ANALISIS PERANAN ANGGARAN BELANJA MODAL SEBAGAI INVESTASI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN TITUK INDRAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PERANAN ANGGARAN BELANJA MODAL SEBAGAI INVESTASI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN TITUK INDRAWATI"

Transkripsi

1 ANALISIS PERANAN ANGGARAN BELANJA MODAL SEBAGAI INVESTASI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN TITUK INDRAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Tituk Indrawati NIM : H

3 ABSTRACT TITUK INDRAWATI. An Analysis of Role of Capital Expenditure as Government Investment on Economic in East Indonesia Year Under direction of HERMANTO SIREGAR and NUNUNG NURYARTONO. How important was government investment in enhancing The East Indonesia s economy? Using a dataset of regional government spending and panel data (First-difference Generalized Method of Moments), it show that regional government in East Indonesia still depend on central government for their government revenue and policy. Fiscal independence from regional government in East Indonesia were low and declining every year. The research also find that government investment especially on infrastructure (irrigation, street, and telecommunication/network) have positive impact for economic growth in East Indonesia. And also have complementer relation with private investment, which mean both investment have contribution on accumulation investment for higher output and aggressive economic growth. These results suggest that regional government must explore their potential resources to increase their own-source revenue (pendapatan asli daerah, or PAD) so they can have higher fiscal independence. Regional government can create favorable environtment to attract private investor so later on it will provide jobs and become source of government revenue. Keywords: government investment on infrastructure, economic growth, fiscal independence, panel data (FD GMM).

4 RINGKASAN TITUK INDRAWATI. Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NUNUNG NURYARTONO. Terjadi kesenjangan pembangunan yang sangat tinggi, pada wilayah barat memiliki pembangunan yang cukup pesat yang ditandai dengan tingkat perekonomian yang tinggi dan terjadinya aglomerasi industri dibeberapa daerah, sedangkan pada wilayah timur pembangunan berjalan sangat lambat, yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingkat perekonomian yang berjalan lambat dan masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor unggulan (Basri, 2009). Pembangunan yang tidak merata di Indonesia pada dasarnya disebabkan dengan perbedaan kemampuan daerah untuk tumbuh dan berkembang yang salah satunya adalah ketersediaan sarana infrastruktur dasar (Prasetyo, 2010). Hal ini memerlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembalian yang sangat lama, dimana pihak swasta tidak akan melakukannya. Sebab lain yang dapat menyebabkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia adalah daerah itu sendiri yaitu kemampuan dan kesanggupan suatu daerah dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya, yang ditentukan dari sumber-sumber pendapatan daerah. Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan pembangunan daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan bisa merencanakan pembangunan daerahnya. Hal apa saja yang dibutuhkan dalam meningkatkan perekonomian serta membangun daerah. Pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dan melaksanakan kebijakan anggarannya untuk keperluan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi keuangan yang ada di daerah serta pengaruh investasi pemerintah yang ada dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah di Kawasan Timur Indonesia untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri; (2) Menganalisis sumbangan investasi pemerintah dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia selama tahun ; (3) Menganalisis dampak yang terjadi antara investasi pemerintah baik secara total maupun menurut jenis yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah dengan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. Metode analisis deskriptif yang digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai beberapa data yang diperoleh. Analisis rasio kemandirian fiskal digunakan untuk menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana dari luar (ekstern). Analisis data panel digunakan untuk melihat pengaruh dan dampak investasi pemerintah baik total maupun menurut jenis yang dibelanjakan terhadap perekonomian Kawasan Timur Indonesia.

5 Analisis kinerja keuangan daerah diukur menggunakan rasio kemandirian fiskal yang dapat melihat ketergantungan suatu daerah dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2005 hingga 2009, rasio kemandirian provinsi di KTI berada di tingkat 0-25 persen yang berarti memiliki pola instruktif dengan pemerintah pusat, tingkat ketergantungan dengan pemerintah pusat masih sangat tinggi. Provinsi di KTI yang memiliki rasio kemandirian daerah tertinggi pada tahun 2009 adalah provinsi yang sudah stabil dan memiliki pendapatan asli daerah terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Tidak hanya memiliki rasio kemandirian yang rendah namun juga daerah di KTI memiliki pola yang semakin menurun setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran (share) PAD terhadap penerimaan daerah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerahnya, bersumber dari anggaran yang dimiliki pemerintah daerah atau dengan kata lain penerimaan daerah. Dalam hal ini, investasi pemerintah terbagi atas enam bagian yaitu tanah; peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringan; asset tetap lainnya; serta investasi lainnya. Dengan besarnya anggaran suatu pemerintah daerah maka daerah tersebut akan memiliki kemampuan yang besar dalam berinvestasi untuk membangun daerahnya. Anggaran pemerintah dalam melakukan investasi adalah sebesar ratarata 27,67 persen setiap tahunnya dari total anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Provinsi di KTI yang sedang giat menggalakkan pembangunan dan berinvestasi dalam membangun daerahnya pada tahun 2009 adalah Papua, Sulawesi Selatan dan Papua Barat masing-masing mencapai 6.022,1; 4.188,8; dan 3.206,4 milyar rupiah pada tahun Khusus untuk Provinsi Papua Barat memang sedang giat membangun dalam rangka mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya sebagai provinsi terbaru yang terbentuk pada tahun Hasil estimasi persamaan peranan investasi pemerintah total terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada periode tahun menunjukkan bahwa investasi pemerintah memiliki hubungan yang substitusi dengan investasi swasta. Hal ini disebabkan memang masih sangat terbatas investor swasta akan menginvestasikan pada daerah yang belum berkembang (memiliki return of investment yang lama atau risk investment yang tinggi). Dalam persamaan terlihat yang berperan sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI adalah terpusat pada variabel tenaga kerja dengan elastisitas terbesar yaitu 0,2134 selain pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan produksi KTI masih bersifat padat karya. Sedangkan peranan investasi pemerintah untuk keperluan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun menghasilkan estimasi bahwa yang memiliki peranan langsung adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Hubungan investasi pemerintah dan swasta pada persamaan adalah bersifat komplementer yaitu kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta. Dengan kata lain, keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Diantara keduanya, yang memiliki peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-

6 2009 adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan dengan elastisitas 0,1503 dibandingkan elastisitas investasi swasta yang hanya 0,0625. Variabel trade openness pada kedua persamaan menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan pada taraf 1 persen. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya trade openness dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di KTI. Hubungan yang negative memiliki makna bahwa di KTI nilai impor daerah masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai ekspor. Hal ini sangat dimungkinkan karena daerah di KTI masih memerlukan beberapa barang yang tidak dapat disediakan dari daerahnya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan baku industri yang ada di KTI. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa arah kebijakan yang disarankan antara lain: (1) untuk meningkatkan PAD perlu mencari alternatif lain dengan melihat kondisi dan potensi daerah masing-masing serta tidak menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah dan mengembangkan sumber PAD yang non pajak diantaranya membangun BUMD atau usaha milik pemerintah daerah yang profitable, (2) Pemerintah daerah KTI seharusnya tidak meningkatkan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dengan dalih peningkatan PAD. Upaya yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha sehingga mampu menarik investor swasta untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja lokal dan menjadi sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah bahkan seharusnya memberikan insentif dan kemudahan bagi investor melalui kemudahan perijinan, perbaikan infrastruktur perekonomian serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia lokal. (3) Pemerintah daerah KTI perlu mengusahakan suatu kebijakan yang dapat mengurangi nilai impor daerah KTI dan meningkatkan nilai ekspor dengan melihat suatu peluang pada perdagangan internasional sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah di KTI. Seperti melakukan substitusi bahan baku industri, himbauan penggunaan produk domestic dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar merupakan produksi domestik daerah. Kata Kunci: Keuangan Daerah, Investasi Pemerintah Daerah, Pertumbuhan Ekonomi Daerah

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

8 ANALISIS PERANAN ANGGARAN BELANJA MODAL SEBAGAI INVESTASI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN TITUK INDRAWATI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Judul Penelitian : Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun Nama : Tituk Indrawati NRP : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto

11 PRAKATA Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya penulis mampu untuk dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian. Topik yang dipilih untuk penelitian ini adalah Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun , yang pelaksanaannya dimulai pada bulan November Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Profesor Hermanto Siregar selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Nunung Nuryartono, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga diberikan kepada Bapak Nunung Nuryartono, Ph.D selaku ketua program studi dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan sebagai pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Akhirnya, besar harapan penulis agar proposal ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di Indonesia khususnya dalam kebijakan fiskal, serta bermanfaat bagi dunia pendidikan. Bogor, Juni 2011 Penulis, Tituk Indrawati

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi Jawa Barat pada tanggal 31 Maret 1980 dari bapak H.Darwadji Moertopo dan ibu Hj.Roeslinati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan M. Zamrisal dan dikaruniai satu orang anak yaitu M Arif Billah. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Angkasa IX kemudian melanjutkan ke SMPN 81 Jakarta Timur pada tahun 1992 dan lulus pada tahun Setelah lulus dari SMPN penulis melanjutkan ke SMAN 81 Jakarta Timur. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun Setelah lulus penulis bekerja di BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2008, penulis diberi kepercayaan sebagai Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis BPS Kota Pangkalpinang. Pada tahun 2009 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.

13 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Teori Peranan Pemerintah... 9 xv xvii xviii Pengeluaran Pemerintah Teori Pertumbuhan Ekonomi Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah Investasi Pemerintah Desentralisasi Fiskal Pengelolaan Keuangan Daerah Keterbukaan Dalam Perdagangan (Trade Openness) Regresi Data Panel Data Panel Statis Data Panel Dinamis Penelitian-Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian III. METODE PENELITIAN Metode Analisis xix

14 3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis Rasio Kemandirian Fiskal Analisis Data Panel Definisi Operasional Jenis dan Sumber Data Software Analisis yang Digunakan IV. KAWASAN TIMUR INDONESIA Kondisi Umum Penelitian Kondisi Geografi Penduduk Kondisi Perekonomian Keuangan Daerah KTI Sisi Penerimaan Daerah Sisi Pengeluaran Daerah V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemandirian Fiskal Investasi Daerah Hasil Estimasi Analisis Peranan Investasi Pemerintah Total terhadap Perekonomian KTI Analisis Peranan Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur terhadap Perekonomian KTI VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lebih Lanjut DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kawasan Timur Indonesia Tahun (Persen) Anggaran Belanja Rutin & Modal Kawasan Timur Indonesia Perkembangan Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah Ibukota Provinsi, Luas Area, Persentasenya terhadap Indonesia serta Jumlah Pulau yang dimiliki di KTI Tahun Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Di Wilayah KTI Tahun Angkatan Kerja, Jumlah Orang Bekerja dan Jumlah Pengangguran di Wilayah KTI Tahun Nilai PDRB ADHB dan ADHK 2000 Menurut Provinsi di KTI Tahun (Milyar Rupiah) Kontribusi Sektor Menurut Provinsi di KTI Tahun 2009 (Persen) Penerimaan Daerah di KTI Tahun (Jutaan Rupiah) Penerimaan Daerah KTI Menurut Sumbernya Tahun (Jutaan Rupiah) Total Belanja KTI Tahun (Jutaan Rupiah) Total Belanja Provinsi di KTI Tahun (Jutaan Rupiah) Pendapatan Asli Daerah KTI Tahun (Jutaan Rupiah) Rasio Kemandirian Fiskal Provinsi KTI Tahun (Persen) Derajat Desentralisasi Fiskal Tahun (Persen) Investasi Pemerintah Daerah KTI Tahun (Jutaan Rupiah) Hasil Estimasi Peranan Investasi Pemerintah Total Menggunakan Metode Data Panel Statis dan Dinamis Hasil Estimasi Peranan Investasi Pemerintah Untuk Keperluan Infrastruktur Menggunakan Metode Data Panel Statis dan Dinamis

16 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Tingkat Pertumbuhan Investasi Riil Indonesia Tahun Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner Teori Peacock dan Wiseman Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Investasi Aktual Dan Break-Even Hubungan Antara Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Dengan Porsi Pengeluaran Pemerintah Terhadap PDB Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square Estimasi dengan Pendekatan Within Group Kerangka Pemikiran Laju Pertumbuhan Provinsi di KTI Tahun Kontribusi Sektor Terhadap PDRB KTI Tahun Pos DAU dan DAK Menurut Provinsi di KTI Tahun Kontribusi PAD Provinsi dengan Penerimaan Daerah Terbesar Yaitu Sulawesi Selatan dan Papua Tahun Alokasi Belanja Pada Total Belanja KTI Tahun 2009 (Persen) Distribusi Anggaran Provinsi di KTI Tahun Investasi Pemerintah Menurut Jenisnya di KTI Tahun

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Pengujian Regresi (Ordinary Least Square) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total Pengujian Panel Statis Fixed Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total Pengujian Panel Statis Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total Uji Kebaikan (Uji Hausman) antara Fixed dan Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total Pengujian Panel Dinamis (FD-GMM) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total Pengujian Regresi (Ordinary Least Square) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur Pengujian Panel Statis Fixed Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur Pengujian Panel Statis Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur Uji Kebaikan (Uji Hausman) antara Fixed dan Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur Pengujian Panel Dinamis (FD-GMM) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 kawasan pembangunan yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Bali serta Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terdiri dari Pulau Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur. Dari kedua wilayah tersebut terdapat kesenjangan pembangunan yang sangat tinggi, pada wilayah barat memiliki pembangunan yang cukup pesat yang ditandai dengan tingkat perekonomian yang tinggi dan terjadinya aglomerasi industri dibeberapa daerah. Sedangkan pada wilayah timur pembangunan berjalan sangat lambat, yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingkat perekonomian yang berjalan lambat dan masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor unggulan (Basri, 2009). Ketimpangan ini dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS pada tahun 2008 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan kegiatan ekonomi di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 58,79 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai sekitar 23,29 persen, Kalimantan menguasai 10,51 persen, Sulawesi menguasai 4,21 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masing-masing hanya 1,35; 0,24; 1,60 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2008 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia masih diwarnai beberapa permasalahan umum seperti permasalahan pertanian tradisional dan subsistemnya; masih adanya kasus busung lapar yang diderita warga; tingginya angka kematian; kemiskinan dan keterisolasian; terbatasnya pasokan air minum, listrik, dan energi;

19 masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi untuk memudahkan aksesibilitas; bencana alam; masih rendahnya kualitas hidup masyarakat; serta masih rawannya ancaman separatisme. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi penyebab pembangunan di kawasan timur Indonesia berjalan lambat karena masih minimnya sarana dan prasarana/infrastruktur dasar, sumber daya manusia yang rendah, serta industrialisasi yang belum berkembang. Salah satunya dengan indikator nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator kualitas sumber daya manusia, terlihat pada Tabel 1. Ada perbedaan nilai rata-rata IPM pada wilayah barat sebesar 72,2 persen pada tahun 2008 dibandingkan pada wilayah timur yang hanya mencapai 68,6 persen. Pada wilayah barat, nilai IPM merata diatas 70 persen hampir di seluruh provinsi. Sedangkan pada wilayah timur, hanya Sulawesi dan Maluku yang mempunyai nilai IPM diatas 70 persen. Tabel 1 Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Wilayah Timur Indonesia Tahun (%) PROVINSI IPM Nusa Tenggara Barat 60,6 62,4 63,0 63,7 64,1 Nusa Tenggara Timur 62,7 63,6 64,8 65,4 66,2 Sulawesi Utara 73,4 74,2 74,4 74,7 75,2 Sulawesi Tengah 67,3 68,5 68,8 69,3 70,1 Sulawesi Selatan 67,8 68,1 68,8 69,6 70,2 Sulawesi Tenggara 66,7 67,5 67,8 68,3 69,0 Gorontalo 65,4 67,5 68,0 68,8 69,3 Sulawesi Barat 64,4 65,7 67,1 67,7 68,6 Maluku 69,0 69,2 69,7 70,0 70,4 Maluku Utara 66,4 67,0 67,5 67,8 68,2 Papua Barat 63,7 64,8 66,1 67,3 68,0 Papua 60,9 62,1 62,8 63,4 64,0 Sumber : BPS (diolah) Ketersediaan infrastruktur dasar sangat penting karena dapat menunjang aktivitas perekonomian serta berperan dalam mengakselerasi pembangunan dalam suatu wilayah. Dengan adanya sarana infrastruktur yang memadai dapat menarik

20 investasi untuk masuk ke daerah tersebut sehingga dapat menjadi lebih cepat berkembang. Penyediaan sarana infrastruktur dasar ini dilakukan oleh pemerintah karena investasi ini membutuhkan dana yang sangat besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembaliannya sangat lama. Oleh sebab itu pemerintah berperan menanamkan investasi khususnya investasi publik, sebagai fungsi yang meliputi pengalokasian sumber daya, distribusi pendapatan hingga menciptakan stabilitas perekonomian. Investasi ini juga memiliki arti bahwa investasi dilakukan pada sektor publik yaitu sektor pelayanan pemerintah secara umum dan perusahaan non-keuangan seperti jasa transportasi; jalan kereta api, pesawat terbang atau jasa-jasa publik lainnya. Pada pelaksanaannya. investasi pemerintah berdampingan dengan investasi swasta. Investasi pemerintah sangat dibutuhkan sebagai stimulus investasi swasta, memberi arah. serta sasaran pembangunan bangsa sehingga mampu menangkap preferensi masyarakat demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan. Pengeluaran pemerintah yang digambarkan pada APBN/APBD yang bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam APBN/APBD terbagi atas dua kelompok utama yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dari keduanya, pengeluaran terbesar adalah pengeluaran rutin yaitu sekitar 60 persen terhadap total pengeluaran sementara 40 persennya digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meliputi belanja pegawai, barang, pemeliharaan. perjalanan dinas, pinjaman beserta bunga, dan subsidi yang kesemua jenis tersebut mempunyai sifat pengeluaran konsumsi. Sedangkan pengeluaran pembangunan terbagi menurut sektor-sektor pembangunan yang lebih bersifat sebagai investasi atau modal pemerintah. Sejalan dengan semakin luas jangkauan lingkup pembangunan di daerah maka pengeluaran pemerintah secara total terus meningkat begitupun dengan pengeluaran pembangunan yang merupakan nilai investasi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia (Brata, 2002). Walaupun pemilihan prioritas investasi pemerintah tersebut merupakan permasalahan yang cukup sulit. pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari pengeluaran tersebut yang harus dikurangi

21 atau ditambah dalam menciptakan anggaran pembangunan yang efektif dan efisien. Dengan adanya otonomi daerah maka daerah memiliki kewenangan dalam menyusun anggaran terutama yang terkait dengan investasi pemerintah sehingga daerah dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya serta investasi tersebut tepat guna. Tabel 2 Anggaran Belanja Rutin & Modal di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2008 Provinsi Total Belanja (Jutaan Rupiah) Belanja Rutin Belanja Modal (%) Belanja Tak Terduga Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Sumber : Kemenkeu. (diolah) Pada Tabel 2 dapat dilihat besaran persentase pengeluaran rutin atau biasa disebut dengan belanja rutin dan pengeluaran pembangunan atau belanja modal dari keseluruhan total belanja daerah (APBD) pada provinsi di wilayah timur Indonesia. Secara total belanja rutin memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan belanja modal yaitu 68, 23 persen dan 31, 43 persen dengan 0, 34 persen belanja tak terduga. Terlihat pengeluaran pembangunan yang sangat kecil, hal ini membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah masih digunakan untuk membiayai kegiatan yang mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan yang bersifat operasional dan peningkatan jangkauan serta mutu pelayanan terhadap masyarakat. Dengan kata lain pengeluaran yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan peningkatan output. Hal ini berarti

22 pengeluaran pemerintah berperan hanya dalam konsumsi, tidak atau belum dapat meningkatkan atau menstimulus pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah barat Indonesia. Beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah dalam upaya percepatan pembangunan di wilayah timur agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan yang terjadi tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional adalah dengan meningkatkan koordinasi antar-provinsi. daya saing serta perubahan manajemen publik yang responsif terhadap tantangan. potensi dan masalah daerah. Langkah ini memerlukan kesiapan pemerintah daerah yang bersangkutan (Nanga M, 2005), untuk itu diperlukan peranan pemerintah dalam hal ini APBD sebagai modal atau investasi publik dalam membangun daerah. Beberapa tahun terakhir ini. nilai pengeluaran pemerintah daerah di wilayah timur meningkat namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia tidak mengalami peningkatan sesuai yang direncanakan Perumusan Masalah Investasi merupakan salah satu komponen yang membentuk PDB yang mempunyai definisi modal yang digunakan seseorang atau perusahaan untuk memberikan manfaat di masa yang akan datang. Selama tahun 2000 hingga 2009, Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan investasi riil yang terus menurun. Hal ini merupakan masalah yang serius, karena apabila investasi turun maka kegiatan produksi secara nasional akan turun dan mengakibatkan secara langsung nilai output juga turun. Apabila nilai output ini turun terus menerus. akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi yang merosot tajam. Penurunan nilai investasi dapat kita lihat pada Gambar 1. Investasi menurut sumbernya dibagi menjadi dua kelompok yaitu investasi yang bersumber dari investor asing atau disebut dengan penanaman modal asing (PMB) dan yang bersumber dari dalam negeri (PMDN). Investasi menurut pelaku dikelompokkan menjadi dua. yaitu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta dan sektor publik dalam hal ini pemerintah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah ini membuktikan peranan pemerintah yang aktif dalam perekonomian.

23 Gambar 1 Tingkat Pertumbuhan Investasi Riil Indonesia Tahun (%). Pembangunan yang tidak merata di Indonesia pada dasarnya disebabkan dengan perbedaan kemampuan daerah untuk tumbuh dan berkembang yang salah satunya adalah ketersediaan sarana infrastruktur dasar (Munnel AH, 1992 dan Perkins P, 2005). Hal ini memerlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembalian yang sangat lama. dimana pihak swasta tidak akan melakukannya. Sebab lain yang dapat menyebabkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia adalah daerah itu sendiri yaitu kemampuan dan kesanggupan suatu daerah dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya. yang ditentukan dari sumber-sumber pendapatan daerah. Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan pembangunan daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan bisa merencanakan pembangunan daerahnya. Hal apa saja yang dibutuhkan dalam meningkatkan perekonomian serta membangun daerah (Adi PH, 2006). Pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dan melaksanakan kebijakan anggarannya untuk keperluan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi keuangan yang ada di

24 daerah serta pengaruh investasi pemerintah yang ada dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia sehingga dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri? 2. Bagaimana peran investasi pemerintah dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia? 3. Bagaimanakah dampak investasi pemerintah baik secara total maupun khusus untuk infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi ataupun peningkatan output di Kawasan Timur Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk: 1. Menganalisis kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah di Kawasan Timur Indonesia untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri. 2. Menganalisis peran investasi pemerintah dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia selama Menganalisis dampak yang terjadi antara investasi pemerintah baik secara total maupun khusus untuk infrastruktur dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain. 1. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai investasi pemerintah dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia, baik itu kontribusinya maupun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi serta mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia.

25 2. Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan. wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang investasi pemerintah. 3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan agar lebih memprioritaskan dan menentukan apa yang akan dilakukan sehubungan dengan memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. 4. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi pada pembaca mengenai kondisi terkini tentang pengaruh investasi pemerintah terhadap pembangunan perekonomian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada wilayah timur Indonesia dengan menggunakan data time series tahunan yaitu pada data ouput yang didekati dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan investasi pemerintah yang dimaksud adalah investasi yang didekati dengan menggunakan data belanja modal atau belanja pembangunan pada anggaran dan keuangan daerah yang di agregasi dari fiskal provinsi dan kabupaten/kota. Model yang digunakan yaitu analisis data panel dengan rentang waktu lima tahun antara tahun 2005 hingga Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, data time series yang digunakan hanya tahun 2005 hingga 2009 karena keterbatasan data. Kedua, data investasi pemerintah yang digunakan hanya berasal dari investasi menurut wujudnya yaitu infrastruktur dan fisik karena lebih mudah terukur dan terdata. Ketiga, pembatasan investasi pemerintah menurut jenis yang dibelanjakan yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah investasi pemerintah dengan pendekatan pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah sebagai fiskal stimulus sesuai yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah masing-masing di wilayah KTI.

26 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori-Teori Peranan Pemerintah Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah menurut Stiglitz (2000) ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990). Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah: 1 Untuk menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta 2. Untuk mengkoreksi bila terjadi kegagalan pasar, adapun kegagalan pasar diantaranya: a. Kompetisi tidak sempurna. Dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang. b. Barang publik mempunyai karakteristik non excludable dan non rivalry. Dengan adanya sifat barang publik seperti itu maka akan timbul fenomena free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta, sehingga pemerintah yang menyediakannya. c. Ekternalitas pasar bersifat selfish sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan. d. Adanya kegagalan informasi Dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuhkan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta, misalnya perkiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi cuaca, akan tetapi pihak swasta tidak ada yang

27 menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca tersebut. Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi, kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran untuk meningkatkan pengeluaran agregat (dan karenanya merangsang keluaran agregat) dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro salah satunya adalah dengan investasi yang dilakukan oleh dan untuk sektor public. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pada tahun 1980-an, peranan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan perekonomian sangat besar karena masih memiliki hasil dari ekspor minyak bumi yang masih memiliki harga tinggi. Namun pada tahun 1980 akhir hingga sekarang, peranan pemerintah mulai berkurang. Ini disebabkan banyaknya fenomena investasi yang dilakukan oleh swasta. Dengan demikian, tercatat bahwa pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yaitu investasi pemerintah pada khususnya APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) Pengeluaran Pemerintah Di Indonesia pengeluaran pemerintah mempunyai peranan besar dalam meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas, pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan

28 pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak. Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat berupa (i) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (ii) anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (iii) anggaran defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. Pemerintah mengambil kebijakan melaksanakan anggaran berimbang untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijakan tersebut tetap dianut hingga sekarang, meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan tersebut belum direalisasikan dengan baik. a. Dampak Perubahan Pengeluaran Pemerintah Pemerintah dapat memengaruhi tingkat output keseimbangan dengan menambah atau mengurangi pengeluarannya. Besarnya efek perubahan pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (I o ) atau konsumsi otonomous (C o ), sehingga dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai: ΔY = ΔG / (1-b), (2.1) dimana b = Marginal Propensity to Consume (MPC) b. Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi Kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik, dengan demikian dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan. Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposable adalah : Y d = Y T (2.2) Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah C = C o + b Y d (2.3) Dengan adanya pajak nominal, maka Y d = Y - T, sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = C o + b (Y - T), (2.4) dan fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = A o + by - bt. (2.5)

29 Dengan demikian fungsi keseimbangan menjadi Y = AE = A o bt + by (2.6) Y (1 - b) = A o bt (2.7) Y = (A o - bt) / (1-b) (2.8) sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah ΔY = - bδt / (1-b) (2.9) Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto, 1997), yaitu: 1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil.

30 Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner yang mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut: < < < (2.10) P k PP PPK 1,2,,n : Pengeluaran pemerintah perkapita : Pendapatan perkapita (PDB / jumlah penduduk) : jangka waktu (tahun) Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 2, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponential yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan kurva 2.

31 PkPP/PPK Kurva1 Kurva 2 Z : Kurva perkembangan pengeluaran pemerintah Waktu/tahun Gambar 2 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner. 3. Teori Peacock dan Wiseman. Teori yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dengan demikian masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan

32 pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. PDB C A D G E F Pengeluaran pemerintah Pengeluaran swasta B 0 t t+1 Gambar 3 Teori Peacock dan Wiseman. Pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta, ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali

33 normal maka tingkat pajak tidak turun kembali pada tingkat sebelum terjadinya perang. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 3. Dalam keadaan normal dari tahun t ke t+1, pengeluaran pemerintah dalam persentase terhadap PDB naik sebagaimana ditunjukkan garis AG. Apabila pada tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah naik sebesar AC dan kemudian naik seperti ditunjukkan garis CD. Setelah perang selesai pada tahun t+1 pengeluaran pemerintah tidak turun ke G, yaitu tingkat pengeluaran pemerintah apabila tidak terjadi perang. Hal ini disebabkan karena setelah perang pemerintah memerlukan tambahan dana untuk mengembalikan pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan perang. Kenaikan tarif pajak tersebut dimaklumi masyarakat, sehingga tingkat toleransi pajak naik dan pemerintah dapat memungut pajak yang lebih besar tanpa menimbulkan gangguan dalam masyarakat. Jadi berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidak berbentuk suatu garis, tetapi berbentuk seperti tangga sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Bird mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman. Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peningkatan persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB. Akan tetapi setelah terjadinya gangguan, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird, efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang. Satu hal yang perlu dicatat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Bird juga menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan nasional. Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya.

34 PDB Wagner, Solow, Musgrave Peacock dan Wiseman 0 Tahun Gambar 4 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah `Teori Pertumbuhan Ekonomi 1 Model Ekonomi Keynesian Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat. Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro Keynesian. Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut: C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + R f (2.11) Keterangan: C : total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I : investasi G : pengeluaran pemerintah

35 (X M) : ekspor bersih barang dan jasa S : tabungan swasta bruto T : penerimaan pajak bersih R f : total pembayaran transfer ke luar negeri Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut: C + I + G = PNB = C + S + T (2.12) Seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat apabila dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut: c + i + g = y = c + s + t (2.13) Keterangan: t = t y; t > 0 c = c y d ; c > 0 s = s y d ; s > 0 i i ; g g ; y d = y ty; Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan kecenderungan tambahan pajak (t ) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c ) atau marginal propensity to consume (MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s ) atau marginal propensity to save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus.

36 Seluruh komponen pengeluaran agregat apabila disubstitusikan ke sisi pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai berikut: y c( y ty) i g (2.14) Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut: 1 dy ( di dg) 1 c(1 t) (2.15) Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT maka semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional. 2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model) merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang (Todaro 2006). Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar dalam hal ini hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.

37 Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: Y Y K K I I s k (2.16) Keterangan: Y Y K K I I = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) = laju peningkatan investasi Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor pada laju pertumbuhan ini sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila output

38 (aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama. Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Perekonomian akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi jangka panjang apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh. Jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh maka perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketidakseimbangan yang terjadi pada perekonomian baik karena depresi maupun inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada kondisi keseimbangan. Kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, sehingga Harrod sampai pada kesimpulan teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium. Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi ekuilibrium. Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang akan meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. 3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Berdasarkan

39 sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang. Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi (Todaro 2006). Berdasarkan asumsi tersebut, aktivitas perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada ekuilibriumnya dalam jangka panjang. Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral. Fungsi produksi bersifat constant returns to scale sehingga output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Berdasarkan anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) (2.17) Keterangan: y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = output K = kapital

40 L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Investasi per unit tenaga kerja efektif Investasi break even Investasi aktual Modal per tenaga kerja efektif Sumber: Mankiw 2007 k* K Gambar 5 Investasi Aktual Dan Break-Even. Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 5, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga

41 kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah Model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa pertumbuhan Produk Nasional Bruto merupakan konsekuensi alamiah atas adanya ekuilibrium jangka panjang serta adanya divergensi pola pertumbuhan ekonomi antar Negara dalam jangka panjang, meskipun tehnologi tetap diakui memainkan peranan yang cukup penting. Namun dalam model pertumbuhan endogen, faktor tehnologi tidak perlu ditonjolkan untuk menjelaskan terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Todaro, 2000). Dalam model Barro (1990) yang menguji model pertumbuhan endogen mengenai hubungan antara pengeluaran pemerintah di dalam Produk Domestik Bruto dan tingkat pertumbuhan riil, diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas sebagai berikut:

42 y = f(k,g) = Ak 1-α g α (2.18) dimana g adalah kuantitas barang dan jasa perkapita yang dibeli oleh pemerintah, yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun (user charges), y adalah output perkapita, dan k adalah stok modal perkapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale). Jika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ maka dapat dituliskan berikut: g = T = τy = τ Ak 1-α g α (2.19) Apabila persamaan fungsi produksi diubah menjadi produktivitas marjinal modal maka: f k = A(1 - α)(g/k) α (2.20) jika total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut: y = ka 1/1- α τ α /1- α (2.21) dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut: g/k = (g/y)(y/k) = τ (y/k) = (Aτ) 1- α (2.22) Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut: f k = (1 α)a 1 /1- α τ α /1- α (2.23) Oleh karena itu, solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat ditentukan sebagai berikut: y = c/c = (1- σ) [(1 α)a 1 /1- α τ α /1- α - ρ] (2.24) Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan pertumbuhan konsumsi yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dari output dan modal. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari

43 model dapat disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6 g dibawah ini. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB t Gambar 6 Hubungan Antara Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Dengan Porsi Pengeluaran Pemerintah Terhadap PDB Investasi Pemerintah Investasi merupakan salah satu komponen atau variabel yang membentuk GDP. Definisi dari investasi itu sendiri adalah suatu kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) dimasa-masa yang akan datang. Investasi ini dikelompokan menjadi dua menurut sumbernya, yaitu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta (private investment) dan sektor publik dalam hal ini adalah pemerintah (public investment). Sedangkan menurut wujudnya terbagi atas fisik dan non-fisik. Investasi pemerintah yang berwujud fisik seperti investasi pada infrastruktur umum, social capital, listrik, transportasi massa dan komunikasi umum. Sedangkan yang berwujud non-fisik adalah pemberian beasiswa untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh sumber daya pemerintah (pegawai pemerintahan). Dari kedua investasi berdasarkan sumbernya yaitu investasi pemerintah dan swasta mempunyai suatu hubungan. Jika investasi pemerintah dan investasi

44 swasta mempunyai hubungan substitusi sempurna, maka peningkatan investasi pemerintah akan memiliki pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pengaruh dari investasi swasta. Namun bisa juga kondisi ini menyebabkan crowding out, dimana investasi pemerintah menggantikan investasi swasta. Ada dua pendapat yaitu menurut Keynesian masalah crowding out ini bukan merupakan sesuatu hal yang penting namun menurut David Aschauer yang berdasarkan teori Neo Klasik yaitu adanya kemungkinan bahwa investasi pemerintah akan mendorong meningkatnya investasi swasta yang akan bertambah tinggi produktivitas modal swasta dari akumulasi modal melalui modal yang berasal dari pemerintah. Selain hubungan keduanya juga memiliki perbedaan, yaitu investasi pemerintah lebih bersifat mendahulukan kepentingan masyarakat banyak dan untuk sesuatu yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan investasi swasta sudah dipengaruhi dengan mencari keuntungan yang sesuai dengan investasi/modal yang ditanamkan (lebih terfokus pada tingkat pengembalian dari investasi yang dilakukan). Dalam model Barro diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas yang didalamnya secara eksplisit terdapat modal pemerintah sebagai berikut: Y t = A t L α t K β γ t-1 KG t-1 (2.25) dengan variabel agregat output (Y t ), produktivitas (A t ), input tenaga kerja (L t ), dan variabel modal swasta yang didapatkan dari modal sektor swasta yang bukan konstruksi perumahan (K), serta modal pemerintah (KG) dimana t adalah merepresentasikan periode waktu sedangkan α, β, γ adalah parameter. Dan adanya hubungan antara investasi swasta serta pemerintah, yaitu memiliki hubungan substitusi sempurna ataupun komplementer yang sering disebut dengan istilah crowding-in dan crowding-out. Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya

45 tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu, 2005): a. Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka angka pengganda tidak terlalu berpengaruh. b. Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan. Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan kenaikan pendapatan. c. Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan. Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga menurunkan efektivitas stimulus fiskal. d. Flesibelitas harga berpengaruh secara negatif terhadap besarnya pengganda. e. Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar. f. Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya pola pikir masyarakat yang berpendapat bahwa kenaikan pendapatan dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak dimasa yang akan datang. Secara teori, analisis stimulus fiskal dimulai dengan Keynesian yang meliputi kriteria negara maju atau negara berkembang, perekonomian tertutup atau terbuka, dan sistem nilai tukar tetap atau mengambang. Berdasarkan Mundel-Flemming Model, kebijakan fiskal tidak akan efektif pada negara dengan perekonomian terbuka dan mempunyai sistem nilai tukar tukar yang mengambang, karena crowding out melalui nilai tukar yang memengaruhi ekspor neto.

46 2.1.6 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dengan memberikan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Bird, 2000). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam memengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut : 1. Adanya Pemerintah Pusat yang capable dalam melakukan pengawasan dan enforcement. 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam

47 melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. 3. Stabilitas politik yang kondusif. 4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusankeputusan tersebut. 5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah 6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Salah satu teori yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1996) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" (Stiglitz, 2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz, 2000). Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting

48 desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah berubah seiring dengan adanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007:23). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya. Ketiga aspek tersebut meliputi : 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.

49 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Tabel 3 Perkembangan Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Sebelum Desentralisasi UU 22/1999 Pemerintahan Daerah UU 25/1999 Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PP 105/2000 Pengelolaan Keuangan Daerah KMDN 29/2002 Pedoman Pengurusan, Pertanggungajawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Permendagri Pedoman Pengelolaan Keuangan 13/2006 Daerah Sumber : Halim, 2007 UU 17/2003 UU 1/2004 UU 32/2004 UU 33/2004 PP 24/2005 PP 58/2005 Setelah Desentralisasi Keuangan Negara Perbendaharaan Negara Pemerintahan daerah Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah Standar Akuntansi Pemerintah Pengelolaan Keuangan daerah Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun

50 anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Tabel 3 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis). Secara struktural, yaitu penerimaan meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan Belanja di bagi menjadi belanja rutin dan Belanja Pembangunan (Mulyana, 2006). Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format yang berbasis Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun Perundangan

51 Kemendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana, 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja daerah dan Pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006). Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi adalah satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan. Selanjutnya, pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan.

52 Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana, 2006). Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga dibedakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006). Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja berupa belanja administrasi Umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati masyarakat (Publik) (Mulyana, 2006). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 Tahun Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan

53 kegiatan di dalamnya yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka : 1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik 2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi. 3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi. Dengan tujuan diatas, maka diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Salah satu alat ukur kinerja adalah analisis rasio keuangan daerah yang merupakan inti pengukuran kinerja sekaligus konsep pengelolaan pemerintah daerah untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat luas. Hasil analisis rasio keuangan tersebut dapat digunakan untuk : 1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah; 2. Mengukur efisiensi dan efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah; 3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya; 4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam

54 pembentukan pendapatan daerah; 5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Beberapa macam rasio keuangan adalah : a. Rasio Kemandirian Rasio kemandirian keuangan daerah (selanjutnya disebut Rasio KKD ) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, yang dapat diformulasikan (Halim, 2007:128) sebagai berikut. Pendapatan Asli Daerah Rasio KKD = X 100 (2.26) Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi dan Pinjaman Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio KKD menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD. b. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah. Realisasi Penerimaan PAD Rasio Efektivitas = X 100 (2.27) Target Penerimaan PAD

55 Untuk memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio ini dibandingkan dengan rasio efisiensi. Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Semakin kecil rasio efisiensi, maka akan semakin baik kinerja pemerintah daerah. Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD Rasio Efisiensi = X 100 (2.28) Realisasi Penerimaan PAD c. Rasio Aktivitas Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin besar persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin, maka semakin kecil dana yang dialokasikan untuk belanja pembangunan. Rasio Belanja Rutin terhadap APBD = Total Belanja Rutin Total APBD Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD = Total Belanja Pembangunan Total APBD Keterbukaan Dalam Perdagangan (Trade Openness) Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif akan melakukan spesialisasi guna memproduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor. Oleh karenanya, kegiatan ekspor-impor dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996).

56 Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar kapasitas perdagangan internasional dan interregional, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah atau negara tersebut. Sehingga antara keterbukaan perdagangan (trade openness) dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah mempunyai hubungan yang positif atau searah. Keterkaitan ini dibangun berdasarkan teori ekonomi Keynes yang menyatakan bahwa produksi output meningkat disebabkan karena pengaruh konsumsi rumahtangga, investasi, pengeluaran pemerintah, serta keterbukaan perdagangan yaitu ekspor dan impor. Dari teori ini, Buckner dan Tuladhar (2010) memasukkan komponen keterbukaan perdagangan sebagai salah satu variabel dalam pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan investasi pemerintah (public investment). 2.2 Regresi Data Panel Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika melalui analisa regresi panel data. Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Verbeek (2001) menjelaskan bahwa penggunaan model data panel memiliki dua keunggulan utama bila dibandingkan dengan model cross section dan time series murni. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga paramater yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Jumlah data dalam data panel meningkatkan jumlah derajat bebas (degree of freedom) dan mengurangi

57 kolinieritas di antara variabel penjelas, yang dalam hal ini meningkatkan efisiensi dari penduga ekonometrik. Kedua, penggunaan model data panel adalah dapat mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: self selectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analsis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Menurut Baltagi (2005), meskipun dengan kelemahannya analisis data panel memiliki keunggulan dibandingkan dengan analisis ekonometrik lainnya yaitu sebagai berikut : 1. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogeneity),

58 memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam serta meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien, 2. Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time series murni, misalnya efek dari upah minimum, 3. Data panel mampu meminimalkan masalah kolinieritas antar variabel, 4. Data panel dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi, Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak Data Panel Statis Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1. Misalkan y it merupakan nilai varabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,, N dan t = 1, 2,,T. Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,,K serta dinotasikan sebagai, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: ; ; = (2.29) dengan menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut: ; ; (2.30) dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai y = X 'β + ε (2.31)

59 dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai (2.32) Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dan variabel bebas. Misalkan: y it = α i + X it β + ε it (2.33) Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: ε it = λ i + u it (2.34) Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk: u it i t it (2.35) Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λ i ). Pada two way dimasukkan efek dari

60 waktu (μ t ) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λ i dan μ t dengan X it. Uji yang digunakan dalam penentuan kedua metode ini adalah uji Hausman. 1. Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λ i ) dan efek dari waktu (μ t ) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat dinyatakan sebagai berikut: A. Untuk one way error component y it X u i i B. Untuk two way error component y it i i it t it it it (2.36) X u (2.37) Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model: y it X u i it it (2.38) dimana α i bersifat konstan untuk semua observasi, atau α i = α. Formula perhitungannya adalah: ˆ y ˆ x (2.39) N T 1 xit yit NT i 1 t 1 ˆ (2.40) N T 1 2 xit NT i 1 t 1 Dimana x 1 NT N T x it i 1 t 1 dan x it x it x

61 Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series, data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian: ˆ) var( u ) it var( N (2.41) T 2 xit i 1 t 1 Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. (Gambar 7) Gambar 7 Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. b. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana: y T x T 1 y it i 1 T 1 i T x it i 1 Dalam hal ini (2.42) (2.43)

62 x * x x (2.44) it it it it it y * y y (2.45) dan y i i ' i it x u i Jika y it = α i + x it β + u it, maka diperoleh: y it atau y * it y i *' it (2.46) ' ( ) ( x x ) ( u u ) (2.47) x u i * it i it i it i (2.48) sehingga, N T 1 * * xit yit WG NT i 1 t 1 ˆ (2.49) N T 1 * x 2 it NT i 1 t 1 Gambar 8 Estimasi dengan Pendekatan Within Group Berdasarkan persamaan 2.49, FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana pendapatan ini bekerja dapat dilihat pada Gambar 8 diatas. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (β WG ) cenderung lebih besar dari var (β PLS ) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan:

63 S S xx w xx N T i 1 t 1 N T i 1 t 1 2 ( x x) (2.50) it 2 ( x x ) (2.51) it i S b xx N i 1 2 T( x x) (2.52) i sehingga dapat dilihat bahwa: S xx S S (2.53) w xx b xx diketahui bahwa: 1 var( * T uit ) var( uit ) (2.54) T sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: ˆ WG var( ) = var( u N T i 1 t 1 * it ) x 2 it it = b S xx S xx (2.55) var( u * ) (2.56) T 1 var( u T = b S xx S xx it ) (2.57) Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya intersep ke dalam model. c. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini bertujuan dapat merepresentasikan perbedaan intersep, yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable d git = 1 (g = i): y it x u i ' it it (2.58) dengan memasukkan sejumlah d git = 1 (g = i), persamaan awal menjadi:

64 y it ' 1 d1 it 2d2it... Nd Nit xit uit (2.59) persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter β LSDV. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan F-test dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 H 1 : α 1 = α 2 = α 3 =... = α N dan : satu dari α ada yang tidak sama Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H 0 adalah dengan menggunakan F-statistik yaitu: 2 RDV R F 2 1 R DV 2 p NT N k N 1 dimana: R : koefisien determinasi LSDV R k 2 DV 2 p : koefisien determinasi PLS : banyaknya variabel (2.60) Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. d. Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang digunakan adalah: y it x u i t ' it Dimana γ t merepresentasikan time effect. it (2.61) Jika masing-masing pengaruh individu (α i ) dan time-effect (γ t ) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah z sit = 1 dummy akan diperoleh persamaan: (s = t) variabel

65 y it 1 d1 it 2d2it Nd Nit 2z2it z x u (2.62) Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. T Tit ' it it 2. Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam eror, dimana: A. Untuk one way error component sebagai: y it X u (2.63) i i B. Untuk two way error component sebagai: y it i i t it it it X u (2.64) Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu: it E( / ) 0 (2.65) E u it i 2 2 ( u it / i ) u (2.66) E( / ) 0 (2.67) i x it E (2.68) 2 2 ( i / x it ) E( ) 0 (2.69) u it i Untuk i j dan t s E ( u u it js ) 0 (2.70) Untuk i j E( ) 0 (2.71) i j dimana: Untuk one way error component, τ i = λ i Untuk two way error component, τ i = λ i + μ i Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari x it untuk setiap τ i adalah 0 atau E(τ i x it ) = 0. Untuk menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu:

66 a. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa variabel bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (x it ε i = 0) begitu juga dengan nilai ratarata eror E (x it ε i = 0). b. Pendekatan Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai ratarata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut: RE = Between + (I k - ) Within (2.72) Data Panel Dinamis Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama. Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut: (2.73) dengan menyatakan suatu skalar, menyatakan matriks berukuran 1xK dan matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini, oneway error component sebagai berikut: diasumsikan mengikuti model (2.74)

67 dengan menyatakan pengaruh individu dan menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap. Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka juga merupakan fungsi dari. Karena adalah fungsi dari maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor dengan. Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkorelasi serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen: (2.75) dengan di mana dan saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi diberikan oleh (2.76) dengan dan. Untuk menganalis sifat dari, dapat disubstitusi persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.76) untuk memperoleh: (2.77) Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk dan T tetap, bentuk pembagian pada Persamaan (2.77) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila bahwa:. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (2.78)

68 sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM) 1. First-differences GMM (AB-GMM) Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten di mana dengan T tertentu, akan dilakukan first-difference pada Persamaan (2.78) untuk mengeliminasi pengaruh individual sebagai berikut: (2.79) namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena dan berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, berkorelasi dengan tetapi tidak berkorelasi dengan, dan tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai

69 syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah (2.80) (2.81) Penduga (2.80) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi sebagai disajikan syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah (2.82) (2.83) Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel hilang ). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa (2.84) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh (2.85) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah

70 kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh untuk t=2, untuk t=3, untuk t = 4 Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan sebagai vektor tranformasi error, dan (2.86) (2.87) sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai (2.88) yang merupakan kondisi bagi T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, Persamaan (2.85) dituliskan sebagai (2.89) Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni dengan (2.90) adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan Persamaan (2.90) terhadap GMM sebagai akan diperoleh penduga

71 (2.91) Sifat dari penduga GMM (2.91) bergantung pada pemilihan yang konsisten selama definit positif, sebagai contoh yang merupakan matriks identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi (2.92) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian, matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator) (2.93) Dengan menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi

72 (2.94) matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator) (2.95) Sebagai catatan bahwa (2.95) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka persamaan dasar dapat dituliskan kembali menjadi (2.96) Parameter persamaan juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap, sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila strictly exogenous dalam artian bahwa tidak berkorelasi dengan sembarang error, akan diperoleh ; untuk setiap s dan t (2.97) sehingga dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen ; untuk setiap t (2.98) Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai (2.99) Bila variabel tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana dan lag tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh, untuk s t. Dalam kasus dimana hanya instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai

73 (2.100) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks kemudian dapat disesuaikan. 2. System GMM (SYS-GMM) Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut: (2.101) dengan, dan untuk i =1, 2,, N; t = 1, 2,,T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just identified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan pada. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari Persamaan (2.101) yang dievaluasi pada saat t=2 dengan mengurangi kedua ruas pada persamaan tersebut, yakni: (2.102) Dikarenakan ekspektasi, maka akan bias ke atas (upward biased) dengan (2.103) Dengan instrumen. Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-f dari regresi variabel intsrumen tahap pertama akan konvergen ke dengan parameter non-centrality

74 , dengan Karena maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga firstdifference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi. 2.3 Penelitian-Penelitian Terdahulu Lynde dan Richmond (1993) melakukan penelitian mengenai dampak stok modal publik terhadap tingkat output dan tingkat pertumbuhan produkstivitas di Amerika Serikat. Menurut penelitiannya secara empiris, 40 persen penurunan produktivitas di AS disebabkan oleh penurunan rasio antara modal publik dan tenaga kerja, yang mana kondisi ini menunjukkan pentingnya sektor publik dibandingkan sektor swasta. Lachler dan Aschauer (1998) menyatakan bahwa dampak investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada bagaimana hubungannya dengan investasi swasta. Hal ini disebabkan karena jika investasi pemerintah dan swasta bersifat komplementer, maka kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta. Keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun apabila hubungan keduanya adalah substitusi, maka kenaikan investasi pemerintah tidak selalu berdampak pada kenaikan modal fisik, karena investasi tersebut dapat menyebabkan pengurangan investasi swasta atau lebih dikenal dengan crowding out. Crowding out dapat terjadi pada dua kondisi: secara keuangan, apabila pemerintah membiayai peningkatan investasinya dengan kenaikan pajak atau dengan cara meminjam pada pasar modal domestik dan secara fisik, investasi pemerintah mengurangi kesempatan pasar yang seharusnya dapat dilakukan swasta. Apabila modal tidak dengan mudahnya keluar-masuk secara internasional,

75 pemerintah meminjam modal domestik dan mendorong naiknya tingkat bunga domestik. Hal lain yang menggambarkan investasi pemerintah mendorong pertumbuhan output adalah dengan melihat produktivitas, terlepas dari akumulasi modal. Jika modal infrastruktur pemerintah komplemen terhadap modal swasta, kenaikan pada investasi pemerintah tidak hanya menarik lebih banyak modal swasta dengan adanya akumulasi modal, bahkan membuat modal swasta menjadi lebih produktif. Namun apabila hubungan keduanya substitusi, maka dampak terhadap produktivitas akan sebaliknya. Selanjutnya, dampak investasi pemerintah terhadap pertumbuhan output juga tergantung pada bagaimana investasi tersebut dibiayai. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini, bahwa investasi pemerintah dibiayai oleh pajak atau dengan pinjaman domestik -yang menyebabkan meningkatnya beban pajak bagi masyarakat- sehingga tingkat pengembalian dari investasi tersebut harus dikurangi oleh dampak gangguan yang disebabkan oleh adanya pajak tersebut. Yonathan (2005) menganalisis VAR terhadap korelasi antara pendapatan nasional dan investasi pemerintah di Indonesia, 1983/ /2000. Data yang digunakan data triwulanan dari tahun Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa investasi pemerintah di sektor fiskal, khususnya pengeluaran pembangunan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Alfirman dan Sutriono (2006) menganalisis hubungan pengeluaran pemerintah dan PDB dengan menggunakan pendekatan Granger Causality dan VAR. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun Hasilnya menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi PDB karena bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap PDB. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk modal (investasi pemerintah).

76 Pereira dan Oriol (2006) melihat efek kebijakan fiskal terhadap output di Portugal dengan menggunakan metode VAR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah mempunyai efek positif yang kuat tehadap output, tetapi pajak langsung mempunyai efek negatif yang kuat terhadap output. Lendvai (2007) dalam studinya pengaruh kebijakan fiskal di Hungaria. Penelitian ini ingin melihat pengaruh dari perubahan pengeluaran pemerintah, menggunakan data triwulanan dari tahun 1997 sampai tahun 2005 dengan metode structural vector autoregressive (SVAR). Hasilnya memperlihatkan bahwa pergeseran dari pengeluaran pemerintah memberikan dampak campuran terhadap perekonomian. Secara khusus, rumah tangga merespon positif terhadap pengeluaran pemerintah ekspansif yang mengarah ke peningkatan pendapatan mereka, tetapi menunjukkan reaksi negatif pada perusahaan. Secara keseluruhan, peningkatan pengeluaran pemerintah meningkatkan PDB. Hatano (2010) mengembangkan penelitian Aschauer (1998) untuk negara Jepang lebih lanjut dengan melihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari investasi pemerintah dan swasta yang didasari kenyataan adanya kondisi keseimbangan jangka panjang dan kondisi dinamis terkait dengan bentuk hubungan kedua jenis investasi itu. Berdasarkan analisis kointegrasi, Hatano menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek, yaitu 1 tahun, investasi pemerintah berdampak negatif terhadap investasi swasta atau menyebabkan terjadinya crowding out, sementara dalam jangka panjang, antara 2 10 tahun, akan memberikan pengaruh positif atau mengakibatkan crowding in of private investment. Brückner and Tuladhar (2010) menemukan bahwa dampak multiplier dari investasi pemerintah terhadap output lebih besar dibandingkan dampak multiplier dari pengeluaran belanja pemerintah, namun besarnya relatif kecil dan terus menurun dari waktu ke waktu. Disamping itu ditemukan juga bahwa efektivitas dari investasi pada infrastruktur ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat ternyata memberikan dampak yang lebih rendah dibandingkan oleh dampak dari investasi di bidang sosial yang didesain oleh pemerintah lokal. Kesimpulannya adalah untuk menghasilkan dampak pengganda yang diinginkan harus diperhatikan komposisi dari jenis investasi pemerintah tersebut. Disamping

77 itu, adanya temuan mengenai dampak pengganda investasi pemerintah yang relatif kecil dan terus menurun dari waktu ke waktu mengindikasikan adanya gejala crowding out yang dihasilkan oleh investasi pemerintah. Dengan metode GMM, diperoleh hasil bahwa dampak investasi pemerintah secara total terhadap investasi swasta adalah positif namun secara statistik tidak signifikan, sementara dampaknya terhadap konsumsi rumah tangga adalah negatif dan signifikan. Sementara dampak pengeluaran pemerintah lokal terhadap investasi swasta menunjukkan pengaruh yang negatif dan sangat signifikan, dan secara langsung hal ini mengindikasikan terjadinya crowding out of investment, sebaliknya pengaruhnya terhadap konsumsi rumah tangga memperlihatkan pengaruh yang positif namun secara statistik tidak signifikan. 2.4 Kerangka Pemikiran Dalam upaya melihat pengaruh investasi pemerintah di dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur, maka diperlukan suatu studi agar pemerintah daerah dapat merencanakan pembangunan daerahnya dengan lebih tepat guna terutama dengan kebijakan fiskal yang dimilikinya. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

78 Kebijakan Fiskal Penerimaan Pemerintah Pengeluaran Pemerintah Konsumsi Pengeluaran pembangunan Investasi Pemerintah Produksi Labor Pertumbuhan Ekonomi Gambar 9 Kerangka Pemikiran. 2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah : 1. Daerah di kawasan timur Indonesia memiliki kemandirian fiskal yang berbeda-beda dalam membiayai pembangunan daerahnya sendiri. 2. Investasi pemerintah memiliki kontribusi yang berbeda-beda di dalam perekonomian daerah di Kawasan Timur Indonesia. 3. Investasi pemerintah memiliki hubungan yang positif dengan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia.

79 Halaman ini sengaja dikosongkan

80 III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang diteliti Analisis Rasio Kemandirian Fiskal Pada teori Pengelolaan Keuangan Daerah di bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana anggaran keuangan yang dimiliki oleh suatu daerah. Kinerja pemerintah daerah dapat diukur melalui kinerja keuangannya yang salah satunya adalah rasio keuangan daerah. Hasil dari analisis rasio keuangan daerah salah satunya adalah untuk menilai kemandirian fiskal yang dimiliki daerah tersebut, apakah mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi dengan pemerintah pusat. Rasio Kemandirian Fiskal ini menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain: Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Halim, 2007). Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah: Rasio kemandirian = PendapatanAsliDaerah x 100 % (3.1) Sumber Pendapatan daripihak Ekstern Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan

81 demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Tabel 4 Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola hubungan Rendah sekali 0-25 Instruktif Rendah Konsultatif Sedang Partisipatif Tinggi Delegatif Sumber : Halim (2007) Selain Rasio Kemandirian Fiskal, dalam mengukur kinerja keuangan daerah menurut Musgrave dan Peggy (1990) dapat menggunakan derajat desentralisasi fiscal, yaitu kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : DDF = Keterangan : PADt x 100 % (3.2) TPD t DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal (%) PAD t : Total PAD Tahun t (Rupiah) TPD t : Total Penerimaan Daerah Tahun t (Rupiah) Analisis Data Panel Model yang digunakan untuk menganalisis peranan investasi pemerintah dalam perekonomian kawasan timur Indonesia merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Alasan pemilihan fungsi produksi Cobb-Douglas berkaitan dengan kelebihannya yaitu: penyelesaiannya relatif mudah (mudah untuk ditransfer dalam bentuk linier), koefisien hasil estimasi merupakan elastisitas, dan penjumlahan dari elastisitas tersebut menunjukkan besarnya return

82 to scale, serta fungsi produksi ini telah banyak digunakan dalam penelitianpenelitian untuk mengestimasi output potensial suatu wilayah (Verbeek, 2001). Formula umum fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu sebagai berikut: Y it = A it K it α L it β (3.3) Dalam penelitian ini, awal pemikirannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Aschauer (1989) mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang ternyata memiliki hubungan yang positif dengan investasi pemerintah, salah satu bagian penting dalam pengeluaran pemerintah. Kemudian Aschauer dan Lachler (1998) meneruskan penelitiannya khusus tentang investasi yang dilakukan oleh pemerintah (public investment) dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menghasilkan bahwa ternyata investasi pemerintah dan swasta mempunyai suatu hubungan, yaitu terjadinya crowding out. Penelitian Aschauer dan Lachler (1998) disempurnakan oleh Hatano (2010), membuktikan bahwa investasi pemerintah dapat berdampak negatif terhadap investasi swasta dalam jangka pendek dan terjadi crowding out, namun sebaliknya jika terjadi dalam jangka waktu panjang. Model persamaan Hatano digunakan sebagai model dasar (baseline model) yaitu Y it = A IP it α IS it β TK it δ (3.4) Dimana: Y adalah output, A adalah total factor productivity, IP adalah investasi pemerintah, IS adalah investasi swasta, dan TK adalah tenaga kerja. Sedangkan untuk i adalah indeks provinsi dan t adalah indeks waktu. Dengan teori pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang maka suatu daerah akan lebih meningkatkan perekonomiannya jika memiliki spesialisasi guna memproduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Juga dengan kemampuan daerah tersebut dalam membangun daerahnya, ini didekati dengan melihat penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah yaitu salah satu sumbernya adalah melalui penerimaan pajak daerah. Penelitian yang terbaru yaitu Buckner dan Tuladhar (2010) memasukkan komponen keterbukaan dalam perdagangan yaitu ekspor dan impor dan penerimaan pajak, menjadi :

83 Z it Z 1 u (3.5) i it t it dimana Z adalah fungsi dari PDB, pengeluaran pemerintah dalam hal ini merupakan pendekatan investasi pemerintah, penerimaan pajak, investasi swasta, tenaga kerja dan ekspor. Modifikasi dari penelitian Bruckner dan Tuladhar (2010) pada persamaan (3.5) diperlukan mengingat ketersediaan data dari seluruh variabel yang ada dalam penelitian tersebut tersedia di seluruh provinsi Indonesia khususnya wilayah timur. Alasan lain adalah adanya penambahan variabel baru yang ingin diteliti. Maka model empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (semua variabel dalam bentuk logaritma natural): Y it = α it + β 1 ln PAD it + β 2 ln IP it + β 3 ln IS it + β 4 ln TK it + β 5 (X-M) it + β 6 Y it-1 + ε it (3.6) dimana: Y it Y it-1 PAD it IP it IS it (X-M) it TK it ε it subskrip i : pertumbuhan ekonomi provinsi ke-i periode ke-t : lag pertumbuhan ekonomi provinsi ke-i periode ke-t : pendapatan asli provinsi ke-i periode ke-t : investasi pemerintah provinsi ke-i periode ke-t : investasi swasta provinsi ke-i periode ke-t : keterbukaan perdagangan provinsi ke-i periode ke-t : tenaga kerja yang ada di provinsi ke-i periode ke-t : error term : provinsi di wilayah timur Indonesia (12 provinsi) subskrip t : periode/waktu dari tahun Menyesuaikan dengan tujuan penelitian yang ke tiga yaitu untuk melihat pengaruh peranan investasi pemerintah yang terbagi menurut jenis yang dibelanjakan terhadap perekonomian daerah di Kawasan Timur Indonesia, maka persamaan 3.6 diperluas. Investasi pemerintah dibagi menurut jenis yang dibelanjakan maka terbagi atas investasi dengan pembelian peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; serta irigasi, jalan dan jaringan. Namun dikarenakan investasi yang jelas sangat

84 berpengaruh terhadap masyarakat adalah investasi pemerintah infrastruktur maka variabel investasi pemerintah total diganti menjadi investasi infrastruktur. Sehingga persamaan 3.6 menjadi Y it = α it + β 1 ln PAD it + β 2 ln IPI it + β 3 ln IS it + β 4 ln TK it + β 5 ln (X-M) it + β 6 Y it-1 + ε it (3.7) dimana tambahan variabelnya adalah : IPI it : investasi pemerintah yang digunakan untuk infrastruktur di provinsi ke-i periode ke-t dalam hal ini seperti irigasi, jalan serta jaringan Metode estimasi yang dilakukan adalah menggunakan metode analisis data panel satis terlebih dahulu pada kedua persamaan di atas yaitu persamaan 3.6 dan 3.7 baru kemudian dilakukan dengan menggunakan data panel dinamis. Ditinjau dari sisi ekonometrik, kedua persamaan di atas berpotensi memiliki permasalahan endogeneity yaitu yang muncul akibat adanya lag dependent variable yang ikut dalam persamaan sebagai variabel bebas yang menyebabkan adanya korelasi antara lag dependent variable tersebut dengan error. Namun permasalahan endogeneity menurut Verbeek (2001) dapat diatasi dengan menerapkan metode generalized method of moment (GMM). Penerapan metode GMM dalam analisis data panel dinamis dapat mengurangi bias pada penggunaan tehnik OLS dan standard error yang dihasilkan menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan penggunaan estimasi two stage least square (2SLS). 3.2 Definisi Operasional Definisi operasional mutlak diperlukan dalam sebuah penelitian. Sebab definisi suatu konsep mungkin membutuhkan deskripsi bagaimana mengukur konsepnya, dan kadangkala ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengukur suatu konsep. Hal ini dilakukan sebab tidak semua konsep dapat diukur dengan jelas. Konsep yang jelas seperti umur, jenis kelamin, dan jumlah anak dapat diukur secara langsung. Namun konsep keberhasilan pembangunan dan loyalitas tidak dapat diukur secara langsung, sehingga perlu dibuat sebuah konsep operasional supaya dapat diukur (Juanda, 2009).

85 Dari persamaan (3.6) dapat dijelaskan definisi operasional dari masingmasing variabel yaitu sebagai berikut: 1. Variabel Y it adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 yang merupakan jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di provinsi i pada periode ke t yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan adanya jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. Variabel ini sebagai indikator pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh daerah, sampai sejauh mana suatu daerah berkembang atau meningkatkan perekonomiannya dalam membangun daerah tersebut tanpa adanya pengaruh inflasi. 2. Variabel Y it-1 adalah PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 pada provinsi i pada tahun sebelumnya. Dalam meneliti hubungan investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, nilai investasi tersebut tidak akan langsung mempengaruhi perekonomian suatu daerah, maka variabel lag ini diperlukan. 3. Variabel PAD it adalah pendapatan yang diterima oleh pemerintah provinsi i pada periode t yang menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang dilakukan oleh daerah tersebut. Pendapatan ini didapat dari beberapa kebijakan yang dilakukan serta sumber ekonomi asli yang dimiliki daerah tersebut, terbagi atas beberapa sumber yaitu dari pajak, retribusi, hasil usaha kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain. 4. Variabel IP it adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi i tahun t, yang didekati pada anggaran pemerintah daerah menggunakan pengeluaran pembangunan untuk menghasilkan nilai tambah asset baik fisik maupun non fisik. Pengeluaran pembangunan ini bisa dipecah berdasarkan sektor (pendidikan, kesehatan, telekomunikasi dan lain-lain) maupun menurut jenis yang dibelanjakan (tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan serta asset lainnya). 5. Variabel IPI it adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi i tahun t, yang didekati pada anggaran pemerintah daerah menggunakan pengeluaran pembangunan untuk menghasilkan nilai tambah asset baik fisik

86 maupun non fisik khusus untuk keperluan infrastruktur dasar. Pengeluaran pembangunan yang dibelanjakan untuk kebutuhan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. 6. Variabel IS it adalah investasi yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat pada provinsi i tahun t, dengan pendekatan data penanaman modal yang dilakukan baik dari dalam negeri maupun luar negeri atau pihak asing yang disalurkan ke daerah/provinsi tertentu di Kawasan Timur Indonesia. 7. Variabel (X-M) it adalah tingkat keterbukaan ekonomi provinsi i tahun t yaitu dengan pendekatan data perdagangan yang dilakukan oleh suatu daerah terhadap daerah lain (ekspor dan impor). Tingkat keterbukaan ini diperoleh dari penjumlahan besarnya ekspor dan impor dari PDRB menurut Penggunaan kemudian hasilnya dibagi dengan total PDRB itu sendiri. 8. Variabel TKit adalah tenaga kerja yang ada di provinsi i pada tahun t. Yang dimaksud tenaga kerja disini adalah jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, yaitu melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. 3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang mencakup kurun waktu Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari berbagai publikasi resmi pemerintah atau studi literature yang diperoleh dari instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) khususnya pada Dirjen Keuangan serta instansi terkait lainnya. Untuk mendukung ketersediaan data lainnya yang lebih lengkap, sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet. Data yang bersumber dari BPS adalah data tahunan untuk PDRB menurut provinsi tahun , yang terbagi atas menurut Lapangan Usaha dan Penggunaan. Karena pada PDRB menurut Penggunaan, dapat diketahui data

87 keterbukaan perdagangan yaitu ekspor, impor dan investasi total. Juga data tenaga kerja yang ada di provinsi, didekati dari data Susenas dan Sakernas. Data sekunder yang berasal dari BKPM adalah data investasi swasta yang didekati dari realisasi investasi kegiatan penanaman modal dalam negeri dan asing menurut provinsi. Sedangkan data sekunder yang dikompilasi dari Kemenkeu adalah data untuk keuangan daerah yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), investasi dan konsumsi pemerintah. 3.4 Software Analisis yang Digunakan Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan beberapa software untuk melakukan analisis data. Software tersebut adalah sebagai berikut: 1. Microsoft Excel 2007 Ms Excel merupakan perangkat lunak berbasis spreadsheet buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel, grafik dan beberapa pengolahan data. 2. EViews 6.0 EViews adalah program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh Quantitative Micro Software. Software ini digunakan untuk analisis data panel. 3. Stata ver. 10 Stata merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data statistik dan ekonometri dengan menggunakan command yang serupa dengan program DOS namun lebih mudah. Software ini digunakan untuk analisis data panel yang bersifat dinamis baik FD GMM maupun SYS GMM.

88 BAB IV. KAWASAN TIMUR INDONESIA 4.1 Kondisi Umum Penelitian Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Pengambilan keputusan ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi dan pengaruh ruang secara eksplisit agar keputusan yang diambil realistis dan tidak salah (Sjafrizal, 2008). Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri atas pulau, terletak antara ' Lintang Utara dan ' Lintang Selatan serta ' sampai dengan ' Bujur Timur. Oleh karena wilayah Indonesia dilalui garis khatulistiwa, maka keadaan iklimnya dipengaruhi oleh iklim tropis, hal ini menyebabkan keragaman sumber daya alam dan faktor produksi yang terkandung di dalamnya. Ketika Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia hanya memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Pada masa pergerakan kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia mengalami perubahan wilayah yang sangat pesat. Pada awal orde baru (tahun 1966), Indonesia telah memiliki 24 provinsi yang kemudian bertambah menjadi 26 hingga tahun Timor Timur menjadi provinsi yang ke-27 pada tahun Provinsi ini memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Pemekaran wilayah daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun Hingga Desember 2009 jumlah daerah otonom mencapai 524 yang terdiri atas 33 provinsi, 387 kabupaten dan 96 kota. Berkaitan dengan cakupan penelitian yang akan dilakukan, seperti telah disebutkan pada pendahuluan/latar belakang, dimulai pada tahun 2005 hingga 2009 maka wilayah provinsi yang menjadi penelitian adalah sejumlah provinsi yang ada di wilayah timur Indonesia (KTI) yaitu 12 provinsi. Termasuk provinsi baru setelah adanya pemekaran provinsi di beberapa daerah pada masa otonomi daerah yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara serta Papua Barat. Potensi wilayah KTI ditunjukkan dengan bentuk kepulauan dan luas

89 wilayah yang mencapai 39,29 persen dari keseluruhan luas Negara Indonesia yaitu tepatnya seluas ,63 km 2 dan terbagi ke dalam pulau-pulau. Wilayah KTI cukup luas karena mempunyai provinsi terluas yaitu Papua, mencapai ,32 km 2 dengan jumlah pulau terbanyak yaitu Kondisi tersebut sebelum adanya pemekaran wilayah yang membagi Papua menjadi provinsi Papua dan Papua Barat dengan pembagian luas ,27 km 2 dan pulau yang masing-masing memiliki otonomi daerah 26 kabupaten dan 1 kota untuk Papua dan 9 kabupaten/kota untuk Papua Barat. Beberapa hal yang terangkum pada provinsi KTI ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Ibu Kota Provinsi, luas area, persentasenya terhadap Indonesia serta jumlah pulau yang dimiliki di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2009 No Provinsi KTI Ibu Kota Provinsi Luas Area (km²) Persentase Thdp Luas Indonesia Jumlah Pulau 1 Sulawesi Utara Manado ,64 0, Sulawesi Tengah Palu ,29 3, Sulawesi Selatan Makasar ,48 2, Sulawesi Tenggara Kendari ,70 1, Gorontalo Gorontalo ,07 0, Sulawesi Barat Mamuju ,18 0, Nusa Tenggara Barat Mataram ,32 0, Nusa Tenggara Timur Kupang ,10 2, Maluku Ambon ,03 2, Maluku Utara Ternate ,50 1, Papua Barat Manokwari ,27 5, Papua Jayapura ,05 16, Indonesia Jakarta ,32 100, Sumber: BPS, Penduduk Masalah kependudukan merupakan bagian yang krusial dalam perekonomian karena tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan pembangunan. Penduduk mempunyai peran ganda dalam pembangunan yaitu sebagai obyek dan sebagai subyek. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan

90 pertambahan jumlah penduduk usia kerja, yang berarti pula terjadi peningkatan faktor produksi. Bertambahnya penduduk tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga muncul masalah kependudukan yang kompleks. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk dapat memberikan penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin (Mankiw, 2007). Tabel 6 Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk menurut provinsi di Wilayah KTI tahun 2009 No Provinsi KTI Jumlah Penduduk (000 jiwa) Persentase Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk 1 Sulawesi Utara 2, Sulawesi Tengah 2, Sulawesi Selatan 7, Sulawesi Tenggara 2, Gorontalo Sulawesi Barat 1, Nusa Tenggara Barat 4, Nusa Tenggara Timur 4, Maluku 1, Maluku Utara Papua Barat Papua 2, Indonesia 231, Sumber: BPS, 2009 Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah territorial selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Penduduk juga merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan antara KTI dan KBI. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 mencapai 231,36 juta jiwa dengan perbandingan penduduk di wilayah KTI hanya sebesar 13,39 persen yaitu 30,97 juta jiwa sisanya berkumpul di wilayah KBI (Tabel 6). Provinsi dengan penduduk terbanyak di KTI adalah provinsi Sulawesi Selatan yaitu 3,42 persen dari penduduk Indonesia atau sebanyak 7.908,5 ribu jiwa. Diikuti oleh provinsi Nusa Tenggara Timur dengan 4.619,7 ribu jiwa (2 persen terhadap total penduduk). Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk terkecil adalah Papua Barat hanya

91 sebesar 743,9 ribu jiwa. Distribusi penduduk Indonesia ternyata tidak merata di seluruh wilayah tanah air. Penduduk paling banyak berdomisili di wilayah barat sedangkan di wilayah timur sangat berbeda jauh. Hal ini bisa dilihat dari kepadatan penduduknya, dimana perbandingan antara jumlah penduduk terhadap luas wilayah penduduk tersebut berdomisili. Semakin besar maka semakin padat. Pada KTI, terlihat yang memiliki kepadatan penduduk terbesar Nusa Tenggara Barat dengan angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya yaitu 239 jiwa per km 2. Sementara itu Provinsi Sulawesi Selatan pada urutan kedua dengan kepadatan penduduk sebesar 169 jiwa per km 2 yang memang provinsi tersebut merupakan provinsi di KTI yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Kepadatan penduduk terkecil yang ada di KTI adalah Provinsi Papua, yang hanya mencapai 7 jiwa per km 2 dan Papua Barat dengan 8 jiwa per km 2. Angka-angka ini perlu mendapat perhatian yang serius karena menggambarkan ketimpangan yang terjadi di wilayah Indonesia. Penambahan jumlah penduduk tidak dapat dilepaskan dari angka pertumbuhannya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk pada tahun 2009 secara nasional mencapai 1,25 persen. KTI mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dibandingkan dengan KBI, diatas laju pertumbuhan penduduk nasional. Provinsi yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di wilayah KTI adalah Sulawesi Tenggara dengan 2,09 persen diikuti oleh Papua dan Papua Barat yang masing-masing 1,99 serta 1,90 persen. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah dimiliki oleh Sulawesi Utara yang hanya sebesar 0,95 persen. Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang ada di KTI menggambarkan ketimpangan dalam penyebaran penduduk sehingga menunjukkan daya dukung lingkungan yang kurang seimbang antara KTI dan KBI. Mengapa? Karena konsentrasi penduduk merupakan faktor produksi di wilayah-wilayah yang padat, dapat menyebabkan kegiatan perekonomian juga terkonsentrasi di wilayah yang menyediakan faktor produksi (tenaga kerja) yang besar, sehingga tidak mengherankan jika pusat industri besar yang bersifat padat karya berada di KBI sedangkan KTI hanya kaya akan faktor produksi (bahan

92 baku/mentah). Jumlah penduduk menentukan faktor produksi yang penting yaitu tenaga kerja. Penduduk dengan usia kerja yaitu yang berumur 15 tahun ke atas seharusnya memiliki pekerjaan atau dengan kata lain bekerja (melakukan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan atau keuntungan). Dengan banyaknya penduduk usia kerja yang bekerja dalam suatu wilayah dapat diartikan bahwa penduduk dapat meningkatkan kesejahteraannya karena memiliki pendapatan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Pada wilayah KTI, yang memiliki jumlah pengangguran tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Selatan dengan orang diikuti oleh Nusa Tenggara Barat yaitu orang (Tabel 7). Namun hal ini bukanlah jaminan karena jika dilihat persentase jumlah orang yang bekerja dengan angkatan kerja, Provinsi Sulawesi Selatan justru memiliki persentase yang kecil yaitu 56,92 persen yang menunjukkan dari penduduk dengan usia kerja hanya 56,92 yang bekerja sedangkan sisanya adalah mencari pekerjaan atau tidak bekerja. Sedangkan Nusa Tenggara Barat memiiki nilai persentase yang lebih tinggi yaitu 64,36 persen. Tabel 7 Angkatan Kerja, Jumlah Orang Bekerja dan Jumlah Pengangguran Di Wilayah KTI Tahun 2009 (Orang) No Provinsi KTI Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran 1 Sulut 1,694, , ,957 2 Sultengah 1,754,965 1,149,718 66,009 3 Sulsel 5,660,624 3,222, ,664 4 Sultenggara 1,418, ,876 47,319 5 Gorontalo 701, ,962 26,351 6 Sulbar 750, ,080 23,064 7 Ntb 3,056,611 1,967, ,258 8 Ntt 3,121,422 2,160,733 89,395 9 Maluku 910, ,015 63, Malut 658, ,834 28, Papua Barat 514, ,759 26, Papua 1,450,851 1,082,028 46,008 Indonesia 169,328, ,870,663 8,962,617 Sumber: BPS (diolah)

93 4.1.3 Kondisi Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (adhb) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Tabel 8 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan 2000 Menurut Provinsi di KTI Tahun (Milyar Rupiah) Provinsi Jenis Sulut adhb 18, , , , , adhk 12, , , , , Sultengah adhb 17, , , , , adhk 11, , , , , Sulsel adhb 51, , , , , adhk 36, , , , , Sultenggara adhb 12, , , , , adhk 8, , , , , Gorontalo adhb 3, , , , , adhk 2, , , , , Sulbar adhb 4, , , , , adhk 3, , , , , Ntb adhb 25, , , , , adhk 15, , , , , Ntt adhb 14, , , , , adhk 9, , , , , Maluku adhb 4, , , , , adhk 3, , , , , Malut adhb 2, , , , , adhk 2, , , , , Papua Barat adhb 7, , , , , adhk 5, , , , , Papua adhb 43, , , , , adhk 22, , , , , Indonesia adhb 2,669, ,118, ,536, ,204, ,567, adhk 1,690, ,777, ,878, ,983, ,076, Sumber: BPS (diolah) Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan (adhk) yang

94 menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. Pada tahun 2009, PDB Indonesia mencapai 2.076,35 trilyun rupiah secara keseluruhan jika dihitung menurut harga konstan tahun 2000, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,66 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. KTI sendiri tumbuh sangat pesat, terlihat pada PDRB Pulau Sulawesi yang mencapai 97,42 trilyun rupiah (tumbuh sebesar 6,91 persen). Sedangkan untuk PDRB Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 66,72 trilyun rupiah atau tumbuh hingga 11,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang secara umum meningkat secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB masing-masing provinsi pada KTI dari tahun 2005 hingga 2009 dengan segala kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhi terlihat pada Gambar 10. Secara umum pertumbuhan di keseluruhan provinsi di KTI memiliki pola yang hampir sama, kecuali Papua dengan pola pertumbuhan yang berfluktuasi. Gambar 10 Laju Pertumbuhan Provinsi di KTI Tahun Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per

95 kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Nilai output yang digunakan dalam penghitungan kesejahteraan penduduk adalah PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal). Tabel 8 menunjukkan bahwa perekonomian yang menghasilkan output terbesar di wilayah Indonesia timur pada tahun 2009 adalah Provinsi Sulawesi Selatan dengan ,66 milyar rupiah diikuti oleh Papua sebesar ,85 milyar rupiah. Sedangkan yang mengalami peningkatan perekonomian yang sangat signifikan adalah Provinsi Papua sebesar 21,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan pada tahun 2008 PDRB Papua mengalami kontraksi hingga minus 1,17 persen. Kenaikan output yang pesat juga dialami oleh Maluku Utara, yaitu tumbuh hingga 21, 56 persen. Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi di KTI adalah Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara yaitu masing-masing 31,77; 19,56; 14,38 juta rupiah. Provinsi Papua memiliki PDRB perkapita yang tinggi dikarenakan penghasil tambang berharga terbesar di Indonesia yaitu emas. Sedangkan Papua Barat disebabkan perekonomian yang tumbuh pesat namun memiliki penduduk yang masih sedikit. PDRB perkapita terendah dimiliki oleh Provinsi Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur dengan 4,81 dan 5,23 juta rupiah. Hal ini dikarenakan pada Maluku Utara masih merupakan provinsi baru dengan kondisi yang rentan secara politis namun masih dapat berkembang. Sedangkan Nusa Tenggara Timur memang daerah yang sangat tandus dan minim sumber daya alam yang bisa dikembangkan serta memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap daerah sekitarnya. PDRB dengan pendekatan produksi terbagi atas 9 sektor/lapangan usaha sehingga dapat diketahui sektor ekonomi mana yang berperan besar dalam suatu daerah. Dengan kata lain dapat digunakan untuk melihat struktur perekonomian dan pergeseran/transformasi struktural apabila secara series. Namun pada wilayah

96 timur Indonesia tidak terjadi pergeseran struktur perekonomian pada tahun 2005 hingga Pada tahun 2005 hingga 2009, perekonomian KTI didominasi oleh sektor primer yaitu pertanian dan pertambangan serta penggalian. Wilayah KTI sesungguhnya memang memiliki potensi yang berbasis sumber daya alam seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, wisata bahari dan pertambangan serta penggalian. Kontribusi dari tiap sektor tidak banyak berubah, hanya terjadi peningkatan kontribusi yang cukup besar pada sektor jasa-jasa dua tahun terakhir seperti terlihat pada Gambar 11. Gambar 11 Kontribusi Sektor Terhadap PDRB KTI Tahun Pada tahun 2009, daerah/provinsi di KTI masih memiliki basis perekonomian di sektor primer yaitu pertanian dan pertambangan. Hanya 2 provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Papua yang memiliki sektor pertambangan terbesar yaitu 31,10 dan 62,76 persen terhadap PDRB daerah mereka masing-masing yaitu pertambangan gas bumi dan emas. Sedangkan daerah/provinsi lainnya memiliki peranan terbesar pada pertanian, rata-rata 33,48 persen. Walaupun memiliki basis perekonomian yang hampir sama, namun pada dasarnya tiap provinsi mempunyai pola distribusi sektor yang berbeda-beda. Hal

97 ini berarti sebagian besar provinsi mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini lebih banyak disebabkaan karena perbedaan faktor endowment. Provinsi yang memiliki kontribusi sektor industri pengolahan terbesar adalah Papua Barat, Maluku Utara dan Sulawesi Selatan yang masing-masing sebesar 24,39; 13,01; dan 12,53 persen terhadap total PDRB. Papua Barat dengan industri pengolahan hasil laut yaitu udang, kepiting, rajungan, cumi-cumi, sotong yang dipasarkan dalam bentuk segar atau dikeringkan melalui proses penggaraman, pengasapan, pembekuan, pengalengan dan proses lainnya. Begitupun dengan Maluku Utara. Sedangkan pada Sulawesi Selatan memiliki industri pengolahan yang cukup tinggi yaitu dari pengolahan padi dan kakao. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kontribusi Sektor Menurut Provinsi Tahun 2009 (Persen) Provinsi Lapangan Usaha Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua PDRB KTI Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas & Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel & Restoran, (7) Pengangkutan & Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, (9) Jasa-Jasa Sumber: PDRB 2009, BPS (diolah) 4.2 Keuangan Daerah KTI Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam bernegara, penyelenggaraan pemerintahan juga mengalami perubahan. Sistem pemerintahan yang semula lebih condong pada sentralistik menjadi desentralisasi. Selaras dengan perubahan tersebut, maka tata aturan juga mengalami perubahan yang lebih mengarah pada penyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian kewenangan

98 yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti yang tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 25 Tahun Pemberian kewenangan diberikan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran keuangan daerah Sisi Penerimaan Daerah Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Penerimaan daerah di KTI selama periode mengalami peningkatan, terutama ketika periode tahun 2005 ke 2006 terjadi peningkatan hampir dua kali lipat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yaitu adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan daerah sejalan dengan meningkatnya besaran APBD yang diterima pemerintah daerah. Meningkatnya penerimaan daerah ini diharapkan juga mampu untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah merupakan modal utama dalam pembangunan. Penerimaan daerah terdiri atas beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan pendapatan dihasilkan dari daerah sendiri, Dana Perimbangan yang merupakan dana dari pemerintah pusat untuk pemerintah daerah, dan Penerimaan Lain yang Sah. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan yang dapat dipisahkan dari perusahaan milik daerah serta pendapatan daerah lainnya yang sah. Sedangkan pos dana perimbangan dari pemerintah pusat diantaranya dari bagi hasil pajak dan bukan pajak sumber daya alam, dana alokasi umum serta khusus. Dan penerimaan lain yang sah adalah dari penerimaan pemerintah pusat selain dana perimbangan, dari provinsi, kabupaten/kota lainnya, dana yang bersifat untuk kebutuhan darurat, dan lain-lain (subsidi, hibah, bunga).

99 Tabel 10 Penerimaan Daerah di KTI Tahun (Jutaan Rupiah) No Provinsi KTI Tahun Sulaw esi Utara 1,779, ,350, ,584, ,408, ,412, Sulaw esi Tengah 1,313, ,197, ,051, ,885, ,079, Sulaw esi Selatan 6,292, ,902, ,814, ,528, ,269, Sulaw esi Tenggara 1,322, ,230, ,580, ,472, ,409, Gorontalo 945, ,786, ,136, ,581, ,743, Sulaw esi Barat 690, ,488, ,325, ,343, ,624, Nusa Tenggara Barat 2,900, ,173, ,039, ,714, ,213, Nusa Tenggara Timur 3,438, ,859, ,003, ,815, ,595, Maluku 1,957, ,001, ,143, ,395, ,671, Maluku Utara 1,162, ,631, ,448, ,858, ,183, Papua Barat 2,109, ,586, ,518, ,191, ,445, Papua 5,670, ,724, ,506, ,512, ,101, Total 29,583, ,933, ,155, ,706, ,749, Sumber : Kemenkeu (diolah) Perkembangan komponen penerimaan daerah di KTI secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 10 diatas. Terlihat pertumbuhan yang cukup pesat pada total penerimaan daerah di KTI periode 2005 ke 2006, hampir dua kali lipat (100 persen) kemudian hingga tahun 2009 menurun hanya 8,52 persen atau sebesar ,8 milyar rupiah. Sedangkan yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada periode tersebut adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua masing-masing sebesar 219,4; 144,3; dan 142 persen. Pertumbuhan penerimaan daerah yang selama periode cukup tinggi dialami oleh Papua Barat dan Sulawesi utara yaitu ratarata 46,37 dan 40,42 persen tiap tahunnya. Pertumbuhan penerimaan daerah dari ketiga provinsi tersebut pada tahun 2006 disebabkan karena adanya peningkatan dari beberapa pos/sumber, diantaranya dari PAD khususnya pos retribusi daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Sedangkan dari dana perimbangan, yang terlihat cukup mencolok kenaikannya adalah dari pos dana alokasi umum dan khusus walaupun dari pos bagi hasil pajak juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi.

100 Tabel 11 Penerimaan Daerah KTI Menurut Sumbernya Tahun (Jutaan Rupiah) Keterangan BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH 2,865, ,908, ,977, ,381, ,842, Pos Pajak Daerah 1,720, ,080, ,623, ,420, ,525, Pos Retribusi Daerah 535, , , ,021, ,272, Pos Laba Perusahaan Milik Daerah 189, , , , , Pos Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah 419, , ,197, ,563, ,597, DANA PERIMBANGAN 22,730, ,068, ,916, ,706, ,227, Pos Bagi Hasil Pajak 2,777, ,743, ,465, ,342, , Pos Bagi Hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam 761, ,034, ,789, ,038, ,463, Pos Dana Alokasi Umum 17,833, ,149, ,370, ,386, ,447, Pos Dana Alokasi Khusus 1,358, ,141, ,290, ,939, ,118, BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH 3,987, ,956, ,706, ,357, ,680, Penerimaan Dari Pemerintah 2,842, , ,944, ,268, ,984, Penerimaan Dari Propinsi 713, ,232, , ,496, ,907, Penerimaan Dari Kabupaten/Kota Lainnya 140, , Dana Darurat 53, , , , Lain-Lain 238, , ,074, , ,639, Sumber: Kemenkeu (diolah) Pada Tabel 11 terlihat sumber-sumber penerimaan daerah untuk seluruh provinsi di daerah timur (KTI). Sejak tahun 2005 hingga 2009, kontribusi pendapatan asli daerah cukup kecil dalam penerimaan daerah di KTI yaitu ratarata sebesar 7,71 persen, lebih kecil dibandingkan penerimaan daerah lainnya yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa KTI belum optimal dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu: a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada.

101 Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa peranan pemerintah pusat masih cukup tinggi di KTI, yaitu pada kontribusi dana perimbangan yang sebesar ratarata 78,27 persen. Khususnya dari pos Dana Alokasi Umum (DAU), hal ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya anggaran daerah KTI dalam membiayai penyelenggaraan pemerintah melalui PAD. Sehingga menunjukkan bahwa kinerja fiskal penerimaan daerah di KTI melalui PAD belum memberikan hasil yang baik atau dengan kata lain bahwa pembiayaan pembangunan di KTI masih bergantung pada pusat. 10,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua 1,800, ,600, ,400, ,200, ,000, , , , , Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Gambar 12 Pos DAU dan DAK Menurut Provinsi di KTI Tahun Apabila dilihat menurut provinsi di KTI, komponen penerimaan daerah pos DAU dan DAK mengalami peningkatan yang sangat signifikan seperti terlihat pada Gambar 12. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya, sehingga pemerintah pusat memberikan transfer dalam bentuk dana perimbangan kepada daerah. Pemberian dana perimbangan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan, baik kesenjangan vertikal maupun

102 kesenjangan horisontal antardaerah. Provinsi di KTI yang menerima transfer dari pemerintah pusat khususnya pos DAU dan DAK terbesar adalah Papua dan Sulawesi Selatan. Pada awalnya, Sulawesi Selatan yang memiliki pos dana transfer dari pemerintah pusat yang terbesar namun hal ini berubah ketika Pemerintah Daerah Papua mendapatkan Otonomi Khusus sehingga nilai DAK yang diberikan pusat menjadi semakin besar. Besarnya penerimaan total KTI tidak terlepas dari bagaimana kondisi penerimaan daerah masing-masing provinsi. Adanya potensi yang dimiliki akan berakibat pada besarnya jumlah penerimaan yang diterima masing-masing. Sejak tahun 2005 hingga 2009, dari kedua belas provinsi di KTI, yang memberikan kontribusi penerimaan daerah terbesar adalah Papua dan Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan Papua dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang lebih maju atau mempunyai kegiatan perekonomian dan fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lain di KTI. Papua dengan pertambangan emasnya dan Sulawesi Selatan dengan industri pengolahan sektor perikanan atau pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Jika dilihat dari nilai PDRB, kontribusi PDRB Papua dan Sulawesi Selatan terhadap total PDRB KTI cukup besar yaitu masing-masing 18,30 dan 27,42 persen. Hal ini bisa menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kegiatan perekonomian yang tercermin dari besarnya PDRB dengan penerimaan daerah. Sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah, maka penerimaan daerah juga akan meningkat. Jika dilihat dari salah satu komponen penerimaan daerah yaitu PAD, Sulawesi Selatan memberikan PAD lebih besar dibandingkan Papua pada pajak, retribusi daerah dan laba perusahaan milik daerah (Gambar 13). Karena pajak dan retribusi daerah kebanyakan berasal dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor jasa. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang lebih maju jika dibandingkan Papua dengan kegiatan perekonomian yang hampir menyeluruh yaitu pada sektor pertanian; industri pengolahan; perdagangan, hotel dan restoran; dan jasa-jasa. Sedangkan Papua hanya terpusat pada pertambangan dan penggalian.

103 SulSel Papua SulSel Papua SulSel Papua SulSel Papua SulSel Papua 100% 80% 60% 40% 20% 0% pajak daerah laba perusahaan daerah retribusi daerah pad lain yang sah Gambar 13. Kontribusi PAD Provinsi Dengan Penerimaan Daerah Terbesar Yaitu Sulawesi Selatan dan Papua Tahun Sisi Pengeluaran Daerah Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan pembangunan daerah. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masingmasing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Alokasi belanja yang disusun sesuai dengan pola kebijakan, prioritas dan program pembangunan suatu daerah untuk setiap tahunnya (Priyarsono et al, 2008). Secara umum terjadi peningkatan yang signifikan tiap tahunnya pada total belanja, dengan peningkatan yang cukup besar terjadi pada pertumbuhan di tahun Tumbuh sebesar 81,90 persen atau hingga mencapai sebesar ,05 milyar rupiah. Pertumbuhan ini kemudian melambat hingga sebesar 13,86 persen pada tahun 2009 atau sebesar ,79 milyar rupiah. Total belanja terbesar di KTI adalah provinsi dengan penerimaan daerah terbesar karena dapat membiayai pengeluaran tersebut walaupun sumber penerimaan terbesarnya adalah transfer dari pusat. Provinsi dengan alokasi belanja terbanyak adalah Papua, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing mencapai ,94; ,83 dan 9.082,94 milyar rupiah pada tahun 2009.

104 Tabel 12 Total Belanja KTI Tahun (Jutaan Rupiah) Keterangan Belanja Pegawai 12,107, ,737, ,141, ,472, ,418, Belanja Barang dan Jasa 3,787, ,397, ,073, ,693, ,714, Belanja Lain-lain 2,549, ,985, ,078, ,221, ,263, Belanja Modal 5,450, ,211, ,819, ,415, ,573, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan 3,972, ,610, ,116, ,990, ,237, Belanja Tidak Tersangka 403, , , , , Total Belanja 28,270, ,425, ,645, ,181, ,708, Sumber : Kemenkeu (diolah) Dari total belanja, pengeluaran terbanyak adalah untuk kesejahteraan pegawai yaitu belanja pegawai yang setiap tahunnya rata-rata tumbuh sebesar 32,91 persen, mencapai ,62 milyar rupiah pada tahun Sedangkan belanja barang dan jasa mengalami pertumbuhan yang cukup pesat pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 95,29 dan 76,73 persen yang kemudian melambat hanya tumbuh 12,88 persen tahun Belanja tumbuh secara signifikan pada tahun 2006 yaitu sebesar 160,73 persen atau mencapai ,54 milyar rupiah yang kemudian melambat hanya tumbuh sebesar 8,49 persen atau menjadi ,24 milyar rupiah. Besarnya total belanja KTI tentu tidak terlepas bagaimana kondisi belanja daerah masing-masing provinsi. Adanya perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan masing-masing daerah mengakibatkan prioritas pembangunan masing-masing daerah juga berbeda. Hal ini mengakibatkan perbedaan alokasi belanja untuk masing-masing provinsi di KTI. Daerah yang kondisi geografisnya rentan terhadap potensi bencana alam, maka alokasi belanja untuk menangani bencana akan lebih besar dibandingkan daerah lainnya. Namun terlihat pada KTI, kontribusi alokasi belanja sama pada tiap tahunnya sejak 2005 hingga 2009, seperti terlihat pada Gambar 14.

105 Gambar 14 Alokasi Belanja Pada Total Belanja KTI Tahun 2009 (Persen). Provinsi yang memiliki penerimaan daerah terbesar adalah juga yang memiliki pengeluaran atau total belanja daerah terbanyak yaitu Papua dan Sulawesi Selatan masing-masing mencapai ,83 dan ,92 milyar rupiah pada tahun Setiap tahunnya masing-masing berkontribusi rata-rata 21,66 dan 17,70 persen terhadap total belanja KTI. Hal ini disebabkan kedua provinsi tersebut merupakan provinsi yang sudah cukup maju dan stabil, dengan kepadatan penduduk, kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain di wilayah timur, tentunya jumlah pegawai, biaya pemeliharaan barang dan jasa serta biaya pelayanan masyarakat juga akan lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang mempunyai kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan daerah lain, maka besarnya belanja daerah juga akan lebih besar dibanding daerah lain. Ini sesuai dengan hukum Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1997). Selain itu juga sesuai dengan hukum Wagner yang menerangkan mengapa peranan pemerintah yang dimanivestasikan lewat belanja daerah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Suatu daerah yang kegiatan perekonomiannya lebih maju dari daerah lain, tentunya mempunyai potensi sumber daya yang lebih banyak baik itu sumber daya alam maupun manusia. Dengan adanya kelebihan

106 sumber daya tersebut, tentunya biaya yang digunakan baik untuk membayar, memelihara dan perawat fasilitas yang ada akan lebih besar. Tabel 13 Total Belanja Provinsi KTI Tahun (Jutaan Rupiah) KTI Sulawesi Utara 1,665, ,255, ,445, ,211, ,585, Sulawesi Tengah 1,280, ,830, ,924, ,662, ,348, Sulawesi Selatan 6,043, ,999, ,281, ,992, ,509, Sulawesi Tenggara 1,316, ,908, ,476, ,410, ,966, Gorontalo 904, ,563, ,050, ,539, ,818, Sulawesi Barat 624, ,404, ,286, ,400, ,714, Nusa Tenggara Barat 2,752, ,949, ,880, ,680, ,573, Nusa Tenggara Timur 3,303, ,259, ,637, ,065, ,082, Maluku 1,874, ,744, ,087, ,442, ,159, Maluku Utara 1,081, ,464, ,191, ,914, ,478, Papua Barat 1,896, ,780, ,176, ,381, ,553, Papua 5,527, ,266, ,207, ,480, ,918, Total 28,270, ,425, ,645, ,181, ,708, Sumber : Kemenkeu (diolah) Pertumbuhan belanja daerah tiap provinsi di KTI sejak tahun 2005 hingga 2009 mempunyai pola melambat. Namun pada tahun 2009 terdapat provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat menjadi 26,35; 28,76 dan 13,06 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ketiga provinsi tersebut mengalami peningkatan total belanja hingga mencapai 6.585,30; 6.966,20; 2.714,02 milyar rupiah pada tahun Peningkatan total belanja ini dialokasikan untuk pengeluaran pegawai sebesar 49,06; 45,36; 42,15 persen dan untuk belanja barang dan jasa sebesar 14,33; 17,85; 21,43 persen terhadap masing-masing total belanja daerah. Sedangkan untuk investasi atau pengeluaran yang bersifat modal berkontribusi rata-rata 28,95 persen hampir sama dengan tahun lalu. Provinsi yang mengalami peningkatan kontribusi secara signifikan dibandingkan tahun sebelumnya adalah Sulawesi Barat, hal ini dikarenakan provinsi tersebut sedang menggalakkan pembangunan di segala bidang sebagai provinsi baru. Selain itu, ternyata pada tahun 2009, ketiga provinsi tersebut juga meningkatkan pengeluaran untuk bagi hasil dan bantuan.

107 Halaman ini sengaja dikosongkan

108 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kemandirian Fiskal Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Perubahan peraturan tersebut dengan harapan dapat lebih mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antara pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembahasan pengelolaan keuangan daerah hanya dibatasi pada kinerja keuangan baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Kinerja keuangan daerah diukur dari rasio keuangan daerah yang digunakan untuk menilai kemandirian fiskal yang dimiliki daerah tersebut, apakah mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi dengan pemerintah pusat. Rasio Kemandirian Fiskal ini menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain: Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Halim, 2007). Seperti yang terdapat pada Tabel 10 yaitu terjadi peningkatan penerimaan daerah tiap tahunnya, peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan pendapatan asli daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayah sendiri dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimiliki. Terjadi pertumbuhan pendapatan asli daerah yang sangat berfluktuatif pada periode tahun 2005 hingga Peningkatan pertumbuhan pada tahun 2006 hingga diatas 20 persen yang selanjutnya terus menurun pada tahun Penurunan pertumbuhan pendapatan asli daerah pada tahun 2009 terjadi di seluruh provinsi di KTI. Nilai

109 pertumbuhan PAD yang terkecil pada tahun 2009 terjadi pada Provinsi Papua Barat dan Papua masing-masing sebesar minus 25,80 dan 16,05 persen. Sedangkan provinsi yang memiliki pertumbuhan terbesar setiap tahunnya adalah Sulawesi Tenggara yaitu mencapai 75,55 persen pada tahun 2008 dan 59,10 persen pada tahun Tabel 14 Pendapatan Asli Daerah KTI Tahun (Juta Rupiah) Provinsi Sulawesi Utara 246, , , , , Sulawesi Tengah 177, , , , , Sulawesi Selatan 1,034, ,294, ,602, ,927, ,111, Sulawesi Tenggara 145, , , , , Gorontalo 90, , , , , Sulawesi Barat 46, , , , , Nusa Tenggara Barat 330, , , , , Nusa Tenggara Timur 287, , , , , Maluku 118, , , , , Maluku Utara 60, , , , , Papua Barat 53, , , , , Papua 273, , , , , KTI 2,865, ,908, ,977, ,381, ,842, Sumber : Kemenkeu (diolah) Pada Tabel 14 terlihat peningkatan PAD yang cukup signifikan pada periode tahun 2005 hingga Namun dengan peningkatan ini apakah benar daerah tersebut telah menggali potensi yang dimilikinya sehingga dapat membangun daerahnya sendiri tanpa tergantung dengan pemerintah pusat? Hal ini dapat terlihat pada rasio kemandirian yang besarannya dapat menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap sumber dana dari luar daerah (ekstern). Semakin tinggi besaran rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak luar daerah dalam hal ini pemerintah pusat semakin rendah dan begitupun sebaliknya. Rasio kemandirian provinsi di KTI pada tahun dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel tersebut menunjukkan bahwa provinsi di wilayah timur Indonesia masih memiliki kemampuan keuangan yang rendah sekali dengan

110 tingkat kemandirian 0%-25%. Sehingga provinsi di KTI memiliki pola hubungan instruktif dengan pemerintah pusat, yang mengandung arti bahwa provinsi di KTI masih melakukan kegiatan pemerintahannya sesuai dengan perintah pemerintah pusat. Tabel 15 Rasio Kemandirian Fiskal Provinsi KTI Tahun (%) KTI Rasio Kemandirian Fiskal Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Sumber : Kemenkeu (diolah) Provinsi yang memiliki rasio kemandirian yang stabil dan terbesar pada setiap tahunnya adalah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki rasio kemandirian yang mencapai 19,47 persen pada tahun 2007 dan 17,37 persen pada tahun Sedangkan Nusa Tenggara Barat mencapai 12,84 persen pada tahun 2005 dan 13,01 persen pada tahun Hal ini sesuai dengan pendapatan asli yang dimiliki oleh kedua provinsi tersebut adalah yang terbesar. Dengan rasio kemandirian ini juga dapat menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kedua provinsi tersebut cukup tinggi sehingga dapat ikut berperan dalam membayar pajak dan retribusi daerah. Kenaikan pada rasio kemandirian di kedua provinsi tahun 2009 juga dapat disimpulkan bahwa share PAD yang meningkat dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Sedangkan provinsi yang memiliki tingkat ketergantungan sangat besar pada pemerintah pusat adalah provinsi dengan rasio kemandirian

111 terkecil yaitu Papua Barat dan Papua masing-masing sebesar 2,23 dan 3,63 persen pada tahun Terlihat bahwa kemandirian daerah di KTI justru semakin menurun pada periode tahun 2005 hingga Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran (share) PAD terhadap penerimaan daerah. Beberapa provinsi yang masih memiliki perkembangan PAD yang positif atau semakin besar kemandirian daerahnya adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Maluku Utara. Tabel 16 Derajat Desentralisasi Fiskal KTI Tahun (%) KTI DDF Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Sumber : Kemenkeu (diolah) Selain rasio kemandirian, kinerja keuangan daerah dapat dihitung menggunakan derajat desentralisasi fiskal atau perbandingan antara PAD dengan total penerimaan daerah. Besarannya hampir sama dengan rasio kemandirian hanya saja pembandingnya adalah seluruh penerimaan daerah termasuk PAD daerah tersebut. Dari derajat tersebut, terlihat bahwa yang memiliki rasio terbesar adalah sama dengan provinsi yang memiliki rasio kemandirian terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat masing-masing sebesar 14,80 dan

112 11,52 persen. Namun hal ini masih menunjukkan kemampuan keuangan daerah yang sangat rendah karena berkisar antara 0 hingga 25 persen. Hal ini disebabkan pada struktur perekonomian daerah di KTI yang masih didominasi oleh sektor pertanian. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang termasuk PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah serta penerimaan lain yang sah. Jenis pajak yang masuk kategori ini adalah jenis pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, pajak parkir yang tentunya tidak semua daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan pajak tersebut. Jenis-jenis retribusi antara lain retribusi jalan umum, retribusi jasa serta usaha perijinan tertentu. Melihat sumber-sumber penerimaan yang bersumber dari PAD, wajar jika suatu daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa akan lebih besar jika dibanding daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh bidang pertanian. Sebab, pada dasarnya pajak-pajak yang menjadi sumber PAD berasal dari sektor tersebut. Terlihat perbedaan dengan KBI yang memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah di KTI. Hal ini disebabkan antara lain struktur perekonomian daerah di KBI lebih didominasi oleh sektor penghasil pajak dan retribusi serta sumber daya manusia yang sangat mendukung. Menurut Halim (2007) ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kenaikan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu : a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita. c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Akan tetapi dibalik tingginya keinginan untuk menaikkan rasio kemandirian lewat PAD harus diperhatikan kelangsungan jangka panjangnya. Artinya pada saat sekarang PAD bisa saja meningkat, karena pendapatan dari pajak yang naik

113 akibat kenaikan tarif pajak, akan tetapi hal tersebut menjadi beban pengusaha sehingga mengganggu kegiatan usahanya. Oleh karena itu pembuatan kebijakan dalam rangka meningkatkan PAD harus memperhatikan banyak pihak dan banyak kepentingan. Salah satunya adalah dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi daerahnya masing-masing. Daerah di KTI memiliki PAD yang kecil dibandingkan dengan daerah di KBi karena masih memiliki struktur perekonomian di sektor pertanian atau bukan penghasil pajak. Oleh karena itu masing-masing daerah harus mencari potensi yang paling menonjol atau produk unggulan masing-masing daerah, kemudian di kembangkan dan di beri bantuan dalam hal pengolahan maupun pemasaran. Pada akhirnya tidak hanya sebagai penghasil bahannya saja, tetapi juga mampu mengolah, sehingga jika kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, maka pendapatan asli daerah akan dapat meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan perekonomian suatu daerah. 5.2 Investasi Daerah Investasi terbagi dua menurut sumbernya, yaitu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta (private investment) dan sektor publik dalam hal ini adalah pemerintah (public investment). Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerahnya, bersumber dari anggaran yang dimiliki pemerintah daerah atau dengan kata lain penerimaan daerah. Dalam hal ini, investasi pemerintah terbagi atas enam bagian yaitu tanah; peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringan; asset tetap lainnya; serta investasi lainnya. Anggaran pemerintah daerah terdiri atas pengeluaran rutin yang berguna untuk membiayai segala sesuatu yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan dan pengeluaran investasi yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerah serta pengeluaran tidak terduga yang digunakan untuk membiayai segala sesuatu yang muncul di luar dari rencana yang sudah dianggarkan. Dengan besarnya anggaran suatu pemerintah daerah maka daerah tersebut akan memiliki kemampuan yang besar dalam berinvestasi untuk membangun daerahnya sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah lainnya. Namun terlihat anggaran daerah di KTI masih terfokus untuk membiayai

114 pengeluaran rutin, bukan untuk membangun daerahnya dengan meningkatkan pengeluaran investasinya seperti terlihat pada gambar dibawah ini. Gambar 15 Distribusi Anggaran Provinsi di KTI Tahun Terlihat pada tabel 17, yang mempunyai investasi pemerintah terbesar adalah provinsi dengan anggaran yang besar yaitu Papua, Sulawesi Selatan dan Papua Barat masing-masing mencapai 6.022,1; 4.188,8; dan 3.206,4 milyar rupiah pada tahun Oleh sebab itu, untuk melihat pemerintah daerah yang sedang giat dalam membangun daerahnya adalah pada pertumbuhan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut. Provinsi yang memiliki pertumbuhan investasi pemerintah yang pesat pada tahun 2005 hingga 2009 adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat masing-masing tumbuh rata-rata sebesar 45,26; 35,85; 30,23 persen. Ketiga provinsi ini sedang membangun dalam rangka mengembangkan daerahnya dengan potensi yang dimiliki setiap daerah tersebut. Khusus untuk Provinsi Papua Barat memang sedang giat membangun dalam rangka mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya sebagai provinsi terbaru yang terbentuk pada tahun 2005.

115 Tabel 17 Investasi Pemerintah Daerah KTI Tahun (Juta Rupiah) KTI Investasi Pemerintah Sulawesi Utara 237, , ,089, ,290, ,883, Sulawesi Tengah 192, ,066, ,712, ,736, ,874, Sulawesi Selatan 1,195, ,368, ,231, ,910, ,188, Sulawesi Tenggara 241, , ,472, ,664, ,993, Gorontalo 228, , , , , Sulawesi Barat 161, , , , , Nusa Tenggara Barat 383, , ,190, ,180, ,310, Nusa Tenggara Timur 587, ,247, ,916, ,123, ,224, Maluku 469, , , ,368, ,477, Maluku Utara 226, , ,187, ,506, ,779, Papua Barat 536, ,523, ,126, ,225, ,206, Papua 992, ,141, ,497, ,843, ,022, Sumber : Kemenkeu (diolah) Pada tahun 2009, yang masih melakukan investasi tanah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Papua Barat, dapat dimaklumi karena kedua provinsi terakhir masih merupakan provinsi baru yang memerlukan tanah atau bangunan serta gedung dalam membangun daerah tersebut, masing-masing mencapai 428,96; 50,67; 173,32 milyar rupiah. Sedangkan provinsi yang melakukan investasi pada peralatan dan mesin yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara masing-masing berkontribusi sebesar 22,01; 19,32; 19,27 persen terhadap total investasi pemerintah di setiap pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang sedang giat melakukan investasi pada gedung dan bangunan adalah Maluku, Maluku Utara dan Papua yaitu mencapai 666,6; 669,4; 2.265,7 milyar rupiah. Investasi jalan, irigasi dan jaringan yang merupakan investasi fisik dasar yang dibutuhkan dalam pembangunan daerah lebih banyak dilakukan oleh Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara masing-masing mencapai 51,08; 49,19 dan 45,70 persen terhadap total investasi di setiap daerah.

116 Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku NTT NTB Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Belanja Tanah Belanja Peralatan dan Mesin Belanja Gedung dan Bangunan Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Aset Tetap Lainnya Belanja Aset Lainnya Gambar 16 Investasi Pemerintah Menurut Jenisnya di KTI Tahun 2009 (Persen). 5.3 Hasil Estimasi Alokasi anggaran pengeluaran pemerintah dibedakan atas empat macam yaitu pengeluaran untuk pegawai, barang dan jasa, penanaman modal/investasi dan lainnya. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat melalui pengeluaran untuk modal. Untuk melihat peranan investasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perekonomian di daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada periode tahun 2005 hingga 2009, dilakukan dengan menggunakan metode analisis panel dan software Stata 10. Metode analisis panel yang digunakan untuk mengestimasi pada persamaan yang ada pada bab 3 adalah panel statis, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), dan panel dinamis yaitu dengan metode First-difference Generalized Method of Moments (FD- GMM). Hal ini berkenaan untuk melihat continuum dari parameter model. Hasil estimasi untuk masing-masing persamaan kemudian dirangkum dalam bentuk tabel yang dirinci menurut metode yang digunakan dan untuk setiap metode ditampilkan beberapa statistik uji yang diperlukan dalam rangka memperoleh penduga terbaik.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

Teori Pengeluaran Pemerintah. Sayifullah, SE., M.Akt. Materi Presentasi. Teori Makro Rostow dan Musgrave Wagner Peacock dan Wiseman Teori Mikro

Teori Pengeluaran Pemerintah. Sayifullah, SE., M.Akt. Materi Presentasi. Teori Makro Rostow dan Musgrave Wagner Peacock dan Wiseman Teori Mikro Teori Pengeluaran Pemerintah Sayifullah, SE., M.Akt Materi Presentasi Teori Makro Rostow dan Musgrave Wagner Peacock dan Wiseman Teori Mikro 1 Rostow dan Musgrave : Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari ekonomi. Semakin tinggi ekonomi semakin baik pula perekonomian negara tersebut. Laju ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi pada hakekatnya adalah langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan mencerminkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berubah menjadi lebih baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TERHADAP INVESTASI SWASTA DI INDONESIA

PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TERHADAP INVESTASI SWASTA DI INDONESIA PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TERHADAP INVESTASI SWASTA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Oleh: Philbertus Porat 2012110009

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perekonomian tiga sektor, campur tangan pemerintah tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dana Perimbangan 2.1.1. Pengertian Dana Perimbangan Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN

(PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN KONTRIBUSI INVESTASI SWASTA TERHADAP PEMBENTUKAN MODAL TETAP BRUTO (PMTB) DAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ACEH TAHUN 2010 2014 Pendahuluan Dalam perhitungan PDRB terdapat 3 pendekatan, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah:

Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah: III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Analisis 3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perencanaan Wilayah Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah berhak untuk membangun wilayahnya sendiri. Pembangunan yang baik tentunya adalah pembangunan yang terencana.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Vol.1, No.5 April 2012 ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.5 April 2012 ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI Oleh : Nurhayani.,SE.MSi Dosen Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan ekonomi daerah disusun dalam rangka memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Utang Luar Negeri 1. Pengertian Utang luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

TEORI PENGELUARAN NEGARA. Dwi Mirani, S.IP

TEORI PENGELUARAN NEGARA. Dwi Mirani, S.IP TEORI PENGELUARAN NEGARA Dwi Mirani, S.IP 1 TEORI PENGELUARAN NEGARA Musgrave dan Rostow Perkembangan pengeluaran negara sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara Pada tahap awal perkembangan

Lebih terperinci

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa BAB II KAJIAN PUSTAKA Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang cukup berpotensi untuk menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Merdekawati dan Budiantara (2013) mengemukakan bahwa kemiskinan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Merdekawati dan Budiantara (2013) mengemukakan bahwa kemiskinan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Kemiskinan Merdekawati dan Budiantara (2013) mengemukakan bahwa kemiskinan dalam arti luas adalah keterbatasan yang disandang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci