Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaann Jauh, Lapan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaann Jauh, Lapan"

Transkripsi

1 ii

2 SUSUNAN REDAKSI Pengarah: Ir. Taufik Maulana, MBA. Deputi Bidang Penginderaan Jauh, LAPAN Ir. Agus Hidayat, M.Sc. Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN Penanggung Jawab: DR. M. Rokhis Khomarudin Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Editor/penyunting: DR. M. Rokhis Khomarudin STA. Munawar, B. Eng. Parwati, S.Si., M.Sc. Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. Redaksi Ilmiah: DR. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si., DR. Indah Prasasti, DR. Wiweka Hartojo, Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si., Dra. Any Zubaidah, M.Si. Yenni Vetrita, M.Sc., Fajar Yulianto, S.Si. Desain & Layout: Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. BM. Subowo, ST. Kusumaning Ayu Diah Sukowati, Amd. ISBN Diterbitkan oleh: PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL JL. Kalisari No. 8, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, 13710, Indonesia 2013 iii

3 DAFTAR ISI Hal. SUSUNAN REDAKSI... ii DAFTAR ISI.... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL.... vii DAFTAR LAMPIRAN.... viii KATA PENGANTAR. ix SAMBUTAN... x PENDAHULUAN 1 PENGINDERAAN JAUH PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN.. 6 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN... 6 Deteksi Perubahan Lahan Hutan 6 Deteksi Degradasi Hutan. 7 Deteksi Sebaran Asap.. 8 Pemetaan Daerah Bekas Terbakar 9 OPERASIONAL PEMANTAUAN LINGKUNGAN Fase Pertumbuhan Padi.. 10 Pemantauan Kekeringan dan Banjir Lahan Sawah. 12 TANTANGAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN.. 13 PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MITIGASI BENCANA.. 18 Validasi Hotspot Kekeringan Lahan Zonasi Daerah Resiko Banjir Zonasi Daerah Resiko Merapi Ekstraksi Parameter Fisis Penginderaan Jauh untuk Bencana KEGIATAN OPERASIONAL MITIGASI BENCANA Pemantauan Potensi Banjir Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Pemantauan Hotspot Sistem Tanggap Darurat Bencana TANTANGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA iv

4 Hal DISEMINASI INFORMASI Website SIMBA Sentinel Asia Diseminasi Langsung TANTANGAN DISEMINASI INFORMASI.. 33 KERJASAMA Kerjasama Nasional Kerjasama Regional dan Internasional Sentinel Asia Kerjasama dengan GIC-AIT dan ADRC Kerjasama dengan Organisasi PBB (RSO UN SPIDER, UN ESCAP, dan UN WFP) Kerjasama dengan APSCO PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

5 DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1 Perubahan lahan hutan di sekitar tambang Newmont Nusa Tenggara Barat Gambar 2 Perubahan kondisi hutan alami menjadi hutan terdegradasi di Kabupaten Sintang periode tahun Gambar 3 Sebaran asap dan hotspot di Propinsi Riau.. 9 Gambar 4 Hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan bekas terbakar di Propinsi Riau.. 10 Gambar 5 Fase pertumbuhan padi sawah di Pulau Jawa dan Bali, periode 30 Maret April Gambar 6 Survey lapangan untuk validasi fase pertumbuhan padi 11 Gambar 7 Tingkat rawan banjir lahan sawah di Pulau Jawa Bali, periode 30 Maret April Gambar 8 Tingkat rawan kekeringan lahan sawah di Pulau Jawa Bali, Periode September Gambar 9 Contoh foto udara yang menampilkan lokasi pembuangan drum dan potensial tercemar limbah B3. 15 Gambar 10 Deteksi daerah tercemar dengan data IKONOS dengan menggunakan klasifikasi maximum likelihood.. 15 Gambar 11 Perbedaan nilai reflectance (pantulan) daerah rerumputan yang tercemar arsenic 3498 pp dan yang tidak tercemar Gambar 12 Hasil perhitungan land subsidence di Pekalongan Gambar 13 Metode validasi hotspot dan hasilnya. 19 Gambar 14 Indeks pemantauan kekeringan lahan 20 Gambar 15 Zonasi daerah bahaya banjir di Kabupaten Sampang.. 21 Gambar 16 Zonasi daerah resiko kerentanan banjir di Kabupaten Sampang. 21 Gambar 17 Zonasi daerah bahaya Merapi Gambar 18 Ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk bencana banjir.. 23 Gambar 19 Informasi daerah potensi banjir yang disajikan dalam website SIMBA Gambar 20 Informasi peringkat bahaya kebakaran Gambar 21 Sistem Indofire untuk pemantauan hotspot kerjasama Lapan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Landgate Australia Gambar 22 Diagram alir SOP sistem tanggap darurat bencana Gambar 23 Contoh tanggap darurat bencana banjir bandang Wasior Papua. 28 Gambar 24 Contoh aplikasi teknologi UAV untuk pemetaan cepat bencana. 29 Gambar 25 Tampilan website SIMBA terkini. 30 vi

6 Gambar 26 Website Sentinel Asia sebagai sarana penyebaran informasi. 31 Gambar 27 Desain sistem informasi kebencanaan berbasis penginderaan jauh (SIMBA CENTER) Gambar 28 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Kalimantan Tengah 36 Gambar 29 Foto bersama peserta pertemuan pemangku kepentingan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pengurangan resiko bencana Gambar 30 Hasil analisa banjir di Philipina, kontribusi sebagai DAN 38 Gambar 31 Antena dan peralatan yang digunakan untuk transfer data penginderaan jauh. 39 Gambar 32 Foto bersama peserta pertemuan SAFE Project di Singapore Gambar 33 Foto bersama peserta pertemuan regional workshop se-asean Gambar 34 Jaringan RSO UN-SPIDER di berbagai Negara Gambar 35 UN ESCAP Meeting pada tahun Gambar 36 Foto peserta kegiatan Training Course APSCO di Dhaka Bangladesh Hal vii

7 DAFTAR TABEL Hal Tabel 1 Karakteristik data satelit penginderaan jauh... 3 Tabel 2 Institusi penerima informasi langsung hasil pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasis penginderaan jauh viii

8 DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran Personil Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 46 ix

9 KATA PENGANTAR Salah satu tugas dan fungsi Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan (Pusfatja) adalah menyelenggarakan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Dalam pelaksanaannya tugas dan fungsi tersebut dijalankan oleh Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Hasil-hasil kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut berupa model-model pemanfaatan untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana, juga berupa informasi kondisi lingkungan dan kebencanaan yang disampaikan kepada berbagai kalangan pengguna baik pemerintah maupun masyarakat umum. Informasi berbasiskan data penginderaan jauh yang dimaksud terdiri dari informasi daerah potensi banjir dan longsor, titik-titik panas (hotspots) yang mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan/lahan, kondisi vegetasi sawah, degardasi hutan, dan lain-lain, yang didiseminasikan kepada pengguna melalui website dan maupun dikirim langsung ke alamat pengguna. Buku ini berisikan rangkuman kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mendukung pemantauan lingkungan dan manajemen bencana di Indonesia. Disamping itu sesuai dengan keterlibatan Pusfatja dalam Sentinel Asia, kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mitigasi bencana juga dilakukan untuk membantu negaranegara di kawasan ASEAN yang sedang mengalami bencana. Tujuan penulisan buku ini selain sebagai bentuk pertanggungjawaban Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana dalam menjalankan tugas dan fungsinya, juga sebagai bahan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan bagi upaya penyempurnaan penulisan buku ini. Semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. M. Rokhis Khomarudin x

10 SAMBUTAN Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang rawan terhadap persoalan lingkungan dan berbagai jenis bencana. Berbagai kejadian kerusakan lingkungan maupun bencana memaksa kita untuk secara terus menerus meningkatkan kepedulian terhadap persoalan lingkungan dan kejadian bencana. Salah satu bentuk kepedulian dari pemerintah c.q. Lapan adalah membentuk Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja), yang mempunyai tugas dan fungsi antara lain menyelenggarakan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Kehadiran teknologi penginderaan jauh satelit yang dapat menghasilkan data dan informasi yang realtime dengan cakupan yang cukup luas (tergantung resolusi spasialnya), memungkinkan kita untuk berkontribusi dalam upaya pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Indonesia. Dalam kaitan itu Pusfatja, telah mencanangkan pembangunan Pusat Pemantauan Bumi Nasional dimana salah satu unsur utamanya adalah pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasiskan data penginderaan jauh (SIMBA Center). Berbagai hasil kegiatan terkait dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana yang telah dan sedang dilaksanakan, diuraikan secara singkat dalam buku ini. Hadirnya buku ini kehadapan para pembaca, bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada publik mengenai kiprah Pusfatja Lapan dalam mendukung pembangunan di Indonesia khususnya dalam pemantauan kondisi lingkungan dan mitigasi bencana berbasiskan data penginderaan jauh. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan tidak hanya bagi upaya penyempurnaan penulisan buku serupa di masa yang akan datang, tetapi juga bagi penetuan arah kebijakan Pusfatja untuk tahun berikutnya. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan kepada semua pihak, khususnya rekan-rekan dari Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, yang telah berupaya keras untuk menyusun dan menerbitkan buku ini. Jakarta, 20 April 2013 Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat, M.Sc. xi

11 PENDAHULUAN Tsunami Aceh 2004, Tsunami Pangandaran 2006, Gempa Bumi Yogyakarta 2006, Gempa Bumi Padang 2009, Letusan Merapi 2010, Banjir Bandang Wasior 2010, dan Tsunami Mentawai 2010 merupakan kejadian-kejadian bencana dahsyat yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar. Selain bencana-bencana tersebut, tercatat juga bencana-bencana rutin yang terjadi pada saat musim hujan dan musim kemarau. Pada saat musim hujan, banyak wilayah mengalami banjir dan pada saat musim kemarau beberapa wilayah mengalami kekeringan dan kebakaran hutan/lahan. Gempa merupakan bencana yang sering dirasakan oleh penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap bencana. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengatasi bencana baik dari sisi teknologi, regulasi maupun kesiapan masyarakat. Terbentuknya tsunami early warning system yang sekarang sudah dioperasikan di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika merupakan salah satu contoh dukungan teknologi dalam upaya pengurangan resiko bencana. Dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2007 merupakan usaha pemerintah untuk mengatur penanggulangan bencana di Indonesia. Pemberian pendidikan, training, dan gladi resik evakuasi bencana di wilayah yang sering terjadi bencana merupakan usaha-usaha dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merupakan salah satu lembaga pemerintah yang juga ikut berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana dengan sumber daya yang dimilikinya. Melalui Peraturan Kepala Lapan No. 2 Tahun 2011, menugaskan Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang berada di bawah Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, untuk melaksanakan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana. Buku ini menyajikan hasil-hasil pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana, baik yang sudah operasional, masih dalam penelitian dan pengembangan, dan tantangan dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di masa mendatang. 1

12 PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra. Citra penginderaan jauh dapat menggambarkan obyek suatu daerah dan gejala di permukaan bumi dengan: (a) wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, (b) relatif lengkap, (c) meliputi daerah yang luas, dan (d) permanen (Sutanto, 1992). Satelit penginderaan jauh memiliki berbagai karakteristik, sesuai dengan data yang dihasilkan dan pemanfaatannya. Karakteristik tersebut adalah : 1. Sistem sensor; terdapat dua sistem sensor dalam penginderaan yaitu sensor optis dan sensor radar. Hal yang membedakan kedua sensor adalah pada sistem energi yang direkam oleh sensor satelit. Jikalau sensor optis merekam hasil pemantulan objek oleh sinar matahari, sensor radar menerima gelombang elektromagnetik yang diemisikan oleh objek yang dihasilkan dari pancaran energi dari satelit radar. 2. Resolusi; terdapat empat resolusi yang sering digunakan dalam menerangkan data penginderaan jauh. Resolusi spasial, temporal, radiometrik, dan spektral. Resolusi spatial adalah ukuran permukaan bumi yang digambarkan dalam satu pixel citra satelit, resolusi temporal adalah frekuensi satelit untuk memotret suatu wilayah yang sama, dan resolusi radiometrik menentukan seberapa bagus suatu sistem untuk dapat membedakan intensity-nya. Biasanya ditunjukkan dengan satuan bit, seperti 8 bit, 10 bit, dan lain-lain. Resolusi spektral menunjukkan jumlah kanal atau saluran yang 2

13 dimiliki oleh satelit, yang menunjukkan kisaran spektral tertentu pada setiap kanalnya. Misalnya data SPOT-4 memiliki 4 kanal multi spektral dan 1 kanal pankromatik. 3. Lebar sapuan; lebar permukaan bumi yang dapat direkam oleh satelit, biasanya tergantung dari ketinggian orbit satelit dari permukaan bumi, semakin tinggi letak satelit, semakin lebar permukaan bumi yang dapat direkam. Sebagai contoh, satelit MTSAT terletak pada ketinggian km dapat memantau sepertiga luas bumi sedangkan satelit dengan ketinggian 870 km memiliki lebar sapuan 2800 km. 4. Sistem orbit; terdapat beberapa sistem orbit yang dikenal di penginderaan jauh, yaitu orbit polar, orbit equatorial, dan orbit tetap (geostationer). Orbit polar adalah suatu lintasan satelit dari kutub ke kutub yang ada di bumi dan orbit equatorial adalah suatu lintasan satelit yang sejajar dengan garis equator. Orbit geostationer adalah berorbit tetap, biasanya memiliki ketinggian km. Seiring dengan perkembangan teknologi, citra satelit berkembang dengan sangat pesat dari resolusi spasial yang sangat rendah sampai dengan sangat tinggi. Aplikasinya juga berkembang dari aplikasi cuaca, pemetaan sumberdaya alam, hingga perencanaan tata ruang perkotaan. Teknik/metode-pun berkembang dengan cepat dari teknik klasifikasi berbasiskan pixel, sub pixel hingga berbasiskan objek. Perkembangan ini juga ditunjang dengan perkembangan teknologi pengolah data yang semakin memudahkan pengguna untuk menganalisa citra satelit yang diperoleh. Sebagai gambaran umum teknologi satelit yang berkembang disajikan pada Tabel 1. Pengetahuan karakteristik data ini dapat membantu dalam perencanaan penggunaan data sesuai dengan kebutuhan pengguna baik untuk keperluan analisa sumberdaya alam maupun pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Indonesia. Tabel 1. Karakteristik data satelit penginderaan jauh Nama Satelit Penginderaan Jauh Karakteristik Keterangan Contoh Gambar Sistem sensor Optis Resolusi: Resolusi spasial 1 km (visible), 4 km (inframerah) Resolusi temporal 1 jam Multifunctional 5 kanal (1 kanal visible, Transport Satellite Resolusi spektral 4 kanal inframerah) (MTSAT) 10 bit (untuk visible Resolusi radiometrik dan inframerah), gradasi 1024 Lebar sapuan Sepertiga luas bumi Sistem orbit Geostationer 3

14 Nama Satelit Penginderaan Jauh National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA/AVHRR) Terra/Aqua Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) LANDSAT ETM +7 SPOT Karakteristik Keterangan Contoh Gambar Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Optis 1 km at Nadir 4 kali melintas di wilayah Indonesia 5 kanal 10 bit 2800 Km Near polar Optis 250 m kanal m kanal km kanal hari 36 kanal 12 bit 2330 Km Near polar Optis 30 m kanal 1-5 dan 7 60 m kanal 6 15 m kanal pankromatik 16 hari 8 kanal (7 kanal multispektral, 1 kanal pankromatik 8 bit 185 Km Polar Optis 10 m untuk multispektral 2.5 m untuk pankromatik 26 hari 5 kanal, 4 kanal multispektral dan 1 kanal pankromatik 8 bit 60 km Polar 4

15 Nama Satelit Penginderaan Jauh IKONOS QUICKBIRD Synthetic Aperture Radar (SAR) Terra SAR X Karakteristik Keterangan Contoh Gambar Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Resolusi spasial Resolusi temporal Resolusi spektral Resolusi radiometrik Lebar sapuan Sistem orbit Sistem sensor Resolusi: Optis 1 m kanal pankromatik 4 m kanal multispektral 3 sampai 5 hari 5 kanal, 4 kanal multispektral, dan 1 kanal pankromatik 8 bit 11 km Polar Optis 0.61 m pankromatik, 2.41 m 2.8 m hari 5 kanal, 4 kanal multispektral, 1 kanal pankromatik 11 bit 16.5 m Polar RADAR HighResolution Spotlight: 1 m Resolusi spasial SpotLight: 2 m StripMap: 3 m ScanSAR: 18 m Resolusi temporal 11 hari Single, dual, dan quad Resolusi spektral polarisation Resolusi radiometrik - HighResolution Spotlight: 10 x 5 km Lebar sapuan SpotLight: 10 x 10 km StripMap: 30 x 50 km ScanSAR: 100 x 150 km Sistem orbit Polar Sistem sensor RADAR 5

16 PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN Pemantauan lingkungan dapat didefinisikan sebagai proses atau kegiatan yang bertujuan mengindentifikasi dan memantau kualitas lingkungan. Lingkungan sendiri dapat diartikan sebagai kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan, bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Inti permasalahan dalam pemantauan lingkungan adalah bagaimana dapat mengidentifikasi dan memantau kualitas dari lingkungan. Tingkatan-tingkatan kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik merupakan komponen penting dalam pemantauan lingkungan. Satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau kondisi lingkungan tersebut, seperti pemantauan kekeringan, banjir, dan hama penyakit di lahan sawah, pemantauan perubahan hutan dan degradasinya, pemantauan kualitas air sungai maupun danau, pemantauan pencemaran air laut, pemantauan pencemaran kondisi tanah, dan lain sebagainya. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana melakukan penelitian dan pengembangan untuk pemantauan lingkungan. Beberapa kegiatan penelitian dan pengembangan yang saat ini dilakukan di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana adalah deteksi perubahan lahan hutan, deteksi degradasi hutan, deteksi sebaran asap dan pemetaan daerah bekas terbakar. Deteksi Perubahan Lahan Hutan Secara umum perubahan yang terjadi pada objek dipermukaan bumi akan merubah pantulan gelombang elektromagnetik dari objek tersebut. Hal ini juga akan mempengaruhi citra yang dihasilkan oleh satelit. Menangkap fenomena tersebut, penelitian dan pengembangan ini mengkaji kemampuan data MODIS untuk mendeteksi perubahan penutup lahan terutama areal hutan di sekitar pertambangan. Kegiatan ini menggunakan Enhanced Vegetation Index (EVI) yang diperoleh dari data MODIS. Trend nilai EVI dianalisis, kemudian dapat ditentukan apakah di suatu wilayah terdapat perubahan hutan atau tidak. Analisa visual juga digunakan untuk membantu memastikan terjadinnya perubahan hutan. Gambar 1, merupakan contoh hasil penelitian dan pengembangan deteksi perubahan lahan hutan di tambang Newmont Nusa Tenggara Barat. Tampak terdapat perubahan lahan hutan selama 5 tahun ( ). 6

17 Gambar 1. Perubahan lahan hutan di sekitar tambang Newmont Nusa Tenggara Barat Deteksi Degradasi Hutan Definisi degradasi berbeda dengan perubahan. Suatu lahan hutan yang mengalami perubahan biasanya sudah berubah menjadi lahan non-hutan. Namun pada definisi degradasi, hutan masih ada, namun sudah mengalami kerusakan baik tingkat ringan, sedang, maupun berat. Tantangan dalam mendeteksi degradasi hutan lebih tinggi dibandingkan dengan deteksi perubahan lahan hutan. Oleh karena itu, dalam mendeteksi degradasi hutan diperlukan teknik khusus dalam identifikasinya. Penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk degradasi hutan dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Spektral Mixture Analisis (SMA) merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi degradasi hutan dengan data satelit LANDSAT dan SPOT-4. Penelitian ini belum selesai, sehingga belum dapat diketahui seberapa efektif SMA dapat mendeteksi degradasi hutan. Gambar 2, merupakan contoh degradasi hutan di Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat. 7

18 Gambar 2. Perubahan kondisi hutan alami menjadi hutan terdegradasi di Kabupaten Sintang periode tahun Deteksi Sebaran Asap Masalah asap merupakan permasalahan klasik di Indonesia yang sampai sekarang belum dapat diselesaikan walaupun usaha-usaha pemerintah dan masyarakat sudah banyak dilakukan. Masalah lingkungan ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia, terutama Kalimantan dan Sumatera, namun sudah berimbas ke negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Penelitian dan pengembangan untuk mendeteksi sebaran asap sangat bermanfaat sehingga dapat digunakan untuk pemantauan sebaran asap secara harian. Informasi ini dapat digunakan untuk mengantisipasi sebaran asap agar tidak meluas lagi. Tantangan dalam melakukan penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sebaran asap adalah membedakan antara asap dengan awan secara digital. Gambar 3 8

19 merupakan contoh pemantauan sebaran asap pada tanggal 12 dan 14 Juni 2012 dengan cara visual. Gambar 3. Sebaran asap dan hotspot di Propinsi Riau Pemetaan Daerah Bekas Terbakar Daerah bekas terbakar akan menyebabkan permasalahan lingkungan jika tidak segera dikelola dan diberdayakan wilayah yang terbakar. Penurunan kualitas lahan dan degradasi hutan merupakan masalah yang timbul setelahnya. Pemetaan daerah bekas terbakar dapat membantu dalam perencanaan rehabilitasi lahan dan juga untuk penegakan hukum kepada perusahaan-perusahaan yang membakar lahannya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data SPOT-4 dengan menggunakan Normalized Band Ratio (NBR) sebagai Indeks yang digunakan untuk mendeteksi daerah bekas terbakar. Penelitian ini juga dapat membedakan antara pembukaan lahan dengan membakar dan tidak membakar. Gambar 4, Hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan bekas terbakar di Propinsi Riau 9

20 Gambar 4. Hasil penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan bekas terbakar di Propinsi Riau OPERASIONAL PEMANTAUAN LINGKUNGAN Saat ini Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan telah mengembangkan suatu sistem pemantauan lingkungan yang sudah beroperasional antara lain; pemantauan fase pertumbuhan padi, pemantauan tingkat kekeringan dan banjir di lahan sawah. Fase Pertumbuhan Padi Pemantauan fase pertumbuhan padi dilakukan untuk mengetahui, kapan waktu tanam dan juga waktu panen di Pulau Jawa dan Bali (Gambar 5). Data yang digunakan adalah MODIS 8 harian dan secara sederhana metode pemantauan menggunakan indeks vegetasi EVI untuk memantau kondisi pertumbuhan padi. Informasi ini sangat penting bagi pemerintah dalam rangka perencanaan panen dan juga perkiraan produksi padi di Pulau Jawa. Secara berkala (setahun 3 kali), informasi ini disampaikan ke Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rapat koordinasi Angka Ramalan produksi padi (ARAM) bersamasama dengan Kementerian Pertanian, BULOG, dan instansi lainnya. Model fase pertumbuhan padi yang telah dioperasionalkan ini telah melalui tahapan penelitian yang panjang dan memiliki akurasi yang baik. Gambar 6, merupakan hasil survey lapangan dibeberapa wilayah di Pulau Jawa dan Bali menunjukkan bahwa fase 10

21 pertumbuhan padi yang dipantau dari data satelit penginderaan jauh sama dengan fase pertumbuhan padi di lapangan. Dapat dikatakan bahwa akurasi pemantauan fase pertumbuhan padi sudah mencapai lebih dari 80%. Hasil ini dapat digunakan oleh Kementerian Pertanian sebagai rujukan dalam pengelolaan lahan sawah khususnya pada tanaman padi dan perkiraan waktu tanam dan padi di Pulau Jawa dan Bali. Gambar 5. Fase pertumbuhan padi sawah di Pulau Jawa dan Bali, periode 30 Maret April 2013 Gambar 6. Survey lapangan untuk validasi fase pertumbuhan padi 11

22 Pemantauan Kekeringan dan Banjir Lahan Sawah Untuk melakukan pemantauan kekeringan di lahan sawah, parameter yang digunakan adalah indeks vegetasi EVI dari satelit Terra/Aqua MODIS, curah hujan dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), evapotranspirasi yang di-estimasi dari Land Surface Temperature (LST), sedangkan untuk pemantauan lahan sawah berpotensi banjir digunakan data indeks vegetasi EVI dan curah hujan dari TRMM. Pada Gambar 7, terlihat wilayah yang berwarna merah adalah lahan sawah yang berpotensi banjir dengan tingkat rawan yang sangat berat, sedangkan yang berwarna hijau merupakan lahan sawah yang tidak mengalami banjir. Informasi ini berguna untuk perkiraan produksi padi akibat adanya gangguan lingkungan yang dialami oleh lahan sawah. Gambar 8, menunjukkan Tingkat rawan kekeringan lahan sawah di Pulau Jawa dan Bali. Bagi Kementerian Pertanian, informasi ini menjadi penting dalam memperkirakan ketersediaan pangan di suatu wilayah. Gambar 7. Tingkat rawan banjir lahan sawah di Pulau Jawa dan Bali, periode 30 Maret April

23 Gambar 8. Tingkat rawan kekeringan lahan sawah di Pulau Jawa dan Bali, Periode September 2012 TANTANGAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN Tantangan lebih lanjut dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan adalah bagaimana menyediakan informasi yang akurat mengenai kondisi lingkungan di Indonesia. Pusat-pusat pemantauan bumi (Earth Observation Center) di dunia telah banyak berkembang untuk memantau kondisi permukaan bumi, baik status maupun perubahannya. Otomatisasi dari sistem pemantauan bumi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh merupakan tantangan ke depan yang harus ditindaklanjuti. Perubahan lingkungan, perubahan penutup lahan, pencemaran air, tanah, udara, perubahan suhu udara, dan perubahan-perubahan lainnya yang diakibatkan pertambahan jumlah penduduk dan industri merupakan trend tantangan ke depan dalam kegiatan pemantauan lingkungan. Perkembangan teknologi penginderaan jauh merupakan tantangan dalam pemantauan lingkungan dalam membuat model-model baru pemanfaatan data penginderaan jauh. 13

24 Isu-isu perubahan lingkungan tersebut, akhirnya juga dihubungkan dengan kejadiankejadian bencana yang melanda di Indonesia. Hal ini juga merupakan tantangan lain dari kegiatan pemantauan lingkungan yang dihubungkan dengan kegiatan mitigasi bencana. Salah satu contoh tantangan pemantauan lingkungan yang sangat menarik adalah pemantauan lahan yang tercemar oleh limbah B3. Meningkatnya industrialisasi di Indonesia akan menyebabkan peningkatan pencemaran lahan oleh limbah B3. Pengamatan dan uji laboratorium biasanya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Teknologi penginderaan jauh merupakan suatu yang dimungkinkan dapat membantu pemantauan pencemaran limbah B3. Beberapa penelitian terdahulu dalam memanfaatkan data penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 telah dikaji oleh Slonecker et al. (2010). Hasil kajian yang telah dilakukan menunjukkan beberapa aplikasi dengan data penginderaan jauh yang berbeda untuk memantau lahan tercemar limbah B3. Dalam kajian disebutkan bahwa kebanyakan data satelit penginderaan jauh digunakan untuk mendeteksi limbah B3 dengan analisa visual dengan menginterpretasikan morfologi lahan tercemar dari karakteristik produksi, simpanan, pembuangan, dan efeknya terhadap lingkungan. Foto udara merupakan data yang sering digunakan untuk memantau kondisi. Data historik dari foto udara yang baik merupakan keunggulan data ini untuk dapat memantau lahan sebelum, saat, dan setelah tercemar. Namun, data ini sangat mahal, sehingga untuk wilayah yang luas memerlukan biaya yang sangat mahal dalam kegiatan pemantauannya. Gambar 9, merupakan contoh daerah pembuangan drum yang memungkinkan tercemar limbah B3 di Amerika Serikat (Sumber: The EPA/Environmental Photographic Interpretation Center (EPIC)). Pada kajian tersebut, juga menunjukkan bahwa data penginderaan jauh multispektral dapat digunakan untuk memantau pencemaran limbah B3 di suatu wilayah. Data seperti landsat TM dengan resolusi menengah dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan lahan tercemar. Demikian juga satelit multispektral yang lebih tinggi seperti IKONOS juga dapat digunakan untuk memantau lahan tercemar dengan analisis spektral. 14

25 Gambar 9. Contoh foto udara yang menampilkan lokasi pembuangan drum dan potensial tercemar limbah B3 (Sumber: Slonecker et al.,2010) Gambar 10, merupakan contoh hasil deteksi daerah tercemar dengan satelit IKONOS. Potensi lain yang telah dilakukan oleh para peneliti dengan memanfaatkan data penginderaan jauh thermal inframerah. Data thermal inframerah ini memungkinkan untuk melihat daerah tercemar berdasarkan suhu permukaan tanah. Walaupun berpotensi, namun untuk data thermal inframerah perlu dilakukan penelitian yang komprehensif lebih lanjut. Gambar 10. Deteksi daerah tercemar dengan Data IKONOS dengan menggunakan klasifikasi maximum likelihood (Sumber : Slonecker et al. (2010)) Potensi aplikasi penginderaan jauh untuk pemantauan lahan yang tercemar oleh limbah B3 dapat diperlihatkan oleh perbedaan pantulan panjang gelombang tertentu antara 15

26 wilayah rerumputan dengan 0 ppm arsenic dan wilayah dengan 3498 ppm arsenic. Grafik tersebut ditunjukkan pada Gambar 11 berikut. Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 adalah cukup tinggi. Gambar 11. Perbedaan nilai reflectance (pantulan) daerah rerumputan yang tercemar arsenic 3498 pp dan yang tidak tercemar Tantangan lainnya dari pemantauan lingkungan adalah kejadian deformasi permukaan tanah (land deformation) merupakan perubahan posisi permukaan tanah dalam arah vertikal dan horizontal yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu aktifitas seismik, penggunaan air tanah yang intensif, aktivitas pertambangan, perubahan penggunaan lahan dan pertambahan jumlah bangunan dan aktifitas termal pada lapisan litosfer. Indonesia yang pada posisinya berada pada pertemuan lempeng tektonik sangat berpotensi terhadap gempa yang merupakan salah satu faktor terjadinya land deformation. Efek dari deformasi permukaan tanah ini adalah kenaikan permukaan tanah (uplift) ataupun penurunan muka tanah (landsubsidence). Oleh sebab itu studi karakteristik deformasi permukaan tanah ini sangat diperlukan dalam penentuan pola dan laju dari deformasi tersebut. Hal ini diperlukan untuk perencanaan dan penataan lokasi pembangunan dan pusat aktifitas. Teknik pemetaan spasial dan temporal yang mampu mengamati deformasi permukaan tanah sangat diperlukan untuk pemetaan tesebut. Teknologi penginderaan jauh memiliki kemampuan untuk memetakan deformasi permukaan tanah dalam skala besar. Dengan kondisi Indonesia yang berada di daerah tropis yang memiliki intensitas hujan yang tinggi dan cakupan awan yang cukup banyak 16

27 sehingga sangat tepat jika pemetaan deformasi tanah ini dilakukan dengan menggunakan data RADAR dan akan lebih baik jika didukung dengan adanya pengamatan lapangan pada lokasi deformasi untuk akurasi hasil. Fokus penelitian yang sedang dilakukan Lapan terkait kerja sama dengan BPPT dan JAXA AIT yaitu keterkaitan penurunan muka tanah (land subsidence) dengan sebaran banjir rob yang terjadi di daerah Pekalongan Jawa Tengah, yang dalam hal ini akan dilihat hubungan antara luas sebaran banjir dan efek dari penurunan muka tanah tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ALOS PALSAR level 1.0 tahun dengan menggunakan metode Synthetic Aperture Radar (InSAR). Dalam metode InSAR ini digunakan single polarimetric yaitu dengan menggunakan polarisasi HH, dimana digunakan dua kombinasi citra dengan daerah yang sama pada waktu yang berbeda untuk mengukur perubahan permukaan tanah. Teknik yang digunakan adalah dengan mengukur perbedaan fase sinyal backscatter dari dua akuisisi tersebut. Pada proses ini digunakan kombinasi citra dengan nilai per-pendicular baseline yang kecil dan temporal baseline yang relatif singkat untuk meminimalisir dekorelasi spasial dan temporal dari interferogram tersebut. Hasil akhir dari pengolahan data InSAR merupakan nilai perubahan permukaan tanah (displacement), dimana dari hasil ini dapat dilihat dengan nilai kenaikan dan penurunan permukaan tanah pada daerah kajian tersebut. Gambar 12 merupakan contoh pengolahan land subsidence di Kabupaten Pekalongan. Gambar 12. Hasil perhitungan land subsidence di Pekalongan 17

28 PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA Seperti halnya dalam kegiatan pemantauan lingkungan, kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mitigasi bencana di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana terbagi menjadi dua; kegiatan operasional dan kegiatan penelitian dan pengembangan dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MITIGASI BENCANA Hasil-hasil kegiatan pemantauan yang telah beroperasional selalu dikaji kembali dengan informasi/feedback dari pengguna tentang akurasi maupun kelemahan dari informasi yang disajikan. Kegiatan-kegiatan untuk memperbaiki informasi yang telah dihasilkan adalah validasi daerah potensi banjir dan validasi hotspot. Selain validasi, penelitian dan pengembangan di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang saat ini terus dilakukan adalah pengembangan potensi daerah kekeringan, zonasi daerah resiko banjir, zonasi daerah resiko merapi, dan ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk bencana. Kegiatan penelitian yang terakhir disebutkan adalah dalam rangka pemetaan cepat daerah bencana dengan data penginderaan jauh. Validasi Hotspot Informasi hotspot bukanlah sepenuhnya informasi kebakaran hutan/lahan di suatu wilayah. Hotspot merupakan suatu suatu titik dimana memiliki panas/suhu yang sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya yang dideteksi oleh satelit. Suatu tambang batubara atau lahan terbuka berpasir dapat dideteksi sebagai hotspot dalam citra satelit. Untuk mengetahui secara pasti berapa persen hotspot yang benar-benar kebakaran lahan/hutan atau bukan perlu dilakukan validasi. Metode dan hasil validasi yang dilakukan disajikan pada Gambar 13. Pada gambar tersebut diperlihatkan bahwa dengan metode survey pengecekan langsung di lapangan, analisa visual, dan juga analisa radius hotspot hingga 2 km dihasilkan bahwa hotspot yang benar-benar kebakaran hutan/lahan adalah sekitar 43%. Commision error sebesar 53% menunjukkan bahwa lebih dari 50% hotspot bukan benar-benar kebakaran hutan/lahan. Hasil ini merupakan tantangan dalam riset untuk mendeteksi titik panas yang benarbenar terjadi kebakaran. 18

29 Gambar 13. Metode validasi hotspot dan hasilnya Kekeringan Lahan Kegiatan pemantauan kekeringan lahan dengan data penginderaan jauh sudah banyak dilakukan dan memiliki perkembangan yang sangat baik. Beberapa metode dengan menggunakan Indeks vegetasi seperti NDVI, SAVI, dan Indeks lainnya. Indeks vegetasi memang cukup efektif dalam memantau kekeringan lahan, namun masih dalam sebatas kekeringan agronomis, perlu suatu pengembangan dalam penelitian untuk deteksi lahan kekeringan. Dalam Space Applications for Environment (SAFE) Project yang digagas oleh APRSAF, Lapan mengembangkan prototype untuk pemantauan kekeringan lahan dengan menggunakan beberapa Indeks untuk memantau kekeringan. Indek yang digunakan adalah Standardized Precipitation Indeks (SPI) yang menggunakan parameter curah hujan dalam menentukan tingkat kekeringan. Data yang digunakan dalam perhitungan SPI adalah data TRMM. Vegetation Health Indeks (VHI) juga digunakan untuk memantau tingkat kekeringan pada suatu lahan sawah dengan menggunakan data MODIS dan Keetch Byram Drought Indeks (KBDI) untuk memantau kekeringan pada suatu lahan. Gambar 14 merupakan hasil indek pemantauan kekeringan dengan SPI, VHI dan KBDI dihubungan dengan kejadian El Nino. Kegiatan ini masih memerlukan validasi untuk pengembangan model. 19

30 Gambar 14. Indeks pemantauan kekeringan lahan Zonasi Daerah Resiko Banjir Pemetaan atau zonasi daerah resiko bencana merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam upaya mitigasi bencana dan perencanaan tata ruang suatu wilayah. Diketahuinya daerah resiko bencana suatu wilayah memudahkan dalam pengaturan evakuasi, perijinan pembangunan rumah, dan pengelolaan sumberdaya lahan lainnya. Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia dan menempati rangking pertama dalam jumlah kejadian di Indonesia. Penggunaan data penginderaan jauh dapat membantu dalam zonasi daerah resiko banjir di suatu wilayah. Penelitian dilakukan untuk memberikan suatu rekomendasi di wilayah dalam penanganannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana adalah zonasi daerah resiko banjir di Kabupaten Sampang. Gambar 15 dan gambar 16, merupakan contoh hasil zonasi daerah bahaya dan resiko banjir di Kabupaten Sampang. Pada gambar tersebut terlihat bahwa daerah bahaya tidak beresiko pada suatu wilayah yang tidak ada pemukiman, infrastruktur penting, dan wilayah ekonomi strategis lainnya. Penelitian masih terus dilanjutkan sehingga didapatkan rekomendasi penanganan banjir secara komprehensif di Kabupaten Sampang. 20

31 Gambar 15. Zonasi daerah bahaya banjir di Kabupaten Sampang Gambar 16. Zonasi daerah resiko kerentanan banjir di Kabupaten Sampang 21

32 Zonasi Daerah Resiko Merapi Seperti halnya dengan penelitian zonasi resiko banjir, zonasi resiko bahaya gunung api juga dapat dibuat dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Simulasi aliran material erupsi dapat dilakukan dengan baik dengan menggunakan data DEM SRTM. Hasil beberapa simulasi yang dilakukan dapat digunakan untuk memetakan daerah bahaya letusan gunung berapi. Kegiatan penelitian saat ini difokuskan pada zonasi daerah resiko merapi untuk melihat potensi aliran material erupsi dan piroclastik. Gambar 17 merupakan hasil zonasi daerah resiko Merapi yang diperoleh dan pemodelan arah aliran material erupsi. Pada gambar tersebut terlihat daerah yang memiliki peluang terkena aliran material erupsi tinggi dengan warna merah. Gambar 17. Zonasi daerah bahaya Merapi Ekstraksi Paramater Fisis Penginderaan Jauh untuk Bencana Data penginderaan jauh memiliki parameter fisis yang dapat digunakan untuk mendeteksi daerah yang terkena bencana dengan cepat. Namun, penentuan parameter fisis yang tepat merupakan suatu kunci dalam pemetaan cepat daerah yang terkena bencana. Oleh karena itu, penelitian untuk hal tersebut perlu dilakukan baik dengan menggunakan data optis maupun radar. 22

33 Gambar 18 merupakan contoh hasil ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk mendeteksi daerah terkena banjir di Karawang. Pada gambar terdeteksi daerah terkena air maupun tidak terkena air. Gambar 18. Ekstraksi parameter fisis penginderaan jauh untuk bencana banjir KEGIATAN OPERASIONAL MITIGASI BENCANA Beberapa kegiatan yang sudah beroperasional untuk tujuan mitigasi bencana adalah pemantauan potensi banjir, Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK), Pemantauan hotspot, dan sistem tanggap darurat bencana. Semua informasi hasil pemantauan disajikan dalam website SIMBA (Sistem Informasi Mitigasi Bencana) dengan alamat website, Pemantauan Potensi Banjir Pemantauan potensi banjir merupakan kegiatan harian yang memanfaatkan data penginderaan jauh untuk memantau potensi banjir di seluruh wilayah Indonesia. Data satelit yang digunakan adalah data MTSAT yang dapat diterima setiap jam sekali. Inti dari kegiatan ini adalah memantau potensi awan yang berpotensi menghasilkan hujan lebat, dan jika tiga hari berturut-turut berada di atas suatu wilayah yang sering terjadi banjir atau daerah genangan, maka daerah tersebut diberikan warna merah yang berarti berpotensi banjir. Peta daerah genangan diperoleh dari analisa kombinasi data genangan yang diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum dengan data DEM SRTM dan Landsat 23

34 TM beserta dengan data historical banjir yang dikumpulkan dari berbagai media. Peta ini kemudian disebut sebagai peta daerah genangan atau daerah yang sering terkena banjir secara historis. Hasil dari informasi potensi hujan ini telah dilakukan validasi dengan data kejadian banjir yang disampaikan media. Metode yang digunakan untuk pemantauan potensi banjir ini memiliki akurasi antara 60-80% tergantung dari wilayah validasinya. Informasi disajikan dalam bentuk gambar dan tabel yang terbagi menjadi 9 zona pemantauan, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua (Gambar 19). Gambar 19. Informasi daerah potensi banjir yang disajikan dalam website SIMBA Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Sistem peringkat bahaya kebakaran yang dioperasionalisasikan mengadopsi metode dari Canadian Forest Fires Danger Rating System yang beberapa parameternya sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sistem ini dapat memberikan suatu peringatan kepada masyarakat tentang bahaya kebakaran. Terdapat beberapa Indeks yang menyatakan bahwa suatu bahan bakar halus mudah terbakar jika suatu Indeks mencapai nilai tertentu, demikian juga ada suatu Indeks yang menyatakan bahwa kebakaran akan cepat menyebar jika mencapai suatu Indeks tertentu. 24

35 Parameter yang digunakan dalam membuat sistem ini adalah unsur-unsur cuaca yaitu, curah hujan, suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Di Lapan unsur-unsur cuaca tersebut diturunkan dari data penginderaan jauh resolusi spasial rendah seperti NOAA AVHRR dan Terra/Aqua MODIS. Seperti halnya pemantauan potensi banjir, informasi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran disajikan dalam dua tipe informasi, yaitu gambar dan tabel. Gambar 20 merupakan contoh informasi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran. Gambar 20. Informasi Peringkat Bahaya Kebakaran Pemantauan Hotspot Sejak tahun 1990-an, Lapan telah aktif menyampaikan informasi titik panas (hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan/lahan di suatu wilayah. Informasi ini sangat berguna bagi masyarakat maupun pemerintah daerah dalam upaya pemadaman kebakaran secepat mungkin. Data yang digunakan dalam pemantauan ini adalah NOAA AVHRR dan Terra/Aqua MODIS yang memiliki resolusi temporal tinggi, sehingga pemantauan dapat dilakukan tiap hari. Pada tahun tahun 2008, Lapan bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pendidikan, Universitas Bina Nusantara, dan Landgate Australia mengembangkan sistem pemantauan kebakaran hutan/lahan 25

36 secara automatis dengan nama INDOFIRE. Pada sistem ini terdapat 3 webserver yang dapat secara langsung menampilkan informasi hotspot. Webserver tersebut terletak di Lapan, Kementerian Kehutanan, dan Landgate Australia. Harapannya, jika salah satu webserver tidak hidup, di tempat lain masih hidup dan pemantauan hotspot terus beroperasi. Gambar 21, merupakan contoh tampilan web Indofire untuk Pemantauan hotspot. Gambar 21. Sistem Indofire untuk pemantauan hotspot Kerjasama Lapan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Landgate Australia Sistem Tanggap Darurat Bencana Pelaksanaan sistem tanggap darurat sejak berlangsung hampir 8 tahun belakangan ini sejak terjadinya Tsunami Aceh 2004 yang memandang data penginderaan jauh sangat penting dalam dalam penanggulangan bencana. Informasi suatu lokasi bencana, dimana terjadinya bencana dan berapa luasan area yang terkena bencana merupakan informasi yang penting dalam kegiatan tanggap darurat bencana. Data ini dapat digunakan untuk reaksi cepat dan pemberian bantuan kepada orang yang tertimpa bencana. 26

37 Standard Operasional Prosedur (SOP) Lapan dalam tanggap darurat terjadi pada saat terjadi bencana telah disepakati seperti disajikan pada Gambar 22. Pada gambar tersebut, diungkapkan bahwa jika terjadi bencana, Tim tanggap darurat bencana melakukan koordinasi internal, kemudian melakukan pencarian data sebelum dan sesudah bencana, dan kemudian dianalisis, dipetakan dan disampaikan dalam website. Jika data dalam database Lapan tidak ada, maka Tim akan berkoordinasi dengan Sentinel Asia untuk mendapatkan data yang diperlukan. Jika tidak ada juga, maka melalui Sentinel Asia, tim dapat mengaktifkan International Charter untuk mendapatkan bantuan internasional. Gambar 22. Diagram Alir SOP sistem tanggap darurat bencana Salah satu contoh analisa tanggap darurat yang telah dilakukan adalah pada saat bencana banjir bandang Wasior Papua (Gambar 23). Pada gambar tersebut terlihat data sebelum dan sesudah terjadi bencana banjir bandang, dan dapat disimpulkan tidak terdapat perubahan penutup lahan yang cukup signifikan di daerah hulu di Wasior Papua. Tampak curah hujan pada gambar merupakan penyebab utama dari kejadian banjir tersebut. 27

38 Gambar 23. Contoh tanggap darurat bencana banjir bandang Wasior Papua TANTANGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI BENCANA Tantangan pemanfaatan penginderaan jauh untuk mitigasi bencana yang paling utama adalah bagaimana menyampaikan informasi kebencanaan secara efektif, efisien, akurat dan cepat, sehingga masyarakat di zona bahaya bencana dapat mengantisipasi bencana yang terjadi. Kegiatan operasionalisasi dan kegiatan penelitian pengembangan yang telah dilakukan merupakan salah satu upaya agar informasi kebencanaan yang disampaikan cepat dan akurat. Pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemetaan cepat bencana, dilakukan dalam memberikan solusi meminimalisir resiko yang terjadi dalam bencana alam. Fase sebelum terjadi bencana merupakan fase yang sangat penting bahkan paling penting dalam mengurangi resiko bencana. Salah satu upaya pencegahan yang penting adalah analisa resiko kebencanaan. Dalam analisa resiko terdapat dua komponen penting yaitu bahaya dan kerentanan. Untuk menentukan dua komponen tersebut, peranan data penginderaan jauh sangat penting. 28

39 Dalam penentuan daerah bahaya bencana diperlukan data Digital Elevation Model (DEM) terutama untuk bahaya banjir, tsunami, dan bahaya aliran lava gunung berapi. Semakin detail data DEM semakin detail juga daerah bahaya dapat dipetakan. Daerah bahaya ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui kondisi wilayahnya terhadap bencana. Kegiatan penting lainnya yang dapat digunakan untuk pencegahan adalah sistem peringatan dini (early warning system). Sistem ini akan memberikan informasi secepat mungkin tentang datangnya bencana. Sistem telemetri banjir, Indonesian Tsunami Warning System (INATEWS), sistem pemantauan gunung berapi, dan sistem peringatan bahaya kebakaran hutan merupakan berbagai cara manusia untuk memberikan peringatan akan datangnya suatu bencana. Data penginderaan jauh dapat berperan dalam penyampaian informasi peringatan dini. Contoh kegiatan yang sudah ada di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan adalah sistem peringkat bahaya kebakaran hutan/lahan, sistem pemantauan potensi banjir, prediksi cuaca bulanan, prediksi bahaya kekeringan bulanan, dan pemantauan kekeringan di lahan sawah. Pengembangan masih perlu dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari informasi. Pemanfaatan teknologi radar, Unmanned Aerial Vehicle (UAV), dan satelit masa depan merupakan suatu tantangan dalam kegiatan pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana di Lapan. Model-model pemanfaatan penginderaan jauh secara automatis merupakan tantangan lebih lanjut. Gambar 24 merupakan contoh aplikasi teknologi UAV dalam pemetaan cepat bencana. Gambar 24. Contoh aplikasi teknologi UAV untuk pemetaan cepat bencana 29

40 DISEMINASI INFORMASI Semua informasi yang telah dihasilkan dari kegiatan operasional baik pemantauan lingkungan maupun hasil peneltian dan pengembangan untuk mitigasi bencana didiseminasikan melalui website Sistem Informasi Mitigasi Bencana Alam (SIMBA) yang dapat diakses melalui dan Selain itu diseminasi dilakukan melalui website Sentinel Asia ( dan diberikan langsung kepada 33 instansi pengguna, seperti: BNPB, BPBD, dan UKP4. Website SIMBA Website SIMBA mulai dibangun sejak tahun 2003 dalam sistem yang sangat sederhana. Informasi yang disampaikan dalam website tersebut adalah pemantauan hotspot, NDVI, pemantauan fase pertumbuhan padi, pemantauan potensi banjir, dan pemantauan lingkungan lainnya. Seiring dengan waktu, beberapa kegiatan yang dulunya dikerjakan secara manual sudah berkembang menjadi pengolahan otomatisasi. Harapannya, semua informasi yang sudah operasional dapat diautomatisasi sehingga dapat menghemat tenaga kerja manusia. Gambar 25, merupakan tampilan website SIMBA. Gambar 25. Tampilan website SIMBA terkini 30

41 Sentinel Asia Diseminasi informasi kebencanaan berbasis data penginderaan jauh dapat disampaikan melalui website Sentinel Asia (Gambar 26). Pada tahun 2004, Sentinel Asia dibentuk secara inisiasi sukarela (voluntary) yang dikoordinasi oleh APRSAF (Asia-Pasific Regional Space Agency Forum) untuk mendukung kegiatan manajemen kebencanaan di wilayah Asia Pasifik berbasiskan data satelit penginderaan jauh. Pada dasarnya lingkup kegiatan Sentinel Asia adalah menghubungkan antara komunitas antariksa (Space Community) misalnya APRSAF dengan komunitas pengurangan bencana (Disaster Reduction Community) misalnya ADRC (Asian Disaster Reduction Center) dan Negara anggota, serta komunitas Internasional misalnya UNESCAP, UNOOSA, ASEAN, AIT. Gambar 26. Website Sentinel Asia sebagai sarana penyebaran informasi Diseminasi Langsung Saat ini terdapat sekitar 33 instansi yang dikirim langsung informasi pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana setiap bulan. Informasi yang disampaikan adalah perkembangan hasil pemantauan lingkungan dan informasi kebencanaan yang terjadi di Indonesia. Daftar 33 instansi tersebut adalah sebagai Tabel 2 berikut: 31

42 Tabel 2. Institusi Penerima Informasi langsung hasil pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasis penginderaan jauh NO. NAMA INSTITUSI 1. Kepala Badan Meteorologi Klimatollogi Geofisika 2. Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum 3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian 4. Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian 5. Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi 6. Deputi Bidang Statistik Ekonomi, Badan Pusat Statistik 7. Deputi Survei Dasar Sumberdaya Alam, Badan Informasi Geospasial 8. Deputi I Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial, Kemenkokesra 9. Direktur Pengelolaan Lahan, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian 10. Direktur Penanggulangan Kebakaran Hutan, Kementerian Kehutanan 11. Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian 12. Kepala Biro Data dan Informasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana 13. Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Hutan dan Lahan, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup 14. Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 15. Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Barat 16. Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Selatan 17. Kepala BMKG Kenten, Sumatera Selatan 18. Kepala BAPEDAL Provinsi Riau 19. Kepala BAPEDALDA Provinsi Kalimantan Barat 20. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah 21. Kepala BPPLHD Provinsi Kalimantan Tengah 22. Kepala Subdin Perlindungan dan Pengamanan Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 23. Kepala Pusat Pengendalian Kebakaran dan Rehabilitasi Hutan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Palangkaraya 24. Head of VAM and M&E Unit, UN World Food Programme 25. Head of Environment and Disaster Management, Bureau for Resources Development, ASEAN Secretariat 26. Kepala UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan Sumatera Selatan 27. P. T. Garuda Food, Jakarta 28. Ban V Straops Sopsal, MABES TNI-AL, Cilangkap, Jakarta 29. Kepala Balai Taman Nasional Sebangau, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kalimantan Tengah 30. Kepala Divisi R&D BULOG, Jakarta 31. Direktur Pengelolaan Air Irigasi, Jl. Taman Margasatwa No.3 Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 32. Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, UP. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, d.a. Jl. Williem AS. No. 8 Palangka Raya. 33. Kepala Dinas Perkebunan, Up. Kepala Bidang Perlindungan, Jl. Jend. Sudirman No. 18 Palangka Raya, Kalimantan Tengah,

43 TANTANGAN DISEMINASI INFORMASI Tantangan diseminasi informasi pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana adalah masalah kecepatan dan keakuratan dari informasi yang disampaikan. Terkait dengan hal tersebut, Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana sedang membangun suatu sistem yang akan menjawab tantangan tersebut. Sistem tersebut dinamai dengan SIMBA Center. Dalam sistem informasi kebencanaan yang akan dikembangkan, terdapat 4 sub-sistem yang penting yang menyusun keseluruhan sehingga dari proses mendapatkan informasi hingga menyampaikan informasi dapat dilaksanakan secepat mungkin. Sub sistem tersebut adalah : 1. Sistem Penerimaan Informasi Kebencanaan Sistem ini dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan informasi bencana di wilayah Indonesia secara cepat, sehingga proses pengolahan data akan dilakukan dengan cepat begitu mendapatkan informasi bencana. Sistem ini akan menggunakan sistem komunikasi dengan radio kebencanaan yang dimiliki oleh BNPB. Data geospasial dapat disediakan dalam waktu 24 jam jika terjadi bencana di suatu wilayah. Selain komunikasi dengan radio BNPB, siaran televisi dan radio yang terupdate juga akan dikombinasikan dalam sistem ini. 2. Sistem Koneksi ke Data Center Sistem ini dibuat untuk mendapatkan data remote sensing secara cepat, sehingga diperlukan sistem koneksi data center yang dikelola oleh pusat lain di Lapan. Data remote sensing yang diperlukan untuk pengolahan data secara cepat akan diperoleh dalam sistem ini. Saat ini yang telah berjalan dengan baik adalah sistem indofire yang telah langsung koneksi ke data center, pengolahan otomatis, dan informasi langsung disampaikan dalam website. 3. Sistem Pengolahan Data Sistem itu merupakan rangkaian dari sistem sebelumnya, sehingga dapat diolah baik secara manual maupun otomatis. Harapan untuk ke depannya sistem pengolahan data ini dapat berlangsung secara otomatis, namun penguatan riset pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi daerah bencana sangat perlu dilakukan. 4. Sistem Penyampaian Informasi Sistem Penyampaian Informasi merupakan ujung tombak dari keseluruhan sistem informasi kebencanaan berbasis penginderaan jauh. Website SIMBA, geospatial BNPB, 33

44 Sentinel Asia, dan website lain merupakan target penyampaian informasi dari sistem ini. Secara keseluruhan, skema sistem informasi kebencanaan (SIMBA Center) disajikan pada Gambar 27. Gambar 27. Desain sistem informasi kebencanaan berbasis penginderaan jauh (SIMBA Center) 34

45 KERJASAMA Posisi Lapan dalam bidang kebencanaan baik dalam maupun luar negeri sangat berkembang hingga awal tahun Kerjasama nasional yang dilakukan adalah dalam rangka mendukung program nasional dalam bidang kebencanaan, terutama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Potensi riset bidang kebencanaan sangat besar mengingat bahwa Indonesia memiliki sumberdaya bencana yang lengkap dibandingkan dengan negara lain. Banjir, kekeringan, tanah longsor, gempa, tsunami, letusan gunung berapi, angin puting beliung, dan bencana lainnya merupakan sumberdaya riset yang perlu digali lebih lanjut. Jika sumberdaya riset ini terus digali, maka Indonesia dapat menjadi negara yang unggul dalam bidang riset kebencanaan. Oleh karena itu, kerjasama nasional antara kementerian lembaga sangat penting untuk dilakukan. Berikut adalah kerjasama nasional, regional, dan internasional yang dilakukan oleh Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan. Kerjasama Nasional Sampai dengan awal tahun 2013, peran Lapan untuk masalah kebencanaan di tingkat nasional, adalah sebagai berikut: Bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Institusi lainnya, Lapan berperan aktif dalam Technical Working Groups (TWG) on Transboundary Haze Polution ASEAN. Berperan aktif dalam INATEWS (Indonesian Tsunami Early Warning System) yang dikoordinasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi Berperan aktif dalam Rencana Nasional (Renas) PB yang dikoordinasi oleh BNPB Berperan aktif dalam Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana (RANPB) yang dikoordinasi oleh BNPB Berperan aktif dalam Rencana Aksi Terpadu (RAT) Penanggulangan Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan yang dikoordinasi oleh BNPB Berperan aktif dalam Working Group Pemetaan Kebencanaan yang di koordinasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) Berperan aktif dalam perumusan angka ramalan produksi padi dengan Badan Pusat Statistik Berperan aktif dalam perumusan prakiraan musim kemarau dan hujan dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Berperan aktif dalam kegiatan Menuju Indonesia Hijau yang dikoordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup. 35

46 Selain dengan institusi nasional, Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana bekerjasama dengan beberapa pemerintah daerah seperti Bapeda Kabupaten Sampang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Barat, BPBD DKI Jakarta, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Pusat Pengelolaan Ekoregion Kalimantan. Salah satu produk hasil kerjasama adalah pembuatan peta rawan bencana kebakaran hutan/lahan dengan BKSDA Kalimantan Tengah, tersaji dalam Gambar 28. Gambar 28. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Provinsi Kalimantan Tengah Untuk memperkuat jalinan kerjasama dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk kebencanaan, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh mengadakan Pertemuan Pemangku Kepentingan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pengurangan Resiko Bencana, pada tanggal 31 Mei 2012, bertempat di IPB International Convention Center, dengan tema Pemanfaaatan data/informasi penginderaan jauh untuk mendukung kegiatan penanggulangan bencana. Gambar 29, merupakan foto bersama para peserta pertemuan Pemangku Kepentingan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pengurangan Resiko Bencana. 36

47 Gambar 29. Foto bersama peserta pertemuan pemangku kepentingan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pengurangan resiko bencana Dalam kegiatan tersebut tercapai kesepakatan nasional dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk kebencanaan sebagai berikut: - Merekomendasikan dibentuknya tim kerja untuk merumuskan dan menginventarisir apa yang dimiliki oleh masing-masing instansi. - Mendukung BNPB sebagai Ketua tim kerja, dengan LAPAN, BPPT, BIG sebagai anggota. - Semua Kementerian/Lembaga punya kepentingan dengan informasi kebencanaan, sehingga akan lebih baik jika informasi kebencanaan dikeluarkan lewat satu pintu yang dikoordinasikan oleh BNPB. - Jejaring dibentuk untuk meminimalisir tumpang tindih informasi kebencanaan. Dari berbagai kerjasama nasional yang telah dilaksanakan, Lapan akan terus mendukung manajemen bencana melalui penyediaan data dan informasi berbasis penginderaan jauh, siap bekerjasama dengan pihak lain, dan terus melakukan penelitian dan pengembangan pemanfaatan penginderaan jauh untuk untuk meningkatkan kualitas informasi yang diberikan terkait kebencanaan bagi stakeholder. Kerjasama Regional dan Internasional Untuk memperkuat posisi, menambah wawasan, dan peningkatan kapasitas Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lapan dalam dunia internasional, maka kerjasama regional dan internasional dilakukan. Salah satu keberhasilan yang telah dicapai adalah kesepakatan antara United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) dengan Lapan tentang pelaksanaan Regional Support Office UN SPIDER yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari Berikut adalah beberapa contoh kerjasama regional dan internasional yang telah dilaksanakan oleh Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 37

48 Sentinel Asia Dalam bidang kebencanaan, Asia Pacific Regional Space Agency Forum (APRSAF) menginisiasi pembentukan Sentinel Asia dalam rangka menghubungkan informasi kebencanaan dari data kedirgantaraan. Kegiatan ini bersifat voluntary dan mengemban misi kemanusiaan secara regional. Secara operasional Sentinel Asia terbagi menjadi dalam 2 Nodes (Data Provider Node/DPN, dan Data Analysis Node/DAN), dan 3 Working Group (Wildfire WG, Flood WG, Glacier Lake Outburst Flood WG). Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja-LAPAN) sejak tahun 2006 telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan Sentinel Asia menjadi anggota JPT dan melakukan kegiatan emergency quick response kebencanaan melalui Sentinel Asia System. Pada 10 Februari 2010 secara resmi Lapan menjadi anggota DAN (Data Analysis Node) di Sentinel Asia System. Sebagai DAN, Lapan telah banyak menghasilkan informasi spasial kebencanaan yang terjadi di wilayah Indonesia, bahkan pernah melakukan aktivasi international charter for disaster melalui Sentinel Asia System pada saat bencana tsunami di Kepulauan Mentawai tahun Gambar 30 merupakan contoh hasil pengolahan data penginderaan jauh untuk analisa banjir di Pulau Luzon Philipina. Gambar 30. Hasil analisa banjir di Philipina, kontribusi sebagai DAN 38

49 Dalam rangkaian kerjasama Sentinel Asia, terbangun stasiun satelit komunikasi WINDS pada tahun 2011 yang dapat digunakan untuk transfer data satelit penginderaan jauh dengan cepat. Gambar 31 merupakan antena dan peralatan transfer data penginderaan jauh dari JAXA ke Lapan. Transfer data satelit digunakan jika ada bencana yang besar dan permintaan yang dilakukan oleh Lapan. Gambar 31. Antena dan peralatan yang digunakan untuk transfer data penginderaan jauh Selain kegiatan DAN dan peralatan antena WINDS, Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana juga aktif dalam kegiatan Technical Supporter pada Space Applications for Enviroment (SAFE) Project tahun dengan topik Drought Monitoring over Agriculture Area in Java Island, bekerjasama dengan Universitas Tokyo, GIC-AIT, dan JAXA. Final Report dilakukan pada saat acara APRSAF-18 di Singapore, November Gambar 32, merupakan foto bersama foto bersama peserta pertemuan SAFE Project dalam rangkaian kegiatan Sentinel Asia. Pada tahun 2013, dalam rangkaian kegiatan SAFE Project, proposal pusfatja dengan judul The assessment of Mangrove Forest Carbon Stock Monitoring of Indonesia using Remote Sensing Approach disetujui untuk dilaksanakan. 39

50 Gambar 32. Foto bersama peserta pertemuan SAFE Project di Singapore Kerjasama dengan GIC-AIT dan ADRC Pada tahun 2011, Pusfatja melakukan kerjasama dengan GIC-AIT (Geoinformatic Center Asian Institute of Technology) dan ADRC (Asian Disaster Reduction Center) berupa seminar dan pelatihan pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kebencanaan. Pelatihan ini melibatkan sekitar 30 instansi nasional dan daerah. Kegiatan ini dilanjutkan pada tahun 2012 dalam bentuk workshop dengan The 2 nd Regional Workshop of ASEAN Cooperation Project on Utilization of Space Based Technologies for Disaster Risk Management. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama ADRC, Lapan, ASEAN Secretariat, dan JAIF dan berlangsung di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat, pada Juni Workshop ini dihadiri oleh perwakilan Lembaga Keantariksaan (Space Agency) dan Lembaga Manajemen Kebencanaan (Disaster Management Agency) dari negara Thailand, Cambodia, Myanmar, Lao PDR, Brunei, Vietnam, dan Indonesia. Organisasi/Institusi internasional yang berpartisipasi adalah ADRC, Asian Institute of Technology (AIT), Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), ASEAN United Nations International Strategy for Disaster Reduction (ASEAN-UNISDR), WORLD BANK, ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center), ASEAN Sub-Committee on Space technology and Applications (ASEAN-SCOSA), ASEAN Committee on Science and Technology (ASEAN-COST), dan ASEAN Secretariat. Institusi nasional yang hadir adalah Lapan, BNPB, ESDM, BMKG, BPPT, BIG, LIPI, KLH, BPBD Bogor, dan BPBD Jakarta. Gambar 33, merupakan foto bersama para peserta pertemuan regional tersebut. 40

51 Gambar 33. Foto bersama peserta pertemuan regional workshop se-asean Kerjasama dengan organisasi PBB (Regional Supporting Office UN SPIDER, UN ESCAP, dan UN WFP) Dalam kerangka kerja PBB, Pusfatja ditunjuk menjadi pelaksana RSO UNSPIDER (Regional Supporting Office United Nation Platform for Disaster Emergency Response). Hal ini merupakan peran penting Pusfatja di dalam pergaulan international dalam memanfaatkan data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana. United Nation Platform for Space-Based Information for Disaster Management and Emergency Response (UN-SPIDER) dibentuk berdasarkan Resolusi PBB no 31/110 tanggal 14 Desember 2006 sebagai salah satu program PBB dengan misi untuk menjamin semua negara dan organisasi internasional/regional untuk dapat memiliki akses dan mengembangkan kemampuan menggunakan semua jenis informasi berbasis keantariksaan dalam rangka mendukung siklus pengelolaan bencana. Program UN-SPIDER ditujukan untuk menjadi pintu gerbang informasi kebencanaan berbasis keantariksaan dengan cara menjadi jembatan penghubung antara institusi pengelola kebencanaan dan komunitas keantariksaan, serta menjadi fasilitator pengembangan kapasitas untuk memperkuat kelembagaan terutama di negara berkembang. Kantor pusat UN-SPIDER berada di Wina (Austria), Bonn (Jerman), dan Beijing (China). Dalam mendukung kegiatan-kegiatan UN-SPIDER maka dibentuk kantor pendukung wilayah atau Reginal Support Office (RSO) yang tersebar di berbagai negara, termasuk salah satunya di Indonesia (Gambar 34). RSO dapat diselenggarakan oleh lembaga keantariksaan, pusat penelitian, universitas, atau institusi pengelolaan bencana. RSO melakukan komunikasi dan koordinasi dengan UN-SPIDER secara teratur dalam kegiatan pencapaian dan peningkatan kapasitas, serta melakukan kerjasama dan kegiatan dukungan teknis. Pada tanggal 19 Februari 2013, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menjadi RSO UN-SPIDER yang ke-15 dengan ditandatanganinya naskah kerjasama 41

52 (Memorandum of Understanding/MoU) antara Lapan dengan United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada acara sidang ke-50 The Scientific and Technical Subcommittee of the Committee on the Peaceful Uses of Outer Space di Wina, Austria. Sebagai institusi pemerintah, Lapan mempunyai wewenang hukum dari Presiden Republik Indonesia sebagai lembaga antariksa nasional yang tercantum dalam INPRES 6/2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Quality Control, Pengolahan dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi. Dalam rangka mendukung informasi bencana berbasis data satelit Penginderaan Jauh, Lapan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) yang merupakan national focal point dalam hal pengelolaan kebencanaan di Indonesia. Implementasi kegiatan yang telah dilakukan oleh Lapan dalam mendukung pengelolaan bencana dan tanggap darurat bencana adalah dalam bentuk kegiatan penelitian, pelatihan, dan penyedia informasi spasial kebencanaan berdasarkan data penginderaan jauh untuk bencana, seperti: banjir, kekeringan, kebakaran hutan/lahan, tsunami, gempa bumi, dan erupsi gunung api. Sebagai RSO, Lapan akan terus berupaya mendukung kegiatan UN-SPIDER baik sebagai penasehat teknis maupun berkontribusi dalam pengembangan kapasitas bagi negara-negara anggota UNSPIDER. Gambar 34. Jaringan RSO UN-SPIDER di berbagai Negara 42

53 Selain itu, Pusfatja juga bekerjasama dengan UN ESCAP (United Nation Economic and Social Commitee for Asia and the Pacific) dalam misi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan kekeringan. Masih dalam koridor PBB, Pusfatja secara periodik menyediakan informasi kebencanaan ke UN WFP (United Nation World Food Programme). Gambar 35 merupakan foto kegiatan saat pertemuan dengan UN ESCAP pada tahun 2011 di Colombo, Srilanka. Gambar 35. UN ESCAP Meeting pada tahun 2011 Kerjasama dengan APSCO Lapan juga berperan aktif dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Asia-Pacific Space Cooperation Organization (APSCO) sebagai peserta dan narasumber pada Training Course on Environment and Disaster Monitoring Through Space Technology di Dhaka Bangladesh (22 November 1 Desember 2011). Peran peneliti Lapan sebagai narasumber dalam kegiatan ini menandakan bahwa kemampuan peneliti Lapan sejajar dengan penelitipeneliti lainnya di Asia. Berikut Gambar 36, merupakan foto bersama peserta kegiatan Training Course APSCO tersebut. 43

54 Gambar 36. Foto peserta kegiatan Training Course APSCO di Dhaka Bangladesh. PENUTUP Sebagai penutup dalam buku ringkas kegiatan Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana ini, kami mengungkapkan bahwa pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana sangat diperlukan dalam upaya kesiapsiagaan dan pencegahan terhadap bencana. Namun penelitian dan pengembangan terus dilaksanakan dalam upaya menjalankan tupoksi dan menjawab tantangantantangan kedepan. Kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat. 44

55 DAFTAR PUSTAKA Center for International Forestry Research, Penginderaan jauh. Akses terakhir 22 Nopember 2012 Laporan Kegiatan Pemantauan dan Penelitian Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, Periode Bulanan, Lillesand,T.M. and R.W. Kiefer, 1979., Remote Sensing and Image Interpretation, John Willey and Sons, New York dalam Sugandi, Dede. Dasar-dasar Penginderaan Jauh. DEDE_SUGANDI/Bah-pem-PJ.pdf. Akses terakhir 13 sepetember 2012 Lindgren,D.T, 1985., Land Use Planning and Remote Sensing, Martinus Nijhoff Publishers, Doldrecht dalam Sugandi, Dede. Dasar-dasar Penginderaan Jauh. DEDE_SUGANDI/Bah-pem-PJ.pdf. Akses terakhir 13 sepetember 2012 Sutanto, Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Website Kedeputian Penginderaan Jauh, Lapan, Akses terakhir 10 April

56 LAMPIRAN PERSONIL BIDANG LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA DR. Muhammad Rokhis Khomarudin Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. Wiweka Peneliti Utama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Hidayat, M.T. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. Ir. Dede Dirgahayu Domiri, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dra. Any Zubaidah, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Totok Suprapto, M.T. Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dr. Ir. Indah Prasasti, M.Si. Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 46

57 Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Parwati, S.Si., M.Sc. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Yenni Vetrita, S.Hut, M.Sc. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Jalu Tejo Nugroho, S.Si. M.T. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Fajar Yulianto, S.Si. Peneliti Pertama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Nur Febriyanti, S.Si. Peneliti Muda Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Junita Monika Pasaribu, S.Si. Peneliti Pertama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Kusumaning Ayu Diah Sukowati, Amd. Pranata Komputer Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 47

58 Sri Lestari Fungsional Umum Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Dini Oktavia Ambarwati, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Lintang Pindha Maharani, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Widya Ningrum, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Ernawati, S.P. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Uji Astrono Pribadi, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Firdani Asri, S.Si. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 48

59 Tri Arso Sunugroho, S.Kom. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Nur Satrio Wibowo, Amd Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Widia Putri K.U., A.Md. Tenaga Magang Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana 49

60 PRODUK INFORMASI SPASIAL KEBENCANAAN DI INDONESIA 50

61 51

62 52

63 53

64 54

65 55

66 56

67 57

68 58

69 59

70 60

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN Datangnya musim penghujan tidak hanya menjadikan berkah bagi sebagian orang,

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

TOR (Term Of Reference) KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2

TOR (Term Of Reference) KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2 TOR (Term Of Reference) KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2 Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) RISTEK 2012 PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PEMANFAATAN DATA PALSAR UNTUK PENGURANGAN

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI M. Rokhis Khomarudin, Parwati, dan Suwarsono Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pendahuluan Indonesia adalah suatu negara yang terletak di ring of fire,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Synthetic Aperture Radar (SAR) untuk Mendukung Quick Response dan Rapid Mapping Bencana (Studi Kasus: Deteksi Banjir Karawang, Jawa Barat) Oleh: Fajar Yulianto, Junita

Lebih terperinci

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan

Lebih terperinci

Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Ir. Rubini Jusuf, MSi. Sukentyas Estuti Siwi, MSi. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring dan Pelaporan

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak KAJIAN AWAL KEBUTUHAN TEKNOLOGI SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM REDD DI INDONESIA Oleh : Dony Kushardono dan Ayom Widipaminto LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak menyampaikan

Lebih terperinci

PENGKAJIAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH MULTI SKALA/RESOLUSI UNTUK KEGIATAN MITIGASI BENCANA

PENGKAJIAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH MULTI SKALA/RESOLUSI UNTUK KEGIATAN MITIGASI BENCANA PENGKAJIAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH MULTI SKALA/RESOLUSI UNTUK KEGIATAN MITIGASI BENCANA M. Rokhis Khomarudin *), Dedi Irawadi *), Suwarsono *), Parwati *) *) Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai

Lebih terperinci

REMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA

REMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA REMOTE SENSING APPLICATION FOR DISASTER MANAGEMENT IN INDONESIA M. Rokhis Khomarudin Remote Sensing Application Center National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) http://www.lapanrs.com/simba LEMBAGA

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2

LAPORAN KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2 LAPORAN KEGIATAN BIMBINGAN TEKNIS DAN KOORDINASI KE-2 Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) RISTEK 2012 PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PEMANFAATAN DATA PALSAR UNTUK PENGURANGAN RISIKO

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android

Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android Proof of Concept 2016 LAPAN Fire Hotspot: Sistem Peringatan Dini Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Berbasis Web Dan Android I. Pengantar Kapustekdata Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH ISSN 2337-6686 ISSN-L 2338-3321 PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Junita Monika Pasaribu Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana-LAPAN E-mail: baidah_any@yahoo.com

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia memiliki potensi rawan akan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam. Bencana dapat menimbulkan terancamnya keselamatan jiwa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi 01. Suatu ilmu atau teknik untuk mengetahui suatu benda, gejala, dan area dan jarak jauh dengan menggunakan alat pengindraan berupa sensor buatan disebut... (A) citra

Lebih terperinci

1 Sistem Pemantauan Bumi Nasional LAPAN

1 Sistem Pemantauan Bumi Nasional LAPAN 1 Sistem Pemantauan Bumi Nasional LAPAN SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL 2015 Sistem Pemantauan Bumi Nasional LAPAN 2 SISTEM

Lebih terperinci

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana gempa bumi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana gempa bumi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sarat akan potensi bencana gempa bumi dan tsunami yang disebabkan oleh pergerakan lempeng tektonik. Ini merupakan dampak dari wilayah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015)

IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015) Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS:

Lebih terperinci

ANALISA BANJIR BANDANG BERDASARKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN GARUT - PROVINSI JAWA BARAT TANGGAL 20 SEPTEMBER 2016

ANALISA BANJIR BANDANG BERDASARKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN GARUT - PROVINSI JAWA BARAT TANGGAL 20 SEPTEMBER 2016 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DEPUTI BIDANG PENGNDERAAN JAUH Jl. Kalisari LAPAN No. 8 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta 13710 Telp. 021-8710065, 021-8722733 Faks. 021-8722733 Email: timtanggapbencana@lapan.go.id

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

Proof of Concept Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi

Proof of Concept Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi Proof of Concept 2016 Platform SPBP Sebagai Layanan Penyajian Data Penginderaan Jauh yang Cepat dan Mudah Untuk Seluruh Pemerintahan Provinsi I. Pengantar Kapustekdata Kegiatan ini merupakan penjabaran

Lebih terperinci

KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM. Oleh: Lili Somantri*)

KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM. Oleh: Lili Somantri*) KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM Oleh: Lili Somantri*) Abstrak Indonesia merupakan negara yang besar dengan luas wilayah hampir 2 juta km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012

EXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012 EXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012 JUDUL PENELITI UTAMA ANGGOTA LOKUS KEGIATAN BIDANG FOKUS JENIS INSENTIF PRODUK TARGET INSTANSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL

SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL 2015 SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL Pengarah: Dr. Orbita Roswintiarti Penanggung Jawab: Dr.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas gunung api dapat dipelajari dengan pengamatan deformasi. Pemantauan deformasi gunung api dapat digolongkan menjadi tiga kategori berbeda dari aktifitas gunung

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 360 / 009205 TENTANG PENANGANAN DARURAT BENCANA DI PROVINSI JAWA TENGAH Diperbanyak Oleh : BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH JALAN IMAM BONJOL

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua daerah tidak pernah terhindar dari terjadinya suatu bencana. Bencana bisa terjadi kapan dan dimana saja pada waktu yang tidak diprediksi. Hal ini membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hamparan hutan yang luas tidak terlepas dengan adanya masalah-masalah lingkungan yang dihasilkan, khususnya kebakaran hutan. Salah satu teknologi yang

Lebih terperinci

PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PEMANFAATAN DATA PALSAR UNTUK PENGURANGAN RISIKO DAN MITIGASI BENCANA

PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PEMANFAATAN DATA PALSAR UNTUK PENGURANGAN RISIKO DAN MITIGASI BENCANA [ Kode : H.32 ] PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DALAM PEMANFAATAN DATA PALSAR UNTUK PENGURANGAN RISIKO DAN MITIGASI BENCANA Fajar Yulianto, Parwati, Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Kusumaning Ayu D.S Pusat Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin kuat gempa yang terjadi. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika

I. PENDAHULUAN. semakin kuat gempa yang terjadi. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi regangan elastis batuan dalam bentuk patahan atau pergeseran lempeng bumi. Semakin besar energi yang dilepas semakin kuat

Lebih terperinci