Volume 9, No. 2, Oktober 2009 ISSN Jurnal Agripet

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Volume 9, No. 2, Oktober 2009 ISSN Jurnal Agripet"

Transkripsi

1 Volume 9, No. 2, Oktober 2009 ISSN Jurnal Agripet Halaman Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei S. Syahrir, K. G. Wiryawan, A. Parakkasi, Winugroho, W. Ramdania 1-9 Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda Sugito Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) dalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan dan Agus Setiyono Performa Pertumbuhan Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Ransum Berbagai Taraf Limbah Udang Muhammad Sayuti Mas ud dan Aminuddin Parakkasi Penggantian Sebagian Ransum Komersial dengan Polar dan Aditif Duck mix terhadap Komposisi Fisik Karkas Itik Siti, NI W, I.G.L.O. Cakra, K. A. Wiyana, A.T. Umiarti Pengujian secara In Vitro Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) sebagai Sumber Prebiotik Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan, dan Agus Setiyono Kajian Fisiologis Penggunaan Bovine Somatotropin (bst) Pada Sapi Pra Afkir1 Dzarnisa Araby dan Cut Aida Fitri Analisa Mikrosatelit dalam Bioteknologi Reproduksi Ternak (Suatu Kajian Pustaka) Siti Darodjah Rasad Respon Pertumbuhan Ayam Lokal Pedaging terhadap Suplementasi Protein Isolasi Biji-bijian (PIB) dan Perbedaan Level Protein Ransum M. Aman Yaman, Zulfan dan Andi Saputra Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

2 Vol. 9, No (2), Oktober 2009 ISSN : JURNAL Agripet JURUSAN PETERNAKAN, FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH Tim Redaksi Ketua Anggota Administrasi dan Kesekretariatan : Dr. Ir. Samadi, M.Sc. : Dr. Ir. M. Yunus Ibrahim, M.Sc. Dr. Ir. M. Aman Yaman, M.Sc. Dr. Ir. Yusdar Zakaria, M.S. Dr. Ir. Agus Nashri, M.Si. Ir. Asril M. Rur. Sc. Ir. Sulaiman Ibrahim, M.Sc. Ir. Cut Aida Fitri, M.Si : Mega Husni, S.Pt Alamat Redaksi : Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam - Banda Aceh Telp.: (0651) 51097, Pes. 253, Hp : agripet_unsyiah@yahoo.com Jurnal Agripet merupakan jurnal ilmu-ilmu berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan yang dikeluarkan pertama sekali tahun 2000 oleh Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. Terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada Bulan April dan Oktober.

3 Volume 9, No. 2, Oktober 2009 ISSN : Jurnal Agripet Halaman Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei S. Syahrir, K. G. Wiryawan, A. Parakkasi, Winugroho, dan W. Ramdania 1-9 Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda Sugito Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) dalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan dan Agus Setiyono Performa Pertumbuhan Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Ransum Berbagai Taraf Limbah Udang Muhammad Sayuti Mas ud dan Aminuddin Parakkasi Penggantian Sebagian Ransum Komersial dengan Polar dan Aditif Duck mix terhadap Komposisi Fisik Karkas Itik Siti, NI W, I.G.L.O. Cakra, K. A. Wiyana, dan A.T. Umiarti Pengujian secara In Vitro Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) sebagai Sumber Prebiotik Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan, dan Agus Setiyono Kajian Fisiologis Penggunaan Bovine Somatotropin (bst) Pada Sapi Pra Afkir1 Dzarnisa Araby dan Cut Aida Fitri Analisa Mikrosatelit dalam Bioteknologi Reproduksi Ternak (Suatu Kajian Pustaka) Siti Darodjah Rasad Respon Pertumbuhan Ayam Lokal Pedaging terhadap Suplementasi Protein Isolasi Biji-bijian (PIB) dan Perbedaan Level Protein Ransum M. Aman Yaman, Zulfan dan Andi Saputra Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

4 Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei (Inhibition hydrolysis of carbohydrate by mulberry leaves extract) S. Syahrir 1, K. G. Wiryawan 2, A. Parakkasi 2, Winugroho 3, W. Ramdania 2 1 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UNHAS 2 Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB 3 Balai Penelitian Ternak, Ciawi ABSTRACT Mulberry leaves has a great potential as animal feeds because of its high nutrient content, but has deoxynojirimycin (DNJ) active matter. It is potential to inhibit carbohydrate hydrolysis process, come to monosaccharides. The objective of this experiment is to study the inhibiting ability of mulberry leave extract in carbohydrate hydrolysis process. The kinds of carbohydrates were using glucose, maltose, sucrose and starch. This experiment used twenty four of 60 days old male mice (Mus musculus). Diet and water were given ad libitum. Treatment were allocated ina factorial completely randomized design with three replications and two factors containing of completely mulberry leaves extract and variance of carbohydrates. Variable observed were feed consumtion, feed digestibility, body weight gain and blood glucose. The data were analyzed with univariate analysis of variance. The result showed that inclusion of mulberry leaves extract had decrease body weight (P< 0,05) and reduce blood glucose (P< 0,05). Key words: mulberry leaves extract, hydrolysis, carbohydrate 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: 1-9 PENDAHULUAN 1 Daun murbei berpotensi baik sebagai sumber pakan alternatif karena kandungan proteinnya cukup tinggi yaitu sebesar 20,4% (Machii et al., 2000). Daun tersebut dapat dipanen sepanjang tahun karena tidak mengalami masa istirahat. Tanaman murbei dapat tumbuh baik di daerah tropis. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman murbei dapat dibudidayakan di Indonesia, sehingga dapat digunakan dalam jumlah yang tinggi sebagai pakan ternak. Namun demikian sebelum digunakan pada ternak secara terusmenerus perlu dilakukan kajian untuk mengetahui level pemberian daun murbei yang efisien pada ternak. Penambahan tepung daun murbei kedalam ransum telah dilakukan, namun pemberian dalam jumlah yang banyak mungkin menyebabkan penurunan produksitvitas ternak. Pemberian tepung daun murbei pada ayam petelur sebanyak 3, 6 dan 9 persen dalam ransum memberikan hasil yang semakin baik dibandingkan kontrol. Hasil yang baik ditunjukkan dengan peningkatan berat telur maupun kualitas kuning telur, namun pada Corresponding author: nanisyahrir@yahoo.co.id pemberian sampai 15% dalam ransum menurunkan kualitas berat telur, yaitu berat dan rasio produksi (Suda, 1999). Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga adanya kandungan senyawa yang membatasi penggunaan daun murbei sebagai pakan ternak. Oku et al. (2006) melaporkan adanya senyawa 1- deoxynojirimycin (DNJ) sebanyak 0,24% dalam ekstrak daun murbei (EDM). Senyawa ini memiliki potensi menghambat proses hidrolisis berbagai jenis karbohidrat dan bekerja secara spesifik. Senyawa DNJ menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus kecil dan juga menghambat hidrolisis disakarida (Yatsunami et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun murbei yang mengandung senyawa DNJ menghambat hidrolisis karbohidrat (glukosa, maltosa, sukrosa dan pati) serta pengaruhnya terhadap produktivitas mencit. MATERI DAN METODE Materi Penelitian menggunakan 24 ekor mencit jantan dewasa kelamin (umur 60 hari) dengan rataan bobot badan 28,71±3,43 gram. 1

5 Mencit diperlihara di dalam kandang individu berukuran (40 x 30 x 10 cm 3 ) yang menggunakan sekam padi sebagai litter. Ransum mencit yang diberikan berupa semi purified diet, yang terdiri atas karbohidrat (glukosa, maltosa, sukrosa atau pati), kasein, minyak jagung, mineral dan vitamin. Pemberian ekstrak daun murbei (EDM) setara dengan pemberian daun murbei 50% dalam ransum sehingga diperoleh kandungan DNJ 0,12% dalam ransum. Komposisi nutrien daun murbei dan ekstraknya tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Daun Murbei (Morus alba) Nutrien (%) Umur (hari) Ekstrak Kadar Air Protein kasar 4,44 18,43 4,23 25,16 84,76 21,39 Lemak kasar 2,89 3,86 4,66 Serat kasar 10,52 11,14 - Kadar Abu BETN 10,92 57,24 13,23 46,61 16,60 8,74 Sumber: Laboratorium Biologi Hewan. PBSHB IPB (2008) Pembuatan Ekstrak Daun Murbei Daun murbei dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven 60 o C selama 24 jam. Daun murbei dihaluskan dengan cara digiling sampai menjadi tepung, selanjutnya tepung diolah untuk mendapatkan ekstrak. Pembuatan ekstrak daun murbei dilakukan dengan menggunakan ethanol 50% (Oku et al., 2006). Maserasi dilakukan sebanyak 2 kali 24 jam dan pada periode 6 jam pertama pelaksanaan maserasi dilakukan pengocokan setiap jam. Selanjutnya filtrat dievaporasi untuk menguapkan ethanol. Sebanyak 4,785 kg tepung daun murbei kering yang diekstrak menggunakan 50 liter ethanol menghasilkan 4,7 liter EDM yang siap digunakan, sehingga 1 kg tepung daun murbei setara dengan 1 liter ekstraknya. Berikut skema pembuatan EDM. Ekstrak dipekatkan selama 3 jam dalam oven 60 0 C sehingga berbentuk pasta pada saat akan digunakan dalam ransum. Pemekatan 100 ml menghasilkan 12,42 gram EDM. Pembuatan Ransum Pembuatan ransum dilakukan setiap minggu. EDM terlebih dahulu dicampur dengan sumber karbohidrat sampai homogen kemudian dicampur dengan campuran kedua yang terdiri dari kasein (sumber protein), vitamin, mineral dan minyak (sumber lemak) yang dicampur dengan sebagian sumber karbohidrat. Langkah-langkah pencampuran tersebut dilakukan untuk memperoleh sifat fisik ransum dan tingkat homogenitas bahan penyusun yang baik. Pemeliharaan Ternak Pemeliharaan mencit dilakukan selama 17 hari dengan periode adaptasi selama 3 hari dan pada hari ke 4 sampai hari ke 17 dilakukan pengamatan dan pengumpulan feses (Jordan et al., 2003). Pemberian pakan secara ad libitum dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore). Kebutuhan pakan disiapkan setiap minggu sebanyak ±25 gram untuk setiap ekor mencit, sehingga penimbangan konsumsi ransum dilakukan setiap minggu. Air minum yang diberikan adalah air mineral yang dimasukkan ke dalam botol (100 ml) dan diganti setiap 3 hari. Sekam padi yang digunakan sebagai alas kandang mencit ditimbang (±50 gram) dan dioven 60 0 C selama 24 jam. Sekam diganti setiap 7 hari pemeliharaan. Rancangan Percobaan Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 4 x 2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah sumber karbohidrat yaitu glukosa (A1), maltosa (A2), sukrosa (A3) dan pati (A4). Faktor kedua adalah tanpa penambahan EDM (B0) dan dengan penambahan EDM (B1). Model matematik yang digunakan sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993). Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij Keterangan : Yij = Nilai hasil pengamatan perlakuan kei dan ulangan ke-j µ = Nilai rata-rata hasil pengamatan αi = Pengaruh faktor a (jenis karbohidrat) ke-i βj = Pengaruh faktor b (pemberian DNJ) ke-j αβij = Interaksi pengaruh faktor a dan b εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Peubah yang diamati dalam penelitian adalah perubahan bobot badan, kecernaan ransum, konsumsi ransum, dan kadar glukosa darah 2

6 mencit. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan ANOVA dan apabila terdapat beda nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati antara lain perubahan bobot badan harian (PBBH), konsumsi, kecernaan dan kadar glukosa darah mencit disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antar kedua faktor pada seluruh peubah yang diamati, namun perlakuan yang berbeda pada setiap faktor memperlihatkan perbedaan respon. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati antara lain perubahan bobot badan harian (PBBH), konsumsi, kecernaan dan kadar glukosa darah mencit disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antar kedua faktor pada seluruh peubah yang diamati, namun perlakuan yang berbeda pada setiap faktor memperlihatkan perbedaan respon. Tabel 2. Rataan Hasil Pengamatan PBB, Kecernaan Bahan Kering, Konsumsi dan Kadar Glukosa Darah selama Pemeliharaan Perlakuan Faktor PBB (g/e/hari) Kecernaan BK (%) Konsumsi (g/e/hari) Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Jenis karbohidrat Glukosa... 0,39 ± 0,23 A... 90,15 ± 2,87 A... 3,96 ± 1, ,83 ± 37,95 Maltosa 0,21 ± 0,27 AB 93,15 ± 2,28 A 4,37 ± 0,82 215,67 ± 45,25 Sukrosa (0,09) ± 0,37 C 93,31 ± 0,00 A 4,00 ± 1,19 165,17 ± 53,03 Pati 0,06 ± 0,14 BC 71,73 ± 9,26 B 4,41 ± 0,76 245,67 ± 115, Penambahan EDM - EDM 0,32 ± 0,19 A 89,72 ± 7,72 a 4,92 ± 0,05 A 229,5 ± 78,95 a + EDM (0,04) ± 0,24 B 84,62 ± 13,14 b 3,46 ± 0,44 B 167,17 ± 29,14 b Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan sangat (p<0,01) dengan huruf besar dan perbedaan nyata (p<0,05) dengan huruf kecil nyata Perubahan Bobot Badan Pemberian sumber karbohidrat yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perubahan bobot badan. Pemberian glukosa menyebabkan pertambahan bobot badan tertinggi (Gambar 1), diikuti dengan pemberian maltosa. Hal tersebut terjadi karena glukosa merupakan sumber energi yang mudah diserap sehingga jumlah asupan glukosa ke dalam tubuh tinggi. Kelebihan glukosa disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen, setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Peningkatan jumlah glikogen dalam tubuh mengakibatkan bobot badan meningkat. Pemberian pati mengakibatkan pertambahan bobot badan yang lebih kecil bahkan pemberian sukrosa menyebabkan penurunan bobot badan. Perbedaan respon pemberian jenis disakarida antara maltosa dan sukrosa, disebabkan perbedaan karakteristik kedua disakarida tersebut. Maltosa merupakan gula pereduksi seperti glukosa yang memiliki gugus karbonil yang berpotensi bebas. Sukrosa bukan gula pereduksi, sukrosa tidak mengandung atom karbon anomer bebas, karena karbon anomer kedua unit monosakarida pada sukrosa berikatan satu dengan yang lain. Hal tersebut menyebabkan sukrosa lebih stabil terhadap oksidasi atau hidrolitik enzim-enzim pemecah ikatan glikosida (Lehninger, 1984). Penurunan bobot badan mencit yang diberi ransum perlakuan sukrosa dapat diakibatkan oleh terjadinya perombakan cadangan energi dalam tubuh karena kurang memperoleh asupan energi dari pakan, dampak dari sukrosa yang lebih sulit dipecah menjadi monosakarida. 3

7 Sumber Karbohidrat karbohidrat dengan penambahan EDM terhadap perubahan bobot badan harian, namun demikian penambahan EDM sangat nyata (p<0,01) menurunkan bobot badan mencit (Gambar 2) Gambar 1. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan Karbohidrat (A1= Glukosa; A2 = Maltosa; A3 = Sukrosa; A4 = Pati) Linder (1992) menyatakan bahwa konsumsi sukrosa yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan penyerapan mikronutrien esensial yang dapat menurunkan bobot badan. Pemberian sukrosa murni sebagai sumber karbohidrat sampai 60% dari ransum dalam penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh penambahan ekstrak daun murbei dengan kandungan senyawa deoxynijirimycin yang berpotensi sebagai penghambat proses hidrolisis berbagai jenis karbohidrat (monosakarida, disakarida dan polisakarida). Karbohidrat jenis polisakarida yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati. Pemberian pati dalam ransum menghasilkan pertambahan bobot badan yang rendah (Gambar 1). Hal ini sejalan dengan rendahya kecernaan pati, sehingga proses hidrolisis oleh enzim-enzim untuk memecah ikatan-ikatan glikosida pati menjadi monosakarida memerlukan waktu yang lebih lama dibanding disakarida. Energi yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga pertambahan bobot badan juga rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pengukuran bobot badan berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa penggunaan pati sebagai sumber karbohidrat tunggal kurang efisien. Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun murbei yang mengandung 0,12% deoxynojirimycin sebagai senyawa pembatas dalam penggunaan daun murbei. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada interaksi penggunaan berbagai jenis B0 Gambar 2. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan tanpa Penambahan EDM (B0) dan dengan Penambahan EDM (B1) Pertambahan bobot badan menurut NRC (1985) dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan tata laksana. Pada penelitian ini digunakan mencit jantan dewasa kelamin (umur 60 hari) untuk meminimalkan galat diluar respon yang diamati seperti, adanya pengaruh fluktuasi hormonal dan kondisi fisiologis yang terjadi pada mencit betina. Sudono (1981) melaporkan bahwa laju pertumbuhan mencit jantan tertinggi dicapai sebesar 0,55 gram/hari. Hasil rataan pertambahan bobot badan mencit yang diperoleh selama pemeliharaan sebesar 0,32 ± 0,19 gram/hari yang menunjukkan bahwa produktivitas mencit cukup baik. Penurunan bobot badan mencit dengan penambahan EDM dalam ransumnya, terjadi sejalan dengan lebih rendahnya konsumsi dan kecernaan ransum dibanding perlakuan tanpa penambahan EDM. Penurunan bobot badan mengindikasikan telah terjadi penghambatan metabolisme dalam tubuh oleh senyawa deoxynojirimycin. Hock dan Elstner (2005) menyatakan bahwa senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus halus secara kompetitif yaitu dengan menggantikan sisi aktif substrat yang akan melekat dengan enzim glukosidase sehingga pemecahan ikatan glikosida substrat (karbohidrat) menjadi monosakarida tidak terjadi. Hal ini B1 Ekstrak Daun Murbei 4

8 menyebabkan sel tidak memperoleh energi yang cukup dalam bentuk monosakarida, sehingga terjadi perombakan cadangan glikogen dalam tubuh yang menyebabkan penurunan bobot badan. Pencernaan hidrolitik dengan bantuan enzim merupakan bagian pencernaan yang utama bagi hewan monogastrik setelah pencernaan mekanis dimulut, sehingga kehadiran senyawa DNJ dalam ransum mencit sangat mempengaruhi produktivitas. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan bobot badan. Hasil tersebut mengindikasikan penggunaan ekstrak daun murbei yang setara dengan pemberian 50% daun murbei dalam ransum menyebabkan penurunan bobot badan. Penelitian sebelumnya oleh Trigueros dan Villalta (1997) pada babi menunjukkan bahwa penggunaan 20% tepung daun murbei untuk menggantikan konsentrat mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 60 gram, dibanding dengan pemberian konsentrat saja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai cara untuk mengeliminasi senyawa DNJ agar penggunaan daun murbei sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan. Kecernaan Ransum Kecernaan merupakan suatu proses penyerapan oleh saluran pencernaan yang menghasilkan energi untuk memenuhi keperluan tubuh yang meliputi perbaikan, pertumbuhan dan reproduksi (Piliang dan Djojosoebagio, 1990). Menurut Mc Donald et al. (2002) kecernaan dapat didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau jumlah yang tidak disekresikan dalam feses. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis hewan, komposisi pakan, cara pengolahan pakan, komposisi pakan yang dikandung dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pada penelitian ini digunakan penghitungan koefisien cerna semu, yaitu memperhitungkan seluruh nutrien yang dikeluarkan dalam feses berasal dari makanan yang dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai jenis karbohidrat sangat nyata (p<0,01) mempengaruhi kecernaan ransum. Kecernaan ransum untuk semua jenis karbohidrat (glukosa, maltosa dan sukrosa) sangat baik (Gambar 3). Hal ini didukung oleh jenis hewan yaitu mencit sebagai hewan monogastrik yang tidak memerlukan serat dalam ransumnya, maka semi purified diet dengan kandungan serat rendah karbohidrat murni dapat dicerna dengan baik. Kecernaan ransum juga dipengaruhi jumlah ransum yang dikonsumsi. Jumlah ransum yang dikonsumsi menurut Tillman et al. (1991) berbanding terbalik dengan koefisien kecernaan. Semakin banyak jumlah pakan yang masuk akan menurunkan waktu retensi dalam usus sehingga pakan lebih cepat terdorong keluar sebelum mengalami pencernaan yang optimal. Persentase kecernaan pati yang rendah dibanding glukosa, maltosa dan sukrosa juga diikuti oleh jumlah konsumsi yang tinggi (Tabel 2). Rendahnya kecernaan pati dipengaruhi oleh sifat pati sebagai polisakarida yang sulit dipecah. Pada umumnya makanan yang mengandung pati diolah terlebih dahulu dengan air atau dengan pemanasan yang menyebabkan pati mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi tersebut merupakan suatu proses yang meliputi hidrasi dan pelarutan granula pati (Fergus, 1995). Pati murni yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kentang dengan kandungan amilosa 20-25% dan amilopekitin 75-80%, diberikan secara langsung tanpa diolah. Fergus juga menyatakan bahwa amilosa (ikatan α(1,4)) dan amilopektin (ikatan α(1,6)) dapat dihidrolisis secara sempurna oleh glukoamilase dalam waktu yang sangat lama dalam usus halus sehingga pada waktu retensi yang sama dengan disakarida, pati belum dapat dicerna dengan baik. Enzim glukoamilase mempunyai spesifitas untuk memutuskan ikatan α(1,4) pada setiap satuan residu glukosa mulai dari gugus non reduksi dengan hasil utama berupa glukosa. Enzim glukoamilase juga dapat memutus ikatan α(1,6) pada titik percabangan namun sangat lambat. Gambar 3. Kecernaan Ransum dengan Perlakuan Jenis Karbohidrat (A1 = Glukosa; A2 = Maltosa; A3 = Sukrosa; A4 = Pati) 5

9 Persentase kecernaan pada perlakuan dengan penambahan EDM menunjukkan penurunan yang nyata (p<0,05) dibanding tanpa penambahan EDM (Gambar 4). Pada dasarnya daun murbei memiliki nilai kecernaan yang tinggi karena kandungan serat kasarnya yang rendah (FAO, 2002) B0 B1 Ekstrak Daun Murbei Gambar 4. Kecernaan Ransum pada mencit yang tidak diberi EDM (B0) dan diberi EDM (B1) Menurut Hepher (1990) kecernaan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu jenis pakan, aktivitas enzim pencernaan dan lamanya waktu makanan ada di dalam usus kecil. Jenis pakan yang diberi tambahan EDM secara fisik berbeda dengan pakan yang tidak diberi tambahan EDM. Penambahan EDM dalam bentuk pasta pada ransum menyebabkan ransum berbentuk granula, sedangkan ransum yang tidak ditambah EDM berbentuk serbuk. Hal ini kemungkinan mempengaruhi proses pemecahan dalam usus kecil. Aktivitas enzim pencernaan sangat berhubungan erat dengan sifat DNJ dalam EDM yang sifatnya sebagai penghambat proses hidrolisis karbohidrat. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan rendahnya persentase kecernaan ransum yang diberi EDM dibanding ransum tanpa penambahan EDM. Penghambatan aktivitas α-glukosidase untuk memecah polimer karbohidrat menjadi anomer-anomernya yaitu monosakarida juga terlihat dalam penelitian ini. Secara umum nilai kecernaan ransum dengan penambahan EDM cukup baik (Tabel 2), namun hasil tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan bobot badan harian pada mencit. Pada umumnya apabila pakan dapat dicerna dengan baik, akan berdampak positif bagi produktivitas (seperti peningkatan PBB). Dapat diduga kehadiran senyawa DNJ sebesar 0,12% dalam ransum mengganggu metabolisme, karena DNJ merupakan senyawa alkaloid dan dapat bersifat toksik yang belum dapat dijelaskan pada penelitian ini. Konsumsi Ransum Konsumsi merupakan jumlah ransum yang dimakan oleh ternak dengan pemberian secara ad libitum. Pada penelitian ini konsumsi mencit diperoleh dengan menghitung ransum yang diberikan dikurangi ransum sisa dalam tempat pakan dan dalam kantong plastik. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat tidak nyata mempengaruhi jumlah konsumsi harian. Jumlah konsumsi secara keseluruhan cukup baik (Tabel 2) karena rataan jumlah konsumsi setiap perlakuan melebihi jumlah rata-rata konsumsi mencit dewasa perhari yaitu sebanyak 3 sampai 5 gram (Smith dan Mangkowidjojo, 1998). Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik ransum antara keempat perlakuan sama (tingkat kehalusan karbohidrat relatif sama), selain itu tingginya tingkat konsumsi disebabkan rasa manis dalam ransum yang dapat meningkatkan palatabliitas ransum. Menurut Parakkasi (1999) tingkat konsumsi atau voluntary feed intake (VFI) dapat menggambarkan palatabilitas ransum. Pengamatan konsumsi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan mencit terhadap daun murbei yang diberikan dalam bentuk ekstrak berupa pasta. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan penambahan EDM sangat nyata (p<0,01) menurunkan tingkat konsumsi ransum mencit (Tabel 2), walau pada dasarnya rataan jumlah konsumsi ransum mencit yang diberi tambahan EDM tidak lebih rendah dari jumlah konsumsi mencit normal (Gambar 5) B0 Ekstrak Daun Murbei Gambar 5. Konsumsi ransum harian mencit yang tidak diberi EDM (B0) dan diberi EDM (B1) B1 6

