I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sebagian besar wilayah permukaan bumi (70%) terdiri atas lautan dan lebih dari 90% kehidupan biomasa di bumi, hidup di laut (Dahuri 2001). Oleh karena itu lautan merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup manusia. Laut memiliki peran strategis dalam bidang ekonomi dan ekologi bagi pengembangan jasa-jasa lingkungan. Secara ekonomi laut memiliki potensi besar sebagai penghasil komoditi, karena memiliki sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (ikan, rumput laut dan lain-lain) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (bahan tambang, minyak bumi, gas dan lain-lain). Secara ekologi, wilayah laut merupakan bentang alam yang di tempati oleh berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat bagi biota untuk hidup dan merupakan sumber nutrien bagi organisme perairan, termasuk ikan. Pelestarian wilayah laut merupakan upaya yang harus dilakukan, karena menyangkut kelestarian sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang (Anwar & Gunawan 2007). Pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan besarnya pengembangan wilayah kota ke arah pantai menyebabkan terjadinya pembukaan wilayah tersebut untuk berbagai aktivitas industri dan pemukiman yang memicu terjadinya pencemaran laut (Ashley 2005). Pencemaran laut diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (PP No.19/1999) Pencemaran laut dapat memberikan pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan ekosistem laut, kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut (Clark 2003). Pencemaran laut juga dapat mengurangi nilai estetika dan nilai lingkungan laut intrinsik yang penting untuk rekreasi. Apabila laut tercemar maka sebagian dari biomasa juga akan turut tercemar.

2 2 Salah satu polutan yang berpotensi mencemari laut adalah minyak. Pencemaran minyak merupakan penyebab utama pencemaran laut. Pencemaran minyak dapat membahayakan ekosistem laut karena ekosistem perairan sangat rentan terhadap minyak (Mukhtasor 2007). Pencemaran minyak berpengaruh besar terhadap ekosistem laut, penetrasi cahaya matahari akan menurun akibat tertutup lapisan minyak. Proses fotosintesis akan terhalang pada zona euphotik, sehingga rantai makanan akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya perairan tidak mampu lagi untuk mendukung kehidupan laut yang aerob (IPIECA 2000). Ancaman utama pencemaran minyak terhadap biota perairan adalah terjadinya penutupan permukaan perairan. Hewan dan tumbuhan sangat beresiko kontak dan terkontaminasi di permukaan laut yang telah terkontaminasi minyak. Kura-kura, reptil laut, dan burung yang hidup mencari makan dengan menyelam terkena dampak utama dari pencemaran minyak, begitu juga halnya dengan biota laut lain termasuk ikan (Mukhtasor 2007). Menurut Darmono (2001), komponen hidrokarbon aromatis dari minyak bumi seperti senyawa benzen dan toluen merupakan senyawa toksik yang lansung membunuh biota perairan saat terjadinya pencemaran minyak di perairan. Senyawa ini pada konsentrasi tertentu, dapat mematikan organisme laut yang hidupnya menetap seperti kerang, larva ikan karena tidak mampu melarikan diri dengan cepat. Efek sub-letal dari minyak bumi adalah dapat mengganggu kemampuan organisme laut untuk berproduksi, tumbuh dan mencari makan karena terjadinya perpanjangan paparan konsentrasi minyak. Hewan yang tinggal menetap di perairan dangkal (kerang dan remis) yang secara rutin menyaring sejumlah besar air laut untuk mengekstrak makanan, biasanya akan mengakumulasi komponen minyak. Keberadaan minyak dalam tubuh organisme dapat menyebabkan hewan tersebut menjadi tidak enak dikonsumsi, karena adanya rasa atau aroma minyak. Hal ini merupakan masalah penting yang berhubungan dengan kehidupan nelayan dan masyarakat yang mengkonsumsi hewan laut, termasuk ikan hingga kembali ke kondisi normal.

3 3 Pencemaran minyak telah terjadi di berbagai lokasi perairan Indonesia, salah satu diantaranya adalah perairan Selat Rupat. Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan Pulau Rupat Propinsi Riau yang memiliki panjang ± 72.4 km dan lebar (dari garis Pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) km. Pulau Rupat merupakan sebuah pulau yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis dan pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat. Oleh sebab aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi ekosistim perairan Selat Rupat. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran III) tentang Baku Mutu Air Laut, konsentrasi maksimum kandungan minyak pada air laut untuk kegiatan budidaya adalah 1 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi studi konsentrasi minyak di perairan Selat Rupat telah melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan. Selat Rupat memiliki arti penting baik dan segi ekonomis, maupun ekologis. Dari segi ekologis, perairan Selat Rupat memiliki keanekaragaman hayati berbagai jenis mangrove yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan, melindungi pantai dari terjangan angin dan gelombang laut. Oleh sebab itu, banyak dari masyarakat di wilayah ini yang berprofesi sebagai nelayan, sekaligus sebagai pencari kayu bakau. Berdasarkan kedalamannya ( m), Selat Rupat dapat dilayari oleh berbagai kapal-kapal berbobot besar, termasuk kapal tanker. Selat ini berpotensi penting sebagai pelabuhan utama yang mampu menunjang perekonomian Propinsi Riau. Seiring dengan terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau, maka Kota Dumai telah diprogramkan sebagai ujung tombak sentra bisnis Propinsi Riau menggantikan Kota Batam. Sehubungan dengan hal itu, maka di beberapa lokasi tertentu di sekitar kawasan Pesisir Dumai telah ditetapkan sebagai kawasan industri (Pelintung dan Lubuk Gaung), sehingga berpotensi meningkatkan pencemaran di Perairan Selat Rupat. Berdasarkan survei lapangan, pencemaran perairan Selat Rupat berasal dari dua sumber utama, yaitu aktivitas industri di daratan dan aktivitas transportasi di pelabuhan, seiring dengan pengembangan Kota Dumai sebagai Kota Industri.

4 4 Selat Rupat, merupakan jalur transportasi strategis dan pilihan rute kapal yang produktif. Pelabuhan Dumai banyak dikunjungi oleh kapal-kapal penumpang, baik antar pulau di wilayah Indonesia maupun manca negara. Kunjungan kapal setiap tahunnya ( ) berkisar kali dengan jumlah penumpang berkisar hingga orang (ADPEL 2009). Kota Dumai merupakan pangkalan utama dua perusahaan minyak terbesar (PT.CPI dan Pertamina UP II Dumai) yang mengeksploitasi minyak mentah dari berbagai sumur minyak di Propinsi Riau dan mengolahnya menjadi produk bahan bakar minyak (BBM). Industri minyak di Kota Dumai mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM dengan kapasitas barel perhari yang didukung oleh tangki timbun dan pelabuhan (Pertamina 2002). Dumai juga sebagai lokasi penimbunan minyak mentah dengan tangki timbun yang mampu menampung minyak dengan kapasitas 5.1 juta barel (CPI & PPLH UNRI 2005). Berbagai aktivitas transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri di pesisir Pantai Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup berpotensi bagi polutan minyak untuk terakumulasi di perairan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Oleh karena itu maka kajian mengenai pencemaran minyak di perairan Selat Rupat sangat menarik untuk dilakukan. Mengingat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat merupakan masalah kompleks yang sangat penting untuk diselesaikan. Kompleksnya masalah ini menyebabkan penyelesaiannya harus dilakukan secara holistik dengan terlebih dahulu membuat model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat yang sangat berpotensi untuk tercemar minyak. 1.2 Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat Riau. Selanjutnya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai maka secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mempelajari karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat. 2 Mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. 3 Menentukan prioritas teknologi pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.

5 5 4 Menentukan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. 5 Merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. 1.3 Kerangka Pemikiran Kebutuhan akan energi bagi masyarakat secara dominan masih menggunakan sumber energi bahan bakar fosil (hidrokarbon). Seiring dengan peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kotamadya Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999, maka pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Berbagai kegiatan transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak di Selat Rupat selalu menyisakan polutan minyak ke lingkungan perairan. Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undangundang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha dan/atau Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal merupakan konsep umum yang digunakan dalam pengendalian pencemaran minyak di laut hingga saat ini. Pada kenyataannya, penerapan instrumen regulasi di lapangan ada indikasi belum berjalan secara optimal sebagaimana yang diharapkan. Selat Rupat merupakan jalur transportasi strategis. Padatnya lalu lintas berbagai kapal (kapal tanker, kargo dan penumpang) di perairan ini berpotensi memberikan kontribusi besar terhadap peningkaan polutan minyak di perairan Selat Rupat. Di lain pihak, karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat sangat peka terhadap pencemaran minyak. Pencemaran minyak dapat mengakibatkan gangguan terhadap ekosistem. Upaya pengendalian pencemaran minyak di

6 6 perairan Selat Rupat memerlukan suatu kajian yang menyeluruh (holistic) termasuk aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hal itu, diperlukan suatu model pengendalian pencemaran minyak di perairan sebagai upaya mencegah kerusakan ekosistem di sekitarnya. Pendekatan pengendalian pencemaran minyak di perairan memerlukan kajian permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik lingkungan perairan, tingkat pencemaran minyak di Selat Rupat, teknologi yang tepat untuk pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat dan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak. Model pengendalian ini diharapkan dapat digunakan sebagai arahan bagi pengambilan kebijakan dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat (Gambar 1). UU No.16 Tahun 1999, pertumbuhan industri dan lalu lintas kapal di Selat Rupat UU No. 17/2007, PP No.21/ 2010, PP No. 19/1999, PerMenHub No.4/2005, UU No.32 / 2009, KepMenLH No.51/2004, PerMenLH No.04/2007. Peningkatan beban pencemaran minyak di Selat Rupat Konsep umum pengendalian pencemaran minyak di perairan laut Pemodelan umum pengendalian pencemaran minyak di perairan Evaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat Karakteristik lingkungan di Selat Rupat hidrooseanografi, mangrove, kepekaan lingkungan. Kondisi eksisting aktifitas (di daratan dan laut) sekitar perairan Selat Rupat sebagai sumber pencemar minyak Stakeholders yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat Teknologi pengendalian pencemaran minyak (oilboom, dispersant dan bioremediasi) Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Gambar 1 Kerangka pemikiran pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat

7 7 1.4 Perumusan Masalah Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara pesisir pantai Kota Dumai dengan Pulau Rupat. Pada kawasan ini terdapat vegetasi mangrove dan wilayah tangkapan yang sangat peka terhadap pencemaran minyak. Selain itu, Selat Rupat merupakan perairan yang semi tertutup yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Kondisi pergerakan arus pasang-surut setiap selang waktu enam jam akan memberikan pengaruh yang besar terhadap penyebaran polutan minyak di Selat Rupat. Tipe pasang-surut ini menyebabkan polutan minyak di perairan Selat Rupat terperangkap dan tidak mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Minyak yang memiliki molekul resisten (sukar terurai) berpotensi untuk terakumulasi dan menyebabkan kerusakan ekosistem perairan. Karakteristik lingkungan merupakan hal penting untuk mengetahui kondisi eksisting lingkungan dan responnya terhadap pencemaran minyak. Karakteristik lingkungan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Kepekaan lingkungan adalah gambaran suatu ekositem yang digunakan sebagai prioritas respon terhadap pencemaran, khususnya minyak. Dampak pencemaran minyak berimplikasi terhadap tingkat kepekaan ekosistem Selat Rupat. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, akan memberikan respon negatif yang membahayakan ekosistem di sekitarnya walaupun konsentrasi minyaknya relatif rendah. Sebaliknya, wilayah yang kurang peka akan memberikan respon yang tidak membahayakan ekosistem di sekitarnya. Pulau Rupat pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat, namun aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan Selat Rupat. Seiring dengan peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kotamadya Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999, maka pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Dumai juga dikenal sebagai kota minyak karena di kota ini terdapat dua perusahaan minyak terbesar yang bergerak dalam bidang eksploitasi, pengolahan dan distribusi minyak (PT.Chevron Pacific Indonesia dan PT.Pertamina UP II

8 8 Dumai). Dumai juga merupakan pelabuhan utama di Propinsi Riau yang mampu melayani pergerakan regional maupun internasional. Berbagai aktivitas industri dan transportasi laut mampu memicu terjadinya pencemaran minyak sehingga menambah tekanan ekologis terhadap Selat Rupat. Berdasarkan hal itu, untuk menurunkan potensi ancaman terhadap sumberdaya alam di Selat Rupat dan mengembangkan Kota Dumai sebagai ujung tombak ekonomi Propinsi Riau perlu suatu solusi model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Sehubungan dengan konteks pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat, diajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 1 Bagaimana kondisi eksisting lingkungan di perairan Selat Rupat dan sumber pencemar minyak di Selat Rupat? 2 Bagaimana kondisi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat? 3 Model apa yang tepat diterapkan untuk pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat? 1.5 Manfaat Penelitian Model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Propinsi Riau dalam menentukan arahan kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak. 1.6 Novelty (Kebaruan Gagasan) Penelitian ini merupakan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pengendalian pencemaran minyak di perairan selat, khususnya Selat Rupat yang disebabkan oleh aktivitas di daratan dan transportasi di laut. Pada penelitian ini digunakan pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara holistik kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian pencemaran minyak. Berdasarkan hal itu, kebaruan utama penelitian ini terdapat pada konsep penggunaan model dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan selat agar kerusakan ekosistem laut dapat dikendalikan. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh:

9 9 1 PERTAMINA UP II Dumai dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau Sedimentasi dan Dispersi Limbah Cair Pertamina Dumai. 2 PT.Chevron Pacific Indonesia dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau Studi Sensitivitas Tumpahan Minyak di Selat Rupat. Selat Rupat merupakan wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda terhadap pencemaran minyak. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap pencemaran minyak. Wilayah sangat peka akan memberikan respon yang cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Sebaliknya, wilayah yang ekosistemnya kurang peka tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pencemaran minyak di sekitarnya. Berdasarkan hal itu, untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan di Selat Rupat akibat pencemaran minyak di wilayah yang sangat peka, perlu dilakukan pengendalian. Penggunaan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat belum pernah dilakukan. Untuk itu, penulis bermaksud merumuskan suatu model dalam upaya mengendalikan pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat Riau.

VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT

VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT 77 VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT Abstrak Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka yang terletak di antara pesisir Kota Dumai dangan Pulau Rupat. Berbagai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 45 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah perairan laut Selat Rupat yang merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara

Lebih terperinci

VII. PRIORITAS TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Kata Kunci: pencemaran minyak, teknologi pengendalian, dispersant

VII. PRIORITAS TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Kata Kunci: pencemaran minyak, teknologi pengendalian, dispersant 91 VII. PRIORITAS TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT Abstrak Pelestarian wilayah laut merupakan upaya yang harus dilakukan, karena menyangkut kelestarian sumberdaya alam bagi generasi

Lebih terperinci

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran. 104 VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK Abstrak Industri pengolahan minyak, transportasi kapal di pelabuhan serta input minyak dari muara sungai menyebabkan perairan Selat

Lebih terperinci

10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat

10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat 142 X. PEMBAHASAN UMUM Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara pesisir pantai Pulau Rupat dengan Kota Dumai. Selat ini berperan penting dari sisi ekologi dan ekonomi bagi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

V. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SELAT RUPAT ABSTRAK

V. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SELAT RUPAT ABSTRAK 59 V. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SELAT RUPAT ABSTRAK Karakteristik lingkungan merupakan gambaran dari suatu ekositem tertentu yang digunakan sebagai prioritas respon lingkungan terhadap pencemaran. Selat

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Syahril Nedi 1)

STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Syahril Nedi 1) Jurnal Perikanan dan Kelautan 17,1 (2012) : 26-37 STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT ABSTRACT Syahril Nedi 1) 1) Staf Pengajar Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan laut. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat bermacam ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendesak untuk segera di tangani bagi kehidupan manusia, karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendesak untuk segera di tangani bagi kehidupan manusia, karena dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pencemaran lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah terbesar yang di hadapi manusia. Kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah yang sangat mendesak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan biogeokimia perairan laut terutama di areal sepanjang pantai. Bahkan sejalan dengan berbagai pemanfaatan

pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan biogeokimia perairan laut terutama di areal sepanjang pantai. Bahkan sejalan dengan berbagai pemanfaatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Wilayah perairan pantai memiliki sumberdaya yang tinggi. Namun demikian wilayah ini mempunyai resiko yang tinggi pula terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah pesisir kota Bandar Lampung merupakan suatu wilayah yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Wilayah pesisir kota Bandar Lampung merupakan suatu wilayah yang mempunyai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir kota Bandar Lampung merupakan suatu wilayah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang beraneka ragam, yang membentang di sepanjang Teluk Lampung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan kependudukan, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa karena keanekaragaman hayati dan agroekosistem Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa karena keanekaragaman hayati dan agroekosistem Indonesia 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Objek Indonesia adalah negara maritim yang dikatakan sebagai zamrud khatulistiwa karena keanekaragaman hayati dan agroekosistem Indonesia memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut Ekosistem yaitu suatu lingkungan tempat berlangsungnya reaksi timbal balik antara makhluk dan faktor-faktor

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS dan 105º10-105º22 BT, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi pesisir dan laut. Terumbu karang berperan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN SELAT RUPAT

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN SELAT RUPAT ISSN 1978-5283 Nedi, S., Pramudya, B., Riani, E., Manuwoto. 2010:1 (4) KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN SELAT RUPAT Syahril Nedi Mahasiswa Program Doktoral PSL IPB dan Dosen Tetap Fak. Perikanan & Ilmu

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sangat panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km 2, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia SUMBER DAYA ALAM (SDA) Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia SUMBER DAYA ALAM TIM ILMU LINGKUNGAN FMIPA UNSYIAH JENIS-JENIS SDA Sumber daya alam yang dapat diperbaharui

Lebih terperinci

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi surnberdaya. pesisir dan lautan yang besar. Dari pulau yang dimilikinya, Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi surnberdaya. pesisir dan lautan yang besar. Dari pulau yang dimilikinya, Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ndonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi surnberdaya pesisir dan lautan yang besar. Dari 17.508 pulau yang dimilikinya, ndonesia memiliki panjang garis pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara fisik potensi tersebut berupa perairan nasional seluas 3,1 juta km 2, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran Laut Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci