BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS SLB TUNARUNGU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS SLB TUNARUNGU"

Transkripsi

1 BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS SLB TUNARUNGU BINA KOMUNIKASI PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT KURIKULUM Jakarta, Mei 2010

2 LAMPIRAN LAPORAN 6 KEGIATAN PENELAAHAN DAN PERBAIKAN MODEL BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS BINA KOMUNIKASI PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA

3 TIM PENGEMBANG BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS BINA KOMUNIKASI PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA 1. Murni Winarsih, M.Pd. Dosen PLB FIP Universitas Negeri Jakarta 2. Hj. Tri Wanti, S.Pd. Kepala SDLB-B Santi Rama Jakarta 3. M. Fajar Podangsih Guru SDLB-B Santi Rama Jakarta 4. Wahyu Rinaningsih, S.Pd. Guru SDLB-B Pangudi Luhur Jakarta 5. Panigoran Nasution, S.Pd. Guru SDLB Negeri 1 Jakarta 6. Drs. NS Vijaya KN, M.A. Pusat Kurikulum 7. Drs. Bunyamin, M.Pd. Pusat Kurikulum 8. Suharyadi, S.E., M.Pd. Pusat Kurikulum Editor 1. Dra. Diah Harianti, M.Psi. 2. Drs. NS Vijaya KN, M.A. 3. Drs. Bunyamin, M.Pd. 4. Suharyadi, S.E., M.Pd. i

4 KATA PENGANTAR Bahan ajar program khusus bina komunikasi persepsi bunyi dan irama(bkpbi) merupakan acuan untuk pembaca, pendidik, pemerhati anak tunarungu yang berminat agar lebih memahami masalah anak tunarungu dalam berkomunikasi melalui BKPBI dengan tahapan-tahapannya. Bahan ajar ini juga dapat membantu guru-guru sekolah luar biasa tunarungu yang dapat diadopsi dan diadaptasi. Bahan ajar ini disusun oleh Tim Pengembang Kurikulum dari Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional; ahli dari perguruan tinggi, guru, dan kepala sekolah. Dalam proses pengembangannnya juga telah diujicobakan ke SLB-SLB di lima provinsi, yakni: Sumatra Selatan; Jawa Barat, DI Yogyakarta; Jawa Timur; dan Bali. Berkenaan dengan itu, diucapkan terima kasih kepada seluruh pengembang dan kontributor atas jerih payah, masukan, informasi, pendapat, dan saran-sarannya yang berguna bagi terwujudnya bahan ajar ini. Tidak ada gading yang tak retak, kami mengharap masukan dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan bahan ajar ini Jakarta, Juni 2010 Kepala Pusat Kurikulum Diah Harianti ii

5 DAFTAR ISI hal SAMPUL TIM i PENGEMBANG KATA ii PENGANTAR.. DAFTAR iii ISI. BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar 1 Belakang B. Tujuan Penulisan Bahan 3 Ajar... C. Sasaran 3 D. Sistematika Penulisan 3 E. Ramburambu.. 4 BAB II HAKEKAT ANAK 5 TUNARUNGU.. A. Pengertian 5 B. Klasifikasi 6 C. Karakteristik.. 9 D. Dampak Ketunarunguan terhadap Kemampuan 10 Berbahasa. BAB III BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS 13 BKPBI A. Pengertian.. 13 iii

6 B. Perlunya Program 14 BKPBI C. Tujuan Umum dan Tujuan 16 Khusus.. D. Tujuan Setiap 17 Tahapan. E. Sarana 17 BKPBI F. Pelaksanaan BKPBI 19 BAB IV PENUTUP. 70 GLOSARIUM 71 DAFTAR 72 PUSTAKA. iv

7 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat yang tidak bisa disia-siakan, seperti yang termaktub dalam Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini berarti pendidikan harus dapat melayani semua warga negara termasuk anak luar biasa, atau berkelainan, yaitu mereka yang mempunyai jenis kelainan/penyimpangan dalam segi jasmani, kedriaan, intelektual, sosial, dan emosional, atau gabungan dari segi-segi kelainan tersebut sehingga untuk mencapai perkembangan kapasitas yang maksimum. Sebagai turunan UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pada Pasal 5 Ayat (2) dan pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Secara yuridis formal anak luar biasa memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikannya diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa [UUSPN Pasal 4 ayat (1)]. Sebagai suatu upaya melayani dan meningkatkan mutu pendidikan anak luar biasa, salah satu tugas pokok dan fungsi Pusat Kurikulum adalah melaksanakan pengembangan model-model kurikulum dan pembelajaran pada berbagai satuan pendidikan. Di antaranya adalah pengembangan bahan ajar pendidikan khusus untuk Sekolah Luar Biasa (SLB). 1

8 Pada tahun 2009 Pusat Kurikulum telah mengembangkan bahan ajar untuk anak tunagrahita dan autis. Selanjutnya hasil pemantauan di lapangan melalui bantuan teknis profesional, populasi yang terbanyak setelah tunagrahita adalah tunarungu (DIT PSLB, 2005) juga kurangnya sumber, referensi, data, dan model yang dimiliki oleh para guru SLB tunarungu perlu disediakan model bahan ajar yang dapat diadopsi dan diadaptasi. Selanjutnya, pada tahun 2010 Pusat Kurikulum menimbang fakta empiris, memperhatikan undang-undang yang berlaku, maka diputuskan dan ditetapkan berbagai kegiatan antara lain: mengembangkan bahan ajar program khusus Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI). BKPBI merupakan program khusus yang wajib diikuti oleh peserta didik di sekolah luar biasa tunarungu mulai dari usia dini yang dalam pelaksanaannya tidak bersifat formal namun terprogram, dilanjutkan di Taman Kanak-kanak Luar Biasa Tunarungu (TKLB-B), Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB-B), sampai dengan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunarungu (SMPLB-B). Kegiatan pengembangan model bahan ajar merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Pusat Kurikulum dalam penyiapan bahan kebijakan bagi pengembangan standar isi dan standar proses, pengembangan model dan inovasi kurikulum, pengembangan sarana dan prasarana pembelajaran, pelayanan profesional pengembangan kurikulum, silabus dan pembelajaran, serta pemantauan penerapan standar isi dan standar proses. Pengembangan model-model kuriklum dan bahan ajar ini dapat menjadi acuan bagi sekolah untuk memaksimalkan kualitas penerapan bahan ajar yang digunakan, dengan harapan dapat mendukung rencana strategis Kementerian Pendidikan Nasional bidang penelitian dan pengembangan pendidikan dalam upaya penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu kepada Standar 2

9 Nasional Pendidikan, sedangkan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan bahan ajar beserta sarana pendukung pembelajaran yang disusun oleh satuan pendidikan meliputi seluruh mata pelajaran-mata pelajaran jenjang pendidikan dasar dan menengah seperti yang diatur pada standar isi. Perlu diketahui bahan ajar ini selain untuk memberikan pedoman kepada guru guna melatih anak tunarungu memaksimalkan sisa pendengaran yang masih dimiliki juga akan membentuk sikap dan karakter yang berlandaskan nilai-nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat dan komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Melalui nilai-nilai di atas diharapkan dapat membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, tak terkecuali anak-anak tunarungu. Dengan demikian, model bahan ajar perlu disusun sesuai dengan kondisi, kebutuhan, potensi dan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik yang dapat digunakan sebagai (1) acuan atau referensi bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum, silabus dan bahan ajar dan (2) bahan untuk diadaptasi atau diadopsi oleh satuan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. B. Tujuan Penulisan Bahan Ajar Model bahan ajar ini disusun agar dapat digunakan, diadopsi, diadaptasi, ataupun diinovasi oleh satuan pendidikan dalam mengembangkan bahan ajar mandiri yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan, situasi, dan karakteristik peserta didik, satuan pendidikan atau daerah setempat. 3

10 C. Sasaran Model bahan ajar ini secara umum ditujukan untuk pembaca, pendidik, pemerhati anak tunarungu yang berminat agar lebih memahami masalah anak tunarungu dalam berkomunikasi melalui BKPBI dengan tahapan-tahapannya. Bahan ajar ini juga dapat membantu guru-guru sekolah luar biasa tunarungu yang dapat diadopsi dan diadaptasi. D. Sistematika Penulisan Saat ini sumber-sumber yang membahas secara khusus tentang ketunarunguan masih minim, terlebih yang membahas mengenai program khusus BKPBI bagi anak tunarungu. Oleh karena itu dalam bahan ajar yang terdiri dari empat bab ini, dengan fokus terbesarnya pada bagaimana proses pelaksanaan BKPBI bagi anak tunarungu melalui beberapa tahapan yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan komprehensi diharapkan dapat menjadi alternatif sumber bagi guru pendidikan luar biasa yang mengajar anak tunarungu. Bahan ajar ini terdiri dari empat bab. Pertama, berisi tentang latar belakang mengapa bahan ajar ini disusun, diperuntukan bagi siapa bahan ajar ini, sistematika penulisan serta rambu-bambu, bab kedua berisi mengenai hakekat ketunarunguan yang membahas tentang pengertian anak tunarungu, klasifikasi, karakteristik, dan dampak ketunarunguan terhadap kemampuan berbahasa anak tunarungu, bab ketiga membahas mengenai pengertian BKPBI, perlunya program BKPBI, tujuan umum dan tujuan khusus BKPBI, tujuan setiap tahapan, sarana yang diperlukan dalam BKPBI dan pelaksanaan BKPBI yang terdiri dari deteksi, diskriminasi, identifikasi serta komprehensi, bab keempat diakhiri dengan penutup, glosarium, dan daftar pustaka. 4

11 E. Rambu- rambu 1. Pelaksanaan bahan ajar BKPBI Bahasa dilaksanakan sesuai dengan situasi kondisi di lapangan (sarana, siswa, dan tenaga guru ). Guru diberi wewenang untuk menentukan kompetensi mana yang sesuai dengan kondisi anak. 2. Materi pokok bahan ajar ini telah diurutkan sesuai dengan prinsip dasar BKPBI Bahasa, dimulai dengan mendeteksi ada tidak adanya bunyi, mendiskriminasi, mengidentifikasi, dan mengkomprehensikan bunyi makna bahasa. 3. Ada sebagian materi yang disajikan dalam bahan ajar ini belum tercantum dalam Standar Kompetensi, untuk itu kami menambahkannya. 4. Model bahan ajar ini dapat dipakai secara fleksibel kapanpun dan usia berapapun siswa mulai diterima di sekolah, tidak tergantung pada urutan jenjang satuan pendidikan dan umur anak. 5. Inisiatif dan kreativitas guru sangat diharapkan agar pembelajaran BKPBI Bahasa menarik, menantang, berakhir menyenangkan bagi siswa, dan hasilnya memuaskan. 6. Agar tujuan tercapai hendaknya latihan dilaksanakan secara tersruktur, terprogram, dan berkesinambungan, dengan memperhatikan ketunarunguan, kecerdasan, kondisi alat bantu mendengar (ABM), dan motorik anak. 7. Keterampilan guru akan terlatih dengan melaksanakan BKPBI Bahasa. 8. BKPBI Bahasa merebak di semua mata pelajaran bahkan berlangsung sepanjang hari, tidak tergantung pada jam pelajaran BKPBI saja. 9. Agar tujuan tercapai perlu dilaksanakan penilaian secara obyektif dan kualitatif sesuai dengan kompetensi, kecerdasan, sisa pendengaran anak, penggunaan ABM, metode, pendekatan pemilihan materi, bahasa yang bermakna, dan peralatan yang menunjang. 10. Pembelajaran BKPBI ini berakhir dengan menyenangkan. 5

12 HAKEKAT ANAK TUNARUNGU A. Pengertian Istilah tunarungu secara etimologi dari kata tuna dan rungu, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa mereka tunarungu. Untuk mengetahui lebih lanjut hakikat tunarungu, di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat, antara lain Van Uden (1977), sebagai berikut: A deaf person is one whose hearing is disabled to an extent (ussualy 70 db ISO or greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. A hard of hearing person is one whose hearing is disabled to an extent (ussualy 35 to 69 db ISO) that makes difficult, but does not precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of a hearing aid. Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan tuli jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 db ISO atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 db sampai 69 db ISO, sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaran orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar(abm). Donald F. Morees (1978: 3) dalam Somad dan Herawati (1996: 26), mendefinisikan tunarungu sebagai berikut: Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound it concludes the sub sets of deaf and hard of hearing. A deaf person in one whose hearing disability preclude succesful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing og linguistic information through auditon. 6

13 Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. B. Klasifikasi Untuk keperluan layanan pendidikan khusus, para ahli berpendapat klasifikasi mutlak diperlukan. Hal ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang pembelajaran yang efektif. Dengan menentukan tingkat kehilangan pendengaran dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus yang tepat, akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara. Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut Boothroyd (1982,8) seperti pada gambar Klasifikasi dan karakteristik ketunarunguan di bawah ini didasarkan pada Kelompok I : Kehilangan db, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. Kelompok II : Kehilangan db, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagaian. Kelompok III : Kehilangan db: severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada. Kelompok IV : Kehilangan db: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali. 7

14 Kelompok V : Kehilangan lebih dari 120 db : total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Tanpa Amplifikasi Dengan Amplifikasi Klasifikasi Ketunarunguan Berdasarkan Tingkat Kehilangan Berdasarkan saat Terjadinya Kehilangan Berdasarkan Tempat Kerusakan Berdasarkan Taraf Penguasaan Bahasa db Ringan db Sedang db Sedang- Berat db Berat > 91 db Sangat- Berat Tunarungu Bawaan Tunarungu Setelah Lahir Tuli Konduktif Tuli Sensoris Tuli Pra Bahsa Tuli Purna Bahasa Gambar: Klasifikasi Ketunarunguan Selanjutnya, Boothroyd (1982) mendeskripsikan ketunarunguan berdasar amplifikasi dan tanpa amplifikasi terkait dengan derajat ketulian. Deskripsi ini dapat dilihat pada table dibawah ini: 8

15 Audibility of Conversational speech Discrimination Capacity for Speech Learning Modality Audibility of Conversational speech Discrimination Capacity for Speech Learning Modality Db Mild Normal Normal Auditory Normal Normal Auditory db Moderate Partial Almost Normal Auditory With Normal Almost Normal Auditory Support From Vision db Severe None Irrelevant Visual Normal Good* Auditory With Support From Vision db Profound None Irrelevant Visual Normal Poor* Auditory With Support From Vision 121 db or more Total None Irrelevant Visual None Irrelevant Tabel Klasifikasi Ketunarunguan Menurut Boothroyd (1982: 46) Visual * Main problems are with discrimination of voice quality differences and place of articulation of consonants ** Main benefits of hearing are in recognition of rhym and intonation and discrimination of certain vowel differences 9

16 Dari tabel di atas, dapat disimak bahwa derajat ketulian db dikategorikan ringan, dengan kemampuan mendengar untuk bicara dan membedakan suara-suara atau sumber bunyi, dalam taraf normal. Modalitas belajar pada derajat ini menggunakan auditori. Begitu juga jika menggunakan alat bantu dengar. Derajat ketulian db dikategorikan sedang, dengan kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara hampir normal serta modalitas belajar auditori dengan bantuan visual. Namun jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya dapat menjadi normal dan modalitas belajarnya auditori. Derajat db dikategorikan berat. Kemampuan mendengar dan kapasitas membedakan suara tidak ada, modalitas belajarnya dengan bantuan visual. Namun jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar dapat kembali normal dan kapasitas membedakan suara bisa menjadi baik, serta modalitas belajarnya auditori dengan bantuan penglihatan. Derajat ketulian db, tergolong sangat berat. Kemampuan bicara dan kapasitas membedakan sumber bunyi sudah tidak ada dengan modalitas belajarnya visual. Namun jika menggunakan alat bantu mendengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya normal, sedangkan kapasitas membedakan suara, buruk. Walaupun begitu pada taraf ini masih mampu mengenal irama dan intonasi. Modalitas belajar pada tingkatan ini adalah auditori dengan bantuan penglihatan. Derajat ketulian lebih dari 120 db, sudah tidak mampu mendengar. Kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara tidak ada, walaupun dengan bantuan alat bantu mendengar. Modalitas belajar tanpa atau dengan alat bantu mendengar hanya mengandalkan visual. C. Karakteristik Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan Yuwati (2000) mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu atau dikenal dengan karakteristik dari tunarungu yaitu: 10

17 1. Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikiran secara berlebihan. Sehingga mereka sulit menyesuaikan diri. Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin memperkuat sifat egosentis ini. 2. Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sulit bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang. 3. Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya. 4. Sifat lekas marah dan mudah tersinggung 5. Perasaan ragu-ragu dan khawatir Seiring dengan pengalaman yang dialaminya secara terus-menerus, mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat tetap survived. Oleh karena itu untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan upaya latihan artikulasi dan bicara yang komunikatif, serta membaurkan anak tunarungu ke dalam komunitas anak yang mendengar dan tidak mendengar, agar termotivasi untuk berkomunikasi sehingga rasa rendah diri dan terisolasi dapat diatasi dan berkembang menjadi rasa percaya diri. D. Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan mendengar, tentunya akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi penderitanya. Sementara pendidikan memiliki peran penting dalam 11

18 kemampuan berpikir seseorang. Dalam hal ini, masa kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang diutarakan Bloom (2003) dalam Mahesa (2005), bahwa separuh perkembangan intelektual anak berlangsung sebelum usia empat tahun. Lebih jelas lagi, menurut Landshears (2004) dalam Mahesa (2005), pada usia empat tahun, perkembangan intelektual mencapai 50 %, selebihnya 30 % untuk 4-8 tahun, dan 20 % usia 9-17 tahun. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden, 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho, 2004). Artinya tanpa pendidikan khusus, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya. Penguasaan bahasa pada anak mendengar terjadi secara wajar, yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun, mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa (postlingual) yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu menerapkan aturan bahasa yang digunakan di lingkungannya. Sedangkan bagi anak tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12 tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5 tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang ditangani secara profesional oleh ahli yang bersangkutan. Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa 12

19 dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis. Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa anak tunarungu sebagai akibat dari ketunaanya, seyogyanya menjadi acuan bagi para pendidik dan pengambil kebijakan, karena di situlah terletak kebutuhan pendidikan khusus mereka. Dan selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan anak tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan khusus tersebut. 13

20 BAHAN AJAR PROGRAM KHUSUS BKPBI A. Pengertian Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama bukan merupakan suatu bidang studi khusus, namun merupakan suatu proses penilaian untuk memperoleh gambaran terhadap performa siswa dalam mendeteksi dan memahami bunyi. Hyde (1991) mengemukakan bahwa kegiatan BKPBI dapat dibedakan dalam : 1) asesmen kemampuan dengar (hearing assessment) yang dipresentasikan oleh audiogram sebagai hasil pengukuran klinis serta terkait dengan pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dan 2) keterampilan menyimak/mendengarkan (listening skill) yang berkaitan dengan seberapa jauh penyandang tunarungu masih bisa memanfaatkan pendengarannya untuk mempersepsi dan memahami bunyi-bunyi terutama bunyi cakupan/wicara dalam lingkungan hidup yang wajar. Mengingat BKPBI tertuang dalam struktur kurikulum sebagai program khusus dalam pendidikan anak tunarungu serta dengan memperhatikan uraian Hyde di atas, maka konsekuensi logis dalam persekolahan tunarungu selayaknya dilakukan pemeriksaan pendengaran secara periodik untuk mengetahui tingkat kehilangan pendengaran anak. Dengan latihan-latihan keterampilan menyimak atau mendengarkan diharapkan syaraf-syaraf pendengaran yang tidur (letargik) akan menjadi lebih peka terhadap rangsangan bunyi. Hal ini senada dengan pendapat Subarto (1993: 66) : Yang dimaksud dengan BKPBI ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi. Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar 14

21 belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, seperti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, Oh kalian dengar suara motor ya? Suaranya brem... brem... brem... benar begitu?. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi. B. Perlunya Program BKPBI Melalui layanan BKPBI, diharapkan penyandang tunarungu dapat mendeteksi bunyi, mengidentifikasi bunyi, mendiskriminasikan bunyi, dan pada akhirnya memahami bunyi, baik bunyi alat-alat musik, bunyi latar belakang, dan sifat-sifat bunyi maupun bunyi-bunyi bahasa. Oleh karena itu materi-materi BKPBI non bahasa selayaknya dikaitkan dengan unsur-unsur pembentukan bahasa, khususnya pada aspek fonem dan konsonan (segmental) dan irama, tempo, cepat-lambat, jeda, dan intonasi (suprasegmental) Materi Bina Komunikasi Persepsi dan Irama dikembangkan sesuai dengan daya dengar anak tunarungu walaupun anak tidak menggunakan ABM. Latihan harus tetap diberikan bagi anak yang tergolong tunarungu sangat berat. Materi BKPBI tersebut mencakup : 1. Bunyi latar belakang 2. Berbagai macam sifat bunyi di sekitar kita baik bunyi hewan, alam, maupun bunyi yang diciptakan manusia. Materi dalam BKPBI sebaiknya sesuai dengan metode yang sesuai. Menurut Boskosumitro, metode BKPBI di antaranya adalah : 1. Belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar. Bermain merupakan suatu kegiatan yang sukar dipisahkan dari masa kanak-kanak, maka dalam suasana bermain diharapkan anak akan tumbuh rasa senang. 2. Metode pemberian tugas adalah suatu kegiatan melakukan tugas atas petunjuk dari guru, di mana anak diberi rangsangan yang perlu direspon 15

22 dengan perbuatan tertentu seperti melakukan gerak yang sudah ditentukan, bicara, dan sebagainya. 3. Metode demonstrasi adalah metode di mana anak diminta menirukan atau mencontoh gerakan dari guru seperti: menirukan katak melompat, burung, atau kupu-kupu terbang, petani mencangkul, dan sebagainya. 4. Metode observasi atau pengamatan terhadap respon atau perbuatan anak. Dengan cara ini, guru dapat mengamati kemudian menilai reaksi anak. Pelaksanaan BKPBI tidak boleh terlepas dari pembelajaran wicara. Oleh karena itu pemilihan metodenya pun sebaiknya dikaitkan dengan metode yang digunakan di dalam pembelajaran wicara. Metode yang sangat sesuai adalah metode pemberian tugas dan demonstrasi. Dengan menerapkan metode ini diharapkan anak memperoleh pengalaman dan penghayatan lewat suatu proses penemuan sendiri. Program BKPBI secara ringkas isinya mencakup tiga taraf penghayatan bunyi yang berjenjang mulai dari taraf penghayatan bunyi yang terendah sampai dengan yang paling tinggi. Taraf penghayatan bunyi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Taraf Penghayatan Bunyi Latar Belakang Bunyi latar belakang adalah bunyi-bunyi yang disengaja ataupun tidak disengaja dan terjadi di sekitar kita. Bunyi latar belakang mencakup : 1) Bunyi-bunyi alam seperti angin, hujan, gemericik air, benda jatuh, 2) Bunyi-bunyi binatang seperti burung berkicau, anjing menggonggong, kuda meringkik, 3) Bunyi-bunyi yang dibuat oleh manusia seperti : musik, tangisan, tertawa, teriakan, bunyi kendaraan. 2. Taraf Penghayatan Bunyi sebagai Isyarat atau Tanda Bunyi-bunyi semacam ini, memanggil atau mendorong orang untuk menyesuaikan diri terhadap suatu situasi tertentu seperti : bunyi bedug sebagai tanda waktu sholat bagi umat Islam, bunyi lonceng sebagai tanda 16

23 untuk berdoa bagi umat Kristen, bunyi bel sebagai tanda waktu sekolah mulai istirahat atau usai. 3. Taraf lambang bunyi yang tertinggi adalah penghayatan bunyi bahasa Bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat, meliputi dua bidang, yaitu sebagai berikut : 1) Bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia, berfungsi sebagai lambang dari arti yang terkandung di dalamnya, 2) Arti atau makna yang tersirat atau terkandung di dalam arus bunyi tadi. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu: 1. Pendekatan multisensoris (visual, auditoris, taktil kinestesis/pengalaman kontak) sedikit demi sedikit menuju pendekatan unisensoris atau eka indera artinya hanya menggunakan indera pendengaran saja. 2. Pendekatan klasikal maupun individual 3. Pendekatan BKPBI aktif, yaitu siswa secara aktif menciptakan bunyi dan direspon sendiri. Pendekatan pasif maksudnya siswa menyimak bunyi yang diproduksi oleh orang lain dan kemudian meresponnya 4. Pendekatan formal artinya direncanakan/diprogramkan dan tak formal artinya tidak direncanakan jika terjadi bunyi secara tiba-tiba. C. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus BKPBI Secara umum BKPBI bertujuan agar kepekaan sisa pendengaran anak dan perasaan vibrasi anak semakin terlatih untuk memahami makna berbagai macam bunyi, terutama bunyi bahasa yang sangat menentukan keberhasilan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya dengan menggunakan ABM atau tanpa ABM. 17

24 Secara khusus tujuan BKPBI adalah sebagai berikut : 1. Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anaknormal. 2. Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang. 3. Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas. 4. Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna. 5. Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar. D. Tujuan setiap tahapan 1. Deteksi Tujuan dari deteksi bunyi, yaitu anak menyadari adanya bunyi-bunyian latar belakang, bunyi suara manusia, dan bunyi suara binatang secara terprogram. 2. Diskriminasi Tujuan dari diskriminasi bunyi yaitu anak dapat membedakan dua macam sumber bunyi atau lebih yang berbeda timbrenya secara terprogram. 3. Identifikasi Tujuan dari identifikasi bunyi yaitu anak dapat menyebutkan ciri ciri dari bunyi-bunyi tertentu dan mampu mengenali bunyi-bunyi yang diperdengarkan baik melalui alat musik atau melalui suara manusia secara terprogram. 18

25 4. Komprehensi Tujuan dari komprehensi bunyi yaitu anak dapat memahami dan melakukan perintah sesuai bunyi yang diperdengarkan. E. Sarana BKPBI Dalam melaksanakan BKPBI dibutuhkan sarana antara lain: 1. Ruang untuk kegiatan pembelajaran BKPBI sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping). 2. Perlengkapan latihan BKPBI terdiri atas: a) Alat sebagai sumber bunyi Alat nonelektronik : lonceng, kentongan, gamelan, dan lainlain. Alat elektronik : tape recorder, salon, organ, piano, dan lainlain. b) Alat penunjang latihan Alat ini digunakan sebagai alat peraga ketika siswa merespon bunyi. Contoh : topeng, selendang, caping, kuda lumping. 3. Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik. Sarana BKPBI diatas idealnya dimiliki oleh setiap SLB B, namun apabila belum tersedia, pelaksanaan BKPBI harus tetap berjalan dengan menggunakan peralatan yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Yang perlu diingat adalah tahap-tahap pelaksanaan. 19

26 A. Pelaksanaan BKPBI 1. Bahan Ajar Kesatu Program Khusus : BKPBI Non Bahasa Standar Kompetensi : Mendeteksi bunyi-bunyi di sekitarnya dengan menggunakan alat bantu mendengar (ABM) atau tanpa menggunakan ABM, sebatas sisa pendengaran anak. Kompetensi Dasar : Menyadari ada dan tidak ada bunyi tertentu (lonceng) yang diperdengarkan langsung secara terprogram. Indikator : 1. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan bertepuk tangan. 2. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan melipat tangan. 3. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan membunyikan lonceng. 4. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan diam saja. 5. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan mengucapkan ada bunyi 6. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan mengucapkan tidak ada bunyi 7. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan menuliskan ada bunyi. 8. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan menuliskan tidak ada bunyi. 9. Mampu memberikan reaksi ada bunyi 20

27 lonceng dengan bermain peran pembeli es lilin. Tujuan Pembelajaran : Siswa mampu meningkatkan kepekaan fungsi pendengaran dan perasaan vibrasi untuk menyadari ada dan tidak ada bunyi dengan menggunakan atau tanpa menggunakan ABM agar dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. KEGIATAN: Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan pengecekan ABM (bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan percakapan, dimana hasil percakapan itu digunakan sebagai titik tolak respon untuk materi yang akan dilaksanakan pada saat itu. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru dengan memanfaatkan semua inderanya (penglihatan, vibrasi, pendengaran) secara klasikal maupun kelompok, kemudian siswa mereaksi ada atau tidak ada bunyi yang diperdengarkan guru dengan memberikan respon berupa: gerakan, membunyikan, mengucapkan kata, menuliskan kata, atau bermain peran. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mereaksi bunyi menggunakan indera pendengaran saja. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa. EVALUASI Guru memilih salah satu respon yang harus dilakukan anak untuk evaluasi. 21

28 Siswa mereaksi bunyi yang diperdengarkan guru secara acak. Guru mengamati dan mencatat respon anak pada lembar pengamatan. Lembar pengamatan evaluasi deteksi bunyi (Belum diisi Guru) LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Kelas, semester : 1/1 Data Pendengaran : kanan: db kiri : db ABM : Memakai/Tidak memakai Jenis : Materi Nilai Perolehan :. : No. Soal Respon Benar Salah Keterangan Score Perolehan Jakarta, 23 Februari 2010 Guru BKPBI Wahyu Podang Catatan: Reaksi benar nilai : 1 Reaksi salah nilai : 0 Respon siswa yang salah diisi pada kolom keterangan 22

29 Lembar pengamatan evaluasi deteksi bunyi (Sudah diisi Guru) LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Greg Kelas, semester : 1/1 Data Pendengaran : kanan: 90dB kiri : 110 db ABM : Memakai/Tidak memakai * Jenis :Belakang Telinga (BTE )** 2.Contoh lembar pengamatan yang sudah diisi guru: Materi : Deteksi ada bunyi dan tidak ada bunyi lonceng.*** Nilai Perolehan : B No. Soal Respon Benar Salah Keterangan 1 Guru memperdengarkan bunyi lonceng 1 2 Guru pura-pura (tidak) memperdengarkan bunyi lonceng 0 3 Guru pura-pura (tidak) memperdengarkan bunyi lonceng 1 4 Guru memperdengarkan bunyi lonceng 1 5 Guru pura-pura (tidak) memperdengarkan bunyi lonceng 1 Score Perolehan 4 0 Catatan: Reaksi benar nilai : 1 Reaksi salah nilai : 0 Jakarta, 23 Februari 2010 Guru BKPBI Wahyu Podang 23

30 Rumus Perhitungan Prosentase Penilaian: NILAI PEROLEHAN = Score Perolehan x 100% Score maksimal Kriteria Penilain A : 90% - 100% B : 70% - 89% C : 55% - 69% K : 54% Dari nilai perolehan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: A : Siswa mampu mendeteksi bunyi lonceng dengan hasil sempurna B: Siswa mampu mendeteksi bunyi lonceng dengan hasil baik. C: Siswa mulai mampu mendeteksi bunyi lonceng K: Siswa belum mampu mendeteksi bunyi lonceng ANALISIS HASIL PENGAMATAN Score yang diperoleh Greg 4, dihitung dengan rumus: NILAI PEROLEHAN = NILAI PEROLEHAN = 24

31 Nilai perolehan = 80% Hasil 80% masuk pada kriteria penilaian B. Dari contoh di atas dapat dianalisa : Greg mampu menyadari ada dan tidak ada bunyi lonceng yang diperdengarkan secara langsung dengan nilai perolehan B. CATATAN: Deteksi bunyi merupakan tahap pertama dari BKPBI yaitu kemampuan untuk menyadari ada dan tidak ada bunyi-bunyi di sekitarnya. Jumlah soal boleh lebih dari 5 (lima) Penggunaan alat,bermain peran dalam latihan disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kreatifitas guru. Sumber bunyi yang ditulis dalam indikator (lonceng) hanya merupakan contoh. 25

32 Gambar contoh Pelaksanaan Deteksi Bunyi: 26

33 27

34 28

35 29

36 BERMAIN PERAN PEMBELI ES LILIN 30

37 2. Bahan Ajar Kesatu Program Khusus : BKPBI Non Bahasa Standar Kompetensi : Mendeteksi bunyi-bunyi di sekitarnya dengan menggunakan alat bantu mendengar (ABM) atau tanpa menggunakan ABM, sebatas sisa pendengaran anak. Kompetensi Dasar : Menyadari ada dan tidak ada bunyi tertentu (lonceng) yang diperdengarkan langsung secara terprogram. Indikator : 10. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan bertepuk tangan. 11. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan melipat tangan. 12. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan membunyikan lonceng. 13. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan diam saja. 14. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan mengucapkan ada bunyi 15. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan mengucapkan tidak ada bunyi 16. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan menuliskan ada bunyi. 17. Mampu memberikan reaksi tidak ada bunyi lonceng dengan menuliskan tidak ada bunyi. 18. Mampu memberikan reaksi ada bunyi lonceng dengan bermain peran pembeli es lilin. 31

38 Program Khusus : BKPBI Non Bahasa Tujuan Siswa mampu meningkatkan kepekaan fungsi Pembelajaran : pendengaran dan perasaan vibrasi untuk menyadari ada dan tidak ada bunyi dengan menggunakan atau tanpa menggunakan ABM agar dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. KEGIATAN: Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan pengecekan ABM (bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan percakapan, dimana hasil percakapan itu digunakan sebagai titik tolak respon untuk materi yang akan dilaksanakan pada saat itu. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru dengan memanfaatkan semua inderanya (penglihatan, vibrasi, pendengaran) secara klasikal maupun kelompok, kemudian siswa mereaksi ada atau tidak ada bunyi yang diperdengarkan guru dengan memberikan respon berupa: gerakan, membunyikan, mengucapkan kata, menuliskan kata, atau bermain peran. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mereaksi bunyi menggunakan indera pendengaran saja. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa. EVALUASI Guru memilih salah satu respon yang harus dilakukan anak untuk evaluasi. Siswa mereaksi bunyi yang diperdengarkan guru secara acak. Guru mengamati dan mencatat respon anak pada lembar pengamatan. 32

39 Lembar pengamatan evaluasi deteksi bunyi (Belum diisi Guru) LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Kelas, semester : 1/1 Data Pendengaran : kanan: db kiri : db ABM : Memakai/Tidak memakai Jenis : Materi Nilai Perolehan :. : No. Soal Respon Benar Salah Keterangan Score Perolehan Jakarta, 23 Februari 2010 Guru BKPBI Wahyu Podang Catatan: Reaksi benar nilai : 1 Reaksi salah nilai : 0 Respon siswa yang salah diisi pada kolom keterangan 33

40 Lembar pengamatan evaluasi deteksi bunyi (Sudah diisi Guru) LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Greg Kelas, semester : 1/1 Data Pendengaran : kanan: 90dB kiri : 110 db ABM : Memakai/Tidak memakai * Jenis :Belakang Telinga (BTE )** 2.Contoh lembar pengamatan yang sudah diisi guru: Materi : Deteksi ada bunyi dan tidak ada bunyi lonceng.*** Nilai Perolehan : B No. Soal Respon Benar Salah Keterangan 1 Guru memperdengarkan bunyi lonceng 1 2 Guru pura-pura (tidak) memperdengarkan bunyi lonceng 0 3 Guru pura-pura (tidak) memperdengarkan bunyi lonceng 1 4 Guru memperdengarkan bunyi lonceng 1 5 Guru pura-pura (tidak) memperdengarkan bunyi lonceng 1 Score Perolehan 4 0 Catatan: Reaksi benar nilai : 1 Reaksi salah nilai : 0 Jakarta, 23 Februari 2010 Guru BKPBI Wahyu Podang 34

41 Rumus Perhitungan Prosentase Penilaian: NILAI PEROLEHAN = Score Perolehan x 100% Score maksimal Kriteria Penilain A : 90% - 100% B : 70% - 89% C : 55% - 69% K : 54% Dari nilai perolehan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: A : Siswa mampu mendeteksi bunyi lonceng dengan hasil sempurna B: Siswa mampu mendeteksi bunyi lonceng dengan hasil baik. C: Siswa mulai mampu mendeteksi bunyi lonceng K: Siswa belum mampu mendeteksi bunyi lonceng ANALISIS HASIL PENGAMATAN Score yang diperoleh Greg 4, dihitung dengan rumus: NILAI PEROLEHAN = NILAI PEROLEHAN = 35

42 Nilai perolehan = 80% Hasil 80% masuk pada kriteria penilaian B. Dari contoh di atas dapat dianalisa : Greg mampu menyadari ada dan tidak ada bunyi lonceng yang diperdengarkan secara langsung dengan nilai perolehan B. CATATAN: Deteksi bunyi merupakan tahap pertama dari BKPBI yaitu kemampuan untuk menyadari ada dan tidak ada bunyi-bunyi di sekitarnya. Jumlah soal boleh lebih dari 5 (lima) Penggunaan alat,bermain peran dalam latihan disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kreatifitas guru. Sumber bunyi yang ditulis dalam indikator (lonceng) hanya merupakan contoh. 36

43 Gambar contoh Pelaksanaan Deteksi Bunyi: 37

44 38

45 39

46 40

47 BERMAIN PERAN PEMBELI ES LILIN 41

48 3. BAHAN AJAR KETIGA Program Khusus : BKPBI Non Bahasa Standar Kompetensi : Mendiskriminasi bunyi di sekitar yang pernah dideteksi dengan menggunakan ABM atau tanpa menggunakan ABM, sebatas sisa pendengaran anak. Kompetensi Dasar : Membedakan 2 macam sumber bunyi yang berbeda yang diperdengarkan langsung secara terprogram. Indikator 1. Mampu memberikan reaksi bila mendengar bunyi gong dengan melakukan gerakan yang telah disepakati. 2. Mampu memberikan reaksi bila mendengar bunyi lonceng dengan melakukan gerakan yang telah disepakati. 3. Mampu membunyikan gong dan lonceng. 4. Mampu membedakan bunyi gong dan loceng serta memberikan reaksi bila mendengar bunyi gong dan lonceng dengan mengucapkan kata gong atau lonceng 5. Mampu membedakan bunyi gong dan lonceng serta memberikan reaksi dengan melakukan gerakan yang berbeda. 6. Mampu membedakan bunyi gong dan lonceng serta memberikan reaksi dengan membunyikan gong atau lonceng. 7. Mampu membedakan bunyi gong dan lonceng serta memberikan reaksi dengan menuliskan kata gong atau lonceng. 8. Mampu membedakan bunyi gong dan lonceng 42

49 Program Khusus : BKPBI Non Bahasa serta memberikan reaksi dengan bermain peran sebagai binatang. Tujuan Pembelajaran: Siswa mampu meningkatkan kepekaan fungsi pendengaran dan perasaan vibrasi untuk membedakan bunyi gong dan tambur dengan menggunakan atau tanpa menggunakan ABM agar dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. KEGIATAN: Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan pengecekan ABM (bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan percakapan, sebagai titik tolak respon untuk materi yang akan dilaksanakan pada saat itu. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru dengan memanfaatkan semua inderanya (penglihatan, vibrasi, pendengaran) secara klasikal maupun kelompok, kemudian siswa membedakan bunyi gong dan tambur yang diperdengarkan guru dengan memberikan respon berupa: gerakan, membunyikan, mengucapkan kata, menuliskan kata, atau bermain peran. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mereaksi bunyi menggunakan indera pendengaran saja. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa. 43

50 EVALUASI: Nama LEMBAR PENGAMATAN SISWA : Kelas, semester : 1/1 Data Pendengaran : Kanan: db Kiri : db ABM : Memakai/tidak memakai Jenis : Materi Nilai Perolehan : : No. Soal Benar Respon Salah Keterangan Score Perolehan Jakarta, 23 Februari 2010 Guru BKPBI Wahyu Podang Catatan: Reaksi benar nilai : 1 Reaksi salah nilai : 0 Respon siswa yang salah diisi pada kolom keterangan 44

51 Contoh pelaksanaan Evaluasi Diskriminasi Bunyi LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Greg Kelas/Semester : 1/1 Data Pendengaran : kanan: 90dB kiri : 110 db ABM Materi Nilai Perolehan : Belakan Telinga (BTE) : Deteksi ada bunyi gong dan lonceng. : C No. Soal Respon Gong lonceng 1 Guru memperdengarkan bunyi lonceng 0 2 Guru memperdengarkan bunyi gong V 3 Guru memperdengarkan bunyi gong V 4 Guru memperdengarkan bunyi lonceng 5 Guru memperdengarkan bunyi gong V Score 3 0 Jakarta, 23 Februari 2010 Guru BKPBI Wahyu Podang ANALISIS HASIL PENGAMATAN: Rumus Perhitungan Prosentase Penilaian: 45

52 Kriteria Penilaian: A : 90% - 100% B : 70% - 89% C : 55% - 69% K : 54% Dari nilai perolehan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: A : Siswa mampu membedakan bunyi gong dan lonceng dengan hasil sempurna. B : Siswa mampu membedakan bunyi gong dan lonceng dengan hasil baik. C : Siswa mulai mampu membedakan bunyi gong dan lonceng K : Siswa belum mampu membedakan bunyi gong dan lonceng 46

53 CATATAN: Diskriminasi bunyi merupakan tahap kedua dari BKPBI yaitu kemampuan untuk membedakan bunyi-bunyi disekitarnya. Jumlah soal boleh lebih dari 5 (lima) Penggunaan alat bermain peran dalam latihan disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kreativitas guru. Sumber bunyi yang ditulis dalam indikator (gong dan lonceng) hanya merupakan contoh. Dalam memilih sumber bunyi perlu mempertimbangkan prinsip kontras. 47

54 4. BAHAN AJAR KEEMPAT Program Khusus Standar Kompetensi : BKPBI Bahasa : Mendiskriminasi bunyi bahasa di sekitar yang pernah dideteksi dengan menggunakan ABM atau tanpa ABM sebatas sisa pendengaran anak. Kompetensi Dasar : Membedakan dua kata dengan jumlah suku kata berbeda yang diucapkan secara langsung. Indikator : 1. Memberikan reaksi dengan mengatakan sama atau tidak sama bila mendengar kata yang terdiri dari dua suku kata atau empat suku kata. 2. Memberikan reaksi dengan menunjukkan kartu yang terdiri dari dua suku kata, bila mendengar guru mengucapkan kata yang terdiri dari dua suku kata. Contoh: mata. 3. Memberikan reaksi dengan menunjukkan kartu yang terdiri dari empat suku kata,bila mendengar guru mengucapkan kata yang terdiri dari empat suku kata. Contoh : kacamata. 4. Memberikan reaksi dengan mengatakan pendek bila mendengar kata yang terdiri dari dua suku kata. 5. Memberikan reaksi dengan mengatakan panjang bila mendengar kata yang terdiri dari empat suku kata. 6. Memberikan reaksi dengan mengucapkan kata dua bila mendengar kata yang terdiri dari dua suku kata. 7. Memberikan reaksi dengan mengucapkan kata empat bila mendengar guru mengucapkan kata yang terdiri dari empat suku kata. 48

55 Tujuan Pembelajaran : Siswa mampu meningkatkan kepekaan fungsi pendengaran dan perasaan vibrasi untuk membedakan dua kata dengan jumlah suku kata yang berbeda dengan menggunakan ABM. KEGIATAN : Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi dan melakukan pengecekan ABM kemudian dilanjutkan percakapan sederhana untuk mendapatkan materi yang akan dilatihkan Siswa menyimak kata yang diucapkan guru dengan menggunakan semua indra ( penglihatan, pendengaran, taktil, dan kinestetik) kemudian memberikan respon secara spontan dengan mengucapkan sama atau tidak sama, menunjukkan kartu angka dua atau angka empat, bertepuk tangan 2 atau 4 kali, mengucapkan kata dua atau empat. Guru mengamati respon siswa dan mencatat dalam lembar pengamatan. EVALUASI Setiap akhir kegiatan guru mendokumentasikan hasil latihan siswa pada lembar pengamatan, seperti pada halaman berikut: 49

56 Lembar Pengamatan Mendeskriminasikan Bunyi dan Irama Bahasa (belum diisi guru) LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Kelas/Semester : Data Pendengaran : Telinga kana:..db Telinga kiri: db ABM : Memakai/tidak Jenis:.. Model: Hari/tanggal latihan : No Stimulus Benar R e s p o n Salah Keterangan Guru BKPBI Bahasa ( ) 50

57 Lembar Pengamatan Mendeskriminasikan Bunyi dan Irama Bahasa (yang sudah diisi guru) LEMBAR PENGAMATAN SISWA Nama : Zahra Kelas/Semester : D3 Data Pendengaran : Telinga kanan : 90 db Telinga kiri : 85 db ABM : Memakai/tidak Jenis: Super power Model: Pocket Hari/tanggal latihan : 17 Maret 2010 No Stimulus R e s p o n( V) Keterangan Benar Salah 1 Guru mengucapkan mata v 2 Guru mengucapkan kacamata v 3 Guru mengucapkan mata v 4 Guru mengucapkan kacamata v 5 Guru mengucapkan kacamata v dua suku kata 6 Guru mengucapkan kacamata v 7 Guru mengucapkan mata v 51

58 8 Guru mengucapkan kacamata v 9 Guru mengucapkan kacamata v dua suku kata 10 Guru mengucapkan mata v Empat suku kata Skor Perolehan = 7 Guru BKPBI Bahasa * Pada kolom keterangan merupakan jawaban dari siswa. (Tri Murni Nasution) ANALISIS HASIL PENGAMATAN Score yang diperoleh Zahra = 70% Setelah melakukan latihan mendengar bunyi bahasa tahap diskriminasi bunyi, siswa sudah mampu membedakan kata yang dilatihkan 70%. Sebagai tindak lanjut akan mengulangi latihan seperti ini dengan kata yang berbeda dengan bobot sama sampai mendapatkan hasil yang maksimal. Kriteria Penilaian : Amat Baik: 90% - 100% 52

59 Baik : 70% - 89 % Cukup : 55% - 69 % Kurang : 54 % Dari nilai perolehan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: Nilai A siswa mampu membedakan bunyi bahasa dengan sempurna Nilai B siswa mampu membedakan bunyi bahasa dengan baik Nilai C siswa mulai membedakan bunyi bahasa Nilai K siswa belum mampu membedakan bunyi bahasa Setelah melakukan latihan mendengar bunyi bahasa tahap deskriminasi, siswa mampu membedakan bunyi bahasa yang terdiri dari dua suku kata dan empat suku kata dengan nilai B. Keberhasilan ini karena siswa sudah dilatih secara terus menerus, terprogram dengan menggunakan ABM yang sesuai dengan sisa pendengarannya serta dengan metode yang digunakan oleh guru secara tepat. Sebagai tindak lanjut siswa dilatih untuk membedakan bunyi bahasa yang terdiri dari dua suku kata dan tiga suku kata. CATATAN: Deskriminasi bunyi adalah tahap kedua dari tahap latihan mendengar bahasa untuk mengembangkan kemampuan membedakan keras lemahnya bunyi ( intensitas ), cepat lambatnya (tempo), tinggi rendahnya (intonasi), panjang pendeknya (durasi), agar dikemudian hari siswa dapat mengontrol suaranya sendiri, sehingga dapat berbicara dengan aksen dan irama yang wajar. Dalam pelaksanaannya guru harus memperhatikan langkah- langkah 53

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS Program Khusus : Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama Paket Keterampilan : Kekhususan SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA TUNARUNGU (SMPLB-B) DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS Program Khusus Paket Keterampilan : Bina Komunikasi Persepsi dan Irama : Kekhususan SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNARUNGU (SDLB-B) DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera

Lebih terperinci

Tim Pengembang Model Bahan Ajar SDLB Tunarungu. : Dra. Diah Harianti, M.Psi. : Drs. NS Vijaya, KN, MA.

Tim Pengembang Model Bahan Ajar SDLB Tunarungu. : Dra. Diah Harianti, M.Psi. : Drs. NS Vijaya, KN, MA. Final MODEL BAHAN AJAR KELOMPOK MATA PELAJARAN ESTETIKA DAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN BERWAWASAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA UNTUK SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNARUNGU (SDLB-B) KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

LAPORAN PELAKSANAAN BINA KOMUNIKASI, PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA ( BKPBI) DI SLB B DENA UPAKARA WONOSOBO

LAPORAN PELAKSANAAN BINA KOMUNIKASI, PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA ( BKPBI) DI SLB B DENA UPAKARA WONOSOBO LAPORAN PELAKSANAAN BINA KOMUNIKASI, PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA ( BKPBI) DI SLB B DENA UPAKARA WONOSOBO Tugas Kelompok dari Mata Kuliah Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi Dan Irama ( BKPBI) Dosen : PRIYONO,M.Si

Lebih terperinci

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS (Model Bahan Ajar Program Khusus Tunarungu SLB) Oleh: Tim Pengembang KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT KURIKULUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia yang diciptakan ke dunia ini mempunyai keadaan fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang berbeda-beda pula. Kesempurnaan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGEMBANGAN PERSEPSI BUNYI SISWA TUNARUNGU KELAS TAMAN KANAK-KANAK DI SLB TUNAS BHAKTI PLERET SKRIPSI

PELAKSANAAN PENGEMBANGAN PERSEPSI BUNYI SISWA TUNARUNGU KELAS TAMAN KANAK-KANAK DI SLB TUNAS BHAKTI PLERET SKRIPSI PELAKSANAAN PENGEMBANGAN PERSEPSI BUNYI SISWA TUNARUNGU KELAS TAMAN KANAK-KANAK DI SLB TUNAS BHAKTI PLERET SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN PENDIDIKAN LUAR BIASA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN PENDIDIKAN LUAR BIASA BAB II PENGEMBANGAN KOMUNIKASI PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA (PKPBI) BAGI PESERTA DIDIK TUNARUNGU Penyusun: TIM PENGEMBANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 86 A. KESIMPULAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bina komunikasi persepsi bunyi dan irama (BKPBI), sangat penting diajarkan kepada anak tunarungu yang masih memiliki sisa pendengaran maupun yang total mengingat

Lebih terperinci

MEDIA PEMBELAJARAN BPBI. Oleh, ENDANG RUSYANI

MEDIA PEMBELAJARAN BPBI. Oleh, ENDANG RUSYANI MEDIA PEMBELAJARAN BPBI Oleh, ENDANG RUSYANI Pelaksanaan pembelajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama, baik yang dilaksanakan di dalam maupun di luar kelas, dapat berlangsung dengan baik apabila difasilitasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia berharap dilahirkan dalam keadaan yang normal dan sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan,

Lebih terperinci

BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN. Sosialisasi KTSP

BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN. Sosialisasi KTSP BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN 1 DEFINISI HEARING IMPAIRMENT (TUNARUNGU) TERKANDUNG DUA KATEGORI YAITU: DEAF (KONDISI KEHILANGAN PENDENGARAN YANG BERAT) DAN HARD OF HEARING (KEADAAN MASIH MEMILIKI

Lebih terperinci

HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU

HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU Anak tunarungu di dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya seringkali dihadapkan kepada berbagai masalah dalam kehidupannya. Anak tunarungu adalah seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu fase dalam perkembangan individu adalah masa remaja. Remaja yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berdasarkan hasil studi pendahuluan, diperoleh data bahwa siswa tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai keterampilan membaca permulaan.

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, dihadapkan pada banyak tantangan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya juga pendidikan. Semakin hari persaingan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan sangatlah penting bagi setiap manusia dalam rangka mengembangkan segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Lebih terperinci

PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN. Oleh : Dra. Tati Hernawati, M.Pd.

PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN. Oleh : Dra. Tati Hernawati, M.Pd. PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN Oleh : Dra. Tati Hernawati, M.Pd. ============================================================== Pendekatan dan Metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah  Rizki Panji Ramadana, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia, tak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya selaku warga negara, mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar Gaya Belajar adalah cara atau pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia pendidikan, istilah gaya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA DAN BERBICARA ANAK TUNARUNGU

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA DAN BERBICARA ANAK TUNARUNGU JASSI_anakku Volume 7 Nomor 1 Juni 007 hlm 101-110 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA DAN BERBICARA ANAK TUNARUNGU Tati Hernawati Jurusan PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Tulisan ini memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Anak berkelainan pendengaran atau tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan atau kerusakan pada satu atau lebih organ

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Istilah tunarungu berasal dari dua kata yaitu tuna dan rungu. Tuna berarti

BAB II KAJIAN TEORITIS. Istilah tunarungu berasal dari dua kata yaitu tuna dan rungu. Tuna berarti BAB II KAJIAN TEORITIS A. KONSEP DASAR ANAK TUNARUNGU 1. Pengertian Anak Tunarungu Istilah tunarungu berasal dari dua kata yaitu tuna dan rungu. Tuna berarti kekurangan atau ketidakmampuan dan rungu berarti

Lebih terperinci

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK Mohamad Sugiarmin PERSEPSI Proses mental yg menginterpretasikan dan memberi arti pd obyek yg ditangkap atau diamati oleh indera. Ketepatan persepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam usaha menciptakan masyarakat yang beriman, berakhlak mulia, berilmu serta demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, hak manusia dalam memperoleh pendidikan telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang telah diamandemen, Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siswa tunarungu adalah salah satu anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam pendengaran, sehingga untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan bangsa dan negara Indonesia pada umumnya ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu manusia yang cerdas, terampil, kreatif, mau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENERAPAN METODE MONTESSORI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PENGURANGAN PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS I SDLB

BAB I PENDAHULUAN PENERAPAN METODE MONTESSORI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PENGURANGAN PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS I SDLB 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena itu seluruh warga negara Indonesia diberikan hak dan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis 14 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan

Lebih terperinci

MEDIA DAN PRASARANA PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN. Oleh: Dra. Tati Hernawati, M.Pd.

MEDIA DAN PRASARANA PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN. Oleh: Dra. Tati Hernawati, M.Pd. MEDIA DAN PRASARANA PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN Oleh: Dra. Tati Hernawati, M.Pd. ============================================================== Media dan prasarana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mencetak sumber daya manusia yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap potensi

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam Djumhur mengartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari membaca mempunyai makna yang. penting. Membaca bukan saja sekedar memandangi lambang-lambang tertulis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari membaca mempunyai makna yang. penting. Membaca bukan saja sekedar memandangi lambang-lambang tertulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari membaca mempunyai makna yang penting. Membaca bukan saja sekedar memandangi lambang-lambang tertulis saja tetapi merupakan kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan ditingkat sekolah dasar merupakan pendidikan formal yang paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian, moral,

Lebih terperinci

Peningkatan Keterampilan Berbahasa Siswa Tunarungu Kelas Dasar 1 SLB-B YPPLB Ngawi Melalui Program Khusus Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama

Peningkatan Keterampilan Berbahasa Siswa Tunarungu Kelas Dasar 1 SLB-B YPPLB Ngawi Melalui Program Khusus Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama Peningkatan Keterampilan Berbahasa Siswa Tunarungu Kelas Dasar 1 SLB-B YPPLB Ngawi Melalui Program Khusus Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama Anggarini Mardi Hari Abstract: Anak tunarungu memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna

BAB I PENDAHULUAN. anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuna grahita Ringan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna grahita adalah kata lain

Lebih terperinci

pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena

pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak (Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Emy Susiani NIM

SKRIPSI. Oleh Emy Susiani NIM KEMAMPUAN MENDISKRIMINASI BUNYI BAHASA PADA ANAK TUNARUNGU KELAS VII DALAM PEMBELAJARAN BINA KOMUNIKASI PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA (BKPBI) DI SLB B KARNNAMANOHARA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Warga Negara Republik Indonesia yang memiliki keragaman budaya, perbedaan latar belakang, karakteristik, bakat dan minat, peserta didik memerlukan proses pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dapat meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta untuk menyiapkan generasi masa kini sekaligus yang akan datang. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan hak warga negara sebagai sumber daya insani yang sepatutnya mendapat perhatian terus menerus dalam upaya peningkatan mutunya. Peningkatan mutu

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi kasus di Kelas VIII SMPLB-B Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah BAB I A. Latar Belakang Masalah Pendidikan harus mendapatkan dukungan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraannya bagi masyarakat dengan sebaik-baiknya. Fungsi pendidikan baik bersifat formal maupun non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berhitung selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dasar

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berhitung selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Keterampilan berhitung harus dimiliki oleh setiap orang karena keterampilan berhitung selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dasar dari keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3-4 bulan. Bila ibu merangsang

Lebih terperinci

STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU

STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU 234 STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU Rezka B. Pohan 1, Wahid Munawar 2, Sriyono 3 Departemen Pendidikan Teknik Mesin Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr.

Lebih terperinci

OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN (BINA PERSEPSI BUNYI IRAMA) Oleh, Endang Rusyani Pendahuluan Menyimak (listening) merupakan unsur seni bahasa dan

OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN (BINA PERSEPSI BUNYI IRAMA) Oleh, Endang Rusyani Pendahuluan Menyimak (listening) merupakan unsur seni bahasa dan OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN (BINA PERSEPSI BUNYI IRAMA) Oleh, Endang Rusyani Pendahuluan Menyimak (listening) merupakan unsur seni bahasa dan sebagai keterampilan khusus dalam berbahasa telah banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tematik 2.1.1 Pengertian Tematik Menurut Hadi Subroto (2000:9), pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu tema tertentu yang mengaitkan dengan pokok

Lebih terperinci

Pengembangan Komunikasi Verbal pada Anak Tunarungu

Pengembangan Komunikasi Verbal pada Anak Tunarungu Riset» Pengembangan Komunikasi Verbal* Deis Septiani, Neni, Musjafak Pengembangan Komunikasi Verbal pada Anak Tunarungu Deis Septiani, Neni Meiyani, Musjafak Assjari Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi manusia seutuhnya baik secara jasmani maupun rohani seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi manusia seutuhnya baik secara jasmani maupun rohani seperti yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pendidikan nasional mengamanatkan negara menjamin hak dasar setiap warga negara terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan serta pengembangan diri dan memperoleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Disana dipaparkan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya. Segala bentuk kebiasaan yang terjadi pada proses belajar harus. terhadap kemajuan dalam bidang pendidikan mendatang.

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya. Segala bentuk kebiasaan yang terjadi pada proses belajar harus. terhadap kemajuan dalam bidang pendidikan mendatang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budaya belajar merupakan salah satu usaha yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Dalam pendidikan, keberhasilan peserta didik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara siswa dengan guru serta sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Suatu metode dalam pembelajaran pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan anak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan anak usia dini yaitu anak yang berusia empat sampai dengan enam tahun. Pendidikan TK

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH Pendahuluan Pada hakikatnya, anak manusia, ketika dilahirkan telah dibekali dengan bermacam-macam potensi yakni kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mampu berkompetensi baik secara akademik maupun non akademik. Memenuhi kebutuhan pendidikan yang mampu mengembangkan akademik

I. PENDAHULUAN. mampu berkompetensi baik secara akademik maupun non akademik. Memenuhi kebutuhan pendidikan yang mampu mengembangkan akademik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di zaman globalisasi sekarang ini membutuhkan manusia yang mampu berkompetensi baik secara akademik maupun non akademik. Memenuhi kebutuhan pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia sama-sama memiliki kebutuhan, keinginan dan harapan serta potensi untuk mewujudkanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Luar Biasa PKK Propinsi Lampung sebagai salah satu sekolah centara

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Luar Biasa PKK Propinsi Lampung sebagai salah satu sekolah centara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah Luar Biasa PKK Propinsi Lampung sebagai salah satu sekolah centara yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan Sekolah Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Lebih terperinci

Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang

Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan suatu bangsa. Seorang pendidik selalu berusaha untuk mengantarkan peserta didiknya agar mencapai

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 1 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi beberapa simpulan dan saran. Beberapa simpulan hasil penelitian sebagai jawaban terhadap masalah-masalah penelitian yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA. tepatnya di Jl. Pahlawan Sunaryo No. 5 A Kel. Kutorejo Kec. Pandaan

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA. tepatnya di Jl. Pahlawan Sunaryo No. 5 A Kel. Kutorejo Kec. Pandaan 59 BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Letak geografis sekolah SLB Negeri Pandaan Pasuruan terletak di kecamatan Pandaan, tepatnya di Jl. Pahlawan Sunaryo No. 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi. berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi. berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu pengetahuan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Suyanto (2007: 05), ilmu pengetahuan merupakan sarana yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi berguna bagi diri sendiri maupun orang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan 1. Penjelasan Judul Perancangan Pendidikan PAUD saat ini sangatlah penting, sebab merupakan pendidikan dasar yang harus diterima anak-anak. Selain itu untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik,

Lebih terperinci

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu kelas 3 SLB Negeri Binjai Oleh: Pendahuluan Anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya suatu generasi baru, dimana anak menjadi generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang diharapkan mampu memikul

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia memiliki kewajiban pada warga negaranya untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada warga negara lainnya tanpa terkecuali termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi utama bagi seorang anak untuk mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan anak untuk menerjemahkan

Lebih terperinci

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. 0 PENERAPAN TEKNIK MULTISENSORI BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA ASPEK PEMAHAMAN DAN ASPEK SUPRASEGMENTAL SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DISLEKSIA DI SEKOLAH DASAR INKLUSI KOTA BANDUNG DISERTASI diajukan

Lebih terperinci

GAME SOCIUS SEBAGAI MEDIA BANTU BELAJAR BERBAHASA PADA ANAK-ANAK TK TUNARUNGU DENGAN METODE MATERNAL REFLEKTIF DI TKLB-B WIDYA BAKTI SEMARANG

GAME SOCIUS SEBAGAI MEDIA BANTU BELAJAR BERBAHASA PADA ANAK-ANAK TK TUNARUNGU DENGAN METODE MATERNAL REFLEKTIF DI TKLB-B WIDYA BAKTI SEMARANG GAME SOCIUS SEBAGAI MEDIA BANTU BELAJAR BERBAHASA PADA ANAK-ANAK TK TUNARUNGU DENGAN METODE MATERNAL REFLEKTIF DI TKLB-B WIDYA BAKTI SEMARANG Ahmad Roni Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang membawahi Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, pelaksanaan ditingkat provinsi khususnya di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu.

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Filosofi Bhineka Tunggal Ika merupakan wujud kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, fisik, finansial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa

BAB I PENDAHULUAN. sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan anak normal, usia 6 tahun merupakan masa yang paling sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa mendatang. Bayi

Lebih terperinci

STUDI KASUS TENTANG KEMAMPUAN MEMBACA UJARAN ANAK TUNARUNGU DI SLB- B DENA UPAKARA WONOSOBO SKRIPSI

STUDI KASUS TENTANG KEMAMPUAN MEMBACA UJARAN ANAK TUNARUNGU DI SLB- B DENA UPAKARA WONOSOBO SKRIPSI STUDI KASUS TENTANG KEMAMPUAN MEMBACA UJARAN ANAK TUNARUNGU DI SLB- B DENA UPAKARA WONOSOBO SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kunci penting dalam menentukan masa depan suatu bangsa. Pengertian pendidikan sendiri ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

Lulu Fatimah (Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNJ)

Lulu Fatimah (Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNJ) PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BAHASA RESEPTIF DAN BAHASA EKSPRESIF ANAK TUNARUNGU KELAS TK 1 A (STUDI DESKRIPTIF DI LPATR PANGUDI LUHUR, KEMBANGAN JAKARTA BARAT) Lulu Fatimah (Jurusan Pendidikan Luar

Lebih terperinci

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.

Lebih terperinci

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina PENDAHULUAN Pendidikan anak usia dini yang menjadi pondasi bagi pendidikan selanjutnya sudah seharusnya

Lebih terperinci

Oleh: Hermanto SP, M.Pd.

Oleh: Hermanto SP, M.Pd. Oleh: Hermanto SP, M.Pd. hermanuny@yahoo.com atau hermansp@uny.ac.id HP 08121575726 atau (0274) 781 7575 Telp. Rumah (0274) 882481 1 TARGET YANG DIHARAPKAN DARI PESERTA Pemahaman Peserta Memahami Pengertian

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan adanya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional RI dan Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005, dapat ditetapkan dengan Permendiknas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh sempurna, sehat, tanpa kekurangan apapun. Akan tetapi, terkadang ada hal yang mengakibatkan anak tidak berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang Undang

Lebih terperinci

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Pendahuluan Setiap anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Proses utama perkembangan anak merupakan hal

Lebih terperinci