10 Rendahnya jumlah konsumsi ransum mencit dipengaruhi oleh sifat fisik ransum, hal ini sesuai dengan pernyataan Arora (1989) bahwa jumlah konsumsi pakan sangat ditentukan oleh palatabilitas. Palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna pakan. Sifat fisik ransum yang ditambah EDM (B1) berbeda dengan ransum yang tidak ditambah EDM (B0). Penambahan EDM menyebabkan ransum cepat basah dan lengket. Pengamatan terhadap pola makan mencit sebelumnya memberikan informasi bahwa mencit bersifat selektif dalam pemilihan pakan. Mencit kurang menyukai pakan yang basah karena terkena urin dan tercampur feses. Hal-hal demikian diminimalisasi dalam penelitian ini, agar jumlah konsumsi ransum mencit maksimal. Bau pakan juga mempengaruhi palatabilitas, pada dasarnya EDM dalam bentuk pasta memiliki aroma matang seperti pada reaksi Maillard namun hal ini menjadi kurang berperan dalam peningkatan palatabilitas ransum yang mengandung EDM karena sifat fisik ransum lebih dominan. Sifat fisik ransum akibat pengolahan yang dilakukan sebelum diberikan pada ternak sangat mempengaruhi palatabilitas. FAO (2002) melaporkan bahwa daun murbei memiliki palatabilitas yang tinggi dan varietas Morus alba yang digunakan pada penelitian ini merupakan varietas yang paling disukai ternak karena memiliki kandungan nutrien yang tinggi. Hubungan palatabilitas dengan produktivitas ternak sangat erat, walaupun suatu jenis pakan mampunyai tingkat palatabilitas yang tinggi tetapi belum menjamin kelangsungan hidup ternak dengan baik. Suatu jenis pakan belum tentu mempunyai kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan hidup ternak, tetapi sebagian ahli menganggap bahwa tingkat palatabilitas pakan lebih penting daripada nilai nutrisi pakan tersebut karena pakan dengan nilai nutrisi yang tinggi tidak akan berarti bila tidak disukai ternak (McIlroy, 1977). Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah adalah suatu indikator klinis dari kurang atau tidaknya asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa darah adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang keluar melalui aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya makanan, kecepatan glukosa masuk ke dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari glukosa oleh hati (Ganong, 1999). Kadar glukosa darah dari perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat tidak berbeda antara satu dengan yang lain (Tabel 2). Perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat ditambah dengan EDM yang mengandung senyawa DNJ 0,12% dilakukan untuk mengetahui daya hambat EDM terhadap jenis karbohidrat (monosakarida, disakarida dan polisakarida). Oku et al. (2006) melaporkan bahwa senyawa DNJ memiliki kemampuan menghambat proses hidrolisis yang berbeda pada setiap jenis karbohidrat, namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor (jenis karbohidrat dan pemberian EDM). Pemberian karbohidrat sampai 60% dalam ransum mengakibatkan kadar glukosa darah mencit cukup tinggi, bahkan rataan kadar glukosa darah pada pemberian maltosa dan pati melebihi normal (Tabel 2). Menurut Harkness dan Wagner (1989) kadar glukosa darah normal pada mencit yaitu mg/dl. Pemberian EDM nyata menurunkan kadar glukosa darah dibanding tanpa penambahan EDM (Gambar 6). Hal ini mengindikasikan adanya penghambatan hidrolisis karbohidrat oleh senyawa DNJ dalam EDM. Gambar 6. Kadar glukosa darah tanpa penambahan EDM (B0) dan dengan penambahan EDM (B1) Menurut Arai et al. (1998) senyawa DNJ dapat menghambat hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida di dalam usus kecil. Hal tersebut sejalan dengan hasil kecernaan ransum. Penambahan EDM juga menyebabkan kecernaan ransum lebih rendah. Rendahnya karbohidrat yang dapat dipecah menjadi monosakarida oleh enzim glukosidase 7

11 menyebabkan konsentrasi glukosa yang terserap oleh sel juga menurun. KESIMPULAN Penambahan ekstrak daun murbei menghambat hidrolisis disakarida dan polisakarida menjadi monosakarida. Hal ini ditandai dengan menurunnya konsumsi dan kecernaan ransum serta juga mengakibatkan menurunnya bobot badan mencit. Meskipun demikian penurunan tingkat konsumsi ransum mencit dapat juga disebabkan oleh sifat fisik ransum. Penambahan EDM dalam bentuk pasta mengakibatkan pakan cepat basah dan lengket, sehingga tidak disukai mencit. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) dengan kontrak nomor: 1570/LB/620/J.I/5/2007 tanggal 8 Mei DAFTAR PUSTAKA Arai, M., Genzou, T. dan Shinya, M., N- Methyl-1 deoxinojirimycins (MOR- 14) an alpha glucosidase inhibitor, markedly reduced infarct size in rabbit Hearts. Basic science reports Food and Agriculture Organization (FAO) Mulberry for Animal Production, Roma. Hock, B. and Elstner, E.F., Plant Toxycology. 4 th Ed. Technische Universitat Munchen. Freising, Germany. Jordan, J.E., Simandle, S.A., Tulbert, C.D., Busija, D.W. and Miller, A.W., Fructose-fed rats are protected againts ischemia/reperfusion injury. J. of Pharmac. And Exp. Therapeutics. Vol. 307: Lehninger, A.L., Dasar-dasar Biokimia (Principlesof Biochemistry). Jilid 1&2. Terjemahan: Maggy Thenawijaya. Erlangga, Jakarta. Linder, M.C., Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Terjemahan: Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Machii, H., On gamma-aminobutyric acid contained in mulberry leaves. J. Seric. Sci. Jpn. 59: McDonald, P., Edward, R. A., Greenhalgh, J. F. G. and Morgan, C. A., Animal Nutrition. 6 th Edition, Gosport. National Reseach Council (NRC) Nutrient Requirement of Sheep. 6 th Revised Edition. National Academy Press, Washington D. C. Oku, T., Mai, Y., Mariko, N., Naoki S. and Sadako, N., Inhibitory effects of extractives from leaves of Morus alba on human and rat small intestinal disaccaridase activity. J. of Nutr. 95: Overkleeft, G.H., Renkema, J., Neele, P. and Hung, A., Generation of specific deoxynojirimycins type inhibitor of the non lysosomal glucosylceramidase. J. Biol. Chem. 273: Parakkasi, A., Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta. Piliang, W.G., and Djojosoebagio, S., Metabolisme Lemak, Protein dan Serat Kasar. Fisiologi Nutrisi I. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R.G.D., dan Torrie, J. H., Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Soemantri. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suda, T., Inhibitory effect of mulberry leaves on ammonium emission from poultry excrement. Abstracts of Gunma Agriculture-related Experiment Stations Meeting, 7-8 (in Japanese). Sudono, A., Pengaruh interaksi antara genotif dan lingkungan terhadap pertumbuhan, koefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit.. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tillman, A.D., Hari, H., Soedomo, R., Soeharto, P. dan Soekamto, L.,

12 Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Yatsunami, K., Eiichi, F., Kengo, O., Youichi, S. And Satoshi, O., α- Glucosidase inhibitory activity in leaves of some mulberry varieties. J. of Food Sci. Technol. 9 (4):

13 Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda (The profile of hematology and broiler daily body weight gain which treated with heat stress at different cage temperature) Sugito 1 1 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ABSTRACT A research have been conducted to find the impact of heat stress at 3 level of cage temperature on hematology profile and broiler daily body weight gain. Sixteen broilers (strain Cobb) at the age of 20 days were randomly divided to 4 groups. First group was control group that treated without given heat stress (KL). Second, third, and fourth groups were treated with heat stress in cages with temperature, respectively 33 ± 1 o C, 36 ± 1 o C, and 39 ± 1 o C. Heat stress was given 4 hours daily during 7 days consecutively. The result indicated that cage temperature up to 36 ± 1 o C has not significantly affected hematology profile and broiler daily body weight gain. The impact of increasing temperature have been found at cage temperature of 39 ± 1 o C after 7 days of treatment, which were the increasing number of leucocytes, decreasing number of erythrocytes, and decreasing of broiler daily body weight gain. The broiler of the age above 20 to 27 days that exposed heat stress during 4 hour per day in the cage temperature of 39 ± 1 o C can obtain heat stress in serious level. Key words: Broiler, hematology, heat stress, cage temperature, body weight gain 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: PENDAHULUAN 2 Ayam dapat berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan ekternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keadaan suhu lingkungan merupakan salah satu faktor ekternal yang dapat mempengaruhi produktivitas ayam. Suhu panas pada suatu lingkungan industri unggas telah menjadi salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi disebabkan meningkatnya angka kematian ataupun menurunnya produktvitas (St-Pierre et al., 2003). Keadaan suhu yang relatif tinggi pada suatu lingkungan pemeliharaan menyebabkan terjadinya cekaman panas pada ayam broiler (Austic, 2000). Selama ayam mengalami cekaman terjadi perubahanperubahan fisiologis dan metabolisme tubuh dalam upaya mempertahankan diri dengan pengembangan sistem homeostasis yang ada, agar suhu tubuh berada pada kisaran normal. Upaya-upaya tersebut berupa percepatan pengeluaran panas dengan perubahan tingkah laku dan perubahan metabolisme tubuh Corresponding author: sugitofkhunsyiah@yahoo.co.id (Hillman et al., 2000; Aengwanich dan Simaraks, 2004). Cekaman panas pada ayam broiler dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, diantaranya gangguan pertumbuhan. Pada ayam broiler berumur hari yang dipelihara suhu di atas 31 o C selama pemeliharaan menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25%, jika dibadingkan dengan pemeliharaan pada suhu 21,1-22,2 o C (Cooper dan Washburn, 1998; Kuczynski, 2002). Kondisi suhu lingkungan yang fluktuatif akhir-akhir ini dapat menimbulkan efek langsung pada pemelihara ayam broiler. Untuk itu telah dilakukan penelitian untuk mengetahui efek peningkatan suhu dalam kandang terhadap profil hematologi dan pertambahan bobot badan ayam broiler berumur diatas 20 hari. MATERI DAN METODE PENELITIAN Kandang. Kandang yang digunakan adalah kandang berlantai berukuran 1 x 1,3 x 1 m sebanyak 4 buah. Suhu pada kandang berpemanas, ditingkatkan dengan cara mengalirkan panas melalui sumber panas (heater). Masing-masing kandang tersebut dipasang lampu pijar 60 watt dan dibuat 1 buah 10

14 cendela berukuran 20 x 30 cm serta termometer digital untuk mengontrol suhu dalam kandang agar sesuai dengan perlakuan. Keadaan suhu pada kandang kontrol sengaja tidak dipatok pada suhu tertentu, karena diharapkan mengikuti pola suhu harian secara alami pada saat penelitian ini dilaksanakan. Alat pemanas. Alat pemanas yang digunakan, dirancang sedemikian rupa sehingga panas yang dihasilkan dapat dialirkan ke dalam kandang berpemanas. Komponen yang digunakan terdiri: 1). sumber pembangkit panas berbentuk spiral terbuat dari lilitan kawat nikelin berdaya 1000 Watt; 2). kipas angin kecil (ventilating fan) 400 mm untuk mendorong panas yang dihasilkan kawat nikelin. Untuk mengontrol suhu di dalam kandang dipasang termoregulator berupa termostat yang memiliki switch berskala 0 sampai 40 o C. Pemberian cekaman panas dilakukan dengan cara meningkatkan suhu dalam kandang secara perlahan dimulai kira-kira dari jam pagi dan dipertahankan stabil pada suhu perlakuan selama 4 jam. Demikian juga penurunan suhu ruangan dilakukan secara gradual sampai sesuai dengan suhu di luar lingkungan kandang. Untuk mengetahui temperatur dan kelembaban dalam kandang, dipakai termometer dan higrometer digital. Pemberian cekaman panas secara temporal ini (4 jam/hari) dilakukan selama 7 hari. Hewan Penelitian. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler betina jenis pedaging galur Cobb berumur 20 hari. Sebelumnya ayam diadaptasikan selama 5 hari. Selama masa adaptasi ayam diberi pakan dan air minum secara ad libitum. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan ayam pedaging starter siap pakai kode IF-511. Hasil analisis proksimat pakan diketahui bahwa kadar: protein kasar 18,7%, lemak kasar 6,8%, serat kasar 4,7%, dan energi bruto 3945,5 kal/g. Vaksinasi ND diberikan pada umur 4 dan 18 hari. Perlakuan Penelitian. Perlakuan yang diberikan terdiri dari 4 perlakuan berupa peningkatan suhu dalam kandang (cekaman panas), yaitu: (1). 33,0 ± 1 o C, (2). 36,0 ± 1 o C, (3). 39,0 ± 1 o C, dan (4). kontrol yaitu tanpa diberi perlakuan cekaman panas (mengikuti suhu harian selama penelitian). Masing-masing perlakuan terdiri 4 ulangan. Kondisi suhu dan kelembaban harian pada kandang kontrol selama penelitian pada siang hari adalah 26,9-28,7 o C dan kelembaban 64,6-70,9%. Rata-rata bobot badan ayam pada awal penelitian adalah 571,5 ± 18,6 g. Penimbangan bobot badan ayam dilakukan pada hari ke-1, 3, 5, dan ke-7 pelaksanaan penelitian. Pengambilan Sampel Darah. Pengambilan sampel darah dilakukan pada hari ke-7 pelaksanaan penelitian. Untuk menghindari efek stres karena pengambilan darah, pengambilan darah dilakukan langsung pada jantung dan setelah itu ayam disembelih. Pengambilan darah pada masing-masing perlakuan dilakukan setelah suhu dalam kandang percobaan sama dengan suhu lingkungan (2 jam setelah heater dimatikan). Sampel darah yang diambil digunakan sebagai materi pemeriksaan: hemoglobin (Hb), packed cell volume (PCV), jumlah sel darah merah (eritrosit), dan jumlah sel darah putih (leukosit). Analisis Statistik Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada peubah yang diukur dilakukan uji statistik analisis ragam rancangan acak lengkap. Bila hasil menunjukkan adanya pengaruh perlakuan, analisis dilanjutkan dengan uji beda Duncan. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD). Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan program Minitab 14 for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Hematologi Peningkatan suhu dalam kandang antara 33 sampai 39 ± 1 o C selama 7 hari tidak menunjukkan adanya pengaruh pada jumlah packed cell volume (PCV = hematokrit) dan hemoglobin (Hb). Pengaruh peningkatan suhu dalam kandang antara 33 sampai 39 ± 1 o C selama 7 hari terlihat pada jumlah eritrosit dan leukosit (P<0,05). Pada ayam broiler yang dipelihara pada suhu kandang 39 ± 1 o C menyebabkan penurunan (P<0,05) jumlah eritrosit dan peningkatan jumlah sel leukosit. Rata-rata jumlah eritrosit, hemoglobin (Hb), packed cell volume (PCV), leukosit, dan rasio heterofil dan limfosit (H:L) ayam broiler yang diberi 11

15 perlakuan cekaman panas (peningkatan suhu dalam kandang) ditampilkan pada Tabel 1. Cekaman panas yang dialamai ayam pada suhu kandang sampai 39 ± 1 o C selama 7 hari dengan lama waktu terpapar 4 jam perhari belum berpengaruhnya terhadap kadar PCV dan Hb ayam broiler sejalan seperti yang dilaporkan Altan et al. (2000), Aengwanich dan Chinrasri (2003) serta Bedanova et al. (2003). Tidak terlihatnya perubahan PCV dan Hb ayam pada penelitian ini diduga pemberian cekaman panas pada suhu ± 1 o C selama 4 jam per hari sejak ayam berumur 20 hari belum berdampak pada hematopoesis ayam. Pada ayam broiler yang berumur lebih dari 20 hari, suhu kritis (dapat menyebabkan kematian tiba-tiba) berkisar antara C. Peningkatan suhu yang diberikan pada penelitian ini (39 ± 1 o C) relatif lebih rendah dari batasan suhu kritis tersebut, sehingga masih mampu direspon untuk dinetralisir. Aengwanich et al. (2003) melaporkan bahwa pada ayam broiler yang berumur lebih dari 28 hari diberi cekaman panas pada suhu 32 ± 1 o C selama 5 jam per hari menyebabkan secara nyata peningkatan profil hematologi setelah diberikan selama 14 hari. Tabel 1. Rata-rata (±SD) jumlah eritrosit (x 10 6 / l), hemoglobin (Hb), packed cell volume (PCV), dan jumlah leukosit (x 10 3 / l) ayam broiler yang diberi perlakuan cekaman panas pada suhu kandang yang berbeda Perlakuan Hematologi Kontrol SK-33 SK-36 SK-39 Eritrosit 2,5 ± 0,2 a 2,1 ± 0,2 ab 2,0 ± 0,2 ab 1,8 ± 0,4 b PCV 29,5 ± 1,8 26,5 ± 1,8 25,3 ± 2,5 24,7 ± 3,8 Hb 10,8 ± 1,6 9,3 ± 1,2 8,9 ± 1,0 8,5 ± 0,6 Leukosit 17,7 ± 4,1 a 21,2 ± 2,4 a 22,8 ± 2,3 a 24,6 ± 4,3 b * Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Keterangan: SK-33 = suhu dalam kandang 33 ± 1 o C; SK-36 = suhu dalam kandang 36 ± 1 o C; dan SK-39 = suhu dalam kandang 33 ± 1 o C. Peningkatan jumlah leukosit pada ayam yang mengalami cekaman panas pada penelitian ini disebabkan aktivitas hormon glukokortikoid. Pada ayam yang mengalami cekaman menyebabkan peningkatan pelepasan hormon glukokortikoid (Hillman et al., 2000) dan Scope et al. (2001). Keberadaan reseptor glukokortikoid pada berbagai sel pembentuk sel-sel pertahanan akan mengganggu fungsi nukleus faktor-kaffa B (NF- B) yang mengatur gen pembentukan sitokin untuk pengaturan produksi sel-sel imun. Perubahan ekspresi gen yang diperantarai glukokortikoid ini dapat mengganggu produksi sel-sel leukosit (Gupta dan Lalchhandama, 2002; Padgett dan Glaser, 2003). Menurut Aengwanich dan Chinrasri (2003) profil hematologi pada ayam broiler yang dipelihara pada suhu o C adalah jumlah eritrosit: 2,68 ± 0,39 (x 10 6 / l); PCV: 29,20 ± 0,9%; Hb: 6,95 ± 0,95 (%);dan leukosit: 1,06 ± 0,16 (x 10 4 / l). Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) ayam setelah dipelihara pada kandang dengan suhu 33 ± 1 o C, 36 ± 1 o C, dan 39 ± 1 o C selama 3, 5, dan 7 hari dengan lama waktu pemberian 4 jam/hari disajikan pada Tabel 2. Peningkatan suhu dalam kandang dan lama waktu ayam dipelihara memiliki interaksi yang kuat (P<0,05) terhadap turunnya PBBH ayam, terutama setelah ayam dipelihara selama 7 hari pada suhu kandang 39 ± 1 o C. Interaksi kedua faktor tersebut dapat menurunkan PBBH karena suhu panas dan lamanya waktu menerima cekaman panas berdampak langsung terhadap penurunan jumlah pakan yang dikonsumsi dan peningkatan jumlah konsumsi air minum. Rendahnya konsumsi pakan dan meningkatnya konsumsi air minum pada suhu panas tersebut merupakan usaha ayam untuk menekan kelebihan panas dalam tubuh. Dengan cara ayam mengurangi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum diharapkan pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang, meskipun disisi lain dengan kurangnya asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Umumnya ayam yang mengalami cekaman panas berusaha mengurangi konsumsi pakan dalam upaya mengurangi penimbunan panas yang lebih banyak (Cooper dan Washburn, 1998). Pada ayam yang dipelihara di luar kandang berpemanas, temperatur dan kelembabannya lebih rendah, sehingga penggunaan energi oleh ayam menjadi lebih efisien. Penggunaan energi tidak banyak terbuang untuk homeostasis, seperti megap-megap (panting) dalam upaya tubuh melepas panas endoterm (Cooper dan Washburn, 1998; Austic, 2000; Al-Fataftah dan Abu-Dieyeh, 2007). 12

16 Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) ayam broiler pada hari ke-3, 5, dan ke-7 penelitian pada ayam broiler kelompok kontrol dan perlakuan Perlakuan Pertambahan Bobot Badan Harian (gr/hari/ekor) hari ke-3 hari ke-5 hari ke-7 Kontrol 36,7 ± 7,1 a 40,0 ± 6,3 a 46,7 ± 6,7 A SK-33 35,6 ± 7,3 ab 35,0 ± 5,5 b 33,3 ± 5,7 B SK-36 32,2 ± 6,7 b 31,7 ± 7,5 b 26,7 ± 4,8 BC SK-39 32,2 ± 8,3 b 28,3 ± 4,1 b 23,3 ± 5,8 C * Huruf kecil dan besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama, berturut-turut menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) dan (P<0,01). Keterangan: Suhu pada kandang kontrol: 30,5 ± 0.7 o C; SK-33 = suhu dalam kandang 33 ± 1 o C; SK-36 = suhu dalam kandang 36 ± 1 o C; dan SK-39 = suhu dalam kandang 39 ± 1 o C. Peningkatan suhu dalam kandang sampai dengan suhu 39 ± 1 o C belum menunjukkan efek penurunan PBBH bila diberikan selama 5 hari dengan lama waktu pemberian 4 jam/hari. Pengaruh yang belum terlihat pada PBBH akibat peningkatan suhu kandang pada suhu 33 ± 1 o C, 36 ± 1 o C, dan 39 ± 1 o C yang diberikan sampai hari ke-5, diduga lama waktu pemberian 4 jam/hari masih dapat ditoleransi oleh tubuh ayam, meskipun suhu tersebut berada diluar zona suhu kenyamanan hidup ayam. Menurut Hillman et al. (2000) bahwa zona suhu untuk kenyamanan hidup ayam yang berkisar antara 24 dan 27 o C. Borrel (2001) menjelaskan peningkatan suhu dalam kandang pemeliharan ayam broiler pada siang hari masih dapat ditoleransi bila lama peningkatan berkisar 2-3 jam. Sebab dalam masa tersebut perubahan metabolisme (proses homeostasis) akibat peningkatan sekresi hormon stres (hormon glukokortikoid) belum menimbulkan efek buruk. Peningkatan suhu memperlihatkan efek yang sangat nyata (P<0,01) pada PBBH ayam broiler setelah diberikan selama 7 hari. Pemeliharaan ayam pada suhu kandang 33 ± 1 o C, 36 ± 1 o C, dan 39 ± 1 o C selama 7 hari dapat menyebabkan penurunan PBBH ayam broiler berturut-turut sebesar 28,7, 42,8, dan 50,1% dibandingkan dengan PBBH ayam kontrol. Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Al- Fataftah dan Abu-Dieyeh (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian cekaman panas pada suhu kandang 35 o C dapat menyebabkan penurunan PBBH mencapai 44% jika dibanding PBBH ayam yang dipelihara pada suhu 25 o C. Dampak penurunan PBBH ayam yang baru terlihat setelah diberi cekaman panas selama 7 hari terkait dengan penambahan umur dan bobot badan ayam. Semakin bertambah umur maka bobot badan ayam juga bertambah dan pertumbuhan bulu yang menutupi tubuh juga semakin sempurna, akibatnya pelepasan panas tubuh juga semakin berkurang. Pada saat pertumbuhan bulu semakin semakin sempurna, ayam menjadi semakin rentan dengan kenaikan suhu lingkungan. Artinya ayam menjadi lebih mudah stres karena panas, hal ini disebabkan kemampuan tubuhnya untuk melepaskan panas endotermnya juga semakin menurun. Oleh sebab itu peningkatan suhu lingkungan melebihi kisaran zona suhu kenyamanan menyebabkan stres (cekaman) panas pada ayam broiler. Ayam broiler akan mengalami cekaman panas serius bila suhu lingkungan lebih tinggi dari 32 o C dan akan menyebabkan penurunan bobot badan (Cooper dan Washburn, 1998; Austic, 2000). Pada saat ayam menghadapi cekaman panas, tubuh beradaptasi melalui proses homeostasis tubuh, sehingga panas yang dilepaskan sebanding dengan panas yang diterima dan yang dibentuk dalam tubuh (Lin et al., 2005). Sugito dan Delima (2009) melaporkan bahwa peningkatan suhu dalam kandang berpengaruh nyata terhadap peningkatan suhu tubuh ayam. Menurut Hillman et al. (2000) dan Lin et al. (2005) peningkatan suhu tubuh pada ayam yang mengalami cekaman panas disebabkan berkurangnya kemampuan pelepasan panas endoterm secara nonevaporasi. Pertumbuhan bulu yang menutupi tubuh menjadi salah satu faktor terganggunya pelepasan panas tubuh pada ayam. Untuk itu tubuh merespons pelepasan panas dengan meningkatkan evaporasi melalui pernapasan, dengan cara panting. KESIMPULAN Peningkatan suhu dalam kandang sampai pada suhu 36 ± 1 o C belum berdampak nyata terhadap profil hematologi dan pertambahan bobot badan harian ayam broiler. Dampak peningkatan suhu dalam kandang baru terlihat pada suhu kandang 39 ± 1 o C yang dipelihara selama 7 hari. Dampak yang terlihat berupa: a). peningkatan jumlah leukosit, b). penurunan jumlah eritrosit, dan c). penurunan 13

17 pertambahan bobot badan harian ayam broiler. Pemeliharaan ayam broiler berumur di atas 20 sampai 27 hari yang dipapar cekaman panas 4 jam perhari pada suhu kandang 39 ± 1 o C dapat menyebabkan cekaman (stres) panas serius pada ayam broiler. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Tri Budi staf pada Laboratorium Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aengwanich, W. dan Simaraks, S., Pathology of heart, lung, liver and kidney in broilers under chronic heat stress. Songklanakarin J. Sci. Technol. 26(3): Aengwanich, W. and Chinrasri, O., Effects of chronic heat stress on red blood cell disorders in broiler chickens. Mahasarakham Univ. J. 21: Aengwanich, W., Pornchai, S., Yupin, P., Thevin, V., Parwadee, P., Suporn, K. and Suchint, S., Effects of ascorbic acid on cell mediated, humoral immune response and pathophysiology of white blood cell in broilers under heat stress. Songklanakarin J. Sci. Technol. 25(3) : Al-Fataftah, A.A.A. and Abu-Dieyeh, Z.H.M., Effect of chronic heat stress on broiler performance in Jordan. Int. J. Poult. Sci. 6 (1): Altan, O., Altan, A., Çabuk, M., Bayraktar, H., Effects of heat stress on some blood parameters in broilers. Turky J. Vet. Anim. Sci. 24: Austic, R.E., Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. Di dalam MK Yousef, editor. Stress Physiology in Livestock Vol III, Poultry. Florida: CRC Pr. hlm Bedanova I., Voslarova, E., Vecerek, V., Strakova, E. and Suchy, P., The haematological profile of broilers under acute and chronic heat stress at 30 ± 1 C level. Folia Vet. 47: Borrel, V.E.H., The biology of stress and its application to livestock housing and transportation assessment. J. Anim. Sci. 79(E. Suppl.):E Cooper, M.A. and Washburn, K.W., The relationships of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poult. Sci. 77: Gupta, B.B.P. and Lalchhandama, K., Molecular mechanisms of glucocorticoid action. Current Sci. 83: Hillman, P.E., Scot, N.R., van Tienhoven, A., Physiological, Responses and Adaptations to Hot and Cold Environments. Di dalam Yousef MK, editor. Stress Physiology in Livestock. Volume 3, Pultry. Florida: CRC Pr. hal: Kuczynski, T., The application of poultry behaviour responses on heat stress to improve heating and ventilation systems efficiency. Electr. J. Pol. Agric. Univ. Vol. 5 and Issue 1. Lin, H., Zhang, H. F., Du, R., Gu, X. H., Zhang, Z. Y., Buyse, J. and Decuypere, E., Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at different ambient temperatures. II. Four weeks of age. Poult. Sci. 84: Padgett, D.A. and Glaser, R., How stress influences the immune response. Trends Immunol. 24(8): Scope, A., Filip, T., Gabler, C. and Resch, F., The influence of stress from transport and handling on hematologic and clinical chemistry blood parameters of racing pigeons (Columba livia domestica). Avian Dis. 46(1): Sugito dan Delima, M., Dampak Cekaman Panas terhadap Pertambahan Bobot Badan, Rasio Heterofil:Limfosit, dan Suhu Tubuh Ayam Broiler. J. Ked. Hewan. 3 (1): St-Pierre, N.R., Cobanov, B. and Schnitkey, G., Economic losses from heat stress by US livestock industries. J. Dairy Sci. 86:E52-E77. 14

18 Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) dalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging (Effect of prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit (Metroxylon sago Rottb.) in the ration on broiler performance) Muhammad Daud 1, Wiranda G Piliang 2, Komang G Wiryawan 2 dan Agus Setiyono 3 1 Fakultas Pertanian, Universitas Abulyatama-Aceh 2 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Prebiotic oligosaccharides are thought to provide beneficial effects in the gastrointestinal tract of humans and animals by stimulating growth of selected members of the intestinal microflora. Prebiotic oligosaccharides are defined as nondigestible food ingredients that provide beneficial effects to the host by stimulating the growth of selected microbial members of the gastrointestinal tract. Among the colonic bacteria capable of metabolizing prebiotic oligosaccharides and whose growth is stimulated are species of Lactobacillus and Bifidobacterium. Prebiotic oligosaccharides can be produced in transglicosylation reactions catalyzed by glycosidases. Glycosidases from different biological sources have specific ability to catalyze the formation of oligosaccharides with particular chain lengths (usually DP < 7) and predominant glycosidic linkages. Oligosaccharide used this research was purified rumbia fruit extract as prebiotic for feed additive in the ration on broiler. The objectives of this research were to study the performance of broiler given of prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit (metroxylon sago Rottb.) in the ration. Two hundred day-old chicks of broiler were divided into three dietary treatments and four replications. Ration used was consisted of: R1 = basal ration (control), R2 = basal ration + 0,4% oligosaccharide extract rumbia fruit, and R3 = basal ration + 0,4% frukto-oligosaccharide (FOS). The variables observed were: feed consumption, body weight, feed conversion ratio, mortality, and production index. The result showed that the performances of the broiler supplemented prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit (R2) was significantly (P < 0.05) differences between of feed consumption, body weight, and mortality. It is concluded that of prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit were able to decrease the mortality and feed consumption at six week of age. Key words: Prebiotic, oligosaccharide, rumbia fruit, performance, broilers 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: PENDAHULUAN 3 Tingginya kewaspadaan konsumen terutama di negara-negara maju terhadap makanan yang dikonsumsi terutama makanan yang berasal dari produk hewani dan semakin disadari bahwa fungsi pangan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat lain terhadap kesehatan. Kepedulian masyarakat akan kesehatan menjadi peluang bagi peneliti untuk mengembangkan produk ternak yang berkhasiat bagi kesehatan. Salah satunya adalah dengan pemberian prebiotik Corresponding author: daewood_vt@yahoo.co.id sebagai nutrisi untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri menguntungkan di dalam saluran pencernaan seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus yang pada gilirannya dapat meningkatkan resistensi tubuh dan tidak meninggalkan residu pada produk ternak sehingga aman bagi manusia yang mengkonsumsinya. Prebiotik merupakan bahan pakan berupa serat yang tidak dapat dicerna oleh ternak berperut tunggal (monogastrik seperti ayam dan babi). Serat tersebut dapat menjadi pemicu untuk peningkatan bakteri yang menguntungkan bagi ternak seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria, sehingga dapat meningkatkan 15

19 kesehatan inang (Salminen et al. 1998; Manning et al. 2004; Gibson 2004; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida dapat bertindak sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti biji-bijian, buahbuahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya. Oligosakarida juga dapat diperoleh dengan cara hidrolisis atau proses enzimatis polisakarida, seperti pati dan serat kasar (Manning et al. 2004). Bahan yang banyak mendapat perhatian dan sukses dipakai sebagai prebiotik adalah non-digestible oligosaccharide yang salah satunya adalah fruktooligosakarida (FOS) dan inulin. Fruktooligosakarida dan inulin berperan dalam memperbaiki kesehatan dengan jalan memodifikasi keseimbangan mikroflora usus (Crittenden, 1999) dan secara selektif merangsang pertumbuhan bakteri menguntungkan seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria (Cumming et al., 2001). Karbohidrat spesifik tersebut berfungsi sebagai makanan bagi bakteri yang menguntungkan (Patterson dan Burkholder, 2003). Bahan ini di alam banyak terdapat pada tanaman-tanaman sebagai berikut : Hellanthus tuberosus (15-20%), Cichorium intybus (13-20%), Asparagus (2-3%), Allium cepa (2-6%) (Spiegel, 1994). Namun sejauh ini belum ada informasi tentang pemanfaatan buah rumbia (Metroxylon sago Rottb.) yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat ditingkatkan nilai gunanya sebagai salah satu sumber prebiotik dalam rangka pendayagunaan bahan alam, yang belum termanfaatkan, murah dan mudah diperoleh untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus dalam saluran pencernaan. Mengamati hal tersebut, perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang potensi buah rumbia (Metroxylon sago Rottb.) melalui penggunaan oligosakarida hasil ekstraksi dan purifikasi dari tepung buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik dalam upaya penerapan strategi penyediaan feed additive yang tidak melibatkan penggunaan antibiotik dalam ransum ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1). Melihat respon pertumbuhan dan penampilan ayam pedaging dari penggunaan prebiotik oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia. 2). Meningkatkan potensi dan nilai guna buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik dalam ransum ternak. MATERI DAN METODE Penelitian ini telah dilakukan di kandang B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi penelitian yang digunakan adalah ayam pedaging umur sehari (DOC) strain Jumbo seri A Cibadak sebanyak 200 ekor, yang dibagi ke dalam 3 perlakuan, dimana setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 17 ekor. Kandang yang digunakan adalah kandang litter sebanyak 12 unit dengan ukuran masing-masing 200 x 200 cm, dengan alas sekam padi setebal 10 cm, dan dilengkapi tempat ransum dan air minum serta lampu pijar 40 watt sebagai penerang kandang. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal tanpa antibiotik, yang terdiri dari 2 jenis yaitu : (1). Ransum periode starter (umur 0-3 minggu) dengan kandungan protein 21-23% dan energi metabolis Kkal/kg, dan (2). Ransum periode finisher (umur 3-6 minggu) dengan kandungan protein 19-21% dan energi metabolis Kkal/kg. Semua ransum perlakuan menggunakan bahan pakan yang sama, hanya berbeda pada pemakaian oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia dan fruktooligosakarida (FOS) sebagai sumber prebiotik. Bahan ransum yang digunakan terdiri dari jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak gandum, bungkil kelapa, DL-Methionine, dan L-Lysine (Tabel 1). Tabel 1. Susunan dan kandungan nutrisi ransum penelitian Komposisi Bahan penyusun Finisher Starter (0-3 ransum (3-6 minggu) Jagung kuning (%) Bungkil kedelai (%) Tepung ikan (%) Dedak gandum (%) minggu) ,5 7,0 16

20 Bungkil kelapa (%) DL-Methionine (%) L-Lysine (%) 6,5 0,5 1,0 7,0 0,7 0,8 Total Kandungan ransum Bahan kering (%) Abu (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium Phosphor nutrisi 86,87 7,52 21,81 3,08 4,74 1, ,09 7,87 20,02 3,34 3,98 1, 35 0, Energi metabolisme (kkal/kg) Hasil analisa : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Ransum perlakuan yang diberikan pada ayam pedaging selama penelitian (umur 0-6 minggu) adalah sebagai berikut : R1 = Ransum basal (kontrol), R2 = Ransum basal + 0,4% oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia, dan R3 = Ransum basal + 0,4% fruktooligosakarida (FOS). Oligosakarida yang digunakan merupakan hasil ekstraksi dan purifikasi dari tepung buah rumbia yang dilakukan di Laboratorium Seafast Center Institut Pertanian Bogor. Selama penelitian berlangsung ransum ayam pedaging diberikan secara ad libitum (umur 0-6 minggu). Peubah yang diamati meliputi : konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, konversi ransum, mortalitas, dan indek produksi ayam pedaging umur enam minggu. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 4 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analisis of Variance) dan apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan dialnjutkan dengan uji Duncan s Multiple Range Test menurut Steel dan Torrie (1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan aspek terpenting dalam melakukan evaluasi terhadap nutrisi pakan, karena keragaman penampilan sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia (R2) pada minggu pertama (0-1 minggu) dan pada minggu terakhir (5-6 minggu) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum (Tabel 2). Hasil uji lanjut Duncan konsumsi ransum pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R1 (kontrol), namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan R3. Sedangkan konsumsi ransum secara akumulatif (0-6 minggu) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara perlakuan. Rendahnya konsumsi ransum pada perlakuan R2 memberi pengaruh yang positif yang ditandainya dengan meningkatnya efisiensi ransum apabila dibandingkan dengan perlakuan R1 (kontrol). Tabel 2. Rataan konsumsi ransum ayam pedaging (g/ekor/minggu dan akumulatif) Perlakua Umur (minggu) n R1 182,1±11,9 b 406,4 ± 73,8 653,1 ± 34,9 713,2 ±48,5 909,1 ± 183,8 953,3 ±274,1 b R2 136,2±34,9 a 445,5 ±119,6 696,6 ±117,9 717,1 ±43,3 884,9 ± ,1 ±293,7 a R3 147,4±1,70 ab 421,9 ± 16,4 713,6± 42,9 695,5 ±13,7 939,0 ± 20,7 826,7±190,5 ab Konsumsi ransum akumulatif R1 182,1±11,9 588,6± 69,0 1241,7±87,1 1954,9 ±95,1 2864,0±238,6 3817,3±477,7 R2 136,2±34,9 581,7± 151,5 1278,4± ,5 ±232,8 2880,4 ±195, ±302.5 R3 147,4±1, ± 6, ± ,4 ±16,8 2936,5 ±11, ±103.9 Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai standart performan ayam pedaging. Tabel 3 menujukkan bahwa pertambahan bobot badan ayam pedaging pada umur 4-5 minggu dan 5-6 minggu menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, demikian juga pertambahan bobot badan secara akumulatif (0-6 minggu) 17

21 berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan yang terdapat pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ransum yang mengandung prebiotik oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia dapat meningkatkan daya cerna dan akhirnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ayam pedaging. Li et al. (2008) melaporkan prebiotik berperan sebagai nutrisi terhadap probiotik sehingga dapat meningkatkan keseimbangan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan, sementara bakteri probiotik dapat menghasilkan produk metabolisme yang bermanfaat bagi tubuh ternak. Tabel 3. Rataan bobot badan awal dan pertambahan bobot badan ayam pedaging (g/ekor/minggu dan akumulatif) Perlakuan Umur (minggu) BB Awal R ,2±8,76 202,9±34,37 327,5±90,1 353,6±82,0 261,4±159.8 b 349,3±55,8 b R ,4±20,85 170,8±39,45 369,2±59,9 388,8±25,5 367,5±94.6 a 398,6±77,4 a R ,1±19,38 168,0±35,88 357,5±52,8 368,0±36,9 395,7±96.2 a 299,5±75,1 c Pertambahan bobot badan akumulatif (g/ekor) BB Awal R ,8±9,0 343,7±25,7 671,2± ,9±111,4 1286,3±108,4 1704,8±91.3 b R ,4± ,2±21,8 672,5±57,2 1061,3±72,8 1428,8±145,9 1852,4±5,7 a R ,5± ,5±4,2 660,0± ,3±70,4 1450,0±129,1 1762,0±126,1 b Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Bobot Badan Akhir Hasil analisis statistik terhadap bobot badan akhir yang diperoleh pada akhir penelitian menunjukkan bahwa bobot badan akhir pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan R1 (kontrol), namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan R3 (Tabel 4). Peningkatan bobot badan akhir ayam pedaging yang terdapat pada perlakuan R2 ini kemungkinan dipengaruhi oleh produk metabolisme dari bakteri asam laktat dan prebiotik yang terdapat dalam saluran pencernaan, salah satunya menghasilkan enzim yang turut meningkatkan penyerapan zat makanan dalam tubuh sehingga secara langsung produk metabolisme tersebut dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk membentuk atau menambah ukuran jaringan baru. Hasil dari pertumbuhan ataupun perkembangan jaringan baru tersebut akan mempengaruhi bobot badan akhir ayam pedaging. Semakin tinggi laju pertambahan bobot badan maka semakin besar bobot badan akhir yang diperoleh. Tabel 4. Rataan bobot badan akhir ayam pedaging umur enam minggu (g/ekor) Perlakuan Bobot Badan Akhir R1 (Kontrol) 1743,3 ± 91.3 b R2 (Prebiotik Oligosakarida) 1890,4 ± 5,7 a R3 (Prebiotik FOS) 1800,4 ± 126,1 b Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Konversi Ransum Konversi ransum merupakan salah satu standart yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Semakin rendah angka konversi ransum, maka semakin tinggi keberhasilan pemeliharaan ayam pedaging. Semakin rendah nilai konversi ransum berarti kualitas ransum semakin baik. Demikian sebaliknya semakin tinggi nilai konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Hasil analisis statistik terhadap nilai konversi ransum baik dalam mingguan maupun secara akumulatif yang terdapat pada penelitian ini (Tabel 5) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara perlakuan, namun nilai konversi ransum secara numerik paling rendah terdapat pada perlakuan R2 (prebiotik oligosakarida) yaitu (1,99±0,21). Rendahnya nilai konversi ransum pada perlakuan R2 kemungkinan disebabkan oleh produk metabolisme yang terdapat dalam prebiotik oligosakarida diduga dapat meningkatkan bakteri probiotik di dalam saluran pencernaan dan turut membantu meningkatkan penyerapan 18

22 zat makanan dalam tubuh sehingga secara langsung produk metabolisme tersebut dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk membentuk atau menambah ukuran jaringan baru, sehingga dapat memperbaiki konversi ransum. Rendahnya nilai konversi ransum yang terdapat pada perlakuan R2 memberikan pengaruh positif yang ditandai dengan rendahnya jumlah konsumsi ransum apabila dibandingkan dengan perlakuan R1. Hal ini memberi indikasi bahwa ransum yang mengandung prebiotik oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia (R2) merupakan ransum yang paling efisien untuk mencapai pertumbuhan ayam pedaging yang maksimal. Yusrizal dan Chen, (2003) melaporkan bahwa penggunaan prebiotik dalam ransum dapat memperbaiki pertambahan bobot badan, konversi ransum dan berat karkas ayam pedaging. Tabel 5. Rataan nilai konversi ransum ayam pedaging (g/ekor/minggu dan akumulatif) Perlakuan Umur (minggu) R1 1,29±0,07 1,17±0,13 0,98±0,14 0,69±0,04 0,71±0,18 0,56±0,17 R2 1,03±0,27 1,47±0,42 1,03±0,14 0,67±0,07 0,62±0,08 0,43±0,17 R3 1,11±0,14 1,44±0,06 1,08±0,10 0,66±0,05 0,61±0,05 0,46±0,10 Konversi ransum akumulatif (g/ekor) R1 1,29±0,07 1,71±0,11 1,87±0,29 1,92±0,24 2,24±0,32 2,24±0,36 R2 1,03±0,27 1,93±0,54 1,90±0,37 1,88±0,21 2,02±0,13 1,99±0,21 R3 1,11±0,14 1,86±0,10 2,03±0,07 1,92±0,12 2,03±0,18 2,06±0,15 Mortalitas Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia (R2) memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap persentase mortalitas ayam pedaging baik dalam mingguan maupun secara akumulatif. Tabel 6 memperlihatkan bahwa persentase mortalitas terendah terdapat pada ransum perlakuan R2 (prebiotik oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia) baik dalam mingguan maupun secara akumulatif. Rendahnya peersentase mortalitas ayam pedaging yang terdapat pada perlakuan R2 diduga erat hubungannya dengan komposisi bakteri probiotik dalam saluran pencernaan, dimana dengan meningkatnya jumlah bakteri yang menguntungkan didalam saluran pencernaan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi bahwa penggunaan prebiotik oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia dalam ransum dapat menekan mortalitas ayam pedaging umur 6 minggu. Tabel 6. Rataan persentase mortalitas ayam pedaging / minggu dan akumulatif Perlakuan Umur (minggu) R1 3,50±1,00 a 0,75±0,95 0,25±0,50 a 0,50±0,57 a 0,75±1,50 0,50±0,57 a R2 1,00±0,81 b 0,25±0,50 0,00±0,00 b 0,00±0,00 b 0,25±0,50 0,00±0,00 b R3 0,50±1,00 b 0,25±0,50 0,00±0,00 b 0,00±0,00 b 0,25±0,50 0,00±0,00 b Persentase mortalitas akumulatif R1 3,50±1,00 a 4,25±1,25 a 4,50±1,73 a 5,00±2,16 a 5,75±2,21 a 6,25±2,50 a R2 1,00±0,81 b 1,25±0,95 b 1,25±0,95 b 1,25±0,95 b 1,50±1,00 b 1,50±1,00 b R3 0,50±1,00 b 0,75±1,50 b 0,75±1,50 b 0,75±1,50 b 1,00±2,00 b 1,00±2,00 b Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). 19

23 Indek Produksi Salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam usaha peternakan adalah dengan menghitung indeks produksi. Menurut Arifien (1997) tingkat keberhasilan usaha ternak tidak hanya dipengaruhi oleh rendahnya nilai konversi ransum akan tetapi perlu juga dilhat indeks produksinya. Indek produksi dipengaruhi oleh bobot badan akhir persentase ayam yang hidup, lama pemeliharaan dan konversi ransum. Tabel 7 memperlihatkan indek produksi tertinggi diperoleh pada ransum yang mengandung prebiotik oligosakarida (R2) yaitu 222,7 dan prebiotik FOS (R3) yaitu 205,9. Berdasarkan nilai indek produksi yang diperoleh maka kedua perlakuan ransum ini dinyatakan memperoleh prestasi istimewa, hal ini dikarenakan ayam pedaging yang mendapat ransum yang mengandung prebiotik memiliki persentase ayam hidup lebih tinggi dibanding dengan perlakuan kontrol. Tabel 7. Indek produksi ayam pedaging umur enam minggu Peubah Perlakuan R1 R2 R3 Bobot badan akhir (kg) Konversi ransum Persentase ayam hidup Umur panen (hari) Indek produksi Prestasi 1.743,3 2,24 93, ,6 Baik 1.890,4 1,99 98, ,7 Istimewa 1.800,4 2,06 99, ,9 Istimewa KESIMPULAN Penggunaan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia 0,4% dalam ransum dapat memberi pengaruh yang nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, dan mortalitas serta tidak memberikan efek negatif terhadap performan ayam pedaging. DAFTAR PUSTAKA Arifien, M., Kiat menekan konversi pakan pada ayam broiler. Poultry Indonesia Ed-Januari: Cummning, J.H, Macfarlane, G.T., Englyst HN., Prebiotic digestion and fermentation. Am J Clin Nurt 73: Crittenden, R.G., Playne, M.J., Production, properties and applications of food-grade oligosaccharide. Trends in Food Science and Technology,7: Gibson, G.R., Fibre and effects on probiotics (the prebiotic concept). Clinical Nutrition Supplements, 1: Li, X., Liu, L.Q. and Xu, C.L., Effect of supplementation of froctooligosaccharide and/or Bacillus Subtilis to diet on performance and intestinal microflora in broiler. Archiv fur Tierzucht 51: Manning, T.S., Rastall, R., Gibson, G., Prebiotics and Lactic Acid Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwenand A, editor Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekkcr, Inc. hlmn Patterson, J.A. and Burkholder, K.M., Application of prebiotics and probiotics in poultry production. Poult Sci 82: Salminen, S., Bouly, C., Boutron-Ruault MC, Cumming, J.H., Frank, A., Gibson, G.R., Isolauri, E., Moreau, M.C., Roberfroid, M. and Rowland, I., Functional food science gastrointestinal physiology and function. Br J Nutr Suppl 1:S Steel, R.G.D. and Torrie Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. P.T. Gramedia, Jakarta. Spiegel. J.E., Safety and Benefits of Fructo- oligosaccharides as food ingredients. Food Technology Weese, J.S., Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics Elsevier Scien 22 (8). Yusrizal, and Chen, T.C., Effect of adding chicory fructans in feed on broiler growth performance serum cholesterol and intestinal length. International journal of Poultry Science 2,

24 Performa Pertumbuhan Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Ransum Berbagai Taraf Limbah Udang (Growth performance of white rat (Rattus norvegicus) fed by various of shrimp waste levels) Muhammad Sayuti Mas ud 1 dan Aminuddin Parakkasi 2 1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo 2 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT The objectives of this research are to investigate: (1) The effect of shrimp waste levels in experimental diets on feed intake, daily weight gain, and feed convertion (F/G) of white rats; (2) Optimal level of shrimp waste in white rat diets; and (3) The responses of both male and female white rats to shrimp waste levels. 15 male and 15 female white rats were given pellet ration contain shrimp waste for four weeks. The experimental design used in this research is Completely Randomized Design with 2 x 5 factorial arrangement in 3 replications. The A factor was sex (male and female) and the B factor was shrimp waste levels in ration (0% as control. 5%, 10%, 15%, and 20%). The parameters determined are feed intake, weight gain, and feed convertion of white rats. The results indicate that Key words: Shrimp waste, white rat, male, female shrimp waste levels in ration was significantly (P<0.05) affect the dry matter intake, whereas the effect on weight gain and feed convertion of white rats was highly significant (P<0.01). Sex was significantly affect weight gain (P<0.05%), however it was not significance (P>0.05%) on dry matter intake and feed convertion of white rats. There were no interaction (P>0.05%) between shrimp waste levels in ration and sex of white rats. The conclusion of this research that shrimp waste levels in ration of white rats increase dry matter intake and daily weight gain. Whereas, it decreased feed convertion. The optimal level of shrimp waste in the diet for daily weight gain was 19.44%, while optimal feed convertion 16.62%. Male daily weight gain was higher than female Agripet : Vol (9) No. 2: PENDAHULUAN 4 Limbah udang adalah hasil samping industri pengolahan udang beku. Hasil samping tersebut berupa kepala, kulit keras (carapace), dan ekor (uropod) yang dibuang pada industri pembekuan udang (Arlius, 1991). Selama ini limbah udang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif karena dari segi kualitas (nutrisi) dan kuantitas sangat potensial. Ditinjau dari segi kualitas, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa limbah udang mengandung protein kasar sebesar 45% - 55% (Gernat, 2001; Fanimo et al., 2004; Okaye et al., 2005; Khempaka et al., 2006). Ditinjau dari segi kuantitas, tersedia cukup banyak dan kesinambungannya cukup terjamin karena produksi udang Indonesia setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Contoh pada tahun 2007 sebesar ton (DKP, 2008) Corresponding author: m.saym@yahoo.co.id apabila udang segar tersebut diolah menjadi udang beku, maka limbah udang yang diperoleh sebesar 35% - 70% dari bobot utuh (Animal Feed Resources Information System, 2000) yaitu setara ton basah atau ton kering karena bobot keringnya 24,93% (Batubara, 2000). Sejauh ini penelitian tentang pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak telah dilakukan oleh beberapa peneliti terutama untuk pakan unggas (Mirzah, 1990; Supadmo, 1997; Soedibya, 1998; Gernat, 2001; Okaye et al., 2005; Khempaka et al., 2006) dan babi (Fanimo et al., 2004). Namun demikian untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang taraf penggunaan limbah udang dalam ransum supaya dapat dimanfaatkan pada ternak yang bernilai ekonomi cukup tinggi (ruminansia), maka dilakukan penelitian pendahuluan pada tikus Putih (Rattus norvegicus). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh taraf limbah udang dalam ransum terhadap konsumsi ransum, pertam- 21

25 bahan bobot badan, dan konversi ransum tikus Putih; (2) taraf optimal penggunaan limbah udang dalam ransum tikus Putih; dan (3) respon antara jenis kelamin tikus Putih terhadap taraf limbah udang dalam ransumnya. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan tikus Putih (Rattus norvegicus) umur tiga minggu sebanyak 30 ekor (15 ekor jantan dan 15 ekor betina). Bobot badan awal jantan rata-rata g dan betina 70,87 g. Dipelihara dalam kandang berbahan plastik ukuran 39 cm x 42 cm x 15 cm yang disekat menjadi dua bagian, masing-masing untuk jantan dan betina. Kandang diberi alas litter dari kulit gabah dan bagian atasnya ditutup dengan kawat ram. Setiap kandang individu dilengkapi dengan sebuah tempat makan berbahan plastik dan sebuah tempat air minum yang dipasang terbalik berupa botol beling kapasitas 150 ml dengan penutup berbahan karet yang dilengkapi saluran air menggunakan pipa aluminium. Ransum yang digunakan berbentuk pelet (diameter 8 mm dan panjang 1.5 cm) dengan kandungan limbah udang masingmasing 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Limbah udang yang digunakan sebagai bahan ransum adalah dari jenis udang Windu (Paneaus monodon) yang dikeringkan di dalam oven suhu 60 o C, kemudian digiling menjadi tepung. Komposisi bahan dan kandungan nutrien ransum perlakuan seperti pada Tabel 1. Pemeliharaan dilakukan selama lima minggu yaitu minggu pertama untuk masa adaptasi (preliminary) terhadap kandang dan ransum, sedangkan empat minggu berikutnya untuk pengumpulan data. Ransum dan air minum diberikan secara tak terbatas (ad libitum) pada pagi hari, tetapi ransum ditimbang terlebih dahulu sebelum diberikan, begitu juga sisanya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2x5) dengan tiga ulangan. Faktor A adalah jenis kelamin (jantan dan betina) dan faktor B adalah perlakuan (taraf limbah udang dalam ransum) yaitu R1 (0%) sebagai kontrol, R2 (5%), R3 (10%), R4 (15%), dan R5 (20%). Parameter yang diukur tiap minggu adalah konsumsi ransum dan bobot badan. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dengan uji kontras polynomial ortogonal dan uji lanjut dengan perbandingan berganda Duncan serta uji korelasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Tabel 1. Komposisi bahan dan kandungan nutrien ransum Bahan ransum (%): P e r l a k u a n R1 R2 R3 R4 R5 Limbah Udang Windu 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 Jagung Kuning 31,57 33,03 33,47 24,87 46,36 Bungkil Kedele 28,81 24,93 20,81 17,40 18,24 Dedak Halus 26,73 27,83 31,50 39,21 10,11 Minyak Kelapa 1,25 0,93 0,51 1,97 3,79 Premix 11,64 8,28 3,71 1,55 1,50 J u m l a h 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Kandungan nutrien: Protein Kasar (%) 18,00 18,00 18,00 18,00 18,00 Lemak Kasar (%) 5,00 5,00 5,00 7,00 7,00 Serat Kasar (%) 5,07 5,07 5,15 5,26 3,70 Energi Metabolisme (Kkal) 2600, , , , ,00 Ca (%) 0,44 1,41 2,38 3,33 4,37 P (%) 0,43 0,96 1,50 2,10 2,21 MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan tikus Putih (Rattus norvegicus) umur tiga minggu sebanyak 30 ekor (15 ekor jantan dan 15 ekor betina). Bobot badan awal jantan rata-rata g dan betina 70,87 g. Dipelihara dalam kandang berbahan plastik ukuran 39 cm x 42 cm x 15 cm yang disekat menjadi dua bagian, masing-masing untuk jantan dan betina. Kandang diberi alas litter dari kulit gabah dan bagian atasnya ditutup dengan kawat ram. Setiap kandang individu dilengkapi dengan 22

26 sebuah tempat makan berbahan plastik dan sebuah tempat air minum yang dipasang terbalik berupa botol beling kapasitas 150 ml dengan penutup berbahan karet yang dilengkapi saluran air menggunakan pipa aluminium. Ransum yang digunakan berbentuk pelet (diameter 8 mm dan panjang 1.5 cm) dengan kandungan limbah udang masingmasing 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Limbah udang yang digunakan sebagai bahan ransum adalah dari jenis udang Windu (Paneaus monodon) yang dikeringkan di dalam oven suhu 60 o C, kemudian digiling menjadi tepung. Komposisi bahan dan kandungan nutrien ransum perlakuan seperti pada Tabel 1. Pemeliharaan dilakukan selama lima minggu yaitu minggu pertama untuk masa adaptasi (preliminary) terhadap kandang dan ransum, sedangkan empat minggu berikutnya untuk pengumpulan data. Ransum dan air minum diberikan secara tak terbatas (ad libitum) pada pagi hari, tetapi ransum ditimbang terlebih dahulu sebelum diberikan, begitu juga sisanya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2x5) dengan tiga ulangan. Faktor A adalah jenis kelamin (jantan dan betina) dan faktor B adalah perlakuan (taraf limbah udang dalam ransum) yaitu R1 (0%) sebagai kontrol, R2 (5%), R3 (10%), R4 (15%), dan R5 (20%). Parameter yang diukur tiap minggu adalah konsumsi ransum dan bobot badan. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dengan uji kontras polynomial ortogonal dan uji lanjut dengan perbandingan berganda Duncan serta uji korelasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Konsumsi bahan kering ransum (KBKR) adalah jumlah ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum dikali persen bahan kering ransum. Rataan KBKR tikus Putih seperti pada Tabel 2. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa taraf limbah udang dalam ransum (faktor B) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap KBKR, sedangkan jenis kelamin (faktor A) tidak berpengaruh nyata terhadap KBKR dan tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut (A dan B). Tabel 2. Rataan konsumsi bahan kering ransum tikus Putih (g/ekor/hari) Jenis P e r l a k u a n Kelamin R1 R2 R3 R4 R5 Rataan Jantan 6,14 10,40 9,16 8,82 9,02 8,70 Betina 7,32 7,67 7,69 8,42 9,07 8,03 Rataan 6,73 B 9,03 A 8,42 A 8,62 A 9,04 A 8,37 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) diantara taraf limbah udang dalam ransum berdasarkan uji Duncan. Uji Duncan memperlihatkan bahwa KBKR tikus Putih pada perlakuan R1 (6,73) yang tidak diberi limbah udang dalam ransumnya lebih rendah (P<0,05) disbandingkan dengan perlakuan R2 (9,03), R3 (8,42), R4 (8,62), dan R5 (9,04) yang diberi limbah udang, tetapi antara perlakuan R2, R3, R4, dan R5 tidak berbeda. Artinya penggunaan limbah udang dalam ransum tikus Putih meningkatkan KBKR. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan palatabilitas ransum karena adanya bau khas limbah udang yang mungkin disukai tikus Putih. Disamping itu, limbah udang mengandung zat-zat nutrisi yang lengkap (Purwantiningsih, 1990; Shahidi dan Synowiecki, 1992) sehingga meningkatkan kualitas ransum dan konsumsinya. Parakkasi (1999) mengemukakan bahwa tingkat konsumsi atau voluntary feed intake (VFI) menggambarkan palatabilitas ransum. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ransum yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum berkualitas inferior. Hal ini memberi indikasi bahwa penggunaan limbah udang dalam ransum tikus Putih dapat meningkatkan pertambahan bobot badannya. Hubungan antara taraf limbah udang dalam ransum tikus Putih dengan KBKR berdasarkan uji kontras polynomial ortogonal mengikuti persamaan linear (Y = 7, ,421X) dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) = 0,487 (Gambar 1). Dari persamaan tersebut, didapat bahwa setiap kenaikan satu persen penggunaan limbah udang dalam ransum tikus Putih maka KBKR meningkat sebesar 0,421 gram. Akan tetapi tingkat keeratan hubungannya (R 2 ) hanya 48,7% yang berarti keragaman KBKR yang dapat terjelaskan oleh keragaman taraf limbah udang dalam ransum tikus Putih persentasenya relatif rendah. 23

27 sesuai pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa pertumbuhan tikus jantan lebih cepat dibandingkan dengan betina dan bobot tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram. Terjadinya perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh hormon kelamin (testosteron). Gambar 1. Hubungan antara perlakuan dengan konsumsi bahan kering ransum tikus Putih Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan (PBB) adalah bobot akhir dikurang bobot awal dibagi waktu pemeliharaan. Rataan PBB tikus Putih seperti pada Tabel 3. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kelamin (faktor A) berpengaruh nyata (P<0,05) dan perlakuan (faktor B) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap PBB tikus Putih. Akan tetapi tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut (A dan B). Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan tikus Putih (g/ekor/hari) Jenis P e r l a k u a n Kelamin R1 R2 R3 R4 R5 Rataan Jantan 0,97 2,44 2,91 3,62 3,48 2,69 A Betina 0,85 1,76 2,02 3,62 3,02 2,25 B Rataan 0,91 C 2,10 B 2,47 B 3,62 A 3,25 A 2,47 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) diantara taraf limbah udang dalam ransum dan pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) diantara jenis kelamin berdasarkan uji Duncan. Uji Duncan memperlihatkan bahwa PBB tikus Putih jantan (2,69) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan betina (2,25). Pada Gambar 2, terlihat bahwa pertumbuhan tikus Putih jantan lebih cepat tetapi lebih cepat juga mencapai pertumbuhan optimal. Pertumbuhannya mengikuti persamaan kuadratik Y = - 0, ,899X 0,213X 2 dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) = 0,982. Sedangkan pertumbuhan tikus Putih betina lebih lambat tetapi lebih lambat juga mencapai pertumbuhan optimal. Pertumbuhannya mengikuti persamaan linear Y = 0, ,619X dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) = 0,813. Hal ini Gambar 2. Hubungan antara perlakuan dengan pertambahan bobot badan tikus Putih jantan dan betina Uji Duncan juga memperlihatkan bahwa PBB tikus Putih pada perlakuan R1 (0,91) yang tidak diberi limbah udang dalam ransumnya lebih rendah (P<0,01) disbandingkan dengan perlakuan R2 (2,10), R3 (2,47), R4 (3,62), dan R5 (3,25) yang diberi limbah udang. Begitu pula halnya antara perlakuan R2 dan R3 bila dibandingkan dengan perlakuan R4 dan R5. Artinya semakin meningkat taraf penggunaan limbah udang dalam ransum tikus Putih, semakin meningkat pula PBBnya. Peningkatan tersebut, sangat terkait dengan tingkat KBKR yang tinggi pada ransum yang diberi limbah udang sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini dibuktikan melalui uji korelasi yang menunjukkan bahwa KBKR sangat nyata (P<0,01) terkait dengan PBB mengikuti persamaan linear Y = - 0, ,376X dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0,559. Artinya apabila KBKR naik satu gram, maka PBB meningkat sebesar 0,376 gram. Disamping itu, PBB tikus Putih yang semakin meningkat seiring meningkatnya limbah udang dalam ransumnya, tetapi KBKR relatif sama (Tabel 2) memperlihatkan ada indikasi terjadi peningkatan kecernaan atau penyerapan nutrien limbah udang. Bila dibandingkan dengan penggunaan cangkang rajungan dalam ransum (PBB tertinggi 1,85 g/ekor/hari) yang dilakukan oleh Warsono, Fattah, dan Parakkasi 24

28 (2004), maka penggunaan limbah udang jauh lebih baik (PBB tertinggi 3,62 g/ekor/hari). Berdasarkan uji kontras polynomial ortogonal, hubungan antara taraf limbah udang dalam ransum dengan PBB tikus Putih mengikuti persamaan kuadratik (Y = - 0,56 + 1,622X - 0,167X 2 ) dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) = 0,940 (Gambar 3). Dari persamaan tersebut, didapat bahwa untuk mendapatkan PBB yang optimal pada tikus Putih maka limbah udang yang dapat diberikan dalam ransumnya maksimal 19,44%. Apabila penggunaan limbah udang melebihi nilai tersebut, maka terjadi penurunan PBB. Tingkat keeratan hubungannya (R 2 ) 94,0% yang berarti keragaman PBB yang dapat terjelaskan oleh keragaman taraf limbah udang dalam ransum tikus Putih persentasenya sangat tinggi. Gambar 3. Hubungan antara perlakuan dengan pertambahan bobot badan tikus Putih Gambar 4. Hubungan antara perlakuan dengan konversi ransum tikus Putih Konversi Ransum Nilai konversi ransum didapat dari konsumsi bahan kering ransum dibagi bobot badan (Feed/Gain). Rataan nilai konversi ransum tikus Putih seperti pada Tabel 4. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan (faktor B) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konversi ransum, sedangkan jenis kelamin (faktor A) tidak berpengaruh nyata terhadap konversi ransum dan tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut (A dan B). Tabel 4. Rataan nilai konversi ransum tikus Putih Jenis P e r l a k u a n Kelamin R1 R2 R3 R4 R5 Rataan Jantan 6,48 4,52 3,12 2,45 2,59 3,83 Betina 8,67 4,37 3,80 2,38 3,11 4,47 Rataan 7,57 A 4,45 B 3,46 BC 2,42 C 2,85 C 4,15 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) diantara taraf limbah udang dalam ransum berdasarkan uji Duncan. Uji Duncan memperlihatkan bahwa konversi ransum tikus Putih pada perlakuan R1 (7,57) yang tidak diberi limbah udang dalam ransumnya lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan perlakuan R2 (4,45), R3 (3,46), R4 (2,42), dan R5 (2,85) yang diberi limbah udang. Akan tetapi antara perlakuan R3 dengan R2, R4, dan R5 tidak berbeda, namun perlakuan R2 berbeda lebih tinggi disbandingkan dengan perlakuan R4 dan R5. Artinya semakin meningkat taraf penggunaan limbah udang dalam ransum, maka konversi ransum semakin baik atau efisiensi penggunaan ransum semakin meningkat karena jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu gram PBB semakin sedikit. Hal ini terlihat pada KBKR yang relatif sama (Tabel 2), tetapi PBB semakin meningkat (Tabel 3). Terjadinya peningkatan tersebut, kemungkinan disebabkan oleh kualitas ransum yang semakin baik dengan meningkatnya taraf pengunaan limbah udang dalam ransum karena ada indikasi kecernaan limbah udang meningkat sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Yasin dan Indarsih (1988) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi angka konversi ransum adalah kualitas ransum yang sangat erat hubungannya dengan kecernaan ransum tersebut. Makin baik kualitas ransum yang dikonsumsi oleh ternak, akan diikuti oleh pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan makin efisien penggunaan ransumnya (Pond et al., 1995). Uji kontras polynomial ortogonal menunjukkan adanya hubungan antara taraf limbah udang dalam ransum dengan konversi 25

29 ransum mengikuti persamaan kuadratik (Y = 11,11 4,168x + 0,503x 2 ) dengan nilai koefisien determinasi R 2 = 0,985 (Gambar 4). Pada Gambar 4, terlihat bahwa penggunaan limbah udang dalam ransum tikus Putih sampai taraf 15% (R4) menyebabkan konversi ransum semakin menurun, tetapi meningkat kembali pada taraf 20% (R5). Namun demikian dari persamaan tersebut di atas, didapat bahwa untuk mendapatkan konversi ransum yang optimal maka limbah udang yang dapat diberikan dalam ransum tikus Putih maksimal 16,62%. Artinya apabila penggunaan limbah udang melebihi nilai tersebut, maka konversi ransum meningkat atau ransum menjadi kurang efisien. Tingkat keeratan hubungannya (R 2 ) 98,5% yang berarti keragaman konversi ransum yang dapat terjelaskan oleh keragaman taraf limbah udang dalam ransum tikus Putih persentasenya sangat tinggi. Bila dibandingkan dengan besarnya persentase keragaman PBB ransum yang dapat terjelaskan oleh keragaman taraf limbah udang dalam ransum, maka keragaman konversi ransum sedikit lebih baik. KESIMPULAN Penggunaan limbah udang Windu (Paneaus monodon) dalam ransum tikus Putih (Rattus norvegicus) meningkatkan konsumsi bahan kering ransum dan pertambahan bobot badan, sebaliknya menurunkan konversi ransum (feed/gain). Ditinjau dari pertambahan bobot badan yang optimal maka penggunaannya maksimal 19,44%, tetapi bila ditinjau dari konversi ransum yang optimal maka penggunaannya maksimal 16,62%. Pertambahan bobot badan tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan lebih tinggi dibanding betina. DAFTAR PUSTAKA Animal Feed Resources Information System Shrimp Waste. [28 Juni 2005]. Arlius, Mempelajari Ekstrak Khitosan dari Kulit Udang dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Koagulan Protein Limbah Pindang. Tesis Master, Program Pascasarjana IPB, Bogor. Batubara, Z., Limbah Udang Sebagai Sumber Protein Pintas Rumen. Tesis Master, Program Pascasarjana IPB, Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP Pacu Produksi Udang Nasional. ws/242/dkp-pacu-produksi-udangnasional. [09 Oktober 2008]. Fanimo, A.O., Oduguwa, O.O., Oduguwa, B.O., Ajas, O.Y., Jegede, O., Feeding value of shrimp meal for growing pig. [31 Mei 2006]. Gernat, A.G., The effect of using different levels of shrimp meal in laying hen diets. Poult. Sci. 80: Khempaka, S., Koh, K., Karasawa, Y., Effect of shrimp meal on growth performance and digestibility in growing broiler. J. Poult. Sci. 43: Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, I.M., Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-dua. IPB-Press, Bogor. Mirzah Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Udang yang Diolah dan Tanpa Diolah dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Pedaging. Tesis Master, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung. Okaye, F.C., Ojewola, G.S., Njoku-Onu, K., Evaluation of shrimp waste meal as a probable animal protein source for broiler chicken. Int. J. Poult. Sci. 12: Parakkasi, A., Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press, Jakarta. Pond, W.G., Church, D.D., Pond, K.R., Basic Animal Nutrition. 4 th edition. John Willey and Sons, Inc., New York. Purwantiningsih Isolasi Khitin dan Komposisi Senyawa Kimia dari Limbah Udang Windu (Panaeus monodon). Tesis Master, Program Pascasarjana ITB, Bandung. 26

30 Shahidi, F. and Synowiecki, J., Quality and compositional characteristic of newfaunland shellfish processing discard, In: Brine J., Sandford P.A., Zikakis J.P. (eds) Advance in Chitin and Chitosan. Elsevier Applied Scince, London. Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S., Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di daerah Tropis. UI-Press, Jakarta. Sudibya Manipulasi Kadar Kolesterol dan Asam Lemak Omega-3 Telur Ayam Melalui Penggunaan Kepala Udang dan Minyak Ikan Lemuru. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Supadmo Pengaruh Sumber Khitin dan Prekursor Karnitin serta Minyak Ikan Lemuru Terhadap Kadar Lemak dan Kolesterol serta Asam Lemak Omega- 3 Ayam Broiler. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Warsono, I.U., Fattah, M., Parakkasi, A., Pengaruh tepung cangkang rajungan (Portunus pelagicus) dalam ransum terhadap kadar kolesterol serum dan Pertambahan bobot badan tikus putih (Rattus norvegicus). Media Peternakan 82 (2): Yasin, S. dan Indarsih, B., Seluk Beluk Peternakan. Sebuah Bunga Rampai. Anugrah Karya, Jakarta. 27

31 Penggantian Sebagian Ransum Komersial dengan Polar dan Aditif Duck mix terhadap Komposisi Fisik Karkas Itik (The substitution a part of commercial feed with pollard and duck mix additive on duck carcass physic composition) Siti, NI W 1, I.G.L.O. Cakra 1, K. A. Wiyana 1, A.T. Umiarti 1. 1 Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali ABSTRACT The aim of this experiment was to study pollard optimum levels with additive complex mineral vitamin on the carcass physic composition Balinese male duck age 10 weeks, was carried out at Jl. Binginambe, Kediri village, Tabanan Regency. The design which used in this experiment a completely randomized design Those four treatments were ration contain 100% commercial feed (A); ration with 85% commercial feed + 15% pollard + 0,3% duck mix (B); ration with 70% commercial feed + 30% pollard + 0,3% duck mix (C); ration with 55% commercial feed + 45% pollard + 0,3% duck mix (D), respectively. The variables which measured were carcass weight, carcass percent, and carcass physic composition. The result of this experiment showed that the substitution commercial feed with pollard from 15-45% and duck mix were not significant (P >0.05) decrease carcass percent, carcass bone percent than treatment A. Meat percent on treatment B 1.81% non significant (P>0.05) increase than treatment A, but C and D treatments 2.63% and 4.87% significantly increase than treatment A. Subcutan fat on C and D treatments 6.72% and 6.67% significant lower (P <0.05) than treatment A, and D treatment 4.91% significant lower than treatment B. From the result of this experiment can be concluded that substitution pollard from 15%-45% with additive 0.3% duck mix were decrease carcass percent and bone carcass percent, but substitution pollard 30% and 45% can increase meat carcass percent and decrease fat Balinese male duck age 10 weeks Key words : Feed commercial, pollard, duck, carcass physic composition 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: PENDAHULUAN 5 Meningkatnya laju penduduk disertai dengan perkembangan pengetahuan tentang gizi menyebabkan kebutuhan protein hewani, terutama kebutuhan daging mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Daging itik merupakan salah satu produk peternakan yang dapat dijadikan sebagai alternatif sumber protein hewani. Prospek pasar untuk daging itik sangat terbuka. Seperti halnya di daerah Bali daging itik sangat diperlukan untuk kelengkapan upacara agama dan adat istiadat (Nitis, 2006). Saat ini peternak lebih tertarik untuk menggunakan pakan komersial sebagai pakan ternak, karena pakan ini dinilai lebih praktis dan kualitasnya terjamin. Pakan komersial merupakan ransum yang terdiri dari beberapa bahan pakan yang tersusun menurut kebutuhan Corresponding author: siti_fapetunud@yahoo.com gizi yang lengkap dan seimbang namun harganya relatif mahal (Rasyaf, 2004). Biaya pakan sekitar % dari biaya produksi. Hal ini disebabkan ketersediaan bahan baku dari pakan tersebut masih import, sehingga harga pakan menjadi mahal. Oleh sebab itu, perlu diusahakan suatu upaya untuk menekan biaya pakan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara mengganti sebagian dari ransum komersial dengan bahan baku yang lebih murah dan mudah didapat seperti polar. Hartadi et al. (1993) menyatakan bahwa, polar mengandung energi metabolis 2103 k kal/kg, protein kasar 16,1 %, lemak kasar 4,5%, serat kasar 6,6%, kalsium 0,10% dan posfor 0,91%. Pollard sebagai pakan ternak unggas mempunyai faktor pembatas yaitu mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi (Pantaya, 2005). Serat kasar dalam pakan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak, yang pada akhirnya akan berpengaruh 28

32 terhadap karkas dan komposisinya seperti kulit, daging, lemak dan tulang (Zulkaezih dan Budirakhman, 2005). Serat kasar tetap diperlukan oleh ternak unggas dalam jumlah yang sedikit, karena serat kasar dapat merangsang pertumbuhan usus dan sekum (Sutardi, 1997). Selain itu serat kasar berperan sebagai bulky yaitu memperlancar pengeluaran feses (Rizal, 2006). Kandungan serat kasar polisakarida non pati terutama arabinoxilan yang cukup tinggi merupakan anti nutrisi yang dapat mengurangi proses penyerapan asam amino dan mineral dalam saluran pencernaan, sehingga penggunaan polar dalam ransum ternak unggas tidak boleh melebihi 15% (Pantaya, 2005). Selain itu polar juga mangandung asam fitat yang dapat menurunkan absorbsi mineral (Widodo, 2005). Mineral merupakan senyawa anorganik yang esensial dibutuhkan untuk maintenans, pertumbuhan jaringan dan kesehatan (Mastika, 2001). Untuk memenuhi kebutuhan mineral pada ternak, maka ke dalam ransum dapat ditambahkan mineral khusus. Penelitian yang dilporkan oleh Wardani et al. (2004) bahwa, penambahan enzim cairan rumen ke dalam ransum yang mengandung polar yang diperoses secara steam pelleting dapat meningkatkan penyerapan energi pada ayam broiler, karena terjadi degradasi arabinoxilan. Sukada et al. (2007) mendapatkan bahwa pengunaan pakan berserat 15% (polar dan kulit ari kacang kedelai) terfermentasi dapat meningkatkan berat potong, berat karkas dan persentase karkas itik. Pitoyo (2005) mendapatkan bahwa penggunaan 30% dedak padi dengan penambahan optizyme dalam ransum dapat meningkatkan berat potong ayam broiler. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan itik Bali jantan umur tiga minggu sebanyak 60 ekor, dengan berat badan ,8 gram. Bibit itik diperoleh dari salah satu perusahaan penetasan itik di daerah Kediri, Kabupaten Tabanan. Penelitian menggunakan kandang battery colony sebanyak 20 petak. Setiap petak kandang mempunyai ukuran panjang x lebar x tinggi, yaitu 75 x 65 x 45 cm, tinggi lantai kandang dari permukaan tanah adalah 30 cm. Setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Penelitian menggunakan ransum komersial BR I yang diproduksi oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk, pollard dengan merek Onta yang diproduksi oleh PT. Bogasari Flour Mills Indonesia dan duck mix. Komposisi bahan penyusun ransum dan kandungan nutrisi ransum dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima kali ulangan. Keempat perlakuan tersebut adalah itik yang diberi pakan komersial 100% sebagai perlakuan A (kontrol), itik yang diberi pakan komersial 85% + pollard 15% + duck mix 0,3% sebagai perlakuan B, itik yang diberi pakan komersial 70% + pollard 30% + duck mix 0,3% sebagai perlakuan C dan itik yang diberi pakan komersial 55% + pollard 45% + duck mix 0.3% sebagai perlakuan D. Setiap ulangan menggunakan tiga ekor itik Bali jantan umur tiga minggu, sebanyak 60 ekor. Tabel 1. Komposisi Bahan Penyusun Ransum Itik Bali Jantan Umur 3-10Minggu. Komposisi Ransum Perlakuan (%) A B C D 1) Pakan Komersial 2) Pollard Total Mineral bebek *) , , ,3 Keterangan : *) Bahan pakan yang ditambahkan ke dalam ransum sebagai aditif A : Ransum komersial 100% sebagai kontrol B : Ransum komersial 85% + pollard 15% + mineral bebek 0,3% C : Ransum komersial 70% + pollard 30% + mineral bebek 0,3% D : Ransum komersial 55% + pollard 45% + mineral bebek 0,3% Pemotongan itik dilaksanakan menurut USDA (1977), yaitu itik dipotong pada bagian vena jugularis yang terletak di antara tulang kepala dan tulang leher pertama. Kemudian itik direndam dalam air sabun selama lima menit dan dilanjutkan dengan perendaman itik pada air panas dengan suhu kira-kira 90 O C selama detik, untuk memudahkan pencabutan bulu. Pemisahan komposisi fisik karkas meliputi pemisahan daging, tulang dan lemak subkutan termasuk kulit dari karkas. Masing- 29

33 masing komponen tersebut kemudian dibagi dengan berat karkas dan dikalikan 100% untuk mengetahui persentase komposisi fisik karkas. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Berat potong, yaitu berat yang diperoleh pada umur itik 10 minggu/akhir penelitian 2. Berat karkas, yaitu berat yang diperoleh setelah pengeluaran darah, pencabutan bulu, pemisahan kepala, kaki dan pengeluaran organ dalam. 3. Persentase karkas, yaitu hasil bagi antara berat karkas dengan berat potong kemudian dikalikan 100%. 4. Berat dan persentase komposisi fisik karkas. Komposisi fisik karkas meliputi daging, tulang dan lemak subkutan termasuk kulit. Persentase komposisi fisik karkas diperoleh dengan cara membagi berat bagian-bagian tersebut dengan berat karkas kemudian dikalikan 100%. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam. Apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989). HASIL DAN PEMBAHASAN Berat potong itik yang diberi pakan komersial 100% sebagai kontrol (A) adalah 1558,6 g/ekor (Tabel 2). Berat potong itik yang diberi pakan komersial 85% + pollard 15% + duck mix 0,3 % (perlakuan B), itik yang diberi pakan komersial 70% + pollard 30% + duck mix 0,3% (perlakuan C) dan itik yang diberi pakan komersial 55% + pollard 45% + duck mix 0,3% (perlakuan D), masing-masing 2,92%, 5,09% dan 5,08% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol. Berat karkas itik pada perlakuan A adalah 915,4 g/ekor (Tabel 2). Berat karkas itik yang mendapat perlakuan B adalah 2,73% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari perlakuan A, sedangkan perlakuan C dan D masing-masing adalah 6,05% dan 6,71% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan A (kontrol). Persentase karkas itik pada perlakuan A adalah 58,73% (Tabel 3). persentase karkas pada perlakuan B, C dan D masing-masing adalah 0,59%, 1,01% dan 1,73% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol. Persentase karkas pada perlakuan C dan D adalah 0,43% dan 1,15% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari perlakuan B, dan persentase karkas itik yang mendapat perlakuan D adalah 0,72 % tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan C. Tabel 2. Berat Potong, Berat Karkas dan Komposisi Fisik Karkas Itik Bali Jantan Umur 10 Minggu yang Diberi Pakan Komersial Disubstitusi dengan Pollard dan Aditif duck mix Variabel Berat Potong (g) Berat Karkas (g) Persentase Karkas (%) Berat fisik Karkas (g) - berat daging - berat tulang - berat lemak subkutan dan kulit Komposisi Fisik Karkas (%) - persentse daging - persentase tulang - persentase lemak subkutan dan kulit Perlakuan 1) A B C D SEM 2) 1558,60 a3) 1526,00 a 1479,20 a 1479,40 a 24,49 915,40 a 890,40 ab 860,00 b 854,00 b 14,13 58,73 a 58,39 a 58,18 a 57,72 a 0,47 415,00 a 213,80 a 286,60 a 45,34 c 23,35 a 31,31 a 411,00 a 209,60 a 269,80 a 46,16 bc 23,55 a 30,29 ab Keterangan : 1) A : Ransum komersial 100% sebagai kontrol B : Ransum komersial 85% + pollard 15% + mineral bebek 0,3% C : Ransum komersial 70% + pollard 30% + mineral bebek 0,3% D : Ransum komersial 55% + 45% pollard + mineral bebek 0,3% 2) Standart Error of the Treatment s Means 3) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaa yang nyata (P<0,05) 400,20 a 216,60 a 251,20 b 46,53 b 24,26 a 29,21 bc 409,40 a 198,40 a 246,20 b 47,97 a 23,22 a 28,81 c 7,23 7,40 6,78 0,42 0,40 0,41 30

34 Persentase daging itik pada perlakuan A (kontrol) adalah 45,34%. Persentase daging itik pada perlakuan B dan C masing-masing 1,81% dan 2,63% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan persentase daging itik pada perlakuan D adalah 5,80% nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol. Persentase daging itik pada perlakuan C tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan perlakuan B, dan persentase daging itik pada perlakuan D adalah 3,92 % nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan B. Persentase daging itik pada perlakuan D adalah 3,09 % tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan perlakuan C. Persentase tulang karkas pada perlakuan A (kontrol) adalah 23,35%. Persentase tulang karkas pada perlakuan B dan C masing-masing adalah 0,85% dan 3,91% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol, dan pada perlakuan D adalah 0,54% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol. Persentase tulang karkas pada perlakuan C adalah 3,04% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan perlakuan B, dan pada perlakuan D adalah 1,38% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan parlakuan B. Persentase tulang karkas pada perlakuan D adalah 4,29% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan perlakuan C. Persentase lemak sub kutan dan kulit itik pada perlakuan A (kontrol) adalah 31,31%. Persentase lemak subkutan pada perlakuan B adalah 3,25% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan C dan D masingmasing 6,72% dan 8,00% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol. Persentase lemak subkutan pada perlakuan C dan D masing-masing 3,59% dan 4,91% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan perlakuan B. Persentase lemak subkutan pada perlakuan D adalah 1,37% tdak nyata lebih rendah (P>0,05) dibandingkan perlakuan C. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi ransum komersial dengan polar dari 15%-45% dengan aditif duck mix terhadap berat potong, presentase karkas, dan presentase tulang karkas secara statistik berbeda tidak nyata jika dibandingkan dengan kontrol (perlakuan A) dan antara perlakuan B, C dan D secara statistik juga tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh kandungan nutrien dari keempat ransum sesuai dengan estándar (Tabel 3). Angggorodi (1995) menyatakan bahwa itik diberi ransum secara ad libitum, ia akan makan terutama untuk memenuhi kebutuhan energinya dan apabila itik diberi ransum dengan kandungan energi metabolis rendah, maka itik akan mengkonsumsi lebih banyak. Bidura (1999) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi ransum, secara absolut, zat-zat makanan yang memiliki nilai cerna yang tinggi khususnya asam amino, terabsorbsi meningkat sehingga pertumbuhan ternak dapat meningkat dan menghasilkan berat potong yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Tabel 3. Kandungan Nutrisi Dalam Ransum Itik Bali Jantan Umur 10 Minggu Kandungan Perlakuan 1) Nutrisi 2) A B C D Berat kering (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Bahan organik (%) Calsium (%) Posfor (%) Metabolis energi (kal/kg) ,5 93,5 0,9-1,1 0,7-0,9 88,32 20,8 4,1 5,14 93,84 0,87 0,82 88,63 19,57 4,2 5,76 94,17 0,73 0,82 88,95 18,85 4,31 6,4 94,35 0,60 0,85 Stand ard 2) - 16,0 5-10* 3-8* - 0,6 0, Keterangan : 1) A : Ransum komersial 100% sebagai kontrol B : Ransum komersial 85% + pollard 15% + mineral bebek 0,3% C : Ransum komersial 70% + pollard 30% + mineral bebek 0,3% D : Ransum komersial 55% + pollard 45% + mineral bebek 0,3% 2) Standard NRC (1984). (*) Standar Scott et al. (1982) Berat karkas itik pada perlakuan B tidak berbeda dengan kontrol (perlakuan A), sedangkan pada perlakuan C dan D nyata lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan oleh berat potong pada perlakuan C dan D rendah. Berat karkas juga dipengaruhi oleh berat organ non karkas. Soeparno (1994) menyatakan bahwa berat karkas sangat dipengaruhi oleh berat potong dan berat organ non karkas seperti berat darah, bulu, kaki dan organ dalam. Sutardi (1997) menyatakan bahwa serat kasar dapat merangsang pertumbuhan organ saluran pencernaan khususnya 31

35 usus dan sekum. Amrullah (2004) menambahkan bahwa berat saluran pencernaan tergantung dari jenis makanan yang dikonsumsi ternak bersangkutan, jika makanan yang dimakan banyak mengandung serat kasar, maka saluran pencernaan akan membesar, lebih kuat dan lebih tebal, sehingga beratnya akan meningkat. Persentase karkas itik yang mendapat perlakuan B, C dan D secara statistik tidak nyata lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan antara perlakuan B, C dan D juga tidak berbeda nyata. Hal ini ada hubungannya dengan berat potong yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Cakra (1986) menyatakan bahwa semakin tinggi berat potong dan berat karkas maka akan berpengaruh terhadap persentase karkas yang semakin tinggi. Udayana (2005) menyatakan bahwa persentase karkas yang lebih rendah dipengaruhi oleh berat potong yang lebih rendah pula, karena berat potong yang lebih rendah bagian-bagian yang terbuang semakin banyak. Persentase daging itik pada perlakuan B tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol sedangkan perlakuan C dan D nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Meningkatnya persentase daging pada itik yang mendapat perlakuan C dan D disebabkan oleh menurunnya kandungan lemak subkutan termasuk kulit, sebagai akibat meningkatnya konsumsi serat kasar yang bersumber dari pollard. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang Wasito (1995) dan Siregar et al. (1982) yang mendapatkan bahwa pemberian ransum yang berserat kasar tinggi dapat menurunkan lemak karkas dan meningkatkan protein daging. Dilaporkan juga oleh Belawa dan Candrawati (1999) bahwa penambahan sekam atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi starbio dalam ransum dapat meningkatkan persentase daging dan menurunkan persentase lemak karkas. Karsana (2003) juga melaporkan bahwa peningkatan kandungan serat kasar dalam ransum secara nyata akan meningkatkan persentase daging dan menurunkan persentase lemak subkutan termasuk kulit. Substitusi pakan komersial dengan menggunakan 15%, 30% dan 45% pollard dan aditif mineral bebek, tidak berpengaruh terhadap persentase tulang karkas itik Bali. Hal ini disebabkan karena komponen tulang adalah komponen yang masak dini sehingga ransum serta zat-zat gizi lainnya terlebih dahulu dimanfaatkan untuk pembentukan tulang. Seperti yang dinyatakan oleh Wahju (1997) bahwa tulang terbentuk pada awal pertumbuhan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Rasyaf (1995) bahwa pertumbuhan tubuh yang kemudian membentuk karkas terdiri dari tiga jaringan utama yaitu : jaringan tulang, yang membentuk kerangka ; otot/urat yang membentuk daging ; dan lemak. Diantara ketiga jaringan itu yang tumbuh paling awal adalah tulang, kemudian baru diikuti pertumbuhan urat sebagai daging, sedangkan lemak tumbuh paling akhir. Disamping itu, persentase tulang yang tidak berbeda nyata mungkin juga disebabkan karena adanya penambahan duck mix pada perlakuan B, C dan D. Meskipun dalam ransum tersebut terdapat asam fitat dan arabinoxilan yang dapat menghambat penyerapan mineral dalam saluran pencernaan, tetapi kekurangan mineral dapat ditutupi dengan adanya duck mix. Seperti yang dinyatakan oleh Anggorodi (1995) bahwa asam fitat dan arabinoxilan dapat menurunkan absorbsi mineral, maka dalam ransum yang mengandung asam fitat dan arabinoxilan sebaiknya ditambahkan mineral. Berat lemak subkutan dan kulit itik pada perlakuan C dan D mengalami penurunan secara nyata dibandingkan dengan perlakuan A (kontrol). Hal ini disebabkan oleh penggunaan polard dalam ransum, yang menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi serat kasar. Serat kasar ternyata dapat mengikat lemak dan garam empedu dalam saluran pencernaan itik sehingga pendistribusian lemak ke bagian tubuh itik menurun (Sutardi, 1997). Disamping itu ada sebagian energi yang hilang sebagai akibat aktivitas tambahan ventriculus dan gerakan muskuler saluran pencernaan untuk mendorong serat keluar dari saluran pencernaan (Bidura, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan pollard sampai dengan 45% dan aditif duck mix yang digunakan untuk mensubstitusi pakan komersial dapat meningkatkan persentase daging itik dan menurunkan persentase lemak subkutan dan kulit tetapi 32

36 tidak berpengaruh terhadap persentase tulang itik Bali jantan umur 10 minggu. Saran Penggunaan polard sampai dengan 45% dengan aditif duck mix untuk mensubstitusi pakan komersial dapat dilakukan oleh para peternak, karena dapat meningkatkan persentase daging dan menurunkan persentase lemak subkutan dan kulit itik Bali jantan umur 10 minggu. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan dan staf Fakultas Peternakan atas fasilitasnya, terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepala Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak atas segala bantuannya sehingga penelitian selesai tepat pada waktunya. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R., Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Amrullah, I.K., Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. Belawa, T.G.Y. dan Candrawati, D.P.M.A., Pengaruh penggantian dedak padi dengan sekam padi atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi dengan probiotik starbio terhadap efisiensi penggunaan ransum, kadar asam urat darah dan karkas itik Bali. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. Bidura, I.G.N.G., Penggunaan tepung jerami bawang putih (Allium sativum) dalam ransum terhadap penampilan itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. 2 (2) : Bidura, I.G.N.G., Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Universitas Udayana, Denpasar. Cakra, I.G.L.O., Pengaruh pemberian hijauan versus top mix terhadap karkas dan bagian tubuh lainnya pada ayam pedaging. Skripsi Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. Hartadi, H., Soedomo Reksohadiprojo, Allen D. Tillman., Tabel Komposisi Pakan Ternak untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Karsana, I.K.D., Pengaruh tingkat penggunaan cangkang coklat dalam ransum terhadap bobot dan komposisi fisik karkas broiler umur 2-7 minggu. Laporan Hasil Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. Mastika, I.M., Ilmu Gizi Ternak Unggas. UPT Penerbit Universitas Udayana, Denpasar. National Research Council (NRC) Nutrient Requirement of Poultry th National Academy of Sciences, Washington DC. Nitis, Peternakan Berwawasan Kebudayaan. Art Foundation, Denpasar. Pantaya, D., Pengaruh Enzim dari Cairan Terhadap Kandungan Energi Metabolis Wheat Pollard. Majalah Ilmiah Peternakan Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. 8 (1) : 1-4. Pitoyo, K., Penggunaan 30% Dedak Padi Tanpa dan yang Disuplementasi Optizyme Dalam Ransum Terhadap Bobot Potong dan Lemak Tubuh Broiler Umur 6 Minggu. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. Rasyaf, M., Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rasyaf, M., Beternak Ayam Kampung. Kanisius, Yogyakarta. Rizal, dan Yose Ilmu Nutrisi Unggas. Andalas University Press, Padang. Scott, M.L., Neisheim, M.C. and Young, R. J., Nutrition Of Chickens. 3 rd Ed. M. L. Scott and Associates. Ithaca, New York. Soeparno, Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 33

37 Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H., Prisip dan Prosedur Statistika. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sukada, I.K., Bidura, I.G.N.G. dan Warmadewi, D.A., Pengaruh Penggunaan Pollard, Kulit Kacang Kedelai dan Pod Kakao Terfermentasi dengan Ragi Tape Terhadap Karkas dan Kadar Kolesterol Daging Itik Bali Jantan. Majalah Peternakan Universitas Udayana, Denpasar 10(2) : Sutardi, T., Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Udayana, I.D.G.A., Pengaruh penggunaan lemak sapi dalam ransum sebagai pengganti sebagian energi jagung terhadap berat badan akhir dan persentase karkas itik Bali. Majalah Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. 8(2) : USDA (United State Departement of Agriculture), Poultry Guiding Manual. U.S. Goverment Printing Office Washington D.C. Wahju, J., Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wardani, W.W., Ramli, N. dan Hermana, W., Ketersediaan Energi Ransum yang Mengandung Wheat Pollard Hasil Olahan Cairan Rumen yang Diproses Secara Steam Pelleting pada Ayam Broiler. Media Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 27 (3): Widodo, W., Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang. Zulkaezih, Elly. dan Rakhmad Budirakhman Pengaruh Substitusi Pakan Komersial dengan Dedak Padi Terhadap Persentase Karkas Ayam Kampung Jantan. Ziraa ah Majalah Petanian. Fakultas Petanian Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin. 14(3):

38 Pengujian secara In Vitro Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) sebagai Sumber Prebiotik (In vitro analysis of oligosaccharide from extract rumbia fruit (Metroxylon sago Rottb.) as prebiotic) Muhammad Daud 1, Wiranda G Piliang 2, Komang G Wiryawan 2, dan Agus Setiyono 3 1 Fakultas Pertanian, Universitas Abulyatama-Aceh 2 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Despite a range of commercially available oligosaccharides there is plenty of room to develop new, functionally enhanced prebiotics. current generation of oligosaccharides was not rationally developed. better understanding of factors determining the prebiotic activity of a particular oligosaccharide. Despite the range of commercially available oligosaccharides mixtures (mainly fructo and galacto-oligosaccharides), very few studies are focused on the mechanisms behind the prebiotic activity of particular oligosaccharides. Probably this lack is due to the unavailability of well characterized oligosaccharide fractions for prebiotic function assessment. The objectives of this research were to asses the ability of lactic acid bacteria in fermentation of oligosaccharide and as prebiotic (in vitro). Material used was oligosaccharide of purified rumbia fruit extract. Analysis of oligosaccharide as prebiotic was conducted in vitro using lactic acid bacteria. The lactic acid bacteria consisted Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium animalis, Lactobacillus bulgaricus and Lactobacillus casei Rhamnosus. The growth media for bacteria was a liquid MRS basic medium where glucose was substituted by oligosaccharide of purified rumbia fruit extract. Incubation was in aerob for Lactobacillus and anaerob for Bifidobacterium in incubator 37 o C. The lactic acid bacteria was calculated hours during incubation periode. The variables observed were: oligosaccharide component, ability of lactic acid bacteria in fermentation of oligosaccharide, and growth of lactic acid bacteria (Lactobacillus and Bifidobacterium). The result showed that the oligosaccharide component from extract rumbia fruit consisted of: sucrose, stacchiose, and raffinose. The result showed that the oligosaccharide extract rumbia fruit was significantly (P<0.05) the growth of lactic acid bacteria (Lactobacillus and Bifidobacterium) and fermentation of oligosaccharide. It is concluded that oligosaccharide of rumbia fruit extract could be used as prebiotic. Key words: Rumbia fruit, oligosaccharide, prebiotic, In vitro 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: PENDAHULUAN 6 Prebiotik adalah substansi dari makanan yang tidak dicerna, dan secara selektif meningkatkan pembiakan dan aktivitas bakteri yang menguntungkan pada usus besar. Zat ini mengalami proses peragian di dalam usus besar, dalam proses tersebut dihasilkan "makanan" bagi bakteri yang menguntungkan. Makanan tersebut sangat berguna bagi perkembangbiakan bakteri "baik", sehingga bakteri ini menjadi berlipat ganda. Sedangkan bakteri "jahat", karena tidak menyukai makanan ini, perkembangannya menjadi Corresponding author: daewood_vt@yahoo.co.id terhambat, sehingga jumlah bakteri "baik" menjadi lebih banyak dan mendominasi populasi bakteri yang terdapat dalam usus. Menurut Manning dan Gibson (2004), substrat yang berasal dari makanan atau yang diproduksi oleh inang yang tersedia untuk difermentasi oleh mikroflora kolon, yaitu melalui makanan, resistant starch, polisakarida non pati (seperti pektin, selulosa, guar dan xylan), gula dan oligosakarida seperti laktosa, laktulosa, rafinosa, stakhiosa dan fruktooligosakarida. Senyawa prebiotik yang tidak dapat dicerna oleh usus halus dan akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri 35

39 usus dan dapat menstimulir pertumbuhan BAL. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan menghasilkan energi metabolisme dan asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat), sehingga komposisi mikroflora usus berubah. Selain asam, bakteri usus juga akan menghasilkan zat yang bersifat antimikroba. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida (Tomomatsu, 1994 dan Bird, 1999). Adanya produksi asam tersebut akan menurunkan ph usus sehingga persentase bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus meningkat, sedangkan persentase bakteri pembusuk sepeni E. coli dan Streptococcus faecalis yang merugikan akan menurun. Pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella dan E. coli akan terhambat dengan adanya asam dan zatzat antibakteri. Dengan demikian oligosakarida merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri Biftdobacterium dan Lactobacillus di dalam kolon (usus besar), sehingga dapat digolongkan sebagai prebiotik (Wageha et al., 2008). Berangkat dari fenomena ini, dapat dilakukan manajemen mikroflora usus yaitu proporsi bakteri baik ditingkatkan, dan bakteri jahat ditekan jumlahnya. Caranya, dengan menyediakan nutrisi yang sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih pesat. Oligosakarida merupakan salah satu sumber prebiotik yang dapat dijadikan sebagai nutrisi untuk bakteri probiotik. Namun informasi tentang penggunaan oligosakarida dari ekstrak tepung buah rumbia sebagai sumber prebiotik masih sangat terbatas. Melihat potensi tersebut menarik untuk diteliti tentang penggunaan oligosakarida yang diisolasi dari ekstrak tepung buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik. Oligosakarida yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia dan telah dipisahkan dari komponen karbohidrat lainnya. Selanjutnya dilakukan uji fermentasi dengan bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus dan uji aktivitas untuk melihat pengaruhnya dalam meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri asam laktat dalam memfermentasi oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia (Metroxylon sago Rottb.) dan sebagai sumber prebiotik dalam menstimulir pertumbuhan bakteri probiotik secara in vitro. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi Seafas Centre, Institut Pertanian Bogor. Bahan uji yang digunakan pada penelitian adalah fraksi karbohidrat (oligosakarida) hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia (Metroxylon Sago Rottb.), dan kultur bakteri asam laktat (Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium animalis, Lactobacillus bulgaricus dan L. casei Rhamnosus). Bahan kimia yang digunakan adalah : Peptone, Yeast ekstrak, Tween 80, K 2 HPO4, MgSO 4 7H 2 O, MnSO 4 4H 2 O, Tri-ammonium citrate, Bacto agar, Trypticase, Pytone, Cystein hydroclorid, MgCl 4 6H 2 O, Zn SO 4 7H 2 O, dan CaCl 2. Bahan lain yang digunakan adalah larutan fisiologis (NaCl 0.85%), aquades, dan spiritus. Peralatan yang digunakan antara lain : Autoklaf, inkubator 37 o C, anaerobic jar, ANOXOMAT tm, Laminar hood, refrigerator, cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas piala, labu ukur, kertas label, alumunium foil, kapas vortex, micropipette µm, tip 100 µm, alat sentrifugasi, membran filter, bunsen, dan ose. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah : komponen oligosakarida dari ekstrak tepung buah rumbia, kemampuan bakteri asam laktat dalam memfermentasi oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia, dan jumlah pertumbuhan koloni bakteri probiotik pada media MRS basis agar (AOAC, 1995). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS 12.0 dan apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan dengan uji t- test. Metode Analisis Komponen Oligosakarida Komponen oligosakarida ditentukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) yang dilengkapi kolom P-NH 2 Carbohydrate (30 x 1 cm). Larutan ekstrak tepung buah rumbia dielusikan ke kolom mini (6 mm x 30 mm 36

40 dalam pipet pastur) yang berisi Dowex 50 x 8. Volume eluen diturunkan hingga 1 ml. Sampel cair 20 µl diinjekkan ke kolom HPLC dengan menggunakan air deionisasi sebagai fase gerak dengan kecepatan alir 0.4 ml/menit, dengan menggunakan kolom P-NH 2 Carbohydrate, detektor RID 6A. Suhu kolom dipertahankan konstant (85 C). Sampel sebelum diinjeksikan ke kolom, dihidrolisis menggunakan 2 M TFA (Trifluoro Acetic Acid) pada suhu 105 o C selama 3 jam dalam ampul dan dinetralkan menggunakan ethyl acetate (Ramli et al., 1994). Standar yang digunakan adalah glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa, stakhiosa, maltosa, dan xylosa. Uji Fermentasi Oligosakarida Uji fermentasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia mmpu difermentasi oleh bakteri asam laktat (Lactobacillus dan Bifidobacterium). Uji fermentasi oligosakarida ini dilakukan dengan memodifikasi media pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) menurut metode Kaplan dan Hutkins (2000). Pengamatan pertumbuhan bakteri asam laktat pada media agar dilakukan dengan membuat media pertumbuhan dasar MRS (tanpa sumber karbon) yang terdiri dari L- sistein, Bacto agar, bromcresol purple dan aquadest (Tabel 1). Tabel 1. Media pertumbuhan dasar (tanpa sumber karbon) bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus Bahan L-sistein Bacto agar Bromcresol purple Aquadest Komposisi 0.05 % 1.5 % 30 mg/liter 1000 ml Media dasar tersebut selanjutnya diautoklaf, sedangkan gula oligosakarida yang diuji difilter steril kemudian ditambahkan ke media agar. Masing-masing strain bakteri uji yang sebelumnya ditumbuhkan pada media MRS broth selanjutnya ditumbuhkan pada media agar yang mengandung gula oligosakarida dengan jumlah koloni berkisar antara koloni. Cawan agar kemudian diinkubasi pada kondisi aerob untuk bakteri Lactobacillus dan kondisi anaerob untuk bakteri Bifodobacterium selama 24 jam. Strain bakteri yang dapat memfermentasi fraksi karbohidrat yang diuji (oligosakarida) akan memproduksi asam sebagai produk akhirnya tumbuh sebagai koloni yang dikelilingi oleh zona warna kuning (> 3 mm) dengan latar belakang berwarna abuabu. Sedangkan koloni yang tidak mampu memfermentasi oligosakarida akan menghasilkan koloni berwarna putih kecil tanpa zona berwarna kuning. Pengujian Oligosakarida terhadap Pertumbuhan BAL Pengujian oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia dilakukan dengan menggunakan bakteri asam laktat (BAL). Jenis BAL yang digunakan adalah B.bifidum, B.animalis, L.bulgaricus dan L. casei Rhamnosus. Media yang digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri adalah media cair MRS basis tetapi glukosa media diganti dengan gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia. Sebagai pembanding (kontrol) digunakan media MRS basis tanpa komponen gula. Kultur dari masing-masing BAL ditumbuhkan pada media yang mengandung gula oligosakarida. Untuk menghindari kontaminasi maka masing-masing dibuat secara duplo dalam setiap pengamatan yaitu pada 0 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam. Inkubasi dilakukan secara aerob untuk bakteri Lactobacillus dan secara anaerob untuk bakteri Bifidobacterium dalam inkubator 37 o C. Untuk membuat kondisi anaerob digunakan alat ANOXOMAT. Perhitungan jumlah BAL dilakukan setelah diinkubasi selama 24 jam. Kontrol dikerjakan melalui tahapan yang sama, tetapi tidak ditambahkan sumber gula (oligosakarida). Perhitungan Jumlah Bakteri Asam Laktat (AOAC 1995) Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan cara sebagai berikut : suspensi sampel dalam larutan fisiologis NaCL 0.85% (pengenceran 10-1 ) dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis NaCL 0.85% sehingga diperoleh pengenceran 10-2, kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil plating diperoleh antara koloni). Perhitungan jumlah BAL 37

41 dilakukan dengan metode tuang, suspensi sampel dari tingkat pengenceran yang sesuai (10-5, 10-6, 10-7 dan 10-8 ) dipipet 1 ml dan dipupukkan ke dalam cawan petri steril kemudian dituangi media MRS basis, digoyang supaya rata dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai jumlah bakteri asam laktat. HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Oligosakarida Hasil analisis terhadap komponen oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) yang dilengkapi kolom P-NH 2 Carbohydrate (30 x 1 cm) menunjukkan bahwa komponen oligosakarida dari ekstrak tepung buah rumbia terdiri atas : sukrosa, stakhiosa dan raffinosa (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak tepung buah rumbia yang telah dipisahkan/ dimurnikan dapat dijadikan sebagai sumber prebiotik berupa oligosakarida dari keluarga sukrosa, stakhiosa dan raffinosa. Untuk mengetahui apakah oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat (Lactobacillus dan Bifidobacterium) maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut yaitu dengan memodifikasi media pertumbuhan mikroba tersebut, dimana media komersial yang mengandung glukosa diganti dengan gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia. Tabel 2. Komponen oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia Komponen Komposisi (%) oligosakarida bakteri asam laktat (Lactobacillus dan Bifidobacterium), yaitu dengan memodifikasi media pertumbuhan mikroba tersebut, dimana media komersial yang mengandung glukosa diganti dengan gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia. Hasil pengujian dengan menggunakan gula oligosakarida sebagai pengganti glukosa menunjukkan hasil yang positif. Oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh mikroba uji yaitu L. casei Rhamnosus untuk mikroba aerob dan Bifidobacterium bifidum untuk anaerob. Hal ini ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi zona kuning (Gambar 1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa oligosakarida dari ekstrak tepung buah rumbia dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat (L.casei Rhamnosus dan B.bifidum), sehingga oligosakarida tersebut dapat berperan sebagai prebiotik. Meskipun demikian perlu pengujian lebih lanjut, untuk mengetahui seberapa besar oligosakarida tersebut dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat. Fitrial (2008) melakukan pengujian dengan menggunakan sumber gula dari biji dan umbi teratai sebagai pengganti glukosa pada media dan menunjukkan hasil yang positif. Koloni Lactobacillus casei Rhamnosus memfermentasi oligosakarida yang Sukrosa Stakhiosa Raffinosa 4.56 Fermentasi Oligosakarida Pengujian terhadap kemampuan bakteri asam laktat dalam memfermentasi oligosakarida dilakukan guna mengetahui apakah oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh Koloni Bifidobacterium bifidum yang memfermentasi oligosakarida Gambar 1. Bakteri L.casei Rhamnosus dan B.bifidum yang memfermentasi oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia Jumlah Pertumbuhan Koloni Bakteri 38

42 Probiotik Bifidobacterium bifidum Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri Bifidobacterium bifidum dapat tumbuh dengan baik pada media MRS basis yang mengandung gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia (Tabel 3). Pertumbuhan koloni Bifidobacterium bifidum pada media yang mengandung oligosakarida menujukkan hasil yang signifikan (P<0,01) dibandingkan dengan media kontrol (MRS basis tanpa gula). Jumlah koloni bakteri B.bifidum dalam media yang mengandung oligosakarida paling tinggi dicapai pada 24 jam masa inkubasi yaitu 9,32±0,21 log cfu/ml, sedangkan pada media kontrol 1,18±0,17 log cfu/ml. Pertumbuhan bakteri lebih mengacu kepada pertambahan jumlah sel bukan mengacu kepada perkembangan individu organisme sel. Bakteri memiliki kemampuan untuk menggandakan diri secara eksponensial dikarenakan sistem reproduksinya adalah pembelahan biner melintang, dimana setiap sel membelah diri menjadi dua sel. Selang waktu yang dibutuhkan sel untuk membelah diri disebut dengan waktu generasi. Tiap spesies bakteri memiliki waktu generasi yang berbeda-beda. Apabila satu bakteri tunggal (seperti Bifidobacterium bifidum) diinokulasikan pada suatu medium dan memperbanyak diri dengan laju yang konstan/tetap, maka pada suatu waktu pertumbuhannya akan berhenti dikarenakan sokongan nutrisi pada lingkungan sudah tidak memadai lagi, sehingga akhirnya terjadi kemerosotan jumlah sel akibat banyak sel yang sudah tidak mendapatkan nutrisi lagi. Tabel 3. Jumlah pertumbuhan koloni bakteri B.bifidum (log cfu/ml) pada media uji Perlakuan Waktu inkubasi (jam) Media kontrol 0,39±0,20 b 0,99±0,12 b 1,18± 0,17 b 1,08±0,08 b 0,54±0,23 b Media oligosakarida 6,70 ±0,15 a 8,20±0,15 a 9,32±0,21 a 8,34±0,15 a 7,38±0,27 a Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Bifidobacterium animalis Hasil uji pertumbuhan terhadap bakteri Bifidobacterium animalis pada media MRS basis yang mengandung oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia menunjukkan pertumbuhan tertinggi terjadi setelah 12 jam masa inkubasi dan pertumbuhan optimal dicapai pada 24 jam masa inkubasi yaitu 9,46±0,32 log cfu/ml (Tabel 4). Pertumbuhan bakteri B.animalis pada media yang mengandung oligosakarida ektrak tepung buah rumbia lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan pada media kontrol (MRS basis tanpa gula). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia dapat digunakan oleh B.animalis sebagai media tumbuh. Tabel 4. Jumlah pertumbuhan koloni bakteri B.animalis (log cfu/ml) pada media uji Perlakuan Waktu inkubasi (jam) Media kontrol 0,28±0,17 b 0,40±0,24 b 1,18±0,13 b 1,04±0,05 b 0,12±0,08 b Media oligosakarida 7,22±0,17 a 8,40±0,21 a 9,46±0,32 a 9,08±0,08 a 8,20±0,12 a Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Lactobacillus casei Rhamnosus Hasil uji pertumbuhan terhadap bakteri Lactobacillus casei Rhamnosus pada media MRS basis yang mengandung oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia menunjukkan pertumbuhan tertinggi terjadi setelah 12 jam masa inkubasi dan pertumbuhan optimal dicapai pada 24 jam masa inkubasi yaitu 10,12±0,13 log cfu/ml. (Tabel 5). Dwiari (2008) melaporkan hasil pengujian secara in vitro terhadap pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei Rhamnosus pada ekstrak gula ubi garut dan ubi jalar menunjukkan pertumbuhan yang 39

43 paling baik diantara bakteri asam laktat lainnya. Tabel 5. Jumlah pertumbuhan koloni bakteri L.casei Rhamnosus (log cfu/ml) pada media uji Perlakuan Waktu inkubasi (jam) Media kontrol 0,04±0,05 b 0,10±0,14 b 0,24±0,08 b 0,12±0,08 b 0,04±0,05 b Media oligosakarida 8,06±0,05 a 9,34±0,11 a 10,12±0,13 a 9,58±0,08 a 8,44±0,19 a Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Lactobacillus bulgaricus Hasil uji pertumbuhan terhadap bakteri Lactobacillus bulgaricus pada media MRS basis yang mengandung oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia menunjukkan pertumbuhan tertinggi terjadi setelah 12 jam masa inkubasi dan dapat tumbuh dengan optimal dalam media MRS basis yang mengandung oligosakarida dari ekstrak tepung buah rumbia dibandingkan pada media kontrol dan pertumbuhan terbaik terjadi pada 24 jam masa inkubasi yaitu 9,26±0,23 log cfu/ml (Tabel 6). Tingginya populasi bakteri L.bulgaricus menandakan nutrisi yang tersedia pada media MRS basis yang mengandung oligosakarida sudah cukup sesuai untuk media pertumbuhan bakteri tersebut. Tabel 6. Jumlah pertumbuhan koloni bakteri L.bulgaricus (log cfu/ml) pada media uji Perlakuan Waktu inkubasi (jam) Media kontrol 0,06±0,08 b 0,10±0,07 b 0,46±0,31 b 0,20±0,10 b 0,04±0,05 b Media oligosakarida 8,30±0,25 a 9,12±0,13 a 9,26±0,23 a 8,68±0,21 a 8,54±0,05 a Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Hasil pengujian dari empat bakteri asam laktat (B.bifidum, B.animalis, L. casei Rhamnosus, dan L.bulgaricus) pada media MRS basis yang mengandung gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia menunjukkan bahwa pertumbuhan genus Lactobacillus yang terbaik adalah L.casei Rhamnosus, sedangkan genus Bifidobacterium adalah B.bifidum. Hal ini disebabkan genus Lactobacillus sp cenderung lebih mudah menggunakan gula-gula sederhana seperti oligosakarida. Batt (1999) menyebutkan bahwa bakteri dari genus Lactobacillus dapat tumbuh dengan baik pada media yang kaya akan molekul komplek dengan nutrisi berupa gula-gula sederhana seperti xylose dan ribose karena Lactobacillus dapat langsung menggunakannya sebagai sumber karbon. Kelompok Bifidobacterium yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan tingkat pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan kelompok Lactobacillus, hal ini dikarenakan beberapa genus Bifidobacterium dikatagorikan slow grower, yaitu genus bakteri dengan laju pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan dengan bakteri-bakteri lainnya. Dallas (1999) menyebutkan bahwa Bifidobacterium di dalam usus besar berkembang tidak secepat bakteri lain pada umumnya. Selanjutnya Ballongue (2004) menyatakan bahwa B.bifidum kurang baik dalam memanfaatkan glukosa sebagai sumber gula. B.bifidum akan tumbuh dengan baik ketika terdapat gula-gula yang menyerupai gula-gula yang terdapat dalam susu ibu (ASI). ASI mengandung laktoferin, laktulosa dan kandungan laktose yang tinggi. KESIMPULAN 1. Komponen utama yang menjadi sumber prebiotik pada tepung buah rumbia adalah berupa sukrosa, stakhiosa, dan raffinosa. 2. Hasil pengujian secara in vitro menunjukkan bahwa gula oligosakarida hasil purifikasi dari ekstrak tepung buah rumbia dapat difermentasi dan dapat mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat yang di uji (Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium animalis, Lactobacillus bulgaricus dan L. casei Rhamnosus). 3. Oligosakarida hasil purifikasi dari ektrak 40

44 tepung buah rumbia berpotensi digunakan sebagai sumber prebiotik karena dapat mendukung pertumbuhan bakteri probiotik secara in vitro. DAFTAR PUSTAKA AOAC Official Methods of Analysis. Assosiation of Official Agricultural Chemists, Washington DC, USA. Ballongue, J., Bifidobacteria and Probiotic Action. Di dalam: Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn Batt, C.A., Lactobacillus. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press. Bird, A.R., Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia Pacific J. Clin Nutr.: 1999: 8(Suppl.): S32-S36. Dallas. G.H., Bifidobacterium. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press. Dwiari, S.R., Pengujian potensi prebiotik ubi garut dan ubi jalar serta hasil olahannya. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Fitrial, Y., Analisis Potensi Biji dan Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk Pangan Fungsional, Antidiare dan Prebiotik. Disertasi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Kaplan, H., Hutkins, R.W., Fermentation of fructooligosaccharides by lactic acid bacteria and bifidobacteria. Applied and Environmenntal Microbiology, 66(6): Manning, T.S., Rastall, R., Gibson, G., Prebiotics and Lactic Acid Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwenand A, editor Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekkcr, Inc. hlmn Ramli, N., Takegawa, K., Iwahara, S., Degradation of unsarated polysaccharides derived from of fusarium sp. M.7-1 by bacterium isolated from soil. J. Ferment Biong 77: Tomomatsu, H., Health Effects of Oligosaccharides. Food Technology. Oct: Wageha, A, Khaled, G. and Josef, B., Intestinal Structure and Function of Broiler Chickens on Diets Supplemented with a Synbiotic Containing Enterococcus faecium and Oligosaccarides. Int.J. Mol.Sci. 9:

45 Kajian Fisiologis Penggunaan Bovine Somatotropin (bst) Pada Sapi Pra Afkir1) (Studies of physiological bovine somatotropin (bst) on post lactating dairy) Dzarnisa Araby 1 dan Cut Aida Fitri 1 1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ABSTRACT To increase of milk production nationally with used in dairy cattle bussines can assits to increase milk production, eightteen post lactating dairy cows in the highland Cipelang Bogor, were used to study the effect used of bovine somatotropin and lactating time. The experimental cows were assigned into a Randomized Block Design with a 3x2 factorial arrangement. The first factor was using of somatotropin (bst)with three levels (non bst injection, biweekly injection and threeweekly injection). The second factor was lactating time with two levels (4 th lactating time and 6 th lactating time) Parameters measured were heart rate,respiration frequency, rectal temperature, milk production efficiency, milk production, 4% FCM (fat corrected milk.), Milk composition, weigh gain, milk quality consist of protein, fat, ph. Bovine somatotropin significantly increased heart rate and respiration rate. Also bovine somatotropin injection at 4 th lactating time significantly increased milk production. There were an interaction between bst dan lactating time on milk production and weight gain.bovine somatotropin injection biweekly in cows on 4 th lactating timeration increased milk production by %, but injection in cows 6 th lactating time increased milk production by 8-18 % combination with somatotropin doze 250/ml/14 days. Somatothropine supplementation was injection biweekly and threeweekly did significantly affect to milk production, body temperature, heart rate, and respiration rate however in normal physiology. Bovine somatotropine can increase post lactating dairy productioninterval 14 days better than 21 days. Key words: Bovine somatotropin, holstein, milk production, lactation period. PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Sub sektor peternakan merupakan sub sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa. Permintaan akan produk peternakan meningkat dari tahun ketahun sejalan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat dan semakin membaiknya kesadaran gizi masyarakat. Pangan yang berupa produk peternakan terutama adalah daging, susu dan telur, yang merupakan komoditas pangan hewani yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan. Peternakan sapi perah merupakan salah satu komponen subsektor peternakan nasional yang mampu memberikan lahan usaha, meningkatkan kesejahteraan sebagian masyarakat di pedesaan, memberikan peningkatan perbaikan gizi melalui penyediaan protein hewani. Tingkat konsumsi protein Corresponding author: cut.afitri@yahoo.co.id 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: hewani di Indonesia tahun 2003 (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2004) adalah 4.93 g/kapita/hari dengan rincian sumbangan daging 2.87 g/kapita/hari (58.22%), telur 1.42 g/kapita/hari (28.80%) dan susu 0.64 g/kapita/hari (12.98%). Dibandingkan dengan tingkat konsumsi negara negara lain di Asia Tenggara menunjukkan Indonesia masih lebih rendah, misalnya Kamboja 9.4 g/kapita/hari, Laos 9.8 g/kapita/hari, Vietnam 17.5 g/kapita/hari dan Malaysia 52.7 g/kapita/hari (FAO 2004). Dalam rangka mengantisipasi kebutuhan masyarakat terutama terhadap protein hewani khususnya susu perlu dikembangkan ternak ruminansia besar yaitu sapi perah dengan produktivitas yang tinggi. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, langkahlangkah yang perlu ditempuh dapat dilakukan melalui peningkatan populasi, produktivitas dan mutu ternak dalam negeri secara cepat dan berkelanjutan, diantaranya memperpanjang masa afkir ternak, baik yang diafkir karena umur ataupun produksi rendah. 42

46 Masih rendahnya produk ternak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi peternakan. Ketidakmampuan produksi peternakan dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan domestik dipengaruhi oleh beberapa keterbatasan sebagai berikut: (a) Penguasaan teknologi, baik di bidang produksi maupun penanganan pasca panen, (b) Kemampuan permodalan peternakan, (c) Kualitas sumberdaya manusia, dan (d) Ketersediaan pakan (Suryana 2000). Suatu gagasan Pramusureng (1998) yang dikutip Thalib et al., (2003), akan sangat baik jika GabunganKoperasi Susu Indonesia (GKSI) menargetkan dalam lima tahun ke depan produksi sapi perah minimal 3500 L perlaktasi, atau dengan kata lain produksi dapat di atas 11,5 L per hari, untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan terobosan-terobosan bahkan memungkinkan penerapan bioteknologi (Suharya, 1998). Pada dekade 80-an kemajuan pesat dalam bidang bioteknologi khususnya dalam manipulasi genetik, reproduksidan fisiologi, aplikasinya sangat mewarnai perubahan dalam industri peternakan. Somatotropin yang lebih spesifik Bovine Somatotropin (bst) rekombinan merupakan salah satu produk bioteknologi pertama yang sudah siap digunakan dalam industri peternakan dan sangat menjanjikan peningkatan produktivitas serta efisiensi penggunaan pakan pada sapi perah, bahkan penggunaan bst pada tingkat peternakpun dapat meningkatkan produksi rata-rata hingga 5 kg perhari atau % tanpa menimbulkan penyakit metabolis dan perubahan kualitas yang berarti (Manalu, 1994). Perangsangan produksi susu melalui penggunaan somatotropin berdampak terhadap metabolisme kelenjar, proses sintesis dalam kelenjar susu perlu ditingkatkan, demikian pula pengambilan zat-zat makanan sehingga sebagai konsekuensinya laju aliran darah menuju kelenjar susu harus segera ditingkatkan. Hingga saat ini pemakaian somatotropin dalam industri peternakan dianggap suatu terobosan dari hasil bioteknologi yang cukup ekonomis dan efisien sekalipun dibandingkan dengan upaya pemberantasan penyakit, vaksinasi ataupun bioteknologi reproduksi (Hardjopranjoto, 2001). Pemakaian bst semakin populer di kalangan peternak, penggunaan bst secara injeksi dan sebagian dengan cara implantasi telah banyak dilaksanakan dan cara aplikasi ini sangat menentukan kandungan hormon dalam darah dan organ tubuh. Penambahan hormon secara eksogen berdampak terhadap konsentrasi hormon-hormon lain yang saling berkaitan sacara metabolis. Konsentrasi somatotropin plasma akan meningkat dan mencapai puncak dalam plasma 8 jam setelah penyuntikan dan segera kembali ke konsentrasi basal 24 jam setelah penyuntikan (Manalu, 1994). Upaya peningkatan produksi susu secara nasional dengan penggunaan somatotropin pada pengusahaan sapi perah kiranya dapat mendongkrak peningkatan produksi susu, namun perlu penjajakan ke arah tersebut untuk mendapatkan data konkrit khususnya bagi peternakan sapi perah di Indonesia, terlebih pada sapi yang telah melewati puncak produksi, dimana produksi semakin menurun, dan sudah menjadi masalah nasional karena puncak produksi yang terjadi di kisaran 3,5-4 tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang perangsangan produksi susu dengan penyuntikan bovine somatotropin (bst) pada sapi perah sebelum memasuki masa afkir di peternakan rakyat, sehingga masa produksi tinggi dapat dipertahankan. Perumusan Masalah Permintaan akan produk peternakan seperti daging, susu dan telur baik secara kuantitas maupun kualitas terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraan serta kesadaran masyarakat akan gizi. Produksi susu yang rendah secara nasional merupakan problem utama, karena itu upaya peningkatan produksi susu secara nasional dan untuk meningkatkan potensi produktivitas ternak perah serta mencegah terjadinya pengafkiran ternak yang terlalu cepat, maka perlu dicari alternatif untuk dapat mempertahankan produktivitas ternak tersebut. Penggunaan somatotropin merupakan suatu alternatif. Somatotropin merupakan hormon pertumbuhan (Growth hormone atau GH) dan hormon somatotropin ini secara alami dihasilkan oleh kelenjar pituitari. Fungsi hormon somatotropin ini adalah meningkatkan 43

47 sintesis protein di seluruh sel tubuh, namun lain halnya pada sapi laktasi, somatotropin yang mempunyai sifat galaktopoietik bekerja secara langsung ataupun tidak langsung pada sel-sel kelenjar susu. Penggunaan somatotropin pada pengusahaan sapi perah kiranya dapat mendongkrak peningkatan produksi dan kualitas susu, namun perlu penjajakan ke arah tersebut untuk mendapatkan informasi khususnya bagi peternakan sapi perah di Indonesia oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang kajian fisiologis penggunaan bovine somatotropin (bst) pada sapi pra Afkir Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh pemberian somatotropin pada perubahan metabolisme yang dilihat pada termoregulasi (suhu tubuh, denyut jantung dan frekuensi pernafasan) sapi perah Peranakan Fries Holland. Disamping itu juga untuk mengetahui efektifitas cara pemberian bst terhadap produksi susu secara kualitas dan kuantitas. Selain itu juga untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan bst berdasarkan frekuensi pemberian bst dan periode laktasi ternak perah MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di perusahaan petemakan sapi perah Peternakan Rakyat, yang terletak di Cipelang Bogor dengan ketinggian tempat meter di atas permukaan laut dengan suhu C, dengan curah hujan 3500 mm pertahun dan kelembaban 60%. Laboratorium Teknologi Susu FAPET IPB dan Lab Fisiologi FKH IPB. Metodologi Temak yang digunakan adalah 18 ekor sapi betina Peranakan Fries Holland. Sebelum penelitian dimulai dilakukan persiapan berupa pengelompokan ternak berdasarkan perlakuan. Ternak dibagi ke dalam tiga kelompok, Kelompok Kontrol (K), Kelompok yang disuntik bst setiap 2 minggu (KS 1) dan Kelompok yang disuntik setiap 3 minggu (KS2). Pemberian nomor secara acak sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Penyuntikan plasebo (sesame oil) dilakukan kepada kelompok kontrol (6 ekor), pada kelompok (KS 1) dilakukan penyuntikan bst secara intramuskular dengan dosis dosis 250 mg per ekor per 14 hari (6 ekor), pada kelompok (KS2) dilakukan penyuntikan secara intramuskular dengan dosis 250 mg per ekor per 21 hari (6 ekor). Waktu penyuntikan dilakukan secara serentak pada pagi hari.masing-masing kelompok terdiri sapi dengan masa laktasi yaitu masa laktasi ke dua, ke empat dan ke enam, bulan laktasi antara ke dua dan ke empat. Pakan Pakan yang diberikan terdiri atas pakan hijauan (rumput gajah) dan konsentrat yang disesuaikan dengan pakan yang diberikan di peternakan tersebut, Pakan diberikan dua kali sehari, konsentrat dan ampas tahu diberikan pukul dan pukul 12.00, hijauan diberikan pukul dan pukul Hijauan diberikan 37 kg/hari/ekor, konsentrat diberikan 12 kg/hari/ekor. Tabel 1 Kadar zat gizi pakan penelitian Bahan Pakan BK PK SK L BEN Rumput gajah Rumput lapang Kosentrat Ampas bir Total Hijauan Kosentrat Kebutuhan Nutrisi (kg) Kelebihan Kebutuhan (%) Keterangan: BK % T : 50% - - Abu TDN , : BahanKering L : Lemak PK : ProteinKasar SK : Serat Kasar BETN : Bahan Ekstrak TanpaNitrogen TDN : Total Digestable Nutrient Metode Penelitian Penyuntikan ST dilakukan pada pukul 07.00, hal ini diasumsikan bahwa selama penyuntikan sapi sedang makan konsentrat untuk mengalihkan perhatian sapi, sehingga perlakuan dapat dilakukan pada pukul Adapun dosis ST yang diberikan adalah 250 mg dengan frekuensi penyutikan yang berbeda dan disuntik secara intramuskular pada bagian paha. Pengukuran suhu tubuh, frekuensi pemafasan, dan denyut jantung pada pukul10:00 untuk melihat pengaruh langsung pemberian ST terhadap suhu tubuh, frekuensi pemapasan dan denyut jantung, sedangkan pengukuran hematologi meliputi nilai 44

48 hematokrit, hemoglobin dan ph darah. Suhu tubuh diukur perektal dengan mempergunakan termometer klinik (ujung termometer harus masuk ke dalam mukosa rectum) selama 2-3 menit, waktu pengukuran pagi hari dan siang hari. Rataan suhu tubuh diperoleh dari hasil pengukuran pagi dan siang hari. Frekuensi pernafasan, diperoleh dari penghitungan jumlah inspirasi ekspirasi selama 1 menit. Dilakukan dengan cara mendekatkan punggung tangan dimuka hidung sapi, usahakan ternak dalam keadaan tenang. Rataan frekuensi pernafasan diperoleh dari tiga kali pengukuran. Denyut jantung, diperoleh dari penghitungan. denyut jantung selama 1 menit, dengan cara menggunakan stetoskop, letakkan stetoskop pada daerah kostal (dada) sebelah kiri, dibelakang tulang scapula distal (bawah) dan pastikan daerah bunyi atau denyut yang paling keras. Rataan denyut jantung diperoleh dari tiga kali pengukuran. Produksi Susu dan Sampel Susu Pengukuran produksi susu dilakukan setelah pemerahan pagi (pukul 05:00) dan sore (pukul 14:00), Rancangan percobaan Penelitian ini dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial 3 x 2. Perlakuan terdiri atas faktor pertama, dosis pemberian bst dengan tiga level: Kontrol (K), pemberian bst (KS1) dosis 250 mg per 14 hari dan pemberian bst (KS2) dosis 250 mg per 21 hari. Faktor kedua masa laktasi terdiri atas 2level: Masa laktasi ke 4 (ML1), dan masa laktasi ke 6(ML2), Analisis statistik yang digunakan adalah analisis sidik ragam (uji F) dan apabila terjadi perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji berjarak Duncan dan polinomial orthogonal (Steel dan Torrie 1995).Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis dengan menggunakan program komputer SAS (version 6.12; SAS Institut Inc, Cary, New York). Hasil dan Pembahasan Kondisi Faali Rataan kondisi faali ternak perlakuan hasil suplementasi bst selama 12 minggu disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Rataan denyut jantung, frekuensi pernafasan, suhu tubuh sapi yang disuplementasi bst dan kombinasi masa laktasi selama 12 minggu pengamatan Peubah ML4 Kontrol bst 21 hari P>F (K0) ML4 14 hari (K1) ML4 bst ML6 ML ML6 ML6 Int Denyut Jantung ns ns - Frekuensi pernafasan Suhu Tubuh Keterangan: ns tidak berbeda nyata pada taraf 5%, tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ML4 adalah masa laktasi ke 4, sedangkan ML6 adalah masa laktasi ke ns ns ns ns - - Dari paparan hasil status faali, ternyata diperoleh hasil yang menunjukkan tidak berbeda yang diakibatkan injeksi bst atau masa laktasi. Menunjukkan bahwa pemberian bst pada sapi perah pra afkir tidak menyebabkan perubahan terhadap status faali walau terjadi peningkatan denyut jantung dan frekuensi pernafasan tapi masih dalam kisaran normal yang mana pada akhirnya dimanifestasikan dengan suhu tubuh sapi-sapi uji tidak menunjukkan perubahan. Sehingga dapat dimaknai bahwa pemakaian injeksi bovine somatotropin tidak mengganggu proses homeostatis. Produksi Susu Rataan produksi dan komposisi susu hasil suplementasi bst selama 12 minggu disajikan dalam Tabel 3 45

49 Tabel 3. Rataan total produksi susu,4% FCM, dan komposisi susu sapi yang disuplementasi bst dan kombinasi masa laktasi selama 12 minggu pengamatan Peubah ML4 Kontrol (K0) ML6 ML4 bst 14 hari (K1) ML6 ML4 21 hari ML6 bst P>F ML Int Total prod(kg) 1120, , , , , ns ns * 4%FCM (kg) 12,84 12,69 13,87 13,10 13,00 12,89 ns ns - Keterangan: ns tidak berbeda nyata pada taraf 5%, tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ML4 adalah masa laktasi ke 4, sedangkan ML6 adalah masa laktasi ke 6 Hasil pengamatan dan ana1is ragam menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara injeksi bst dan masa laktasi (Tabel 3). Pada level masa laktasi ke 4, pemberian suplementasi bst (selang 14 hari dan selang 21 hari) meningkatkan total produksi susu. Produksi susu sapi yang diinjeksi bst selang 21 hari lebih tinggi 17% dibandingkan dengan kontrol namun tidak berbeda nyata. sedangkan pada injeksi bst selang 14 hari menunjukkan peningkatan produksi susu yang nyata lebih tinggi 26% dibandingkan dengan kontrol Pada level masa laktasi ke 4. produksi susu hasil. Pada level masa laktasi ke 6 suplementasi bst selang 14 hari lebih tinggi 8% dibandingkan hasil suplementasi bst selang 21 hari namun tidak berbeda secara nyata.hasil pengamatan mernperkuat pernyataan Vernon (1988); Bauman(1992); Rose & Obara (2000) bahwa suplernetasi bst akan rnernberikan respons yang baik jika dilaksanakan pada manajemen yang memadai khususnya keseimbangan nutrisi pakan. Tabel 4. Uji lanjutan Duncan untuk produksi susu hasil suplementasi dan pakan selama12 minggu pengamatan Masa Laktasi K0 bst K14 K21 ML4 ML6 1289,31abc 1120,93bc 1411,20a 1096,30c 1308,50ab 1277,10abc Keterangan : nilai yang diikuti huruf yang sarna ke arab kolom dan baris tidak berbeda pada taraf 5% Pengamatan masa laktasi ke 4 dan ke 6 pada sapi kontrol (yang tidak mendapatkan suplementasi bst) dapat diketahui produksi susu sebesar 15% lebih tinggi pada masa laktasi ke 4 namun tidak berbeda nyata. Keadaan tersebut di atas disebabkan karena masa laktasi ke 6 sudah mendekati masa afkir karena sudah melewati puncak produksi. Namun. pada sapi yang disuplementasi bst. penambahan bst eksogen akan mempengaruhi konsentrasi somatotropin darah yang pada gilirannya akan memacu hati untuk meningkatkan sintesis IGF I dan selanjutnya IGF I akan bekerja meningkatkan aktivitas kelenjar susu dalam rangka sintesis susu. Di samping itu somatotropin akan melakukan aktivitasnya sebagai agen homeorhesis pada jaringan tubuh, hati dan jaringan lunak (Peel & Bauman,1987) yaitu memacu aliran darah dan kerja jantung dalam rangka pengaliran nutrien ke dalam kelenjar susu. Perlakuan suplementasi bst ( selang 14 hari dan selang 21 hari).cara suplementasi bst dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa suplementasi bst selang 14 hari menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan suplementasi bst selang 21 hari. Keadaan tersebut bertolak belakang dengan hasil pengamatan. Jenny et al.( 1992). Pada suplementasi harian dilaporkan Manalu (1994) bahwa konsentrasi somatotropin dalam darah akan mencapai puncaknya 8 jam setelah injeksi bst dan menurun ke konsentrasi basal 24 jam setelah injeksi sehingga selama 12 minggu pengamatan konsentrasi somatotropin darah akan menggambarkan siklus periodik yang stabil. Sedangkan pada suplementasi bst selang 14 hari menunjukkan puncak konsentrasi somatotropin dicapai 3 hari setelah injeksi bst (Schams, 1989) dan produksi susu dicapai bervariasi bergantung dari produk yang dipergunakan (Chilliard, 1989), dilaporkan puncak produksi dicapai bervariasi 3, 5-7, dan 7-9 setelah injeksi bst (Schams et a1.1989;manalu, 1994; Gallo et al. 1994) dan setelah itu akan diikuti dengan penurunan produksi sampai hari ke 14. Pada umumnya produksi susu akan segera meningkat dalam kurun waktu 2/3 dari 14 hari pertama dan 1/3 46

50 waktu berikutnya menunjukkan penurunan produksi, yang diduga disebabkan oleh penurunan konsentrasi somatotropin dalam darah sehingga akan memacu laju aliran darah dan stimulasi pada organ lainnya (Barbano, 1992). Cara suplementasi bst erat kaitannya dengan konsentrasi somatotropin dalam darah yang pada gilirannya menyebabkan respon dalam proses adaptasi metabolisme dalam tubuhnya khususnya jaringan dan organ. Produksi susu 4% FCM sapi uji pada perlakuan control sapi jang diinjeksi bst selang 14 hari dan selang 21 hari. Tampak adanya kecenderungan bahwa produksi 4% FCM sapi yang disuplementasi bst pada masa laktasi ke 4selang 14 hari lebih tinggi 5,64% dibandingkan kontrol sementara suplementasi bst pada sapi dengan masa laktasi ke 6 memiliki produksi 4. % FCM yang hamper sama dengan kontrol, namun secara statistik tidak berbeda. Demikian pula tampaknya pada pemberian bst selang 21 hari menunjukkan hasil 4% FCM lebih rendah walau tidak berbeda nyata. Standardisasi produksi 4% FCM berfokus pada kadar lemak, sementara suplementasi somatotropin memacu peningkatan produksi susu secara kuantitas (Gulay et al., 2003). Dengan kata lain, peningkatan produksi 4% FCM sejalan dengan peningkatan produksi susu secara umum (Vernon, 1988).Antara produksi susu dan kadar lemak berkorelasi negatif, yaitu peningkatan susu secara kuantitas akan menurunkan kadar lemak susu (Sudono et al.,2003). Secara keseluruhan injeksi somatotropin menunjukkan respons positif walaupun pada sapi yang sudah melewati puncak produksi (pra afkir), sapi yang diinjeksi bst selang 14 hari nyata meningkatkan produksi susu sebesar 26% dibandingkan sapi kontrol. Sedangkan sapi yang diinjeksi bst selang 21 hari menunjukkan peningkatan produksi berbeda nyata dibandingkan dngan sapi kontrol. Hasil produksi susu bst selang 14 hari 8% lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diinjeksi somatotropin selang 21 hari. KESIMPULAN Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: Penggunaan bovine somatotropin pada sapi perah pra afkir dapat meningkatkan produksi susu 15-26% tanpa mengalami perubahan komposisi, sushu tubuh, walau terjadi peningkatan denyut jantung, frekuensi pernafasan namun masih dalam batas fisiologis normal. Suplementasi somatotropin (bst) selang 14 hari dan diberikan pada sapi laktasi produksi lebih tinggi dapat meningkatkan produksi susu sebesar 26% tanpa diikuti perubahan komposisi susu, jika dibandingkan dengan sapi pra afkir, namun demikian bst masih dapat meningkatkan produksi sapi pra afkir, waktu selang 14 hari lebih baik dilakukan jika dibandingkan dengan selang 21 hari. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami ucapkan : 1. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2. Rektor Universitas Syiah Kuala 3. Kepala Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala beserta staf 4. Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah dan Ketua Jurusan Peternakan 5. Rekan-rekan yang telah membantu terlaksannya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Barbano, D.M., Effect of a prolongedrelease formulation of N-methyonyl bovine somatotropin (sometribove) on milk composition. J.Dairy Sci 75: Bauman, D.E., Bovine Somatotropin: Review of an Emerging Animal Technology. J Dairy Sci 75: Chilliard, Y., Long term effect of recombinant Bovine somatotropin (r bst) on Dairy cow perfonnances: A review Di dalam; Sejrsen, K., M. Vestergaard and A. Neimann- Sorensen editor. Use of somatotrop!n in livestock production. New York. Applied Science. hlm

51 Ditjen Bina Produksi Peternakan Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta Djojosoebagio, S., Fisiologi Kelenjar Endokriologi. Vol I. Bogor: Pusat Antar Universitas IImu Hayat, Institut Pertanian Bogor. FAO. Food and Agriculture Organization of The United Nation Some issue associated with livestock industries of the Asia Pacific region. Published by Food and Agriculture Organization of the United Nation RegionalOffice for Asia and the pacific and Animal Production and Health Commission for Asia and Pacific. RAP Publication No. 2004/06 Gallo, L., Modelling response to slowreleasing somatotropin administered at 3 or 4 week intervals. J. Dairy Sci. 77:759 Hardjopranjoto, S., Somatotropin sebagai hormone anabolik, keuntungan dan bahayanya. Prosiding : Diskusi sehari problema penggunaan hormon dalam produksi ternak ;Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Hlm Jenny, B.F., Grimes, L.W., Pardue, F.E., Rock, D.W. and Patterson, D.L., 1992 lactational response of jersey cows to bovine somatotropin administered daily or in a sustained-release formulation. J. dairy Sci. 75: Manalu, W., Menyongsong aplikasi hasil bioteknologi dalam industri peternakan: Suatu ulasan mengenai kegunaan somatotropin untuk meningkatkan produksi susu dan dampaknya twerhadap kesehatan dan reproduksi sapi perah serta masa depannya dalam industry sapi perah di Indonesia. Media Veteriner.I(1): 9-42 Rose, M.T., Obara, Y., The manipulation of milk secretion in lactating dairy cows-asian-aus. J. Anim. Sci 13: Schams Bovine Mastitis. Philadelphia. Lea & Febiger. Sudono, A., Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan llmu Produksi Ternak. Fakultas Petemakan. Institut Pertanian Bogor. Suharya, E., Pembangunan industri sapi perah dalam menghadapi krisi ekonomi dan era perdagangan bebas. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. ke 16 Balitvet November Balivet Bogor. hlm: Suryana Kontroversi penggunaan hormon sebagai pemacu pertumbuhan pad a produksi ternak. Prosiding, Diskusi Sehari Problema Penggunaan Harmon Dalam Produksi Ternak. Universitas Padjadjaran: Fakultas Peternakan, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Hal Thalib, C., Kuswandi, Siregar AR. Sugiarti T Progeny Test dan Performance Test Sapi-sapi FH calon Pejantan dan Induk ke arah pembentukan Elite Herd Sapi Indonesian Holstein. Bogor: Ciawi, Balai Penelitian Ternak.di dalam: Buku I Ternak Ruminansia. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN tahun Anggaran Vernon, R.G., Influence of somatotropin on metabolism. Hannah Research Institute. Department of Biochemistry and Molecular Biology Ayr, Scotland. Di dalam : Sejrsen, M. Vestergaard, A. Neimann-Sorensen, Editor. Use of Somatotropin in Livestock Production. Elsevier Applied Science. 48

52 Analisa Mikrosatelit dalam Bioteknologi Reproduksi Ternak (Suatu Kajian Pustaka) (Microsatellite analysis in biotechnology of animal reproduction) (A Review) Siti Darodjah Rasad 1 1 Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan, Unpad ABSTRACT In year 1970 was found nucleotide sequence which have repeated sequence of nucleotide. with high polymorh and using PCR could be amplified. That sequenz of nucleotide called Microsatelite. Microsatelite consist of 1 6 repeated nucleotide, which is CA repeated as mostly a repeated DNA in the animal (Tautz and Renz, 1984). Based on difference of long and amount ofrepeated nucleotide, there are three kind of DNA satelite, midi-, mini- and microsatelite (Matiat and Vergmaud, 1982). Microsatelite analysis was used to analyse of paternity and identity of animal, which was done as a conventional analysis with blood group analysis. The advantage of microsatelite analysis compare to blood group system are the exclution probability was high (EXP 99.9%), needs small sampel (tissues, sperm or follicel of hair), could be use for all animal without special age and possible for died animal. Key words : Microsatelite analysis, paternity, reproductive biotechnolgy 2009 Agripet : Vol (9) No. 2: PENDAHULUAN 8 Karakteristik dan Fungsi Marker Mikrosatelit Karakteristik dan fungsi mikrosatelit marker yang selalu berulang tidak secara jelas dapat diterangkan. Banyak sekali teori-teori yang mengemukakan akan hal tersebut. Dengan demikian dapat diduga bahwa terjadinya pengulangan tersebut selama proses replikasi dimana adanya penyimpangan untai polimerase sebagai akibat terjadinya kesalahan dalam pembentukan nukleotida (Levinson and Gutman, 1987; Schlötterer and Tautz, 1992). Gordenin et al. (1997) dalam penelitiannya telah berhasil melihat bagian dari struktur potongan rambut dengan metode Okazaki. Selain itu adanya ketidak seimbangan penempatan kromosom untai DNA melalui crossing over selama proses replikasi, sama seperti halnya perpanjangan untai DNA masih merupakan hal yang didiskusikan para peneliti. Adapun tugas dari Mikrosatelit tersebut adalah melakukan pengaturan ekspresi gen (Naylor and Clark, 1990), sedangkan fungsinya sama seperti rekombinan dari DNA (Pennisi, 1998). Corresponding author: sd_rasad@unpad.ac.id Fu et al. (1991), Klesert et al. (1997) and Thornton et al. (1997) menunjukkan adanya keterkaitan dari mikrosatelit dengan kesehatan atau penyakit. Susunan dari Mikrosatelit Mikrosatelit adalah urutan DNA dalam genom yang mempunyai sifat bertulang (Short Tandem Repeat/STR) dan dibentuk dari monohingga hexanukleotida Motiv, dimana kebanyakan terletak pada daerah Genom yang tidak di kode. Mikrosatelit mempunyai karakter sangat polimorf dengan rata-rata 11 hingga 12 alel, dimana untuk singel alel bervariasi tergantung dari perbedaan jumlah pengulangannya (Tautz and Renz, 1984; Litt and Luty, 1989; Weber and May, 1989). Setiap mikrosatelit akan membentuk kombinasi susunan nukleotida yang berulang di dalam motive, dimana yang sering muncul adalah pengulangan susunan CA-CA-CA-GT-GT-GT (Hamada et al, 1984; Tautz and Renz, 1984; Wintero et al, 1992). Penurunan atau pewarisan karakter mikrosatelit diketahui setelah ditetapkannya Hukum Mendel dan adanya angka mutasi sekitar 10-3 (Jeffreys et al., 1988). Dengan demikian angka mutasi untuk susunan DNA 49

53 (CA) n (GT) n dimer pada manusia adalah 5 x 10-4 (Ellegren, 1995). Ditinjau dari jenis pengulangannya, Mikrosatelit terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pengulangan sempurna, pengulangan tidak sempurna dan pengulangan campuran keduanya (Weber, 1990). Pada pengulangan sempurna, pada urutan sekuen DNA, tidak terjadi penghentian pengulangan di bagian tengah urutan sekuen DNA nya, sedangkan pada pengulangan tidak sempurna merupakan kebalikan dari pengulangan sempurna, dimana di bagian tengah urutan sekuen akan terjadi penghentian pengulangan, dan selanjutnya dibagian lain muncul kembali pengulangan nukleotida tersebut. Sedangkan pada jenis ketiga adalah campuran ke dua jenis pengulangan tersebut. Sebagai contoh susunan DNA yang mengandung mikrosatelit dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar 1 tersebut, terlihat susunan mikrosatelit dengan pengulangan DNA berupa CA.CA.Ca. dan seterusnya. dengan pewarna fluoresens, sehingga produk PCR hasil elektroforesa akan dapat lebih jelas terlihat (Smith et al, 1986; Diehl et al, 1990; Nie et al, 1991). Selanjutnya dengan menggunakan bantuan program computer, maka produk hasil pewarnaan yang timbul berupa pita-pita dapat dikonversi dalam bentuk nilai atau angka yang menunjukkan berbagai besaran fragmen. Dengan demikian, dengan metode ini dapat dilakukan penghitungan berbagai sampel dan selanjutnya dilakukan analisa genotipenya (Cornnell et al, 1987; Ziegle et al, 1992). Pada Gambar 2. dan 3 dapat dilihat berupa proses pewarnaan elektroforesa dan produk PCR berupa pita-pita fragmen yang dihasilkan. Gambar 1. Susunan Nucleotida Mikrosatelite (CA.CA.CA.Ca) (Sonnentag, et al., 2009) Penampilan Ekspresi Mikrosatelit Secara teknis, ekspresi urutan alel mikrosatelit dapat ditunjukan dengan bantuan alat PCR (Polymerase Chain Reaction). Segera setelah dilakukan penggandaan alel mikrosatelit dengan metode PCR tersebut, pemisahan alel tersebut dapat diketahui dengan bantuan gel elektroforesa. Pada hasil yang duperoleh melalui gel elektroforesa tersebut, urutan sekuen nukleotida spesifik akan terbentuk dan terlihat, dimana dapat dibandingkan dengan bagian komplemennya sebagai kontrol pembanding berupa primer starter oligonukleotida pada reaksi PCR (Mullis and Faloona, 1987; Saiki et al, 1988). Fragmen hasil dari PCR akhirnya memperlihatkan jumlah pengulangan yang timbulnya (Litt and Luty, 1989; Weber and May, 1989). Untuk lebih meyakinkan pengamatan, maka dapat dilakukan teknik pewarnaan Gambar 2. Contoh pewarnaan Elektroforesa (Sonnentag, et al., 2009) Gambar 3. Produk hasil PCR dengan Elektroforesa (Sonnentag, et al., 2009) Aplikasi Analisa Mikrosatelit untuk Pengujian Kekerabatan Ternak Babi Analisa Mikrosatelit dapat digunakan dalam rangka pengujian tingkat kekerabatan pada berbagai ternak. Hal ini disebabkan mikrosatelit mempunyai karakter kodominan dan akan diwariskan pada keturunannya. Dengan demikian, sejumlah alel akan diekspresikan dan mikrosatelit ini merupakan marker atau pencirian genetik yang sangat informativ untuk digunakan dalam pengujian kekerabatan atau uji keturunan (Jamieson and Taylor, 1997). Baumung et al. (2004) menyatakan bahwa penggunaan mikro-satelit merupakan metode standar untuk menduga keragaman genetik (gentic diversity) pada 50

Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda

Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda (The profile of hematology and broiler daily body weight gain which treated with

Lebih terperinci

Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei

Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei (Inhibition hydrolysis of carbohydrate by mulberry leaves extract) S. Syahrir 1, K. G. Wiryawan 2, A. Parakkasi 2, Winugroho 3, W. Ramdania 2

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MURBEI YANG DIFERMENTASI DENGAN CAIRAN RUMEN DALAM PAKAN MENCIT

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MURBEI YANG DIFERMENTASI DENGAN CAIRAN RUMEN DALAM PAKAN MENCIT PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MURBEI YANG DIFERMENTASI DENGAN CAIRAN RUMEN DALAM PAKAN MENCIT (Mus musculus) SEBAGAI HEWAN MODEL SISTEM PASCA RUMEN BIDANG KEGIATAN

Lebih terperinci

SEMINAR HASIL PENELITIAN KKP3T 2009

SEMINAR HASIL PENELITIAN KKP3T 2009 SEMINAR HASIL PENELITIAN KKP3T 2009 Institut Pertanian Bogor 2009 Performa Sapi Peranakan Ongole Yang Diberi Daun Murbei Sebagai Pengganti Konsentrat Dalam Ransum Berbasis Jerami Padi Peneliti Utama Prof.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Rataan Hasil Pengamatan Konsumsi, PBB, Efisiensi Pakan Sapi PO selama 48 Hari Pemeliharaan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Rataan Hasil Pengamatan Konsumsi, PBB, Efisiensi Pakan Sapi PO selama 48 Hari Pemeliharaan HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak atau sekelompok ternak selama periode tertentu dan ternak tersebut mempunyai akses bebas pada pakan dan tempat

Lebih terperinci

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD Pinky R. P 1), E. Sudjarwo 2), and Achmanu 2) 1) Student of Animal Husbandry Faculty, University of Brawijaya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung limbah kecambah kacang hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan dilaksanakan pada tanggal

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 69-74 ISSN 1410-5020 Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan The Effect of Ration with

Lebih terperinci

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N. EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM S.N. Rumerung* Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115 ABSTRAK

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) The Effect of Continued Substitution of Tofu on Basal Feed (BR-2) on The

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Zeolit dalam Ransum Terhadap Performans Mencit (Mus musculus) Lepas Sapih

Pengaruh Pemberian Zeolit dalam Ransum Terhadap Performans Mencit (Mus musculus) Lepas Sapih Pengaruh Pemberian Zeolit dalam Ransum Terhadap Performans Mencit (Mus musculus) Lepas Sapih Pollung H. Siagian 1, Hotnida C. H. Siregar 1, dan Ronny Dasril 2 1 Staf Pengajar Departemen Ilmu Produksi dan

Lebih terperinci

RINGKASAN. : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.

RINGKASAN. : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. RESPON KONSUMSI DAN EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM PADA MENCIT (Mus musculus) TERHADAP PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIDETOKSIFIKASI SKRIPSI HADRIYANAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai Agustus 2010. Pemeliharaan ayam bertempat di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Unggas sedangkan analisis organ dalam

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN DAUN MURBEI (Morus alba) SEGAR SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN RANSUM TERHADAP PERFORMANS BROILER

PENGARUH PENGGUNAAN DAUN MURBEI (Morus alba) SEGAR SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN RANSUM TERHADAP PERFORMANS BROILER PENGARUH PENGGUNAAN DAUN MURBEI (Morus alba) SEGAR SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN RANSUM TERHADAP PERFORMANS BROILER Christian A. Tumewu*, F.N. Sompie, F.R. Wolayan dan Y.H.S. Kowel Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Aditif Cair Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16-50 Hari dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Onggok Kering Terfermentasi Probiotik dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan Ayam

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SUBSTITUSI KONSENTRAT DENGAN DAUN MURBEI PADA PAKAN BERBASIS JERAMI PADI SECARA IN VITRO SKRIPSI OCTAVIANI NILA PERMATA SARI

EFEKTIVITAS SUBSTITUSI KONSENTRAT DENGAN DAUN MURBEI PADA PAKAN BERBASIS JERAMI PADI SECARA IN VITRO SKRIPSI OCTAVIANI NILA PERMATA SARI EFEKTIVITAS SUBSTITUSI KONSENTRAT DENGAN DAUN MURBEI PADA PAKAN BERBASIS JERAMI PADI SECARA IN VITRO SKRIPSI OCTAVIANI NILA PERMATA SARI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan Sulastri Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof.

Lebih terperinci

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower. Sains Peternakan Vol. 9 (2), September 2011: 77-81 ISSN 1693-8828 Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower Dede Risnajati Jurusan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai Agustus 2011 di Laboratorium Lapang (Kandang B) Bagian Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Lebih terperinci

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler Tampubolon, Bintang, P.P. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran e-mail : ktgmusical@yahoo.co.id

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum HASIL DA PEMBAHASA Konsumsi Bahan Kering Ransum 200 mg/kg bobot badan tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Hasil yang tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 2) mengindikasikan bahwa penambahan ekstrak

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela Terfermentasi) dalam Ransum terhadap Kadar Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat Piruvat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi Ternak Percobaan. Kandang dan Perlengkapan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi Ternak Percobaan. Kandang dan Perlengkapan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan Agustus 2008 di Desa Pamijahan, Leuwiliang, Kabupaten Bogor, menggunakan kandang panggung peternak komersil. Analisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

MATERI DA METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DA METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DA METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL THE EFFECT OF TOFU WASTE MEAL IN RATIONS ON SLAUGHTER WEIGHTS, CARCASS WEIGHTS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai dalam ransum terhadap persentase karkas, kadar lemak daging,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penyusunan ransum bertempat di Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Pembuatan pakan bertempat di Indofeed. Pemeliharaan kelinci dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2010 di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu 28 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian tentang pengaruh penambahan level protein dan probiotik pada ransum itik magelang jantan periode grower terhadap kecernaan lemak kasar dan energi metabolis dilakukan

Lebih terperinci

Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan

Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan I.A.K. BINTANG, A.P. SINURAT, dan T. PURWADARIA Balai Penelitian Ternak, PO BOX 221, Bogor

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April 2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sedangkan analisis

Lebih terperinci

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU. Jurnal Agribisnis Peternakan, Vo.1, No.1, April 2005 Performans Ayam Broiler yang Diberi Berbagai Tingkat Protein Hewani Dalam Ransum (Performance of Broiler Applied by Various Levels of Animal Protein

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia.

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di CV Mitra Sejahtera Mandiri, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan selama lima minggu yang dimulai dari

Lebih terperinci

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Effectiveness of Various Probiotics Product on the Growth and Production of Quail (Coturnix

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK Dian Agustina (dianfapetunhalu@yahoo.co.id) Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017 175 PEMANFAATAN CHLORELLA DALAM PAKAN YANG DISUBTITUSI TEPUNG ISI RUMEN TERHADAP PERSENTASE KARKAS AYAM PEDAGING Dhandy Koesoemo Wardhana 1), Mirni Lamid 2), Ngakan Made Rai W 3) 1)Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

Pengaruh Penggunaan Rumput Kebar (Biophytum petsianum Clotzch) dalam Konsentrat Berdasarkan Kandungan Protein Kasar 19% terhadap Penampilan Kelinci

Pengaruh Penggunaan Rumput Kebar (Biophytum petsianum Clotzch) dalam Konsentrat Berdasarkan Kandungan Protein Kasar 19% terhadap Penampilan Kelinci Sains Peternakan Vol. 10 (2), September 2012: 64-68 ISSN 1693-8828 Pengaruh Penggunaan Rumput Kebar (Biophytum petsianum Clotzch) dalam Konsentrat Berdasarkan Kandungan Protein Kasar 19% terhadap Penampilan

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM SKRIPSI R. LU LUUL AWABIEN PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN STARBIO TERHADAP KINERJA PRODUKSI PADA AYAM PEDAGING FASE STARTER

PEMANFAATAN STARBIO TERHADAP KINERJA PRODUKSI PADA AYAM PEDAGING FASE STARTER 159 Buana Sains Vol 9 No 2: 159-164, 2009 PEMANFAATAN STARBIO TERHADAP KINERJA PRODUKSI PADA AYAM PEDAGING FASE STARTER Nonok Supartini dan Sumarno Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Abdul Azis, Anie Insulistyowati, Pudji Rahaju dan Afriani 1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Proksimat Sampel Tabel 8 menyajikan data hasil analisis proksimat semua sampel (Lampiran 1) yang digunakan pada penelitian ini. Data hasil analisis ini selanjutnya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap 9 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap Efisiensi Penggunaan Protein pada Puyuh Betina (Cortunix cortunix japonica) dilaksanakan pada Oktober

Lebih terperinci

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN EFFECT OF PROTEIN LEVEL IN THE DIET ON SLAUGHTER WEIGHT, CARCASS AND ABDOMINAL FAT PERCENTAGE OF

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum sebagai substitusi bungkil kedelai terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot

Lebih terperinci

Jurnal Zootek ( Zootek Journal ) Vol. 37 No. 1 : (Januari 2017) ISSN

Jurnal Zootek ( Zootek Journal ) Vol. 37 No. 1 : (Januari 2017) ISSN PENGARUH PENGGUNAAN MOLASES SEBAGAI SUMBER ENERGI PAKAN PENGUAT DALAM RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN TERNAK KELINCI Sumarni Wuysang, C.A. Rahasia*, J.F. Umboh, Y. L. R. Tulung Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di CV. Mitra Mandiri Sejahtera Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak lokasi kandang penelitian dari tempat pemukiman

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu.

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu. BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh lama periode brooding dan level protein ransum periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

PERUBAHAN TERHADAP KADAR AIR, BERAT SEGAR DAN BERAT KERING SILASE PAKAN LENGKAP BERBAHAN DASAR JERAMI PADI DAN BIOMASSA MURBEI

PERUBAHAN TERHADAP KADAR AIR, BERAT SEGAR DAN BERAT KERING SILASE PAKAN LENGKAP BERBAHAN DASAR JERAMI PADI DAN BIOMASSA MURBEI PERUBAHAN TERHADAP KADAR AIR, BERAT SEGAR DAN BERAT KERING SILASE PAKAN LENGKAP BERBAHAN DASAR JERAMI PADI DAN BIOMASSA MURBEI Change of Water Content, Fresh Weight and Dry Weight of Complete Feed Silage

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN. PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN Wa Ode Rosmiati 1, Natsir Sandiah 2, dan Rahim Aka 2 1 Mahasiswa Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

ISBN: Seminar Nasional Peternakan-Unsyiah 2014

ISBN: Seminar Nasional Peternakan-Unsyiah 2014 EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN FERMENTASI ASAL HIJAUAN DAN PROBIOTIK UNTUK MENEKAN BIAYA PRODUKSI DAN MENINGKATKAN PRODUKSI ITIK PEDAGING KOMERSIAL FASE AWAL PERTUMBUHAN M. AMAN YAMAN, MUHAMMAD DAUD, ZULFAN

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 30 September 2015. Kegiatan penelitian ini bertempat di P.T. Naksatra Kejora Peternakan Sapi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta ABSTRACT This research was conducted to investigate

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus 18 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap persentase potongan komersial karkas, kulit dan meat bone ratio dilaksanakan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaempferia galanga Linn) PADA RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER, KADAR KOLESTROL, PERSENTASE HATI DAN BURSA FABRISIUS SKRIPSI

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING

PENGARUH PENGGUNAAN KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING PENGARUH PENGGUNAAN KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING (Effect of Tumeric (Curcuma domestica) in the Ration on Broiler Performance) S.A ASMARASARI 1 dan E. SUPRIJATNA 2 1 Balai Penelitian

Lebih terperinci

PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler. Oleh

PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler. Oleh PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler Abstrak Oleh Sri Rikani Natalia Br Sitepu, Rd. HerySupratman, Abun FakultasPeternakanUniversitasPadjajaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dan dibagi dalam dua periode, yakni periode starter (0-18 hari) dan periode finisher (19-35

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi Terhadap Konsumsi Pakan, Konversi Pakan dan Pertambahan Bobot

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan silase daun singkong,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak

BAB III METODE PENELITIAN Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kandang peternakan ayam broiler Desa Ploso Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar pada bulan Februari sampai Mei 2014.

Lebih terperinci

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707 Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707 Dede Risnajati 1 1Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Bandung Raya Jalan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Hasil analisa proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kualitas nutrien bahan pakan dan dalam menghitung komponen nutrien karena kualitas nutrien bahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat makanan yang masuk

Lebih terperinci