BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KANKER OVARIUM EPIDEMIOLOGI Kanker ovarium adalah penyebab utama kematian akibat kanker di Amerika Serikat, terutama karsinoma jenis epitel. Meskipun mayoritas kanker ovarium adalah jenis epitel, kanker ovarium dapat juga berasal dari sel lain yang terdapat di ovarium, akan tetapi angka kejadian tumor ovarium non-epitelial kecil. 1,16 Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin tuanya usia; dari per pada usia tahun, menjadi paling tinggi dengan angka 57 per pada usia tahun. Usia median saat diagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia di atas 65 tahun. Karena belum ada metode skrining yang efektif untuk kanker ovarium, 70% kasus ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium, sehingga angka kematian akibat kanker ovarium ini cukup tinggi. Satu penelitian melaporkan meningkatnya 5-year survival rate dengan makin akuratnya tindakan surgical staging yang dilakukan. 16 Stadium Five-year Survival rate (%) Semua stadium Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV 3 15 Tabel 2.1. Five-year survival rate kanker ovarium berdasarkan stadium 16 16

2 GEJALA DAN TANDA Karena pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tidak khas, lebih dari 70% penderita kanker ovarium ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Mayoritas penderita kanker ovarium jenis epitel tidak menunjukkan gejala sampai periode waktu tertentu. Pada stadium awal kanker ovarium ini muncul dengan gejala-gejala tidak khas. Bila penderita dalam usia perimenopause, keluhan mereka adalah haid yang tidak teratur. Bila masa tumor telah menekan kandung kemih atau rektum, keluhan sering berkemih dan konstipasi akan muncul. Kadangkadang gejala seperti distensi perut sebelah bawah, rasa tertekan, dan nyeri dapat pula ditemukan. Pada stadium lanjut gejala-gejala yang ditemukan umumnya berkaitan dengan adanya asites, metastasis ke omentum (omental cake), atau metastasis ke usus. 16 Tanda paling penting adanya kanker ovarium adalah ditemukannya massa tumor di pelvis. Bila tumor tersebut padat, bentuknya ireguler dan terfiksir ke dinding panggul, keganasan perlu dicurigai. Bila di bagian atas abdomen ditemukan juga massa dan disertai asites, keganasan hampir dapat dipastikan. Menurut Piver perhatian khusus harus diberikan jika ditemukan kista ovarium berdiameter > 5 cm, karena pada 95% kasus kanker ovarium, tumornya berdiameter > 5 cm. Dengan demikian, bila tumor sebesar ini ditemukan pada pemeriksaan pelvis, evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menyingkirkan keganasan, khususnya pada wanita yang telah berusia > 40 tahun. Jika ditemukan massa kistik berukuran 5 7 cm pada usia reproduktif kemungkinan kista tersebut suatu kista fungsional yang akan mengalami regresi dalam masa 4 6 minggu kemudian. Bilateralitas pada kista jinak hanya ditemukan pada 5% kasus, sedangkan pada kista ganas ditemukan pada 25% kasus. Oleh karena itu, jika ditemukan kista ovarium bilateral harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menyingkirkan keganasan termasuk pada penderita yang masih berusia muda. 16 Berek mengambil batasan ukuran kista 8 cm, jika kista tersebut berukuran > 8 cm, sangat mungkin kista tersebut suatu neoplasma, bukan kista fungsional. Kista yang berukuran < 8 cm, dapat dianggap sebagai kista fungsional jika pada pemeriksaan ginekologi ditemukan kista yang mudah digerakkan, kistik, unilateral, dan permukaan rata. Jika massa tersebut dicurigai ganas, dengan tanda-tanda massa besar, dominan padat, lengket dengan sekitarnya, dan bentuknya tidak teratur, tindakan laparotomi harus dilakukan. Pada saat operasi kemungkinan keganasan dapat

3 pula diprediksi dengan memperhatikan beberapa penampilan makroskopis dari tumor ovarium 16 seperti dalam tabel berikut. Jinak Unilateral Kapsul utuh Bebas dari perlengketan Permukaan licin Tidak ada asites Peritoneum licin Seluruh permukaan tumor viabel Tumor kistik Permukaan dalam kista licin Bentuk tumor seragam Ganas Bilateral Kapsul pecah Adanya perlengketan dengan organ sekitar Pertumbuhan abnormal di permukaan tumor Asites hemoragik Ada metastasis di peritoneum Ada bagian-bagian yang nekrotik dan berdarah Padat atau kistik dengan bagian-bagian padat Terdapat pertumbuhan papiler intra kista Bentuk tumor bermacam-macam Tabel 2.2. Tampilan makroskopik tumor ovarium jinak dan ganas STADIUM Stadium kanker ovarium disusun menurut keadaan yang ditemukan pada operasi eksplorasi, atau laparotomy surgical staging. Stadium tersebut menurut International Federation of Gynecologist and Obstetricians (FIGO) tahun 2000 adalah seperti dalam tabel berikut: 16,17 Stadium I IA IB Keterangan Tumor terbatas pada ovarium Tumor terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak ada pertumbuhan di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor pada cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum Tumor terbatas pada dua ovarium, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan

4 kapsul, tidak ada sel tumor pada cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum IC Tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu faktor dari kapsul tumor yang pecah, pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel tumor ganas pada cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum II Tumor pada satu atau dua ovarium dengan perluasan di pelvis IIA Tumor meluas ke uterus dan atau ke tuba tanpa sel tumor di cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum IIB Tumor meluas ke jaringan organ pelvis lainnya tanpa sel tumor di cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum IIC Perluasan di pelvis (IIA atau IIB) dengan ditemukan sel tumor di cairan asites atau bilasan rongga peritoneum III Tumor pada satu atau dua ovarium disertai dengan perluasan tumor pada rongga peritoneum di luar pelvis dengan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional IIIA Metastasis mikroskopis di luar pelvis IIIB Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang kurang atau sama dengan 2 sentimeter IIIC Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang lebih dari 2 sentimeter dan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional IV Metastasis jauh ( di luar rongga peritoneum ) Tabel 2.3. Stadium kanker ovarium menurut International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) DIAGNOSIS Diagnosis kanker ovarium memerlukan pemeriksaan histopatologi jaringan yang diperoleh melalui tindakan laparotomi eksplorasi. Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik ginekologi yang dilakukan, pemeriksaan pembantu dapat pula dilakukan, yaitu : Ultrasonografi (USG)

5 USG adalah cara pemeriksaan non-invasif yang relatif murah. Dengan USG dapat secara tegas dibedakan tumor kistik dengan tumor yang padat. Pada tumor dengan bagian-bagian padat (echogenik) persentase keganasan makin meningkat. Sebaliknya, pada tumor kistik tanpa ekointernal (anechoic) kemungkinan keganasan menurun. 16 Pada umumnya, tumor ganas ovarium mempunyai gambaran multilokulasi, komponen padat atau echogenik dan mempunyai septa yang tebal dengan area nodular. Pemakaian USG transvaginal color Doppler dapat membedakan tumor ovarium jinak dengan tumor ovarium ganas. Modalitas ini didasarkan kepada analisis gelombang suara Doppler (resistance index atau RI, pulsatility index atau PI, dan velocity) dari pembuluh-pembuluh darah pada tumor yang menunjukkan peningkatan arus darah diastolik dan perbedaan kecepatan arus darah sistolik dan diastolik. Keganasan dicurigai jika RI < 0,4. 18 Computed Tomography Scanning (CT-Scan) Pemakaian CT-Scan untuk diagnosis tumor ovarium juga sangat bermanfaat. Dengan CT- Scan dapat diketahui ukuran tumor primer, adanya metastasis ke hepar, dan kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke dinding perut. Akan tetapi, CT-Scan kurang disenangi karena (1) resiko radiasi, (2) resiko reaksi alergi terhadap zat kontras, (3) kurang tegas dalam membedakan tumor kistik dengan tumor padat, dan (4) biayanya mahal. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Jika dibandingkan dengan CT-Scan, MRI tidak lebih baik dalam hal diagnostik, menggambarkan penjalaran penyakit, dan menentukan lokasi tumor di abdomen atau pelvis. CT- Scan lebih dianjurkan dalam evaluasi kanker ovarium. Pemeriksaan tumor marker (CA-125) Pada tahun 1981, Bast dan kawan-kawan pertama kali mendeskripsikan CA 125, suatu glikoprotein yang dikenal oleh antibodi monoklonal murine OC 125 sebagai penanda untuk keganasan epitel. CA 125 merupakan penanda tumor yang paling sering digunakan untuk kanker ovarium. 19 CA 125 adalah antigen yang dihasilkan oleh epitel coelom dan epitel amnion. Pada orang dewasa CA 125 dihasilkan oleh epitel coelom (sel mesotelial pleura, perikardium, dan peritoneum) dan epitel saluran muller (tuba, endometrium, dan endoserviks). Permukaan epitel

6 ovarium fetus dan dewasa tidak menghasilkan CA 125, kecuali kista inklusi, permukaan epitel ovarium yang mengalami metaplasia, dan yang mengalami pertumbuhan papiler. Kadar normal paling tinggi yang disepakati untuk CA 125 adalah 35 U/ml. Untuk penderita yang telah mengalami menopause atau histerektomi, kadar normalnya lebih rendah, yaitu 20 U/ml dan 26 U/ml. Pada 83% penderita kanker ovarium epitelial, kadar CA 125 adalah > 35 U/ml. Kadar CA 125 yang meningkat ditemukan pada 50% kanker ovarium stadium I dan pada 90% penderita kanker ovarium epitelial stadium lanjut. Pemeriksaan kadar CA 125 ini mempunyai spesifisitas dan positive predictive value yang rendah. Hal ini karena pada kanker lain seperti kanker pankreas, kanker mamae, kanker kandung kemih, kanker liverm dan kanker paru, kadar CA 125 juga meningkat. Di samping itu, pada keadaan bukan kanker seperti divertikulitis, mioma uteri, endometriosis, kista jinak ovarium, abses tubovarium, sindroma hiperstimulasi ovarium, kehamilan ektopik, kehamilan, dan menstruasi, kadar CA 125 juga meningkat Indeks Risiko Keganasan (IRK) Jacob dan kawan-kawan pada tahun 1990, membuat indeks risiko keganasan (IRK) berdasarkan kadar serum CA 125, status menopause, dan hasil ultrasonografi, dan merekomendasikan penggunaannya untuk membedakan tumor jinak atau ganas dari tumor ovarium. Dari hasil penelitian Jacob dan kawan-kawan, dengan menggunakan indeks risiko keganasan (IRK) dengan skor IRK = 200, sensitivitasnya adalah 85,4% dan spesifisitasnya adalah 96,9%. Hasil ini lebih akurat diibandingkan dengan penggunaan ultrasonografi dan serum CA 125 secara sendiri-sendiri. Indeks resiko keganasan menurut Jacob dan kawan-kawan (IRK) dihitung dengan menggunakan rumus: Keterangan : 20,21 20,21 IRK = U x M x Serum CA 125 U = hasil ultrasonografi dimana karakteristik ultrasonografi yang dijumpai : - multilokulasi kista ovarium - komponen solid pada tumor ovarium

7 - lesi bilateral - asites - adanya bukti metastasis intra abdomen Nilai U = 0, jika tidak dijumpai karakteristik ultrasonografi di atas Nilai U = 1, jika dijumpai salah satu karakteristik ultrasonografi di atas Nilai U = 3, jika dijumpai dua hingga lima karakteristik ultrasonografi di atas M = status menopause Nilai M = 1, jika belum menopause Nilai M = 3, jika sudah menopause Serum CA 125 = kadar serum penanda tumor CA 125 dalam U/ml Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menggunakan Indeks Risiko Keganasan (IRK) sebagi cara yang efektif triase wanita untuk dikelompokkan menjadi risiko rendah, sedang, atau tinggi. 22 Risiko Indeks Risiko Keganasan Rendah < 25 Sedang Tinggi > 250 Tabel 2.4. Risiko keganasan berdasarkan Indeks Risiko Keganasan 22 IRK ini bisa digunakan untuk merujuk pasien ke pusat onkologi untuk mendapat pengobatan yang lebih sesuai dan terapi pembedahan yang lebih efektif. 23

8 PROGNOSIS Penanganan kanker ovarium sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Kanker ovarium memiliki prognosa yang buruk, dan selain itu seringkali hal ini disertai dengan komplikasi terjadinya deep venous thrombosis (DVT) yang juga dapat berakibat fatal. Karena gejala yang tidak spesifik sampai terjadi metastase, pasien sering datang dengan keadaan kanker ovarium yang sudah lanjut pada lebih dari dua pertiga kasus (sekitar 70%), dan keadaan lanjut ini tampaknya berhubungan dengan resiko yang lebih besar untuk terjadinya kejadian tromboembolisme. Dalam beberapa tahun terakhir, dijumpai hubungan peningkatan terjadinya DVT dengan tindakan operasi dan prosedur terapi yang ada sekarang. 1,3,4, DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) DEFINISI Venous thromboembolic disease (VTE) merupakan suatu istilah yang mencakup deep vein thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE), atau kombinasi dari keduanya. DVT merupakan suatu kondisi pada pembuluh darah dimana terbentuk bekuan darah di vena dalam pada sistem sirkulasi vena dalam. PE terjadi apabila sebagian dari trombus atau bekuan darah tadi terlepas atau terpisah dari dinding vena, dan pindah melalui aliran pembuluh darah menuju arteri pulmonal. 7,24 DVT ini paling sering dijumpai (70-80%) pada vena proksimal (di atas atau proximal dari lutut), terutama vena poplitea dan vena femoralis. DVT pada daerah ini merupakan resiko tinggi untuk terjadinya emboli paru. Selain itu, DVT juga dapat terjadi di bawah atau distal dari lutut (vena di daerah betis), yaitu pada vena tibialis anterior, vena perineal, dan vena tibialis posterior. Namun DVT pada daerah ini jarang terjadi dan merupakan resiko rendah untuk terjadinya emboli paru. 25,26

9 Gambar 2.1. Anatomi Vena Ekstremitas Bawah PREVALENSI DVT bukan merupakan keadaan yang jarang terjadi. Sekitar orang didiagnosa dengan VTE setiap tahunnya, dengan 1 dari 20 warga Amerika pernah mengalami DVT sepanjang hidupnya. Beberapa penelitian epidemiologi memperkirakan insidensi tahunan sebanyak 80 kasus dari Resiko absolut dari terjadinya DVT pada pasien-pasien rawat inap yang tidak menerima profilaksis terbilang lebih tinggi, dengan insidensi bervariasi dari 10 sampai 80%. Walaupun diagnosis dari DVT dapat dihubungkan dengan angka morbiditas yang tinggi, konsekuensi yang paling berbahaya dari VTE adalah PE. Sebanyak 10% dari kematian di rumah sakit dapat disebabkan oleh emboli paru, sehingga PE merupakan penyebab kematian di rumah sakit yang dapat dicegah yang paling tinggi di Amerika PATOFISIOLOGI Berdasarkan triad of Virchow s terdapat tiga faktor yang berperan dalam patofisiologi trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah, dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, tetapi besarnya peranan masing-masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri faktor yang paling penting adalah kelainan dinding 7 25,26

10 pembuluh darah, sedangkan pada trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan hiperkoagulabilitas. Berbagai kelainan koagulasi dan trombosit baik yang bersifat herediter maupun yang didapat bisa menimbulkan hiperkoagulabilitas dan menyebabkan DVT. 11,27, a.PERUBAHAN ALIRAN DARAH Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan mekanisme pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katup yang disebut valve-pocket thrombi. Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Menurut Verstraete faktor-faktor yang menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk, serta kadar fibrinogen dan proteinprotein lain yang bermolekul besar b.PERANAN PEMBULUH DARAH Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting, kecuali pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada operasi ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis sehingga memudahkan terjadinya trombosis. Diduga hal ini karena efek estrogen c.PERUBAHAN DAYA BEKU DARAH Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas sistem pembekuan darah meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis menurun. Menurut beberapa peneliti, darah penderita trombosis lebih cepat membeku dibandingkan orang normal. Keadaan tersebut disebut hiperkoagulabilitas TANDA DAN GEJALA

11 Pada kebanyakan pasien, DVT muncul tanpa tanda dan gejala, ataupun sangat tersamar, sehingga pasien tidak menyadari bahwa kondisi ini ada. Ketika tanda dan gejala sudah ada, intensitas dan berbagai gejala berhubungan langsung dengan derajat dari obstruksi aliran vena dan inflamasi dari dinding pembuluh darah. Tanda dan gejala yang sering dijumpai dari DVT termasuk pembengkakan yang tiba-tiba dari salah satu ekstremitas, kemerahan atau perubahan warna kulit, rasa panas di daerah yang terlibat, nyeri yang diperparah dengan aktivitas tetapi tidak hilang setelah istirahat, sedikit demam, dan takikardia. 7 7 Emboli paru merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa karena terbentuknya emboli dapat menghalangi aliran darah pulmonal. Hal ini dapat menyebabkan syok kardiogenik yang diikuti dengan kegagalan sirkulasi hingga kematian. Lebih dari 60% emboli paru tidak terdiagnosa secara klinis, dan kematian dapat terjadi dalam waktu yang singkat sekitar 30 menit. Emboli paru yang simptomatis biasanya dikarakteristikkan dengan nafas yang memendek, hipoksia, takikardia, nyeri dada pleuritis, hemoptisis, hipotensi, kelelahan, atau kegagalan sirkulasi perifer KOMPLIKASI Emboli paru merupakan komplikasi yang paling segera dan signifikan dari DVT. Emboli paru dapat dideteksi pada lebih dari 50% pasien dengan diagnosa DVT. Lebih dari 80% pasien yang telah dikonfirmasi diagnosa emboli paru memiliki DVT asimptomatik. Walaupun emboli paru merupakan penyebab terbesar mortalitas yang berhubungan dengan DVT, komplikasi lain juga dapat muncul. 7 Komplikasi lain yang penting adalah DVT rekuren dan post-thrombotic syndrome. Lebih dari 30% pasien dapat mengalami DVT rekuren dalam waktu delapan tahun setelah diagnosa awal. Banyak pasien dengan DVT rekuren memerlukan terapi jangka panjang, jika tidak seumur hidup, untuk menangani keadaan ini. Post-thrombotic syndrome (PTS) merupakan komplikasi lain dari DVT yang terjadi pada lebih kurang 29% pasien dengan DVT simptomatis dalam kurun waktu 8 tahun setelah kejadian awal. PTS biasanya terjadi secara sekunder akibat kerusakan katup vena, yang memicu hipertensi vena dan dapat mempengaruhi integritas dari sistem

12 vaskular pada ekstremitas bawah. Gejala primer dari PTS termasuk nyeri, varikosa vena, edema, ektasia vena, indurasi, dan ulserasi DIAGNOSIS Resiko klinis, kecurigaan, dan probabilitas dapat memperingatkan praktisi untuk kemungkinan DVT. Diagnosis kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan kinis dan hasil dari pemeriksaan diagnostik. Identifikasi dari resiko DVT berhubungan dengan faktor patofisiologis berdasarkan hipotesis dari Rudolph Virchow lebih dari 100 tahun yang lalu. Virchow percaya bahwa terbentuknya suatu trombosis merupakan hasil langsung dari interaksi berbagai faktor, termasuk statis vena, kerusakan endotel pembuluh darah dan hiperkoagulabilits dari darah. Kondisi dan faktor predisposisi yang merepresentasikan ketiga aspek penelitian Virchow tadi adalah adanya DVT sebelumnya atau riwayat keluarga trombosis, gangguan koagulasi, usia di atas 55 tahun (insiden meningkat dengan usia), kegemukan (BMI > 25 kg/m 2 ), imobilitas (tirah baring atau duduk untuk jangka waktu yang lama), trauma mayor, riwayat operasi, kanker, terapi kanker (hormonal, kemoterapi, atau radioterapi), merokok, sepsis berat, hipertensi, hiperlipidemia, kehamilan atau masa postpartum. 7,24,29,30 Tabel 2.5. Faktor risiko DVT 11,31

13 Sebagai tambahan dari beberapa keadaan spesifik, intervensi dan penanganan klinis juga dapat meningkatkan resiko terbentuknya DVT. Pada pasien-pasien yang dilakukan tindakan pembedahan, insiden dari DVT dipengaruhi selain oleh faktor-faktor yang sudah ada seperti disebut di atas, juga faktor-faktor yang berhubungan dengan prosedur operasi sendiri, termasuk lokasi, teknik, dan durasi dari prosedur; jenis anestesi, adanya infeksi, dan derajat imobilisasi setelah operasi. Resiko tromboembolisme vena pada pasien-pasien yang dilakukan tindakan pembedahan pada kasus ginekologi yang tidak mendapat profilaksis diperkirakan sekitar 2% sampai 80%. 7,29 Tabel 2.6. Tingkatan risiko tromboembolisme pada pasien operasi tanpa profilaksis 29 Sebagai tambahan untuk evaluasi klinis kemungkinan, faktor risiko, dan adanya gejala, digunakan juga skoring untuk membantu menentukan diagnosa DVT. Skoring yang sering digunakan dan sudah tervalidasi adalah Modified Wells Score. 7

14 Tabel 2.7. Modified Wells Score Diagnosis secara klinis tidak sensitif dan tidak akurat karena tanda dan gejala dari DVT bisa tidak spesifik. Tidak dapat diterima untuk mendiagnosis DVT atau PE hanya secara klinis dan memberikan terapi antikoagulan tanpa dilakukannya konfirmasi dengan pemeriksaan objektif. Berbagai algoritma diagnostik yang non-invasif dan efektif dari segi biaya telah dievaluasi. Suatu penanda atau marker laboratorium tunggal yang dapat mengkonfirmasi diagnosis atau menyingkirkan penyakit ini, dalam hal ini D-Dimer, dapat dianggap sebagai suatu kemajuan yang baik dalam bidang medis. 32 Beberapa evaluasi diagnostik yang digunakan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis dari DVT, termasuk pemeriksaan: 7,14,33 D-Dimer D-Dimer yang menggambarkan degradasi fibrin di dalam darah, sering digunakan sebagai pemeriksaan awal adanya DVT. Penelitian klinis mendukung hipotesa bahwa kadar D-Dimer yang rendah dapat menyingkirkan DVT pada pasien-pasien dengan resiko rendah sampai sedang dan skor Well kurang dari 2. Perlu diingat bahwa spesifisitas D-Dimer untuk menyingkirkan DVT tinggi (96%), namun karena sensitivitas D-Dimer untuk menegakkan DVT rendah (40%), 7

15 hasil dari pemeriksaan ini lebih terbatas untuk menyingkirkan daripada menegakkan diagnosis DVT. 7,14,32,33 Kadar D-Dimer serum yang dianggap normal atau negatif untuk DVT adalah kurang dari 500 ng/ml, sementara kadar D-Dimer 500 ng/ml atau lebih dianggap sebagai positif untuk DVT. 34 Beberapa penelitian lain menyebutkan batasan kadar D-Dimer yang lebih rendah yaitu 400 ng/ml sebagai batasan untuk menegakkan atau menyingkirkan adanya DVT. 12 Namun pemeriksaan D-Dimer dengan nilai cut-off sebesar 500 ng/ml mempunyai spesifisitas paling tinggi yaitu lebih kurang 99% untuk menyingkirkan adanya DVT. Ultrasonografi Ultrasonografi duplex dengan kompresi merupakan suatu pemeriksaan non invasif yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis DVT dengan sensitifitas untuk thrombosis vena proximal mencapai 97%. Ultraonografi menjadi alat diagnostik yang baik, yang banyak digunakan saat ini sebagai standar untuk menegakkan DVT. 7,14,32,33 Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI sensitif dan spesifik dalam menegakkan trombosis pada vena pelvis. Biaya MRI cukup mahal, dan alat ini tidak boleh digunakan pada pasien-pasien dengan alat pacu jantung atau implan metal lain, namun MRI dapat menjadi pilihan diagnostik yang efektif pada beberapa pasien. 7,14,33 Contrast venography Venografi dengan kontras dapat mendeteksi trombus pada betis dan paha, serta dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosa DVT pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan lain tidak dapat memberi kesimpulan. Tetapi masalah biaya merupakan kontroversi, selain itu venografi ini membutuhkan suatu fasilitas radiologi yang lengkap. Beberapa dokter menganggap venorafi sebagai prosedur yang invasif dan mahal. Sebagai tambahan, kontras pada venografi dapat menjadi penyebab dari DVT pada pasien yang menjalani prosedur diagnostik ini. Selain itu, berbagai alasan lain seperti adanya reaksi alergi, kesulitan secara teknis, penelitian yang tidak adekuat, variabilitas dan kurang tersedianya interobserver menyebabkan pemeriksaan ini menjadi kontraindikasi atau tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik pada 20%-25% pasien. Walaupun dulu venografi pernah dianggap sebagai standar baku (gold standard) untuk 11

16 mendiagnosis DVT, namun saat ini alat ini semakin jarang digunakan. Penelitian-penelitian telah menetapkan bahwa venografi ini telah digantikan perannya sebagai pilihan lini pertama sebagai pemeriksaan diagnostik untuk DVT. 32,35 Pemeriksaan venografi ini masih dianggap sebagai gold standard untuk menegakkan DVT sampai tahun 1995, namun setelah itu dengan dilakukannya berbagai penelitian, USG duplex telah diakui secara luas perannya sebagai gold standard. 7,14,33,34 The American Academy of Family Physicians dan American College of Physicians mengeluarkan suatu pedoman (guideline) untuk diagnosis VTE (termasuk DVT dan PE) berdasarkan ulasan sistematis berbasis bukti (evidence based systematic review) dari berbagai penelitian yang pernah dilaporkan. Rekomendasi pedoman ini berdasarkan penelitan metaanalisa atau ulasan dari Evidence-based Practice Centers (EPC). Pedoman yang dikeluarkan adalah : Rekomendasi I : Prediksi klinis yang tervalidasi dapat memperhitungkan kemungkinan VTE, dan menjadi dasar dari pemeriksaan lanjutan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa penggunaan prediksi secara klinis yang sudah tervalidasi dapat menentukan kemungkinan penyakit ini. Skor prediksi Wells untuk menilai DVT dan PE telah tervalidasi dan digunakan secara luas untuk menentukan kemungkinan VTE sebelum dilakukannya pemeriksaan lanjutan. Penggunaan skor Wells dapat dipercaya lebih baik pada pasien-pasien dengan usia lebih muda tanpa komorbid atau riwayat adanya VTE dibandingkan pasien lain. Klinisi perlu melakukan penliaian klinis pada kasus-kasus dimana pasien memiliki usia yang lebih tua dan memiliki komorbid Rekomendasi II : Pada pasien-pasien tertentu dengan resiko rendah untuk DVT atau PE berdasarkan penilaian skor Wells, diperlukan dilakukan pemeriksaan D-Dimer, dan jika hasilnya negatif, kemungkinan untuk terjadinya VTE rendah. Pada pasien dengan kelompok resiko rendah berdasarkan kriteria skor Wells, nilai dari pemeriksaan D-Dimer yang negatif untuk VTE memiliki spesifisitas dan negative predictive value yang tinggi untuk mengurangi diperlukannya dilakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan D-Dimer memiliki negative predictive value paling tinggi ketika digunakan untuk menyingkirkan VTE pada pasien dengan usia lebih muda tanpa adanya

17 komorbid atau riwayat VTE, dan dengan durasi gejala yang pendek. Pada pasien dengan usia lebih tua, yang berhubungan dengan komorbid, dan memiliki gejala dengan durasi yang lama, pemeriksaan D-Dimer sendiri mungkin tidak cukup untuk menyingkirkan adanya VTE Rekomendasi III : Ultrasonografi direkomendasikan pada pasien dengan resiko sedang sampai tinggi untuk menilai adanya DVT pada ekstremitas bawah. Penggunaan USG dalam diagnostik thrombosis pada vena proximal dari tungkai bawah direkomendasikan pada pasien dengan kelompok resiko sedang sampai tinggi berdasarkan kriteria skor Wells. Pada pasien dengan adanya DVT yang terbatas pada betis penggunaan USG kurang sensitif, diperlukan pemeriksaan USG ulangan ataupun jika diperlukan dilakukan venografi pada pasien yang dicurigai memiliki DVT pada betis dimana USG memberi hasil negatif dan pemeriksaan USG yang dilakukan tidak adekuat atau memberi hasil tersamar. 15 Beberapa peneliti merekomendasikan dilakukannya USG ulangan apabila pada pemeriksaan pertama USG memberikan gambaran negatif DVT. Pemeriksaan USG ulangan ini dilakukan di antara hari 1 sampai hari ke-14 setelah dilakukannya pemeriksaan pertama. Namun hal ini memerlukan biaya tambahan dan memberikan rasa tidak pasti pada pasien karena pemeriksaan yang dianggap sama oleh pasien dilakukan berulang. Selain itu, dari berbagai penelitian dijumpai adanya DVT pada pemeriksaan kedua sangat jarang hanya berkisar 0,6% sampai 1,2%. Oleh karena alasan ini, banyak peneliti yang menyarankan bahwa pemeriksaan USG ulangan tidak perlu dilakukan. 35 Bernardi dkk. menyatakan bahwa pada pasien-pasien dengan pemeriksaan USG yang menunjukkan hasil negatif dan memiliki kadar D-Dimer yang normal, pemeriksaan USG ulangan ataupun pemeriksaan tambahan lain yaitu venografi tidak perlu dilakukan, karena dari penelitiannya ditemukan bahwa selama follow-up DVT hanya terjadi pada 0,2% dari keseluruhan pasien, sementara DVT dijumpai pada 9% pasien dengan D- Dimer yang positif. 36

18 2.3. D-DIMER SEBAGAI PENANDA DVT Trombosis vena mengaktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis, dan menghasilkan peningkatan kadar serum penanda secara kolektif yang disebut produk fibrin. Selama proses pembentukan trombus, fibrinogen dikonversi menjadi monomer fibrin yang secara luas berikatan dengan jaringan polimer. Ikatan fibrin ini membentuk suatu daerah polimer yang disebut D- Domain. D-domain ini berhubungan secara kovalen dan membentuk suatu gambaran fibrin spesifik dari trombus, yang tidak ditemukan pada fibrinogen. Polimer fibrin terdegradasi oleh plasmin dalam proses fibrinolitik. Satu produk akhir dari pemecahan fibrin (fibrinolisis) adalah D-Domain yang berikatan secara kovalen, yang disebut D- Dimer. Antibodi monoklonal dari D-Dimer telah ditemukan, dan dapat membedakan bekuan spesifik fibrin dari fibrin yang tidak berikatan seperti fibrinogen. Penting untuk mengetahui bahwa antibodi ini spesifik untuk bekuan fibrin yang baru terbentuk maupun produk dari fibrinolisis. Karakteristik yang spesifik dari antibodi D-Dimer ini menjelaskan spesifisitas yang tinggi terhadap thromboembolisme vena. Kadar antigen D-Dimer akan meningkat pada fase pembentukan fibrin, dan juga pada tahap fibrinolisis. Proses fibrinolisis yang terus berlangsung pada DVT dan PE menyebabkan kadar D-Dimer akan tetap meningkat. Kadar D-Dimer berhubungan dengan adanya bekuan fibrin tanpa memandang lokasinya. Pada berbagai kondisi medis lain seperti adanya trauma, tindakan pembedahan, perdarahan, kanker, sepsis atau kondisi lain yang berhubungan dengan aktivasi sistem koagulasi dan pembentukan bekuan fibrin, kadar D-Dimer akan meningkat. Beberapa hal inilah yang dapat mempengaruhi sensitivitas dari kadar D-Dimer pada pemeriksaan thromboembolisme vena Diperkenalkannya pemeriksaan D-Dimer pada algoritme diagnostik dari DVT atau PE telah diterima secara luas, namun klinisi harus mengingat batasan dari pemeriksaan ini. Pemeriksaan D-Dimer ini spesifik tetapi relatif tidak sensitif. Nilai yang paling penting dari pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan diagnosis DVT atau PE. Spesifisitas dari pemeriksaan D-Dimer ini harus mendekati 100% untuk dapat secara efektif menyingkirkan DVT pada kelompok pasien dengan risiko tinggi yang dicurigai DVT atau PE. Sementara pada kelompok pasien dengan risiko rendah, spesifisitas yang lebih rendah, 32 32,39,40,41,42,,44

19 sekitar 80%, dapat menyingkirkan diagnosis dengan baik, dengan negative predictive value sebesar 98%. 32 Dimasukkannya pemeriksaan D-Dimer ke dalam algoritme diagnostik untuk DVT telah dievaluasi pada berbagai penelitian yang berbeda. Dalam mengevaluasi suatu penelitian mengenai hal ini, perlu diperhatikan populasi dari sampel yang ada. Penelitian klinis yang menganalisa hasil dengan kelompok risiko yang spesifik adalah yang paling baik. Penelitian yang menggabungkan seluruh faktor risiko ke dalam suatu kelompok sampel sulit untuk diinterpretasikan. 32 Ginsberg mengevaluasi pemeriksaan D-Dimer pada 398 pasien dengan sangkaan DVT menggunakan kriteria skor Well. Pada pasien dengan kelompok resiko rendah, hanya 1/178 pasien dengan hasil D-Dimer negatif yang memiliki DVT. Secara keseluruhan negative predictive value dari pemeriksaan ini didapat sebesar 97,2%. 39 Anderson dkk mengevaluasi 214 pasien dengan sangkaan DVT. Seluruh pasien menjalani pemeriksaan D-Dimer, evaluasi dengan USG, dan follow up selama 3 bulan. Spesifisitas dari pemeriksaan D-Dimer pada pasien dengan kelompok risiko rendah diperoleh sebesar 100% dengan negative predictive value 100%. Sementara negative predictive value pada risiko sedang adalah 94,1% dan pada risiko tinggi adalah 86,7%. Secara keseluruhan diperoleh negative predictive value sebesar 96,9%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hasil D-Dimer yang negatif dapat menyingkirkan adanya DVT. 40 Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Aschwanden pada 3 pasien dengan sangkaan DVT secara klinis. 41 Van der Graaf mengevaluasi 13 penelitian berbeda mengenai pemeriksaan D-Dimer pada pasien-pasien dengan sangkaan DVT, dengan dilakukannya venografi untuk mengevaluasi adanya DVT. 50% pasien dalam penelitian ini memiliki DVT, suatu prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian lain. Dijumpai 2 penelitian yang memiliki spesifisitas D- Dimer mencapai 100%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan D-Dimer dapat dipercaya untuk menyingkirkan DVT pada semua pasien. 42 Kemampuan pemeriksaan D-Dimer tunggal untuk menyingkirkan DVT juga dievaluasi dalam suatu penelitian Franco-Canadian yang melibatkan 474 pasien dengan sangkaan DVT. USG dilakukan pada semua pasien. Hanya 1,6% dari seluruh pasien dengan DVT yang dapat tidak terdiagnosa dengan pemeriksaan D-Dimer yang negatif, dan tidak ada pasien dengan DVT pada vena proximal yang luput dari pemeriksaan D-dimer ini. Bates pada suatu penelitian retrospektif mengevaluasi D-Dimer pada 595 pasien

20 dengan sangkaan DVT. Spesifisitas pada kelompok risiko rendah adalah 100% dan pada kelompok risiko sedang adalah 98%. Angka negative predictive value pada kedua kelompok adalah 99%. 44 Dari seluruh penelitian yang ada ini, dapat disimpulkan bahwa potensi dari pemeriksaan D-Dimer sebagai pemeriksaan laboratorium tunggal untuk menyingkirkan diagnosis DVT terbukti dapat dipercaya. 32 Tabel 2.8. Hasil dari berbagai penelitian mengenai D-dimer untuk diagnostik DVT Namun ternyata kadar D-Dimer ini dapat meningkat pada beberapa keadaan atau penyakit lain, sehingga peran D-Dimer dalam mendiagnosis DVT ini lebih kepada untuk menyingkirkan adanya DVT daripada untuk menegakkan adanya DVT, atau dengan kata lain D- Dimer ini digunakan sebagai prediktor negatif dari DVT. Dimana artinya apabila tidak dijumpai kenaikan dari kadar D-Dimer, maka dapat disimpulkan tidak terjadi proses trombosis dan adanya DVT. Sebaliknya, apabila dijumpai kenaikan dari kadar DVT, dapat dikatakan bahwa kemungkinan terjadi suatu proses trombosis, yang dapat disebabkan oleh DVT, namun juga dapat disebabkan oleh kondisi atau penyakit lain. Beberapa penyakit dan kondisi yang dapat meningkatkan kadar dari D-Dimer ini tanpa adanya DVT adalah : - Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) - Kehamilan - Trauma 13 32

21 - Kanker - Tindakan Pembedahan - Diabetes - Hematoma - Terapi trombolitik - Thrombosis arteri - Usia tua (> 55 tahun) - Pasien rawat inap yang lama berbaring (1 minggu) 2.4. USG UNTUK MENEGAKKAN DVT Alur diagnostik yang direkomendasikan saat ini untuk menegakkan DVT adalah dengan menggunakan USG duplex dengan gambaran B-mode, sebagai pilihan lini pertama. Hampir seluruh pasien dengan kecurigaan DVT dapat disingkirkan ataupun ditegakkan dengan pemeriksaan ini. 32 Penelitian oleh Goodacre dkk. pada tahun 2006 yang membandingkan penggunaan USG dengan venografi memperoleh sensitifitas USG untuk DVT proksimal sebesar 96% dan spesifisitas sebesar 94%. 26 Penelitian meta-analisa pada tahun 2007 menunjukkan sensitivitas sebesar 89% sampai 96% dan spesifisitas sebesar 94% sampai 99% dari USG untuk diagnosis thrombosis pada vena proksimal dari ekstremitas bawah. Seluruh penelitian dalam ulasan ini menggunakan venografi dengan kontras untuk mengkonfirmasi adanya DVT. 15 Ultrasonografi kompresi atau USG duplex pada sistem vena merupakan prosedur diagnostik yang menggunakan sistem ultrasonografi B-mode dengan resolusi tinggi dan transduser 3-MHz sampai 7,5-MHz untuk menghasilkan suatu gambaran dari vena yang diperiksa. Pasien dibaringkan dalam posisi supine dengan tungkai bawah yang akan diperiksa dirotasikan ke lateral. Kompresi diberikan dari transduser ke bagian yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan kompresi pada dua titik poin yaitu vena femoralis dan vena poplitea dengan gambaran transversal. 12,25,26,37

22 Gambar 2.2. Sistem USG B-mode resolusi tinggi dan transduser datar yang digunakan untuk menilai adanya DVT Pemeriksaan dimulai dari di bawah ligamen inguinal. Pertama dilakukan identifikasi vena femoralis komunis pada penampang melintang. Vena femoralis komunis ini berada dekat dengan arteri femoralis komunis. Dilakukan tekanan untuk melihat kemampuan kompresi dari vena femoralis komunis. Selanjutnya tekanan dipindahkan perlahan 1 cm demi 1 cm hingga tercapai sapheno-femoral junction. Probe diarahkan lebih distal untuk melihat percabangan vena femoralis komunis menjadi vena femoralis superfisial dan vena femoralis dalam. Setelah itu transduser diletakkan di fossa poplitea tepat di belakang lutut untuk menilai vena poplitea. Apabila vena yang diperiksa dapat dikompresi (kolaps) secara penuh, maka pemeriksaan dianggap negatif atau normal. Sebaliknya, jika vena yang diperiksa tidak dapat dikompresi (tidak kolaps) pada saat prosedur, pemeriksaan dianggap positif atau dijumpai DVT. Hasil pemeriksaan tidak dapat dipakai sebagai diagnostik apabila gambaran USG tidak jelas atau vena tidak terlihat. Kompresi vena paling mudah didapat pada vena besar dari paha dan bagian posterior dari lutut. USG dengan kompresi ini secara universal dianggap sebagai pemeriksaan diagnostik lini pertama untuk pasien-pasien dengan sangkaan DVT pada kelompok risiko sedang sampai tinggi. 12,25,26,37 25

23 Gambar 2.3. Pemeriksaan USG kompresi pada DVT Ada beberapa keadaan yang dapat menjadi gangguan pada pemeriksaan USG untuk menilai adanya DVT, yaitu : 26 - Variasi Anatomi Dijumpai vena femoralis ganda pada 32,5% dan 42% memiliki lebih dari 1 vena poplitea pada fosa poplitea. - Aspek Teknis Kelenjar getah bening dapat disalah interpretasikan sebagai vena yang mengalami trombus. Arteri normal yang tidak dapat dikompresi juga bisa disalah interpretasikan sebagai vena. - Kesulitan Fisik Adanya emfisema, atau luka laserasi, atau bekas luka operasi menyebabkan kompresi pada daerah yang akan diperiksa tidak dapat dilakukan. 25

24 2.5. DVT PADA KANKER OVARIUM Hubungan antara kanker dan penyakit tromboembolisme pertama kali dilaporkan pada tahun 1800-an oleh Trousseau. Hubungan ini, ditemukan lebih dari satu abad yang lalu, disebabkan oleh variasi dari kelainan hemostasis, termasuk di dalamnya peningkatan agregasi platelet, aktivasi dari kaskade koagulasi, perubahan dalam sistem fibrinolitik, dan berkurangnya sintesa dari protein antikoagulan. Resiko dari penyakit tromboembolisme pada pasien-pasien kanker meningkat dengan dilakukannya tindakan pembedahan dan kemoterapi PREVALENSI Prevalensi dari tromboembolisme vena pada pasien-pasien kanker diperkirakan berkisar antara 10% - 20%. Yasnil dkk (2010) menemukan kejadian DVT sekitar 25% (5 dari 20 subjek) pada penderita kanker ovarium dalam penelitian sebelumnya. 8 Levitan dkk, menemukan bahwa pasien-pasien kanker mempunyai kemungkinan kumulatif yang lebih tinggi untuk rawat inap karena deep venous thromboembolism (DVT) dan/atau pulmonary embolism (PE) daripada pasien-pasien tanpa keganasan. Pada penelitian yang sama, ditemukan bahwa insidensi dari DVT / PE lebih tinggi pada beberapa kanker tertentu dibandingkan dengan yang lain. Insidensi paling tinggi dari DVT / PE paling tinggi ditemukan pada pasien-pasien dengan keganasan pada ovarium, otak, pankreas, lambung, ginjal, dan limfoma. Sementara insidensi DVT / PE paling rendah ditemukan pada keganasan kepala dan leher, kandung kemih, payudara, esofagus, uterus, dan serviks.,44,45,46 Di RSUP Haji Adam Malik Medan pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi DVT pada pasien-pasien tumor ginekologi, dan dijumpai terjadinya DVT pada tumor ginekologi secara keseluruhan adalah sebesar 16,5%, dan proporsi kejadian DVT pada tumor ganas ginekologi adalah 24,7% (resiko relatif 9,3; artinya penderita tumor ganas ginekologi kemungkinan menderita DVT 9,3 kali lipat bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak ginekologi), dimana prevalensi kanker ovarium adalah sebesar 35,3% PATOFISIOLOGI Sebelumnya, penelitian fokus pada bagaimana tumor dapat mengaktivasi koagulasi darah dan bagaimana mengatasinya. Namun saat ini, mekanisme yang mendasari bagaimana faktor 8 2,

25 koagulan mendorong pertumbuhan, invasi, metastasis, dan angiogenesis dari sel tumor telah menjadi topik yang hangat pada penelitian di bidang kanker. Beberapa faktor koagulasi yang berperan dalam progresi tumor telah diteliti. Laporan paling banyak pada protein koagulan dan interaksi kanker termasuk faktor III (tissue factor [TF] ), TF-factor VIIa, faktor Xa, reseptor faktor IIa (trombin) faktor II (disebut juga proase-activated reseptor [PARs] ), dan faktor XIIIa faktor Ia (fibrin). 2 Tabel 2.9. Faktor-faktor koagulasi dan protein regulasi yang berhubungan dengan kanker ovarium 2 Kaskade koagulasi darah dapat diaktifkan oleh mekanisme yang berbeda dengan tingkat yang berbeda pada pasien-pasien kanker. Perbedaan ini mulai dari peningkatan yang sedikit dari pemeriksaan laboratorium sampai memberikan gejala trombosis yang jelas. Lebih dari 50% pasien kanker dan 90% pada metastasis memiliki gangguan hemostasis. Gangguan ini dapat mencerminkan dominannya jalur prokoagulan, yang menyebabkan generasi trombin dan hiperkoagulasi. 2

26 Gambar 2.4. Diagram kaskade koagulasi darah (PL = platelet, TF = tissue factor). Walaupun faktor-faktor non spesifik seperti stasis dapat berperan dalam mengaktivasi koagulasi pada pasien-pasien kanker, koagulasi lebih sering disebabkan oleh mekanisme tumorspecific yang menyebabkan gumpalan bekuan darah. Kaskade mekanisme ini melibatkan reaksi aktivasi faktor pembekuan yang mengikuti jalur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua jalur ini bertemu pada akhirnya dimana faktor pembekuan terakhir adalah trombin (faktor IIa). Trombin mengkonversi fibrinogen (protein larut) menjadi fibrin yang tidak larut. Faktor XIII mengkatalisa ikatan kovalen untuk memperkuat pembekuan fibrin. Ada sejumlah cara dimana interaksi antara sel kanker dan sistem hemostasis dapat terjadi. Gambar 2.5. Regulasi dari fungsi prokoagulan sel tumor dan sel endotelial dalam patogenesis trombosis kanker

27 Gambar di atas menunjukkan jalur utama dimana terjadi interaksi antara sel tumor dan sistem hemostasis. Sel tumor mengekspresikan: 1. Prokoagulan seluler (tissue factor [TF], cancer procoagulant [CP]; reseptor faktor V) yang mengaktivasi kaskade pembekuan 2. Protein fibrinolisis (urokinase-type plasminogen activator [u-pa]; tissue type plasminogen activator [t-pa]; plasminogen activation inhibitor [PAI] dan urokinasetype plasminogen activator receptor [upar] 3. Sitokin, termasuk IL-1 dan TNF, yang merangsang trombogenisitas endotel Rickles dan Falanga mengklasifikasikan interaksi ini menjadi: 1. Sintesa mediator peptida dan polipeptida (prokoagulan, protein fibrinolotik, dan sitokin) 2. Interaksi selular langsung Cancer procoagulant merupakan suatu aktivator dari faktor X dan bekerja pada molekul pada tempat yang berbeda dengan aktivator faktor X yang lain. Tissue factor (TF), dimana pada berbagai jenis sel kanker di ekspresikan lebih banyak, merupakan aktivator seluler utama dari koagulasi. Kombinasi dari TF dan faktor VIIa menghasilkan efek prokoagulan serta efek nonprokoagulan seperti angiogenesis. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI), dimana produksinya distimulasi oleh Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dan Unfractioned Heparin (UFH), menghambat efek prokoagulan maupun nonprokoagulan dari TF/VIIa.

28 Gambar 2.6. Faktor instrinsik dan ekstrinsik koagulasi serta inhibitornya Walaupun sel-sel tumor dapat mengekspresikan sejumlah protein fibrinolitik, pasienpasien dengan tumor solid menunjukkan gangguan aktivitas fibrinolitik. Temuan ini mengarahkan dugaan bahwa gangguan ini mungkin merupakan mekanisme yang dapat menjelaskan mengapa pada pasien-pasien ini cenderung terjadi DVT. Sitokin juga dihasilkan oleh sel-sel tumor ganas. Molekul ini dapat mendukung koagulasi dengan bekerja pada endotel pembuluh darah. Pada satu contoh telah diamati bahwa ekspresi dari faktor jaringan sel endotel pembuluh darah dapat dirangsang oleh sitokin nekrotik tumor faktor-α dan interleukin-1β. Interaksi seluler langsung dari sel tumor dapat terjadi pada sel endotel, monosit/makrofag, dan platelet. Interaksi ini dapat merangsang DVT dengan mempengaruhi sistem hemostasis melalui inisiasi dari down-regulation antikoagulan dan up-regulation dari efek prokoagulan Faktor Risiko DVT Pada Pasien Kanker Pasien-pasien rawat inap yang mengidap kanker memiliki peningkatan resiko untuk terjadinya DVT. Faktor risiko untuk terjadinya DVT termasuk dilakukannya tindakan pembedahan, kemoterapi, trauma, dan kateter vena sentral atau alat pacu jantung. Pada pasienpasien rawat jalan, kanker juga berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya DVT. Faktor risiko pada pasien yang tidak dirawat inap ini termasuk berat badan berlebih atau obesitas, merokok, dan penggunaan kontrasepsi oral. Selain itu ada sejumlah faktor yang dapat

29 mempengaruhi kemungkinan pasien-pasien kanker untuk terbentuknya DVT. Faktor-faktor ini termasuk jenis, ukuran, dan stadium tumor serta adanya metastasis, kemoterapi, usia pasien, mobilitas pasien, dan dilakukannya tindakan pembedahan. 30,,48 Tabel Hubungan DVT dengan faktor risiko pada kanker Tabel Tumor ganas yang berhubungan dengan DVT a. Jenis, Ukuran, Stadium Dan Penyebaran Tumor Secara umum dipercaya bahwa kanker dengan jenis adenokarsinoma berhubungan dengan lebih tingginya insidensi DVT secara signifikan. 45,48 Namun penelitian lain oleh Gaducci dan kawan-kawan menyatakan bahwa jenis histologi dari kanker tidak berhubungan dengan kejadian DVT. 27 Risiko terjadinya trombosis lebih tinggi pada pasien-pasien dengan stadium yang lebih tinggi (stadium IV) dibandingkan dengan stadium yang lebih rendah (stadium II ke bawah). Selain itu, insidensi DVT pada pasien kanker juga berhubungan dengan pertumbuhan dan penyebaran dari kanker yang ada. Pada kanker ovarium dikatakan bahwa ukuran tumor yang,45

30 lebih besar dan keterlibatan dari kedua ovarium serta adanya metastasis juga berhubungan dengan kejadian DVT. 27,45,48 Adanya asites serta volume dari asites yang ada pada kanker ovarium disebutkan tidak memiliki hubungan dengan terjadinya DVT b. Kemoterapi Untuk kebanyakan jenis kanker, dijumpai informasi mengenai insidensi kemoterapi dapat menyebabkan tromboembolisme. Penelitian oleh Von Templehoff dan kawan-kawan pada 60 pasien dengan kanker ovarium dengan stadium FIGO I-IV; dimana pasien mendapat kemoterapi dengan regimen cisplatin/epirubicin/cyclophospamide setelah dilakukannya operasi, menunjukkan pada total 17 pasien (28,3%) terbentuk VTE c. Usia Pasien Dijumpai peningkatan yang tajam untuk insidensi terjadinya DVT pada usia di atas 60 tahun pada populasi umum. Walaupun insidensi DVT meningkat seiring usia, diduga bahwa, karena adanya peningkatan pada obat-obatan komorbid dan kondisi pembedahan pada pasien dengan usia yang lebih tua, usia mungkin bukan merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya DVT. Pengaruh dari kanker yang ditemukan pada saat pembedahan dan usia pasien sebagai faktor risiko terjadinya DVT dianalisa pada suatu penelitian pada 807 pasien, dan ditemukan bahwa kanker memiliki risiko yang lebih besar daripada usia untuk terjadinya DVT, sehingga usia juga didapatkan merupakan peningkatan risiko terjadinya DVT., d. Mobilitas Pasien Sejumlah penelitian pernah membuktikan hubungan antara imobilitas pasien dengan terbentuknya DVT. Suatu penelitian pada 253 pasien menunjukkan bahwa pasien-pasien yang imobil kurang dari 1 minggu insidensi dari VTE adalah 15%, sementara pasien-pasien yang imobil untuk waktu yang lebih lama memiliki insisdensi VTE sampai 80%. Dan pada penelitian lain ditemukan pada pasien-pasien rawat inap yang terus berbaring, 13% pasien yang tidak menjalani tindakan operasi terbentuk DVT e. Tindakan Pembedahan 6

31 Pasien-pasien kanker, terutama kanker ginekologi yang menjalani tindakan pembedahan pada daerah panggul dengan pembuluh darah atau vaskularisasi yang banyak, memiliki risiko terjadinya DVT lebih besar daripada pasien-pasien bukan kanker yang juga menjalani operasi. Pada suatu penelitian dari 203 pasien oleh Kakkar dan kawan-kawan, ditemukan bahwa insidensi terjadinya DVT adalah 41% pada pasien-pasien kanker dan 26% pada pasien-pasien yang tidak mengidap kanker. Walsh dan kawan kawan juga melaporkan hal yang sama pada suatu penelitian pada pasien-pasien keganasan ginekologi yang menjalani tindakan pembedahan. Dilaporkan bahwa pada pasien-pasien yang menjalani operasi, termasuk pasien-pasien kanker, 40%-80% terbentuk trombosis vena pada betis, dan 10%-20% terbentuk trombosis vena proximal. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada 491 pasien kanker dan 1585 pasien non keganasan yang menjalani operasi dan tidak mendapat profilaksis untuk trombosis; angka untuk terjadinya PE yang fatal adalah 1,6% untuk pasien-pasien kanker berbanding 0,5% untuk pasienpasien non keganasan LMWH Sebagai Profilaksis DVT Pada Kanker Untuk pasien-pasien kanker yang menjalani tindakan pembedahan, low-molecular-weight heparin (LMWH) menjadi pilihan untuk profilaksis DVT, walaupun heparin dosis rendah atau low-dose heparin (LDH) juga digunakan secara luas. Penelitian-penelitian menunjukkan keamanan dan keberhasilan dari LMWH sebagai profilaksis DVT pada pasien-pasien kanker yang menjalani operasi. 24, LMWH dihasilkan oleh depolimerisasi kimia atau enzimatik dari unfractionated heparin (UFH), suatu bentuk heterogen dari sulfat polisakarida. Berat molekul rata-rata dari UFH adalah sampai Da, dan berat molekul rata-rata dari LMWH adalah sampai Da. Tiga LMWH yang telah diakui di Amerika Serikat, yaitu tinzaparin, enoxaparin, dan deltaparin, memiliki berat molekul yang sama. Baik UFH maupun LMWH menghambat koagulasi secara primer dengan berikatan dengan antitrombin III. Ikatan ini bergantung kepada sekuensi pentasakarida yang memiliki afinitas yang kuat untuk antirombin III. Sebagai hasil dari ikatan ini, antitrombin berubah dalam konfigurasi dan menghambat faktor IIa (trombin) seperti halnya faktor IXa, Xa, dan XIa. UFH secara simultan mengikat antirombin III dan trombin. Karena unit sakarida dari LMWH lebih pendek daripada heparin, LMWH tidak dapat mengikat

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivasi koagulasi dan fibrinolitik merupakan bagian dari sistem hemostasis dalam upaya menjaga homeostasis tubuh terhadap terjadinya perdarahan atau trombosis. 1 Trombosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit tromboemboli vena (TEV) termasuk didalamnya trombosis vena dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit tromboemboli vena (TEV) termasuk didalamnya trombosis vena dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tromboemboli vena (TEV) termasuk didalamnya trombosis vena dalam (TVD)/Deep Vein Thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE) merupakan penyakit yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya:

Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya: ASKEP CA OVARIUM A. Pengertian Kanker Indung telur atau Kanker ovarium adalah tumor ganas pada ovarium (indung telur) yang paling sering ditemukan pada wanita berusia 50 70 tahun. Kanker ovarium bisa menyebar

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Tumor jinak pelvik Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Definisi Massa pelvik merupakan kelainan tumor pada organ pelvic yang dapat bersifat jinak maupun ganas Tumor jinak pelvik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tumor ganas ovarium adalah penyebab kematian akibat tumor ginekologi yang menduduki urutan ke empat di Amerika Serikat. (1-10) Laporan statistik kanker Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium. Tumor ovarium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium. Tumor ovarium BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TUMOR OVARIUM Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium. Tumor ovarium berdasarkan konsistensinya bisa bersifat solid atau kistik. Tumor ovarium berdasarkan

Lebih terperinci

Ovarian Cysts: A Review

Ovarian Cysts: A Review Ovarian Cysts: A Review Cheryl Horlen, BCPS University of the Incarnate Word Feik School San Antonio, Texas 7/20/2010 US Pharm. 2010;35(7):HS-5-HS-8 Kista ovarium adalah penyebab umum dari prosedur bedah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. 1 Pada saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ovarium merupakan kelenjar kelamin (gonad) atau kelenjar seks wanita. Ovarium berbentuk seperti buah almond, berukuran panjang 2,5 sampai 5 cm, lebar 1,5 sampai 3 cm

Lebih terperinci

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko

Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Kanker Rahim - Gejala, Tahap, Pengobatan, dan Resiko Apakah kanker rahim itu? Kanker ini dimulai di rahim, organ-organ kembar yang memproduksi telur wanita dan sumber utama dari hormon estrogen dan progesteron

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat menjadi penyebab kematian peringkat ketiga dan penyebab utama kecacatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tumor ovarium merupakan bentuk neoplasma yang paling sering ditemukan pada wanita. Sekitar 80% merupakan tumor jinak dan sisanya adalah tumor ganas ovarium (Crum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan penanganan khusus di ruang rawat intensif (ICU). Pasien yang dirawat

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan penanganan khusus di ruang rawat intensif (ICU). Pasien yang dirawat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien sakit kritis adalah pasien dengan kondisi mengancam nyawa yang membutuhkan penanganan khusus di ruang rawat intensif (ICU). Pasien yang dirawat di ICU memiliki

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. banyak pada wanita dan frekuensi paling sering kedua yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. banyak pada wanita dan frekuensi paling sering kedua yang menyebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Kanker payudara merupakan masalah kesehatan pada wanita di seluruh dunia. Di Amerika, kanker payudara merupakan kanker dengan frekuensi paling banyak pada wanita dan

Lebih terperinci

Pengertian trombosit dan Vena

Pengertian trombosit dan Vena 1 Pengertian trombosit dan Vena Lailatul Munawaroh TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas browsing artikel dari internet OLEH LAILATUL MUNAWAROH NIM: G0C015012 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al.,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al., BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Kanker payudara merupakan masalah besar di seluruh dunia dan merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al., 2009). Di Amerika

Lebih terperinci

GAMBARAN RISIKO TROMBOSIS BERDASARKAN CAPRINI SCORE PADA PASIEN KANKER DI RSUP. HAJI ADAM MALIK. Oleh: RAJA ARIF KURNIA MANIK

GAMBARAN RISIKO TROMBOSIS BERDASARKAN CAPRINI SCORE PADA PASIEN KANKER DI RSUP. HAJI ADAM MALIK. Oleh: RAJA ARIF KURNIA MANIK 1 GAMBARAN RISIKO TROMBOSIS BERDASARKAN CAPRINI SCORE PADA PASIEN KANKER DI RSUP. HAJI ADAM MALIK Oleh: RAJA ARIF KURNIA MANIK 120100031 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 2 GAMBARAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Kehamilan Ektopik Terganggu Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi diluar rongga uteri. Lokasi tersering

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh penderita kanker dan penyebab kematian keempat dari seluruh kematian pada pasien kanker di dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU) dan biasanya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. sering kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU) dan biasanya membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasien sakit kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam keselamatan jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr.

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan ginekologi.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metode deteksi dini yang akurat. Sehingga hanya 20-30% penderita kanker

BAB I PENDAHULUAN. metode deteksi dini yang akurat. Sehingga hanya 20-30% penderita kanker BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium (kanker indung telur) merupakan penyebab nomor satu dari seluruh kematian yang disebabkan kanker pada saluran reproduksi. Penderita kanker ini umumnya

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya usia harapan hidup menyebabkan ditemukannya berbagai penyakit pada usia lanjut yang semakin meningkat seperti penyakit degeneratif dan sistemik. Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensive Care Unit (ICU) merupakan cabang ilmu kedokteran yang memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pasienpasien sakit kritis yang kerap membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara global di bidang pembangunan semakin meningkat. Di Indonesia, terutama

BAB I PENDAHULUAN. secara global di bidang pembangunan semakin meningkat. Di Indonesia, terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini perkembangan dunia industri, perdagangan dan perubahan secara global di bidang pembangunan semakin meningkat. Di Indonesia, terutama Bali yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) sudah merupakan salah satu ancaman. utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) sudah merupakan salah satu ancaman. utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu observasional, analitik, studi kasus kontrol untuk melihat perbandingan akurasi skor wells dengan skor padua dalam memprediksi

Lebih terperinci

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi

BAB V HEMOSTASIS Definisi Mekanisme hemostasis Sistem koagulasi BAB V HEMOSTASIS Definisi Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan karena trauma dan mencegah perdarahan spontan. Hemostasis juga menjaga darah tetap cair. Mekanisme hemostasis Jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada anak dan paling sering jadiindikasi bedah abdomen emergensi pada anak.insiden apendisitis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembentukan bekuan darah adalah proses fisiologis yang lambat tapi normal terjadi sebagai akibat dari aktivasi jalur pembekuan darah. Respon alamiah yang timbul untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Ovarium Tumor ovarium merupakan neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium,yang mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda dari jaringan asalnya. Kanker ovarium biasanya

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

CARA YANG TEPAT DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA

CARA YANG TEPAT DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA CARA YANG TEPAT DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA Oleh : Debby dan Arief Dalam tubuh terdapat berjuta-juta sel. Salah satunya, sel abnormal atau sel metaplasia, yaitu sel yang berubah, tetapi masih dalam batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan penting di dunia, dimana saat ini menduduki peringkat kedua terbanyak penyakit kanker setelah kanker

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN 20 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM Jakarta periode tahun 2004. Data yang didapatkan adalah sebanyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma serviks uteri merupakan masalah penting dalam onkologi ginekologi di

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma serviks uteri merupakan masalah penting dalam onkologi ginekologi di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Karsinoma serviks uteri merupakan masalah penting dalam onkologi ginekologi di Indonesia. Penyakit ini merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Infertilitas dalam arti klinis didefinisikan sebagai Ketidakmampuan seseorang atau pasangan untuk menghasilkan konsepsi setelah satu tahun melakukan hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekrutan dan aktivasi trombosit serta pembentukan trombin dan fibrin 1. Proses

BAB I PENDAHULUAN. perekrutan dan aktivasi trombosit serta pembentukan trombin dan fibrin 1. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hemostasis adalah proses yang mempertahankan integritas sistem peredaran darah setelah terjadi kerusakan vaskular. Dalam keadaan normal, dinding pembuluh darah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

ABSTRAK. di dunia, tepatnya penyakit kedua terbanyak setelah penyakit kardio vaskular. Salah

ABSTRAK. di dunia, tepatnya penyakit kedua terbanyak setelah penyakit kardio vaskular. Salah ABSTRAK Menurut WHO, kanker merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia, tepatnya penyakit kedua terbanyak setelah penyakit kardio vaskular. Salah satu jenis kanker yang tingkat kejadiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. leiomyoma uteri, fibromioma uteri, atau uterin fibroid. 1 Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. leiomyoma uteri, fibromioma uteri, atau uterin fibroid. 1 Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mioma uteri adalah tumor jinak kandungan (uterus) yang terjadi pada otot polos dan jaringan ikat. Mioma dikenal juga dengan istilah leiomyoma uteri, fibromioma uteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang

BAB I PENDAHULUAN. Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang sampai saat ini masih memberikan masalah berupa luka yang sulit sembuh dan risiko amputasi yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal atau terus menerus dan tak terkendali, dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke tempat yang jauh dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benjolan pada payudara merupakan keluhan yang paling sering ditemui pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang bersifat jinak mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap hormon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap hormon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiroid merupakan salah satu kelenjar endokrin pada tubuh manusia yang terletak di bagian depan leher. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroksin dan triodotironin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

A. ETIOLOGI B. PATOFISIOLOGI

A. ETIOLOGI B. PATOFISIOLOGI A. ETIOLOGI Emboli Paru (Pulmonary Embolism)adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu embolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Trias klinik klsasik yang merupakan predisposisi tromboemboli

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengetahuan perawat tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengetahuan perawat tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengetahuan perawat tentang penilaian nyeri dan intervensi sangat penting untuk management nyeri yang efektif dan berkualitas dalam perawatan pasien (Patricia 2010).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang cukup sering dijumpai. Angka kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi

Lebih terperinci

KANKER PAYUDARA dan KANKER SERVIKS

KANKER PAYUDARA dan KANKER SERVIKS KANKER PAYUDARA dan KANKER SERVIKS OLEH : Dr. EMI RACHMAWATI. CH PUSAT KLINIK DETEKSI DINI KANKER GRAHA YAYASAN KANKER INDONESIA WILAYAH DKI JL.SUNTER PERMAI RAYA No.2 JAKARTA UTARA 14340 Pendahuluan Kanker

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa lima besar karsinoma di dunia adalah karsinoma paru-paru, karsinoma mamae, karsinoma usus besar dan karsinoma lambung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di seluruh dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak negara tropis dan subtropis. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak negara tropis dan subtropis. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara tropis dan subtropis. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN SARKOMA UTERI YANG BERULANG

PENATALAKSANAAN SARKOMA UTERI YANG BERULANG PENATALAKSANAAN SARKOMA UTERI YANG BERULANG PENDAHULUAN Sarkoma uteri adalah tumor mesodermal yang jarang dijumpai, yang pada umumnya dikatakan kurang dari 5% dari seluruh kanker pada uterus, namun penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sepsis dan syok sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sepsis dan syok sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepsis dan syok sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di intensive care unit (ICU), mengakibatkan kematian lebih dari 30% pada 28 hari pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada wanita di dunia. Angka kejadian kanker payudara meningkat lebih dari 20% sejak tahun 2008.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

(PR), serta human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) kanker payudara tersebut. (Shenkier, 2004) Keberhasilan dalam penatalaksanaan kanker

(PR), serta human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) kanker payudara tersebut. (Shenkier, 2004) Keberhasilan dalam penatalaksanaan kanker BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker payudara masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar. Kanker payudara menjadi penyebab kematian kedua terbanyak bagi wanita Amerika pada tahun 2013

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

Mekanisme Pembekuan Darah

Mekanisme Pembekuan Darah Mekanisme Pembekuan Darah Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari soluble fibrinogen, memperkuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berdasarkan data World Health Organization (WHO), saat ini terdapat setidaknya 1,3 milyar perokok di seluruh dunia. Jumlah ini mencakup hampir sepertiga jumlah populasi

Lebih terperinci

RANGKUMAN. Varikokel adalah pelebaran abnormal vena-vena di dalam testis maupun

RANGKUMAN. Varikokel adalah pelebaran abnormal vena-vena di dalam testis maupun 1 RANGKUMAN Varikokel adalah pelebaran abnormal vena-vena di dalam testis maupun skrotum yang dapat menyebabkan rasa nyeri, atrofi testis dan menyebabkan infertilitas. 5 Anatomi dan Histologi a. b. Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Sepsis merupakan suatu sindrom klinis infeksi yang berat dan ditandai dengan tanda kardinal inflamasi seperti vasodilatasi, akumulasi leukosit, dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di seluruh dunia, kanker ovarium adalah kanker keenam yang paling sering didiagnosis. Sekitar dua pertiga wanita yang menderita kanker ovarium didiagnosis dengan stadium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini

BAB I PENDAHULUAN. endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Endometriosis merupakan suatu keadaaan ditemukannya jaringan endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini dideskripsikan sejak 1860 dan menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 13% kematian dari 22% kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia (Shibuya et al., 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik. adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal:

BAB I PENDAHULUAN. Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik. adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal: peritoneum panggul, ovarium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insiden kematian apendisitis pada anak semakin meningkat, hal ini disebabkan kesulitan mendiagnosis appendik secara dini. Ini disebabkan komunikasi yang sulit antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kompleks, tidak hanya menyangkut penderita tetapi juga keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kompleks, tidak hanya menyangkut penderita tetapi juga keluarga, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang mempunyai spektrum sangat luas dan kompleks. Penyakit ini dimulai dari neoplasma ganas yang paling jinak sampai neoplasma

Lebih terperinci

Dr. Indra G. Munthe, SpOG

Dr. Indra G. Munthe, SpOG Dr. Indra G. Munthe, SpOG PENDAHULUAN Suatu kumpulan gejala berupa trombosis vena atau arteri disertai peninggian kadar antibodi anti post polipid (APA). SAF mengakibatkan kegagalan kehamilan yg berubungan

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN UJI COBA

BAB IV HASIL DAN UJI COBA BAB IV HASIL DAN UJI COBA IV.1. Tampilan Hasil Berikut ini dijelaskan mengenai tampilan hasil dari perancangan sistem Sistem Pakar Diagnosis Penyakit Kanker Ovarium Dengan Metode Certainty Factor yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan di RSO Prof.Dr. dr. R.Soeharso Surakarta, antara tanggal 1 Januari 2012 sampai 30 Juni 2015 didapatkan hasil penelitian 102 pasien. 4.1.1 Distribusi

Lebih terperinci