Oleh Habib Adjie. (Notaris PPAT Pejabat Lelang Kls II Surabaya)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh Habib Adjie. (Notaris PPAT Pejabat Lelang Kls II Surabaya)"

Transkripsi

1 DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT PENGUJIAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1/1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS DAN PPAT Oleh Habib Adjie. (Notaris PPAT Pejabat Lelang Kls II Surabaya) I. Pengantar. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI/MK) tanggal 17 Pebruari 2012, dengan Putusan nomor : 46/PUU-VIII/2010 telah mengabulkan sebagian terhadap pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 43 ayat (1) 1. Dalam Amar Putusan dinyatakan antara lain : Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; 1 Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti H. Mochtar Ibrahim (dengan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Berawal dari hubungan pernikahan siri Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti H. Mochtar Ibrahim dengan Moerdiono pada tanggal 20 Desember 1993 dan dilahirkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono). Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti H. Mochtar Ibrahim terpaksa mencari keadilan setelah keberadaan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono tidak diakui Moerdiono, juga mengabaikan hak-hak perdata Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, seperti uang bulanan sebagai biaya hidup dan biaya sekolah. Tujuan hak uji materil tersebut hanya satu, yakni agar Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono mendapat status hukum tetap dan diakui oleh Keluarga Moerdiono. (Jawa Pos, Sabtu 18 Februari 2012, hal. 19). 1

2 Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Bahwa sebuah Putusan MKRI tidak bersifat operasional, tapi harus ditindak lanjuti oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dengan Undang-undang 2 untuk mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam bentuk undang-undang lagi. Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan unifikasi hukum positif untuk hukum perkawinan 3. Jika selama ini dalam agama Islam (fiqih), bahwa anak yang dilahirkan tidak dari perkawinan yang sah, maka hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (seperti Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), maka dengan putusan MK tersebut, apakah dalam pandangan fiqih harus berubah mengikuti Putusan MK?. Dari kajian agama Islam putusan tersebut 2 Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan Tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1.) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden 3 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 2. 2

3 telah masuk wilayah fiqih 4. Dengan adanya putusan MK itu tidak mustahil akan menimbulkan kegaduhan hukum dan politik, bila diarahkan pada diskursus pemilihan antara ketaatan masyarakat pada hukum nasional atau hukum agama 5. Dalam kaitan ini perlu dicermati juga Disenting Opinion dari Hakim Konstiutusi Maria Farida Indrati dalam Putusan tersebut yang berpendapat secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transedental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya; sedangkan norma hukum dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah). Oleh karena itu jika dalam pandapat atau ajaran agama tertentu putusan MK tersebut tidak selaras dengan keyakinan dan agama yang bersangkutan, maka Putusan MK ini tidak dapat dipaksakan, yang dapat dipaksakan keberlakuannya oleh pemerintah jika dalam bentuk peraturan perundang-undangan. 4 HM. Nurul Irfan, Ijtihad Spektakuler MK, Republika, Selasa 21 Februari 2012, hal. 4. Muh. Nursalim, Ijtihad Liar MK (Tanggapan Untuk Nurul Irfan), Republika, Sabtu 25 Februari 2012, hal Irsyad Dhahri S. Suhaeb, Dampak Putusan MK, Republika, Selasa 21 Februari 2012, hal. 4. 3

4 Meskipun demikian Putusan MKRI akan mengubah substansi pengaturan Hukum Keluarga Indonesia 6 dalam hal hubungan orang tua dan anak yang juga akan berkaitan dengan : Kedudukan hukum anak di luar perkawinan. Bukti Keterangan Waris. Hak/bagian Waris anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pengakuan dan pengesahan anak. Penyebutan orang tua anak dalam akta kelahiran. Perubahan tersebut akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas jabatan tugas jabatan Notaris dan PPAT, misalnya ketika akan dilakukan peralihan hak atau penjualan tanah ataupun penjaminan yang 6 Sekalipun judul resminya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kalau kita simak, maka akan ternyata bahwa di dalamnya tidak hanya diatur tentang perkawinan saja, seperti : Dasar-dasar perkawinan (pasal 1 s/d 5). Syarat-syarat perkawinan (pasal 5 s/d 12). Pencegahan perkawinan (pasal 13 s/d 21). Batalnya perkawinan (pasal 22 s/d 28). Perjanjian perkawinan (pasal 29). Putusnya perkawinan dan lain-lain (pasal 38 s/d 41) tetapi juga mengatur tentang akibat-akibat perkawinan. Hak dan kewajiban suami isteri di dalam perkawinan (pasal 30 s/d 34). Harta benda di dalam perkawinan (pasal 35 s/d 37) dan bahkan di dalamnya diatur pula tentang : Hubungan orang tua dan anak (pasal 45 s/d 49). Hubungan antara anak yang dibawah perwalian/dengan wali (pasal 50 s/d 54). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berisi ketentuan-ketentuan tentang Hukum Keluarga. Hubungan hukum yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi antara lain : Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan Hukum Kekayaan suami-isteri. Hubungan orang tua dan anak. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya. Hubungan curator dan curandus. Jadi Hukum Keluarga meliputi : perkawinan dengan semua segi-seginya, akibat yang timbul dari adanya perkawinan (peristiwa-peristiwa hukum yang hanya mungkin timbul karena adanya perkawinan) dan bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar kawinnya, yang tidak dapat dikatakan merupakan akibat suatu perkawinan, karena memang antara si Bapak dengan si Ibu yang melahirkan anak tersebut tidak ada iktan perkawinan. Walaupun demikian kiranya tak ada tempat yang lebih tepat untuk mengatur hal tersebut selain Hukum Keluarga dan sampai kini tak ada yang menyatakan kebereatannya. J. Satrio, op cit., hal

5 didasarkan pada Bukti Keterangan Waris, apakah Notaris/PPAT yakin tidak ada ahli waris lainnya selain yang tersebut dalam Bukti Keterangan Waris tersebut? Dalam hal ini memang Notaris/PPAT terlepas dari keadaan tersebut, jika suatu hari terbukti ada ahli waris lain yang ternyata dapat membuktikan dirinya ada hubungan darah dengan bapaknya dan menuntut hak/bagiannya. Tapi akan tetap akan merepotkan Notaris, harus memberikan keteterangan yang berkaitan dengan peralihan hak tersebut. Oleh karena itu perlu langkah dan tindakkan antisipatif dari Notaris/PPAT dalam melaksanakan tugas jabatan Notaris/PPAT terkait putusan MKRI tersebut. II. Pengertian Anak Yang Dilahirkan Di Luar Perkawinan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menegaskan bahwa Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu (1) apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu 7.; (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7 Dalam Praktek Perkawinan Islam, bahwa perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan tidak/belum ditindak lanjuti dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, biasa disebut Nikah Siri. Agar tercatat atau perkawinan tersebut mempunyi legalitas dari pemerintah terhadap perkawinan dapat diajukan Penetapan Perkawinan (itsbat) dari Pengadilan Agama (lihat Pasal 7 ayat (2), Buku I Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam 7 ayat (3) dan (4) KHI, disebutkan pula : (3) Itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan. (b) Hilangnya Akta Nikah. (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkaeinan itu. 5

6 Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut termasuk yang dilakukan hak uji materil, tapi dalam Putusan tersebut telah ditolak (tidak beralasan menurut hukum). Pertimbangan MK untuk menolak sebagai berikut : (3.12) Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan :...bahwa suatu perkawinan adalah sah bilama dilakukan menurut hukum masing-masing masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keyterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sah perkawinan, dan (ii) pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak manusia yang bersangkutan yang merupakan langsung tanggungjawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara 6

7 hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945). Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan undang-undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945). Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya. Berdasarkan pendapat dari MK tersebut, bahwa suatu perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan dan kepercayaan para calon mempelai, merupakan perkawinan yang sah, sedangkan pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif untuk mempermudah proses pembuktian dengan akta otentik. Oleh karena perkawinan seperti itu (perkawinan siri) tetap sah, maka anak yang dilahirkan tetap sah. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang 7

8 dilakukan berdasarkan agama/keyakinan dan kepercayaan orang tuanya (dan keabsahan perkawinannya tidak dipersengketakan), bukan atau tidak dalam kualifikasi sebagai anak yang dilahirkan diluar perkawinan. MK dalam pertimbangan hukum putusan tersebut memberikan tafsir dan batasan anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai berikut : (3.13) Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa yang dilahirkan di luar perkawinan. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan yterjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggungjawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi 8

9 dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakunan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan ahak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan dari pertimbangan MK tersebut dapat dibatasi bahwa dikualifikasikan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yaitu untuk anak yang bapak dan ibunya tidak terikat perkawinan, istilah MK...terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinannya, juga keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Bahwa agar anak yang dilahirkan dari bapak dan ibunya dengan batasan seperti tersebut di atas mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, maka dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan dan ditafsirkan bahwa : 1. Anak yang dilahirkan dari bapak dan ibunya yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan keabsahan perkawinannya tidak dipersengketakan, maka tetap sebagai anak sah sebagai akibat dari perkawinan yang sah. 9

10 2. Anak yang dilahirkan dari bapak dan ibunya tidak terikat perkawinan atau tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinannya, juga keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan, maka anak tersebut sebagai anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Dan agar anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya dan keluarga bapaknya, terlebih dahulu harus dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Menurut Wahbah az-zuhailim (pakar hukum Islam), bahwa anak yang lahir akibat nikah siri (dibawah tangan) tetap memilki hubungan nasab dengan ayahnya. Sebab, pernikahan yang sah merupakan salah satu sebab ditetapkannya nasab anak, selain hubungan badan secara syubhat (belum jelas halal-haramnya), dan ikrar/pengakuan nasab. Sementara nasab anak terhadap ibu kandungnya ditetapkan atas dasar kelahiran, baik lahir secara syar i (pernikahan) maupun tidak secara syar i (perzinahan) 8. III. Pengakuan Anak dan Pengesahan Anak. Dalam terminologi Hukum Keluarga Indonesia ada beberapa istilah yang berkaitan dengan anak, antara lain : Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak dan Pengesahan Anak. Kedudukan Pengakuan Anak dan Pengesahan Anak dapat mengalami pergeseran pengertian serta maksud dan tujuannya jika dikaitkan dengan putusan MK tersebut di atas, dalam kaitan ini akan dibahas pula mengenai Pengangktan Anak. 8 HM. Nurul Irfan, loc cit, hal

11 A. Pendahuluan. Pada tanggal 29 Desember 2006 disahkan dan diundangkan Undangundang Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan 9 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia). Secara substansi undang-undang tersebut mengatur tentang Administrasi Kependudukan untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian dan pencatatan sesuai dengan ketentuan undang-undang 10, atau Undang-undang ini mengatur pengadministrasian dan pencatatan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia, yang kemudian dikeluarkan bukti atau dokumen 9 Ketika masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU), substansi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 ini dinilai atau merupakan penggabungan substansi Catatan Sipil (civil registration) yang lebih menitikberatkan pada hukum dan aspek keperdataan (privat), sedangkan administrasi kependudukan bersifat hukum publik atau administrasi. Penggabungan ini, jika tak mau disebut kooptasi administrasi kependudukan atas pencatatan sipil dalam RUU Administrasi Kependudukan, berikut pelaksanaannya, akan mengaburkan validitas dan keotentikan akta catatan sipil, sekaligus mengaburkan hak-hak sipil masyarakat.wahyu Effendi, Adminduk dan Kriminalisasi Penduduk, Kompas 19 Desember Lihat Konsiderans Menimbang huruf b dan Penjelasan bagiam Umum Undangundang Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. 11

12 resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana 11. Untuk menjaminnya penyelenggaraan Adminstrasi Kependudukan tersebut, bahwa penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan 12 : 1. memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk untuk setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh penduduk. 2. memberikan perlindungan status hak sipil penduduk. 3. menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudak diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya. 4. mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu, dan 11 -Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006, bahwa Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan. Peristiwa Penting yang dialami seseorang dicatat dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana (Pasal 1 angka 15). Pencatatan Peristiwa Penting tersebut dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil yang pengangkatannya sesuai peraturan perundangundangan (Pasal 1 angka 16). -Dalam kaitan ini perlu mendapat perhatian mengenai lembaga atau institusi Pencatatan Sipil biasanya di berbagai kota atau kabupaten dinamakan Kantor Catatan Sipil, dan lembaga ini di negara-negara lain disebut Civil Registration Office. Di negara kita ini dalam rangka semangat Otonomi Daerah ada pemerintah kota/kabupaten yang menempatkan atau membuat lembaga Pencatatan Sipil sebagai bagian dari lembaga lain, bahkan jauh dari perkiraan sebagai suatu lembaga Pencatatan Sipil misalnya ada kota/kabupaten yang menempatkan tugas Pencatatan Sipil ditangani Dinas Sosial dan Kependudukan, atau menjadi wewenang Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja atau menjadi bagian dari Kantor Kependudukan dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (lihat Jalan Panjang Menjadi WNI Catatan Pengalaman dan Tinjauan Kritis, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal ). -Bahwa Akta Catatan Sipil harus dapat diterima secara internasional, karena pencatatan sipil harus berdasarkan kepada prinsip kontinyu, permanent, universalitas (ibid.). Oleh karena itu lembaga pecatatan sipil di seluruh Indonesia harus mempunyai nama yang sama, bukan bagian atau dengan nama yang laian yang tidak dapat diterima secara internasional. 12 Lihat Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. 12

13 5. menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kehadiran Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 diharapkan menghilangkan diskriminasi pengadministrasian kependudukan yang sebelumnya berdasarkan ketentuan-ketentuan peninggalan produk kolonial Belanda yang mendasarkan pencatatan dan pengadminstrasian kependukan kepada golongan penduduk/etnis/ras dan agama 13. Maka untuk menghilangkan diskriminasi tersebut telah dicabut beberapa ketentuan produk kolonial Belanda seperti tersebut dalam Pasal 106 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 pada saat mulai berlakunya 13 Meskipun dalam hal ini Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 ini tidak sepenuhnya menghilangkan diskriminasi pencatatan Peristiwa Penting seperti Perkawinan untuk Penduduk Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, maka Pelaporannya atau Pencatatan Perkawinannya wajib dilakukan di/pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan Penerbitan Akta Perkawinannya dilakukan oleh Departemen Agama (Pasal 34 ayat (4) (6) dan Penjelasannya. Dalam tataran hukum yang ideal sebaiknya lembaga pencatatan cukup satu saja untuk semua Peristiwa Penting, artinya tidak perlu ada lembaga pencatatan perkawinan untuk penganut agama tertentu, seperti perkawinan yang dilakukan mereka yang beragama Islam yang harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Lembaga Pencatatan cukup Catatan Sipil saja untuk mencatat dan memberikan dokumen hukum yang berkaitan dengan Peristiwa Penting untuk seluruh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia. Adanya lembaga pencatatan seperti itu dapat memboroskan keuangan negara dan tidak mencerminkan adanya lembaga pencatatan yang nasional, juga memperlihatkan dan masih memelihara adanya diskriminasi dalam pencatatan perkawinan di Negara Republik Indonesia ini. 13

14 telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku 14 ; : a. Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 1847 : 23); 14 Menurut Harry Tjan Silalahi telah terjadi salah pencabutan ketentuan hukum yang tersebut dalam Pasal 106 huruf c dan e tersebut (Masalah pada UU Adminduk, Kompas, Rabu, 4 April 2007). Selengkapnya pendapat Harry Tjan Silalahi sebagai berikut : -Pasal 106 huruf c UU Adminduk menyatakan Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina dicabut. Ketentuan itu menurut UU No. 23/2006 tentang Adminduk dimegerti sebagai diatur dalam Staatsbald 1917 No. 120 yang teks asli bahasa Belanda berbunyi Bepalingen voor Geheel Indonesie Betreffende het Burgerliken Handelsrecht van de Chinezean, artinya Ketentuan tentang Hukum Perdata untuk Golongan Cina.. -Padahal, Staatsbald 1917 : 129 sebenarnya sudah mati karena tertinggalkan, yaitu sebagai konsekuensi penundukkan diri secara sukarela warga keturunan Cina umumnya kepada Hukum Perdata Barat. Seharusnya yang dicabut adalah Staatsblad 1917 : 130 berjudul Reglement op het Houden Der Registers van de Burgerlijke Stand voor de Chineezen, atau Peraturan Penyelenggaraan Daftardaftar Catatan Sipil untuk Golongan Cina. Namun justru Staatblad 1917 : 130 dibiarkan dan tidak dicabut sehingga dapat menimbulkan dualisme hukum dalam hal Catatan Sipil bagi keturunan Cina. -Apa arti dan akibatnya? Dengan masih berlakunya Staatblad 1917 : 130, WNI keturunan Cina basa dicatat lagi dalam Catatan Sipil khusus bagi golongan Cina, seperti pada zaman kolonial dulu. Maksud UU Adminduk yang ditujukan untuk menciptakan system perundang-undangan yang non-segregasi justru memberi kesempatan kembali untuk disalahgunakan, dan ujung-ujungnya dapat menimbulkan diskriminasi sehingga UU itu tidak mencapai tujuan. -Demikian pula dengan Pasal 106 huruf e UU Adminduk yang menyatakan mencabut peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia, kutipan bahasa Belanda menjadi Huwelijksordonantie voor Christenen Indinesiers Java, Minahasa, en Amboiena, Staatsblad 1933 : 74 jo Staatsblad 1936 : 607 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939 : 288. Ketentuan ini sebenarnya sudah dicabut dengan disahkannya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. -Sementara pencatatan sipil untuk golongan Kristen Indonesia selama ini selalu mendasarkan diri pada Staatsblad 1933 : 75 (beserta perubahannya) dengan teks asli berbahasa Belanda berjudul Reglement Burgerlijke Stand Christen- Indonesiers atau Reglement Catatan Sipil untuk Orang Indonesia Kristen justru tidak dicabut, sehingga masih berlaku. Maka, untuk golongan Indonesia Kristen juga akan terjadi dualisme hukum dalam masalah Catatan Sipil. -Apakah kekeliruan pencabutan ini disengaja karena kelalaian, atau ketidaktelitian, hanya DPR, pemerintah, atau percetakan yang tahu. Yang jelas kekeliruan itu harus dibetulkan dan diluruskan. Pembetulan dan peluruasan UU Adminduk dapat dilakukan melalui revisi atau perubahan sesegera mungkin sebelum menimbulkan akibat lebih jauh yang tidak diinginkan. 14

15 b. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het Houden der Registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen, Staatsblad 1847 : 25) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 1946 : 1361); c. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina (Bepalingen voor Geheel Indonesie Betreffende het Burgerlijken Handelsrecht van Chinezean, Staatsblad 1917 : 129 jo Staatsblad 1939 : 288 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1946 : 136); d. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia (Reglement op het Houden van Registers van den Burgerlijke Stand Door Eenigle Groepen v.d. nit tot de Onderhoringer van een Zelfbestuur behoorende Ind. Bevolking van Java en Madura, Staatsblad 1920 : 751 jo Staatsblad 1927 : 546); e. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia (Huwelijksordonantie voor Christenen Indonesiers Java, Minahasa en Amboiena, Staatsblad 1933 : 74 jo Staatsblad 1936 : 607 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939 : 288) 15. f. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1961 Tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomo 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2145). Mengkaji substansi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 dan yang dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku hanya berkaitan dengan pencatatan dan pembuatan dokumen hukum untuk : 1. Kelahiran; 2. Kematian; 3. Perkawinan; 4. Perceraian; 5. Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga. hal-hal seperti itu dalam Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 disebut sebagai Peristiwa Penting merupakan kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, 15 Staatsblad 1933 : 74 yaitu Ordonantie Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers) telah dinyatakan tidak berlaku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 15

16 pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan 16. Peristiwa Penting tersebut seharusnya dinilai sebagai suatu Peristiwa Keperdataan, karena berkaitan dengan status keperdataan seseorang, yang sebelumnya hal tersebut di atur dalam Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 1847 : 23), dengan dicabutnya ketentuan tersebut dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka peristiwa atau kejadian tersebut masuk ke dalam bagian atau pengaturan Administrasi Kependudukan. Meskipun inti dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 mengatur mengenai pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia atau Warga Negara Indonesia sesuai aturan hukum yang berlaku, tapi pada bagian Penjelasan, undang-undang tersebut mengatur dan memberikan batasan atau pengertian yang berkaitan dengan Peristiwa Hukum yang diatur dan disebutkan dalam Penjelasan, antara lain : 1. Pengangkatan Anak (Penjelasan Pasal 47 ayat (1). 2. Pengakuan Anak (Pasal 49 ayat (1). 3. Pengesahan Anak (Pasal 50 ayat (1). Ketiga hal tersebut perlu dikaji secara khusus, karena Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 telah memberikan pengertian dan batasan terdiri yang dapat mengubah batasan atau pengertian yang telah ada sebelumnya. Meskipun penyebutan ketiga hal tersebut secara singkat terdapat dalam Penjelasan yang berkaitan dengan Pencatatan Sipil untuk Pengangkatan, Pengakuan dan Pengesahan Anak. 16 Dalam Pasal 56 disebutkan Pencatatan untuk Peristiwa Penting lainnya, dan dalam Penjelasan Pasal 56 tersebut, bahwa Peristiwa Penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin. 16

17 B. Pengangkatan Anak. Dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, bahwa yang dimaksud dengan Pengangkatan Anak 17. adalah : perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Berpijak pada pengertian atau batasan Pengangkatan Anak tersebut 18, bahwa Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum 19 dengan maksud dan tujuan tertentu yang diatur oleh hukum dan mempunyai akibat hukum tertentu, misalnya orang yang mengangkat anak akan bertanggungjawab sepenuhnya lahir batin terhadap anak yang diangkatnya. Disamping Pengangkatan Anak yang merupakan suatu perbuatan hukum, ada juga Adopsi. Dalam hubungan ini menimbulkan pertanyaan apakah Pengangkatan Anak dengan Adopsi merupakan suatu perbuatan hukum yang sama? Akhir dari maksud dan tujuan Pengangkatan Anak dan Adopsi adalah sama, yaitu untuk kesejahteraan lahir batin anak yang diangkat atau diadopsi tersebut, tapi dari segi persyaratan berbeda. Pengertian Pengangkatan Anak seperti tersebut mensyaratkan semua orang dapat melakukan Pengangkatan Anak setelah memenuhi syarat yang ditentukan, sedangkan Adopsi sebagaimana yang 17. Pengertian atau Batasan Pengangkatan Anak tersebut sama dengan pengertian atau batasan Anak Angkat yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa Anak Angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. 18. Pasal 171 huruf a (KHI Buku II Hukum Kewarisan) bahwa Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. 19. Perbuatan Hukum adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan berpijak pada ketentuan hukum yang berlaku dengan segala akibat hukumnya. 17

18 diatur dalam Staatsblad 1917 : 129, dan dapat disimpulkan bahwa Adopsi hanya boleh dilakukan oleh 20 : - sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki. - seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki. - seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki sepanjang almarhum suaminya tidak meninggalkan surat wasiat yang isinya tidak menghendaki jandanya melakukan pengangkatan anak. - orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak dan belum diangkat anak oleh orang lain 21. Pada Adopsi maka putuslah hubungan keperdataan yang berasal dari keturunan karena kelahiran, antara kedua orang tua atau keluarga mereka sedarah dan semenda dengan anak yang diadopsi 22, dan kepada anak yang 20. Lihat Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Alam, Bandung, 2007, hal Dalam perkembangan yurisprudensi di Indonesia, telah diperkenankan untuk mengadopsi anak laki-laki dan perempuan. Demikian pula seorang perempuan yang belum menikah dapat mengadopsi anak laki-laki atau anak perempuan. Djaja S. Meliala, ibid. -Putusan Pengadilan Negeri Jakarta, tanggal 29 Mei 1963, nomor 907/1963 P, yang telah memperkenankan ketentuan yang tersebut dalam Stbl : 129 mengalami perubahan, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pengaturan Adopsi yang tersebut dalam Pasal 5 dan seterusnya Stbl : 129 sudah tidak mempunyai hak hidup lagi, karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Selanjutnya ditegaskan pula bahwa Warga Negara Indonesia keturunan di Indonesia telah lama meninggalkan Hukum Adat Tionghoa yang menarik garis keturunan secara patrilineal serta penghormatan kepada nenek moyangnya, sehingga sekarang lebih bercorak parental. Putusan ini merupakan suatu terobosan terhadap Hukum Adat Tionghoa yang disesuaikan dengan Hukum Positif Indonesia, M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari segi Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, hal Putusnya hubungan keperdataan antara kedua orang tua atau keluarga sedarah dan semenda dengan anak yang diadosi, ada perkecualian (Pasal 14 Staatsblad 1917 : 129), yaitu : 1. derajat kekeluargaan sedarah dan semenda yang dilarang untuk perkawinan. 2. ketentuan-ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan karena kelahiran. 3. kompensasi biaya-biaya perkara dan penyanderaan. 4. pembuktian dengan saksi. 5. penampilan sebagai saksi pada akta-akta otentik. 18

19 diadopsi karena hukum dapat memakai nama keluarga orang tua yang mengadopsinya 23. Dengan demikian Adopsi dapat dilakukan, jika memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dalam Staatsblad 1917 : 129, dengan kata lain tidak semua orang dapat melakukan Adopsi, tapi untuk Pengangkatan Anak dapat dilakukan tanpa melihat ketentuan yang sama atau hampir sama seperti tersebut dalam Adopsi. Pengangkatan anak ini mempunyai batasan atau pengertian yang berbeda, jika dikaitkan dengan Pengangkatan Anak dalam atau menurut Hukum Adat dan Hukum Islam. Dalam Pengangkatan Anak pada Hukum Adat berkaitan dengan sistem kekeluargaan yang ada pada masyarakat Indonesia, yaitu Patrilineal, Matrilineal atau Parental. Meskipun demikian Pengangkatan Anak yang berdasarkan pada sistim kekeluargaan tersebut tidak mutlak harus seperti itu, dan selaras dengan perkembangan jaman, telah banyak yurisprudensi yang telah menempatkan hubungan hukum dalam Pengangkatan Anak tersebut, misalnya : bahwa menurut Hukum Adat (di daerah Jawa Barat), seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah memenuhi syarat-syarat :diurus, dikhitan, disekolahkan, dan dikawinkan, dimana anak angkat tersebut berasal dari keluarga ibu angkatnya, maka anak tersebut berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya.(putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/1995 Tanggal : 18 Maret 1996). Pada Hukum Islam mengenai persyaratan Pengangkatan Anak berbeda, dengan ketentuan Adopsi, Hukum Adat atau aturan hukum positif lainnya yang berkaitan dengan Pengangkatan Anak. Dalam Hukum Islam Pengangkatan Anak yang dimaksudkan hanya sebatas pemeliharaan anak saja, sehingga dalam Hukum Islam seorang anak yang diangkat oleh orang tua angkatnya : 23. Pasal 11 Staatsblad 1917 : 129 menegaskan Adopsi karena hukum mengakibatkan, bahwa yang diadopsi apabila ia mempunyai nama keluarga yang lain daripada nama keluarga dari suami yang telah mengadopsinya sebagai anak, memperoleh nama keluarga dari yang terakhir ini menggantikan namanya yang semula. 19

20 a. untuk tetap menjaga hubungan silaturrahmi dengan orang tua kandungnya, artinya anak angkat tersebut harus tetap mengetahui siapa orang tua kandungnya dan saudara kandung yang lainnya, hal ini harus dilakukan untuk tetap menjaga nasab atau sisilah keturunan anak yang bersangkutan. b. tidak diperbolehkan memakai nama atau nama tambahan atau nama marga orang tua angkatnya. c. tetap berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya. d. tetap mendapat harta warisan dari orang tua kandungnya 24. e. anak angkat akan mendapat harta warisan dari orang tua angkatnya dalam bentuk Wasiat Wajibah 25 yang tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) harta kekayaan orang tua angkatnya. Meskipun dalam praktek ditemukan kenyataan di masyarakat, bahkan di kalangan praktek hukum, yang telah mempersamakan pengertian Pengangkatan Anak, (baik menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Penjelasan Pasal 47 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, serta Hukum Adat, Hukum Islam) dengan Adopsi, padahal sebenarnya perbuatan 24. Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak berhak mewarisi harta pusaka ayah angkatnya, demikian pula sebaliknya, yakni ayah angkat tidak dapat mewarisi (harta warisan) anak angkatnya, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur an Surat Al-Ahzab : -ayat 4 :.dan Dia (Alloh) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Alloh mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). -ayat 5 : Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapakbapak mereka: itulah yang lebih adil pada sisi Alloh. -ayat 40 : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991, Tanggal 10 Juni Wasiat Wajibah di kalangan ulama fiqih dikenal istilah al-wasiyyah al-wajibah (wasiat wajib), yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syarak. Misalnya, berwasiat kepada ayah atau ibu yang beragama bukan Islam, karena berbeda agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan, atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan disebabkan terhalang oleh keberadaan paman mereka. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2003, hal

21 hukum yang berbeda, meskipun pada akhirnya keduanya bertujuan untuk kesejahteraan lahir batin anak yang diangkat atau diadopsi oleh orang yang bersangkutan. Untuk lebih praktisnya persyaratan tersebut lebih baik mutatis-mutandis untuk Pengangkatan Anak maupun untuk Adopsi, artinya jika ada syarat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak perlu dipakai, misalnya ketentuan Pasal 14 Staatsblad 1917 : 129, yang menegaskan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diadopsi dengan kedua orang tua atau keluarga sedarah dan semenda dengan anak yang diadopsi, karena jika hal ini terbukti akan dikenakan ketentuan Pasal 79 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak 26, bahwa Pengangkatan Anak yang dilakukan bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) 27, dan (4) akan dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp (seratus juta) rupiah. Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan mengatur mengenai Pencatatan Pengangkatan Anak, yaitu : 1) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal pemohon. 2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh penduduk. 26. Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa Pengangkatan Anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. 27. Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, yang menegaskan bahwa Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menegaskan Pengangkatan Anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. 21

22 3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir 28, pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran. C. Pengakuan Anak Dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, bahwa yang dimaksud dengan Pengakuan Anak adalah : pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut.. Agama dan juga pemerintah melalui undang-undang menciptakan lembaga perkawinan, untuk dapat melaksanakan perkawinan yang sah, maka segala persyaratan yang berkaitan dengan perkawinan harus dipenuhi 29, sehingga dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan bahwa Perkawinan sah jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan mereka yang akan menikah dan dicatatkan pada instansi yang berwenang 30 maka dari itu anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan dari 28. Dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (3) undang-undang tersebut, bahwa yang dimaksud dengan Catatan Pinggir adalah catatan mengenai perubahan status atas terjadinya Peristiwa Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau bagian akta yang memungkinkan (di halaman/bagian muka atau belakang akta) oleh Pejabat Pencatatan Sipil. 29. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familierecht), Airlangga University Press, Surabaya, 1995, hal Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan untuk menegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama tidak ada peluang untuk dilakukan, tapi berdasarkan Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, ada Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-ummat yang berbeda agama. Artinya mereka (calon mempelai) yang berbeda agama dapat melangsungkan perkawinan setelah memperoleh Penetapan dari Pengadilan. Substansi Penjelasan Pasal 35 huruf a tersebut bertentangan dan mencederai ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. 22

23 perkawinan yang sah 31. Dalam keadaan tertentu, ada juga yang disebut dengan istilah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, artinya orang tuanya tidak melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan 32, dengan demikian anak yang dilahirkan memiliki kedudukan hukum sebagai anak yang tidak sah, dalam arti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah orang tuanya 33.. Pengakuan Anak seperti dimaksudkan agar anak tersebut mempunyai bapak/ayah biologis, juga secara hukum akan timbul hubungan keperdataan. Ketentuan yang tersebut dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan merupakan Pengakuan yang hanya dapat dilakukan oleh ayah/bapak, dalam hal ini tidak ada pengakuan oleh ibu, dengan kata lain secara otomatis tidak perlu dibuktikan 31. -Pasal 42 Undang-undang Perkawinan, menegaskan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. -Dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula, bahwa anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 32. Dalam masyarakat Indonesia banyak ditemui pasangan suami isteri menikah telah memenuhi syarat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan dan belum atau tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan. Secara hukum perkawinan ini sah, karena semua ketentuan yang ditentukan oleh pasangan suami-isteri tersebut telah dipenuhi, dan jika mereka punya anak, maka anak sah karena dilahirkan dari perkawinan yang sah. Untuk mereka yang beragama Islam perkawinan yang menikah hanya berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, maka perkawinannya sah (Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam). Mengenai pencatatan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan merupakan administrasi pencatatan saja, karena jika belum atau terlambat untuk dicatatkan undang-undang telah memberikan jalan keluar, misalnya untuk mereka yang beragama Islam, maka dapat mengajukan Itsbat Nikah (Penetapan Nikah) di pengadilan agama setempat berdasarkan ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Dan secara umum untuk mereka yang telah menikah, dan telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan belum atau terlambat dicatakan atau dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, maka perkawinan dapat dicatatkan setelah adanya Penetapan dari Pengadilan (Pasal 36 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan). 33. Bahwa dalam Pasal 4 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menegaskan, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang wanita/ibu Warga Negara Indonesia dikategorikan sebagai Warga Negara Indonesia. 23

24 bahwa anak tersebut tidak dilahirkan oleh ibu yang bersangkutan 34. Substansi ini dapat dimengeri karena anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu kandungnya dan keluarga ibu kandungnya 35. Pengakuan Anak tersebut harus dengan persetujuan ibu kandungnya, tanpa ada persetujuan dari ibu kandungnya, maka Pengakuan Anak tersebut tidak dapat dilakukan oleh ayah atau bapaknya 36.. Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan menentukan bahwa Pengakuan Anak tersebut wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayahnya dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan 37,. Dalam kaitan ini mengenai Surat Pengakuan Anak oleh ayahnya yang disetujui oleh ibu kandung anak yang bersangkutan, lebih baik dibuat dalam bentuk akta Notaris, untuk kesempurnaan Pengakuan Anak tersebut, dan dapat menjadi bukti yang kuat bagi para pihak. Disamping itu, sebelum pengakuan tersebut dinyatakan di hadapan Notaris, untuk memperoleh bukti yang akurat, maka sebaiknya terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan DNA (deoxyribose 34. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 288 KUHPerdata, bahwa anak luar kawin dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan siapakah ibu kandungnya, dalam hal ini anak tersebut wajib membuktikan bahwa ia adalah anak yang dilahirkan oleh ibu kandungnya Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Dalam ayat (2) pasal tersebut diegaskan bahwa kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tapi ternyata sampai hari ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum pernah ada. -Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menegaskan pula anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. 36. Pengakuan oleh ayah atau bapaknya ini dapat menentukan seorang anak menjadi Warga Negara Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf h Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yaitu : Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya, dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin. 37. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1), yaitu kewajiban melaporkan tersebut dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan Pengakuan Anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah. 24

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 Abstrak Setiap anak yang dilahirkan atau dibuahkan dalam ikatan perkawinan sah adalah anak sah. Anak

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK)

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) Lembaran sejarah pertama Mahkamah Konstitusi (MK) adalah diadopsinya

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI TERHADAP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA TENTANG ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pertimbangan Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Penulis akan memaparkan dalam bab-bab ini adalah tentang pertimbangan dari Pemerintah, DPR, dan MK tentang Putusan MK

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 AKIBAT HUKUM HAK MEWARIS ANAK DI LUAR PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Fahmi Saus 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aturan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kajian terhadap hukum perkawinan akhir-akhir ini menjadi menarik kembali untuk didiskusikan. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN 23 BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN A. Pengertian Umum Pencatatan sipil merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia dalam arti hak memperoleh akta autentik dari

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016 KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIDAK SAH SEBELUM DAN SETELAH PUTUSAN MAHKMAAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU/VII/2010 Oleh : Vivi Hayati. SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudera Langsa ABSTRAK Seperti kita ketahui

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 A. Sekilas Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1 IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI Oleh : Pahlefi 1 Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja telah membawa paradigma baru dalam sistem

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA OLEH H.SISRUWADI, SH,M.Kn KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA YOGYAKARTA DALAM PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya, 106 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru Moerdiono.

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK KAJIAN YURIDIS PASAL 43 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH Dwi Astuti S Fakultas

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 199 KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT Konstitutional Court Decision

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak: - Putusan perkara perdata No. 0069/Pdt.P/2015/PA.Bantul 1. Identitas para pihak Adapun

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 PENETAPAN Nomor 09/Pdt. P/2012/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DHARMASRAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. b. c. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim SALINAN PENETAPAN Nomor 112/ Pdt.P/ 2015/ PA Sit. bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkara perkara tertentu

Lebih terperinci

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa * IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH Abdul Halim Musthofa * Abstrak Status anak di luar nikah yang menurut undangundang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari interaksi dengan sesama. Bahkan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK

Lebih terperinci

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, merupakan suatu upaya pemerintah untuk mengatasi keanekaragaman,

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS A. Kedudukan Notaris Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk

Lebih terperinci

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu putusan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 159, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani kehidupan sebagai suami-isteri hanya dapat dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, arah

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI. TENTANG STATUS ANAK di LUAR NIKAH

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI. TENTANG STATUS ANAK di LUAR NIKAH BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI TENTANG STATUS ANAK di LUAR NIKAH 1. Latar Belakang Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 Status Anak di Luar Nikah Putusan Mahkamah Kontitusi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENERBITAN AKTA KEMATIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN D. Pengertian Akta Kematian dan Dasar Hukumnya

BAB II PENGATURAN PENERBITAN AKTA KEMATIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN D. Pengertian Akta Kematian dan Dasar Hukumnya 35 BAB II PENGATURAN PENERBITAN AKTA KEMATIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 D. Pengertian Akta Kematian dan Dasar Hukumnya Sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan maka pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI DASAR HUKUM PUTUSAN Pengadilan Agama Kendal telah memeriksa dan memberi

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc.

PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc. PENETAPAN Nomor : 002/Pdt.P/2014/PA.Pkc. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama, dalam persidangan

Lebih terperinci

SOSIALISASI RUU BHP : TELAAH SINGKAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG BALAI HARTA PENINGGALAN (RUU BHP)

SOSIALISASI RUU BHP : TELAAH SINGKAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG BALAI HARTA PENINGGALAN (RUU BHP) SOSIALISASI RUU BHP : TELAAH SINGKAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG BALAI HARTA PENINGGALAN (RUU BHP) Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Lebih terperinci

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan dan

Lebih terperinci

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala 75 BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2012

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2012 PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat B U P A T I K A R A W A N G, : bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB III LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia

BAB III LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia BAB III LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) A. Anak Luar Nikah menurut Fatwa MUI Anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut sebagai modal untuk

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Pelayanan Publik Harus diakui bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat terus mengalami pembaruan, baik dari segi paradigma maupun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 7 SERI E

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 7 SERI E BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Setiap pasangan (suami-istri) yang telah menikah, pasti berkeinginan untuk mempunyai anak. Keinginan tersebut merupakan naluri manusiawi dan sangat

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.. BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK Pasal 2 Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh : a. Dokumen Kependudukan; b. pelayanan yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci