BAB II TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Utami Tanuwidjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut (J.C.T Simorangkir, dkk, 1983: 135). Pembuktian adalah kegaiatan membuktikan, membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan (Putra Akbar Saleh, 2013: 79). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2012: 274). Pengertian dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu pencarian kebenaran materiil di muka persidangan guna membuktikan kesalahan terdakwa menurut pasal yang didakwakan dengan menggunakan alat-alat bukti menurut undang-undang sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.
2 11 b. Macam-macam Teori atau Sistem Pembuktian (M. Yahya Harahap, 2012: ): 1) Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction-in Time) Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Ketentuan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan dengan keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa dapat dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini 2) Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction-Raisonee) Sistem pembuktian ini dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Pada sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan
3 12 yang logis dan benar-benar dapat diterima. Tidak sematamata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijk Bewijs Theorie) Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan dalam salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya atas kesalahan terdakwa. 4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatif Wettelijk Bewijs Theorie) Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem Undang- Undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Bertitik tolak dari uraian tersebut, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen:
4 13 a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang; dan b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Prakteknya, keyakinan hakim itu dapat dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi oleh suatu pembuktian yang cukup. Dengan demikian pada praktek penegakan hukum (dalam mengadili) kita lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang positif (M. Yahya Harahap, 2012: 185). c. Asas-asas Pembuktian Asas-asas yang mendasari dalam proses pembuktian hukum acara pidana antara lain: 1) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi : Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai alat bukti lain. Pengakuan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum sempurna atau bukan volledig bewijs kracht. Juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende bewijs kracht (M. Yahya Harahap, 2012: 257). 2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
5 14 Menurut Leden Marpaung yang mengutip pendapat Mr. H. H. Tirtaamidjaja menjelaskan bahwa peristiwaperistiwa dan keadaan-keadaan yang telah diketahui umum tidak memerlukan pembuktian, hal itu bukanlah dianggap telah diketahui oleh hakim, misalnya hal, bahwa anjing adalah binatang, atau bahwa hidup manusia itu tidak kekal ataupun bahwa emas kuning warnanya (Leden Marpaung, 2011: 26). 3) Kewajiban seorang saksi Kewajiban seorang saksi diatur dalam Pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa: Orang yang menjadi saksi setalah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berasarkan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. 4) Satu saksi bukan saksi (ulus testis nullus testis) Prinsip satu saksi bukan saksi (ulus testis nullus testis) dimuat didalam Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap berbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) keterangan satu saksi bukan saksi hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini disimpulkan dari Pasal 184 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: Dalam acara pemerisaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Jadi ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk atau
6 15 keterangan tedakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalamm perkara cepat (Andi Hamzah, 1985: 249). 5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Keterangan terdakwa dalam persidangan di pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 189 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan tehadap dirinya sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang didalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti bagi dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masingmasing keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat digunakan pada keterangan terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2012: 321). 2. Tinjauan tentang Alat Bukti Hukum Acara Pidana Indonesia hanya mengakui alat bukti yang sah mennurut ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal-hal yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Alat bukti yang sah menutut Pasal 184 ayat (1)
7 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut: a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Terdapat perluasan pengertian keterangan saksi, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU- VIII/2010 yaitu pengertian saksi menurut Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila tidak dimaknai, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurangkurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti saksi (M. Yahya Harahap, 2012: 286). Saksi menurut sifatnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
8 17 1) Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa) Saksi ini adaalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian akan memberatkan terdakwa. 2) Saksi A De Charge (saksi yang meringankan atau menguntungkan terdakwa) Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan akan meringankan atau menguntungkan terdakwa (Andi Sofyan, Abd. Asis, 2014: 242). b. Keterangan Ahli Kata ahli menurut Karim Nasution dalam bukunya Djoko Prakoso, dapat disimpulakan bahwa seorang ahli bukan berarti seseorang yang telah memperoleh suatu pendidikan khusus atau orang yang memiliki penilaian tertentu. Sehingga ahli belum tentu spesialis di lapangan suatu ilmu pengetahuan tertentu, karena menurut hukum acar pidana ahli ialah setiap orang yang mempunyai lebih banyak pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal tertentu (Djoko Prakoso, 1988: 83). Menurut Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi bahwa: Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seoang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat keterangan suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. c. Surat Menurut Sudikno Mertokusimo (2014: 264) dalam bukunya Andi Sofyan dan Abd. Asis mengatakan bahwa alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi
9 18 hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Selain Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan keterangan tentang alat bukti, alat bukti surat hanya diatur dalam satu Pasal saja, yaitu pada Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut ketentuan tersebut surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah: 1) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan 2) Surat yang dikuatkan dengan sumpah d. Petunjuk Menurut Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah: (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
10 19 e. Keterangan Terdakwa Secara impisit penjelasan tentang pengertian terdakwa sebagai alat bukti terdapat dalam Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 3. Tinjauan teantang Saksi Verbalisan a. Pengertian Saksi Verbalisan Ketentuan tentang saksi verbalisan ini belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturanperaturan lainnya di Indonesia, namun dalam prakteknya saksi verbalisan ini banyak dijumpai di dalam ranah hukum acara pidana di Indonesia. Menurut praktek penegakan hukum acara pidana, saksi verbalisan atau saksi penyidik adalah penyidik yang kemudian menjadi saksi suatu perkara pidana di muka persidangan karena terdakwa mengatakan bahwa keterangan yang dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibuat dalam keadaan dibawah tekanan atau terdapat perbedaan keterangan saksi dengan yang tertulis di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penjelasan tentang dapat dihadirkan saksi verbalisan dalam pembuktian di sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim sebagai klarifikasi terdapat dalam Pasal 163 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: Jika keterangan saksi di persidangan berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi akan hal itu serta meminta keterangan
11 20 mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan persidangan. b. Alasan Keterangan Saksi Verbalisan Kehadiran saksi verbalisan atau saksi penyidik ini kerap dijumpai di muka persidangan karena terdakwa membantah tuduhan karena berita acara yang telah dibuat oleh penyidik diberikan dalam keadaan tertekan atau dibawah paksaan. Namun kehadiran penyidik sebagai saksi umumnya membantah, jadi dapat dikatakan bahwa saksi verbalisan hampir tidak pernah mengakui perbuatannya. Terlepas dari praktek-praktek demikian, dengan kehadiran seorang saksi penyidik dalam persidangan, hakim dapat mendapatkan informasi mengenai latar belakang suatu perkara secara kronologis. Apakah sebelumnya sudah mencukupi alatalat bukti permulaan, sebelum dilakukan penyelidikan terhadap seseorang. Pada pokoknya dengan bertanya kepada penyidik, bisa diketahui secara lengkap, mulai dari laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana (Lily Rosita, 2003: 50). 4. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim dalam Pengambilan Keputusan a. Pengertian Putusan Pengadilan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Putusan hakim itu merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural
12 21 hukum acara pidana pada umumnya, berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan segala tujuan menyelesaikan perkara (Lilik Mulyadi, 2007: 121). Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Ada beberapa jenis bentuk putusan yang dapat mereka jatuhkan sesuai dengan hasil yang mereka mufakati (M. Yahya Harahap, 2012: 347). b. Macam-macam Putusan Pengadilan Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak pada surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan. Bertitik tolak pada kemungkinankemungkinan yang akan terjadi, menurut Taufik Makarao putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara pidana dapat berbentuk sebagai berikut (2004: ): 1) Putusan Bebas (vrijspraak) Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. 2) Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (ontslag van recht vervolging) Pasal 191 ayat (2) mengatakan bahwa: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
13 22 didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan ini semua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti secara sah, akan tetapi hal yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana atau dengan kata lain perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana. Sehingga hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 3) Putusan Pemidanaan (veroordeling) Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai ketentuan Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terhadap putusan ini sebenarnya tidak ada masalah karena hal yang didakwakan oleh penuntut umum terbukti dan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Hanya saja menjadi permasalahan apabila terhadap putusan pemidanaan ini kemudian terpidana ditahan lalu dibebaskan lagi dengan berbagai alasan sehingga akan mencederai penegak hukum. c. Dasar Pertimbangan Hakim Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Kemudian kata mengadili sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur,
14 23 dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus memutus sesuai dengan tujuan hukum yaitu keadilan, kemufakatan, dan kepastian hukum. Bahwa hakikatnya pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian suatu unsur-unsur dari suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut menemui dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut umum. Sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar/dictum putusan hakim (Lilik Mulyadi, 2007:193). Pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis. 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dibuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain: a) Dakwaan jaksa penuntut umum b) Keterangan terdakwa c) Keterangan saksi d) Barang-barang bukti e) Pasal-Pasal dalam peraturan pidana 2) Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis Hal-hal yang dimaksud didalam pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis antara lain yaitu (Muhammad Rusli, 2007:94) : a) Latar belakang terdakwa
15 24 Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pasa diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal b) Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam. c) Kondisi terdakwa Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa: mendapat tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat. d) Agama terdakwa Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata Ketuhanan pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.
16 25 5. Tinjaun tentang Anak a. Pengertian Batas Usia Anak Melakukan perlindungan terhadap anak pasti diawali dengan pertanyaan tentang berapa batasan usia anak. Dengan kaitan itu, pengaturan tentang batasan anak dapat dilihat pada: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) memuat batas anak belum dewasa dengan telah dewasa yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara laian pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun, serta ada Pasal 283 yang memberikan batasan usia 17 tahun. 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang. 4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Berdasarkan ketetntuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan. 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
17 26 Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, maka anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin. 6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 tahun. 7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang maish dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. 8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian usia anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak tidak ada perubahan. 9) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah Menurut ketentuan ini anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
18 27 10) Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Menurut hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistik. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. 11) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 butir 3 yang menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Penjelasan tentang anak yang menjadi korban juga dijelaskan dalam Pasal 1 butir 4 yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Sedangkan penjelasan tentang anak yang menjadi saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 5 yaitu anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. b. Sanksi Pidana terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Sanksi yang dapat diberikan kepada orang yang belum dewasa secara umum telah diatur dalam Pasal 45 KUHP yaitu dapat berupa pengembalian kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan
19 28 supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, , 514, , 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Sehubungan dengan berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, sanksi umum dikesampingkan dan berlakulah sanksi khusus yang dapat diberikan kepada anak nakal, yaitu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengaturnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Bab III dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Bab V tentang Pidana dan Tindakan. Secara garis besar, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan terdiri dari dua, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Penyidik menerima perkara anak berasal dari laporan, aduan dan kemungkinan penyidik mengetahui sendiri. Bersamasama dengan Bapas, pihak korban dan pihak orang tua pelaku serta LSM, penyidik mengadakan musyawarah untuk menentukan tindakan selanjutnya dalam perkara anak nakal yang bersangkutan. Tindak lanjut dari penyidikan ini untuk menentukan apakah anak nakal tersebut perlu diteruskan kepada penuntutan atau dilakukan diversi. Di dalam penentuan ini perlu ada pemberitahuan dan kesepakatan dengan orang tua wali atau pihak lain yang berperan untuk menentukan bagaimana perlakuan terhadap anak nakal tersebut (Juhadi, 2013). Sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok
20 29 ada lima macam sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dengan lembaga, dan penjara. Sedangkan untuk pidana tambahan yaitu perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau pemenuhan kewajiban adat. Sanksi lain bagi anak pelaku tindak pidana yang berupa tindakan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dapat diketahui bahwa tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi: pengembalian kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swast, pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana. 6. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan adalah suatu tidakan dilakukan untuk menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Tindak pidana pembunuhan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa jenis, antara lain: a. Pembunuhan Biasa Menurut Pasal 338 KUHP berbunyi bahwa: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. b. Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340 KUHP berbunyi bahwa: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
21 30 hidupatau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. B. Kerangka Pemikiran Perkara Pembunuhan oleh Anak Secara Bersama-sama (Pasal 338 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP) Alat Bukti (Pasal 184 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana) Pembuktian Saksi Verbalisan Pasal 183 jo Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Pertimbangan Hakim Pasal yang Didakwakan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1131/Pid.An/2013/PN.Jkt.Sel
22 31 Keterangan: Kerangka pemikiran diatas, maka akanmenjelaskan alur pemikiran penulis dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) mengenai argumentasi pembuktian dengan menghadirkan saksi verbalisan dan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa anak pelaku pembunuhan secara bersama-sama. Cara berfikir mulai dari perkara terbunuhnya seorang pengamen cilik yang bernama Dicky Maulana di daerah Cipulir yang melibatkan enam anak sebagai terdakwa pembunuhan secara bersama-sama. Dalam persidangan para terdakwa mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah dibuat oleh para penyidik. Alasan yang dikemukakan para terdakwa dalam mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut karena para terdakwa berada dibawah tekanan dan siksaan. Karena pencabutan berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh para terdakwa, maka penuntut umum menghadirkan saksi verbalisan di dalam persidangan untuk membuktikan kebenaran alasan para terdakwa tersebut. Namun keterangan dua polisi anggota Polsek Metro Kebayoran, Yudi Pendi dan Dwi Kustianti yang dihadirkan di persidangan berbeda dan tidak sinkron mengenai waktu kejadian. Sehingga menjadi perhatian penulis untuk mengetahui penilaian hakim atas pembuktian dengan menghadirkan saksi verbalisan, dihubungkan dengan keterangan para terdakwa, untuk membuktikan bagi para terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Berdasarkan penjabaran keterangan kerangka pemikiran di atas adalah guna untuk mengkaji apakah argumentasi pembuktian dengan menghadirkan saksi verbalisan serta pertimbangan hukum hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa anak pelaku pembunuhan secara bersama-sama sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP
BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya
Lebih terperinciBAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA
79 BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia Pengertian anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk
Lebih terperinciBAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum
Lebih terperinciRancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.
KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian
Lebih terperinciPenerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pada Umumnya Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciBAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya
BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia
Lebih terperinciperadilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk
BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciKEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau
Lebih terperincidikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.
12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke- Empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah
Lebih terperinciKitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis
BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana menurut Pasal 6 Ayat (2) KUHAP, bahwa Tidak
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui
BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.
Lebih terperinciHukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual
Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan
Lebih terperinciTUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM
TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran
Lebih terperinciKekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak I. PEMOHON Komisi Perlindungan Anak Indonesia; Yayasan Pusat Kajian Dan Perlindungan
Lebih terperinciALUR PERADILAN PIDANA
ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang
Lebih terperinciBAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan
Lebih terperincicommit to user BAB I PENDAHULUAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan
Lebih terperinciAbstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:
Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim
Lebih terperinciPerbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak
Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Lebih terperinci2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan
16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinci: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK
Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan landasan dasar dari pelaksanaan pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana guna mencari dan menemukan suatu kebenaran
Lebih terperinciKEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2
KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya
Lebih terperinciPENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah
Lebih terperinciBAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada ketentuan peraturan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciMEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN
MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah
Lebih terperinciKEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciKAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)
KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) Oleh: Ahmad Rifki Maulana NPM : 12100082 Kata Kunci : Pembunuhan berencana, pembuktian, hambatan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi
14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri
Lebih terperinciLex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 A B S T R A K Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka penelitian ini merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan makmur kondisi ekonomi,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian
Lebih terperinciBAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011
BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
Lebih terperinciBAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti
BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai
Lebih terperinci