BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara"

Transkripsi

1 BAB II A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 1 Dari uraian singkat diatas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana adalah sebagai berikut : - Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim hatus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkn kekuatan pembuktian yang ditentukan selama pemeriksaan persidangan - Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP Sistem Pembuktian a. Beberapa Teori Sistem Pembuktian 1) Conviction-in Time 1 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal Ibid, hal

2 Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviclion-in time sudah tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. 3 Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 4 3 Ibid, hal Ibid, hal 277 2) Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem convic- tion-raisonee. keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang 27

3 mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Jadi keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi alasan-alasan, dan itu harus berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 5 3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undangundang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Jadi, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. 6 4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatife Wettelijk Stelse) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian 5 Ibid, hal ibid, hal

4 menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbanganantara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari segi keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem buktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu "sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasar rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undangundang secara negatif, terdapat dua komponen: - pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, - dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 7 b. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP Sistem pembuktian yang dianut KUHAP terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak 7 Ibid, hal

5 pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 249 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya. Bunyi Pasal 294 HIR: (1)Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak mendapat keyakinan dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu. (2) Atas persangkaan saja atau bukti-bukti yang tidak cukup, tidak seorangpun yang dapat dihukum. Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, samasama menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara négatif. Perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekanan saja. 8 Pada Pasal 183 KUHAP, syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat: ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus: 8 Ibid, hal

6 - kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. - dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya Barang Bukti Dan Alat Bukti a. Barang Bukti Bagian terpenting dalam tiap-tiap proses pidana adalah mengenai persoalan pembuktian, karena dari jawaban persoalan inilah tergantung apakah seseorang dinyatakan bersalah atau tidaknya dalam melakukan suatu tindak pidana. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang bersangkut dalam suatu tindak pdana sangatlah diperlukan. Benda-benda yang dimaksud adalah Barang Bukti. Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana. Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan Ibid, hal Afiah, Ratna Nurul, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 15 31

7 Jadi barang bukti adalah alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang, termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi. 11 Selain itu pula ada barang yang bukan merupakan obyek, alat atau hasil suatu delik tetapi dapat pula di jadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai korban. 1) Macam-macam Barang Bukti : Di dalam KUHAP tidak terdapat uraian secara tegas mengenai macam-macam barang bukti Namun berdasarkan penafsiran terhadap Pasal 1 butir 16 KUHAP, barang bukti dapat disebut juga benda sitaan. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan 11 Ibid, hal 15 Macam-macam barang bukti atau benda sitaan tersebut diuraikan dalam Pasal 39 Ayat (1) KUHAP yang menyebutkan sebagai berikut : (1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a..benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana 32

8 b. benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana c. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana d. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan b. Alat Bukti Sebagaimana yang diuraikan terdahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Majelis hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Alat bukti adalah alat yang dipakai untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang kepastian pernah terjadinya tindak pidana. Adapun alat bukti yang sah menurut undang undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 183 ayat (1) KUHAP yaitu terdapat dalam Pasal 184 KUHAP, yang berbunyi : (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa (1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. 33

9 Selanjtnya akan diuraikan alat-alat bukti tersebut baik yang berhubungan dengan penerapan alat-alat bukti itu maupun berhubungan dengan kekuatn pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti tersebut. 1) Keterangan Saksi Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan bahwa : Keterangan saksi adalah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti yaitu bahwa : Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.s Pada umumnya alat bukti seorang saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang tidak menggunakan keterangan saksi dalam perihal pembuktian. Hampir semua pembuktian perkara pidana bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi, sekurang-kurangnya disamping pembuktian 34

10 dengan alat bukti yang lain masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. a) Syarat Sahnya Keterangan Saksi Agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi aturan sebagai berikut: a) Harus mengucapkan sumpah atau janji b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti c) Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri 12 b) Cara Menilai Kebenaran Seorang Saksi Untuk menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara keterangan-keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai kebenaran keterangan para saksi, Pasal 185 ayat (6) menuntut kewaspadaan hakim untuk bersungguh-sungguh memperhatikan : (1) Persesuaian antara keterangan saksi Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. (2) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain Dalam hal ini, jika yang diajukan penuntut umum dalam persidangan pengadilan terdiri dari saksi dengan alat bukti lain, hakim dalam sidang maupun dalam pertimbangannya harus meneliti dengan sungguhsungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, (3) Alasan saksi memberi keterangan tertentu Dalam hal ini, hakim harus mencari alasan saksi kenapa memberikan keterangan yang seperti itu, tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti akan memberikan 12 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal

11 gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan keterngan saksi. 13 c) Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Keterangan saksi yang diberikan dalam sidang pengadilan dapat dikelompokkan pada dua jenis : (1) Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah Hal ini bisa terjadi karena: - Karena saksi menolak bersumpah - Keterangan yang diberikan tanpa sumpah - Karena hubungan kekeluargaan - Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP 14 (2) Keterangan saksi yang di sumpah Sebenarnya bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan saksi agar keterangan itu bersifat alat bukti yang sah, tetapi harus dipenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang. 2) Keterangan Ahli Esensi keterangan ahli terdapat pada Pasal 1 angka 28 KUHAP yang berbunyi : 13 Ibid, hal Ibid, hal Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang 36

12 diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan menurut Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Akan tetapi menurut penjelasan dari Pasal 186 tersebut disebutkan bahwa : Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Dari ketentuan penjelasan diatas, sebenarnya secara teoritik pada hakikatnya keterangan ahli dapat menimbulkan 2 dilema di dalamnya yaitu : - Bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umu. Disini menimbulkan dilema apakah mungkin dalam era KUHAP keterangan ahli dapat diberikan dihadapan penuntut umu, padahal semenjak penerapan KUHAP penuntut umum sudah tidak berwenang lagi melakukan penyidikan - Bahwa jika keterangan tersebut dituangkan dalam bentuk laporan, eksistensinya bukan lagi sebagai keterangan ahli melainkan merupakan alat bukti surat Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pidana : Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. PT. Alumni, Bandung. Hal

13 Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu dala Pasal 186 KUHAP. Akibatnya kalau hanya bertitik tolak pada pasal dan penjelasan Pasal 186 KUHAP saja, sama sekali tidak memberi pengertian apa-apa. Untuk mencari dan menemukan pengertian yang lebih luas, tidak dapat hanya bertumpu berlandaskan pasal dan penjelasan Pasal 186. Terpaksa mencari dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal-pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, dan Pasal 180. Dengan merangkai pasal-pasal itu baru jelas arti dan seluk beluk pemeriksaan keterangan ahli. 16 a) Sifat Dualisme Alat Bukti Keterangan Ahli Dengan adanya dua cara pemeriksaan keterangan ahli, sekaligus melahirkan dua bentuk keterangan ahli yaitu : - Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum. - Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk keterangan langsung secara lisan di tuangkan sidang pengadilan yang dituangkan dalam catatan berita acara persidangan. Adapun mengenai bentuk alat bukti keterangan ahli yang poin kedua, tidak masalah karena sifatnya benarbenar murni sebagai alat bukti keterangan ahli yang lahir dari hasil pemberian keterangan secara langsung di sidang pengadilan. Tidak menimbulkan dualisme dengan alat bukti yang lain, baik terhadap alat bukti keterangan saksi. Surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi lain halnya dengan pengertian dalam poin pertama keterangan ahli yang berbentuk laporan. Alat bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah : - Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repretum tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal ini dengan jelas ditegaskan oleh penjelasan Pasal 186 alinea pertama yang selengkapnya berbunyi : Keterangan ahli ini dapat juga sudah 16 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal

14 diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Bentuk alat bukti seperti itulah yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP, yaitu laporan yang dibuat oleh seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik. Oleh penjelasan Pasal 186 alinea pertama, laporan seperti itu bernilai sebagai alat bukti keteranagn ahli yang diberi nama alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan - Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat. Alasannya, ketentuan Pasal 187 huruf c telah menentukan salah satu di antara alat bukti surat yaitu : surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya 17 b) Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian sebenarnya nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi, oleh sebab itu nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli : a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskracht b. Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu bukti yang lain tidak cukup. 18 3) Alat Bukti Surat Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti suratpun hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu pada pasal 187 KUHAP yang berbunyi : 17 Ibid, hal Ibid, hal

15 Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. a) Nilai Kekuatan Pembuktian Surat Menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat ini dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP : (1) Ditinjau dari segi formal Ditinjau dari segi formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk suratsurat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dengan dipenuhinya kekuatan formal dalam pembuatannya dan serta berisi keterangan yang resmi dari seorang pejabat yang berwenang maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang bernilai sempurna. (2) Ditinjau dari segi materiil Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan 40

16 mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli yaitu sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. 19 4) Alat Bukti Petunjuk Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP yang berbunyi : (1). Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2). Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari ; a.keterangan saksi; b. surat; c.keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. a) Cara Memperolah Alat Bukti Petunjuk Di samping hakim di ajak dan diperingati menaruk petunjuk arif dan bijaksana serta harus lebih dahulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan seksama berdasarkan hatu nuraninya, Psal 188 ayat (2) membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber, sumber yang dapat digunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP. Menurut pasal tersebut, petunjuk hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi b. surat 19 Ibid, hal

17 c. keterangan terdakwa 20 b) Kapan Alat Bukti Petunjuk Diperlukan Alat bukti petunjuk pada umumnya baru diperlukan apabila alat-alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang digariskan Pasal 183 KUHAP, sebab petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk substansi tersendiri. Alat bukti petunjuk tidak mempunyai wadah sendiri jika di bandingkan dengan alat bukti yang lain. Misalnya : alat bukti keterangan saksi, jelas mempunyai bentuk objektif atau wadah sendiri yaitu orang yang memberikan keterangan itu, demikian dengan alat bukti surat yang mempunyai wadah tersendiri yaitu surat yang bersangkutan. Ini berbeda dengan alat bukti petunjuk, alat bukti petunjuk tidak mempunyai wadah tersendiri. Bentuknya sebagai alat bukti adalah asessor (tergantung) pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga alat bukti yang lain tersebut. Jadi alat bukti petunjuk ini bisa disimpulkan akan diperlukan apabila: - Selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti lain - Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa - Oleh karena itu hakim harus lebih dahulu memberdayakan upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti yang lain sebelum ia berpaling mempergunakan alat bukti petunjuk - Upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada keadaan upaya pembuktian sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang lain. 21 c) Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk Mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain, 20 Ibid, hal Ibid, hal

18 yaitu mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas, dimana : - Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian - Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. 22 5) Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatan pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Pengertian keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189 KUHAP yang berbunyi : (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain 22 Ibid, hal

19 23 Ibid, hal Ibid, hal 331 a) Asas Penilaian Keterangan Terdakwa Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukansejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yan sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan, yaitu : a. Keterang itu dinyatakan di sidang pengadilan b. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 23 b) Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa Pernyataan pengakuan terdakwa sebagai pelaku dan yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat. 24 Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa adalah sebagai berikut : - Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dia bebas menilai kebenarang yang terkandung didalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. - Harus memenuhi batas minimum pembuktian Penegasan Pasal 189 ayat (4) sejalan dengan dan mempertegas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Seperti yang sudah dijelaskan 44

20 bahwa asas batas minimum pembuktian telah menegaskan, tidak seorang terdakwa pun dapat di jatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurangkurangnya dua lat bukti yang sah. 25 B. Perkembangan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana Selain alat bukti yang sah menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perluasan alat bukti yang lain juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu terdapat dalam Pasal 26A yang berbunyi : Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : 1. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Penjelasan : Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk 25 Ibid, hal

21 Read only Memory (CD-ROM) atau Write once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik ( ), telegram, teleks, dan faksimili. Selain itu juga terdapat dalam Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yaitu dalam Pasal 5 yang berbunyi : (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Penjelasan : Ayat (4) Huruf a Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara. 46

22 C. Peranan Alat Bukti dan Barang Bukti Dalam Pembuktian 1. Peranan Barang Bukti Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Peuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah letak pentingnya barang bukti. Dengan demikian bukan tersangka pelaku tindak pidana saja yang harus di cari atau ditemukan oleh penyidik, melainkan bahan pembuktiannyapun harus ditemukan juga, hal ini mengingat bahwa fungsi utama dari hukum acara pidana adalah merekontruksikan kembali kejadian-kejadian dari seorang pelaku dan perbuatannya yang dilarang, sedangkan alat-alat pelengkap dari pada usaha penyidik tersebutlah yang dinamakan barang bukti. Pelaku, perbuatannya dan barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus dari pada usaha mencari dan menemukan kebenaraan materiil. Terhadap pelaku harus dibuktikan bahwa ia dapat dipertanggung jawabkan secara pidana, disamping bukti tentang adanya kesalahan dan terhadap perbuatannya haruslah dibuktikan bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Meskipun barang bukti memiliki peranan penting dalam perkara pidana bukan berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak selalu ada dalam perkara pidana, sebab ada pula tindak pidana tanpa adanya barang bukti misalnya penghinaan secara lisan ( Pasal 310 Ayat (1) KUHAP ), dalam hal ini hakim melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti. 26 Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai berikut : (1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini. (2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. (3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita 26. Afiah, Ratna Nurul, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, Hal

23 acara kepada terdakwa atau saks dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu Berdasarkan ketentuan tersebut tampak bahwa dalam proses pidana, kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani. Dengan demikian jelaslah barang bukti itu sangat penting arti dan peranannya dalam mendukung upaya pembuktian dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan atau menghadapkan barang bukti selengkap-lengkapnya di sidang pengadilan. 2. Peranan Alat Bukti Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia yang masih menganut sistem pembuktian secara Negatief Wettelijk dalam pembuktian sebuah perkara pidana di Indonesia yang pada dasarnya adalah demi mencari kebenaran materil dan kepastian hukum pidana yang semakin nyata dibutuhkan di dalam suatu masyarakat Di dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia 48

24 diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu kebenaran materil Prinsip batas minimal pembuktian yang terdiri sekurangkurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi di tambah satu alat bukti yang lain,membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran suatu peristiwa tersebut. Dalam proses acara pidana sangat diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting didalam sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Bahwa di dalam Pasal 183 KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam undang-undang ini. 3. Hal-Hal Yang Harus Dipertimbangkan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana a. Pertimbangan Yang Bersifat Yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah diteteapkan sebagai hal 49

25 yang harus di muat di dalam putusan, hal-hal yang dimaksudkan tersebut, di antaranya, dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barnag bukti, pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana, dan sebagainya. 1) Dakwaan jaksa penuntut hukum Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan. 2) Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa menurut KUHAP Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui, atau alami sendiri. Dalam praktik keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagaian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan, baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim, maupun penasihat hukum. Dengan memerhatikan berbagai putusan pengadilan ternyata keterangan terdakwa menjadi bahan pertimbangan hakim dan ini wajar dimasukaan ke dalam pertimbangan karena demikian itulah kehendak undang-undang. 3) Keterangan saksi Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dan harus disampaukan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi tampaknya menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim putusannya. Hal yang wajar jika hakim mempertimbangkan keterangan saksi sebab dari keterangan saksi inilah akan terungkap perbuatan pidana yang pernah terjadi dan memperjelas siapa pelakunya. Dengan kata lain, melalui keterangan saksi inilah akan membuat gambaran terbukti atau tidaknya dakwaan jaksa 50

26 penuntut umum sehingga dengan keterangan saksi, hakim mempunyai gambaran akan dakwaan jaksa penuntut umum. 4) Barang-barang bukti Yang dimaksud dengan barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan. Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termaksud alat bukti sebab undang-undang menetapkan lima macam alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Adapun jenis dan rupa barang bukti yang dipertimbangakan oleh hakim cukup bervariasi, yakni sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan terdakwa, misalnya, pada kejahatan pembunuhan barang buktinya adalah berupa pisau, kayu, dan baju yang digunakan terdakwa ataupun korban. Pada kejahatan perzinahan atau perkosaan barang buktinya, misalnya, seperti celana dalam. Pada kejahatan narkotika, misalnya amplop yang berisikan ganja, video porno, atau film porno. Dan untuk kejahatan benda (pencurian) barang buktinya, misalnya, kalung emas, arloji, TV, sepeda motor, dan lain-lain. 5) Pasal-pasal peraturan hukum pidana Di dalam praktik persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini penuntut umum dan hak berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsurunsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Jika ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana itu. Berdasarkan Pasal 197 KUHAP, maka salah satu yang harus dimuat di dalam surat keputusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan. Berdasarkan ketentuan inilah setiap putusan pengadilan selalu mempertimbangkan pasal-pasal yang menjadi dasar pemidanaannya itu Rusli, Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal

27 b. Pertimbangan Yang Bersifat Nonyuridis Pertimbangan yang bersifat nonyuridis adalah latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri terdakwa. Berikut ini keadaan tersebut akan diuraikan satu per satu : 1) Latar belakang perbuatan terdakwa Yang dimaksud dengan latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. Keadaan ekonomi merupakan contoh yang sering menjadi latar belakang kejahatan. Tekanan-tekanan keadaan ekonomi tidak saja mendorong bagi orang miskin berbuat kejahatan, tetapi juga bagi mereka yang kaya. Sistem dan pertumbuhan ekonomi saat ini banyak menawarkan produk-produk mewah dan mutakhir membuat nafsu ingin memiliki bagi golongan kaya. Dalam usaha memiliki itulah kadang dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, misalnya, korupsi, pemanipulasian, penyelundupan, penyuapan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. 28 2) Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Perbuatan pidana pembunuhan, misalnya, akibat yang terjadi adalah matinya orang lain. Selain itu, berakibat buruk pula pada keluarga korban apabila yang menjadi korban itu tulang punggung dalam kehidupan keluarganya. Demikian pula pada bentuk kejahatan lain, misalnya, perkosaan, narkotik, dan kejahatan terhadap benda, kesemuanya mempunyai akibat buruk, tidak saja kepada korbannya, tetapi juga kepada masyarakat luas Ibid, hal Ibid, hal

28 3) Kondisi diri terdakwa Yang dimaksud dengan kondisi diri terdakwa adalah keadaan fisik ataupun psikis terdakwa sebelelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan misalnya, dalam keadaan marah, mempunyai perasaan dendam, mendapatkan ancaman atau Sudah dapat diduga bahwa sebelum terdakwa melakukan suatu kejahatan tertentu, pasti didahului atau memiliki suatu kondisi diri, seperti yang dimaksudkan di atas. Mungkin terdakwa ketika itu kondisi dirinya dalam keadaan marah, dendam, terancam keselamatan dirinya, atau mungkin karena pikirannya sedang kacau atau tidak normal. Dilihat dari segi status sosialnya, barangkali terdakwa ketika itu mempunyai status sosial tinggi atau justru sebaliknya status sosialnya rendah Ibid, hal

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA 44 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Alat Bukti di Indonesia Dalam proses persidangan, pembuktian tidak terlepas dari hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti 18 dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah

Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk mengatasi kekuasaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyadapan termasuk salah satu kegiatan untuk mencuri dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, mengatakan bahwa Teknologi Informasi semakin dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk mengatasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study) BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini dideskripsikan suatu tinjauan pustaka mengenai pembuktian. Adapun tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pembuktian pada umumnya dan dalam rangka

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa pengertian tentang gratifikasi seks yang tidak lama ini terjadi belum ada pengertian secara eksplisit. Akan

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang mengaturnya, karena hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dihimpun oleh : JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI

Lebih terperinci

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi?

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi? TRANSKRIP WAWANCARA Subjek bernama Ahmad Baharudin Naim Pekerjaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang sejak tahun 2011. Sebelum menjadi hakim, narasumber merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB II HUKUM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI A.Beberapa Ketentuan Khusus dalam Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Pekerjaan pembuktian adalah pekerjaan yang paling utama di antara proses panjang penegakan

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 PENETAPAN PENGADILAN TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK DIMULAINYA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PASAL 26 UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 JUNCTO PERPU NOMOR 1 TAHUN 2002 1 Oleh :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN

BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN 31 BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN 3.1. Pengaturan Pembuktian SMS Dalam KUHAP Short Message Service (Selanjutnya disingkat SMS) adalah salah satu bagian dari Teknologi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1) Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang digunakan dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah: a). Harus memenuhi unsur-unsur

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN Clara Lintang Parisca Mahasiswi Fakultas Hukum Atmajaya Yogyakarta Pendahuluan Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan larangan atau keharusan keharusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci