BAB II KAJIAN PUSTAKA. Politik adalah salah satu unsur yang seringkali menjadi perbincangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Politik adalah salah satu unsur yang seringkali menjadi perbincangan"

Transkripsi

1 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Dinamika Politik Lokal Politik adalah salah satu unsur yang seringkali menjadi perbincangan hangat di setiap negara. Kehadiran negara sebagai payung masyarakat tak dapat dipisahkan dari praktek politik didalamnya. 1 Praktek politik dalam sebuah negara biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan negara, baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Disamping itu, praktek politik juga dimainkan oleh masyarakat yang ada dalam suatu negara, baik untuk tujuan pribadi maupun kelompok. Indonesia sebagai negara berdaulat tak lepas dari unsur perpolitikan didalamnya pada tingatan nasiona maupun lokal. Memahami kondisi politik Indonesia, tak mungkin diabaikan dari jati diri Indonesia sebagai negara dengan multi identitas didalamnya. Mulai dari perbedaan suku, adat istiadat, ras hingga agama adalah warna warni identitas yang menyatukan dirinya dalam NKRI. Belum lagi bila kita melakukan flash back tentang Indonesia sebelum merdeka (1945). Mulai dari timur (Papua) hingga barat 1 Dewasa ini antara politik dan negara dipandang sebagai dua konsep yang berbeda walaupun memiliki keterkaitan yang sangat erat. Akan tetapi bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, keduanya merupakan suatu kesatuan. Politik berasal dari bahasa Yunani (polis) yang berarti kota atau negara. Dari kata polis kemudian berkembang konsep-konsep seperti polites (warga Negara) dan politicos (kewarganegaraan). Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana, 2012, hlm 10.

2 13 (Sumatra), terdapat banyak kerajaan yang telah lama beroperasi dengan sistem pemerintahannya masing-masing. Oleh karenanya tidak berlebihan jika kita berasumsi bahwa kondisi politik Indonesia merupakan gambaran dari berbagai dinamika politik di tingkatan lokal. Dinamika politik pada tingkatan lokal merupakan penjabaran dari berbagai macam SARA (suku, adat, ras dan agama) yang ada di Indonesia. Hal ini yang membuat kebanyakan orang kesulitan menentukan identitas politik ataupun budaya politik Indonesia. Jika ada orang yang berhasil mengidentifikasi budaya politik Indonesia, kiranya tak mungkin lepas dari pertimbangan realitas politik lokal yang ada. 2 Uraian diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa membaca politik Indonesia sama halnya dengan menggambarkan berbagai macam dinamika politik pada tingkatan lokal. Dinamika politik pada tatanan lokal sendiri senantiasa mengalami perubahan sebagai bentuk adaptasi terhadap sistem politik yang ada. Terkait dengan hal ini, Almond dan Verba melihatnya dalam konsep budaya politik, yakni sikap individu terhadap sistem politik dan komponenkomponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. 3 2 Mengenai hal ini dapat dilihat salah satunya dari buku Budaya Politik Indonesia yang ditulis oleh Afan Gaffar, pada bab 3 (halaman ) dalam buku tersebut khusus membahas budaya politik Indonesia. Afan Gaffar, Budaya Politik Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Lihat Afan Gaffar, Budaya Politik Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm 99.

3 14 Besarnya pengaruh sistem politik yang ada di Indonesia terhadap dinamika politik lokal membuat kajian tentang dinamika politik lokal senantiasa disertai dengan jejak perubahan sistem politik Indonesia. Menelusuri perubahan sistem politik Indonesia tak mungkin lepas dari tiga rezim yang menjadi saksi perjalanan politik Indonesia sampai dengan saat ini. Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi ibarat tiga buah cermin ke- Indonesiaan dengan bentuk yang berbeda. Setiap rezim mempunyai sistem politik yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang juga menuntut adanya penyesuaian sistem politik pada tatanan lokal. Sebelum mengkaji tentang sistem politik pada tiga rezim yang ada (Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi) perlu kiranya memetakan kecenderungan kesamaan sistem politik pada tiga rezim tersebut. Kesamaan yang dimaksudkan lebih kepada bagaimana peranan elite lokal terhadap sistem politik yang ada. Sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis dan desentralistis memiliki pengaruh dalam perkembangan elite. Antara Orde Lama dan Orde Baru dapat dilihat sebagai orde dengan sistem pemerintahan yang sentralistis. Namun tak dapat dipungkiri pemerintahan yang bersifat sentralistis menemukan kejayaannya pada rezim Soeharto walaupun pada akhirnya harus ditumbangkan oleh gerakan reformasi. Orde Baru dengan sistem sentralistisnya, membuat partisipasi politik masyarakat pada tatanan lokal tenggelam dalam hegemoni dan dominasi pemerintahan pusat. Akibatnya kondisi perpolitikan pada hampir semua daerah di Indonesia tergolong sama dalam perwujudannya.

4 15 Perubahan yang mendasar barulah terlihat pada rezim reformasi. Dengan sistem desentralisasi, pergerakan politik masyarakat mulai beragam di tiap-tiap daerah. Hak otonom yang dimiliki daerah menciptakan beragam partisipasi bahkan kontestasi oleh elite politik lokal dalam memperoleh, menjalankan serta mempertahankan legitimasi mereka dalam masyarakat. Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralistis seperti yang diungkapkan diatas telah mempengaruhi perkembangan politik lokal. Sejak desentralisasi bergulir, terjadi kebangkitan politik lokal. Hal ini ditandai dengan berkembangnya jumlah aktor yang ikut berperan dalam menentukan kebijakan publik, baik di level pusat maupun daerah dengan prakteknya yang beragam. Survei yang dilakukan Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Demos) tahun 2007 memperlihatkan lima karakteristik yang menonjol dari aktor berkuasa. Pertama, para aktor berkuasa terus melanjutkan konsolidasi kekuasaan dan dominasi mereka terhadap aktivitas politik terorganisasi, termasuk di dalam sistem representasi. Kedua, para aktor berkuasa bukan lagi mereka yang pernah menjadi pendukung Soeharto, tetapi telah meluas. Ketiga, aktor berkuasa di tingkat lokal cenderung memanipulasi demokrasi dengan cara mengeruk sumber daya publik. Keempat, sebagian aktor berkuasa cenderung mulai bersikap sinis dan kehilangan kepercayaan terhadap kinerja demokrasi. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh kelas menengah berpendidikan dan kelompok elite yang gagal memenangkan pemilihan umum. Kelima, muncul gagasan untuk menjalankan demokrasi secara bertahap ( sequencing democracy ), yaitu untuk mempersiapkan dan membangun terlebih dahulu institusi-institusi sebagai dasar bagi partisipasi masyarakat. 4 4 Nur iman Subono dan Willy Purnama Samadhi, Politik Dominasi dan Konsolidasi Elitdominan. Willy Purnama Samadhi dan Nicolaas Warouw (Eds.), Demokrasi Di Atas Pasir, Yogyakarta: PCD Press, 2009, hlm 96.

5 16 Dalam buku Peran Aktor dalam Demokratisasi yang ditulis oleh R. Siti Zuhro, dimuat beberapa studi yang melihat kehadiran aktor yang semakin beragam tidak dapat dijadikan jaminan akan menguatnya proses konsolidasi demokrasi di tingkatan lokal. Studi yang dilakukan Demos (AE dan Prasetyo, 2003) dan analisis yang dibuat Vedi R. Hadiz (2004), misalnya, menyimpulkan hal yang sama, yakni di ranah lokal tengah berlangsung kecenderungan reorganisasi kekuasaan dari kelompok oligarki. Dalam perspektif demokrasi oligarki, pergeseran kekuasaan politik yang besar di daerah pada akhirnya memungkinkan aktor politik lama, yang berkolaborasi dengan para kapitalis lokal menguasai sumber daya ekonomi dan politik lokal. Dengan cara tersebut kemudian mereka memanipulasi arah desentralisasi dan demokratisasi lokal itu sendiri. Walaupun terjadi perubahan format kelembagaan dan prosedur demokrasi, aktor-aktor tersebut akhirnya mampu dan berhasil menempatkan kroni dan keluarga mereka dalam posisiposisi guna memastikan bahwa alokasi sumber daya berada dibawah arahan, kepentingan dan genggaman orang-orang kuat lokal (local strong-men). Dalam konteks tersebut hadir raja-raja kecil yang mengacu pada pemerintah daerah seolah-olah memiliki kekuasaan tak terbatas di daerah dan menyempitkan lingkaran kekuasaannya untuk melindungi kepemilikannya atas sumber daya lokal. Hal inilah yang selanjutnya memunculkan fenomena korupsi dan nepotisme di tingkatan lokal. Penelitian Fisipol UGM (2000) memperlihatkan bahwa politik lokal pasca Soeharto ditandai dengan bangkitnya kembali entitas politik masa lalu (karaton, fetor dan karaeng) dan semakin dominannya peranan local boss, the big man (orang besar) dalam interaksi ekonomi-politik lokal. Studi Dwipayana juga menunjukkan fenomena kembalinya para aristokrat di Surakarta dan Denpasar dalam proses demokrasi lokal pasca Soeharto. Dengan kerangka analisis yang berbeda, Amalinda melihat adanya hubungan patron klien. Penelitian yang dilakukannya di Bantul dan Buleleng menemukan apa yang disebut Sidel sebagai local bossism. Konsep local bossism memperlihatkan peranan elite lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan coersive dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka R. Siti Zuhro (Ed.), Peran Aktor Dalam Demokratisasi, Yogyakarta: Ombak, 2009, hlm 10-

6 17 Zuhro sendiri memandang perubahan sistem politik yang berlangsung selama ini antara lain dapat dilihat melalui dua aspek yakni sbb: Pertama, proses liberalisasi politik pasca Orde Baru yang memungkinkan para aktor politik menikmati situasi politik yang lebih bebas dalam menyampaikan dan mengorganisasi kepentingannya melalui partai politik dan meraih dukungan politik dari rakyat dalam proses electoral. Kebebasan tidak hanya dirasakan oleh politisi, melainkan juga oleh warga pemilih. Seperti halnya dialami oleh politisi, pemilih lebih bebas memilih atau bahkan mengalihkan garis dukungannya dalam berbagai momen pemilihan. Kedua, reformasi kelembagaan demokrasi mendorong aktor-aktor politik yang terlibat relatif banyak, beragam dan memiliki tingkat densitas yang semakin tinggi dibandingkan dengan era Orde Baru. Di era tersebut aktoraktor politik yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik sangat terbatas dan hanya berkisar di lingkaran kecil elit birokrasi dan militer. Akibatnya, beragam artikulasi kepentingan di luar birokrasi lebih banyak ditanggapi melalui proses klientelisme atau penyerapan aspirasi (aborsi) tanpa proses pelibatan aktor-aktor di luar birokrasi negara. Atau bahkan lebih banyak dilibatkan dalam kerangka mobilisasi dibandingkan partisipasi. 6 Berdasarkan pertimbangan diatas, maka kajian mengenai dinamika politik lokal lebih banyak melingkupi era pasca Soeharto (Orde Reformasi). Terlepas dari asumsi bahwa desentralisasi yang diwujudkan lewat otonomi daerah menciptakan bahaya berupa munculnya kekuasaan yang bersifat oligarki di tingkatan lokal, dalam pembahasan ini justru dipandang sebagai bentuk dinamika politik pada aras lokal. Akibat adanya perubahan sistem politik nasional, politik lokal juga mulai menunjukkan model prakteknya. Di Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatra menunjukkan adanya praktik model pluralisme birokrasi dengan kadar yang berbeda-beda. 6 Ibid., hlm 3-4.

7 18. Hampir semua daerah di Jawa Timur berhasil melakukan peran yang signifikan dalam mendorong perubahan. Demikian juga dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Kedua daerah tersebut tergolong dalam daerah yang memiliki LSM/ aktifis, pers, intelektual dan mahasiswa yang cukup vokal dan kritis terhadap kinerja Pemerintah Daerah. Hubungan antara local State dan society relatif berimbang. Local State tidak mendominasi dan relatif mau mendengar aspirasi dan kepentingan society. Sementara itu era pemilihan sekarang ini juga memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu, Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatra Barat relatif tidak memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal peran dan kekuatan sosial dalam mempengaruhi kebijakan publik. Meskipun peran mereka tidak sevokal atau sesignifikan dengan kekuatan sosial di Jawa Timur, secara perlahan posisi dan peran kekuatan sosial di ketiga daerah tersebut mulai diperlukan untuk mengimbangi Local State. Hubungan antara local state dan society secara perlahan pula mulai mencair. Kekuatan social mulai memberikan pengaruh dan mendapatkan tempat dalam dinamika politik lokal meskipun belum dalam bentuk yang solid. 7 Hal menarik lainnya dalam dinamika politik lokal dapat dilihat dalam esaiesai yang ditulis oleh beberapa penulis yang kemudian dikemas oleh Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken dalam sebuah buku yang berjudul Politik Lokal di Indonesia. Yang menarik dari esai-esai yang ada dalam buku tersebut yakni adanya kesan pesimistis terhadap hadirnya sistem desentralisasi yang tercermin dalam demokratisasi di berbagai daerah. Desentralisasi yang tujuannya untuk pengembangan daerah secara mandiri justru lebih didominasi oleh pertarungan elite politik maupun elite birokrasi. Monopoli kekuasaan di daerah-daerah tertentu juga menambah catatan hitam desentralisasi di Indonesia. Akibatnya desentralisasi justru menjadi identik dengan oligarki pada tatanan lokal. Selain itu, adanya desentralisasi oleh para elite politik justru menjadi 7 Ibid., hlm 5-6.

8 19 pendorong semangat pemekaran daerah. 8 Pertimbangan kelayakan pemekaran daerah sering terabaikan oleh kepentingan kalangan elite politik lokal yang begitu merindukan kekuasaan. 9 Walaupun sejatinya sistem pemerintahan mengacu pada sistem yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, akan tetapi realitas di tingkatan lokal sering menghadirkan dinamika politik yang beragam. Mulai dari praktek manipulasi, dominasi, otoritarian serta KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) ala demokrasi, hingga monopoli kekuasaan. Mengenai hal ini Tri Ratnawati melihat bahwa otonomi daerah yang ada justru mengalami degradasi pemaknaan. Bahkan Ratnawati menambahkan bahwa birokrasi lokal mulai menguak pribumisasi birokrasi dengan mengemukanya paradigma PAD (putra asli daerah) dibawah pimpinan raja-raja kecil. 10 Wajah politik lokal juga tak lepas dari maraknya politik identitas hingga utopia dalam bentuk janji kampanye yang menjadi trend di era desentralisasi. Ditambah dengan kehadiran media sebagai kekuatan sosial yang juga menjadi penentu arus politik di tingkatan lokal. Kekhawatiran muncul manakala media 8 Tahun 1999 jumlah kabupaten yang ada sebanyak 300 kabupaten dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 440 kabupaten. Sedangkan jumlah pemerintahan profinsi juga bertambah dari 26 menjadi 33 profinsi. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Eds.), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV, 2007, hlm 3. Lihat juga R. E Nainggolan, Pemekaran Wilayah: Solusi atau Kolusi. B. Herry Priyono (Dkk), Kratos minus Demos, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Eds), Politik Lokal di Indonesia, KITLV: Jakarta, Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm 8.

9 20 terkesan memanipulasi penyajian informasi khususnya yang berkaitan dengan janji politik (kampanye) PILKADA maupun program Pemerintah Daerah. 11 Survei yang dilakukan Demos tahun 2007 kiranya dapat menjadi pelengkap sajian dinamika politik pada tingkatan lokal. Adapun hasil survei tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1: Penilaian Informan Mengenai Kecenderungan Identifikasi Masyarakat dalam Beberapa Peristiwa di Tingkat Lokal 12 Bagaimana orang-orang pertama-tama mengidentifikasi diri mereka ketika menghadapi situasi konflik karena ketegangan sosial, ekonomi dan politik? NO IDENTITAS INFORMAN (%) 1 Sebagai penduduk kabupaten/ kota/ profinsi 12 2 Sebagai penduduk desa/ dusun/ asal-usul 12 3 Sebagai anggota komunitas suku/ etnis 36 4 Sebagai anggota komunitas keagamaan 12 5 Sebagai anggota/ pendukung partai politik tertentu 1 6 Sebagai anggota kelas sosial tertentu, misalnya kelas buruh, petani, kelas menengah, kelas pengusaha, dsb Lain-lain (termasuk sebagai penduduk Indonesia) 0 8 Tidak menjawab 0 Persentase berbasis jumlah informan (N=903) Tabel 2.1 menunjukkan bahwa dalam konflik lokal baik karena ketegangan sosial, ekonomi dan politik, masyarakat cenderung mengidentifikasikan diri mereka sebagai anggota komunitas suku/ etnis tertentu (36%). Sementara itu, masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota kelas sosial tertentu juga cukup besar (23%). Sedangkan identitas lainnya, memiliki persentase yang 11 Mengenai hal ini dapat dilihat dalam esai-esai yang ditulis oleh Hasrullah dalam buku Pertarungan Elite Dalam Bingkai Media. Halaman dalam buku tersebut khusus membahas tentang politik lokal. Hasrullah, Pertarungan Elite Dalam Bingkai Media, Yogyakarta: Adil Media, Sebenarnya pertanyaan yang tercantum dalam tabel ini meliputi pemilihan kepala daerah, konflik lokal dan pemekaran wilayah administratif. Akan tetapi, karena pertimbangan relevansi masalah dan kebutuhan penelitian ini, maka peneliti hanya mencantumkan pertanyaan mengenai konflik lokal saja. Willy Purnama Samadhi, Menuju Kewarganegaraan Politik: Dibawah Bayangbayang Komunalisme Lokal. Willy Purnama Samadhi dan Nicolaas Warouw (Eds.), Demokrasi di Atas Pasir, Yogyakarta: PCD Press, 2009, hlm 79.

10 21 relatif lebih kecil jika dibandingkan persentase identitas suku/ etins dan kelas sosial. B. Elite Tokoh sosiologi ternama yakni Karl Marx menjadi peletak dasar lahirnya kajian tentang elite. Konsep kelas yang dikemukakannya menjadi awal dimulainya gagasan tentang adanya struktur dan lapisan dalam masyarakat. Pemikiran Marx tentang masyarakat kapitalis telah merangsang lahirnya kajian elite. Marx menyatakan bahwa setelah jatuhnya masyarakat kapitalis, maka yang akan timbul adalah masyarakat tanpa kelas sosial, yakni masyarakat tanpa kelas yang berkuasa dan yang dikuasai. 13 Pemikiran Marx yang demikian membuat para teoritisi elite merasa tertantang untuk mengkaji hal tersebut. Menjelang abad ke-19 kajian tentang elite mulai menemukan lahan suburnya melalui tokoh-tokoh sosiologi politik seperti Vilfredo Pareto ( ), Gaetano Mosca ( ) dan Robert Michels ( ). Mereka tertarik untuk melakukan identifikasi secara serius tentang fenomena elite dalam masyarakat. Mosca misalnya berpendapat bahwa: Diantara sekian kecenderungan dan fakta dilapangan yang dapat ditemukan dalam hampir semua organisme politik, adalah sangat jelas hal ini bisa dilihat dengan kasat mata. Bahwa di masyarakat mana saja, baik masyarakat yang masih baru tumbuh hingga yang sudah mampu membangun peradaban yang lebih mapan, yang berkembang menjadi masyarakat yang lebih maju dan powerful, di dalamnya terdapat dua klas masyarakat yaitu klas yang menguasai dan yang dikuasai. Kelas pertama selalu 13 Miriam Budiardjo, Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan. Miriam Budiardjo (Peny.), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984, hlm 22.

11 22 dengan jumlah yang lebih sedikit, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan dari kekuasaan yang dijalankannya. Sementara itu, kelas yang kedua jumlahnya jauh lebih besar, secara langsung dikuasai dan dikendalikan oleh kelas yang pertama, yang dalam hal ini sekarang menjadi kurang lebih absah, dan dijalankan dengan cara yang kurang lebih arbitrair dan dengan kekerasan. 14 Sebelum kajian tentang elite mulai membumi, menurut T. B. Bottomore, kata elite awalnya hanya digunakan untuk menggambarkan barang-barang tertentu yang dianggap memiliki kualitas terbaik. Kemudian makna kata tersebut menjadi lebih luas dan mengarah pada pada kelas-kelas sosial yang memiliki keunggulan, seperti unit militer kelas satu dan para bangsawan. Barulah untuk pertama kalinya tahun 1923, kata elite diperkenalkan dengan definisi yang lebih bersifat sosiologis oleh Vilfredo Pareto melalui tulisan-tulisannya. 15 Pareto melihat elite sebagai fakta sosial yang dibangun oleh perbedaan psikologi antar individu. 16 Menurut Pareto elite merupakan kelompok sosial yang memiliki indeks tertinggi dalam masyarakat sehingga memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial-politik masyarakat. Indeks tersebut lebih banyak didasari oleh pertimbangan kekayaan, kecakapan dan kekuasaan politik. 17 Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan politik mendominasi dua diantara tiga kategori tersebut. 14 Lihat Zainudin Maliki, Sosiologi Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, hlm xi. 15 T. B. Bottomore, 1966, Elite dan Masyarakat. Diterjemahkan oleh Abdul Haris dan Syaid Umar, Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006, hlm Lihat Zainudin Maliki, Sosiologi Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, hlm xii. 17 Lihat T. B. Bottomore, 1966, Elite dan Masyarakat. Diterjemahkan oleh Abdul Haris dan Syaid Umar, Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006, hlm Lihat juga Robert D. Putnam, Studi Perbandingan Elite Politik. Mohtar Mas oed dan Collin MacAndrews (Eds.), Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm. 79.

12 23 Menurut stratifikasi politik yang disusun Pareto mayarakat terdiri atas dua kelas yakni: kelas pertama adalah lapisan atas, yaitu terbagi atas elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non governing elite). Kelas kedua adalah lapisan masyarakat yang lebih rendah, yaitu non elite, dalam hal ini adalah massa. 18 Antara elite memerintah dan elite yang tidak memerintah, keduanya memiliki wadah tersendiri dalam memainkan perannya sebagai elite serta strategi dalam memperoleh legitimasi massa. Massa sendiri walaupun cenderung bersifat pasif, namun dalam situasi-situasi tertentu dapat mempengaruhi kedudukan elite. Bagaimana mengidentifikasi seseorang sebagai elite atau pemilik kuasa? Menurut Robert D. Putnam, ada tiga cara untuk mengidentifikasi hal tersebut, yakni dengan analisa posisi, reputasi dan keputusan. Posisi formal maupun non formal dianggap dapat membuat seseorang menjadi elite karena bisa memediasi dan memberikatn atribut kekuasaan yang kemudian dikelola dengan sedemikian rupa. Sedangkan analisis reputasi lebih bersifat informal. Elite dilihat dari bagaimana dia dianggap berpengaruh di dalam kelompok masyarakat walaupun tidak memiliki jabatan tertentu. Sedangkan pertimbangan keputusan mengedepankan pengaruh seseorang terhadap pembuatan keputusan dalam kelompok masyarakat Periksa Aswad Lipu, Ringkasan Teori Elit, Dimuat di (diakses 22 April 2012) 19 Robert D. Putnam, Studi Perbandingan Elite Politik. Mohtar Mas oed dan Collin MacAndrews (Eds.), Perban-dingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hlm

13 24 Pada masyarakat modern, barangkali perspektif Suzanne Keller dapat dijadikan sebagai asumsi mengenai elite. Keller melihat bahwa pada masyarakat modern dimensi kekuasaan tidak hanya satu, melainkan beberapa dimensi. Dalam setiap kegiatan masyarakat di dalam maupun di luar pemerintahan terdapat satu atau lebih individu yang menonjol karena keahlian atau keterampilannya dalam bidang tertentu. Keller menyebutnya sebagai elite strategis, misalnya elite politik, ekonomi, militer, pengetahuan, pendidikan, falsafat, agama, kesenian dan kesusastraan. Bila dilihat secara kolektif, mereka merupakan kelas yang memiliki kuasa dalam masyarakat. 20 Elite memiliki pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan sosial maupun politik masyarakat walaupun kehadiran elite hanya sebagai minoritas bila dibandingkan dengan kalangan non elite (massa). Dinamika elite yang terjadi dalam masyarakat senantiasa mempengaruhi perkembangan masyarakat tersebut. Dari beragamnya kelompok-kelompok elite seperti yang diungkapkan Keller, kajian tentang adanya sirkulasi elite mulai mendapat perhatian. Kajian tentang sirkulasi elite sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh teoritisi elite sbelumnya. Pareto misalnya, dalam gagasannya mengenai sirkulasi lebih menekankan pada dua cara yang dilakukan elite untuk memperoleh kekuasaan yakni dengan kekerasan (the lion) dan strategi politik (the fox). Pareto memandang bahwa sirkulasi elite terjadi ketika the fox menggantikan the lion dan begitu juga 20 Lihat Miriam Budiardjo, Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan. Miriam Budiardjo (Peny.), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984, hlm

14 25 sebaliknya. 21 Tak jauh berbeda dengan Pareto, Saafroedin Bahar melihat sirkulasi elite terjadi ketika elite digantikan oleh sub elit (non governing elite dalam konsep Pareto) maupun kontra elite. 22 Jadi, seseorang yang memiliki jabatan belum tentu dapat disebut elite sejauh kehadirannya dalam masyarakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat itu sendiri. Apalagi pada masyarakat modern yang hadir dengan berbagai macam bentuk jabatan yang belum tentu dapat mempengaruhi arah perkembangan masyarakat. C. Kekuasaan Adanya tiga pertimbangan posisi, reputasi dan keputusan dalam mengidentifikasi elite dalam masyarakat membuat kehadiran elite sebagai aksioma dan truisme dalam masyarakat tak mungkin dapat dipisahkan dari unsur kekuasaan. Hal ini dikarenakan seseorang yang dipandang sebagai elite tentulah memiliki kekuasaan (formal maupun non formal). Antara Pareto, Mosca dan Michels juga berpendapat sama dalam melihat pentingnya ideologi, mitos serta kekuasaan bagi elite. 23 Kuasa ataupun kekuasaan tidak hanya dilihat dari kedudukan ataupun jabatan yang dimiliki seseorang dalam masyarakat. Akan tetapi, kekuasaan merupakan wujud superioritas seseorang dalam menguasai orang lain. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa secara sosiologis kekuasaan memiliki hubungan 21 Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana, 2012, hlm Saafroedin Bahar, Elit dan Etnik serta Negara-Nasional. Prisma (Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial), no. 4, tahun 1997, penerbit LP3ES, hlm Lihat Saafroedin Bahar, Elit dan Etnik serta Negara-Nasional. Prisma (Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial), no. 4, tahun 1997, penerbit LP3ES, hlm. 9.

15 26 dengan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. 24 Pendapat tersebut memiliki kesamaan dengan pendapat tokoh sosiologi ternama Max Weber. Menurut Weber, kekuasaan ada di seluruh bentuk relasi kehidupan sosial manusia. Mulai dari kehidupan ranah keluarga, organisasi kemasyarakatan hingga kepemerintahan. 25 Sementara itu, Thomas Hobbes mengemukakan bahwa kekuasaan bagi seseorang merupakan alat untuk meraih masa depan yang baik. 26 Hal yang demikian kiranya yang membuat kekuasaan mempunyai daya tarik yang begitu besar bagi elite. Setiap elite umumnya adalah orang-orang yang begitu dekat bahkan mempunyai atribut kekuasaan. Selain dapat memberdayakan elite, kekuasaan juga dapat menjamin kokohnya kedudukan individu sebagai elite. Karena kekuasaan terdapat dalam semua sendi kehidupan konsep Weber, maka sumber kekuasaan pun tak hanya satu atau monoton. Sumber kekuasaan sifatnya fleksibel terhadap situasi sosial yang ada. Budiardjo misalnya memetakan sumber kekuasaan dalam berbagai segi seperti kedudukan, kekayaan dan kepercayaan. 27 Konsep kekuasaan memberikan klasifikasi mendasar tentang adanya dua unsur dalam masyarakat yakni penguasa dan yang dikuasai. Dalam hal ini kehadiran elite dalam konteks kekuasaan dapat dilihat dari bagaimana elite tertentu 24 Lihat Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004, hlm Dalam Zainudin Maliki, Sosiologi Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, hlm Ibid., hlm Miriam Budiardjo (edisi revisi), Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm 62.

16 27 mampu menguasai kaum non elite atau massa. Galtung memetakan bentuk kekuasaan terhadap orang lain menjadi tiga unsur penting yakni sbb: Kekuasaan ideologi, yakni kekuasaan yang diperoleh melalui norma, ide atau gagasan yang dicapai secara persuasif. 2. Kekuasaan renumeratif, yakni kekuasaan yang timbul dari penguasaan terhadap barang-barang yang ditawarkan melalui negosiasi. 3. Kekuasaan punitif, yakni kekuasaan yang timbul dari kekuasaan ataupun kekerasan yang dapat menghancurkan orang lain. Ketiga unsur diatas yakni ideologi, renumeratif (ekonomi) dan punitif (kekerasan) merupakan sumber daya yang haruslah dikuasai oleh seseorang guna mengukuhkan dirinya sebagai elite. Namun tak dapat dipungkiri terdapat elite tertentu yang mengukuhkan dirinya sebagi elite tanpa harus sepenuhnya menguasai ketiga sumber daya elite yang ada. Biasanya elite mendapatkan penghargaan dari masyarakat berdasarkan bidang yang dilakoni elite dalam kehidupannya sehari-hari. Elite agama misalnya, aktifitas keagamaan yang dilakukannya seharihari dapat membuat dirinya mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Berbeda dengan elite agama, elite pengusaha justru dengan kekayaan yang dimiliknya membuat masyarakat menaruh penghargaan tersendiri terhadapnya. Begitu pula dengan elite yang memiliki latar belakang punitif seperti para blater di Madura yang begitu disegani dan dihargai kehadirannya dalam masyarakat. 28 Dalam Saafroedin Bahar, Elit dan Etnik serta Negara-Nasional,dimuat dalam Prisma (Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial), no. 4, tahun 1997, penerbit LP3ES, hlm. 9.

PERSEPSI TOKOH MAHASISWA TERHADAP PARTAI ACEH (Studi Kasus Tokoh Mahasiswa Unsyiah)

PERSEPSI TOKOH MAHASISWA TERHADAP PARTAI ACEH (Studi Kasus Tokoh Mahasiswa Unsyiah) PERSEPSI TOKOH MAHASISWA TERHADAP PARTAI ACEH (Studi Kasus Tokoh Mahasiswa Unsyiah) PERCEPTIONS OF STUDENT LEADERS OF THE ACEH PARTY (Case Studies of Student University of Syiah Kuala) Syirwan Haniya,

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan data dan analisis yang telah dibahas pada bab bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul ekonomi politik pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 membuka keran baru dalam konteks ketatanegaraan dan pembangunan nasional di Indonesia. Pembangunan yang pada masa Orde Baru mengusung

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ADMINISTRASI NEGARA 2013 IAN UNY UTAMI DEWI

PERBANDINGAN ADMINISTRASI NEGARA 2013 IAN UNY UTAMI DEWI PERBANDINGAN ADMINISTRASI NEGARA 2013 IAN UNY UTAMI DEWI utami.dewi@uny.ac.id Teori Klasik tentang Elite dalam setiap masyarakat..terdapat dua kelas penduduk..satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan,

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dalam pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dan berdasarkan permasalahan dalam bab- bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, 1. Bahwa secara Normatif pengaturan pemekaran

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM

KEWARGANEGARAAN DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM KEWARGANEGARAAN Modul ke: DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR. 1. Nama Mata Kuliah : TEORI POLITIK KLASIK DAN KONTEMPORER

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR. 1. Nama Mata Kuliah : TEORI POLITIK KLASIK DAN KONTEMPORER RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR 1. Nama Mata Kuliah : TEORI POLITIK KLASIK DAN KONTEMPORER 2. Kode/SKS : SPF 245 / 3 SKS 3. Prasyarat Mata Kuliah : Pengantar Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipotesis, tujuan penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. hipotesis, tujuan penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penelitian. BAB I PENDAHULUAN Merupakan pendahuluan yang di dalamnya diuraikan mengenai alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka dasar teori, hipotesis, tujuan penelitian, jangkauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, peranan Negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (Government) menjadi

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan

Kesimpulan. Bab Sembilan Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom 1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya BAB V KESIMPULAN Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya ekonomi yang dimiliki seseorang mampu menempatkannya dalam sebuah struktur politik yang kuat dan penting. Yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi 1998 menghadirkan perubahan proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden hingga Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

Indonesian Journal of Sociology and Education Policy

Indonesian Journal of Sociology and Education Policy Indonesian Journal of Sociology and Education Policy Vol. 2, No. 1, Januari 2017 Resensi Buku ISSN 2503-3336 Menjadikan Kesejahteraan Sebagai Isu Inti Demokrasi Penulis: Rizki Setiawan Dipublikasikan oleh:

Lebih terperinci

Paradigma Pemilihan Umum dan Kepentingan Politik. Oleh : Riamona S. Tulis

Paradigma Pemilihan Umum dan Kepentingan Politik. Oleh : Riamona S. Tulis Paradigma Pemilihan Umum dan Kepentingan Politik Oleh : Riamona S. Tulis Abstrak. Pemilihan umum di Indonesia sudah mengalami pergeseran baik dari tingkat partai peserta pemilu, pola masyarakat pemilih

Lebih terperinci

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan

Lebih terperinci

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi 1 BAB I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Tesis ini mendiskusikan komposisi etnisitas birokrasi pemerintahan dan dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi khusus serta implikasinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Elite Lokal untuk

BAB II KAJIAN TEORI. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Elite Lokal untuk BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Elite Lokal 1. Pengertian Elite Politik Lokal Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Elite Lokal untuk melihat dan menganalisis peran organisasi pencak silat dalam

Lebih terperinci

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi ini disampaikan dalam acara diskusi Penguatan Organisasi Penyelenggara Pemilu, yang dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik BAB 1 PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam dunia demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari masyarakat, kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari masyarakat, kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mayoritas masyarakat memiliki keinginan untuk maju berkembang menjadi lebih baik. Keinginan tersebut diupayakan berbagai cara, salah satunya adalah melalui kegiatan

Lebih terperinci

TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015

TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015 TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015 Oleh : Tedi Erviantono (Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana) Disampaikan dalam Munas Forum Dekan FISIP se Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatkan peranan publik ataupun pembangunan, dapat dikembangkan melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita yang kompleks namun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal. penting untuk dilakukan mengingat dua hal : Pertama, dalam kaitannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal. penting untuk dilakukan mengingat dua hal : Pertama, dalam kaitannya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal Kajian tentang peran aktor dalam proses demokrasi lokal menjadi penting untuk dilakukan mengingat dua hal : Pertama, dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

Lebih terperinci

2015 IDEOLOGI PEMBERITAAN KONTROVERSI PELANTIKAN AHOK SEBAGAI GUBERNUR DKI JAKARTA

2015 IDEOLOGI PEMBERITAAN KONTROVERSI PELANTIKAN AHOK SEBAGAI GUBERNUR DKI JAKARTA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu (Fairclough dalam Darma, 2009, hlm

Lebih terperinci

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas Wacana yang melingkupi etnisitas di daerah pedalaman di Indonesia banyak diwarnai dengan marginalisasi dan diskriminasi. Tak bisa dipungkiri, lahirnya UU Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Diah Uswatun Nurhayati Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu

Lebih terperinci

A BOON OR A BANE. P r o j e c t FOR DEMOCRACY? i t a i g k a a n. Amr Hamzawy and Nathan J. Brown. Berkah atau Kutukan Buat Demokrasi?

A BOON OR A BANE. P r o j e c t FOR DEMOCRACY? i t a i g k a a n. Amr Hamzawy and Nathan J. Brown. Berkah atau Kutukan Buat Demokrasi? l Edisi 011, September 2011 A BOON OR A BANE P r o j e c t FOR DEMOCRACY? i t a i g k a a n D Amr Hamzawy and Nathan J. Brown Berkah atau Kutukan Buat Demokrasi? Review Paper oleh Nur Iman Subono 1 Edisi

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama di tahun-tahun awal Orde Baru. Walaupun struktur politik nasional maupun lokal mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

PANCASILA. Pancasila dalam Kajian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Lanjutan) Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas MKCU

PANCASILA. Pancasila dalam Kajian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Lanjutan) Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas MKCU PANCASILA Modul ke: Pancasila dalam Kajian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Lanjutan) Fakultas MKCU Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Pancasila dalam Kajian

Lebih terperinci

DINAMIKA POLITIK LOKAL SUKSESI PEMILU KEPALA DAERAH

DINAMIKA POLITIK LOKAL SUKSESI PEMILU KEPALA DAERAH DINAMIKA POLITIK LOKAL SUKSESI PEMILU KEPALA DAERAH Heri Wahyudi UPBJJ-UT Denpasar heriw@ut.ac.id Abstrak Pasca Putusan Makamah Konstitusi (MK) tentang calon perseorangan, telah memberikan kesempatan kepada

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik

Lebih terperinci

Manfaat Belajar Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa

Manfaat Belajar Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa Manfaat Belajar Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia yang diresmikan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pertarungan wacana politik Kasus Bank Century di media massa (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian menunjukkan berbagai temuan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang baru pertama kali dilakukan di dalam perpolitikan di Indonesia, proses politik itu adalah Pemilihan

Lebih terperinci

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL oleh : Timbul Hari Kencana NPM. 10144300021 PROGRAM

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Penandatanganan MoU

Lebih terperinci

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015 MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015 DEFINISI UMUM Partisipasi politik dipahami sebagai berbagai aktivitas warga

Lebih terperinci

B. Refleksi Teoritis, tindaklanjut dan saran

B. Refleksi Teoritis, tindaklanjut dan saran BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bahwa elitlah yang menjadi motor utama dalam semua aktivitas politik dibmr adalah benar adanya. Wacana pemekaran untuk kesejahteraan telah membawa masyarakat ikut mendukung

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon 95 BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon Kepala Daerah dalam pilkada Sidoarjo 2010 Pemilihan kepala daerah secara langsung

Lebih terperinci

SILABUS. Lampiran 2 : FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN : SEJARAH INDONESIA MODERN. : Desvian Bandarsyah, M.Pd

SILABUS. Lampiran 2 : FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN : SEJARAH INDONESIA MODERN. : Desvian Bandarsyah, M.Pd Lampiran 2 SILABUS Tgl Efektif : No. Dokumen :FM-AKM-03-002 No.Revisi : 00 FAKULTAS PROGRAM STUDI MATA KULIAH KELAS/SKS WAKTU DOSEN : FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN : PENDIDIKAN SEJARAH : SEJARAH

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP PGRI SUMENEP

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP PGRI SUMENEP SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP PGRI SUMENEP Gedungan Sumenep Telp. (0328) 664094 671732 Fax. 671732

Lebih terperinci

RPKPS ORGANISASI DAN MAJAMEN PEMERINTAHAN. Dra. Sri Djoharwinarlien, SU.

RPKPS ORGANISASI DAN MAJAMEN PEMERINTAHAN. Dra. Sri Djoharwinarlien, SU. RPKPS ORGANISASI DAN MAJAMEN PEMERINTAHAN Dra. Sri Djoharwinarlien, SU. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2011 1. NAMA MATA KULIAH : Organisasi dan Manajemen Pemerintahan 2. KODE/SKS : SPF 252 / 3

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH Hetty Purnamasari FKIP Universitas Dr. Soetomo Surabaya hettypurnamasari@unitomo.ac.id Abstrak: Pendidikan di Indonesia saat ini menghadapi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan cepat,

Lebih terperinci

SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013

SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013 SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013 Solo, 20 November 2013 Yth. Menteri Komunikasi dan Informatika

Lebih terperinci

DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA. Mengetahui teori demokrasi dan pelaksanaanya di Indonesia RINA KURNIAWATI, SHI, MH.

DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA. Mengetahui teori demokrasi dan pelaksanaanya di Indonesia RINA KURNIAWATI, SHI, MH. Modul ke: DEMOKRASI : ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA Mengetahui teori demokrasi dan pelaksanaanya di Indonesia Fakultas FAKULTAS RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi http://www.mercubuana.ac.id DEFINISI

Lebih terperinci

SILABUS Jurusan / Prodi : Pendidikan Sejarah / Ilmu Sejarah Mata Kuliah : Ilmu Politik Kode :

SILABUS Jurusan / Prodi : Pendidikan Sejarah / Ilmu Sejarah Mata Kuliah : Ilmu Politik Kode : SILABUS Jurusan / Prodi : Pendidikan Sejarah / Ilmu Sejarah Mata Kuliah : Ilmu Politik Kode : SKS : 2 sks Dosen : Ita Mutiara Dewi, M.Si. Deskripsi Mata kuliah : Mata kuliah berbobot 2 SKS ini, akan membahas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu keputusan politik, pemerintahan atau kenegaraan. sebagai proses atau upaya penciptaan dari (1) lembaga -lembaga yang

I. PENDAHULUAN. suatu keputusan politik, pemerintahan atau kenegaraan. sebagai proses atau upaya penciptaan dari (1) lembaga -lembaga yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca rezim orde baru tumbang disetiap kehidupan bangsa Indonesia hampir seluruhnya membicarakan dan mendiskusikan serta menjunjung tinggi demokrasi terutama pada nilai

Lebih terperinci

MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU)

MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU) MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU) MATA KULIAH ETIKA BERWARGA NEGARA BAGIAN 4 DEMOKRASI: ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA Oleh: DADAN ANUGRAH, M.Si. UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008 1

Lebih terperinci

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) Definisi Partai Politik Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan Melalui berbagai serangkaian aktivitas pelacakan data dan kemudian menganalisisnya dari berbagai perspektif, beberapa pernyataan ditawarkan dalam uraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat merupakan suatu kelompok yang berada pada suatu wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat merupakan suatu kelompok yang berada pada suatu wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat merupakan suatu kelompok yang berada pada suatu wilayah tertentu. Masyarakat terdiri dari individu-individu yang kemudian mengintegrasikan dirinya kedalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

SILABI. Mahasiswa mampu menganalisis perkembangan sejarah politik di Indonesia dan Hubungan Internasional.

SILABI. Mahasiswa mampu menganalisis perkembangan sejarah politik di Indonesia dan Hubungan Internasional. SILABI Fakultas : Ilmu Sosial Program Studi : Pendidikan Sejarah Nama Mata Kuliah : Sejarah Politik dan Hubungan Internasional Kode Mata Kuliah : SEJ226 Jumlah SKS : 2 SKS Mata Kuliah Prasyarat : - Semester

Lebih terperinci

RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN.

RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN. Modul ke: MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN MODUL 2 NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN SUMBER : BUKU ETIKA BERWARGANEGARA, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI. ( DITERBITKAN OLEH UMB GRAHA ILMU ) Fakultas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas,

BAB V KESIMPULAN. Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas, BAB V KESIMPULAN Politisasi identitas Betawi dilakukan oleh Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas, yaitu dengan penggunaan pakaian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah satunya bertujuan melembagakan penyelesaian konflik agar konflik itu tidak melebar menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desentralisasi dan otonomi daerah sangat berkaitan erat dengan desa dan pemerintahan desa. Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah

Lebih terperinci

TEORI POLITIK DAN IDEOLOGI DEMOKRASI

TEORI POLITIK DAN IDEOLOGI DEMOKRASI 9 TEORI POLITIK DAN IDEOLOGI DEMOKRASI Pengantar Setelah memperbicangkan hakekat kekuasaan dan negara, kuliah selanjutnya akan memperdalam beberapa perdebatan yang berkaitan dengan konseo-konsep demokrasi.

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Relasi Kekuasaan Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. Dalam perspektif sosiologis dapat dikatakan bahwa, gereja sebagai suatu institusi sosial,

Bab I PENDAHULUAN. Dalam perspektif sosiologis dapat dikatakan bahwa, gereja sebagai suatu institusi sosial, Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Politik adalah sebuah bidang kehidupan di mana gereja dapat memperjuangkan terwujudnya tanda-tanda kerajaan Allah dalam Yesus Kristus: keadilan, kebenaran, HAM dan damai

Lebih terperinci

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906163356-21-156465/problem-papua-dan-rapuhnya-relasi-kebangsaan/ Arie Ruhyanto, CNN Indonesia Kamis, 15/09/2016 08:24

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan

Lebih terperinci

Dalam perkembangannya demokrasi secara langsung mulai sulit dilaksanakan, karena : Tidak adanya tempat yang menampung seluruh warga yang jumlahnya

Dalam perkembangannya demokrasi secara langsung mulai sulit dilaksanakan, karena : Tidak adanya tempat yang menampung seluruh warga yang jumlahnya Demokrasi Demokrasi berasal bahasa Yunani Yaitu Demos yang berarti rakyat Cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan Abad ke-4 SM dan ke-6 M Direct Democracy di Yunani Dalam perkembangannya

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang

Lebih terperinci

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK Modul ke: 01 Demokrasi dan Komunikasi Pemasaran Politik Fakultas PASCASARJANA Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Dr. Heri Budianto.M.Si Pengertian Demokrasi Demokrasi secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan politik suatu negara, negara tidak lepas dari corak budaya yang ada dalam masyarakatnya. Peran masyarakat dalam kehidupan politik sangat tergantung

Lebih terperinci

Pokok-pokok Pikiran RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat 1 [sebuah catatan awam] 2. Oleh Dadang Juliantara

Pokok-pokok Pikiran RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat 1 [sebuah catatan awam] 2. Oleh Dadang Juliantara Pokok-pokok Pikiran RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat 1 [sebuah catatan awam] 2 Oleh Dadang Juliantara Kalau (R)UU Kebudayaan adalah jawaban, apakah pertanyaannya? I. Tentang Situasi dan Kemendesakkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem demokrasi, yang artinya pemegang kekuasaan atau kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat namun tetap

Lebih terperinci

DEMOKRASI : TEORI DAN PRAKTIK

DEMOKRASI : TEORI DAN PRAKTIK DEMOKRASI : TEORI DAN PRAKTIK ADIA ALGHAZIA 11121020000 FANDI KARAMI 1112102000029 IRHAM PRATAMA PUTRA 1112102000036 PUTRI HAYATI NUFUS 1112102000030 TANIA RIZKI AMALIA 1112102000100 FARMASI B/D 2012 HAKIKAT

Lebih terperinci

BUDAYA POLITIK. 2. Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia

BUDAYA POLITIK. 2. Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia BUDAYA POLITIK Standar Kompetensi Menganalisis Budaya Politik di Indonesia Kompetensi Dasar 1. Mendiskripsikan pengertian budaya politik 2. Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

Lebih terperinci

Partisipasi LSM..., Firsty Husbani, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia. Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos.

Partisipasi LSM..., Firsty Husbani, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia. Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa setelah jatuhnya rejim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, Indonesia kemudian menjadi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN A. Prolog Skripsi ini dimulai dari keingintahuan peneliti terhadap fenomena unik yang terjadi di bumi Kapuas Hulu, tepatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan itu adalah kemauan seseorang atau sekelompok orang untuk mau memberi keyakinan pada seseorang yang ditujunya. Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di seluruh dunia. Saking derasnya arus wacana mengenai demokrasi, hanya sedikit saja negara yang

Lebih terperinci

sepenuhnya mempengaruhi dinamika dalam sistem. Dengan demikian, pastinya terdapat perilaku politik yang lebih beragam pula.

sepenuhnya mempengaruhi dinamika dalam sistem. Dengan demikian, pastinya terdapat perilaku politik yang lebih beragam pula. Industri Politik Sejak awal dibentuknya, politik digunakan sebagai aturan bermain dalam kenegaraan. Pada dasarnya politik lahir secara alamiah melalui proses yang panjang, dengan evolusi yang cukup rumit

Lebih terperinci