivasi 1. Kepentingan pribadi atau kelompok (mencari keuntungan) 2. Kepentingan tertentu (politik/ekonomi) a. Untuk mengganggu stabilitas ekonomi b. Menurunkan kepercayaan terhadap mata uang yang sah 3. Subversi 4. Modus Pembuat : a. Sablon b. Membelah dan memindah warna (campur warna) c. Melukis d. Photocopy e. Cetak offset f. Cetak printer Pengedar : a. Menyisipkan di antara tumpukan uang asli b. Belanja pada malam hari dan waktunya singkat

10 c. Menukar dengan uang asli 30 Di Kotamadya Medan 1. Data Jumlah Uang Palsu yang Ditemukan di Bank Indonesia Cabang Medan Tahun : (Data Terlampir) Pada tahun cenderung mengalami penurunan, sedangkan kembali meningkat sejak tahun Tahun cendeung mengalami peningkatan, terutama 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun Bank Indonesia Medan menemukan jumlah uang palsu yang sangat besar yaitu tahun 2007 total Rp ,- dan tahun 2008 total Rp ,- Dan dari tahun ke tahun didominasi oleh pecahan Rp ,- (seratus ribu upiah) dan Rp ,- (lima puluh ribu rupiah) yang paling banyak dipalsukan, namun jangan remeh dengan pecahan uang kertas rupiah yang nilainya kecil karena uang Rp 1000,- pun ada yang dipalsu. Terhadap kasus uang palsu yang ditemukan oleh Bank Indonesia Medan oleh pihak Bank Indonesia dilaporkan kepada pihak Kepolisian (dalam hal ini kepada Laboratorium Forensik Cabang Medan) untuk diperiksa, sehingga dapat diusut kasus penyelesaiannya ileh pihak Kepolisian. 2. Data Jumlah Kasus dan Barang Bukti yang Diperiksa di Laboratorium Forensik Cabang Medan Tahun : (Data Terlampir) 30 Suryanbodo Asmoro, Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang (makalah), hal. 2-6.

11 Dari data 4 (empat) tahun terakhir dilihat bahwa kasus uang palsu yang berasal dari 5 (lima) provinsi yaitu Aceh, Medan, Batam, Riau, dan Kepri jumlah kasus yang diperiksa barang bukti uang kertas palsunya di Laboratorium Forensik Cabang Medan relatif sedikit. Tahun 2005 terdapat 22 (dua puluh dua) kasus dengan barang bukti 1065 lembar, tahun 2006 terjadi penurunan yaitu 15 (lima belas) kasus dengan barang bukti 412 lembar, tahun 2007 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu terdapat 35 (tiga puluh lima kasus) dengan barang bukti 2001 lembar. Akan tetapi pada tahun 2008 mengalami penurunan yaitu hanya 20 (dua puluh) kasus dengan barang bukti 651 lembar, padahal berdasarkan data jumlah uang palsu yang ditemukan di Bank Indonesia Medan sangat banyak. Hal ini dikarenakan sangat sulit menemukan pelaku sesungguhnya yang membuat dan mengedarkan uang palsu tersebut. 3. Data Jumlah Kasus Tersangka yang Terlibat dalam Perkara Memalsukan dan Mengedarkan Uang Palsu yang Ditangani di Poltabes MS Tahun : (Data Terlampir) Pada tahun cenderung mengalami peningkatan, dimana tahun 2001 ditemukan uang kertas rupiah palsu sejumlah Rp ,- (enam juta dua ratus lima puluh ribu rupiah), tahun 2002 meningkat jauh yaitu Rp ,- (tiga puluh empat juta empat ratus dua puluh lima ribu rupiah), tahun 2003 sejumlah Rp ,- (empat puluh satu juta enam puluh ribu rupiah), tahun 2004 mengalami penurunan yaitu Rp ,- (sembilan

12 belas juta dua ratus delapan puluh ribu rupiah), dan tahun 2005 kembali meningkat sejumlah Rp ,- (empat puluh satu juta rupiah). Namun sejak tahun 2006 pihak Poltabes MS hanya menangani 1 (satu) kasus uang palsu sejumlah Rp ,- (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang sangat sedikit dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Data kasus uang palsu yang ditangani Poltabes MS pada tahun 2007 pun hanya 2 (dua) kasus dengan barang bukti sejumlah Rp ,- (tujuh puluh ribu rupiah) yang terlalu kecil untuk dibandingkan dengan jumlah uang palsu pada tahun-tahun sebelumnya. 4. Data Perkara Menegenai Uang Palsu yang Diperiksa dan Diputus di Pengadilan Negeri Medan Tahun : (Data Terlampir) Perkara yang masuk dan telah diputus oleh PN Medan pada tahun 2006 hanya 3 (tiga) perkara, tahun 2007 mengalami peningkatan yaitu ada 8 (delapan) perkara, dan tahun 2008 menurun dengan hanya ada 3 (tiga) perkara. Data ini cenderung sedikit dan sangat timpang apabila dilihat dari jumlah uang palsu yang begitu banyak yang ditemukan di Bank Indonesia Medan. Hal ini dikarenakan pelaku sebenarnya sangat sulit ditemukan karena uang palsu telah diedarkan dari tangan ke tangan tanpa diketahui oleh korbannya serta kurangnya alat bukti sehingga sulit bagi pihak Kepolisian (dalam hal ini Poltabes MS) untuk melakukan penyelidikan bahkan penyidikan. Oleh karenanya jumlah kasus yang di periksa di pengadilan sangat sedikit. Hal inilah yang perlu dikaji lebih dalam lagi mengenai penegakan hukumnya.

13 B. Kasus Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya serta Dampaknya Bagi Indonesia Mengenai kejahatan pemalsuan mata uang ini dapat kita lihat dalam contoh kasus sebagai berikut. Gunawan Tanumulia alias Alex merupakan nama salah satu tersangka pelaku pemalsuan uang di Bandung. Kelompok Gunawan Tanumulia cs termasuk kelompok baru. Namun, jaringan kelompok ini sungguh luas. Uang palsu kreasi Gunawan ini memang cukup sempurna. Kapasitas produksinya pun besar. Hasilnya hampir sempurna dan ketika dideteksi, uang palsu ini lolos. Polda Jabar juga telah melaporkan kasus penggandaan uang palsu ini kepada Bank Indonesia (BI) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Menurut Edi Darnadi, saat dilakukan pendeteksian oleh tim dari BI dan BIN, uang palsu tersebut 95 persen mendekati sempurna. Kasus pemalsuan uang yang dilakukan oleh Gunawan cs, tergolong sangat rapi dan prosfesional. Hal ini terlihat bahwa uang palsu tersebut sekitar 95 % mendekati sempurna. Perbedaannya terletak pada ketebalan kertasnya saja. Bila uang tersebut jatuh pada orang awam, kemungkinan besar orang tersebut tidak tahu bahwa uang tersebut merupakan uang palsu. Hal ini tentu saja merugikan orang tersebut. Tentu saja hal tersebut akan merugikan negara. Salah satu dampak serius yang timbul yaitu rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap uang rupiah. Dampak tersebut akan mempengaruhi secara langsung bagi masyarakat kecil selaku pengguna terbesar uang tunai sehingga dapat merusak perekonomian di Indonesia. Selain itu, pemalsuan uang dapat mendorong munculnya tindakan

14 kejahatan yang lainnya. Seperti halnya tindak pidana pencucian uang. Kegiatan ini dilakukan untuk menciptakan citra yang baik terhadap uang palsu tersebut. Tindakan negatif yang muncul lainnya seperti pembiayaan untuk kegiatan terorisme dan politik uang. Dalam hal ini, pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah peredaran uang palsu yang semakin meningkat. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah mempersempit ruang gerak uang palsu. Melalui Bank Indonesia (BI) selaku pemegang otoritas, menerbitkan uang pecahan baru Rp dan Rp Kebijakan tersebut memberikan dampak positif. Dari tahun ke tahun, jumlah uang palsu yang ditemukan semakin berkurang. Pada tahun 2006, jumlah uang palsu yang ditemukan sebesar lembar uang palsu, dan tahun 2007 ada lembar uang palsu. Sedangkan pada bulan Januari sampai dengan bulan Oktober tahun 2008, uang palsu yang ditemukan hanya lembar uang palsu. Tetapi tentu saja masih ada uang palsu yang beredar di masyarakat. Uang palsu yang masih beredar di masyarakat cukup sulit untuk diberantas. Beberapa upaya telah dilakukan pihak yang berwajib seperti dengan melakukan pengembangan kasus. Tetapi kesadaran masyarakat akan uang palsu masih kurang. Ketika mereka mendapatkan selembar uang dan mulai merasakan curiga, mereka tidak segera melaporkan kecurigaan mereka kepada pihak yang berwajib. Tanpa segan-segan, mereka justru membelanjakan uang palsu tersebut untuk kepentingan mereka. Padahal bila dilaporkan kepada pihak yang berwajib, peredaran uang palsu bisa segera di tekan. Umumnya mereka

15 segan untuk melapor, bahkan berpikir nakal untuk membelanjakannya. Tentu saja sikap masyarakat yang seperti ini harus diwaspadai dan diperlukan penyuluhan untuk memberikan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif uang palsu. Peredaran uang palsu di masyarakat tidak hanya didorong oleh perilaku masyarakat awam saja, namun juga terkadang perkembangan teknologi sering menjadi kambing hitam. Kita tidak pernah menyangka bahwa perkembangan teknologi selain dapat memanjakan kehidupan masyarakat, dapat juga digunakan untuk mendukung kegiatan kriminalitas seperti pemalsuan uang. Berdasarkan pengakuan seorang tersangka pemalsuan uang, ia dapat memproduksi Rp ,- (tiga ratus juta rupiah) dalam sehari. Peralatan yang dibutuhkannya juga tergolong sederhana, yaitu sebuah printer berwarna. Printer berwarna tersebut dapat diperoleh dengan mudah disekitar masyarakat dengan harga yang sangat terjangkau. Tetapi, bila kita mencermati memang ada sedikit perbedaan antara uang palsu dengan uang yang asli. Bagi mata yang terlatih, akan sangat mudah untuk membedakan mana yang palsu dan mana yang bukan. Tetapi bagaimana dengan masyarakat yang ada disekitar pedesaan yang mereka masih awam dan kurang bisa membedakan antara uang palsu dan yang asli. Tentu saja hal ini sangat merugikan mereka. Sudah jatuh miskin, masih dirugikan dengan adanya uang palsu tersebut. Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan printer berwarna bagi tindak pidana pemalsuan uang. Salah satunya dengan mencantumkan stiker hologram pada printer berwarna. Upaya tersebut cukup

16 memberikan dampak positif bagi perkembangan kasus dan penekanan tindak pidana pemalsuan uang. Pada tahun 2005 terdapat 85 kasus, kemudian turun pada tahun 2006 dengan 78 kasus. Namun, upaya tersebut menuai protes dari kalangan produsen printer. Hal tersebut telah memberatkan produsen karena secara tidak langsung meningkatkan biaya produksi printer. Mereka meminta peninjauan ulang mengenai efektivitas pengadaan stiker tersebut pada penurunan kasus pemalsuan uang. Pada dasarnya, pemalsuan uang sama dengan penipuan uang. Pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan tertua dan membutuhkan perencanaan terorganisasi yang sangat rapi. Kejahatan ini dapat merugikan kepentingan perekonomian nasional, merugikan negara dan mencoreng citra atau nama Indonesia oleh karena itu pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Pada umumnya, kejahatan pemalsuan uang dilakukan oleh banyak orang. Sehingga dalam penentuan pertanggungjawaban terhadap pelakunya perlu diperhatikan mengenai rumusan Pasal 55 KUHP mengenai penyertaan dan pembantuan yang diatur pada Pasal 56 jo Pasal 57 KUHP. Namun tidak jarang pula kejahatan pemalsuan uang dilakukan oleh residivis. Sehingga perlu diperhatikan pula rumusan Pasal 486 KUHP. Namun, apabila terhadap pelaku belum pernah mendapatkan penjatuhan hukuman terhadap perbuatannya tersebut maka hal ini adalah termasuk gabungan perbuatan.

17 Kondisi perekonomian Indonesia yang buruk turut mendorong munculnya tindakan-tindakan kejahatan, salah satunya pemalsuan uang. Pemalsuan uang terjadi di Indonesia tentu saja menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap uang, terutama rupiah. Dampak yang negatif bagi masyarakat, terutama bagi kalangan bawah yang merupakan pengguna terbesar uang tunai. Masyarakat kalangan bawah yang umumnya hidup dalam kemiskinan harus bertambah menderita akibat tertipu dengan adanya uang palsu. Hal ini tentu akan membuat mereka semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Selain itu, uang palsu juga bisa mendorong tindakan kriminal lain seperti pencucian uang, pembiayaan kegiatan terorisme dan politik uang. Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana pemalsuan uang. Antara lain kemiskinan dan pengangguran. Masyarakat yang miskin dan menganggur pada umumnya mudah tergoda bila mendapat tawaran yang menggiurkan. Pemalsuan uang tentu saja merupakan salah satu hal yang menggiurkan karena pelaku kejahatan ini dapat memperkaya diri mereka dengan kegiatan yang ilegal. Terlebih lagi apabila hidup mereka berada di bawah tekanan ekonomi yang semakin mencekik. Terkadang kegiatan pidana ini menjadi salah satu alternatif untuk lepas dari tekanan perekonomian.

18 C. Ketentuan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya Kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas, yang kadang disingkat dengan pemalsuan uang, adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, kepercayaan terhadap uang harus dijamin. Kejahatan ini diadakan berhubungan untuk melindungi masyarakat terhadap uang sebagai alat pembayaran tersebut. Dalam sistem hukum pidana kita, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah berupa kejahatan berat. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan yang mendukung pernyataan itu, yakni: Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249). 2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 4 sub 2 KUHP). Mengadakan kejahatan-kejahatan yang oleh Undang Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Rajawali Pers, Bandung, 2005, hlm.

19 undang ditentukan berlaku asas universaliteit bukan saja berhubungan terhadap kepentingan hukum masyarakat Indonesia dan kepentingan hukum negara RI, juga bagi kepentingan hukum masyarakat internasional. Sebagai contoh hukum pidana Indonesia dapat digunakan untuk menghukum seorang warga negara asing yang memalsukan uang negaranya yang kemudian melarikan diri ke Indonesia, di mana negara tersebut tidak mempunyai perjanjian mengenai ekstradisi dengan Indonesia. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal itu ada 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, Pada pembahasan skripsi ini akan dibahas mengenai Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP saja. A. Meniru dan Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP) Pasal 244 merumuskan sebagai berikut: Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedakan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Apabila dirinci rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: a) meniru; b) memalsu; Ibid. 33 Ibid., hal

20 2) Objeknya:a) mata uang; b) uang kertas negara; c) uang kertas bank; b. Unsur subjektif yaitu dengan maksud untuk: 1) mengedarkan; atau 2) menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu. A.1. Perbuatan Meniru Perbuatan meniru (namaken) adalah membuat sesuatu yang menyerupai atau seperti yang asli dari sesuatu itu. 34 Dalam kejahatan ini sesuatu yang ditiru itu adalah mata uang dan uang kertas, meniru diartikan sebagai membuat mata uang (uang logam) atau uang kertas yang menyerupai atau mirip dengan mata uang atau uang kertas yang asli. Untuk adanya perbuatan ini disyaratkan harus terbukti ada yang asli atau yang ditiru. Membuat mata uang atau uang kertas yang tidak ada yang asli atau yang ditiru, tidak termasuk dalam pengertian meniru. Misalnya membuat lembaran uang kertas dengan nominal Rp ,00. Walaupun pada pembuatnya terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya, perbuatan membuat uang itu tidak termasuk perbuatan yang dilarang oleh ketentuan ini, karena perbuatan itu bukan perbuatan meniru. Dalam perbuatan meniru terkandung pengertian bahwa orang yang meniru tersebut tidak berhak (melawan hukum) untuk melakukan perbuatan 34 Ibid, hlm.23.

21 membuat mata uang atau uang kertas. Oleh sebab itu juga termasuk pengertian meniru dalam hal seperti: a) Seorang mencuri peralatan pembuat uang dan bahan-bahan pembuat uang. Dengan peralatan dan bahan itu ia membuat uang. Karena dibuat dengan bahan dan dengan peralatan yang sama, maka uang yang dibuatnya ini adalah sama dan tidak berbeda dengan uang asli. Walaupun demikian uang yang dibuatnya ini tetap sebagai uang palsu (tidak asli). Membuat uang dengan cara demikian adalah termasuk perbuatan meniru. b) Orang/badan yang menurut peraturan berhak membuat atau mencetak uang, namun ia membuat uang melebihi dari jumlah yang diperintahkan/menurut ketentuan. Maka membuat/mencetak uang lebih dari ketentuan tadi adalah berupa perbuatan meniru. Walaupun uang yang dihasilkannya secara fisik adalah sama persis seperti uang aslinya, tetap juga termasuk pengertian uang palsu (tidak asli). Dipidana atau tidaknya bagi orang ini, bergantung sepenuhnya pada bagaimana sikap batinnya. Bila dalam dirinya ada kesengajaan untuk membuat uang melebihi yang ditentukan yang menjadi wewenangnya, dan adanya masksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya, sudah termasuk larangan dalam pasal ini. Sebaliknya bila ia dalam membuat uang melebihi dari yang ditentukan itu karena lalai atau lupa belaka, dan tentunya tidak terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya seolah-olah asli dan tidak dipalsu, maka membuat uang melebihi dari ketentuan tadi tidak termasuk larangan menurut ketentuan Pasal 244.

22 Dalam pengertian perbuatan meniru, tidak mempedulikan tentang nilai bahan yang digunakan dalam membuat uang itu apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari bahan pada uang yang asli. Dengan kata lain apabila uang hasil dari perbuatan meniru nilai bahannya lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai uang kertas yang asli, tetap saja perbuatan sepeti itu dipidana sebagai perbuatan meniru, jika dalam meniru itu terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah uang kertas asli dan tidak dipalsu. A.2. Perbuatan Memalsu Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum perbuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada uang asli ini dilakukan perbuatan menembah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi. Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana. 35 Kejahatan Pasal 244 dirumuskan secara formil, maksudnya ialah melarang melakukan perbuatan tertentu, dan tidak secara tegas menimbulkan 35 Ibid, hlm.25.

23 akibat tertentu. Sebagai tindak pidana formil, terwujudnya atau selesainya kejahatan ini bergantung pada selesainya perbuatan meniru atau memalsu. Untuk dapat selesai atau terwujudnya perbuatan meniru atau memalsu diperlukan suatu syarat yakni hasil atau akibat dari perbuatan. Perbuatan meniru menghasilkan mata uang atau uang kertas yang palsu atau tidak asli, sedang dari perbuatan memalsu menghasilkan mata uang atau uang kertas yang dipalsu. A.3. Mata Uang dan Uang Kertas Uang adalah suatu benda yang wujudnya sedemikian rupa yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah dan berlaku pada saat peredarannya. Sah dalam arti yang menurut peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Lembaga yang berwenang ini adalah negara atau badan yang ditunjuk oleh negara seperti bank. Uang terdiri dari mata uang dan uang kertas. Mata uang berupa uang yang terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga perak dan lain sebagainya. Uang kertas adalah uang yang terbuat dari lembaran kertas. Uang kertas dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni uang kertas negara dan uang kertas bank. Uang kertas negara adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dan uang kertas bank adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu bank yang ditunjuk pemerintah. Di Indonesia bank yang ditunjuk oleh pemerintah ini adalah Bank Indonesia. A.4. Maksud untuk: a) Mengedarkan dan b) Menyuruh Mengedarkan Mata Uang atau Uang Kertas Itu sebagai Asli dan Tidak Dipalsu

24 Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara maupun uang kertas bank sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUHP adalah unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerfk) berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan perbuatan meniru dan memalsu uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang, didorong oleh suatu kehendak (maksud) yang ditujukan untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu (uang kertas yang tidak asli) atau uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang yang dipalsu tersebut sebagai uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang asli dan tidak dipalsu. Memperhatikan unsur kesalahan dalam rumusan Pasal 244 KUHP, dapat disimpulkan bahwa: a) di samping pelaku menghendaki untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan; dan b) juga ia harus mengetahui atau mata uang atau uang kertas itu adalah tidak asli atau dipalsu. Tidak asli atau palsunya itu diketahuinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri berupa meniru atau memalsu. Kesadaran pelaku juga harus ditujukan pada palsunya uang, sedangkan penyebab palsunya itu disadarinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri, maka sikap batin pelaku terhadap perbuatan meniru atau memalsu yang menghasilkan tidak asli atau palsunya mata uang atau uang kertas itu adalah sikap batin sebagaimana yang dimaksud oleh unsur kesengajaan yang menurut MvT sebagai willens en wetens. Oleh karena itu, walaupun secara formal tidak

25 dicantumkan unsur kesengajaan terhadap perbuatan meniru atau memalsu, secara tersirat unsur kesengajaan terhadap kedua perbuatan materil itu sesungguhnya ada. Kesengajaan terhadap kedua perbuatan itu adalah berupa unsur yang terselubung. Oleh karena unsur kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan meniru atau memalsu tidak dicantumkan dalam rumusan, kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan itu tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan bahwa telah terjadinya perbuatan, maka dianggap unsur kesengajaan itu telah terbukti pula. Berdasarkan pada pandangan ini, hal yang tidak mungkin terjadi pada pemalsuan uang yang dilakukan oleh sebab atau kelalaian (culpa). 36 Perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu tidak perlu telah terwujud. Perihal mengedarkan atau menyuruh mengedarkan adalah berupa apa yang dituju oleh maksud pelaku belaka, berupa unsur subjektif. Selesainya kejahatan ditentukan oleh perbuatan meniru atau memalsu, bukan pada telah terjadinya perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan. Uang palsu yang telah diedarkan tidak termasuk kejahatan Pasal 244 KUHP tetapi masuk dalam kejahatan Pasal 245 KUHP. B. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP) Pasal 245 KUHP merumuskan sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan 36 Ibid, hlm.28.

26 atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Dalam rumusan Pasal 245 tersebut di atas, ada 4 (empat) bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu, yaitu: Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, uang palsu mana ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; Unsur subjektif: 4) Dengan sengaja. 2. Melarang orang yang waktu menerima mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank diketahuinya sebagai palsu, dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu. 37 Ibid., hal

27 Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya; Unsur subjektif: 4) Dengan sengaja. 3. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu, yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu oleh dirinya sendiri dengan maksud untuk mengedakan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: a) menyimpan; b) memasukkan ke Indonesia; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; Unsur subjektif: 4) Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu.

28 4. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang pada waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: a) menyimpan; b) memasukkan ke Indonesia; 2) Objeknya: a) mata uang tidak asli atau dipalsu; b) uang kertas negara palsu (tidak asli) atau dipalsu; c) uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat menerimanya. Unsur subjektif: 4) Dengan maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. Bentuk pertama dan kedua memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur kesengajaan. Perbedaannya, pada bentuk pertama ialah tidak aslinya atau palsunya uang itu disebabkan perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan olehnya sendiri. Berarti dalam bentuk pertama, sebelum perbuatan menegdarkan dilakukan, terlebih dahulu pelaku melakukan perbuatan meniru atau memalsu, perbuatan mana sama dengan perbuatan dalam Pasal 244. Sedangkan pada

29 bentuk kedua, tidak aslinya atau palsunya uang itu bukan disebabkan oleh perbuatan pelaku, tetapi oleh orang lain selain pelaku. Orang lain ini tidak perlu diketahuinya, melainkan pada waktu menerima uang itu ia mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Pengetahuannya itu harus ditujukan pada tidak asli atau palsunya uang dan bukan pada si pembuat palsunya uang. 38 Kemudian bentuk ketiga dan bentuk keempat juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur subjektif. Perbedaannya sama dengan bentuk pertama, bahwa pada bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Berarti sebelum pelaku melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia terlebih dahulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu. Pada bentuk ketiga selain harus terbukti perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, juga harus terbukti adanya perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan oleh orang yang sama. Sedangkan pada bentuk keempat, pelaku tidak melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu, yang melakukannya adalah orang lain, dan orang lain itu tidak perlu diketahui olehnya, melainkan pelaku pada waktu menerima uang itu mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Pengetahuan perihal tidak aslinya atau palsunya uang itu harus ada sebelum ia melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. Berarti dalam hal ini ada 2 (dua) sikap batin, yaitu ia mengetahui tentang tidak aslinya atau 38 Ibid.

30 palsunya uang yang diterimanya, dan yang kedua sikap sengaja yang ditujukan pada perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu sebagai asli dan tidak dipalsu. Jika terjadi kejahatan bentuk pertama atau bentuk ketiga dengan sendirinya telah juga terjadi kejahatan Pasal 244. oleh karena bentuk pertama dan bentuk ketiga kejahatan Pasal 245 yang melarang perbuatan mengedarkan, menyimpan dan memasukkan ke Indonesia uang palsu (tidak asli atau dipalsu) hasil dari perbuatan meniru atau memalsu dalam kejahatan Pasal 244 yang artinya telah terjadi 2 (dua) kejahatan sekaligus, dipandang dari sudut ini tampaknya tidak adil menetapkan ancaman pidana yang sama (maksimum 15 tahun penjara) bagi Pasal 244 dan Pasal 245. Bukankah kejahatan Pasal 245 lebih berat dari kejahatan Pasal 244, karena di dalam kejahatan Pasal 245 ada kejahatan Pasal 244, dan tidak ada kejahatan Pasal 245 di dalam kejahatan Pasal 244. Delik tersebut di atas yang mencantumkan syarat dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan dapat melemahkan penuntutan dalam hal uang palsu dimaksud belum diedarkan. Seyogianya dengan terpenuhinya unsur meniru atau memalsu uang, maka delik tersebut telah memenuhi unsur pemalsuan uang. Sedangkan unsur mengedarkan seyogianya merupakan unsur yang memberatkan. Dalam melihat kasus pemalsuan uang rupiah, hendaknya tidak terfokus pada timbulnya kerugian setelah uang palsu itu diedarkan, akan tetapi haruslah dilihat pula dari sisi lain, yaitu bahwa uang rupiah merupakan salah satu simbol

31 kenegaraan, sehingga tindakan pemalsuan uang rupiah dapat pula dianggap sebagai kejahatan terhadap simbol negara. Oleh karena itu, meskipun belum diedarkannya uang palsu dimaksud seyogianya tidak menjadi alasan yang meringankan hukuman karena terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya. Seharusnya, yang menjadi fokus adalah dengan telah selesainya perbuatan memalsukan uang rupiah, maka kejahatan tersebut telah selesai dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, maka perbuatan mengedarkan uang palsu seharusnya adalah delik yang berdiri sendiri (terpisah dari perbuatan memalsukan uang), sehingga apabila pelaku pemalsuan uang juga sekaligus mengedarkan uang palsu tersebut, maka hukumannya harus lebih berat. Melihat dampak dari kejahatan terhadap mata uang, maka dalam Undang Undang tentang Mata Uang kelak, perlu dicantumkan ancaman pidana dan denda minimal agar tujuan pemidanaan lebih efektif yaitu untuk menimbulkan efek jera dapat dicapai. 39 Namun, saat ini Pasal 244 dan 245 KUHP tersebut sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di Indonesia, di mana perlu disesuaikan bahwa uang kertas yang dikeluarkan oleh Pemerintah sudah tidak ada lagi. Hanya ada uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank (dalam hal ini Bank Indonesia) yang sah sebagai alat pembayaran di Negara kita (sebagaimana kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk mengeluarkan dan 39 Direktorat Hukum Bank Indonesia, Perlunya Paradigma Baru dalam Pemberantasan Pemalsuan Uang dan Pengedaran Uang Palsu, makalah dalam Seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara pada tanggal 14 Januari 2006 di Biro Rektor USU Medan, hal. 6-7.

32 mengedarkan uang kertas rupiah yang berlaku saat ini dalam Pasal 2 Undangundang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia). Dari berbagai kasus kejahatan pemalsuan mata uang rupiah, hukuman pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku saat ini relatif rendah, padahal patut untuk dipahami bahwa kejahatan pemalsuan uang nampaknya sebagian besar merupakan: 40 a) Kejahatan yang sifatnya tidak berdiri sendiri namun merupakan kejahatan yang terorganisir dengan baik, bahkan sangat mungkin merupakan kejahatan yang bersifat transnasional; b) Pelaku kejahatan pemalsuan mata uang rupiah pada umumnya dilakukan oleh para residivis. Hal ini kemungkinan dikarenakan hukuman yang dijatuhkan bagi para pelaku sangat ringan; c) Pemalsuan terhadap mata uang memerlukan suatu proses yang cukup rumit, oleh karena itu biasanya pelaku kejahatan pemalsuan uang tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian khusus. Oleh karena itu, kejahatan pemalsuan mata uang rupiah perlu diberi hukuman yang berat (setimpal) dengan mempertimbangkan lamanya jangka waktu beredarnya suatu emisi uang rupiah. Hukuman bagi pemalsu uang dikaitkan dengan jangka waktu edar suatu emisi uang agar para pemalsu tersebut setelah menjalani hukuman tersebut tidak dapat melakukan pemalsuan lagi terhadap uang rupiah dengan emisi yang sama. Selain itu, pidana penjara 40 Ibid, hal. 7-8.

33 saja tidak cukup untuk menimbulkan efek jera, oleh karena itu terhadap para pemalsu uang perlu ditambahkan hukuman lain yaitu berupa penggantian kerugian materil yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut. 41 Mengenai perlunya penanganan hukum yang tegas bagi para pelaku kejahatan pemalsuan uang (termasuk para pengedarnya), dalam sambutan beliau di Karawang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas menginstruksikan kepada kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk memproses tindak pidana pemalsuan uang dan pengedarannya dengan sungguhsungguh dalam menjatuhkan sanksi yang tegas dan tepat. Karen presidin memiliki perhatian yang sangat besar terhadap kejahatan yang sangat merugikan perekonomian negara. Selengkapnya dapat dikutp pernyataan presiden sebagai berikut: Oleh karena itulah, merespons terjadinya kejahatan pembuatan uang palsu, saya minta kepada pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk memprosesnya dengan sungguh-sungguh, berikan sanksi yang tegas dan tepat, karena sangat, sangat merugikan perekonomian negara kita Ibid, hal Ibid.

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG. tata dalam masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Moeljatno

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG. tata dalam masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Moeljatno BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG A. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Pemalsuan Uang 1. Tindak Pidana Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh

Lebih terperinci

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS FACHRIZAL AFANDI, S.Psi.,., SH., MH PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU. dihindari karena uang memiliki fungsi yang strategis di dalam

BAB II TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU. dihindari karena uang memiliki fungsi yang strategis di dalam BAB II TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU A. Pengertian Uang Palsu. Keberadaan uang palsu merupakan suatu hal yang sulit untuk dihindari karena uang memiliki fungsi yang strategis di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Didalam suatu usaha untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk membahagiakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas sesuatu atau objek, di mana sesuatu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan dengan pertukaran antara

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI. Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI. Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK Penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana pemalsuan uang telah dilaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM)

PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM) PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM) Oleh: Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia I. Pendahuluan Fungsi

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Sejarah Hukum Tentang Tindak Pidana Membuat Dan Mengedarkan Benda Semacam Mata Uang Atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1 STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1 PENGANTAR Kasus tindak pidana yang dituduhkan dan kemudian didakwakan kepada seseorang dalam jabatan notaris telah banyak terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk larangan bagi korporasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah

TINJAUAN PUSTAKA. atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan Masyarakat dan sebagaian Masyarakat merasa dirugikan oleh pihak yang berbuat kejahatan tersebut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN. (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan narkoba memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial ekonomi, politik, sosial,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015 PEMALSUAN UANG RUPIAH SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UU NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG 1 Oleh: Hendra Aringking 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 108, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

1 of 6 3/17/2011 3:59 PM

1 of 6 3/17/2011 3:59 PM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2009 TENTANG POS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam Terjadinya Kerugian Nasabah Akibat Transfer Dana Secara Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas Sms Banking

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dijelaskan apa pengertian tindak pidana itu. Oleh karenanya, pengertian tindak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci