KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI HUTAN ALAM RESORT CIBODAS, GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN HUTAN TANAMAN JATI DI KPH CEPU DWI PRATIWI TOFANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI HUTAN ALAM RESORT CIBODAS, GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN HUTAN TANAMAN JATI DI KPH CEPU DWI PRATIWI TOFANI"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI HUTAN ALAM RESORT CIBODAS, GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN HUTAN TANAMAN JATI DI KPH CEPU DWI PRATIWI TOFANI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI HUTAN ALAM RESORT CIBODAS, GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN HUTAN TANAMAN JATI DI KPH CEPU Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DWI PRATIWI TOFANI E DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 RINGKASAN DWI PRATIWI TOFANI. Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu. Dibimbing oleh Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si. Serangga adalah kelompok utama dari Arthropoda. Serangga merupakan kelompok binatang yang paling dominan dalam ekosistem darat. Serangga memiliki jumlah spesies dan individu yang begitu besar sehingga serangga memiliki peran penting dalam ekosistem hutan yaitu sebagai pemakan tanaman, pemangsa, parasit, pengurai dan sebagainya. Berdasarkan statusnya yang sangat penting, maka keragaman jenis dan kelimpahannya penting untuk dikaji dalam kaitannya dengan kebijakan pengelolaan hutan. Oleh karena itu dilakukan suatu studi keanekaragaman serangga di hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan hutan tanaman jati di KPH Cepu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai jenis-jenis serangga dan mengukur keanekaragaman serangga yang terdapat di hutan alam dan hutan tanaman serta kondisi lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan serangga. Tahap pengumpulan data dimulai dengan penentuan petak pengamatan yang mengacu pada plot Forest Health Monitoring (FHM) yang telah ada. Dari tiap plot dilakukan inventarisasi serangga dengan cara meletakkan alat perangkap serangga berupa 3 perangkap nampan kuning (yellow-pan trap) dan 1 perangkap berbentuk tenda (malaise trap). Setelah 1 minggu, serangga tersebut diekstraksi. Serangga yang didapat diawetkan dalam alkohol, kemudian diidentifikasi, dihitung dan dianalisa keragaman dan kelimpahannya. Kelimpahan individu serangga pada hutan alam lebih tinggi dari kelimpahan individu serangga pada hutan tanaman jati. Kelimpahan individu serangga pada hutan tanaman jati umur muda lebih rendah dari kelimpahan serangga pada hutan tanaman jati umur lebih tua. Di hutan alam Gunung Gede Pangrango ditemukan 12 ordo, 99 famili dan 896 individu. Pada hutan jati (KU III) terdapat 10 ordo, 56 famili dan 363 individu, sedangkan pada plot hutan jati (KU VI) terdapat 10 ordo, 57 famili dan 618 individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis serangga yang ditemukan pada hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango lebih banyak dari jumlah jenis serangga yang ditemukan pada hutan tanaman jati di Cepu. Pada hutan jati umur muda, jumlah jenis serangga yang ditemukan lebih sedikit dari jumlah jenis serangga pada hutan jati umur lebih tua. Hasil analisis regresi didapatkan bahwa faktor lingkungan berupa penutupan tajuk dan diversitas tumbuhan bawah merupakan faktor yang paling menentukan kelimpahan serangga di hutan (R 2 =0,594 untuk penutupan tajuk dan R 2 =0,803 untuk diversitas tumbuhan bawah). Kata kunci : keanekaragaman, serangga, faktor lingkungan, hutan alam, hutan jati

4 BDH/ Insects Biodiversity At Cibodas Resort Natural Forest, Gede Pangrango Mountain and KPH Cepu Teak Forest Plantation. By : Dwi Pratiwi Tofani Leaded By: Ir. Kasno, M.Sc and Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si Background Insects are the main group of Arthropods. They are the most dominant living animals in the terrestrial ecosystems. They have a large amount of individuals and species diversity that makes them becoming an important role in the forests ecosystem, for example as phytophagus especially pests, predators, parasitoids, decomposer, etc. Based on their important role therefore, species diversity as well as their its abundance to be important factors in managing forest. Research Method The study on insect diversity was carried out in Cibodas resort of Gunung Gede Pangrango Natural Forest and teak plantation in KPH Cepu, Central Java. The objectives of this study were to measure insect diversity on both types of forest ecosystem and to identify any dominant environmental element determining the insect diversity and their abundance insects collection was done on the previously established Forest Health Monitoring plots in both forest types. Two types of insect traps namely yellow-pan and malaise traps were used to collect insect samples. All collected insects were then analyzed its diversity and abundance. Result and Conclusion The study showed the followings results. Insects abundance in the natural forests is higher than teak forest plantation. Young teak forest plantation had lower insect abundance than older one. In the Gede Pangrango Mountain Natural Forests, there were 12 insect orders consisted of 99 families and 896 individuals. Young teak plantation (3 rd age class) there were 10 insect orders consisted of 56 families and 363 individuals while in the older one (6 th age class) there were 10 insect orders consisted of 57 families and 618 individuals. Natural forest of Gede Pangrango had higher insect diversity than teak forest plantation. Young teak forest plantation had lower insect diversity than older one. Canopy closing as well as understory vegetation were identified to be the most dominant environmental elements determining the insect diversity and their abundance. Insect diversity maybe used as one of the bioindicator of stability of forest ecosystem or forest health. Keywords : Biodiversity, insects, environmental factors, natural forests, teak forests plantation

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2008 Dwi Pratiwi Tofani NRP E

6 Judul Skripsi : Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu Nama : Dwi Pratiwi Tofani NIM : E Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Ir. Kasno, M.Sc Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si NIP NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP Tanggal lulus:

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat taufik dan hidayah-nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai jenis-jenis serangga yang terdapat di hutan alam Gunung Gede Pangrango dan hutan tanaman jati di KPH Cepu serta menentukan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kelimpahan serangga serta pelaksanaannya dilaksanakan di laboratorium Entomologi Fakultas Kehutanan, dibawah bimbingan Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si. Penelitian dilakukan pada areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Resort Cibodas; KPH Cepu, Perum Perhutani Unit 1, Jawa Tengah Petak 1039 dan Petak 4005 serta Laboratorium Entomologi Hutan dari bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 yang difasilitasi oleh penelitian program Hibah Bersaing DIKTI 2007 dengan judul Penilaian Kesehatan Hutan Produksi dengan Menggunakan Metode Forest Health Monitoring (FHM) Hasil penelitian tentang keanekaragaman serangga di hutan alam Resort Cibodas dan hutan tanaman jati di KPH Cepu ini, semoga dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi pihak pengelola dalam manajemen habitat hutan serta dapat digunakan sebagai alat indikator kondisi hutan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang menggunakannya. Bogor, Agustus 2008 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 15 Januari 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Drs. Mustofa dan Drh. Endang Sri Peni. Pada tahun 1990 penulis memasuki dunia pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) As- S tingkat Sekolah Dasar (SD) As-S tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negri (SLTPN) 51 Jakarta Timur. Setelah lulus, pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negri (SMUN) 26 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun Pada tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada program studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Agria Swara IPB tahun Pada tahun sebagai anggota paduan suara Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2006 penulis melakukan Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Sancang-Kamojang, Kabupaten Garut dan Praktek Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Ciamis. Pada bulan Februari-April 2007 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu dibawah bimbingan Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Bismillaahirrahmaa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberi dukungan dalam penelitian ini, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua (Bapak dan Ibu), kakak (mas Eko) dan adik (Teddy) serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan, semangat, doa, dan motivasi pada penulis. 2. Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada penulis. 3. Ir. Tarsicius Rio Mardikanto, MS dan Dr. Drh. Erna Suzanna, M.Sc.F selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan yang telah memberikan masukan berupa kritik dan saran serta ilmu kepada penulis. 4. Pak Dudi, Pak Fari, pak Dani, pak Zaky, bu Dhiya dan semua keluarga besar dee-nine acuan dalam berkarya senantisa tidak dapat terlupakan. 5. Proyek Penelitian Hibah Bersaing FHM 2007, Dirjen DIKTI DEPDIKNAS atas dukungan finansial pada penelitian ini. 6. Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), Pihak Puslitbanghut Cepu dan KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk melakukan penelitian. 7. volunteer, pak Dhoso, pak Henky, pak Weda, pak Kamto, pak Bambang, pak Maryono, dan mas Paidi atas bantuannya selama penelitian. 8. FHM crew (Lukman, Mamat, Bagus, Sopa, Mita dan Novi), terima kasih untuk segala bantuan, dukungan dan semangatnya.

10 9. Bu Umi, pak Endang, bu Elly, bu Lailan se 10. Rekan- -persatu, Bang Hendra, Stevano, Prabu, Laura, Buret, Kur-kur serta rekan-rekan Fahutan IPB lainnya, atas keceriaan yang telah diberikan. 11. Ery Herliana, Anva Novalia dan Chandra Imam Arianto yang selalu memberikan spirit yang tiada henti, dukungan dan kesabaran yang dilalui bersama. 12. Staf pengajar dan karyawan Departemen Silvikultur yang telah membantu dalam kelancaran studi. 13. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuannya pada penulis. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Juni 2008 Penulis

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR..... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Manfaat... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Biodiversitas Keanekaragaman Serangga Hubungan antara Serangga dan Tanaman Faktor Lingkungan Serangga... 7 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Kerja BAB VI KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango KPH Cepu BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pembahasan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 53

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Hubungan serangga dengan pohon menyebabkan variasi besar terhadap keragaman jenis serangga Kelas lereng kawasan TNGP Kondisi iklim kawasan TNGP Keadaan hidrologi kawasan TNGP Jenis tanah kawasan TNGP Jarak dan aksesibilitas kawasan TNGP Pembagian wilayah hutan KPH Cepu Keadaan lapangan bagian hutan di KPH Cepu Pembagian wilayah kerja KPH Cepu Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan serangga dengan metode yellow-pan trap Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan serangga dengan metode malaise trap Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan dari jumlah total serangga yang ditemukan Kondisi rata-rata lingkungan pada lokasi Gunung Gede Pangrango serta KPH Cepu Petak 1039 dan Petak Hasil regresi dengan metode stepwise antara kelimpahan serangga dengan metode yellow-pan trap dengan faktor lingkungan (penutupan Nilai indeks keragaman jenis serangga pada tiap tipe ekosistem... 45

13 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Lokasi plot FHM Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango Lokasi plot FHM KPH Cepu KU III (Petak 1039) Lokasi plot FHM KPH Cepu KU VI (Petak 4005) Bentuk klaster Forest Health Monitoring (FHM) Pengumpulan serangga dengan metode yellow-pan trap Pengumpulan serangga dengan metode malaise Trap Kelimpahan serangga berdasarkan ordo yang ditangkap dengan metode yellow-pan trap Rata-rata kelimpahan serangga pada tiga lokasi penelitian Kelimpahan serangga yang ditangkap dengan metode malaise trap Kelimpahan total serangga di hutan alam dan hutan tanaman jati Rata-rata kelimpahan serangga pada tiga lokasi penelitian... 38

14 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Data curah hujan Kecamatan Cabak Kabupaten Blora tahun Kelimpahan serangga pada hutan alam dengan metode yellow-pan trap Kelimpahan serangga pada hutan tanaman jati dengan metode yellow-pan trap Kelimpahan serangga dengan metode malaise trap Kelimpahan total serangga pada lokasi Gunung Gede Pangrango, KPH Cepu KU III (Petak 1039) dan KU VI (Petak 4005) Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman serangga dengan program GW BASIC Hasil analisis rata-rata nilai tengah kelimpahan serangga dengan metode Tukey Hasil analisis regresi Jenis-jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian Jenis-jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada lokasi penelitian Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman pohon dengan program GW BASIC Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman tumbuhan bawah dengan program GW BASIC Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) Dokumentasi penelitian... 79

15 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia, sehingga mendapat julukan sebagai Megabiodiversity Country. Keanekaragaman hayati ini mencakup ekosistem, spesies dan genetik yang berada di darat, perairan tawar maupun dipesisir dan laut, padahal luas daratan Indonesia hanya 1,5% dari luas dunia (Bappenas 2003). Pada umumnya bahasan-bahasan keragaman hayati meliputi keragaman jenis, ekosistem dan genetik. Serangga merupakan kelompok organisme yang dominan di bagian biosfer yang berupa daratan. Serangga mempunyai peran penting dalam kelestarian ekosistem (Schowalter 1952). Serangga diyakini terdiri dari berjuta spesies tetapi baru sekitar sejutaan berhasil dideskripsikan. Masih begitu banyak jenis serangga yang memerlukan perhatian. Serangga menyusun sekitar 64% dari total spesies flora dan fauna yang ada di permukaan bumi. Dengan jumlah spesies dan individu yang begitu besar maka serangga memegang peranan yang sangat penting yaitu sebagai pemakan tanaman, pemangsa, parasit, pengurai, penyerbuk dan sebagainya. Dalam konteks ekosistem, keragaman spesies serangga diyakini bisa digunakan sebagai salah satu bioindikator kondisi suatu ekosistem mengingat peran pentingnya serangga dalam ekosistem proses produksi pertanian dan begitu banyak jenis serangga yang belum terungkap maka upaya untuk mengkaji keragaman jenis serangga dalam ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengukur keanekaragaman serangga di hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango serta hutan tanaman jati di KPH Cepu KU III dan KU VI.

