BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Sejarah Hukum Tentang Tindak Pidana Membuat Dan Mengedarkan Benda Semacam Mata Uang Atau Uang Kertas Sebagai Alat Pembayaran Yang Diatur Di dalam UU No.1 Tahun 1946 Jo UU No. 73 Tahun 1958 Pada awal kemerdekaan dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur tindak pidana megenai membuat dan mengedarkan benda semacam mata uang atau uang kertas yang dimuat di dalam UU No.1 Tahun 1946 jo UU No.73 Tahun Terdapat 4 (empat) rumusan tindak pidana yang dimaksud, dan dimuat di dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XII. Sedangkan Pasal XIII tidak merumuskan tindak pidana, tetapi mengatur tentang tindak pidana tambahan perampasan barang yang sifatnya imperatif. 4 (empat) rumusan tindak pidana yang dimuat di dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XIII dibutuhkan untuk menindas usaha untuk mengacaukan peredaran uang di negeri Indonesia dengan menyebarkan mata uang atau uang kertas yang oleh pihak Pemerintah kita tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. 1. Pasal IX merumuskan : Barangsiapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. 2. Pasal X, merumuskan : Barangsiapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang atau uang kertas, sedangkan ia sewaktu-waktu menerimanya mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa benda-benda itu 41

2 oleh pihak pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, atau dengan maksud untuk menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, menyediakannya atau memasukkannya ke dalam Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. 3. Pasal XI, merumuskan : Barangsiapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang atau uang kertas yang dari pihak pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dalam hal di luar keadaan sebagai tersebut dalam pasal baru lalu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun. 4. Pasal XII, merumuskan : Barangsiapa menerima sebagai alat pembayaran atau penukaran atau sebagai hadiah atau menyimpan atau mengangkut mata uang atau uang kertas sedangkan ia mengetahui, bahwa benda-benda itu oleh pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya 5 tahun. 33 Bahwa tindak pidana mengenai mata uang dan uang kertas dalam UU No.1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958 prinsipnya berbeda dengan tindak pidana mengenai uang dalam KUHP. Perbedaan itu adalah, bahwa tindak pidana mengenai uang dalam KUHP menitikberatkan pada larangan meniru, memalsu mata uang dan uang kertas dan merusak mata uang sementara tindak pidana mengenai uang dalam UU No.1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958 adalah menitikberatkan pada perbuatan membikin benda sebagai alat pembayaran lainnya selain alat pembayaran yang sah yang dikeluarkan dan diakui pemerintah. Latar belakang dibentuknya tindak pidana tersebut di atas, bahwa pada ketika itu di bagian wilayah tertentu di Indonesia (bekas Hindia Belanda) beredar uang lainnya selain yang sah dikeluarkan oleh Pemerintah RI, seperti uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Federal Belanda, dan pernah juga di daerah 33 UU No.1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun

3 kepulauan Riau berlaku uang straits dolar atau di Jawa Barat uang rupiah istimewa, atau di wilayah Sumatera beredar uang Republik Indonesia Sumatera dan uang Republik Indonesia Tapanuli dan sebagainya. Dengan maksud untuk melindungi kepentingan hukum terhadap kepercayaan uang rupiah resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI, maka dibentuklah tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal IX sampai Pasal XII tersebut di atas. Situasi dan keadaan pada awal kemerdekaan seperti itu kini sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, tindak pidana mengenai uang yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1946 jo UU No.73 Tahun 1958 tersebut hanya penting dalam sejarah segi hukum di Indonesia. Kini dalam hal perlindungan hukum terhadap kepercayaan uang rupiah sudah diatur melalui tindak pidana mengenai uang yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 34 B. Ketentuan Hukum Terhadap Kejahatan Pemalsuan Dan Pengedaran Uang Yang Diatur Di Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Ketentuan tindak pidana pemalsuan dan pengedaran uang palsu yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dianggap belum mengatur secara kompeherensif jenis perbuatan dan sanksi yang diancamkan. Dengan dasar pemikiran tersebut, lahirlah peraturan hukum baru yang membahas mengenai Rupiah sebagai mata uang di Indonesia. Undang-Undang ini diharapkan dapat menjadi suatu langkah baru dalam upaya pemberantasan tindak pidana pemalsuan dan pengedaran uang palsu di Indonesia. Berikut larangan dan sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang terkait dengan tindak pidana pemalsuan dan pengedaran uang palsu. 34 Adam Chazawi, Ardi Ferdian, Op.cit., hlm

4 1. Larangan Isi dari bab VII dari UU RI Nomor 7 Tahun 2011 merupakan larangan atas beberapa perbuatan yang berkaitan dengan pemalsuan dan pengedaran uang palsu yang terdiri dari 5 pasal, mulai dari pasal 24 sampai pasal 27 a. Meniru Rupiah (Pasal 24) (1) Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/atau promosi dengan memberikan kata specimen. Tiruan. (2) Setiap Orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah b. Merusak Rupiah (Pasal 25) (1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/ atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol Negara. (2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah. (3) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah. c. Memalsu Rupiah (Pasal 26) (1) Setiap orang dilarang memalsu Rupiah. (2) Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apapun yang diketahuinya merupakan Rupiah palsu. (3) Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah palsu. (4) Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah palsu ke dalam dan/ atau keluar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 44

5 (5) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah palsu. d. Memproduksi Atau Memiliki Persediaan Bahan Untuk Membuat Rupiah Palsu (Pasal 27) (1) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah palsu. (2) Setiap orang dilarang, memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah palsu. 2. Ketentuan Pidana Sanksi hukum terhadap kejahatan mata uang, khusus pemalsuan dan pengedaran uang palsu, pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang semakin diperberat guna menimbulkan efek jera bagi pelaku sebab dampak yang ditimbulkan sangat besar, baik bagi Negara dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aturan pasal yang menerapkan hukuman seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, sanksi denda bagi pelaku pemalsuan dan pengedaran uang palsu dalam Undang-Undang tentang Mata Uang ini juga sangat besar jumlahnya. Pasal 34 (1) Setiap orang yang meniru rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan member kata specimen sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan rupiah tiruan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan 45

6 paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 35 (1) Setiap orang yang sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp (satu miliar rupiah). (2) Setiap orang yang membeli atau menjual rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/ atau diubah sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). (3) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/ atau diubah sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah) Pasal 36 (1) Setiap orang yang memalsu rupiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp (sepuluh miliar rupiah). (2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apapun yang diketahuinya merupakan rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp (sepuluh miliar rupiah). (3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan rupiah yang diketahuinya merupakan rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat 46

7 (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh miliar rupiah) (4) Setiap orang yang membawa atau memasukkan rupiah palsu ke dalam dan/ atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh miliar rupiah). (5) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 37 (1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus miliar rupiah). (2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 38 (1) Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, pasal 34, pasal 35, serta pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh pegawai Bank indonesia, pelaksana Pencetakan rupiah, badan yang 47

8 mengoordinasikan pemberantasan rupiah palsu, dan/atau aparat penegak hukum, pelaku dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara terorganisasi, digunakan untuk kejahatan terorisme, atau digunakan untuk kegiatan yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian nasional, pelaku dipidana dengan idana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 39 (1) Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36 atau pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga). (2) Dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi. (3) selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36 atau pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana. Pasal 40 (1) Dalam hal terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, pasal 34, pasal 35, pasal 36, ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp ,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. 48

9 (2) Lama pidana kurungan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Pasal 41 (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, dan pasal 34 adalah pelanggaran. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 35, pasal 36, dan pasal 37 adalah kejahatan. C. Ketentuan Hukum Terhadap Kejahatan Pemalsuan Dan Pengedaran Uang Yang Diatur Di Dalam KUHP 1. Meniru Atau Memalsu Uang (Pasal 244) Tindak pidana meniru atau memalsukan mata uang, uang kertas Negara atau uang kertas bank dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya seolah-olah mata uang, uang kertas Negara atau uang bank tersebut asli dan tidak dipalsukan itu merupakan tindak pidana pertama yang dilarang di dalam Bab ke- X dari buku ke-ii KUHP, yakni dalam pasal 244 KUHP, yang rumusan aslinya di dalam bahasa belanda berbunyi sebagai berikut : Hij die muntspecien of munt of bankbiljetten namaakt of vervalst, met het oogmerk om die muntspecien of munt of bankblijetten als echt en onvervalst uit te geven of te doen uitgeven, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijftien jaren. 35 Artinya : Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh 35 Engelbrecht, De Wetboeken, hlm

10 mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 36 Apabila rumusan tersebut dirinci, unsur-unsurnya terdiri dari : Unsur-unsur objektifnya, adalah : 1. Perbuatan: a. meniru; b. memalsu; 2. Objeknya : a. mata uang yang dikeluarkan Negara atau bank; b. uang kertas yang dikeluarkan Negara atau bank; Unsur subjektifnya, adalah : 3. Dengan maksud : a. untuk mengedarkan seolah-olah asli dan tidak dipalsu; b. untuk menyuruh mengedarkan seolah- olah asli dan tidak dipalsu. Unsur-unsur formal yang membentuk rumusan tindak pidana adalah yang ditulis dengan dicetak miring. Unsur-unsur tersebut akan dijelaskan satu persatu. 1.1 Perbuatan Meniru Perbuatan meniru (namaken) adalah membuat sesuatu yang menyerupai atau seperti yang asli dari sesuatu tersebut. Pengertian meniru mata uang atau uang kertas dalam pasal ini adalah membuat benda mata uang atau uang kertas yang menyerupai atau seperti atau mirip dengan mata uang atau uang kertas yang asli. Jadi agar dapat dikatakan adanya perbuatan meniru mata uang atau uang kertas, maka harus ada mata uang atau uang kertas yang asli. Apabila ada seseorang yang membuat mata uang atau uang kertas yang tidak ada aslinya yang ditiru, maka perbuatan itu bukan termasuk perbuatan meniru. Meskipun terkandung maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh orang mengedarkannya. Orang yang membuat uang semacam itu tidak boleh dipidana. Misalnya seorang membuat lembaran uang kertas dengan nilai nominalnya Rp76.000,-. Karena tidak terdapat lembar uang kertas asli yang nilai 36 Terjemahan BPHN (1983) 50

11 nominalnya Rp76.000,- maka perbuatan itu bukan perbuatan meniru, dan tidak dapat dipidana. Meskipun terkandung maksud untuk diedarkan. Sejauhmana kemiripan antara mata uang atau uang kertas yang tiruan dan yang asli sehingga dapat dipersalahkan melanggar pasal ini? dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama. Bisa jadi antara benda mata uang atau uang kertas tiruan terdapat perbedaan sesuatunya, misalnya kertasnya, bentuk huruf, warna atau apa pun juga dengan aslinya. Baik hal perbedaan itu cukup dilihat dengan kasat mata maupun dengan menggunakan sesuatu alat untuk mengetahui perbedaanya. Uang hasil perbuatan meniru tersebut disebut uang palsu, meskipun misalnya dibuat oleh orang yang berhak. Kemungkinan kedua, bisa jadi mata uang atau uang kertas tiruan tersebut sama sekali tidak ada perbedaan sedikitpun dengan aslinya. Tidak diketahui atau ditemukan adanya perbedaan itu, baik secara kasat mata maupun dengan alat yang khusus dibuat untuk membedakan. Misalnya uang tiruan dibuat dengan bahan yang sama dan dengan alat dan cara yang sama. Benda uang tersebut boleh dikatakan asli, tetapi dibuat oleh orang yang tidak berhak. Orang itu juga termasuk melakukan perbuatan meniru dalam pengertian ini, dan dapai dipidana. Demikian juga dalam hal orang yang menurut ketentuan berhak membuat uang, namun membuat/mencetak uang melebihi dari ketentuan yang diperintahkan, perbuatan seperti itu juga termasuk perbuatan meniru dalam pengertian ini. Si pembuat juga dapat dipidana. Benda uang yang dihasilkan oleh orang yang tidak berhak maupun oleh orang yang berhak namun melebihi dari jumlah yang diperintahkan, juga termasuk uang palsu, atau dapat disebut dengan uang asli tapi palsu (aspal). Dipidana ataukah tidak terhadap orang yang berhak membuat/ mencetak uang tetapi melebihi dari yang diperkenankan, bergantung dari kesengajaannya. Apabila orang itu mengetahui bahwa uang dicetaknya melebihi dari jumlah yang diperkenankan, dan terkandung maksud untuk mengedarkannya sama seperti membuat / mencetak uang yang menjadi haknya, maka ia dapat dipidana. Namun bila sebaliknya, tidak dipidana. 51

12 Dalam hal pemalsuan uang dengan perbuatan meniru, tidak dipedulikan tentang nilai bahan yang digunakan untuk membuat / mencetak uang itu apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari bahan uang asli. Misalnya emas bahan mata uang (uang logam) yang digunakan dalam melakukan perbuatan meniru mata uang itu lebih rendah atau lebih tinggi, perbuatan seperti itu juga termasuk dalam kejahatan memalsu uang menurut Pasal 244. Pembuatnya tetap dapat dipidana, asal terkandung unsur maksudnya melakukan perbuatan itu adalah untuk mengedarkannya atau menyuruh orang mengedarkannya seolah-olah mata uang asli Perbuatan Memalsu Berbeda dengan perbuatan meniru sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Bahwa dalam hal perbuatan meniru uang, si pembuat melakukan perbuatan sedemikian rupa dengan meniru uang asli yang sudah ada. Oleh sebab itu, uang palsu yang dihasilkan oleh perbuatan memalsu tersebut merupakan benda uang yang baru. Uang hasil dari perbuatan meniru ini disebut dengan uang palsu. Sementara itu, dalam hal perbuatan memalsu (vervalschen) tidak menghasilkan uang baru. Karena perbuatan memalsu ini dilakukan terhadap benda uang yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau menambah tulisan, gambar maupun warna, atau mengurangi bahan mata uang sehingga menjadi lain dari uang semula (aslinya) sebelum perbuatan itu dilakukan. Tidak penting, apakah dengan demikian mata uang atau uang kertas yang dipalsu tersebut nilainya menjadi lebih rendah atau sebaliknya. Demikian juga tidak menjadi syarat hal motif apakah dalam melakukan perbuatan itu, perbuatan seperti itu sudah termasuk dalam pengertian memalsu Menurut pasal ini apabila terkandung maksud untuk diedarkan atau menyuruh orang lain untuk mengedarkannya. Jika tidak terkandung maksud untuk diedarkan sebagai uang yang tidak palsu, tidak dapat dipidana. Misalnya mengubah semua 37 Adam Chazawi, Ardi Ferdian, Op.cit., hlm

13 mata uang (uang logam) dengan maksud untuk dijadikan perhiasan, bukan untuk maksud diedarkan sebagai alat pembayaran seperti mata uang yang tidak dipalsu. Uang yang dihasilkan oleh perbuatan memalsu ini disebut dengan uang yang dipalsu. Tindak pidana dengan perbuatan meniru dan memalsu dalam pasal 244 ini dirumuskan secara formal, atau disebut tindak pidana formal. Suatu tindak pidana yang selesainya ditentukan atau diukur dari selesainya melakukan perbuatan, bukan diukur dari adanya akibat dari perbuatan. Dengan selesainya perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang, maka selesailah tindak pidana formal. Timbulnya akibat bukan menjadi syarat selesainya tindak pidana tersebut, meskipun dalam tindak pidana formal dapat timbul sesuatu akibat Objek Mata Uang Atau Uang Kertas Yang Dikeluarkan Negara Atau Bank Uang adalah suatu benda yang wujudnya sedemikian rupa yang oleh masyarakat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah yang berlaku pada saat peredarannya. Benda uang itu harus sah, artinya menurut hukum dikeluarkan oleh lembaga yang menurut hukum berwenang untuk itu. Pasal 244 KUHP menyebut dua jenis uang, yakni mata uang (munt) dan uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank. Mata uang adalah uang terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga, perak, dan lain sebagainya. Uang kertas adalah uang yang terbuat dari kertas. Jadi KUHP menyebutkan lembaga yang berhak mengeluarkan atau membuat uang adalah Negara dan suatu bank. Uang Negara adalah uang yang dikeluarkan oleh pemerintah, terbuat dari plastik yang memiliki ciri-ciri : Dikeluarkan oleh pemerintah. Dijamin oleh Undang-Undang. Bertuliskan nama Negara yang mengeluarkannya Ibid, hlm Ibid, hlm

14 Ditandatangani oleh Menteri Keuangan. 40 Namun sejak berlakunya UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral dan berlakuya UU No.23 Tahun 199 Jo UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia hingga sekarang di Indonesia tidak ada uang Negara, semua uang yang beredar adalah uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, disebut uang bank, 41 mengandung ciri-ciri sebagai berikut : Dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dijamin dengan emas atau valuta asing yang disimpan di Bank Indonesia. Bertuliskan nama Bank Indonesia. Ditandatangani oleh Gubernur Bank Indonesia. 42 Objek mata uang atau uang kertas yang menjadi objek kejahatan menurut pasal 244 adalah bukan saja uang rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia, tetapi termasuk uang asing. Pasal 244 berlaku bagi subjek hukum yang meniru dan memalsu mata uang dan uang kertas asing yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia, dan berlaku juga bagi subjek hukum yang meniru dan memalsu mata uang dan uang kertas Negara atau bank yang dilakukan di luar wilayah hukum Indonesia. 43 Menurut almarhum Prof. Satochid Kartanegara, hal tersebut disebabkan oleh karena pada tanggal 29 April 1929 telah diadakan suatu traktat antara Pemerintah Hindia Belanda (dahulu) dengan Pemerintah-Pemerintah dari Negara lain di seluruh dunia untuk secara bersama-sama melakukan pemberantasan terhadap pemalsuan-pemalsuan mata uang, dimana pun perbuatan itu dilakukan orang Jenis-Jenis uang, Wikipedia.org (diakses tanggal 5 April 2016). 41 Lihat Pasal 26 UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral. 42 Jenis-Jenis uang, Wikipedia.org (diakses tanggal 5 April 2016) 43 Lihat Pasal 4 Angka 1 KUHP 44 Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, cetakan kedua, hlm

15 1.4 Maksud Untuk Mengedarkan Atau Menyuruh Mengedarkan Sebagai Asli Dan Tidak Dipalsu. Unsur pasal 244 tersebut di atas merupakan unsur kesalahan, khususnya kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Unsur maksud sama artinya dengan tujuan dekat (maaste doel), adalah tujuan yang menurut akal dan kebiasaan yang berlaku dapat dicapai dengan melakukan perbuatan tertentu, bukan tujuan jauh yang berhubungan langsung dengan motif perbuatan. 45 Apabila dihubungkan dengan objek mata uang atau uang kertas, maka dari caranya dan alat yang digunakan melakukan perbuatan meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas tersebut, maka dapatlah diketahui maksud apa si pembuat melakukan perbuatan itu, ialah untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkannya. 2. Sengaja Mengedarkan Mata Uang Atau Uang Kertas Palsu atau Dipalsu (Pasal 245) Tindak pidana dengan sengaja mengedarkan mata uang, uang kertas Negara atau uang kertas bank yang ditiru atau dipalsukan seolah-olah mata uang, uang kertas Negara atau uang kertas bank itu asli dan tidak dipalsu dan lainlainnya oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam ketentuan pidana yang diatur di dalam pasal 245 KUHP, yang rumusan aslinya di dalam bahasa belanda berbunyi sebagai berikut. Hij die opzettelijk als echte en onvervalste muntspecien of munt of bankbiljett en uitgeeft, muntspecien of munt of bank biljetten die hij zelf heft nagemaakt of vervalst, of waarvan de valsheid of de vervalsing hem, toen hij ze ontving, bekend was, of deze, met het oogmerk om deze las echt en onvervalst uit 45 Adam Chazawi (II), Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, hlm

16 te geven of te doen uitgeven in voorraad heft on binnen Indonesie invert, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijftien jaren. 46 Artinya : Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dari rumusan Pasal 245 KUHP tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat 4 (empat) macam tindak pidana, ialah : 1. Tindak Pidana melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas Negara atau bank sebagai mata uang asli atau tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. 2. Tindak Pidana melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas Negara atau bank sebagai mata uang asli atau tidak dipalsu, yang waktu menerima mata uang atau uang kertas tersebut diketahuinya sebagai tidak asli atau dipalsu. 3. Tindak Pidana melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas Negara atau bank sebagai mata uang asli atau tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu Engelbrecht, op.cit. 47 Terjemahan oleh BPHN 56

17 4. Tindak Pidana melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas Negara atau bank sebagai mata uang asli atau tidak dipalsu, yang waktu diterima diketahuinya sebagai tidak asli atau dipalsu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya seperti uang asli dan tidak dipalsu. Keempat bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu atau dipalsu dalam pasal 245 akan dibicarakan satu persatu. Apabila rumusan tindak pidana pasal 245 dengan cara membedakan bentuk-bentuknya tersebut, terdapat unsur-unsurnya, ialah : 1. Bentuk Pertama Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan : mengedarkan sebagai asli atau tidak dipalsu; 2) Objeknya : a. mata uang Negara atau mata uang bank tidak asli atau yang dipalsu; b. uang kertas Negara atau uang kertas bank tidak asli atau yang dipalsu 3) padahal uang itu ditiru atau dipalsu olehnya sendiri Unsur Subjektif : 4) Kesalahan : dengan sengaja. 2. Bentuk Kedua Jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur-unsur objektif adalah : 1) Perbuatan : mengedarkan sebagai asli atau tidak dipalsu;\ 57

18 2) Objeknya : a. mata uang Negara atau mata uang bank yang tidak asli atau dipalsu; b. uang kertas Negara atau uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; Unsur subjektif : 3) Kesalahan : a. dengan sengaja; b. yang tidak asli atau dipalsunya uang itu diketahuinya pada saat diterimanya.. 3. Bentuk Ketiga Jika dirinci terdapat unsur-unsur berikut : Unsur-unsur objektif : 1) Perbuatan : a. menyimpan; b. memasukkan ke Indonesia; 2) Objeknya : a. mata uang Negara atau mata uang bank tidak asli atau dipalsu; b. uang kertas Negara atau uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) yang tidak asli atau dipalsu dilakukan olehnya sendiri; Unsur subjektif : 4) dengan sengaja; 5) dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu; 58

19 4. Bentuk Keempat Bentuk keempat terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : Unsur-unsur objektif : 1) Perbuatan : a. menyimpan; b. memasukkan ke Indonesia; 2) Objeknya : a. mata uang Negara atau mata uang bank yang tidak asli atau dipalsu; b. uang kertas Negara atau uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3) uang tidak asli atau dipalsu dilakukan oleh orang lain; Unsur subjektif : 4) Kesalahan : a. dengan sengaja; b. yang tidak asli atau dipalsu diketahui pada saat menerimanya; c. dengan maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli atau tidak dipalsu. 48 Unsur-unsur formal yang tercantum dalam rumusan tindak pidana pasal 245 adalah perkataan yang dicetak miring. Dari rumusan tindak pidana diatas, secara keseluruhan baik unsur objektif dan unsur subjektifnya terdiri dari : 2.1 Perbuatan : Mengedarkan, Menyimpan, Memasukkan Ke Indonesia Perbuatan mengedarkan terdapat pada tindak pidana pasal 245 bentuk pertama dan kedua. Untuk terwujudnya tindak pidana dengan perbuatan mengedarkan uang tidak asli atau dipalsu, ditandai oleh objek uang sudah tidak 48 Adam Chazawi, Ardi Ferdian, Op.cit., hlm

20 berada di dalam kekuasaannya lagi. Telah berpindah ke dalam kekuasaan pihak lain. Melepaskan kekuasaan atas uang itu ke dalam kekuasaan pihak lain haruslah dilakukannya dengan sengaja. Sengaja disini ditujukan baik pada perbuatan mengedarkannya maupun maupun terhadap keadaan tidak asli atau dipalsunya uang yang diedarkannya itu. Mengedarkan merupakan perbuatan yang dirumuskan secara abstrak, yang bentuk konkretnya bisa bermacam-macam, yang penyelesaiannya ditandai oleh beralihnya kekuasaan atas uang itu yang semula berada dalam kekuasaan si pengedar ke dalam kekuasaan pihak lain. Wujud konkretnya misalnya : membelanjakan, memberikan, menyetorkan ke bank, menukarkan, menyerahkan, menghibahkan, mengirimkan bahkan bisa juga dengan cara meninggalkannya di suatu tempat agar ditemukan dan diambil oleh orang lain. Dengan lepasnya kekuasaan atas uang tidak asli atau dipalsu dari wujud perbuatan-perbuatan konkret mengedarkan semacam itu, maka selesailah perbuatan mengedarkan, dan selesai sempurna pula tindak pidana pasal 245 ini. Tidak diperlukan syarat apakah setelah lepasnya kekuasaan atas uang tidak asli atau dipalsu tadi oleh pihak yang menerima/ menguasainya melakukan perbuatan lagi dengan melepaskan kekuasaannya lagi kepada pihak lain. Andaikan orang yang semula menerima mengalihkannya lagi kepada pihak lain, maka orang itu juga melakukan perbuatan mengedarkan yang berdiri sendiri, dan dapat dipidana pula apabila mengetahui bahwa uang yang diterimanya yang kemudian diedarkan lagi itu sebagai uang tidak asli atau uang dipalsu. Apabila tidak ada pengetahuan seperti itu, orang ini bukan sebagai orang yang dapat dipidana, meskipun perbuatannya termasuk mengedarkan. Ada dua alasan tidak dipidananya, ialah : Dilihat dari sudut pengetahuan terhadap tidak asli atau dipalsunya uang yang diedarkan merupakan salah satu unsur pembentuk Pasal 245. Jika salah satu unsur tidak ada, maka si pembuat yang perbuatannya tidak memenuhi salah satu unsur tidak ada, maka si pembuat yang perbuatannya tidak memenuhi salah satu unsur, haruslah dibebaskan, karena tidak melakukan tindak pidana. 60

21 Dilihat dari sudut alasan peniadaan pidana yang bersumber pada asas hukum yang tidak tertulis tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Berdasarkan asas ini si pengedar tidak dipidana, melainkan diputus lepas dari tuntutan hukum. Karena perbuatannya terbukti, tetapi ada alasan peniadaan pidana di luar UU, berupa alasan pemaaf. Sementara perbuatan menyimpan mengandung ciri-ciri : Ada perbuatan awalnya, sebagai penyebab atau asal dari keberadaan benda yang disimpan: (a) bisa dari perbuatan orang lain, misalnya mengedarkan seperti membelanjakan uang tidak asli atau dipalsu atau (b) dari perbuatannya sendiri, misalnya meniru atau memalsu uang sebagaimana perbuatan dalam pasal 244. Terdapatnya hubungan langsung dan sangat erat antara si pembuat yang menyimpan uang dengan benda uang yang disimpannya. Hubungan ini merupakan hubungan kekuasaan/ menguasai. Hubungan yang sangat erat ini berhubungan dengan maksud dari penyimpanan itu, yakni untuk diedarkan atau menyuruh orang mengedarkan. Dari keadaan hubungan kekuasaan inilah dapat dinilai adanya maksud dari penyimpanan seperti itu. Dari kedua ciri perbuatan menyimpan sebagaimana tersebut di atas dapatlah diketahui bahwa pengertian menyimpan adalah berlawanan dengan pengertian perbuatan mengedarkan. Mengedarkan melakukan perbuatan terhadap uang yang ada di dalam kekuasaanya, yang menyebabkan kekuasaan atas uang itu berpindah ke dalam kekuasaan pihak lain. Sebaliknya, menyimpan justru beralihnya kekuasaan atas uang itu dari orang lain ke dalam kekuasaan orang yang menyimpan. Meskipun dari sifat kedua perbuatan seperti itu, pengertian menyimpan berlawanan dengan pengertian mengedarkan, menyimpan dapat pula berarti lain. Dalam arti menyimpan tidak selamanya benda yang disimpan diterimanya dari peralihan kekuasaan dari orang lain, seperti berasal dari perbuatan mengedarkan. Namun bisa juga keberadaan benda yang disimpan tersebut oleh sebab 61

22 perbuatannya sendiri. Misalnya meniruatau memalsu uang sebagaimana dimaksud pasal 244, setelah perbuatan tersebut selesai dilakukan, kemudian menyimpan uang yang dihasilkan oleh perbuatan itu. Penyebab beralihnya kekuasaan benda uang tidak asli atau dipalsu ke dalam kekuasaan si yang menyimpan bisa oleh sebab perbuatan yang melawan hukum maupun tidak. Melalui perbuatan yang melawan hukum, misalnya berasal dari perbuatan mengedarkan oleh orang lain. Melalui perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum misalnya uang tidak asli atau dipalsu itu terjatuh di jalan dan ditemukan oleh orang lain yang selanjutnya menyimpannya. Orang yang kemudian menguasai uang dalam kedua contoh tersebut, hanya dapat dipidana apabila mengetahui bahwa uang yang ada di dalam kekuasaanya itu tidak asli atau dipalsu, dan dalam hal menyimpan tersebut terkandung maksud untuk diedarkan atau menyuruh orang mengedarkan. Sebetulnya perbuatan menyimpan tidak perlu dimasukkan ke dalam pasal 245, karena tidak menyebabkan dilanggarnya suatu kepentingan hukum apapun, misalnya orang yang menemukan uang tidak asli atau dipalsu tersebut di jalan, atau orang yang menerima pembayaran dari orang lain, meskipun kemudian mengetahui uang itu tidak asli atau palsu. Sehubungan apabila perbuatan itu disertai dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan. Sifat melawan hukum subjektif perbuatan menyimpan terletak pada maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang tidak asli atau dipalsu tersebut. Pada perbuatan memasukkan ke Indonesia, menunjukkan bahwa uang tidak asli atau dipalsu itu berasal dari luar wilayah hukum Indonesia. Dalam hal si pembuat yang membawa atau menguasai uang tidak asli atau dipalsu tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia, maka telah terwujud perbuatan memasukkan ke Indonesia pada saat ia memasuki wilayah hukum Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa menurut pasal 3 KUHP, wilayah hukum Indonesia diperluas sampai pada pesawat udara dan kapal Indonesia. Maka terjadi 62

23 perbuatan memasukkan ke Indonesia pada saat seseorang yang membawa uang tidak asli atau dipalsu yang berada di luar negeri masuk ke dalam pesawat atau kapal Indonesia Mata Uang Negara Atau Bank Atau Uang Kertas Negara Atau Bank Tidak Asli atau Dipalsu Objek tindak pidana Pasal 245 adalah objek uang yang dihasilkan oleh perbuatan meniru atau memalsu dalam pasal 244. Artinya objek tindak pidana pasal 245 adalah berupa objek hasil kejahatan pasal 244 ialah: mata uang Negara; mata uang bank; uang kertas Negara; uang kertas bank yang tidak asli atau dipalsu. Empat macam objek kejahatan ini dapat disingkat dengan menyebutnya uang tidak asli atau dipalsu. Untuk empat macam objek ini telah dibicarakan sebelumnya dalam bahasan mengenai Pasal Tidak Aslinya Atau Palsunya Uang Disebabkan Oleh Perbuatan Meniru Atau Memalsu Dilakukannya Sendiri Unsur tersebut di atas terdapat dalam tindak pidana bentuk pertama pasal 245. Unsur tersebut bersifat objektif yang sesungguhnya juga disadarinya, artinya bersifat subjektif. Maksudnya adalah si pembuat yang mengedarkan uang tidak asli atau dipalsu tersebut secara objektif benar-benar menjadikan uang itu tidak asli atau dipalsu. Uang tidak asli dihasilkan oleh perbuatan meniru dan uang palsu dihasilkan oleh perbuatan memalsu yang menjadi unsur dalam pasal 244. Sementara bersifat subjektif, artinya si pembuat menyadari bahwa uang yang diedarkannya itu tidak asli atau dipalsu yang dihasilkan oleh perbuatannya sendiri Ibid, hlm Ibid, hlm

24 2.4 Unsur Kesalahan: a. Dengan Sengaja; b. Yang Tidak Asli Atau Dipalsu Diketahui Pada Saat Menerimanya; c. Dengan Maksud Untuk Mengedarkan Atau Menyuruh Mengedarkan Sebagai Asli Atau Tidak Dipalsu a. Unsur Dengan Sengaja Dalam semua (empat) bentuk tindak pidana Pasal 245 terdapat (dicantumkan) unsur kesengajaan. Dengan sengaja (kesengajaan) merupakan unsur mutlak tindak pidana, artinya semua tindak pidana dipastikan mengandung unsur kesengajaan kecuali jika secara formal dicantumkan unsur kulpa dalam rumusan. 51 Artinya tindak pidana kulpa harus ditandai dengan mencantumkan unsur kulpa. Sementara delik dolus, tidak. Mengenai unsur sengaja dalam rumusan tindak pidana dolus ada dua macam, yang secara tegas dicantumkan di dalam rumusan dan yang tidak. Artinya dalam setiap tindak pidana dolus, selalu terdapat unsur kesengajaan, baik dicantumkan secara tegas atau tidak di dalam rumusan. Apabila dicantumkan dalam rumusan, maka sengaja tersebut harus dibuktikan. Jika tidak dicantumkan, tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan unsur perbuatannya saja, karena unsur kesengajaan telah melekat dan terdapat (terselubung) di dalamnya. Apabila unsur perbuatan telah dapat dibuktikan, maka unsur sengaja dianggap telah terbukti pula. Apa yang harus dibuktikan, ialah mengenai dua hal, yaitu : Pertama, mengenai pengertian sengaja yang telah diberikan petunjuk oleh Mvt sebagai pengetahuan (wetens) dan kehendak (willens). Kedua, pengertian sengaja sebagai pengetahuan dan kehendak tersebut dalam hubungannya dengan unsur-unsur lainnya, terutama hubungannya dengan perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan. Sengaja, khususnya kehendak selalu diarahkan pada melakukan perbuatan. Sementara pengetahuan selain diarahkan pada unsur perbuatan. 51 Moeljatno (i), Azas-azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, hlm

25 Dengan memerhatikan rumusan pasal 245 dan unsur-unsurnya yang telah dirinci dan diurai sebelumnya, maka dapat diektahui unsur mana yang diliputi oleh unsur sengaja dalam setiap bentuk. 1) Bentuk Pertama. Unsur sengaja diarahkan pada unsur-unsur sebagai berikut : Perbuatan mengedarkan sebagai asli atau tidak dipalsu. Penjelasan : Si pembuat menghendaki untuk mewujudkan mengedarkan sebagai asli atau tidak dipalsu. Ia mengerti tentang nilai perbuatan dan akibat perbuatan yang (hendak) dilakukannya. Objek mata uang Negara atau bank, atau uang kertas Negara atau bank yang tidak asli atau dipalsu. Penjelasan : Si pembuat mengerti bahwa objek yang (hendak) diedarkannya adalah berupa mata uang Negara atau bank yang tidak asli atau dipalsu, atau uang kertas Negara atau bank tidak asli atau dipalsu. Padahal uang tidak asli atau palsu tersebut ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. Penjelasan : Si pembuat menginsyafi bahwa uang tidak asli atau dipalsu tersebut disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan olehnya sendiri. Tiga hal itu sangat perlu bahkan wajib dimuat dalam uraian surat tuntutan (requisitoir) dalam rangka pembuktian unsur sengaja. Kemudian 3 hal itu dijabarkan atau dihubungkan dengan fakta-fakta yang terdapat di dalam persidangan guna membuktikan : Benar bahwa terdakwa menghendaki perbuatan mengedarkan sebagai asli atau tidak dipalsu. Benar bahwa terdakwa mengerti atau memiliki keinsyafan terhadap keadaan tidak asli atau dipalsunya uang yang (hendak) diedarkannya. Benar bahwa terdakwa mengetahui atau memiliki keinsyafan bahwa keadaan tidak aslinya atau dipalsunya uang tersebut disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan olehnya sendiri. 65

26 2) Bentuk Kedua. Unsur sengaja diarahkan pada unsur-unsur sebagai berikut : Perbuatan mengedarkan sebagai asli atau tidak dipalsu. Penjelasan : Bahwa si pelaku menghendaki mengedarkan uang yang diketahuinya sebagai tidak asli atau dipalsu yang seolah-olah uang itu asli atau tidak dipalsu. Objek mata uang Negara atau bank atau uang kertas Negara atau bank tidak asli atau dipalsu bukan oleh perbuatannya. Penjelasan : Bahwa perbuatan meniru atau memalsu uang sehingga menjadi uang tidak asli atau dipalsu bukan dilakukan olehnya sendiri. Yang tidak asli atau dipalsunya uang itu diketahuinya waktu menerimanya. Penjelasan : Bahwa si pelaku mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu ketika menerima uang. Tiga hal itu harus dimuat dalam uraian surat tuntutan (requisitoir) guna membuktikan unsur sengaja bentuk kedua. Kemudia tiga hal itu dijabarkan atau dihubungkan dengan fakta-fakta yang di dapat dalam persidangan guna membuktikan : Benar bahwa si terdakwa memang menghendaki perbuatan mengedarkan uang tidak asli atau dipalsu sebagai asli atau tidak dipalsu. Benar bahwa mata uang Negara atau bank atau uang kertas negar tersebut tidak asli atau dipalsu bukan olehnya sendiri. Benar bahwa tidak asli atau dipalsunya uang yang diterimanya tersebut diketahui pada waktu menerimanya. 3) Bentuk Ketiga. Unsur sengaja diarahkan pada unsur-unsur sebagai berikut : Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia Penjelasan : Bahwa si pelaku menghendaki untuk melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang tidak asli atau dipalsu. Objek mata uang Negara atau bank atau uang kertas Negara atau bank yang tidak asli atau dipalsu. 66

27 Penjelasan : Si pelaku mengerti bahwa objek yang (hendak) disimpan atau pun diedarkannya sendiri atau menyuruh orang lain mengedarkannya adalah berupa mata uang Negara atau bank yang tidak asli atau dipalsu, atau uang kertas Negara atau bank tidak asli atau dipalsu. Yang tidak asli atau dipalsunya uang itu dilakukan olehnya sendiri. Penjelasan : Bahwa si pelaku menyadari bahwa tidak asli atau dipalsunya uang disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan olehnya sendiri. Maksudnya melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia adalah untuk diedarkan atau menyuruh orang edarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu. Penjelasan : Bahwa disadarinya bahwa maksud menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang tidak asli atau dipalsu tersebut untuk diedarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu. empat hal itu dimuat dalam uraian surat tuntutan (requisitoir) dalam rangka pembuktian unsur sengaja dalam bentuk ketiga. Kemudian empat hal itu dijabarkan atau dihubungkan dengan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan guna membuktikan : Benar bahwa terdakwa menghendaki perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang tidak asli atau dipalsu. Benar bahwa terdakwa mengerti atau memiliki keinsyafan terhadap keadaan tidak asli atau dipalsunya uang yang (hendak) diedarkannya sendiri ataupun diedarkan oleh orang lain atas perintahnya. Bahwa benar terdakwa mengetahui bahwa tidak asli atau dipalsunya uang disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Bahwa maksud terdakwa menyimpan uang yang diketahuinya tidak asli atau dipalsu tersebut adalah untuk diedarkan atau menyuruh orang mengedarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu. 67

28 4) Bentuk Keempat. Unsur sengaja diarahkan pada unsur-unsur sebagai berikut : Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. Penjelasan : Bahwa si pelaku menghendaki melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. Objek uang tidak asli atau dipalsu yang disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan oleh orang lain. Penjelasan : Bahwa si pelaku mengerti bahwa benda yang disimpan atau dimasukkan ke Indonesia tersebut adalah uang tidak asli atau dipalsu yang dihasilkan dari perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan oleh orang lain. Uang tidak asli atau dipalsu diketahuinya pada waktu menerima uang dari orang lain. Penjelasan : Bahwa si pelaku mengerti bahwa uang tidak asli atau dipalsu tersebut diterima dari orang lain dan si pelaku mengetahui bahwa keadaan uang tidak asli atau dipalsu pada saat menerimanya. Maksud menyimpan atau memasukkan uang tidak asli atau dipalsu untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu. Penjelasan : Bahwa maksud si pelaku menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang yang diketahuinya tidak asli atau dipalsu tersebut adalah untuk diedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu. Empat hal itu dimuat di dalam uraian surat tuntutan (requisitoir) dalam rangka pembuktian unsur sengaja dalam bentuk keempat. Kemudian empat hal itu dijabarkan atau dihubungkan dengan fakta-fakta yang di dapat dalam persidangan guna membuktikan : Benar bahwa terdakwa menghendaki perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang tidak asli atau dipalsu. 68

29 Bahwa benar terdakwa mengetahui bahwa benda yang disimpan atau dimasukkan ke Indonesia tersebut adalah uang tidak asli atau dipalsu yang dihasilkan dari perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan oleh orang lain. Benar bahwa terdakwa mengetahui bahwa uang tidak asli atau dipalsu tersebut diterima dari orang lain dan si pelaku mengetahui bahwa keadaan uang tidak asli atau dipalsu pada saat menerimanya. Bahwa maksud terdakwa menyimpan uang yang diketahuinya tidak asli atau dipalsu tersebut adalah untuk diedarkan atau menyuruh orang mengedarkan sebagai uang asli atau tidak dipalsu. 52 Semua unsur yang dijelaskan di atas di mulai dari bentuk pertama hingga bentuk keempat tersebutlah harus dibuktikan dalam rangka membuktikan unsur sengaja dalam pasal 245 KUHP. b. Unsur Yang Tidak Asli Atau Dipalsu Diketahui Pada Saat Menerimanya Unsur ini terdapat dalam tindak pidana pasal 245 bentuk kedua, ketiga dan keempat. Sesungguhnya unsur ini bersifat dua. Unsur yang tersurat bersifat subjektif dan yang tersirat bersifat objektif. Unsur tersurat bersifat subjektif dapat dipahami dari adanya perkataan waktu diterima diketahuinya. Perkataan diketahuinya menunjukkan adanya sikap batin tertentu yang terbentuk ketika menerima uang tidak asli atau dipalsu dari pihak lain. Sementara unsur tersirat (terselubung) bersifat objektif terdapat di dalam anak kalimat atau unsur waktu diterima diketahuinya bahwa (uang) tidak asli atau dipalsu. Bahwa dapat dipastikan di anak kalimat tersebut keadaan uang (yang diedarkan, disimpan atau dimasukkan ke Indonesia) adalah tidak asli atau dipalsu. Dapat dipastikan tidak asli atau dipalsunya uang itu dihasilkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dimaksud dalam pasal 244. Keadaan uang tidak asli atau dipalsu harus terbukti secara objektif, artinya benar-benar uang tersebut berupa uang tidak asli atau dipalsu. Apabila 52 Adam Chazawi, Ardi Ferdian, Op.cit., hlm

30 ternyata bahwa uang tersebut adalah asli atau tidak dipalsu, meskipun waktu menerima uang terbentuk pengetahuan uang tidak asli atau dipalsu, maka si pembuat yang mengedarkan tidak boleh dipidana. Karena disamping secara objektif, tidak terpenuhinya unsur objektif yang tersirat berupa uang tidak asli atau dipalsu, dan juga dalam hal ini terjadi kesesatan hukum (rechts dwaking) terhadap atau dalam unsur tindak pidana. 53 c. Dengan Maksud Untuk Mengedarkan Atau Menyuruh Mengedarkan Sebagai Asli Atau Tidak Dipalsu unsur kesalahan yang dimaksud di atas terdapat pada tindak pidana pasal 245 bentuk ketiga dan keempat. Wajar tidak terdapat pada bentuk pertama dan kedua, disebabkan karena perbuatannya adalah mengedarkan. Sementara bentuk ketiga dan keempat adalah menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. Sifat melawan hukum secara subjektif perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia terdapat pada unsur maksud mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang tidak asli atau dipalsu tersebut. Secara subjektf sifat dapat dipidananya perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia melekat pada unsur tersebut. Unsur maksud yang tercela tersebut sangat erat hubungannya dengan unsur tidak asli atau dipalsu dilakukannya sendiri dalam bentuk ketiga, atau dengan unsur waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu dalam bentuk keempat. Oleh sebab dicantumkannya dua unsur yang disebutkan terakhir itulah maka untuk dapat dipidananya perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia diperlukan maksud mengedarkan seperti yang tercantum dalam bentuk ketiga dan keempat tersebut. Secara subjektif, pada unsur itulah melekat sifat melawan hukumnya perbuatan menyimpan dan memasukkan ke Indonesia Adam Chazawi, Ardi Ferdian, Op.cit., hlm Ibid, hlm

31 3. Kejahatan Merusak Uang (Pasal 246) Tindak pidana perusakan mata uang atau muntschennis oleh pembentuk undang-undang telah dilarang di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 246 KUHP, yang rumusan aslinya dalam bahasa belanda berbunyi sebagai berikut. Hij die muntspecien in waarde verminderd, met het oogmerk om ze Aldus in waarde verminderd uit te geven of te doen uitgeven, wordt, als schuldig aan muntschennis, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste twaalf jaren. 55 Artinya : Barangsiapa mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang yang telah dikurangi nilainya itu, karena bersalah melakukan perusakan mata uang dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun. Tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 246 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. unsur subjektif : dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang yang telah dikurangi nilainya; b. unsur-unsur objektif : 1. Barangsiapa; 2. Mengurangi nilai mata uang. Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 246 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 246 KUHP, maka ia dapat dipandang sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Unsur objektif kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 246 KUHP ialah unsur mengurangi nilai mata uang. Unsur ini menunjukkan bahwa yang dilarang untuk dilakukan orang di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 246 KUHP ialah perbuatan mengurangi 55 Engelbrecht, Op.cit. 56 Terjemahan BPHN 56 71

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS FACHRIZAL AFANDI, S.Psi.,., SH., MH PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613]

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613] UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 50 Barangsiapa tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 1, menjalankan usaha Pabrik,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk larangan bagi korporasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

PANDUAN PENUKARAN RUPIAH TIDAK LAYAK EDAR

PANDUAN PENUKARAN RUPIAH TIDAK LAYAK EDAR PANDUAN PENUKARAN RUPIAH TIDAK LAYAK EDAR UNDANG UNDANG No. 7 Tahun 2011 tentang MATA UANG PENUKARAN RUPIAH Pasal 22 (1) Untuk memenuhi kebutuhan Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG LARANGAN UNTUK MEMPERGUNAKAN DAN MEMASUKKAN DALAM PEREDARAN UANG PERAK LAMA, YANG DIKELUARKAN BERDASARKAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016 PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMALSUAN UANG RUPIAH MENURUT PASAL 244 SAMPAI DENGAN PASAL 252 KUHP 1 Oleh: Christon Andri Madundang 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan

Lebih terperinci

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak BAB IV ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN PADA PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR Tindak Pidana dan Tanggung Jawab Korporasi di Bidang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015 PEMALSUAN UANG RUPIAH SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UU NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG 1 Oleh: Hendra Aringking 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA

KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA PENDAHULUAN Rancangan Undang-Undang tentang Transfer Dana disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah pada tanggal 22 Februari 2011 dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG LARANGAN UNTUK MEMPERGUNAKAN DAN MEMASUKKAN DALAM PEREDARAN UANG PERAK LAMA, YANG DIKELUARKAN BERDASARKAN " INDISCHE MUNTWET

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,

Lebih terperinci

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN Perjudian merupakan suatu bentuk permainan yang telah lazim dikenal dan diketahui oleh setiap orang. Perjudian ini diwujudkan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG. Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1953 (27/1953) Tanggal: 18 DESEMBER 1953 (JAKARTA) Sumber: LN 1953/77; TLN NO. 482 Tentang: Indeks: PENETAPAN "UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] 15. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENGHENTIAN BERLAKUNYA "INDISCHE MUNTWET 1912" DAN PENETAPAN PERATURAN BARU TENTANG MATA UANG" (UNDANG-UNDANG DARURAT

Lebih terperinci

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1 STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1 PENGANTAR Kasus tindak pidana yang dituduhkan dan kemudian didakwakan kepada seseorang dalam jabatan notaris telah banyak terjadi di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku kedua, Bab XXII, Pasal 362 yang berbunyi:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPU8L1K INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPU8L1K INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PRESIDEN REPU8L1K INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menirnbang Mengingat a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Palu No.12/Pid.B/2009/PN.PL) ANHAR / D 101 07 355 ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENGHENTIAN BERLAKUNYA "INDISCHE MUNTWET 1912" DAN PENETAPAN PERATURAN BARU TENTANG MATA UANG" (UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

Bab II : Pelanggaran Ketertiban Umum

Bab II : Pelanggaran Ketertiban Umum Bab II : Pelanggaran Ketertiban Umum Pasal 503 Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah: 1. barang siapa membikin ingar atau

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN 1 (satu) tahun ~ pidana penjara paling lama Penanggung Jawab Alat Angkut yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia dengan alat angkutnya yang

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci