BAB II KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA. tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA. tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau"

Transkripsi

1 BAB II KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Arti Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup sudah tua umurnya. Hal ini karena manusia dalam masyarakat, seprimitif apapun individu tersebut, pada hakikatnya memiliki rasa keadilan, dimana rasa keadilan tersebut, akan tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau membebaskan orang yang bersalah, ataupun memenangkan orang yang tidak berhak dalam suatu persengketaan. Agar tidak sampai diputuskan secara keliru, dalam suatu proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian yang sesuai dengan peraturan. Sehubungan dengan itu, sesuai dnegan perkembangan sejarah hukum, maka berkembang pulalah hukum dan kaidah di bidang hukum pembuktian dari sistem pembuktian yang irrasional atau sederhana ke arah sistem yang lebih rasional atau komplit/rumit. 82 Bagian dari persoalan hukum adalah masalah pembuktian di sidang pengadilan. Pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian alat-alat bukti di persdidangan. 83 Pembuktian merupakan 82 Munir Fuady., Op. cit, hal Ibid, hal. 1, beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa, peranan pembuktian suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak riwayat cerita, cerita, ataupun sejarah hukum yang menunjukkan kepada kita betapa karena salah menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong, maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan, bisa diputuskan bebas oleh pengadilan. Kisah-kisah peradilan sesat seperti itu, selalu saja terjadi dan akan terus terjadi karena

2 masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Sebelum membahas pembuktian lebih lanjut, maka peneliti memberikan batasan hukum pembuktian menurut Munir Fuady yaitu: 84 Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya faktaatau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu. Berdasarkan defenisi pembuktian di atas, maka dapat dikatakan bahwa melalui pembuktian sangat menentukan nasib terdakwa. Karena apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alatalat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan bersalah, maka kepadanya akan dijatuhkan hukuman/padana. Untuk menciptakan hukum yang adil bagi pencari keadilan, maka hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian tersebut dan hakim harus mampu meneliti sampai di mana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs kracht) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP Pembuktian pada umumnya keterbatasan hakim, jaksa, advokat, hukum, utamanya hukum acara dan hukum pembuktian. Dengan demikian, untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, baik dalam kasus pidana maupun dalam kasus perdata. 84 Ibid, 85 M. Yahya Harahap, Loc. cit, hal. 273.

3 Dengan melihat pengertian dan uraian di atas maka, pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Dengan kata lain bahwa di dalam pembuktian terdapat ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara atau tata cara yang dibenarkan oleh undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan berdasarkan undang-undang dan keyakinan hakim itu sendiri. Karenanya maka, persidangan di pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Jika ditinjau dari segi hukum acara pidana, maka arti pembuktian mengandung makna yaitu: 86 a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah akan mendapat hukuman. b. Harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 86 Ibid, hal. 274.

4 Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan dalam sistem pembuktian. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut tidak berbau atau diwarnai oleh perasaan dan pendapat secara subjektif hakim. Dalam alasan mencari kebenaran materil, maka asas akusator (accusatoir) 87 memandang terdakwa sebagai pihak yang sama dalam hukum perkara perdata, kemudian ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor (inquisitoir) 88 yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan, bahkan kadang kala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa. 89 Oleh karenanya, dari segi hukum 87 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Trehadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 8, Accuisitoir, dalam bahasa Indonesia dapat disebut padanan kata dari menuduh terhadap seseorang tersangka yaitu seseorang yang telah didakwa melakukan suatu tindak pidana dimana dalam proses dan prosedur serta sistem pemeriksaan teedakwa dianggap sebagai subyek semata-mata ketika berhadapan dengan pihak kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak masing-masing mempunyai suatu hak yang sama nilainya, dan hakim berada di atas kedua belah pihak guna menyelesaikan perkara pidana yang berlaku. 88 Ibid, incuisitoir dalam bahasa Indonesia dapat disebut padanan kata dari istilah pemeriksaan yaitu sistem pemeriksaan yang menganggap tersangka sebagai suatu obyek yang harus diperiksa karena ada suatu dakwaan. Pemeriksaan ini dapat berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya sendiri dan dapat melalui keterangan dari beberapa orang saksi. Oleh karena itu, sudah ada suatu pendakwa yangsedikit banyak diyakini kebenarannya oleh yang mendakwa melalui sumbersumber pengetahuan di luar tersangka, maka pendengaran tersangka sudah semestinya merupakan pendorong kepada tersangka, supaya mengaku saja kelemahannya. Minat mendorngkan ke arah pengakuan salah ini biasanya berhubungan dengan tahap pendakwa sebagai manusia belaka adalah begitu hebat, sehingga dalam praktek pendorongan ini berupa penganiayaannya terhadap tersangka. 89 Andi Hamzah (I), Loc. cit, hal. 258.

5 acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan yakni: Penuntut umum harus bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa; 2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum harus mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan caracara yang dibenarkan undang-undang, berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan, dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan alibi; 3. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang telah terbukti. 2. Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian Untuk menjawab pertanyaan di atas maka dapat diambil perbandingan dengan pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata. Proses pemeriksaan persidangan pengadilan dalam perkara perdata telah menggariskan prinsip pembuktian diperlukan sepanjang terhadap apa yang dibantah secara tegas, dan apa-apa yang tidak dibantah oleh tergugat, dengan sendirinya dianggap telah terbukti kebenarannya. Bahwa dalam perkara perdata, posita (dalil-dalil/fakta-fakta) yang diakui dan dibenarkan tergugat, dianggap telah terbukti, karena itu, tidak perlu lagi dibuktikan oleh penggugat. Apakah prinsip pembuktian yang demikian dapat 90 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 274.

6 diterapkan dalam pemeriksaan perkara pidana? Tentunya hal ini berbeda dengan Acara pidana. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana, pemeriksaan pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Oleh karena itu, maka pengakuan bersalah (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP yakni, Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Ketentuan itu sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 308 HIR yang menegaskan bahwa, Untuk dapat menghukum terdakwa, selain daripada pengakuannya harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti yang lain. Hal ini berarti bahwa Pasal 189 Ayat (4), mempunyai makna, yaitu bahwa pengakuan dalam KUHAP bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht. Juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende bewijs kracht. Oleh karena itu, pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti yang memiliki

7 kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Maka, penuntut umum dan persidangan tetap mempunyai kewajiban dan berdaya upaya membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. KUHAP sebagai hukum acara pidana, tidak mengenal keterangan atau pengakuan yang bulat dan murni, sebab, ada atau tidak ada pengakuan dari terdakwa, pemeriksaan pembuktian kesalahan terdakwa tetap dilanjutkan dan hal ini merupakan kewajiban bagi sidang pengadilan. 91 Kebenaran yang harus ditemukan dan diwujudkan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau matriil waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute truth. Oleh karena itu, pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan kebenaran sejati tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain. Lain halnya dalam pemeriksaan perkara perdata. Kebenaran yang hendak diwujudkan secara ideal adalah kebenaran sejati, tetapi jika kebenaran sejati tidak ditemukan, hakim dibenarkan mewujudkan kebenaran formil. 3. Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan Rumusan dalam Pasal 184 Ayat (2) yang berbunyi, Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Rumusan Pasal 184 Ayat (2) ini lazim selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known) yang berarti setiap hal yang sudah umum diketahui tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Mengenai pengertian hal yang secara umum diketahui ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada perihal atau keadaan atau omstandigheiden atau 91 Ibid, hal. 275.

8 circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal ikhwal atau peristiwa itu memang sudah demikian adanya. Atau bisa juga berarti berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum atau berdasar pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu senantiasa menimbulkan akibat yang pasti demikian adanya. Contoh yang pertama adalah bahwa api yang panas, adalah suatu keadaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang, dan lazim seperti itu adanya, atau umum sudah mengetahui, contoh kedua adalah bahwa takaran minuman keras pada batas tertentu dapat memabukkan. 92 Dalam hukum acara perdata, notoire feiten tidak lagi perlu dibuktikan, dan dianggap merupakan penilaian pembuktian yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. Bagaimana halnya dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP? Apakah hal yang secara umum sudah diketahui, tidak memerlukan pembuktian lagi? Memang demikian halnya sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 184 Ayat (2). Oleh karena itu, dalam penerapan notoire feiten: Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikannya lagi. 2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana yang disebut secara limitatif dalam 92 Ibid, hal Ibid.

9 Pasal 184 ayat (1). Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh. B. Sistem Pembuktian Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. 94 Pembuktian dalam hukum acara pidana, mempunyai serangkaian tata cara yang tersusun secara sistematis dan terintegrasi (terpadu) bertujuan untuk mencari kebenaaran yang hakiki. Dalam hal ini, hak asasi manusia harus dipertahankan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempatnya. 95 Pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. 96 Menurut Subekti, yang dimaksudkan dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran 94 Edmon Makarim, Loc. cit, hal Andi Hamzah (I), Op. cit, hal. 257, sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa adanya beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Hukum acara pidana masalah pembuktian di Negara Indonesia sama dengan Negara Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dnegan keyakinannya sendiri dan bukan juri seperti di Negara Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon. Di negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, juri teridiri dari orang awam yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya berperan sebagai pimpinan sidang dan menjatuhkan pidana (sentencing). Menurut Andi Hamzah setelah beliau mengikuti penataan Hakim Amerika Serikat bersama para Hakim dari negaranegara di seluruh negara bagian di Universitas Standford pada bulan Agustus 1985 khususnya mengenai sistem pembuktian dan menyaksikan jalannya sidang pengadilan dengan sistem juri, maka beliau berkesimpulan bahwa, sistem kita jauh lebih baik dan lebih cepat. Sistem Amerika Serikat itu berlarut-larut dan benar-benar kemampuan bersilat lidah antara penuntut umum dan penasehat hukumlah yang menentukan nasib terdakwa. 96 Edmon Makarim, Op. cit, hal. 417.

10 dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. 97 Karena pembuktian merupakan sebuah sistem, amak pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana dan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya 98. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam pembuktian, diuraikan sebagai berikut: Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden); 2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen); 3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering); 4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht); 5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast); dan 6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum). Salah satu prinsip dalam hukum acara pidana adalah bentuk pemeriksaaan dilakukan secara oral debat, dimana pemeriksaan termasuk pembuktian perkara pidana antara pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis, tetapi harus dengan berbicara satu sama lain atau secara lisan agar dapat 97 R. Subekti, Loc. cit, hal Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal (Disebut Andi Hamzah II). 99 Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Jogjakarta: Liberty, tanpa tahun), hal. 39.

11 diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan pihak manapun. 100 Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran atau teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Beberapa teori yang berkenaan dengan sistem pembuktian pada umumnya adalah: Conviction in time. Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alatalat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 277.

12 Teori ini disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Hal ini dikarenakan bahwa alat bukti berupa pengakuan sendiri tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. 102 Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu ini didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim sendiri dan ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut dalam sistem peradilan juri di negara Perancis. 103 Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 104 Sistem ini memberikan kebebasan terlalu besar sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya terasa sulit untuk melakukan pledoi (pembelaan). Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa terdakwa telah melakukan apa yang didakwakan kepadanya. Praktek sistem pengadilan juri di negara Perancis membuat pertimbangan 102 Andi Hamzah (I), Op. cit, hal Simon D., Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, (Haarlem: De Erven F. bohn, 1925), hal. 149, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, Op. cit. 104 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1967), hal. 72.

13 berdasarkan metode ini sehingga mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh atau janggal. 105 Conviction raisonee. Dalam sistem ini, hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, perbedaannya dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 106 Sebagai jalan tengah, muncul teori yang disebut pembuktian yang didasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu (conviction raisonne). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. 107 Pembuktian menurut undang-undang secara positif yaitu: Pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada 105 A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, (Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon, 1967), hal. 219, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, Op. cit, hal M.Yahya Harahap, Op. cit. 107 Ibid, hal. 261.

14 alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau sistem ini dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction-in time? bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 108 Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undnag-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan lat-alat bukti yang disebutkan di dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sistem ini disebut juga sistem pembuktian formil (formele bewijstheorie). Menurut D. Simons, teori pembuktian ini, berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut 108 Ibid, hal. 278.

15 peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkusitor (inquisitoir) dalam acar pidana. 109 Teori pembuktian ini ditolak Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana pun hakim dapat mentapkan kebenaran selain daripada menyatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. 110 Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 111 Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) menurut Munir Fuady, adalah, suatu sistem pembuktian di dalam persidangan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu; alat bukti yang cukup, dan keyakinan hakim. 112 Tersedianya alat bukti saja belum cukup 109 D. Simons, Op. cit, hal, 149, diterjemahkan oleh Andi Hamzah, Op. cit, hal Wirjono Prodjodikoro, Hukum, hal M. Yahya Harahap, Op. cit, hal Munir Fuady, Op. cit, hal. 2.

16 untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, maka pidana belum dapat dijatuhkan oleh hakim. Untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim. Berdasarkan uraian di atas, teori pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen yaitu, adanya alat-alat bukti yang sah menurut undangundang, dan keyakinan hakim harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 113 Dengan demikian, teori ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, 113 Ibid, hal. 279.

17 hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung. Jika diperhatikan bahwa pembuktian menurut undang-undang secara negatif, menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat dianulir atau ditiadakan oleh keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Terbukti memang cukup terbukti secara sah. Namun sekalipun terbukti secara sah, hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.

18 Akan tetapi, kita sadar. Di manakah dijumpai di dunia ini suatu sistem yang sempurna tanpa cacat? Bagaimanapun baik atau buruknya suatu sistem, semuanya sangat tergantung kepada manusia yang berada di belakang sistem yang bersangkutan. C. Pembuktian yang Dianut Dalam Hukum Acara Pidana Setelah dijelaskan beberapa teori pembuktian sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini, tiba saatnya mengkaji mengenai pembuktian yang dianut dan diatur dalam KUHAP. Teori pembuktian yang mana di antara salah satu sistem tersebut yang diatur dalam KUHAP? Untuk menjawab pertanyaan dimaksud, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. KUHAP sebagai kodifikasi hukum acara pidana, khususnya menyangkut hukum pembuktian merupakan dasar dari hukum pembuktian, termasuk yang berada di luar KUHAP, sepanjang undang-undang terkait tidak mengatur secara khusus. Pembuat undang-undang secara sadar menentukan dalam ketentuan akhir Buku I yakni Pasal 103 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP berlaku juga bagi hukum pidana lain diluar KUHP. Maka KUHAP sebagai Kodifikasi dimaksud juga berlaku sebagai Hukum Acara untuk semua undang-undang tindak pidana.

19 Ternyata dalam perkembangan ketentuan-ketentuan khusus dibutuhkan bagi undangundang non kodifikasi disamping ketentuan KUHAP. Hukum pembuktian dalam KUHAP maupun diluar KUHAP mengatur tentang kegiatan pembuktian dengan perantaraan alat-alat bukti yang sah. Alat-alat bukti di dalam KUHAP diatur secara limitatif yang berkait dengan sistem pembuktian. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan sistem negatif (negatief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif (positief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) merupakan pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu; alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem pembuktian secara negatif ini diakui berlakunya secara eksplisit dalam KUHAP, yang ditentukan dalam Pasal 183. Selengkapnya, peneliti mengulangi bunyi Pasal 183 KUHAP tersebut yaitu, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya. Pasal 294 HIR menyebutkan bahwa, Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika

20 hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu. Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama-sama menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekanan saja. Pada Pasal 183 KUHAP, syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benarbenar terjadi bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 114 Untuk menjajaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183. Dari penjelasan Pasal 183 pembuat Undang-Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi 114 Ibid, hal. 280.

21 tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif' (positief wettelijk stelsel). Jika ditafsirkan lebih jauh maka sangat berbahaya dan sangat dekat dengan kesewenang-wenangan seandainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan seperti yang dianut sistem pembuktian conviction-in time, sebab keyakinan itu bersifat abstrak dan tersembunyi secara subjektif, dan sulit mengujinya dengan cara dan ukuran objektif. Oleh karena itu, sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata, mempunyai tendensi kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya penentuan salah atau tidaknya terdakwa kepada penilaian subjektif hakim. Sedangkan masalah subjektif seorang manusia, sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki sikap keyakinan yang berbeda, sehingga akan dikhawatirkan praktek penegakan hukum yang berbeda dan beragama dalam pemidanaan. Akan tetapi, sebaliknya jika pemidanaan terdakwa semata-mata digantungkan kepada ketentuan menurut alat-alat bukti yang sah tanpa didukung keyakinan hakim, kebenaran, dan keadilan yang diwujudkan dalam upaya penegakan hukum, sedikit banyak agak jauh dari kebenaran sejati, karena hanya mengejar dan mewujudkan kebenaran formal belaka, dan dapat menimbulkan tekanan batin kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang diyakininya tidak benar-benar bersalah.

22 Setelah diberlakukannya KUHAP melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (hukum acara pidana). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. 115 Berdasarkan teori dan alat bukti menurut hukum pidana formil diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan undang-undang atau negatief wettelijk overtuiging dengan dasar teori negatief wettelijk overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinannya dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP yaitu, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sedangkan yang dimaksud dengan dua alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu, Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. 115 Martiman Prodjohamidjojo., Loc. cit, hal. 98.

23 Sistem pembuktian secara negatif dalam sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia diberlakukan dalam hukum acara pidana karena yang dicari oleh hakim pidana adalah suatu kebenaran materil (materiele waarheid). 116 D. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Pelaksanaan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia berdasarkan HIR maupun setelah KUHAP berlaku, cenderung dengan menerapkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 183 KUHAP, pada umumnya sudah mendekati makna dan tujuan sistem pembuktian itu sendiri, tanpa mengurangi segala macam keluhan, dan kenyataan yang dijumpai. Keluhan dan kenyataan ini timbul sebabkan masih terdapat kekurang sadaran sementara Aparat penegak hukum yang menitik penilaian salah tidaknya seorang terdakwa, berdasarkan keyakinan hakim. Hal khusus yang dapat dilihat dalam pertimbangan putusan adalah penilaian keyakinan tanpa menguji dan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah. Sebaliknya sering pula dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang berdasarkan penilaian salah atau tidaknya terdakwa, sematamata pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Motovasi pertimbangan hukum membuktikan kesalahan terdakwa, tidak diwarnai dan tidak dipadu dengan keyakinan hakim. Misalnya, peneliti mengambil uraian pertimbangan 116 Munir Fuady, Op. cit, hal. 2.

24 putusan pengadilan, jarang sekali dijumpai uraian pertimbangan yang secara sistimatis dan argumentatif mengaitkan dan memadukan keterbuktian kesalahan terdakwa dengan keyakinan hakim. Pokoknya, asal kesalahan terdakwa telah terbukti secara sah menurut cara dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang tanpa mengutarakan motivasi keyakinan hakim akan keterbuktian itu pada umumnya sudah merasa cukup memenuhi keterbuktian itu dengan rumusan kalimat, kesalahan terdakwa telah terbukti dan diyakini. Seolah-olah keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa hanya ditarik saja tanpa motivasi dari keterbuktian kesalahan yang dibuktikan. Malah kadang-kadang pertimbangan yang tertuang dalam putusan pengadilan, hanya berisi uraian deskriptif tanpa alasan pertimbangan yang argumentatif dan tidak memuat kesimpulan pendapat yang merupakan perpaduan antara pembuktian dengan keyakinan. Akibatnya isi pertimbangan putusan, hanya tulisan yang berisi pengulangan kalimat-kalimat keterangan terdakwa dan keterangan saksi tanpa kemampuan dan keberhasilan menyusun uaraian pertimbangan yang menyimpulkan suatu pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Putusan seperti ini benar-benar sangat miskin dan tidak menyeluruh, dimana tidak terdapat sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 dalam peraktek penegakan hukum. Untuk itu praktek penegakan hukum masa yang akan datang, lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif. Alasan kecenderungan pendekatan yang demikian, didasarkan pada pendapat antara lain: pada masa HIR yang juga menganut sistem pembuktian negatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 294 HIR dimana

25 kelalaian atau kealpaan hakim mencantumkan rumusan keyakinan dalam putusan, tidak mengakibatkan batalnya putusan yang bersangkutan. Dapat dicontohkan, kesalahan terdakwa telah benar-benar terbukti berdasarkan ketentuan pembuktian dan dengan alat bukti yang sah menurut undangundang akan tetapi, di dalam putusan tersebut hakim terlupa mencantumkan kalimat yang menjelaskan keyakinan akan kesalahan dimaksud. Dalam praktek, kealpaan seperti ini oleh peradilan tingkat banding maupun kasasi, tidak membatalkan putusan peradilan tingkat pertama. Cukup memperbaikinya dengan menambahkan kata-kata meyakinkan dalam amar putusan yang bersangkutan. Akan tetapi, sebaliknya sekalipun hakim tingkat pertama telah menuangkan secara tegas keyakinannya akan kesalahan terdakwa, namun penegasan keyakinan yang bagaimanapun jelasnya, sama sekali tidak merupakan alasan dan halangan bagi hakim tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk membatalkan putusan dimaksud jika hakim peradilan tingkat banding atau kasasi berpendapat bahwa kesalahan terdakwa belum cukup bukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pada lazimnya jika kesalahan terdakwa telah benar-benar terbukti menurut cara dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, keterbuktian kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong hati nurani hakim untuk menyakini kesalahan terdakwa. Apalagi bagi seorang hakim yang memiliki sikap hati-hati dan bermoral baik, tidak mungkin keyakinannya yang muncul kepermukaan mendahului keterbukaan mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Mungkin pada taraf pertama hakim sebagai manusia biasa, bisa saja terpengaruh sifat

26 prasangka. Akan tetapi bagi seorang hakim yang jujur dan waspada, prasangkanya baru membentuk suatu keyakinan, apabila hal yang diprasangkai itu benar-benar terbukti dipersidangan berdasarkan ketentuan, cara, dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dari alasan ringkas yang diuraikan di atas, pada hakikatnya Pasal 183 berisi penegasan berisi sistem menurut undang-undang secara negatif, tidak dibenarkan menghukum yang seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang. Keterbuktian itu harus digabung dan didukung dengan keyakinan hakim. Namun kami percaya sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum, lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif. Sedang mengenai keyakinan hakim hanya bersifat unsur pelengkap atau complimentary dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek, dapat dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat dianggap tidak mempunyai nilai, jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. E. Prinsip Batas Minimum Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Berdasarkan pembahasan sistem pembuktian, terdapat juga prinsip yang perlu dibicarakan yakni masalah batas minimum pembuktian. Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, asas minimum pembuktian

27 ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. Artinya sampai batas minimum pembuktian mana yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Apakah kesalahan terdakwa mesti dibuktikan dengan semua alat bukti yang sah? Atau sudah dianggap cukup, jika kesalahan itu dibuktikan dengan sekurangkurangnya dua atau tiga alat bukti yang sah? Pertanyaan tersebutlah yang akan dijawab dalam pokok uraian masalah prinsip minimum pembuktian sesuai dengan apa yang diatur dalam KUHAP. Untuk menjelaskan masalah ini, titik tolak berpijak berdasar ketentuan Pasal 183 KUHAP. Mari kembali melihat rumusan Pasal 183 secara keseluruhan, yang berbunyi, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Meneliti bunyi Pasal 183 tersebut, ditemukan kalimat dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah. Apa yang dimaksud dengan kalimat sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dalam pasal itu? Maksudnya untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa baru boleh dilakukan hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Jadi, minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat dijatuhkan pidana, harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja, undang-undang menganggap tidak atau belum

28 cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Batas minimum yang dianggap cukup oleh undang-undang, paling sedikit dua alat bukti yang sah. Agar permasalahannya lebih jelas, mari kita hubungkan Pasal 183 dengan Pasal 184 Ayat (1). Pada 184 Ayat (1) telah disebutkan secara rinci atau limitatif alatalat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Ayat (1), KUHAP menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan: a. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain; b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan

29 antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian. Sebagai contoh dapat dilihat putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1983 Nomor 185 K/Pid/1982. Putusan ini telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Alasan pembatalan didasarkan pada pendapat, kesalahan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena alat bukti yang mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa, hanya didasarkan pada suatu petunjuk saja, yakni pengakuan terdakwa di luar sidang (confession out side the court). Dengan demikian, alat bukti tersebut belum memenuhi asas batas minimum pembuktian yang ditentukan undang-undang. 117 Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183, tapi dijumpai dalam pasal yang lain. 118 Namun, sebagai aturan 117 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 284, dari contoh yang diutarakan, prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP: a. Sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah; dan b. Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. 118 Ibid, hal. 285, contoh Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan masalah asas batas minimum pembuktian, dimulai dari putusan yang dijatuhkan sebelum KUHAP berlaku. Diambil putusan tanggal 17 April 1978 No. 18 K/Kr/1977. Dalam putusan ini Mahkamah Agung membatalkan putusan perkara yang dikasasi, dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa atas alasan pengadilan salah menerapkan hukum pembuktian. Pengadilan telah mendasarkan putusannya sematamata atas keterangan seorang saksi saja, padahal para terdakwa mungkir. Sedang keterangan saksisaksi yang lain tidak memberi petunjuk atas keterbuktian kejahatan yang didakwakan. Pada putusan ini, alasan pembatalan didasarkan atas kekeliruan penerapan hukum yang telah menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa tanpa didukung oleh minimum dua alat bukti yang sah, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 294 jo. Pasal 300 HIR (Pasal 183 jo Pasal 185 Ayat (2) KUHAP). Demikian pula dalam putusan tanggal 8 September 1983 Reg. No. 932 K/Pid/1982, Mahkamah Agung membatalkan dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dengan alasan bahwa menurut berita acara persidangan Pengadilan Negeri, saksi tidak sempat didengar keterangannya, sedang visum et repertum tidak ternyata ada ataupun dibacakan. Lagi pula menurut kesimpulan dari pihak kepolisian,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN. PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.PL) JOHAR MOIDADI / D 101 10 532 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2 PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2 ABSTRAK Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan. Pembuktian tentang benar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA BERLAKU DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA BERLAKU DI INDONESIA BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA BERLAKU DI INDONESIA A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana 1. Arti Pembuktian Hukum pembuktian merupakan salah

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA A. Pengertian pembuktian Menurut Pirlo yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu cara yang dilakukam oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan landasan dasar dari pelaksanaan pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana guna mencari dan menemukan suatu kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

Lebih terperinci

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK KORUPSI DENGAN PERKARA TINDAK PIDANA LAINNYA.

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK KORUPSI DENGAN PERKARA TINDAK PIDANA LAINNYA. PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK KORUPSI DENGAN PERKARA TINDAK PIDANA LAINNYA Fira Mubayyinah 1 Abstract, Proof is one of a series conducted in the court process to

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) Oleh: Ahmad Rifki Maulana NPM : 12100082 Kata Kunci : Pembunuhan berencana, pembuktian, hambatan

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN TERBALIK PERKARA PIDANA KORUPSI

PEMBUKTIAN TERBALIK PERKARA PIDANA KORUPSI KARYA ILMIAH PEMBUKTIAN TERBALIK PERKARA PIDANA KORUPSI OLEH : MICHAEL BARAMA, SH, MH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL R.I UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS HUKUM MANADO 2011 0 PENGESAHAN Panitia Penilai

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Christian Tambuwun 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara BAB II A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang

Lebih terperinci

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti 18 dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara

Lebih terperinci

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract 147 IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram Abstract Authentication is very important in the process of resolving criminal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015 URGENSI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI DALAM PRAKTEK PERADILAN PIDANA 1 Oleh : 2 Ronaldo Ipakit ABSTRAK Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pada Umumnya Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

Lebih terperinci

BAB II PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

BAB II PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) BAB II PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) A. Teori atau Sistem Pembuktian Tindak Pidana Dalam Hukum Acara Pidana Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang, digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam dua bentuk sebagai berikut : a. intepretasi

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pencucian Uang Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai terminologi kejahatan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an dimana istilah ini merujuk

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II ALAT BUKTI DAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

BAB II ALAT BUKTI DAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA BAB II ALAT BUKTI DAN HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Hukum Acara Pidana di Indonesia 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Dikaji dari persfektif dan praktik sistem peradilan pidana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam keluarga merupakan Delik Aduan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas tidak

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sesuai dengan semangat dan ketegasan pembukaan Undang

Lebih terperinci

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sesuai dengan semangat dan ketegasan pembukaan Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk mengatasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI A.Beberapa Ketentuan Khusus dalam Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Pekerjaan pembuktian adalah pekerjaan yang paling utama di antara proses panjang penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB 2 KETERANGAN AHLI DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA. 2.1 Keterangan Ahli dalam HIR dan KUHAP

BAB 2 KETERANGAN AHLI DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA. 2.1 Keterangan Ahli dalam HIR dan KUHAP BAB 2 KETERANGAN AHLI DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA Bab ini membahas sejarah pengaturan keterangan ahli dalam hukum acara pidana di Indonesia. Selanjutnya, pasal-pasal mengenai keterangan ahli

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN. (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor.1987/Pid.B/2014/PN.Mks.

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN. (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor.1987/Pid.B/2014/PN.Mks. SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor.1987/Pid.B/2014/PN.Mks.) OLEH NOVI ARNIANSYAH B111 10 487 HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak,

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Membicarakan persoalan hukum, dapat dipastikan tidak akan ada habishabisnya. Persoalan hukum itu sendiri menyangkut kepentingan manusia, yang melekat pada

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA Oleh: SETIYONO Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta Ketua Divisi Non-Litigasi LKBH FH USAKTI Jl. Kiai Tapa Grogol, Jakarta Barat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study) BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini dideskripsikan suatu tinjauan pustaka mengenai pembuktian. Adapun tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pembuktian pada umumnya dan dalam rangka

Lebih terperinci

KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS. oleh : Ramelan *

KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS. oleh : Ramelan * KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS oleh : Ramelan * Abstrak Putusan bebas sering menimbulkan reaksi dan polemik, baik menyangkut penerapan hukum maupun perasaan keadilan. Secara normatif menurut Pasal 244 KUHAP,

Lebih terperinci