BAB II TELAAH PUSTAKA Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Pengertian otonomi daerah menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004
|
|
- Yuliana Widjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 LANDASAN TEORI Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Otonomi Daerah Pengertian otonomi daerah menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan, otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi otonom dan parastatal, ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi nonpemerintah. Beragamnya daerah di indonesia yang meliputi provinsi, kabupaten, dan kota, kecamatan, dan desa/kelurahan membutuhkan sistem yang mampu mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar dan daerah kaya membantu daerah miskin. Itulah sistem otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sesuai dengan penjelasan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang menyatakan bahwa prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggungjawab. (1) Prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
2 Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi layanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (2) Prinsip otonomi daerah yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani suatu urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. (3) Prinsip otonomi daerah yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional. Dalam sistem ini, penyerahan wewenang (desentralisasi) berbarengan dengan pelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan tugas pembantuan seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1 (Badrudin, 2012). Gambar 2.1 Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia PUSAT S, K, P S,P P PROVINSI P KOTA KABUPATEN P DESA Sumber : Kuncoro dalam (Badrudin, 2012) Keterangan : S : Desentralisasi (penyerahan wewenang) = APBD K : Dekonsentrasi (pelimpahan wewenang) = sentralisasi APBN P : Tugas Pembantuan (sentralisasi dari APBN)
3 Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi itu sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional, artinya orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan fungsi pemerintahan, yaitu layanan, pengaturan, dan pemberdayaan agar dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat. Dalam bahasa politis, dalam konteks hubungan pusat-daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi, birokrasi, keuangan, kebijakan publik, dan hal-hal lain dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Adanya otonomi daerah, lebih memungkinkan sebuah pembangunan lebih terarah dan tepat sasaran Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002). Wallace Oates dalam Decentralization Theorem-nya menyatakan bahwa barang publik yang ditentukan pada wilayah dan populasi tertentu, dan dengan biaya yang sama pada setiap tingkat output barang selalu lebih efisien disediakan oleh pemerintah lokal/daerah daripada disediakan oleh pemerintah pusat. Adanya
4 penerapan tata pemerintahan desentralisasi mempunyai dampak ekonomi pada suatu negara. Dalam hal ini, didukung oleh dua perspektif teori yaitu traditional theories (First-Generation Theories) dan new perspective theories (Second Generation Theories). Pada traditional theories menekankan dua keuntungan utama dari desentralisasi yaitu penggunaan informasi yang lebih efisien karena pemerintahan daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, memungkinkan masyarakat dalam memilih barang dan jasa publik sesuai dengan selera dan keinginan masyarakat. Sedangkan untuk new perspective theories menjelaskan pengaruh desentralisasi terhadap perilaku pemerintah daerah yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Secara umum desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization). Desentralisasi fiskal terdiri dari 2 kata, yaitu desentralisasi dan fiskal. Desentralisasi mengacu pada pembalikan konsentrasi administrasi pada pemerintah pusat dan penyerahan kekuasaan ke pemerintah lokal (Smith 1985 : 1) atau sebagai proses penyerahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah subnasional (Burki et al 1993 : 3). Pemindahan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat merupakan dasar dari desentralisasi. Oleh karena itu, desentralisasi dapat dikatakan sebagai sebuah alat untuk mencapai salah satu
5 tujuan negara yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002). Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut : 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement; 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. Khusus desentralisasi fiskal, Bird dan Vaillancourt (2000) menyebutkan tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi yang berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, pelimpahan (devolusi) yang berhubungan dengan suatu
6 situasi yang bukan saja bersifat implementatif tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah. Litvack and Seddon (1998) di dalam Mauludin (2008) menyebutkan tiga pendekatan sebagai dasar di dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu (i) pendekatan penerimaan, (ii) pendekatan pengeluaran, (iii) pendekatan komprehensif. Pendekatan penerimaan (income approach) mempunyai arti bahwa daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak atau menyerahkan proporsi tertentu dari penerimaan pusat. Di samping itu terkadang dimodifikasi dengan tambahan transfer dana yang bersifat umum dan khusus untuk mengkompensasi perbedaan di dalam potensi penerimaan. Sisi penting yang perlu diperhatikan dalam desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi penerimaan saja, tetapi juga perlu dilihat dari sisi pengeluaran (expenditure approach). Pendekatan pengeluaran diartikan bahwa daerah diberi kewenangan untuk menetapkan pengeluarannya, selanjutnya akan dibiayai sebagian atau seluruhnya melalui transfer. Transfer tersebut dapat berupa pinjaman, hibah (grant), atau bagi hasil (revenue sharing). Dan terakhir pendekatan pengeluaan ini tidak terlepas dari mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Manajemen keuangan daerah yang baik akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana-dana yang ada. Dengan demikian daerah perlu menyusun rencana pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, dan dilaksanakan dengan lebih transparan dan akuntabel. Pendekatan komprehensif dilakukan dengan cara menyelaraskan potensi penerimaan dengan besarnya penerimaan dengan besarnya pengeluaran (expenditure needs). Dengan pendekatan ini kewenangan di bidang penerimaan
7 dan pengeluaran, dengan asumsi tertentu, diserahkan kepada daerah secara bersamaan. Apabila terjadi ketimpangan antara potensi penerimaan dan besarnya tanggung jawab pengeluaran yang didelegasikan maka pemerintah pusat akan menutupnya dengan hibah atau pinjaman Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pengertian dan Fungsi APBD Anggaran mempunyai arti yang sangat penting karena anggaran merupakan alat untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Anggaran diperlukan karena dengan keterbatasan sumber daya yang ada, pemerintah harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang. Melalui anggaran, masyarakat dapat melihat bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyatnya (Mardiasmo,2002). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Nordiawan,2007). APBD merupakan instrument kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah (Mardiasmo,2002). Oleh karena itu, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi daerah tersebut.
8 APBD merupakan instrumen penting bagi pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. Oleh karena itu, dala pasal 3 ayat (4) Undang- Undang RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa anggaran (APBN dan APBD) mempunyai fungsi sebagai berikut. 1. Fungsi Otorisasi Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan 2. Fungsi Perencanaan Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan 3. Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan 4. Fungsi Alokasi Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan 6. Fungsi Stabilisasi
9 Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian Pendekatan Penganggaran Salah satu perubahan kunci yang diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah adalah perubahan mengenai metode penganggaran dengan tiga pendekatan sebagai berikut. 1. Pendekatan Penganggaran Terpadu APBD harus memuat semua kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) secara terpadu, tidak ada lagi dikotomi antara anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Dengan demikian, penganggaran menjadi lebih transparan serta memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Selain itu, penganggaran merupakan penjabaran dari biaya yang diperlukan berdasar perencanaan program dan kegiatan yang sudah ditetapkan dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). 2. Pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja Anggaran Berbasis kinerja dimaksudkan agar di dalam penyusunan anggaran berorientasi pada pencapaian keluaran dan hasil yang terukur. Selain itu, dalam merealisasikan suatu anggaran untuk membiayai program dan kegiatan harus memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas. Efisiensi diukur dengan membandingkan antara input (misalnya dana) yang digunakan dengan keluaran (output) yang diperoleh. Sedangkan efektivitas diukur dengan menilai apakah keluaran (output) dapat berfungsi sebagaimana diharapkan sehingga mendatangkan hasil (outcome) yang diinginkan. 3. Pendekatan Penganggaran dengan Perspektif Jangka Menegah
10 Pendekatan ini memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien. Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, ketidakpastian di masa yang akan datang dapat dikurangi. Apabila terdapat inisiatif kebijakan baru dalam penganggaran tahunan, harus dilakukan penghitungan implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal jangka menengah (medium term fiscal sustainability) Struktur APBD Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. 1. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran, dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Klasifikasi pendapatan berdasarkan kelompok terdiri atas : a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) b) Pendapatan Dana Perimbangan, dan c) Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah. 2. Belanja Daerah Belanja Daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu
11 tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Klasifikasi belanja dirinci menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari : a) Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan, yang diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota; dan b) Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara, yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pelayanan umum, ketertiban, keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Menurut kelompok, belanja diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : a) Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; dan b) Belanja langsung, yaitu belanja yang dianggarkanterkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri dari belanja pegawai (honorarium), belanja barang/jasa, dan belanja modal. 3. Pembiayaan Daerah
12 Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Bila terdapat defisit anggaran, harus dapat ditutup dengan jumlah pembiayaan neto Anggaran Belanja Daerah Anggaran belanja daerah yang ditetapkan dalam APBD merupakan kebijakan keuangan Pemerintah Daerah yang terkait dengan strategi pembangunan ekonomi daerah. Dengan merencanakan alokasi anggaran pengeluaran, Pemerintah Daerah berupaya meningkatan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi hambatan pembangunan ekonomi. Perencanaan alokasi anggaran pengeluaran dalam APBD merupakan alokasi sumber daya pembangunan yang dapat diartikan sebagai suatu kebijakan anggaran Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar. Kebutuhan sosial masyarakat adalah kebutuhan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh masyarakat. Sejalan dengan reformasi anggaran sektor publik, Schick (1998) menjelaskan bahwa terdapat tiga prinsip dalam manajemen pengeluaran publik (Public Expenditure Management) yang mendukung terwujudnya penyusunan anggaran yang baik. Tiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut. 1. Aggregate Fiscal Discipline
13 Prinsip ini bertujuan untuk mengontrol total pengeluaran yang merupakan tujuan pokok dari sistem anggaran. Tanpa pembatasan pengeluaran, dapat terjadi defisit anggaran dan secara progresif akan meningkatkan perbandingan rasio pajak pendapatan dan pengeluaran publik terhadap Gross National Produk (GNP). Aggregate Fiscal Discipline meliputi total pendapatan, keseimbangan fiskal, dan utang publik yang kesemuanya berpengaruh pada total pengeluaran. Prinsip ini mengutamakan total anggaran yang harus mencerminkan hasil secara jelas, dijalankan dengan kebijakan yang ketat, tidak hanya mengakomodasi tuntutan pengeluaran, namun juga harus disusun sebelum kebijakan pengeluaran publik dibuat, dan ditindaklanjuti dalam jangka menengah dan jangka panjang. 2. Allocative Efficiency Prinsip ini merupakan perwujudan penyusunan alokasi pengeluaran pemerintah ke dalam sektor, program, dan proyek dengan skala prioritas dan effektivitas program publik yang berlandaskan kepada kerangka manajemen strategis. Sistem anggaran harus mendorong realokasi program dari prioritas yang rendah dan kurang efektif ke program dengan prioritas tinggi dan lebih efektif. Pengalokasian anggaran harus berdasarkan pada skala prioritas rencana pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Operational Efficiency Prinsip ini menekankan bagaimana pemerintah dapat menghasilkan barang dan jasa publik pada tingkat biaya yang lebih yang lebih efisien dan kompetitif dari harga pasar. Hal ini merupakan cerminan pengeluaran pemerintah yang dialokasikan pada kepentingan masyarakat. Operational Efficiency
14 merupakan bagian dari sistem penganggaran yang mendorong dilakukannya efisiensi. Dalam pelaksanaannya unit kerja selalu didorong untuk menghasilkan pendapatan (profit center) daripada menjadi sumber pemborosan biaya (cost center). Operational Efficiency dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, salah satunya melalui sistem pengawasan. Jika unit kerja dioperasikan dibawah kendali internal dan eksternal, pemerintah akan dapat mengevaluasi tidak hanya biaya yang menjadi substansial, tetapi juga apakah unit kerja telah benar-benar menjalankan peraturan yang ada Indikator Kesehatan Untuk mencipatakan masyarakat yang sehat pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah merumuskan berbagai indikator untuk mencapai Indonesia sehat. Selain melalui Kementrian Kesehatan pemerintah Indonesia juga telah ikut serta dalam MDGs, dimana MDGs merupakan komitmen Internasional untuk memberantas kelaparan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Tujuan ke-dua dari MDGs adalah menurunkan angka kematian bayi. Hal ini penting karena bayi lebih rentan terhadap penyakit dan juga kondisi lingkungan yang kurang sehat. Sehingga diperlukan peran pemerintah untuk menciptakan angka kematian bayi yang rendah. Indikator kesehatan berdasarkan visi Indonesia Sehat 2010 yang telah dirumuskan oleh Dinas Kesehatan RI terdiri dari : 1. Indikator masukan a. Pelayanan Kesehatan 1) Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan 2) Persentase desa yang mencapai Universal Child Imunization
15 3) Persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif b. Sumberdaya Kesehatan 1) Rasio dokter per penduduk 2) Rasio bidan per penduduk 3) Rata-rata persentase anggaran kesehatan dalam APBD kabupaten/kota 4) Alokasi Anggaran kesehatan pemerintah per-kapita per-tahun (ribuan rupiah) c. Manajemen Kesehatan 1) Rata-rata persentase anggaran kesehatan dalam APBD kabupaten/kota 2) Persentase kabupaten/kota yang memiliki dokumen system kesehatan d. Kontribusi Sektor-Sektor Terkait 1) Persentase penduduk yang melek huruf 2) Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih 2. Indikator hasil antara (Intermediate Output). Indikator ini terdiri dari indikatorindikator ketiga pilar yang mempengaruhi hasil akhir, yaitu: a. Keadaan Lingkungan 1) Persentase rumah sehat 2) Persentase tempat-tempat umum sehat b. Perilaku Hidup Masyarakat 1) Persentase posyandu purnama dan mandiri 2) Persentase rumah tangga berprilaku hidup bersih dan sehat c. indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan. 1) Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas 2) Persentase penduduk yang memanfaatkan rumah sakit
16 3. Indikator hasil akhir ( Derajat Kesehatan) a. mortalitas (kematian) 1) Angka kematian bayi per kelahiran hidup 2) Angka kematian balita per kelahiran hidup 3) Angka harapan hidup waktu lahir Angka Kematian Bayi Pengertian Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate) merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam mendeskripsikan tingkat pembangunan manusia di sebuah negara dari sisi kesehatan masyarakatnya. Kematian bayi adalah yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai belum berusia tepat satu tahun, secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan, sedangkan kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar Penyebab Kematian Bayi
17 Sebab kematian pada anak. Tiga penyebab utama kematian bayi adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberi andil bagi 75% kematian bayi. Pada 2001 pola penyebab kematian bayi ini tidak banyak berubah dari periode sebelumnya, yaitu karena sebab-sebab perinatal, kemudian diikuti oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, tetanus neotarum, saluran cerna, dan penyakit saraf.pola penyebab utama kematian balita juga hampir sama yaitu penyakit saluran pernafasan, diare, penyakit syaraf termasuk meningitis dan encephalitis dan tifus. 1. Faktor Ibu a. Masa Kehamilan 1) ANC 2) Infeksi ibu hamil : rubela, sifilis, gonorhoe, malaria 3) Gizi Ibu Hamil 4) Karakteristik ibu hamil : umur, paritas, jarak b. Persalinan 1) Partus macet/ lama : letak sunsang, bayi kembar, distocia 2) Tenaga Penolong Kehamilan 2. Faktor janin a. Umur 0 7 hari : BBLR, Asfiksia b. Umur 8 28 hari : pneumonia, diare, tetanus, sepsis, kelainan kogenital Pencegahan Angka kematian bayi baru lahir dapat dicegah dengan intervensi lingkungan dan perilaku. Upaya penyehatan lingkungan seperti penyediaan air
18 minum, fasilitas sanitasi dan higienitas yang memadai, serta pengendalian pencemaran udara mampu meredam jumlah bayi meninggal. "Untuk itu pemerintah tidak lelah mengampanyekan pentingnya upaya kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Perawatan sederhana seperti pemberian air susu ibu (ASI) dapat menekan AKB. Telah terbukti, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 13% kematian bayi dan bahkan 19/0 jika dikombinasikan dengan makanan tambahan bayi setelah usia 6 bulan Cara Penanggulangan Dari gambaran penyakit penyebab kematian neonatal di Indonesia, dan permasalahan kesehatan neonatal yang kompleks dimana dipengaruhi oleh faktor medis, sosial dan budaya (sama dengan permasalahan kesehatan maternal) maka: 1. Bidan di desa atau petugas kesehatan harus mampu melakukan: a. perawatan terhadap bayi neonatal b. promosi perawatan bayi neonatal kepada ibunya, serta c. pertolongan pertama bayi neonatal yang mengalami gangguan atau sakit. 2. Kepala Puskesmas dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan: a. Deteksi dan penanganan bayi neonatal sakit b. Persalinan yang ditolong/didampingi oleh tenaga kesehatan c. Pembinaan bidan di desa dan pondok bersalin di desa d. PONED dengan baik dan lengkap (obat, infus, alat-alat emergensi) e. Organisasi transportasi untuk kasus rujukan 3. Kepala Dinkes Kabupaten dan atau RS Kabupaten dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan:
19 a. Fungsi RS Kabupaten sebagai PONEK 24 jam b. Sistem yang tertata sehingga memberi kesempatan kepada keluarga bayi neonatal dari golongan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan standar, termasuk pertolongan gawat darurat di RS Kabupaten dengan biaya terjangkau c. Pelayanan berkualitas yang berkesinambungan d. Pembinaan teknis profesi kebidanan untuk bidan yang bekerja di Puskesmas/desa melalui pelatihan, penyegaran pengetahuan dan ketrampilan, penanganan kasus rujukan. 4. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan neonatal emergency care di Puskesmas dan RS Kabupaten Cara Menghitung Angka Kematian Bayi Dimana rumus : Angka Kematian Bayi AKB = Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit Pengertian Rumah Sakit Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan: 1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
20 2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; 3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; 4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit Klasifikasi Rumah Sakit Rumah sakit dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan berdasarkan jenis pelayanan, kepemilikan, jangka waktu pelayanan, kapasitas tempat tidur dan fasilitas pelayanan (PERMENKES RI NO. 340/MENKES/PER/III/2010). 1. Jenis Pelayanan Berdasarkan Jenis Pelayanannya, Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi 2 tipe yaitu Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. a. Rumah Sakit Umum Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik. Rumah Sakit ini memberi pelayanan kepada berbagai penderita, diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medis. b. Rumah Sakit Khusus Rumah sakit khusus adalah Rumah Sakit yang mempunyai fungsi primer, memberikan diagnosis dan pengobatan untuk penderita yang mempunyai kondisi medik khusus, misalnya Rumah Sakit Ginjal, Rumah Sakit Anak, Rumah Sakit Jantung, dan lain-lain.
21 2. Kepemilikan Kepemilikan Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. a. Rumah Sakit Pemerintah Rumah sakit pemerintah adalah Rumah Sakit umum milik pemerintah, baik pusat maupun daerah, Departemen Pertahanan dan Keamanan, maupun Badan Usaha Milik Negara. Rumah Sakit pemerintah dapat dibedakan berdasarkan fasilitas pelayanan dan peralatan menjadi empat kelas, yaitu Kelas A, B, C, dan D. b. Rumah Sakit Swasta Rumah sakit swasta adalah Rumah Sakit umum milik suatu perkumpulan atau yayasan tertentu, antara lain: 1) Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, yaitu Rumah Sakit swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas D. 2) Rumah Sakit Umum Swasta Madya, yaitu Rumah Sakit swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum dan spesialistik dalam 4 cabang, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas C. 3) Rumah Sakit Umum Swasta Utama, yaitu Rumah Sakit swasta yang memberikan pelayanan medik, spesialistik dan subspesialistiksetara dengan rumah sakit pemerintah kelas B. 3. Fasilitas Pelayanan dan Kapasitas Tempat Tidur Sesuai SK Menteri Kesehatan No. 920/MENKES/PER/XII/1986 fasilitas pelayanan rumah sakit dibagi sebagai berikut:
22 a. Rumah Sakit Kelas A Rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik luas, dengan kapasitas lebih dari 1000 tempat tidur. b. Rumah Sakit Kelas B Rumah sakit kelas B dibagi menjadi: 1) Rumah Sakit B1, melaksanakan pelayanan medik minimal 11 (sebelas) spesialistik dan belum memiliki sub spesialistik luas dengan kapasitas tempat tidur. 2) Rumah Sakit B2, melaksanakan pelayanan medik spesialistik dan sub spesialistik terbatas dengan kapasitas tempat tidur. c. Rumah Sakit Kelas C Rumah sakit yang mempunyai kemampuan pelayanan medik spesialisti dasar, yaitu penyakit dalam, bedah, kebidanan atau kenadungan, dan kesehatan anak dengan kapasitas tempat tidur. d. Rumah Sakit Kelas D Rumah sakit yang mempunyai kemampuan pelayanan medik dasar dengan kapasitas tempat tidur kurang dari Tingkat Kemiskinan Teori Kemiskinan Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi
23 ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang, maupun papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar pendidikan. Kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui berdasarkan kemampuan pendapatan dalam memenuhi standar hidup (Nugroho, 1995). Pada prinsipnya, standar hidup di suatu masyarakat tidak sekedar tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya kebutuhan akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang layak merupakan salah satu dari standar hidup atau standar kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2004) Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan
24 penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a. Kemiskinan absolut Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinandiukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. b. Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan
25 negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Sedangkan menurut Jhingan (2000), mengemukaan tiga ciri utama Negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman Desentralisasi Fiskal dan Angka Kematian Bayi Salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, diharapkan Pemerintah Daerah dapat lebih peka terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat di daerahnya masing-masing. Dengan penyerahan dan pelimpahan kewenangan pada Pemerintah Daerah, diharapkan Pemerintah Daerah dapat lebih cepat, dan efisien dalam menentukan kebijakan yang harus dirumuskan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan publik dasar. Setiap pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut akan dijabarkan melalui anggaran yang akan dialokasikan terhadap sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sektor kesehatan menjadi salah satu sektor yang menjadi perhatian Pemerintah Daerah sebagai bagian dari pelayanan kebutuhan dasar
26 masyarakat. Desentralisasi fiskal diharapkan mampu untuk bisa menetapkan tanggung jawab serta pelimpahan kewenangan finansial untuk menentukan kebijakan layanan kesehatan pada tingkat Pemerintah Daerah untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih efisien (Uchimura & Jutting, 2009). Dampak keuntungan dari desentralisasi pada layanan kesehatan didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi bisa meningkatkan informasi dari pengambil keputusan di daerah tentang kondisi daerahnya, serta respons efektif pada kebutuhan lokal. Pengambil keputusan di daerah juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengurangi biaya daripada pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Mereka bisa menyesuaikan pegawai dan prosedur pada konteks lokal, dan memiliki lebih banyak kebebasan untuk bereksperimen dengan cara alternatif dalam melakukan sesuatu dan mengimplementasikannya daripada harus bergantung pada prosedur yang ditetapkan pusat. Oleh karena itu, desentralisasi, jika didesain dan diimplementasikan dengan baik, diharapkan bisa meningkatkan ekuitas, efisiensi, kualitas, dan akses pada layanan kesehatan dan akhirnya dapat menaikkan derajat kesehatan masyarakat (Dolores, Rubio. 2011). Walaupun banyak teori yang menggambarkan keuntungan penyerahan wewenang pembuatan kebijakan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam layanan kesehatan, desentralisasi pun memiliki batasan (Khalegian, 2004), khususnya dari sudut pandang pembiayaan kesehatan terletak pada kemungkinan bahwa pemerintah daerah tidak akan memprioritaskan sektor kesehatan. Salah satu kebijakan tentang pembiayaan kesehatan di daerah yang tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 tentang pengalokasian anggaran minimal 10% dari APBD. Namun, dalam kenyataannya kesepakatan ini baru
27 merupakan suatu wacana karena realisasinya persentase anggaran di banyak daerah di Indonesia tidak banyak bergeser dari kondisi sebelum desentralisasi yaitu sebesar 2,5% sampai maksimal 7%. Pemerintah daerah lebih berorientasi pada pembangunan fisik, sedangkan anggaran kesehatan sebagai program non fisik tidak menarik perhatian pemerintah lokal (Hendrarti, dkk, 2008). Indikator hasil akhir yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas bidang kesehatan salah satunya adalah melalui angka kematian bayi. Kematian bayi telah dianggap sebagai indikator yang paling lengkap dari kesehatan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan kesehatan anak dan wanita hamil, selain keadaan perkembangan kesehatan dalam masyarakat. Penetapan indikator ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat (Stalker, Peter. 2008) Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit dan Angka Kematian Bayi Kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah pusat dan daerah. Ini berarti dalam rangka otonomi daerah,pemerintah daerah harus bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerahnya.sumber daya kesehatan, seperti halnya sarana kesehatan sangat erat hubungannya dengan tingkat pelayanan dan perawatan kesehatan. Pemerintah daerah, baik itu di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga diharapkan memiliki komitmen untuk terus memperkuat sistem kesehatan. Pemerintah pusat diharapkan menganggarkan dana yang cukup besar untuk mendukung peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan
28 rujukan. Pelayanan kesehatan dasar yang diberikan melalui Rumah sakit hendaknya hendaknya diimbangi dengan ketersediaan tempat tidur bagi pasien.adanya keterbatasan kapasitas tempat tidur di rumah sakit juga turut mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian bayi, meskipun pengaruhnya tidak berdampak secara langsung. Namun keterbatasan tersedianya tempat tidur rumah sakit secara tidak langsung juga mempengaruhi dikarenakan terbatasnya kapasitas tempat tidur rumah sakit mempengaruhi tingkat penanganan dari pasien terutama dari kalangan ibu hamil, ibu yang akan mengalami proses melahirkan yang tidak mendapatkan pelayanan dikarenakan keterbatasan kapasitas tempat tidur rumah sakit memiliki resiko kematian lebih tinggi dari pada yang mendapatkan pelayanan tersebut Tingkat Kemiskinan dan Angka Kematian Bayi Derajat kesehatan dan sosial bangsa dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain dengan angka kematian bayi. Kematian bayi sendiri tidak dapat dipisahkan dari baik buruknya kesehatan ibu. Rawannya derajat kesehatan ibu juga sangat mempengaruhi kesehatan janin yang dikandungnya. Kejadian lahir lalu mati dan kematian bayi pada minggu pertama kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu selama masa kehamilan Faktor tingginya tingkat mortalitas bayi salah satunya adalah kemiskinan, dalam hal ini berkaitan dengan daya beli keluarga.kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh ibu hamil, berguna untuk memastikan apakah ibu berkemampuan membeli dan memilih makanan yang bernilai gizi tinggi. Gizi yang baik diperlukan oleh seorang ibu hamil agar
29 pertumbuhan janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal. Dengan kondisi kesehatan yang baik, sistem reproduksi normal, tidak menderita sakit dan tidak ada gangguan gizi pada masa prahamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan sebaliknya. Wanita yang tingkat ekonominya rendah tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari karena keterbatasan ekonomi sehingga kebutuhan gizi tidak tercukupi. Wanita hamil yang kekurangan gizi akan cenderung mengalami anemia yang berdampak pada kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah yang sangat rentan terhadap penyakit yang dapat berdampak pada kematian (Septiana, dkk. 2010). 2.2 Penelitian Terdahulu Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengukur dampak dari pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap outcomes bidang kesehatan. Studi terdahulu tersebut telah dilakukan Rubio, Dolores (2011) dalam penelitian ini variabel outcomes bidang kesehatan adalah angka kematian bayi. Dalam penelitiannya Rubio, Dolores (2011) menggunakan indikator variabel desentralisasi fiskal yang diukur dari pengeluaran kesehatan pada GDP. Kontrol variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain GDP perkapita, tingkat pendidikan, dan konsumsi alkohol dan tembakau sebagai indikator gaya hidup. Dari hasil penelitiannya Rubio, Dolores (2011) menemukan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di berbagai Negara (cross country) dapat menurunkan angka
30 kematian bayi, hal ini dapat terjadi hanya jika anggaran yang disiapkan oleh pemerintah mencukupi kebutuhan bidang kesehatan. Penelitian lain oleh Victoria, Maria dan Vincent (2012), penelitian ini menganalisis dampak desentralisasi fiskal dari pengeluaran kesehatan terhadap angka kematian bayi di Kolombia. Angka kematian bayi untuk 1080 kotamadya selama periode lebih dari 10 tahun ( ) dikaitkan dengan desentralisasi fiskal dengan menggunakan model analisis regresi. Variabel yang digunakan adalah angka kematian bayi, pengeluaran kesehatan daerah, transfer kesehatan dari pemerintah pusat, dan tingkat kemiskinan. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dapat menurunkan tingkat kematian bayi di Kolombia dan tingkat penurunan lebih tinggi terjadi di kota yang makmur dari pada di kota yang terbelakang, dikarenakan kota yang makmur memiliki anggaran yang lebih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dibandingkan kota terbelakang. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gregory, Yinghua dan Tong Zeng (2015), dalam penelitiannya yang berjudul Fiscal Decentralization and China s Regional Infant Mortality menganalisis dampak dari desentralisasi fiskal pada tingkat angka kematian bayi di China. Kontrol variabel yang digunakan dalam penelitian ini jumlah dokter per orang, tingkat urbanisasi, jumlah kapasitas tempat tidur rumah sakit, GDP per kapita, dan pengeluaran kesehatan. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi yang kuat dan desentralisasi fiskal telah menggambarkan ekonomi China lebih dari 30 tahun, di dalam penelitian ini tidak menemukan penurunan konsisten baik angka kematian bayi atau underreporting angka kematian bayi kecuali bahwa
31 keseluruhan penurunan angka kematian bayi provinsi terlihat mengurangi underreporting pada periode sampel. Menurut Abay Asfaw, Klaus Frohberg, KS James, dan Johannes Jutting (2007), dalam penelitiannya pengaruh desentralisasi terhadap tingkat kematian bayi di pedesaan India pada tahun , secara umum, hasilnya mengindikasikan bahwa desentralisasi fiskal dapat memainkan peran untuk meningkatkan kesehatan yang berdampak pada angka kematian bayi di. Namun hasilnya juga mengindikasikan bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi saja mungkin tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, kecuali dengan disertai dengan kebijakan yang lain, seperti desentralisasi politik. Seperti yang kita lihat sebelumnya, ini adalah hasil yang masuk akal, sebab mungkin desentraliasasi lebih berdampak buruk bagi pengadaan kesehatan dan konsekuensinya dapat menyebabkan penurunan tingkat kesehatan, jika masyarakat setempat tidak aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam proses pelaksanaannya. Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Nama Penulis, Judul, dan Tahun Rubio, Dolores (2011) The impact of fiscal Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan Desentralisasi fiskal di berbagai Negara (cross country) dapat - Angka kematian bayi sebagai variabel dependen Penelitian Terdahulu - Menggunakan variabel tingkat pendidikan, dan Rencana Penelitian - Menggunakan tingkat kemiskinan, dan
32 decentralization on infant mortality rates: Evidence from OECD countries Victoria, Maria dan Vincent (2012) Fiscal decentralisation and infant mortality rate: The Colombian case Gregory, Yinghua dan Tong Zeng (2015), Fiscal Decentralization and China s Regional Infant Mortality menurunkan angka kematian bayi, hal ini dapat terjadi hanya jika anggaran yang disiapkan oleh pemerintah mencukupi kebutuhan bidang kesehatan. Desentralisasi fiskal dapat menurunkan tingkat kematian bayi di Kolombia dan tingkat penurunan lebih tinggi terjadi di kota yang makmur dari pada di kota yang terbelakang Di dalam penelitian ini tidak dijelaskan bahwa peningkatan perekonomian dan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang telah diterapkan di China selama 30 tahun terakhir belum menunjukkan penurunan konsisten angka kematian bayi - Menggunakan model penelitian ECM - Desentralisasi Fiskal sebagai variabel independen - Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi - Angka kematian bayi sebagai variabel dependen - Tingkat kemiskinan sebagai variabel independen -Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi - Angka kematian bayi sebagai variabel dependen - Rasio kapasitas tempat tidur rumah sakit sebagai variabel independen - Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi konsumsi alkohol dan tembakau - Menggunakan sampel beberapa negara - Menggunakan analisis data panel - Menggunakan variabel pengeluaran kesehatan daerah, transfer kesehatan dari pemerintah - Metode Stochastic Frontier Analysis (SFA) - Menggunakan variabel tingkat urbanisasi, rasio pertumbuhan populasi penduduk, dan pengeluaran kesehatan perkapita kapasitas tempat tidur rumah sakit - Hanya menggunakan sampel satu daerah - Menggunakan model penelitian ECM - Menggunakan variabel kapasitas tempat tidur rumah sakit - Menggunakan model penelitian ECM - Menggunakan variabel tingkat kemiskinan Abay Asfaw, Klaus Frohberg, KS James, dan Johannes Jutting (2007) Fiscal Decentralization and Infant Mortality: Empirical Evidence from Rural India Desentralisasi fiskal yang disertai dengan kebijakan yang lain, seperti desentralisasi politik dapat memainkan peran untuk meningkatkan kesehatan yang berdampak pada angka kematian bayi Angka kematian bayi sebagai variabel dependen - Desentralisasi Fiskal sebagai variabel independen -Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi - Menggunakan analisis data panel -Menggunakan angka melek huruf perempuan dan desentralisasi politik pada variabel independen - Menggunakan model penelitian ECM - Menggunakan tingkat kemiskinan, dan rasio kapasitas tempat tidur rumah sakit
33 2.3 Kerangka Berpikir Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia juga membawa konsekuensi terhadap adanya desentralisasi fiskal di daerah otonom. Desentralisasi fiskal ini merupakan suatu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan didaerahnya dan mendayagunakan potensi tersebut untuk mendukung pelaksanaan tugas pemerintahan. Pelaksanaan desentralisasi memiliki asumsi dasar bahwa pemerintah daerah akan lebih peka terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat didaerahnya. Dalam setiap pelaksanaan kebijakan pemerintahan akan dijabarkan melalui anggaran yang akan dialokasikan terhadap suatu sektor yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sektor kesehatan merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam pembentukan modal manusia. Pentingnya sektor kesehatan ini telah disadari oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 tentang pengalokasian anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Dalam UU Undang- Undang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 ditetapkan bahwa setiap daerah wajib mengalokasikan anggaran minimal 10% dari APBD. Adanya desentralisasi fiskal juga dianggap dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dimana dengan penyerahan dan pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah maka pemerintah di harapkan dapat lebih cepat, tepat dan efisien dalam melakukan pelayanan publik untuk bidang kesehatan. Peran besar dalam membangun sektor kesehatan sebagian besar memang menjadi beban pemerintah, namun tak dapat dipungkiri bahwa banyak faktorfaktor diluar faktor tesedianya pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau
34 ini yang turut menentukan derajat kesehatan masyarakat yaitu kondisi ekonomi dari masyarakat, serta kualitas pelayanan di bidang kesehatan itu sendiri. Pencapaian kualitas kesehatan masyarakat merupakan interaksi dari berbagai faktor yang turut mempengaruhi kesehatan. Pencapaian kualitas kesehatan ini dapat di ukur dengan menggunakan indikator angka kematian bayi (AKB). Indikator ini dianggap sebagai indikator yang paling lengkap dari kesehatan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan kesehatan anak dan wanita hamil, selain keadaan perkembangan kesehatan dalam masyarakat. Selain itu, kematian bayi dianggap lebih sensitif pada perubahan kebijakan seperti desentralisasi daripada indikator kesehatan lainnya seperti harapan hidup (Dolores, Rubio. 2011). Penetapan indikator ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat (Stalker, Peter. 2008). Penelitian terdahulu telah banyak dilakukan diberbagai negara termasuk Indonesia. Penelitian yang dilakukan di berbagai Negara menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif terhadap outcomes bidang kesehatan Hal ini berarti bahwa desentralisasi fiskal mampu menurunkan angka kematian bayi, hal ini mendorong penulis untuk meneliti masalah sejenis di daerah Kabupaten Blora Berdasarkan paparan diatas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dikenal ada dua pendekatan yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu pendekatan secara sentralisasi dan pendekatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
Lebih terperinciBAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK
63 BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK A. Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Menurut Freedman dalam anggaran
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 272 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN SERDANG
Lebih terperinciBAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang
10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT
BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.
3. Bagi masyarakat, memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan keuangan di Provinsi Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 4. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah Pengelolaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 3 TAHUN 2009 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA
WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 24 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.
Lebih terperinciANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU
ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya
Lebih terperinciPROFIL KEUANGAN DAERAH
1 PROFIL KEUANGAN DAERAH Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang adalah menyelenggarakan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, merupakan salah satu pengeluaran investasi jangka panjang dalam kegiatan perekonomian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan sistem pemerintahan sentralistik selama pemerintahan Orde Baru ternyata rapuh dan menciptakan kesenjangan ekonomi serta kemiskinan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era perdagangan bebas atau globalisasi, setiap negara terus melakukan upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang mampu menciptakan
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam
KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekonomi daerah, sebagaimana halnya di bidang-bidang lainnya. Usaha untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah pusat telah menggariskan kebijaksanaan untuk mengembangkan dan meningkatkan peranan dan kemampuan pemerintah daerah di bidang keuangan dan ekonomi daerah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang :
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada
Lebih terperinciGAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu
BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu
Lebih terperinciQANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR DAN ANAK BALITA
QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR DAN ANAK BALITA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA BANDA ACEH, Menimbang : a. bahwa kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, seorang kepala daerah dalam mengimplementasikan pola kepemimpinannya seharusnya tidak hanya berorientasi pada tuntutan untuk
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 35 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 862 TAHUN 2011 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 35 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 862 TAHUN 2011 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA BUPATI BANJARNEGARA,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah 2.1. Otonomi Daerah Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, otonomi daerah adalah kewenangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR 741/MENKES/PER/VII/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR 741/MENKES/PER/VII/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang No.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerah untuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 99 TAHUN : 2009 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2009
LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 99 TAHUN : 2009 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 3 TAHUN 2009 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 3 TAHUN 2009 T E N T A N G KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN CIREBON
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG
PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciBUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN BULUNGAN
BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan daerahnya. Salah satu tujuan dari pembangunan diantaranya adalah meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom. daerah otonom yaitu daerah yang merupakan kewajiban, hak, dan wewenang untuk mengurus
Lebih terperinciBAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak
BAB II 1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Pustaka Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak Parkir di Kota Malang telah dilaksanakan dengan baik. Proses pemungutan telah dilaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG
PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN MADIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang melanda indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia. Doktrin New Public Management (NPM) atau Reinveting
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata di berbagai negara termasuk Indonesia. Doktrin New Public Management (NPM) atau Reinveting Government yang didasarkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-undang No 34 Tahun 2000 yang sekarang diubah menjadi Undang-undang No 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 menyatakan Daerah Otonom adalah kesatuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah sebagai bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa termasuk reformasi pengelolaan pemerintahan di daerah, oleh pemerintah pusat telah diatur
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja
Lebih terperinciBAB II KINERJA SEKTOR PUBLIK. hendak dicapai. Tujuan tiap-tiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada
11 BAB II KINERJA SEKTOR PUBLIK 2.1. SEKTOR PUBLIK 2.1.1. Organisasi Sektor Publik Setiap organisasi pasti mempunyai tujuan spesifik dan unik yang hendak dicapai. Tujuan tiap-tiap organisasi sangat bervariasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Menurut Bahl (2008), desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai proses pelimpahan wewenang
Lebih terperinciBUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
BUPATI PURWAKARTA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian suatu daerah dalam pembangunan nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Reformasi dalam bidang pengelolaan keuangan Negara khususnya dalam sistem perencanaan dan penganggaran telah banyak membawa perubahan yang sangat mendasar dalam pelaksanaannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan
Lebih terperinci