ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON"

Transkripsi

1 ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON ELISSA DWIYANTI A DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN ELISSA DWIYANTI. Analisis Data Landsat ETM + untuk Kajian Geomorfologi dan Penutup/Penggunaan Lahan dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan Kritis di Kota Cilegon. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan WIKANTI ASRININGRUM. Kegiatan pengelolaan lahan atau tanah secara berlebihan dapat berdampak pada rusaknya unsur tanah dan kritisnya fungsi lahan. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk Kota Cilegon. Lahan disebut kritis jika pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidahkaidah konservasi tanah. Lahan kritis dapat mengganggu keseimbangan ekologis yang berakibat dapat menurunkan kualitas lingkungan yang menyebabkan gangguan ekonomi pada masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) analisis data Landsat ETM + untuk kajian geomorfologi dan penutup/penggunaan lahan, (2) identifikasi dan pemetaan lahan kritis, (3) mempelajari penyebab terjadinya lahan kritis dalam kaitannya dengan bentuklahan (landform) dan penggunaan lahan (landuse), serta (4) memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung lingkungan atau lahan kritis. Metode penentuan lahan kritis mengacu pada Departemen Kehutanan RI (2003) sedangkan perhitungannya di lakukan dengan analisis tumpang-tindih (overlay) dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Berdasarkan analisis citra Landsat ETM + diperoleh hasil bahwa kombinasi band 452 merupakan kombinasi terbaik untuk kajian geomorfologi, sedangkan kombinasi band 542 merupakan kombinasi terbaik untuk kajian penutup/penggunaan lahan. Berdasarkan perhitungan faktor-faktor penentu lahan kritis, yaitu penutup/penggunaan lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan kondisi manajemen lahan di daerah penelitian di peroleh hasil seluas Ha (10,98%) masuk ke dalam kategori kritis, 639 Ha (3,55%) agak kritis, Ha (28,87%) potensial kritis, dan Ha (56,80%) tidak kritis. Faktor-faktor yang banyak berpengaruh terhadap terjadinya lahan kritis di daerah penelitian adalah morfologi bentuklahan (lereng), tipe penggunaan lahan (kebun campuran/tegalan), dan manajemen lahan yang kurang baik (praktek konservasi tanah dan air). Oleh sebab itu areal lahan krits banyak terdapat di atas bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC), dan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD) yang mempunyai kemiringan lereng curam sampai sangat curam. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dampak kegiatan industri (gasgas dan limbah kimia) secara langsung dan tidak langsung juga menyumbang

3 terhadap terjadinya lahan kritis. Penelitian untuk permasalahan ini perlu di lakukan tersendiri. Kata Kunci: Landsat ETM +, Geomorfologi, Bentuklahan, Penggunaan Lahan Sistem Informasi Geografis, Lahan Kritis.

4 SUMMARY ELISSA DWIYANTI. Analysis of Landsat ETM + Data for Study of Geomorphology and Land Cover/Land Use, and its Utilization for Mapping of Critical Land in Cilegon City. Under Academic Supervision of BOEDI TJAHJONO and WIKANTI ASRININGRUM. Excessive activity of land or soil management could have impacts in the form of soil damage and creation of critical land. Such condition occurs in nearly all areas of Indonesia, including Cilegon city. Land is categorized as critical, if at present, it is not productive or not sufficiently productive, from the point of view of agricultural use, because its management and use has insufficient or no consideration on soil conservation principles. Critical land could disturb ecological balance which results in reduction of environmental quality, and further economic disturbance toward the community. The objectives of this research were: 1) analyzing the data of Landsat ETM + for study of geomorphology and land cover/land use, 2) identification and mapping of critical land, 3) studying the cause of critical land occurrence in its relation with land form and land use, and 4) providing recommendation for reducing the damage on environmental carrying capacity or for reducing critical land. Method of critical land determination referred to that of Departemen Kehutanan RI, (2003) whereas the calculation was performed by overlay analysis with Geographic Information System (GIS). Based on analysis of Landsat ETM + Imagery, it was obtained that, combination of band 452 constituted the best combination for geomorphological study, whereas combination of band 542 constituted the best combination for study of land cover/land use. Based on calculation of determining factors for critical land, which comprise land cover/land use, slope, erosion level, and land management condition in the research area, the following results were obtained: Ha (10,98%) was categorized as critical land, 639 Ha (3,55%) was categorized as somewhat critical, Ha (28,87%) was potentially critical, and Ha (56,80%) was non critical land. Factors which had much influence on the occurrence of critical land in the research area were morphology of land form (slope), types of land use (mixed garden/dry land farm), and low quality management of land (soil and water conservation practice). Therefore, critical land area occurred much on land form of denudational volcanic cone of Gunung Gede (KVDG), denudational volcanic cone of Gunung Cidanau (KVDC) and denudational volcanic hill (PVD) which had slopes ranging from steep to very steep. Based on field observation results, impacts of industrial activities (gases and chemical wastes) contributed directly and indirectly to the occurrence of

5 critical land. Research on this problem should be conducted further in other occasion. Key words: Landsat ETM +, Geomorphology, Geographic Information System, Land form, Land use, Critical Land.

6 ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Elissa Dwiyanti A DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

7 Judul Penelitian : Analisis Data Landsat ETM + untuk Kajian Geomorfologi dan Penutup/Penggunaan Lahan dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan Kritis di Kota Cilegon. Nama : Elissa Dwiyanti NRP : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Boedi Tjahjono, DEA Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP Tanggal Lulus :

8 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Cilegon pada tanggal 28 Februari 1986 dari pasangan Bapak Safurizal (Alm) dan Ibu Muzayanah, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Tegal Cabe, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Cilegon pada tahun 1997, dan pada tahun 2000 penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Kimia PGRI Serang. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, sebagai mahasiswa program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahaiswa, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (PJIC) pada tahun ajaran 2006/2007 dan tahun ajaran 2008/2009, mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lansekap (GAL) pada tahun ajaran 2007/2008, dan mata kuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) pada tahun ajaran 2007/2008. Penulis juga aktif di Himpunan Profesi Kemahasiswaan HMIT (Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah) sebagai anggota di Biro Kerohanian (periode 2004/2005), sebagai anggota di Biro Media Informasi (periode 2005/2006), dan sebagai pemimpin di Departemen Informasi dan Komunikasi (periode 2006/2007). Selain itu, penulis pernah menjadi tim pelaksana proyek Penataan Ruang Kawasan Agropolitan di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan November- Desember Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepanitiaan yang di selenggarakan Departemen Ilmu Tanah dan sumberdaya Lahan.

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian dari kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA selaku pembimbing Skripsi I dan Ibu Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si selaku Pembimbing Skripsi II atas segala dukungan, bimbingan, motivasi, nasihat, dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. Serta untuk Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk penulis. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan data dan kerjasama dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada Staf Bagian Pengolahan Data Penginderaan Jauh di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Bapak Sabri Mahyudin dan Staf di Bagian Tata Ruang Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Cilegon, dan Bapak Andi Jumhani di bagian Konservasi Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kota Cilegon. Keluargaku tercinta: Bapak Safurizal (Almarhum), Ibu Muzayanah, dan Bapak Suhaemi atas segala do a dan dukungan bagi penulis yang tiada terhingga, serta kedua saudaraku Teh Yenny dan Nano, Bibi dan kedua sepupuku Ika dan Assya atas do a dan perhatiannya. Terima kasih untuk Sahabat-sahabatku: Inga, Yesy, dan Rahmat atas motivasi dan semangatnya. Untuk Lasapierzz: Mbal, Desi, Nika, Dian, Ratih, Nibot, Lia, Novi, Heni, Rita, Septi, Mercy, dan Mba Restu yang selalu ada dalam suka dan duka serta persahabatan yang menyenangkan. Untuk Mba Reni, Mba Lela, Kak Hendi, dan Kak Aris terima kasih atas segala bantuannya. Untuk Mba Ely terima kasih atas saran-saran dan kebaikannya sebagai kakak, guru, dan senior yang sabar membimbing, dan untuk semua rekan di bagian Penginderaan Jauh: Nana, Alwan, Shanty, Totenx, Sinta, Nisa, Tanti, dan Aby atas semangat dan kerjasamanya.

10 x Kepada Soilers 41 terima kasih atas kenang-kenangan yang tak terlupakan, dan kepada Soil angkatan 23 terimakasih atas bantuan dana perbanyakan skripsi melalui Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan Terimakasih. Bogor, Januari 2009 Penulis

11 xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR. xiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa Definisi Mengenai Lahan Kritis Pengelompokan Lahan Kritis Lahan Potensial Kritis Lahan Agak Kritis Lahan Kritis Lahan Sangat Kritis Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis Faktor Penyebab Lahan Kritis Penutupan Lahan Kemiringan Lereng Erosi Manajemen Lahan Geomorfologi Penginderaan Jauh Landsat ETM Klasifikasi Bentuklahan (Landform) dan Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse) Klasifikasi Bentuklahan (Landform) Klasifikasi Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse)... 18

12 xii III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Tahap Persiapan Data dan Pengolahan Citra Tahap Interpretasi Citra Pengecekan Lapang (Survey) Tahap Analisis Hasil Penyajian Hasil IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Topografi, Morfologi, dan Kemiringan Lereng Geomorfologi Struktur Geologi Jenis Tanah, Tekstur Tanah, dan Kedalaman Efektif Tanah Hidrologi Kondisi Iklim Penggunaan Lahan Kependudukan Pendidikan Perdagangan dan Industri Sosial Ekonomi V. HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Data Citra Landsat ETM Seleksi Fusi Multispektral Seleksi Penajaman Spektral Seleksi Fusi Multispasial da Penajaman Spasial Identifikasi Bentuklahan Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG) Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC) Bentuklahan Kipas Ignimbrite (KI) 54

13 xiii Bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik (FVP) Bentuklahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD) Bentuklahan Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs) Bentuklahan Marin (Gisik dan Cliff) Identifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Identifikasi Lahan Kritis Kemiringan Lereng Erodibilitas Tanah (Nikai K) Manajemen Lahan Pemetaan Lahan Kritis Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis.. 71 VI. KESIMPULAN DAN SARAN VII. DAFTAR PUSTAKA 75

14 xiv DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Kriteria Lahan Kritis (Departemen Kehutanan, 2003) dalam Herdiana (2008) 7 2. Indeks Penentuan Kelas Lahan Kritis Karakteristik Landsat ETM Karakteristik Band Landsat ETM Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian Peralatan yang digunakan dalam Penelitian Nilai OIF Daerah Penelitian Rangkuman Hasil Pengolahan Terseleksi Citra Landsat ETM + untuk Identifikasi Bentuklahan dan Penutupan/Penggunaan Lahan Luas Bentuklahan di Daerah Penelitian Luas Penutup/Penggunaan Lahan Derah Penelitian Kemiringan Lereng dan Skor Penentu Parameter Erosi Luas Kelas Lereng Daerah Penelitian Tingkat erodibilitas Daerah Penelitian Manajemen Lahan Daerah Penelitian Luas Lahan Kritis di Daerah Penelitian Luas Lahan Kritis pada Penutup/Penggunaan Lahan Luas Luas Kawasan Lindung Daerah Penelitian Luas Lahan Kritis di Kawasan Lindung Daerah Penelitian. 71 Nomor Lampiran Halaman 1. Data Curah Hujan Daerah Penelitian Tahun Nilai OIF pada Daerah Model Bentuklahan Marin, Fluvial, Karst, Struktural, dan Vulkanik. (Asriningrum, 2002) 80

15 xv 3. Nilai Erodibilitas (K) Beberapa Jenis Tanah Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Cilegon Tahun

16 xvi DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Diagram Alir Metode Penelitian Peta Daerah Penelitian Peta Geologi Daerah Penelitian Peta Jenis Tanah Daerah Penelitian Peta Pola Curah Hujan Daerah Penelitian Citra Landsat ETM + Wilayah Kota Cilegon Citra Landsat ETM + Wilayah di sekitar Kota Cilegon Variasi Komposit dari Fusi 245 di Daerah Penelitian Variasi Penajaman Spektral Komposit RGB 542 di Daerah Penelitian Hasil Fusi Multispasial Landsat ETM Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI dengan Penajaman High Pass Fiter, Sharpen Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di Daerah Penelitian Hasil Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI terpilih Peta Bentuklahan Daerah Penelitian Citra Landsat RGBI 4528, HPF Sharpen11 dengan Peta Bentuklahan Daerah Penelitian Peta Penutup/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian Peta Penutup/Penggunaan Lahan dan Peta Kawasan Hutan Daerah Penelitian Contoh Foto Cek Lapang Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campuran dan Tegalan Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian Contoh Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian Peta Erodibilitas Daerah Penelitian.. 65

17 xvii 22. Peta Lahan Kritis Daerah Penelitian Peta Lahan Kritis dan Peta Kawasan Hutan di Daerah Penelitian Foto Pengamatan Lapang untuk Daerah Hasil Rehabilitasi Lahan Kritis di Daerah Penelitian Nomor Halaman Lampiran 1. Peta Tekstur Tanah Daerah penelitian Peta Kedalaman Efektif Tanah Daerah Penelitian Contoh Foto Manajemen Lahan Contoh Foto-Foto Lahan Kritis di Lapangan... 82

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk kepentingan lainnya, diperlukan adanya penataan dan perencanaan penggunaan lahan guna menghindari permasalahan berkaitan dengan penggunaan lahan yang kurang sesuai. Beberapa pemasalahan yang dapat timbul diantaranya adalah (1) alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau industri, (2) rusaknya unsur hara tanah akibat pengolahan tanah konvensional ataupun adanya pembuangan limbah industri yang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan, (3) adanya penambangan tanpa izin, (4) penggunaan pupuk kimia atau buatan, (5) penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya terhadap tanah secara berlebihan, (6) pola tanam yang tidak berkelanjutan (non sustainable), (7) penjarahan hutan, (8) eksploitasi hutan industri yang tidak mengacu pada kerangka dan program reboisasi, dan (9) adanya bencana alam. Berbagai permasalahan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun keseimbangan ekosistem berupa lahan kritis (Bappeda, 2006). Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kota Cilegon mencatat luasan lahan kritis di Kota Cilegon mengalami penurunan. Pada tahun 2006 luas lahan kritis menurun seluas 2,92% dari 4.692,97 Ha menjadi 4.179,97 Ha dan pada tahun 2007 luas lahan kritis menurun seluas 1,00% dari 4.179,97 Ha menjadi 4.004,97 Ha. Lahan disebut kritis jika keadaannya membahayakan stabilitas dan kelangsungan tata air serta alam lingkungan, atau lahan pertanian yang sudah tidak subur lagi untuk ditanami, seperti tanah gundul, padang alang-alang, dan lahan bekas penambangan. Meluasnya lahan kritis di berbagai wilayah pada umumnya disebabkan oleh kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya daya dukung lingkungan, kehilangan lapisan tanah atas, dan akibat erosi sehubungan dengan pengelolaan tanah yang buruk. Timbulnya lahan kritis akan berdampak terhadap lingkungan berupa banjir, erosi, maupun berkurangnya daya resapan air.

19 2 Kota Cilegon merupakan kota industri dimana perkembangan industri dapat meningkatkan jumlah penduduk yang berarti meningkat pula berbagai macam kebutuhannya seperti jenis penggunaan lahan yang berakibat terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan semacam ini jika tidak sesuai dengan kemampuan lahannya dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis. Dampak dari lahan kritis adalah mengganggu keseimbangan ekologis yang berakibat dapat menurunkan kualitas lingkungan. Bila terjadi ketidakseimbangan antara lingkungan (ekosistem) dengan industri maka akan terjadi gangguan ekonomi pada masyarakat sehingga perlu adanya studi tentang lahan kritis untuk penanganan penurunan kualitas lngkungan. Studi permasalahan tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik lingkungan (geografis) ataupun dengan melihat keterkaitan antara bentuklahan (landform) dengan penggunaan lahan (landuse). Dimana bentuklahan dipengaruhi oleh kondisi geologi dan geomorfologi, sedangkan penggunaan lahan lebih dipengaruhi oleh kegiatan manusia Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain untuk: - Analisis citra landsat ETM + untuk kajian geomorfologi dan penutup/penggunaan lahan - Identifikasi dan pemetaan lahan kritis - Mempelajari penyebab terjadinya lahan kritis dalam kaitannya dengan bentuklahan (landform) dan penggunaan lahan (landuse) - Memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung lingkungan atau lahan kritis 1.3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah untuk dapat mengidentifikasi dan memetakan lahan kritis di Kota Cilegon melalui analisis geomorfologi yang kemudian dapat memberikan rekomendasi rehabilitasi lahan untuk lahan kritis, dan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan bagi pembangunan di Kota Cilegon khususnya dari sisi fisik lingkungan.

20 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beberapa Definisi Mengenai Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Definisi lahan kritis dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing instansi, diantaranya adalah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak), menurut FAO, dan menurut Departemen Kehutanan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak, 1997) dalam Herdiana (2008) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya, sedangkan menurut FAO (1997) merupakan lahan yang mengalami penurunan produktivitas tanah yang disebabkan hilangnya tanah lapisan atas oleh erosi sehingga mengalami kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produktivitas tanah, permukiman dan kehidupan sosial ekonomi. Adapun menurut Departemen Kehutanan (2003) lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi tersebut disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatkan teknik konservasi tanah, sehingga menimbulkan erosi, tanah longsor, dan sebagainya yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air dan lingkungan Pengelompokkan Lahan Kritis Pengelompokkan lahan kritis dilakukan karena tingkat kekritisan suatu lahan masing-masing berbeda-beda. Pengelompokkan lahan kritis ini dilihat dari aspek tingkat kerusakan fisik. Menurut Sitorus (2004) lahan kritis dikelompokkan menjadi: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis.

21 Lahan Potensial Kritis Lahan potensial kritis adalah lahan yang kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan, akan tetapi bila pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan agak kritis atau lahan kritis. Lahan potensial kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i. Pada lahan belum terjadi erosi atau mulai terjadi erosi ringan. Erosi dapat terjadi terutama apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan kegiatan-kegiatan pencegahan erosi dan tindakan konservasi lainnya. ii. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam, lapisan atas (top soil) lebih dari 20 cm. iii. Persentase penutupan tanah relatif masih tinggi (vegetasi rapat). iv. Mempunyai kemiringan lereng datar sampai berbukit. v. Tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi Lahan Agak Kritis Lahan agak kritis adalah lahan yang kurang produktif dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi rendah. Lahan agak kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i. Tanah telah mengalami erosi dari tingkat permukaan sampai erosi alur (rill erotion) dengan produksi yang rendah. ii. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang sangat dangkal, lapisan atas (top soil) kurang dari 5 cm. iii. Persentase penutupan tanah sedang. iv. Kemiringan lereng umumnya lebih dari 18%. v. Tingkat kesuburan tanah rendah Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. Lahan kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i. Lahan telah mengalami erosi berat dengan tingkat erosi umumnya berupa erosi parit (gully erotion).

22 5 ii. Tanah mempunyai kedalaman efektif yang dangkal, kurang dari 60 cm. iii. Persentase penutupan lahan rendah (antara 25-50%). iv. Kesuburan tanah rendah Lahan Sangat Kritis Lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak mungkin lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar direhabilitasi. Lahan sangat kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i. Pada tanah telah terjadi erosi sangat berat, sebagian berada pada tingkat erosi parit (gully erotion). ii. Lapisan-lapisan tanah produksi telah habis tererosi, kedalaman efektif tanah sangat dangkal, kurang dari 30 cm. iii. Persentase penutupan tanah oleh vegetasi sangat rendah (kurang dari 25%). iv. Kemiringan lereng umumnya kurang dari 40%. v. Tingkat kesuburan tanah sangat rendah Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis Identifikasi dan pemetaan lahan kritis adalah suatu usaha yang sangat bermanfaat untuk perencanaan atau untuk penentuan prioritas pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam yang mencangkup konservasi dan rehabilitasi tanah. Identifikasi lahan kritis dapat dilihat dari beberapa param berdasarkan kriteria yang mempengaruhi lahan kritis. Menurut Departemen Kehutanan (2003) dalam Herdiana (2008) tingkat kekritisan lahan ditentukan dari jumlah nilai yang diperoleh untuk masing-masing kriteria sesuai fungsi lahannya yang mencakup: penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen lahan. Sedangkan pemetaannya dilakukan dengan mengukur faktor-faktor penyebab terjadinya lahan kritis secara spasial dan menghitung pengaruh agregasi faktorfaktor tersebut melalui analisis tumpang-tindih (overlay) data spasial. Data spasial tersebut adalah peta penutup/penggunaan lahan (C), peta lereng (S), peta erodibilitas tanah (E), dan manajemen lahan (M). Secara umum ke-5 data spasial tersebut dimodelkan dengan formula sebagai berikut:

23 6 ILK = {(a x C) + (b x S) + (c x E) + (d x M)} Dimana ILK adalah Indeks Lahan Kritis, a, b, c, dan d adalah bobot penutup/penggunaan lahan, bobot lereng, bobot erosi, dan bobot manajemen lahan, yang besarnya masing-masing adalah 50, 20, 20, dan 10. Faktor penentu lahan kritis menurut skor dan pembobotannya dapat dilihat pada Tabel 1.

24 7 Tabel 1. Kriteria Lahan Kritis (Departemen Kehutanan, 2003) Kriteria (bobot) Penutupan Lahan (50) Lereng (20) Erosi (20) Manajemen (10) Kelas Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Ringan Sedang Berat Sangat berat Baik Sedang Buruk Kelas Besaran / Deskripsi >80% 61-80% 41-60% 21-40% <20% <8% 8-15% 15-25% 25-40% >40% Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hulang dan atau erosi alur pada jarak m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25-75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak <20 m Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak m Tanah dalam : >75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi parit pada jarak m Tanah dangkal : 50-75% lapisan tanah atas hilang Tanah dalam : semua lapisan tanah atas hilang, >25% lapisan tanah bawah dan atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak,20 m Tanah dangkal : >75% lapisan tanah atas telah hilang sebagian lapisan bawah tererosi Lengkap Tidak lengkap Tidak ada Sumber: Departemen Kehutanan, 2003 dalam Herdiana, Skor Keterangan Dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk *) Tata batas kawasan ada; pengamanan ada; penyuluhan dilaksanakan

25 8 Tingkat kekritisan lahan ditentukan dengan nilai penentunya yang dihasilkan dari persamaan Indeks Lahan Kritis (ILK), kisaran nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indeks Penentuan Kelas Lahan Kritis (ILK) No. Tingkat Kekritisan ILK 1. Sangat Kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Sumber: Departemen Kehutanan, 2003 dalam Herdiana, Faktor Penyebab Lahan Kritis Faktor penyebab lahan kritis yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria lahan kritis menurut Departemen Kehutanan (2003) yaitu penutup/penggunaan lahan, kemiringan lereng, erosi, dan manajemen lahan Penutup/Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang berada di atasnya. Penggunaan lahan adalah setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Secara umum, penutupan lahan dapat dibagi menjadi vegetasi penutup dan bangunan penutup. Penutupan lahan berupa vegetasi banyak bermanfaat dari sisi ekologi, misalnya dapat membantu proses infiltrasi air kedalam tanah sehingga dapat mengurangi aliran permukaan (run off) yang biasanya mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, dapat terjadinya banjir maupun erosi tanah. Penutupan lahan tertentu dapat berdampak negatif terhadap lingkungan apabila terjadi suatu perubahan penutupan akibat adanya suatu aktivitas yang tidak ramah lingkungan. Konversi lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian merupakan salah satu contoh. Perubahan penggunaan lahan adalah suatu

26 9 perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dengan penggunaan sebelumnya, baik untuk tujuan komersil maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian bersifat tidak balik, karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar Kemiringan Lereng Kemiringan lereng adalah kemiringan permukaan lahan terhadap suatu garis horisontal dan besarnya kemiringan dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak 100 m dan mempunyai selisih tinggi 100 m akan membentuk lereng sebesar 100% atau sama dengan suatu kecuraman lereng sebesar Lereng yang curam seperti ini dapat memperbesar jumlah aliran permukaan, apabila terjadi hujan sehingga semakin besar nilai lereng maka akan dapat memperbesar energi angkut aliran permukaan. Akibat dari kondisi seperti ini maka dapat meningkatkan daya erosi terhadap tanah. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi persatuan luas juga menjadi 2,0 sampai 2,5 kali lebih besar (Arsyad, 2000) Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkatnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad, 2000). Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu oleh air ataupun angin. Erosi oleh angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi air ditimbulkan oleh kekuatan air. Di daerah beriklim basah, erosi oleh air lebih dominan, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi oleh angin merupakan peristiwa yang sangat dominan di daerah beriklim kering (Arsyad, 2000) Manajemen Lahan Manajemen lahan terkait dengan faktor manusia. Faktor ini terdiri dari kualitas manusia dan kuantitasnya. Kualitas dari manusia adalah umur, kepribadian, dan pendidikan, dan segala sesuatu yang mementukan kualitas diri manusia tersebut dalam menetukan keputusan (Mather, 1986 dalam Kristiani, 2007).

27 10 Contoh kuantitas manusia adalah jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk ini di kehidupan sehari-hari banyak mempengaruhi pola penggunaan lahan. Di Indonesia dari tahun ke tahun penggunaan lahan hutan semakin menurun, sedangkan lahan pertanian dan lahan terbangun terus meningkat. Ini merupakan dampak dari semakin tingginya jumlah penduduk, sedangkan jumlah lahan relatif tetap. Tekanan populasi yang tinggi ini merupakan ciri pendorong utama terhadap pembukaan lahan pertanian di negara berkembang (Mather, 1986 dalam Kristiani, 2007) Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Kajian geomorfologi merupakan suatu deskrpisi dan penjelasan (eksplaination) bentuklahan yang mencangkup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya. Aspek morfologi mencangkup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsi bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti pegunungan, gunung api, dataran, maupun yang berukuran kecil seperti bukit, lembah, dan kipas alluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian arah, dan sebagainya. Aspek morfogenesis mencangkup kajian terhadap proses geomorfik atau proses geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi atau waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek struktur dan litologi penyusunnya mengkaji mengenai material-material penyusun bentuk permukaan bumi atau struktur geologi dan jenis batuan/mineral. Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu (Thormbury, 1954 dalam Asriningrum, 2002). Proses geomorfik adalah semua perubahan baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Agen/anasir geomorfik (geomorfik

28 11 agent) adalah semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan bumi (Wiradisastra et al, 2002). Geomorfologi dan penginderaan jauh mempunyai kaitan yang erat untuk menganalisis berbagai bentuklahan dapat digunakan data penginderaan jauh, yaitu foto udara atau citra digital sebagai salah satu alat untuk mengkaji lebih awal dan dilakukan secara ruang. Pengamatan lapang merupakan data tambahan ruang yang lebih spesifik untuk tambahan pengkajian yang tuntas. Berbagai kenampakan yang dapat dilihat dari foto udara atau citra digital adalah bentuk topografi, pola drainase, kenampakan proses dinamik, tipe bentuklahan dan distribusinya, pola dan distribusi penutup/penggunaan lahan atau vegetasi dan pola penggunaan lahan dan distribusinya (Wiradisastra et al, 2002). Analisis geomorfologi diperlukan untuk mengetahui sebaran bentanglahan (landscape) dari bentuklahan (landform) seperti dataran, dataran tinggi, pegunungan, serta fitur-fitur kecil seperti lembah, lereng dan alluvial. Bentuklahan tersebut dapat memberikan pemahaman mengenai karakteristik alam dan pembentukannya. Karakteristik bentuklahan dapat mempengaruhi penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik bentuklahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, longsor, erosi, lahan kritis dan lain-lain. Peranan geomorfologi dalam studi lahan kritis sangat penting khususnya untuk mengkaji bentuklahan, hubungan bentuklahan dengan penggunaan lahan, serta kondisi fisik aktual setelah ada interverensi manusia dalam memanfaatkan lahan Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya suatu kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994). Data penginderaan jauh merupakan hasil rekaman dari intraksi antara tenaga dengan objek yang direkam oleh sensor atau alat pengindera seperti kamera, penyiam (scanner), dan radiom yang masing-masing dilengkapi dengan detektor di dalamnya. Data penginderaan jauh dapat berupa data digital (data

29 12 numerik) dan data visual. Data visual terdiri dari citra maupun non citra. Data citra berupa gambaran yang mirip ujud aslinya atau berupa gambaran planimetrik sedangkan data non citra pada umumnya berupa garis atau grafik (Sutatnto, 1986). Simonett et al. (1983) dalam Sutanto (1986) mengutarakan pengertian tentang citra yaitu suatu gambaran rekaman dari objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau elektronik. Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya objek yang tergambar pada citra (Estes dan Simonett, 1975, dalam Sutanto, 1986). Interpretasi citra mempunyai sembilan unsur, yaitu (1) rona atau warna, (2) ukuran, (3) bentuk, (4) tekstur, (5) pola, (6) tinggi, (7) bayangan, (8) situs dan (9) asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara hirarki (Sutanto, 1986). Peranan penginderaan jauh dalam studi lahan kritis adalah untuk melakukan identifikasi dan interpretasi citra secara visual maupun digital sehingga dapat menghasilkan suatu peta lahan kritis Landsat ETM + Landsat ETM + merupaka seri ke-7 atau terakhir dari Landsat yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri sebelumnya. Landsat (Land Satellite) merupakan satelit sumberdaya alam pertama yang awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technological Satellite) yang diluncurkan pertama kalinya pada tanggal 23 juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari. Tepat sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi SEASAT yang telah direncanakan sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat-1 dan Landsat-2. Sedangkan Landsat-3 diluncurkan pada tanggal 5 Maret (Purwadhi, 2001). Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3 mempunyai kesamaan param orbit dan mempunyai interval waktu pemotretan terhadap objek yang sama, yaitu setiap 18

30 13 hari. Landsat berikutnya (4 dan 5) dirancang untuk mempunyai stabilitas lebih baik dari sebelumnya (Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3). Landsat-4 diluncurkan pada bulan Juli 1982 dan Landsat-5 diluncurkan pada bulan Maret (1984) (Purwadhi, 2001). Landsat-4 dan Landsat-5 memuat sensor Multi Spectral Scanner (MSS) dan sensor Thematic Mappers (TM). Sensor MSS memiliki 4 band dengan resolusi spasial 79 m, sedangkan sensor TM memiliki 7 band dengan resolusi spasial 30 m dan 120 m (khusus untuk band 6). Citra Landsat di wilayah khatulistiwa memberikan liputan 185x185 Km 2 (Asriningrum, 2002). Landsat merekam radiasi gelombang elektro-magnetik benda-benda di muka bumi, lalu dikirimkan ke bumi dalam bentuk data digital, untuk kemudian diolah menjadi citra atau gambar. Saat ini telah dibangun 25 stasiun bumi di seluruh dunia untuk menerima dan merekam data Landsat maupun SPOT, satu di antaranya adalah milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Pasar Rebo Jakarta (Soesilo, 1994). Landsat-6 memuat sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) diluncurkan pada bulan Februari 1993 tetapi mengalami kegagalan yang dikarenakan tidak mencapai orbit dan jatuh ke laut (Purwadhi, 2001). Selanjutnya Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April Landsat-7 memuat sensor ETM + dan memiliki 8 band. Perbedaan antara Landsat-7 dengan Landsat generasi sebelumnya adalah adanya tambahan 1 band pankromatik dan perubahan sistem perekaman pada band 6 beserta resolusinya. Band pankromatik memiliki resolusi 15 m dan band 6 memiliki resolusi 60 m, sedangkan sistem perekaman band 6 dibedakan menjadi dua yaitu low gain dan high gain. Perekaman sistem low gain ditujukan untuk analisis laut, sedangkan high gain untuk analisis darat (Asriningrum, 2002). Landsat-7 disebut juga Landsat ETM +. Keunggulan utama pada Landsat-7 dibandingkan dengan generasi sebelumnya adalah mempunyai resolusi spektral 8 band, resolusi radiometrik 8 bit, resolusi temporal 16 hari, dan resolusi spasial 30 m x 30 m (untuk band visible, near infrared, dan midlle infrared), 60 m x 60 m (untuk band thermal) dan 15 m x 15 m (untuk band pankromatik) (Purwadhi, 2001).

31 14 Dalam menjalankan kerjanya, Landsat menggunakan sensor-sensor yang dapat merekam kenampakan permukaan bumi dari angkasa. Setiap sensor memiliki kemampuan memisahkan setiap objek yang disebut resolusi. Menurut Swain dan Davis, 1978, dalam Asriningrum, 2002, resolusi adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau yang secara spektral mempunyai kemiripan. Dalam pengolahan citra ada empat macam resolusi yang penting, yaitu meliputi resolusi spektral, resolusi spasial, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002). Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002). Semakin kecil ukuran objek yang dapat terdeteksi, berarti resolusinya semakin halus atau semakin tinggi. Resolusi radiometrik adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan sensor untuk mencatat respon spektral objek. Kemampuan ini dikaitkan dengan kemampuan koding (coding), yaitu pengubahan intensitas pantulan spektral menjadi angka digital dan dinyatakan dalam bit (Danoedoro, 1996, dalam Asriningrum, 2002). Resolusi temporal adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama dengan satuan hari atau jam (Asriningrum, 2002). Landsat ETM + memiliki resolusi temporal 16 hari, ini berarti bahwa sistem ini secara normal akan merekam ulang daerah yang sama setiap 16 hari sekali. Karakteristik Landsat ETM + ditunjukkan pada Tabel 3, sedangkan karakteristik masing-masing band disajikan pada Tabel 4. Band atau kanal merupakan serangkaian nilai file data dari bagian tertentu spektrum elektromagnetik dari reflektan atau emisi panas (biru, merah, hijau, inframerah dekat, inframerah termal, dsb). Dengan semakin meningkatnya jumlah band maka akan semakin banyak memberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai fusi

32 15 data untuk mendapatkan lebih banyak informasi disesuaikan dengan bidang aplikasinya. Landsat merupakan data penginderaan jauh yang memiliki cakupan yang luas dan kualitas resolusi spasial yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Karakteristik ini menguntungkan untuk tujuan analisis geomorfologis karena dengan menggunakan satu liputan (scene) data dapat di peroleh kenampakan bentang lahan secara utuh, sehingga sangat membantu untuk analisis morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi bentuklahan secara komposit.(asriningrum, 2002). Tabel 3. Karakteristik Landsat ETM + Tipe Spesifikasi Karakteristik Orbit : Ketinggian 705 Km Inklinasi 98,2 Orbit Sinkron matahari hampir polar Melintas ekuator waktu setempat Periode 99 menit Periode ulang 16 hari Karakteristik Teknik Sensor : Tipe penyiam Opto-mechanical Resolusi spasial 15/30/60 m Resolusi radiometrik 8 bit (256 level) Panjang gelombang 0,45-12,5 m Jumlah band 8 Liputan 183 x 170 Km Lebar liputan 183 Km Stereo Tidak Dapat deprogram (programmable) Ya Sumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002). 2.8.Klasifikasi Bentuklahan (Landform) dan Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse) Bentuklahan dan penggunaan lahan dipermukaan bumi ini sangat beragam sehingga untuk dapat menggambarkannya secara spasial perlu dilakukan klasifikasi untuk menyederhanakan bentuklahan dan penggunaan lahan tersebut Klasifikasi Bentuklahan (Landform) Klasifikasi bentuklahan didasarkan pada kesamaan sifat dan karakteristik bentuklahan. Beberapa sifat dan karakteristik bentuklahan yang digunakan adalah:

33 16 (1) konfigurasi permukaan (mencangkup: topografi dataran, berombak, bergelombang, perbukitan, pegunungan, dan ekspresi topografi yang menekankan pada ukuran seperti kamiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng, beda tinggi/relief, bentuk lembah dan sebagainya), (2) proses geomorfologis yang mengakibatkan terjadinya bentuklahan, dan (3) struktur geologi dan jenis batuan/material. Tabel 4. Karakteristik Band Landsat ETM + Band Panjang Gelombang (µm) Resolusi Spasial (m) 1 (biru) 0,450-0, (hijau) 0,525-0, (merah) , (inframerah dekat) 5 (inframerah tengah I) 6 (inframerah termal) 7 (inframerah tengah II) 0,750-0, ,550-1, ,40-12, ,090-2, Karakteristik Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan bathimetri pada air dangkal. Berguna untuk pembedaan antara tanah dan vegetasi. Sesuai untuk mengindera puncak pantulan vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan pertumbuhan tanaman. Sesuai untuk membedakan absorbs klorofil yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. Berguna untuk menentukan kandungan biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai serta membedakan antara tanamantanah dan lahan-air. Menunjukkan kandungan kelembaban tanah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Baik untuk kekontrasan antara tipe vegetasi. Berguna untuk mendeteksi gejala alam yang berhubungan dengan panas. Citra malam hari berguna untuk pemetaan termal dan untuk perkiraan kelembaban tanah. Sama dengan absorbs band yang disebabkan oleh ion hidroksil dalam mineral. Rasio antara band 5 dan 7 berguna untuk pemetaan perubahan batuan secata hidrotermal yang berhubungan dengan endapan mineral dan sensitive terhadap kandungan kelembaban vegetasi. Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat 8 (pankromatik) 0,520-0, untuk identifikasi objek lebih detail. Sumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002).

34 17 Beberapa klasifikasi bentuklahan yang dapat diterapkan di Indonesia antara lain menurut Thornbury (1954), Verstappen dan Van Zuidam (1969), dan Desaunettes J.R (1977). a. Klasifikasi menurut Thornbury (1954), dalam bukunya Principles of Geomorphology Dasar klasifikasi yang digunakan adalah unsur-unsur pembentuk bentuklahan, yaitu: proses geomorfik, struktur geologi, relief, dan tingkatan hasil proses. Klasifikasi bentuklahan menurut Thornbury adalah: (1) bentuklahan fluvial, (2) bentuklahan denudasional, (3) bentuklahan struktural, (4) bentuklahan angin, (5) bentuklahan karst, (6) bentuklahan gleser, (7) bentuklahan marin (pantai dan dasar lautan), (8) bentuklahan gunung api, dan (9) bentuklahan pseudovulkanik. b. Klasifikasi menurut Verstappen dan Van Zuidam (1969), dalam bukunya ITC System of Geomorphological Survey Klasifikasi yang digunakan adalah atas dasar genetik. Klasifikasinya mencangkup: (1) bentuklahan asal struktural, (2) bentuklahan asal vulkanik, (3) bentuklahan asal denudasional, (4) bentuklahan asal fluvial, (5) bentuklahan asal marin, (6) bentuklahan asal glasial, (7) bentuklahan asal eolian, dan (8) bentuklahan asal solusional. c. Desaunettes J.R (1977) dalam bukunya Catalogue of Landforms for Indonesia (Interim Paper) Dasar klasifikasi yang digunakan adalah hasil dari proses pelapukan dan erosional yang bekerja pada berbagai batuan yang berbeda-beda. Klasifikasi bentuklahan menurut Desaunettes adalah: (A) sistem alluvial, (B) sistem marin, (P) sistem dataran, (H) sistem perbukitan, (M) sistem plato dan pegunungan, (V) sistem vulkanik, (K) sistem karst, dan (X) sistem lain.

35 Klasifikasi Penutup Lahan (Landcover)/Penggunaan Lahan (Landuse) Klasifikasi penutup/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan penutup/penggunaan lahan dalam penyajian data spasial dari penggunaan citra penginderaan jauh. Menurut Suharyadi (1996), secara teoritis klasifikasi penutupan /penggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut: tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan dibuat oleh instansi atau penulis dengan memfokuskan pada klasifikasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Beberapa klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibuat berdasarkan kebutuhan masing-masing instansi. a) Klasifikasi Penutup/penggunaan Lahan Menurut Badan Pertanahan Nasional ( 1977) Badan Pertanahan Nasional membagi wilayah perdesaan dan perkotaan sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan. Untuk wilayah perdesaan dirinci lagi berdasarkan skala peta. Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan skala besar dan skala sedang bukan merupakan rincian dari klasifikasi penggunaan lahan skala kecil. Jadi beberapa kategori kelas penggunaan lahan pada klasifikasi skala besar dan sedang tidak terdapat pada kategori kelas penggunaan lahan skala kecil. b) Klasifikasi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan untuk Indonesia Menurut Malingreau (1981) Sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan menurut Malingreau merujuk pada kombinasi sistem psysiogonomik dan sistem fungsional. Sistem klasifikasi yang dibangun merupakan sistem klasifikasi bertingkat, dengan empat tingkat klasifikasi. c) Klasifikasi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan Menurut United States Geologi Survey (USGS) Sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibangun oleh USGS merupakan salah satu klasifikasi yang banyak dirujuk oleh para pengguna peta penggunaan lahan. Sistem klasifikasi ini dikembangkan dengan menggunakan

36 19 citra penginderaan jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya. Sistem klasifikasi USGS merupakan sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang berjenjang, yaitu dari tingkat I (umum) hingga tingkat IV (rinci). d) Klasifikasi Penutup/penggunaan Lahan Menurut Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPRoT) Klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibuat oleh RePPPRoT adalah untuk evaluasi lahan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh sebagai sumber utama datanya dan peta penutup/penggunaan lahan yang dihasilkan pada skala 1 : e) Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Neraca Sumber Daya Alam Spasial Daerah (NSSAD) Klasifikasi penggunaan lahan yang dibangun untuk keperluan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Daerah merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang diarahkan untuk pengelolaan sumberdaya alam. Karena sifatnya untuk pengelolaan sumberdaya alam, maka penekanannya pada kategori penggunaan lahan yang terkait dengan sumberdaya alam. f) Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Kardono Darmoyuwono Klasifikasi penggunaan lahan yang dibangun oleh Kardono Darmoyuwono merupakan klasifikasi yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di Indonesia. Klasifikasi ditekankan untuk wilayah perdesaan dan pada skala kecil. Klasifikasi yang dibangun merupakan sistem klasifikasi tunggal. Dalam sistem klasifikasi ini dilengkapi dengan simbol area untuk penggambaran pada peta.

ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON

ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON ANALISIS DATA LANDSAT ETM + UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON ELISSA DWIYANTI A24104064 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi dari gabungan proses-proses alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunungapi, gempa bumi, tanah longsor,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kota Bogor yang terletak di antara 106 0 43 30 106 0 51 00 Bujur Timur dan 6 0 30 30 6 0 41 00 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN BAHAYA DAN RESIKO BENCANA ALAM DI KOTA BOGOR BERBASIS GEOMORFOLOGI

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN BAHAYA DAN RESIKO BENCANA ALAM DI KOTA BOGOR BERBASIS GEOMORFOLOGI PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN BAHAYA DAN RESIKO BENCANA ALAM DI KOTA BOGOR BERBASIS GEOMORFOLOGI Oleh : Alwan Rafiuddin A24104047 Bagian Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

PETA SATUAN LAHAN. Tabel 1. Besarnya Indeks LS menurut sudut lereng Klas lereng Indeks LS 0-8% 0,4 8-15% 1, % 3, % 6,8 >40% 9,5

PETA SATUAN LAHAN. Tabel 1. Besarnya Indeks LS menurut sudut lereng Klas lereng Indeks LS 0-8% 0,4 8-15% 1, % 3, % 6,8 >40% 9,5 PETA SATUAN LAHAN Pembuatan Satuan Lahan Lereng Faktor lereng sangat mempengaruhi erosi yang terjadi. Pengaruh lereng pada proses terjadinya erosi yaitu mempengaruhi besarnya energi penyebab erosi. Karakteristik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7.1.Analisis Visual Analisis visual dilakukan untuk mendapatkan algoritma terbaik untuk menggabungkan data Landsat ETM+. Analisis visual dilakukan dengan menguji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis) 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Realitas dinamika kehidupan pada masa lalu, telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan tentang kondisi tempat berdasarkan sudut filosofi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan kemampuannya agar tidak menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Geomorphology is the study which describes landforms and the

Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Geomorphology is the study which describes landforms and the Geo Morpho Logos Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Zuidam and Cancelado (1979, 1985) Geomorphology is the study which describes landforms and the processes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan dan proses proses yang mempengaruhinya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuklahan dan proses

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu)

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Rahmawati Suparno Putri rahmawatisuparnoputri@ymail.com Totok Gunawan totokgunwan@yahoo.com Abstract This

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. wilayah yang jelas, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Kota

TINJAUAN PUSTAKA. wilayah yang jelas, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Kota TINJAUAN PUSTAKA Tata Ruang Kota Kota adalah sebagai suatu wadah yang mempunyai batasan administrasi wilayah yang jelas, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Kota sebagai suatu lingkungan

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN

PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN 1989 2014 Amalia Fathiningrum 1, Supriatna 2 dan Hari Kartono 3 123 Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik

Lebih terperinci

Kartika Pratiwi Sigit Heru Murti B.S.

Kartika Pratiwi Sigit Heru Murti B.S. APLIKASI PENGOLAHAN DIGITAL CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS KASUS DI KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH Kartika Pratiwi Tiwigeograf@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia. Dengan kata lain

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi 01. Suatu ilmu atau teknik untuk mengetahui suatu benda, gejala, dan area dan jarak jauh dengan menggunakan alat pengindraan berupa sensor buatan disebut... (A) citra

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi?

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi? PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA Suroso Sastroprawiro Bambang Kuncoro Hadi Purnomo Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Contact person: 08122953788

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, biotis, udara dan ruang, mineral tentang alam, panas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] [ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] AY 11 LOGO Pendahuluan Perencanaan Tata Guna lahan pada hakekatnya adalah Pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu permukaan tertentu. Permasalahan yang mungkin

Lebih terperinci