16 2 2. Mengidentifikasi unsur lingkungan yang berperan dominan dalam menentukan keragaman dan kelimpahan jenis serangga. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak pengelola hutan. Informasi yang dibutuhkan tentang jenis-jenis fauna terutama serangga untuk dijadikan alat indikator terhadap kondisi hutan.

17 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Biodiversitas Biodiversitas mencakup keseluruhan ekosistem. Konsep tersebut mencoba untuk menekan variasi habitat yang diterapkan pada suatu area. Biodiversitas meliputi seluruh jenis variasi alam seperti tingkat molekular dan genetis hingga ke tingkat spesies dan bahkan subspesies (Daroz 1999). Menurut Myers (1996) dalam Daroz (1999) komponen spesies meliputi seluruh jenis tanaman, binatang dan mikroorganisme. Keanekaragaman adalah suatu perbedaan dalam bentuk atau sifat diantara anggota-anggota suatu kelompok. Keanekaragaman dalam level ekosistem terbagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman alpha, keanekaragaman gamma dan keanekaragaman beta (McNoughton dan Wolf 1990). Menurut Magguran (1988) terdapat pengertian dari semua level keragaman tersebut, yaitu: 1. Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur. 2. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (gabungan keanekaragaman titik). 3. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu pulau atau landscape (gabungan keanekaragaman alpha). 4. Keanekaragaman epsilon (epsilon diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (gabungan keanekaragaman gamma). McNoughton dan Wolf (1990) menyatakan bahwa terdapat hubungan kondisi suatu populasi dengan komposisi suatu genetik. Suatu populasi mungkin beragam dalam struktur umum, fase perkembangan, atau komposisi genetik dari individu-individu penyusunnya. Dalam ekologi, umumnya keanekaragaman mengarah pada keanekaragaman spesies yang pengukurannya melalui jumlah spesies dalam komunitas dan kelimpahan relatifnya. Daroz (1999) menyatakan bahwa suatu keragaman spesies dapat memiliki pengertian yang tepat, yakni mempunyai nilai pasti untuk menentukan bukan

18 4 hanya jumlah spesies pada tempat tertentu, tetapi juga kelimpahan relatifnya, nilai kejarangannya dan kestabilan potensi populasi mereka. Menurut McNeely (1992) keanekaragaman jenis adalah konsep variabilitas makhluk-makhluk hidup yang diukur terhadap seluruh spesies yang ada atau di kawasan tertentu. Semakin besar ukuran populasi suatu spesies maka semakin besar pula keanekaragaman didalamnya. Keragaman spesies menggambarkan keberadaan spesies yang terdapat pada suatu wilayah/biotipe tertentu. Keragaman spesies juga dapat dievaluasi dengan cara menghitung indeks keragaman. Indeks keragaman menunjukkan ukuran jumlah ragam jenisnya. Keanekaragaman jenis terdiri atas dua komponen, yaitu jumlah spesies dan jumlah individu. Jumlah jenis merupakan kekayaan jenis (richness species) dan jumlah individu merupakan kemerataan jenis (eveness species). 2.2 Keanekaragaman Serangga Serangga adalah kelompok terbesar dari hewan beruas (Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda. Arthropoda merupakan filum dengan jumlah anggota terbesar dibandingkan dengan filum lainnya. Filum ini mencapai sekitar 85% dari seluruh jumlah anggota kingdom Animalia yang ada. Sedangkan serangga merupakan hewan dengan jumlah anggota terbesar diantara kelas lainnya dalam filum arthropoda dan hewan lainnya di dunia (British Museum 1974). Menurut May (1992) dalam Speight et al. (1999) saat ini telah dideskripsikan lebih dari 1,5 x 10 6 total organism yang lebih dari 50%-nya adalah serangga. Banyaknya jumlah organisme terungkap dari perbandingan jumlah spesies serangga dengan vertebrata (sebagian besar sub filum dari cordata) sekitar spesies serangga telah diketahui jenisnya dibandingkan dengan 4000 lebih mamalia. Lebih lanjut, sepertinya sebagian besar vertebrata telah diketahui. Sementara itu spesies serangga masih sedikit yang sudah diketahui. Lebih dari spesies insekta sudah ditemukan. Terdapat spesies bangsa capung (Odonata), spesies bangsa belalang (Orthoptera), spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), spesies bangsa kepik (Hemiptera),

19 5 spesies bangsa kumbang (Coleoptera) dan spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera) (Wikipedia 2008). 2.3 Hubungan antara Serangga dan Tanaman Perbedaan habitat dan cara hidup memungkinkan terjadinya perbedaan tiap spesies dalam satu kelompok yang hidup bersama dan mengeksploitasi sumber makanan yang sama, dalam hubungan ini serangga mengambil manfaat dari tanaman sebagai sumber makanan (Speight dan Wylie 2000). Hubungan ini dapat berpengaruh besar terhadap evolusi dan kelangsungan hidup serangga atau tumbuhan. Kebanyakan serangga fitofag cenderung untuk menyukai salah satu jenis tanaman. Setelah diuraikan secara kimiawi daun tumbuhan mempunyai isi hara yang hampir mirip. Banyak tanaman khusus yang merupakan bahan makanan suatu jenis tertentu menunjukkan adanya zat yang menarik serangga tersebut dan tidak adanya zat penolak. Satu jenis tanaman cocok sebagai bahan makanan bagi suatu jenis serangga bukan karena kandungan haranya tetapi karena adanya zat penarik. Adanya zat penarik dan penolak ini berkembang evolusi yang sangat panjang (Partosoedjono 1985). Serangga mempunyai jenis yang sangat banyak. Jenis-jenis dari serangga ini memiliki peranan yang berbeda-beda. Serangga memegang peranan yang sangat penting dalam jaringan makanan yaitu sebagai herbivor, karnivor, dan detritivor (Strong et al. 1984). Selain itu serangga juga berperan sebagai indikator kondisi hutan (Samways 1994). Banyaknya peran serangga dikarenakan serangga merupakan kelompok organsime yang sensitif dan dapat memperlihatkan gejala terpengaruh terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik (oleh gangguan alam), maka Jolivet (1998) dalam Samways (2005) menyatakan bahwa terjadi hubungan timbal balik antara jenis serangga tertentu dan tumbuh-tumbuhan tertentu. Ada serangga yang berperan sebagai dekomposer, parasit, atau predator. Kelompok parasit memiliki kesamaan dengan predator yakni dalam hal memerlukan nutrisi. Perbedaannya predator langsung membunuh sedang parasit tidak membunuh spesies lain atau sumber nutrisi secara langsung. Secara khusus parasit yang selalu menyebabkan kematian inangnya dikenal sebagai parasitoid.

20 6 Kira-kira 10% dari total serangga merupakan parasitoid. Kebanyakan, sebanyak 75% berasal dari ordo Hymenoptera, sisanya merupakan anggota ordo Diptera dan Coleoptera (Speight et al. 1999). Springtail (Collembola) merupakan konsumen dari sisa tanaman atau hewan, kotoran, humus dan miselia jamur. Spesies ini menggunakan ekornya untuk melompat atau bergerak, melalui mekanisme kembang-kerut (seperti per) pada bagian ujung bawah posteriornya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Inggris terdapat kehidupan interaksi antara pohon dengan serangga dalam kurun waktu yang panjang menunjukkan bahwa serangga berhubungan dengan berbagai pohon sehingga menimbulkan variasi besar terhadap jenis serangga dimana ordo Lepidoptera memiliki famili yang paling kaya, kemudian disusul oleh Coleoptera (Tabel 1). Tabel 1 Hubungan serangga dengan pohon menyebabkan variasi besar terhadap keragaman jenis serangga Pohon Total Heteroptera Homoptera Lepidoptera Makro Mikro Coleoptera Quercus spp Betula spp Colylus avellana Salix spp Alnus glutinosa Crataegus spp Fraxinus excelsior Pinus sylvestris Ilex aquifolium Taxus baccata Prunus spinosa Populus spp Ulmus spp Fagus sylvatica Acer campestre Carpinus betulus Juniperus communis Tilia spp Malus spp Sorbus aucuparia Sumber: Speight dan Wylie (2000) Kekayaan fauna adalah suatu fungsi dari lamanya waktu suatu pohon yang telah tumbuh pada suatu wilayah. Semakin lama koeksistansi yang terjadi antara pohon dengan serangga, maka koevolusi yang kuat akan terjadi sehingga

21 7 memungkinkan terbentuknya jumlah spesies yang lebih banyak (Speight dan Wylie 2000). Adanya keragaman bentuk dan komposisi tanaman membuka peluang untuk serangga memanfaatkan tanaman. Pada gilirannya, keanekaragaman tanaman mengalami peningkatan yang disebabkan oleh hewan pemakan tanaman (herbivora) terutama serangga (Strong et al. 1984). Artinya apabila keragaman spesies vegetasi meningkat, jumlah spesies serangga juga ikut bertambah. Pada hutan relatif homogen, hutan tanaman jati memiliki variasi jenis vegetasi yang cenderung kecil dan determinasi jumlah panjang jalur per area unit (per m 2 ), juga berpengaruh. Dengan tanaman semak alami akan membuat jumlah individu tanaman akan bervariasi yang merupakan inang serangga, per area unit dan umur mereka (Southwood 1971). 2.4 Faktor Lingkungan Serangga Semua jenis flora dan fauna telah berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. Kehidupan seranggapun sangat bergantung pada habitatnya. Keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup (biodiversitas) dan sebaliknya keanekaragaman dan banyaknya makhluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan (Tarumingkeng 1992). Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan berpengaruh pada perkembangan serangga. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Faktor lingkungan fisik atau abiotik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau lapisan kerak bumi termasuk tanah yang mencakup tipe tanah, bahan induk, serta parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat fisik, kimia dan kesuburan), hidrosfer (hydrosphere), yang meliputi lautan dan perairan lainnya dengan parameter-parameter: arus, kedalaman, salinitas, keasaman (ph), kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 2001). Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas fauna yang terdapat pada suatu habitat, yakni laju pengembangan serangga, kelangsungan hidup, kesehatan dan aktivitas individu, distribusi dan ukuran populasi. Sedangkan faktor lingkungan hayati atau biotik merupakan bagian dari

22 8 keseluruhan lingkungan yang terbentuk dari semua fungsi hayati makhlukmakhluk hidup yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Faktor biotik berpengaruh pada perkembangan populasi serangga hama adalah daya reproduksi dan kemampuan hidup serangga hama, kualitas dan kuantitas bahan makanan yang tersedia, parasit, pemangsa, dan penyakit serangga (Graham 1952). Dalam studi ekologi fauna, pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan karena dapat mengetahui besarnya pengaruh faktor abiotik itu terhadap keberadaan dan kepadatan populasi kelompok fauna ini. Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor abiotik yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan populasi serangga. Tanaman memodifikasi lingkungan terbaru mereka dan memproduksi iklim mikro yang mungkin akan berbeda dengan iklim makro pada suatu wilayah, atau disebut mesoclimate. Intensitas cahaya, kecepatan angin, suhu dan kelembaban serta distribusi hujan dapat mengubah vegetasi yang ada (Edwards 1980). Serangga termasuk berdarah dingin sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin. Ruslan dan Noor (2007) memaparkan bahwa pada musim kemarau, famili Formicidae dan Nitidulidae akan banyak ditemukan pada permukaan tanah, sedangkan pada musim hujan, famili Formicidae dan Tenebrionidae yang akan lebih banyak ditemukan pada permukaan tanah.

23 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 dengan mengambil lokasi di dua tempat, yaitu hutan alam (Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango) dan hutan tanaman jati (KPH Cepu KU III (Petak 1039) dan KU VI (Petak 4005)). Kegiatan ekstraksi dan identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Lokasi plot pengamatan hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango (GP) terletak pada lokasi plot Forest Health Monitoring (FHM) Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango yang telah dibuat pada tahun Plot tersebut terletak dekat dengan Kebun Raya Cibodas (Pal II B) dengan jarak datar 25,45 m dan azimuth 210 (Gambar 1). Sumber: Supriyanto et al. (2001) Gambar 1 Lokasi plot FHM Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango.

24 10 Plot pengamatan keragaman serangga di hutan tanaman jati yang ditempatkan pada plot FHM yakni di BKPH Pasarsore di Petak 1039 (C3) dan BKPH Cabak di Petak 4005 (C6). Pada Petak 1039, pengukuran pusat plot dimulai dari Pal D/DC pada azimuth 90 dengan jarak datar 120 m (Gambar 2). Petak 1039 merupakan perwakilan dari kelas umur (KU) III, sedangkan pada Petak 4005 merupakan perwakilan dari KU VI dengan pengukuran pusat plot dimulai dari Pal DX/DD pada azimuth 225 dengan jarak datar 100 m (Gambar 3). Sumber: Pusbang-SDH (2001) Gambar 2 Lokasi plot FHM KPH Cepu KU III (Petak 1039).

25 11 Sumber: Pusbang-SDH (2001) Gambar 3 Lokasi plot FHM KPH Cepu KU VI (Petak 4005). 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air deterjen dan alkohol 70 %. Alat-alat yang digunakan adalah yellow-pan trap, malaise trap, mikroskop, kaca pembesar, pinset, termo-hygrometer, baskom kuning, tali raffia, kompas, tabung film, kain kasa, penggaris, meteran, kertas label, alat tulis dan kamera. 3.3 Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari lima tahapan. Kelima tahapan tersebut yakni penentuan petak pengamatan, pengukuran faktor lingkungan serangga, ekstraksi serangga, identifikasi serangga dan analisis data.

26 Penentuan Petak Pengamatan Penentuan petak pengamatan menggunakan acuan plot pengamatan Forest Health Monitoring (FHM) yang telah ada. Dalam FHM, penentuan petak pengamatan dilakukan dengan membuat desain plot sampling. Desain plot sampling yang digunakan dalam INDO-FHM disebut dengan desain Cluster Plot. Satu klaster dalam plot sampling terdiri dari empat buah plot annular dan subplot. Plot annular dan subplot masing-masing memiliki jari-jari 17,95 m dan 7,32 m (Gambar 4). Dengan demikian luasan yang tercakup dalam satu buah klaster-plot adalah seluas 4048,93 m 2, sedangkan luasan hutan yang diwakili oleh satu buah klaster-plot adalah seluas 1 ha. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Azimuth Azimuth Azimuth Subplot Jari- (7.32 m) 2 Annular Plot Jari- (17.95 m) Titik sampling tanah 1 Titik sampling tanah 3 1 Jarak antara tiap titik pusat plot : Titik sampling tanah 2 4 Microplot Jari- azimuth 90 0 dari titik pusat subplot (3.66 m) 3 Sumber : Alexander (1997) Keterangan : = plot trapping serangga Gambar 4 Bentuk klaster Forest Health Monitoring (FHM).

27 13 Titik pusat pada subplot 1 merupakan titik pusat bagi keseluruhan plot. Titik pusat subplot 2 terletak pada arah dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 3 terletak pada arah dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 4 terletak pada arah dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Sampel tanah diambil dari tiga buah titik berbentuk lingkaran yang terletak diantara subplot 1-2, 2-3 dan 1-4, dengan ukuran diameter lubang 16 cm. Sedangkan untuk serangga, pengamatan dilakukan pada plot trapping yang terletak disebelah sampel plot tanah (Gambar 4). Petak pengamatan serangga menggunakan metode malaise trap merupakan alat perangkap serangga berbentuk seperti tenda jaring dan menggunakan metode yellow-pan trap. Serangga yang terjebak dalam perangkap dimasukkan ke dalam tabung-tabung film yang telah berisi alkohol 70% dan diberi label berdasarkan petak pengamatan Pengukuran Faktor Lingkungan Serangga Semua jenis serangga dan vegetasi telah berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu faktor lingkungan yang terdiri dari faktor abiotik (faktor fisik seperti cuaca dan iklim) dan faktor biotik (pengaruh dari organisme lain) menjadi seleksi alam dan adaptasi serangga dengan kehidupannnya. Kemampuan suatu spesies atau populasi untuk bertambah jumlahnya, untuk menyebar ke sumber makanan yang baru, atau memproduksi dan mengeksploitasi sumber makanan, semuanya dipengaruhi oleh salah satu atau kedua faktor tersebut (Daroz 1999) Menurut Varley et al. (1973) dalam Daroz (1999) mendeskripsikan dengan sederhana bagaimana faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi populasi serangga. Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara menghitung besarnya kelimpahan dan nilai diversitas dari pohon dan tumbuhan bawah, suhu dan kelembaban udara. Kelimpahan pohon diukur hanya untuk pohon-pohon yang berada dalam subplot yang diasumsikan dapat mewakili kondisi vegetasinya (Gambar 4) dan nilai diversitasnya diukur dengan menggunakan indeks keragaman Shannon- Wiener, sedangkan kelimpahan tumbuhan bawah diukur pada plot trapping

28 14 (Gambar 4) dan nilai diversitasnya diukur dengan menggunakan indeks keragaman Shannon-Wiener. Pengukuran lingkungan berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada pusat plot annular 1 (Gambar 4) dengan menggunakan termo-hygrometer Ekstraksi Serangga yaitu: Menurut British Museum (1974) Terdapat dua jenis metode trapping 1. Perangkap aktif : perangkap yang digunakan dengan cara menarik perhatian dari serangga, seperti cahaya, warna, umpan alami, dan kimia. 2. Perangkap pasif : perangkap yang memanfaatkan karakteristik alam. Agar dapat mengetahui keanekaragaman jenis serangga yang terdapat dalam suatu ekosistem diperlukan pengumpulan beberapa serangga yang mewakili jenis-jenis serangga pada lokasi yang ingin diamati. Ekstraksi serangga dilakukan dengan menggunakan metode perangkap aktif yaitu yellow-pan trap yang dapat menjadikan warna sebagai penarik perhatian dari serangga dan menggunakan metode perangkap pasif yaitu malaise trap yang memanfaatkan jaring tendanya untuk menjebak serangga. Perangkap ini mengambil keuntungan dari tingkah laku serangga yang memiliki kecenderungan untuk selalu terbang menuju ke tempat terang Metode Yellow-pan trap Umumnya serangga memiliki ketertarikan terhadap cahaya. Warna memiliki hubungan dengan panjang gelombang cahaya. Masing-masing serangga seringkali menunjukkan ketertarikan terhadap warna cahaya, oleh karena itu metode yellow-pan trap tepat digunakan dalam pengambilan serangga. Metode yellow-pan trap berupa wadah berwarna kuning yang merupakan suatu cara cepat dan mudah untuk menangkap serangga-serangga seperti Diptera dan Hymenoptera denikian juga Coleoptera dan Staphylinidae (Carlton 1999, dalam Haneda 2004). Agar mencegah serangga yang telah terjebak tidak membusuk, bahan pengawet kimia yang berbeda dapat digunakan untuk metoda ini yakni air sabun/deterjen untuk mencegah serangga yang telah terjebak tidak terbang

29 15 kembali (Evans dan Medler, 1966; Obrycki dan Mahr, 2000). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Pengumpulan serangga dengan metode yellow-pan trap Metode Malaise trap Malaise trap (Gambar 6) merupakan suatu perangkap besar seperti tenda (berbentuk prisma) yang terbuat dari jaring atau net berwarna hitam pada bagian bawah tenda dan berwarna putih tembus pandang pada bagian atasnya serta terdapat tabung kecil yang telah berisi alkohol 70% pada ujung atas tenda (Longino 2004). Perangkap ini mengambil keuntungan dari fakta bahwa ketika sebagian besar serangga terbang bertemu dengan halangan, maka akan berusaha untuk terbang tinggi dan mengitarinya daripada merubah arah terbang (British Museum 1974). Ketika memasuki perangkap, serangga masuk ke bagian pusat perangkap dan akan mencoba untuk terbang keatas mencari jalan keluar cahaya terang, yang akhirnya akan terjebak pada tabung yang telah berisi alkohol 70%. Perangkap diambil setelah satu minggu dipasang (Gambar 6). (A) (B) Gambar 6 Pengumpulan serangga dengan metode malaise trap. Ket: (A) Malaise trap; (B) Tabung perangkap berisi alkohol 70%.

30 Identifikasi Serangga Serangga yang ditemukan diidentifikasi sampai taraf famili dengan melihat morfologi dari masing-masing individu serangga lalu dibandingkan dengan gambar-gambar dan uraian-uraian dari buku referensi. Adapun referensi yang dipakai dalam identifikasi adalah: a. Pengenalan Pelajaran Serangga, tahun 1996, karya Donald J.Borror, Charles A. Triplehorn dan Norman F. Johnson yang diterjemahkan oleh S. Partosoedjono. b. Kunci Determinasi Serangga, tahun 1991, karya Christina Lilies. c. The Insect of Australia (A Textbook for Student and Research Workers), tahun 1970, oleh Division of Entomology Commonwealth. d. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families, tahun 1993, karya Henry Goulet dan John T. Huber. e. Australasian Chalcidoidea (Hymenoptera): A Biossystematic Revision of Genera of Fourteen Families, with a Reclassification of Species, tahun 1988, karya Zdenek Boucek. f. Manual of Nearctic Diptera, tahun 1981, karya Sharon M. Rudnitski. g. A Field Guide in Colour to Beetles, tahun 1998, karya K. W. Harde Analisis Data Keragaman dapat diukur dengan mengetahui kekayaan spesies yaitu jumlah jenis spesies disuatu ekosistem, kelimpahan spesies, atau kombinasi kekayaan spesies dan dominasi spesies (Magurran 1988). Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap nilai keragaman jenis, nilai kekayaan jenis, dan nilai kemerataan jenis guna mengetahui hubungan antar serangga dan faktor lingkungan. Perhitungan nilai-nilai indeks keragaman serangga dilakukan dengan menggunakan program Species Richness Biodiversity dan program GW-BASIC 3.20, sedangkan untuk menguji perbedaan kelimpahan serangga dari masingmasing lokasi (GP, C3 dan C6) digunakan uji ANOVA dan hubungan kelimpahan serangga dengan lingkungan digunakan regresi dengan program SPSS 12.0.

31 Nilai Keragaman Jenis (Diversity Index) Nilai keragaman yang umum digunakan adalah indeks keragaman spesies Shannon-Wiener yaitu untuk menghitung keragaman berdasarkan hitungan gabungan antara jumlah dan kelimpahan spesies (Ludwig dan Reynold 1988). Indeks keragaman spesies Shannon-Wiener dirumuskan dengan: H' Pi ln Pi ; dimana ni Pi N Keterangan : H = Indeks Keragaman Jenis Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah individu seluruh jenis habitat/lokasi juga meningkat, begitupun sebaliknya. Sehingga semakin tinggi Nilai Kekayaan Jenis Margalef (Richness Index) Nilai kekayaan jenis (DMg) digunakan untuk menghitung keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem (Ludwig dan Reynolds 1988). Indeks kekayaan jenis Margalef dirumuskan dengan: ( S 1) DMg ln N Keterangan : DMg = Indeks Kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah individu seluruh jenis Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index) Nilai kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan keragaman individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness modifikasi dari (Ludwig dan Reynold 1988): N2 1 1 E 5 ; dimana N 1 N 1 1 Keterangan : E5 = Indeks kemerataan jenis N2 = Nilai dari kelimpahan, N2 = e N1 = Ukuran nilai dari kelimpahan spesies pada sampel s 2 p i i 1 =,

32 18 Nilai E berkisar antara 0 dan 1. Alatalo (1981) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mengatakan bahwa apabila E5 mendekati nol berarti satu spesies menjadi lebih dominan dalam komunitas. Sedangkan apabila nilai E5 sama dengan satu berarti seluruh spesies berada pada tingkat kemerataan yang sama Hubungan Kelimpahan Serangga dengan Faktor Lingkungan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga habitat yang berbeda, yaitu hutan alam, hutan tanaman jati kelas umur (KU) III dan hutan tanaman jati KU VI. Rumus yang digunakan adalah: Y ij u Keterangan : Y ij = nilai kelimpahan serangga dari lokasi ke-i pada pengamatan ke-j u = nilai tengah umum (rata-rata populasi) kelimpahan serangga i = pengaruh habitat ke-i terhadap kelimpahan serangga ij = pengaruh galat percobaan dari lokasi ke-i pada pengamatan ke-j Hubungan antara kelimpahan dengan faktor lingkungan dianalisis dengan metode regresi. Data kelimpahan serangga meliputi seluruh jenis serangga yang didapatkan baik dengan metode yellow-pan trap maupun dengan malaise trap. Dalam melakukan uji regresi, digunakan program SPSS 12.0 dengan nilai uji nyata F hitung >F tabel dan tidak nyata F hitung <F tabel. i ij

33 19 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki satu atau lebih ekosistem alam utuh tidak terganggu yang dikelola dengan sistem zonasi yang berperan sebagai penyedia air bagi beberapa kota besar di Jawa Barat. Selain itu, didalamnya terdapat jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, penelitian, budaya, rekreasi dan pariwisata. Tidak hanya itu, perkembangan lebih jauh memperlihatkan bahwa Taman Nasional dapat menjadi penyedia alternatif pendapatan bagi masyarakat di sekitarnya. Tingginya nilai keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) yang mendorong UNESCO untuk menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977, jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional. Kemudian pada tahun 1980, kawasan TNGP menjadi salah satu dari 5 kawasan konservasi pertama yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Taman Nasional Tugas dan fungsi utama TNGP yakni untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman hayati dan menyediakan sumberdaya alam hayati untuk pemanfaatan secara berkelanjutan. Kawasan ini memiliki sumberdaya hutan yang relatif masih terjaga dengan baik Letak dan Luas Kawasan Luas kawasan TNGP mencapai Ha dan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGP mengalami perluasan dari Perum Perhutani menjadi Ha. Perluasan kawasan TNGP dapat dilihat pada Lampiran 13.

34 20 Secara geografis TNGP terletak antara 106 o -107 o o - 6 o (tiga) Kabupaten, yaitu: Sebelah Utara Sebelah Barat Sebelah Selatan Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor. : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor. : Wilayah Kabupaten Sukabumi. : Wilayah Kabupaten Cianjur Kondisi Fisik Topografi Kawasan TNGP merupakan kawasan gunung berapi yang terbagi menjadi dua kawasan, yakni Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Topografi kawasan bervariasi mulai dari dataran landai hingga bergunung. Kisaran ketinggiannya berkisar antara 700 mdpl dan 3000 mdpl. Sebagian besar kawasan TNGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagaian kecil lagi merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu rawa Gayonggong. Pada bagian Selatan kawasan yaitu daerah Situgunung. Daerah tersebut memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti Bukit Masigit) dengan kelerengan 20-80%. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ± meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Data kelas lereng kawasan TNGP seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Kelas lereng kawasan TNGP Simbol Kelas Lereng (%) Luas (Ha) Prosentase (%) Keterangan A 0-3 % 227,94 1,5 Datar B 3-8 % 531,86 3,5 Landai C 8-15 % 759,8 5 Berombak D % 2127,44 14 Bergelombang E % 4102,92 27 Berbukit F > 40 % 7446,04 49 Bergunung JUMLAH 15, Luas Total TNGP Sumber: Statistik Balai TNGP 2006

35 Iklim dan Hidrologi Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, TNGP termasuk dalam tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu TNGP merupakan salah satu daerah terbasah di pulau Jawa. TNGP memiliki curah hujan yang tinggi antara mm. Berikut data kondisi iklim kawasan TNGP sebagaimana pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi iklim kawasan TNGP Iklim (Klasifikasi Schmidt-Ferguson) Curah Hujan Suhu Tipe A Nilai Q = 5-9 % Tinggi Rata-rata mm 10 O C (siang hari) dan 5 O C (malam hari) Kelembaban udara 80-90% Kelembaban tinggi menyebabkan terbentuk tanah Angin Muson Bulan Desember-Maret (Penghujan); angin bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan tinggi Musim kemarau, angin bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan rendah. Sumber: Statistik Balai TNGP 2006 Kawasan TNGP merupakan hulu dari DAS Citarum (Cianjur) dan DAS Citanduy (Bogor). Data keadaan hidrologi kawasan TNGP seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Keadaan hidrologi kawasan TNGP Peta Hidro-Geologi Skala 1: (Direktorat Geologi Tata Lingkungan 1986) Daerah produktif kandungan sumber air tanah Hidrologi Kualitas air Lebar Sungai Fisik Sungai Sebagian besar akuifer daerah air tanah langka Sebagian kecil akuifer produktif sedang. Debit air tanah kurang dari 5 liter per detik Kaki Gunung Gede, Cibadak-Sukabumi, mutu memenuhi persyaratan air minum disamping untuk irigasi 58 sungai dan anak sungai: Bogor: 17 sungai dan anak sungai (Diantaranya Cisadane, Cisarua, Cimande, Cibogo dan Ciliwung) Cianjur: 20 sungai dan anak sungai (Diantaranya Cikundul, Cimacan, Cibodas, Ciguntur, Cisarua dan Cibeleng) Sukabumi: 23 sungai dan anak sungai (Diantaranya Cibeureum, Cipelang, Cipada, Cisagaranten, Cigunung, Cimahi, Ciheulang dan Cipanyairan) Baik, sumber air utama bagi kota-kota sekitarnya Hulu 1-2 meter ; Hilir 3-5 meter Sempit, dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir Sumber: Statistik Balai TNGP 2006

36 Tanah Merujuk peta tanah tinjau provinsi Jawa Barat skala 1: (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1966), jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan TNGP adalah latosol coklat, asosiasi andosol, coklat dan regosol coklat, kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuf, dan batuan vulkan intermedier sampai dengan basis. Data tanah kawasan TNGP seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis tanah kawasan TNGP No Jenis Tanah Lokasi Deskripsi Jenis 1 Latosol coklat tuf volkan intermedier. 2 Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat. 3 Kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuf dan batuan volkan intermedier sampai dengan basis. Sumber: Statistik Balai TNGP Kondisi Biologi Lereng paling bawah G. Gede Pangrango (Dataran Rendah). Lereng-lereng gunung lebih tinggi. Kawasan G.Gede dan Pangrango berasal dari hasil kegiatan gunung api. Mengandung tanah liat dan tidak lekat serta lapisan sub soilnya gembur yang mudah ditembus akar dan lapisan dibawahnya tidak lapuk, juga merupakan tanah subur dan dominan. Tanah latosol mempunyai perkembangan profil dengan solum tebal (2 m), coklat hingga merah dengan perbedaan antara horizon A dan B tidak jelas, tingkat keasamaannya sekitar 5,5-6,5. Tanahnya mengalami pelapukan lebih lanjut. Warna gelap, porositas tinggi, struktur lepas-lepas dan kapasitas menyimpan air tinggi. Di kawah G. Gede ditemukan jenis litosol yang belum lapuk, juga dipunggung G. Gemuruh bagian tenggara tempat pencucian pada permukaan tanah telah menghasilkan tanah regosol berpasir Tipe Ekosistem Secara umum tipe-tipe ekosistem kawasan TNGP dibedakan menurut ketinggiannya yaitu ekosisitem sub m ekosistem montana ( mdpl) dan ekosistem sub alpin (>2.400 mdpl). Ekosistem hutan sub montana dan montana memiliki keanekaragaman hayati vegetasi yang tinggi dengan pohon-pohon besar, tinggi dan memiliki 3 strata tajuk. Strata paling tinggi (30-40 m) didominasi oleh jenis Litsea spp. Pada ekosistem sub alpin memiliki strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh jenis-jenis pohon kecil (kerdil), dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Tinggi pohon tidak

37 23 lebih dari 10 m, hanya memiliki satu lapisan kanopi yang berkisar antara 4 sampai 10 m. Pepohonan di hutan ini berdiameter kecil dan pada batangnya diselimuti dengan lumut Usnea sp. yang tebal. Keanekaragaman jenis jauh lebih rendah dibanding dengan tipe hutan lain Potensi Flora Kawasan TNGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi dan keunikan dalam ekosistemnya. Karena potensi keanekaragaman hayati yang terdapat didalamnya, Gunung Gede dan Gunung Pangrango sering dijadikan salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama. Lebih kurang jenis flora dengan 57 famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis dan jenis ganggang, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya. Salah satu ciri TNGP yakni memiliki pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m yang dapat ditemukan di sekitar jalur pendidikan wilayah Resort Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter 149 cm ditemukan di jalur pendakian Selabintana-Gunung Gede, dan pohon jamuju terbesar di wilayah pos Bodogol. Kawasan ini juga memiliki jenis-jenis flora unik dan menarik, diantaranya kantong semar (Nepenthes gymnamphora Rafflesia rochusseni Strobilanthus cernua). Tercatat sekitar 199 jenis anggrek di kawasan ini. Saat ini telah dilakukan pemetaan sebaran beberapa jenis flora yang ada di kawasan TNGP. Kawasan TNGP terbagi ke dalam beberapa zona dengan berbagai tipe vegetasi, yaitu : a. Zona Sub Montana Zona ini mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi baik pada tingkat pohon besar, pohon kecil, semak belukar maupun tumbuhan bawah. Jenis pohon besar yang paling dominan yaitu puspa (Schima wallichii). Jenis tumbuhan lainnya yang ada adalah walen (Ficus ribes), Syzygium spp, saninten (Castanopsis argantea), pasang (Quercus sp.), rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Jenis perdu yang terdapat pada zona ini adalah Ardisia fuliginbia, Pandanus sp., Pinanga sp. dan Laportea stimulans.

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 dengan mengambil lokasi di dua tempat, yaitu hutan alam (Resort Cibodas, Gunung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Biodiversitas Biodiversitas mencakup keseluruhan ekosistem. Konsep tersebut mencoba untuk menekan variasi habitat yang diterapkan pada suatu area. Biodiversitas meliputi

Lebih terperinci

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian 5 salinitas, ph, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991). Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove

Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove JURNAL 42 Noor SILVIKULTUR Farikhah Haneda TROPIKA et al. J. Silvikultur Tropika Vol. 04 No. 01 April 2013, Hal. 42 46 ISSN: 2086-8227 Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove Diversity of Insects

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang kompleks untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kawasan Perluasan TNGGP Kawasan perluasan TNGGP berada disebelah luar mengelilingi kawasan TNGGP lama sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di TINJAUAN PUSTAKA I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga.

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. Siregar (2009), menyebutkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Hayati, September 2003, hlm. 85-90 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 3 Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Diversity and Parasitism of

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) 4.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam jumlah,

BAB I PENDAHULUAN. golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam jumlah, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insekta atau serangga yang termasuk dalam filum Arthropoda merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam jumlah, serangga melebihi semua hewan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA DALAM TANAH DI PANTAI ENDOK LOMBOK BARAT. M. Liwa Ilhamdi 1 1

KEANEKARAGAMAN SERANGGA DALAM TANAH DI PANTAI ENDOK LOMBOK BARAT. M. Liwa Ilhamdi 1 1 J. Pijar MIPA, Vol. VI No.2, September : 55-59 ISSN 1907-1744 KEANEKARAGAMAN SERANGGA DALAM TANAH DI PANTAI ENDOK LOMBOK BARAT M. Liwa Ilhamdi 1 1 Program Studi Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Unram, Mataram

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN Acacia crassicarpa TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BUSUK AKAR PUTIH SYAMSI FAUQO NURI

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN Acacia crassicarpa TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BUSUK AKAR PUTIH SYAMSI FAUQO NURI DAMPAK PENYIAPAN LAHAN Acacia crassicarpa TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BUSUK AKAR PUTIH SYAMSI FAUQO NURI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAMPAK PENYIAPAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversity yang kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut Asti, (2010, hlm. 1) bahwa Diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN 50 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif. Bertujuan untuk membuat deskripsi, atau gambaran mengenai kelimpahan dan keragaman anggrek di

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH :

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH : INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH : DIAN MUSTIKA PUTRI 100301012 AGROEKOTEKNOLOGI / HPT PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Primak et al, tahun 1998 bahwa Indonesia merupakan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Primak et al, tahun 1998 bahwa Indonesia merupakan daerah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya keanekaragaman spesies serangga. Secara geografis, keanekaragaman hayati di negara kepulauan

Lebih terperinci