BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Konsepsi Perkawinan Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht (hukum ibu) (1861). Dalam buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan adalah heater (pelacur kuil) dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap lakilaki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil (hubungan kelamin yang tidak teratur) datanglah perkawinan (Ball, 1987). Jadi dari sinilah awal munculnya istilah perkawinan. Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia, menurut Fairchild (1966) dalam dictionary of sociology and related sciences adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua bentuk prinsip perkawinan yakni; 1) perkawinan monogami dan 2) poligami. Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami (polyandry) atau isteri (polyginy). Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah kebiasaan (adat) yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya sebuah keluarga baru. Pada perkembangan berikutnya, konsepsi perkawinan mengikuti konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah (Afrizal, 1997). Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein (1972) misalnya, perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal

2 8 bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough (dalam Afrizal, 1997), pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis perempuan itu menjadi suaminya. Tetapi isteri dari perempuan itu diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, dan laki-laki itu tidak mesti menjadi bapak dari anak itu secara sosial. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Gough dalam Keesing (1992), misalnya melihat perkawinan disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang diemban dalam perkawinan. Menurut Ball (1987), perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach (1986), perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Pendapat para ahli di atas, kiranya sama dengan ajaran Islam yang di anut oleh sebagian besar warga Indonesia, perkawinan tidak hanya pengesahan anak yang lahir akibat hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga penglegitimasian hubungan seksual itu sendiri. Melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perilaku haram. Berdasarkan konsepsi-konsepsi perkawinan di atas, maka jelaslah bahwa perkawinan merupakan suatu institusi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan individu dalam masyarakat dalam rangka mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dan juga akibat dari hubungan itu.

3 9 Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak. Goodenough (1970) dalam Keesing, (1992) mendefiniskan perkawinan sebagai transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita, korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terusmenerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan (life cyle) manusia Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat. Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh suatu masyarakat. Sebagai konsekuensinya terlihat pada bentuk-bentuk perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan. Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia adalah kawin penculikan (kawin rampok) 1. Perkawinan ini dilakukan dengan merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal (sebenarnya virilokal). Bentuk perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan. Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan konvensional yang dapat diterima (Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980). 1 Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.

4 10 Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk mencari isteri dari suku-suku lain (group ethnic). Dalam bentuk perkawinan ini di dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis Koetjaraningrat, 1980). Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin dengan anggota keluarganya sendiri saudara kandung, orang tua dan anakanaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta saudara tiri (Newman dan Grauerholz, 2003). Jadi dalam bentuk perkawinan ini, perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi. Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja. Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat, 1980). Bentuk perkawinan ini menurut (Newman dan Grauerholz, 2003), terjadi dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat (Keesing, 1992). Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional, yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya. Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang keluar atau meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu, akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku

5 11 ayahnya (Pintu, 2000). Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (sumando) sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal (Amir, 2006). Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat, sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987). Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain : 1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman menjadi ramai dan berseri. 2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga. 3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung halaman, dan penolong ninik mamak 4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang kampung. 5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan dalam kesempitan. Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu

6 12 tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya (Hakimy, 1984). Hal ini berarti, seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan baik. Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain; mas kawin (bridewealth) (Koentjaraningrat, 1980), harta bawaan (dowry) (Croll dan Ursula, 1980) dan pemberian (Mauss, 1992). Mas kawin (bridewealth) yang merupakan salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis (Goody, 1973; Koentjaraningrat, 1992). Mas kawin (bridewealth), yang berupa barang antaran banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna simbolis (Keesing, 1992). Mas kawin (bridewealth) biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda atau bilateral. Van den Berge (dalam Sanderson 2000), melaporkan bahwa 71 persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok kerabat mereka sendiri. Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga masing-masing mempelai. Menurut Keesing (1992), orang tidak memiliki sarana

7 13 untuk membiayai perkawinannya sendiri. Oleh karena itu dalam memilih pasangan yang secara politis maupun ekonomis disesuaikan dengan kesukaannya sendiri dan juga keiinginan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu mengenai siapa yang harus membayar mas kawin dan kepada siapakah mas kawin harus diberikan ada 3 (tiga) kemungkinan: 1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan siapa yang akan menerima mas kawin tersebut. 2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri. 3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat,1992:104). Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah dowry. Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan. Harta bawan ini menurut Van den Berghe (1979), mengandung makna bahwa seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan (Sanderson, 2000). Di pihak lain Lamanna dan Friedman (1991), melihat dowry sebagai harta jaminan yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan (Pesek, 2007). Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis (Keesing, 1992). Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang

8 14 yang dibawa dalam perkawinan sebagai jaminan, juga menujukkan kualitas 2 wanita dalam perkawinan tersebut. Kemudian setelah itu, dalam perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur dan sebagainya (Lamanna, dan Riedmann, 1981). Terakhir pemberian sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada prestasi menyeluruh (Mauss, 1992). Secara umum pemberian merupakan sebagai bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompokkelompok masyarakat itu secara menyeluruh (Suparlan (1992). Menurut Mauss (1992), dalam pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian merupakan sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar, pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai barang menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal. Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompokkelompok. Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 2 Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat

9 15 1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama disebut dengan barter. 2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu. 3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi (prestaion). Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah kedudukan daripada si pemberi. Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan. Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai

10 16 penerima. Dalam perkembangan uang jemputan sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik telah dua kali mengalami perubahan yakni menjadi uang hilang dan uang dapua (uang dapur), tetapi maknanya tidak berubah yakni sebagai penghargaan kepada seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Meskipun dalam praktek jumlah uang jemputan akan disesuai dengan status sosial ekonomi laki-laki. Artinya semakin tinggi status sosial ekonominya, maka semakin tinggi uang jemputannya. Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar kebangsawanan (Arifin, 1984). Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar kebangsawanan (keturunan) dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai uang jemputan. Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki (tempat syech tinggal) meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan (tingkatan). Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan pernikahannya (Amran, 1991). Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu. Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik. Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka (1982:5), pada saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi. Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak. Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton (dalam Garna, 1996:179),

11 17 disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadang bagala. Artinya kecil diberi nama, setelah besar umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar. Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaan/tradisi yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal-- garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni ibu. Oleh karena itu sistem materilineal disebut dengan garis keturunan ibu atau sako-indu (Amir, 2006). Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas, hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya. Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan (Naim, 1979) Menurut Radjab (1969); Kato (1989), sistem matrilineal mempunyai ciricirinya sebagai berikut; 1. Keturunan dan kelompok keturunan (corporate descent group), ditentukan dari garis ibu (maternal line). 2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku. 3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut garis ibu. 4. Seorang laki-laki dewasa yang telah kawin memiliki dua macam fungsi, berjalan secara paralel dan simultan.

12 18 5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili dan residensinya cendrung dualokal. 6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah istrinya. 7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya. 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan. 9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan mamak. Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah (rumah adat) yang dihuni oleh keluarga besar (extended family) menurut sistem matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat menyimpan barang-barang berharga). Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih (nuclear family) dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi (Radjab, 1969; Kato 1982) mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1 berikut ini Generasi Nenek Generasi Ibu Generasi Anak Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982)

13 19 Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama lahan/harta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik bersama saparuik. Oleh sebab lahan (harta pusaka) itu menjadi milik bersama, sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud adalah pusaka tinggi berupa lahan (sawah dan ladang), yang diwarisi secara turuntemurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan samande menurut menurut Joselin de Jong (1951); Radjab, (1969: 24-25), kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang mengawasi dan mengatur (management) harta tersebut. Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik (harta komunal) menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut: 1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai ka mande kita sendiri. 2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (pecah), sehingga barang siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya. 3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang, masih terikat pada tanah (agraris). 4. Sebagai lambang kedudukan sosial. Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara: Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki, bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar penghulu telah lama balipek (disimpan saja) karena tidak ada biaya untuk upacara puntiang penghulu (pengangkatan penghulu) baru. Empat, rumah

14 20 gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami kerusakan/perlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka diperbolehkan menggadaikan harta pusaka (Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir, 1987; Backmann, 2000). Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000) telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini, keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997). Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan (Litwak dan Szelenyi, 1969). Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, (1979), di rangkum sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara

15 21 anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat, walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan. Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang direstui ketimbang perkawinan yang tidak direstui misalnya kawin lari, perkawinan antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam, data hasil penelitian kurang memadai untuk memprediksi efek bantuan orang tua terhadap keberlangsungan keluarga dan hubungan perkawinan di antara pasangan yang menerima bantuan. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini. Bantuan dari keluarga luas tetap mengalir dalam bentuk materil seperti uang dan benda-benda kebutuhan rumah tangga. Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak masih terlibat dalam pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala

16 22 akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan menjadi urusan sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga baru. Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai berikut: 1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara. 2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan anak-anak. 3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama untuk memperoleh ketentraman batin. 4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari kepunahan. Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka keluarga itu dianggap punah (Amir, 2006; Latief, 2002). Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan. Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak (anak saudara laki-laki ibu), sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. (Navis, 1984). Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka (Kato, 1989). Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya, kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu akan menjadi anak hilang dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki

17 23 luar, tidak akan merubah struktur adat, karena anak yang lahir tetap menjadi suku bangsa Minangkabau. Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan (Amir, 2006). Berikut Sukmasari (1983) mengemukakan syarat-syarat perkawinan Minangkabau antara lain; 1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam. 2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain. 3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak. 4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya. Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga perempuan Perubahan Sosial Budaya Pada dasarnya setiap masyarakat dalam kehidupannya akan mengalami perubahan-perubahan, demikian juga dengan kehidupan bersama manusia. Perubahan itu akan dapat diketahui, apabila dilakukan perbandingan, artinya adalah menelaah keadaan suatu masyarakat pada waktu tertentu dan kemudian membandingkannya dengan keadaan masyarakat itu pada masa yang lalu. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terusmenerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataan akan mengalami perubahan itu, akan tetapi perubahan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Simanjuntak (1981), perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi bedanya, dalam

18 24 masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, dan dalam masyarakat tradisional sangat lambat. Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang kompleks. Moore (dalam Lauer, 1989) misalnya perubahan sosial adalah perubahan yang berkaitan dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Selain itu Moore juga memasukan perubahan sosial sebagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soekanto (1990), perubahan-perubahan yang terdapat di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Kemudian Sills seperti yang dikutip Sastramiharja (1987), perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, yang di dalamnya termasuk pola-pola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan berbagai simbol. Berikut tingkat analisis perubahan sosial dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial Tingkat Analisis Global Peradaban Kebudayaan Masyarakat Komunitas Institusi Wakil Kawasan Studi Organisasi internasional; ketimpangan internal Lingkaran kehidupan, peradapan atau pola-pola perubahan lain (misalnya; evolusioner atau dialektika) Kebudayaan materil dan kebudayaan non materil Sistem stratifikasi; struktur; demografi; kejahatan Sistem stratifikasi; struktur; demografi; kejahatan Ekonomi; pemerintahan; agama; perkawinan dan keluarga; pendidikan. Wakil Unit-Unit Studi GNP; data perdagangan Inovasi Ilmiah, kesenian dan inovasi lain-lain; institusi sosial Teknologi; idiologi; nilai-nilai Pendapatan; kekuasaan dan gengsi, peranan, tingkat migrasi; tingkat pembunuhan Pendapatan; kekuasaan dan gengsi; peranan; pertumbuhan penduduk; tingkat pembunuhan. Pendapatan keluarga, pola pemilihan umum; jemaah Gereja dan Mesjid; tingkat perceraian; proporsi penduduk di perguruan tinggi. Organisasi Struktur; pola interaksi; struktur kekuasaan; produktivitas. Peranan; klik persahabatan; administrasi/ tingkat produksi Interaksi Tipe interaksi; komunikasi Jumlah konflik; kompetisi atau kedekatan; identitas keseringan dan kejarangan partisipasi interaksi Individu Sikap Keyakinan mengenai berbagai persoalan; aspirasi Sumber: Lauer, (1989 : 6)

19 25 Penjelasan mengenai konsepsi perubahan sosial di atas menggambarkan bahwa perubahan sosial itu menyangkut berbagai tingkat kehidupan sosial, mulai dari yang lebih kecil sampai kepada yang lebih besar. Mengacu kepada tingkat analisis perubahan sosial di atas maka terkait dengan research ini (tradisi bajapuik) termasuk kepada kawasan kebudayaan materi dan non materi dengan unit-unit studinya adalah nilai-nilai. Karena tradisi bajapuik yang terdiri dari uang japuik yang dalam realitanya tetap ada, namun nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi bajapuik telah mengalami perubahan. Ini terlihat dari nilai dasar dan bentuk-bentuk pertukaran, dimana pada awalnya gelar kebangsawanan, kemudian beralih kepada status sosial ekonomi (pekerjaan tetap) yang secara nyata menghasilkan uang. Begitu juga dengan bentuk pertukaran yang terdapat dalam tradisi bajapuik, pada awalnya sejumlah benda atau uang secukupnya (uang jemputan) berkembang menjadi bentuk-bentuk uang lainnya seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Atas dasar itu, maka perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bagaimana terjadinya perubahan itu dan faktor apa yang menyebabkan, disini pentingnya penelitian ini. Oleh sebab itu penjelasan mengenai perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik lebih tepat kiranya dengan menggunakan pandangan perspektif evelusionisme dari Comte. Perspektif ini melihat perkembangan masyarakat dengan menganalogikan seperti halnya proses evolusi yakni suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat namun menuju suatu bentuk kesempurnaan (Etzioni, 1973). Kesempurnaan menurut Comte dalam masyarakat dicirikan oleh adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferensiasi dan terspesialisasi (Sztompka, 2004). Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif dan menuju suatu bentuk kesempurnaan masyarakat. Pemikiran Comte tentang perubahan sosial didasari atas konsep dinamika sosial (social dynamics), yakni berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejalagejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda (Salim, 2002). Dalam hal ini Comte berasumsi bahwa untuk memahami periode kelahiran modernitas, kita

20 26 perlu menempatkan dalam konteks historis yang lebih luas, yakni memperlakukannya sebagai salah satu fase saja dari perjalanan panjang sejarah umat manusia. Masyarakat kapitalis, industri tidak muncul secara kebetulan, tetapi merupakan hasil wajar dari proses terdahulu (Lauer, 1985; Turner, 1998; Sztompka, 2004). Jadi, mustahil untuk memberikan penjelasan, memprediksi dan menentukan perkembangan fenomena modern secara memadai tanpa merekonstruksi pola dan mekanisme seluruh sejarah terdahulu. Lebih rinci Comte melihat perkembangan masyarakat melalui pola berfikir tertentu yakni melalui tahapan-tahapan dalam alam berfikir manusia atau yang disebutnya dengan evolusi intelektual. Untuk itu Comte bertolak dari hukum tiga tahap perkembangan manusia, yakni teologis, metafisik dan posistif. Setiap tahap dalam urutan itu adalah akibat penting dari tahap sebelumnya dan selalu menunjukkan perkembangan sesuai dengan tahap yang sedang mereka capai dan mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya secara keseluruhan. Selanjutnya setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Adapun tahap perkembangan pemikiran manusia menurut Comte yaitu: 1) Tahap Teologis, pada tahap teologis ini adalah awal mula perkembangan pemikiran manusia. Pada tahap ini, yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua fenomena atau kejadian di dunia adalah gagasan, ide atau doktrin-doktrin keagamaan. Pola pemikiran manusia pada tahap ini pada umumnya adalah menganggap bahwa semua benda yang ada di dunia ini memiliki jiwa atau roh yang berasal dari kekuatan yang berada diluar jangkauan manusia (kekuatan gaib, misalkan dewa). 2) Tahap metafisik, tahap ini sebenarnya hanya merupakan suatu modifikasi dari tahapan yang pertama (tahap teologis)--suatu fenomena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan diluar jangkauan manusia seperti kekuatan roh nenek moyang atau dewa-dewa. Manusia mulai mencari pengertian dan penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di alam dengan membuat abstraksi dan konsep metafisik (spekulatif). 3) Tahap positif, tahap ini yang menjadi dasar pemikiran aliran positivistik-- pemikiran manusia mencoba untuk menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap semua fenomena yang terjadi di dunia ini berdasarkan hukum-hukum yang dapat diamati, diuji dan dibuktikan

21 27 secara empirik. Menurut Comte, pada tahap inilah ilmu pengetahuan mulai berkembang, dan merupakan suatu titik tolak menuju masyarakat yang ideal. Selanjutnya Comte mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi manusia melangkah untuk mencapai tujuan akhir sebagai berikut; 1) rasa bosan; 2) umur manusia dan 3) demografi. Mengikuti pemikiran Comte di atas, perkembangan pola berfikir dari suatu masyarakat memberikan kekuatan pendorong perubahan dalam pikiran atau semangat manusia. Dengan semangat itulah manusia memahami realitas, berasumsi dan membuat metoda yang diterapkan dalam upaya menjelaskan, memprediksikan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai masyarakat terus berkembang. Derajat pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua aspek kehidupan masyarakat lainnya: ekonomi, politik, dan militer (Johnson; 1986; Sztompka (2004). Untuk memperoleh gambaran gagasan Comte tentang perubahan sosial masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi Kategori Bentuk Perubahan Landasan Pemikiran Perkembangan Organisme Sifat Perubahan Kumulatif Arah Perkembangan Linear/positif Konsepsi Optimis Dengan demikian suatu yang digaris bawahi dari pemikiran di atas adalah bahwa Comte tidak hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat tetapi juga mampu menjelaskan rangkaian perkembangan manusia. Memberikan perspektif baru bahwa perubahan adalah sesuatu yang normal, wajar, bahwa perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua masyarakat, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama. Mengikuti pemikiran Comte di atas, maka perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik terjadi sesuai dengan pekembangan masyarakat (evolusi) dengan tidak menghilangkan unsur-unsur yang terdapat dalam tradisi bajapuik. Gelar kebangsawanan tetap mempunyai nilai dalam tradisi bajapuik, namun nilainya telah mulai berkurang jika dibandingkan dengan oleh status sosial ekonomi sebagai pertimbangan dalam memilih menantu. Karena keuntungan yang lebih

22 28 besar terdapat pada status sosial ekonomi (pekerjaan) yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Jadi adanya peralihan pemikiran masyarakat itu merupakan suatu bentuk perkembangan pola berfikir menuju kesempurnaan masyarakat. Kalau ditelusuri lebih jauh proses perubahan sosial yang melanda berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat saat ini, pada dasarnya merupakan proses yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Bahkan perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja mempengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya (Soekanto, 1990). Selanjutnya, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat antara lain: 1) ketidak puasan terhadap situasi yang ada; 2) adanya tekanan tentang perbedaan antara yang ada dan yang seharusnya (Margono dalam Taneko, 1993). Kemudian Adiwikarta (1988), perubahan juga dapat diakibatkan oleh pendidikan karena pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai dua peranan penting yaitu; sebagai pelestarian kebudayaan dan sistem sosial (agent of conservation) di samping sebagai pembawa atau pelaku perubahan (agent of change). Sebagai pelestarian kebudayaan pendidikan telah mewariskan suatu sistem nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma dan adat-istiadat serta berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya dari satu generasi ke generasi lainnya, sedangkan sebagai pelaku perubahan pendidikan mengkonstruksi bentuk-bentuk baru akibat bentuk lama yang sudah tidak cocok lagi. Terkait dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat di Minangkabau dan Pariaman khususnya, menurut Abdullah (1992), disebabkan oleh jumlah dan komposisi penduduk, perluasan dan spesialisasi dan diferensiasi kerja. Selain itu juga disebabkan oleh pendidikan pendidikan mengakibatkan terbukanya kominikasi dan berkembangnya pengetahuan (Navis, 1983). Dengan demikian faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perubahan adalah faktor intern dan ekstern. Kedua faktor ini merubah pilihan masyarakat dalam tradisi bajapuik Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan Pada dasarnya perkawinan berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi (Goode, 2007). Ini berarti di dalam proses perkawinan terdapat sumber-

23 29 sumber yang ditawarkan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Proses ini tentunya melibatkan pihak-pihak yang syarat dengan perilaku dan interaksi sosial. Dalam sosiologi keluarga, proses pertukaran yang terjadi antara pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya disebut dengan pasar perkawinan (marriage market). Untuk memahami perkawinan sebagai sebuah proses pertukaran yang terjadi dalam pasar perkawinan (marriage market) dapat didekati dengan perspektif teori pertukaran (exchange theory) dari Homans, meskipun dalam ilmu sosiologi Blau juga termasuk dalam pengembangan teori ini. Secara umum teori pertukaran mempunyai asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi para ahli teori pertukaran mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata (Poloma, 2000). Ini sejalan dengan pandangan Skidmore (1979), bahwa pertukaran (exchange) tidak selalu dimaksudkan untuk menukarkan sesuatu yang nyata, tetapi pertukaran juga meliputi sesuatu yang tidak nyata seperti harga diri atau penghargaan, saling keterkaitan, bantuan dan dalam bentuk persetujuan. Pertukaran juga dimaksudkan untuk menghindari sesuatu seperti penderitaan, biaya keadaan yang memalukan lainnya dan pertukaran juga meliputi kesempatan, keuntungan dan aspek-aspek komparatif dari hubungan kemanusiaan (human relation). 3 Dari pernyataan Skidmore tersebut, maka jelaslah bahwa gagasan pertukaran (exchange) mempunyai pengertian yang sangat luas dan tidak terbatas pada pemberi dan penerima yang bersifat konkrit. Pandangan yang sama, juga dikemukakan Malinowski bahwa pertukaran tidak hanya dalam bentuk materil tetapi juga dalam bentuk non materil (Turner, 1998; Anderson, 1995). Secara spesifik teori pertukaran yang dikembangkan oleh Homans, melihat semua perilaku sosial tidak hanya perilaku ekonomis, tetapi menyediakan ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Lebih jauh Homans menjelaskan, di mana aktor dalam berperilaku mempertimbangkan keuntungan dan memperkecil biaya yang 3 Lebih jauh lihat William Skidmore Theoritical Thinking in Sociology. Cambrige University Press. London. J.H. Anderson. 1995: Retorical Objectivity in Malinowsky s Argonnaouts, University of Illinois Press. Urbana and Chicago.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk hidup sendiri.

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik

BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang dirumuskan sebelumnya, maka pada bab ini dapat dibuat kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

DISERTASI EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI

DISERTASI EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI DISERTASI EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT PARIAMAN MINANGKABAU SUMATERA BARAT MAIHASNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Pernyataan Mengenai Disertasi dan

Lebih terperinci

Tujuan Umum Pembelajaran Mampu berkomunikasi dengan menerapkan prinsip budaya setempat (Minangkabau)

Tujuan Umum Pembelajaran Mampu berkomunikasi dengan menerapkan prinsip budaya setempat (Minangkabau) PENGAMBILAM KEPUTUSAN DALAM KELUARGA MENURUT BUDAYA MINANGKABAU Oleh : Dra. Silvia Rosa, M. Hum Ketua Jurusan Sastra Daerah Minangkabau FS--UA FS Tujuan Umum Pembelajaran Mampu berkomunikasi dengan menerapkan

Lebih terperinci

BAB IV PRAKTEK PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI TIDAK BERGERAK DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DI NAGARI PARIANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PRAKTEK PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI TIDAK BERGERAK DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DI NAGARI PARIANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PRAKTEK PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI TIDAK BERGERAK DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DI NAGARI PARIANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Praktek Pewarisan Harta Pusaka Tinggi Tidak Bergerak di

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ). BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI 2.1. Masyarakat Agraris Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Konsep Pelaksanaan Adat Perkawinan Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki dan senantiasa menggunakan adat-istiadat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan oleh lautan, menjadikan negara ini memiliki etnis serta

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Di dalam masyarakat kedudukan seseorang dalam segala hal telah diatur oleh lingkungan kelahirannya. Dilahirkan sebagai anak dari pasangan orang tua tertentu menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki

BAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah pusako adalah tanah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran, kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi masyarakat Jawa berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan seorang diri, tetapi manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK

BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK BAB V NILAI-NILAI, DASAR DAN BENTUK-BENTUK PERTUKARAN DALAM TRADISI BAJAPUIK 5.1.Nilai Pertukaran Dalam Tradisi Bajapuik Tradisi bajapuik merupakan sub sistem dari sistem perkawinan masyarakat sejak dulu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga 7 Definisi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, setiap pasangan tentu ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas masyarakat matrilineal

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Begawai Pernikahan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai suku bangsa, golongan, dan lapisan sosial. Sudah tentu dalam kondisi yang demikian

Lebih terperinci

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN 5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN TUJUAN PERKULIAHAN 1. Mahasiswa memahami struktur sosial di perdesaan 2. Mahasiswa mampu menganalisa struktur sosial perdesaan KONSEP DASAR STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DAPAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1

Lebih terperinci

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian LAMPIRAN 143 144 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 145 146 Lampiran 3 Pengukuran Variabel Penelitian untuk Jawaban Pengetahuan No. Pernyataan Betul Salah Pengetahuan tentang keluarga sistem matrilineal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

Kekerabatan dan Keturunan

Kekerabatan dan Keturunan Kekerabatan dan Keturunan Lewis Henry Morgan (1818-1881) Latar belakang Guru besar Antropologi Amerika Utara abad ke- 19 yang dipandang sebagai perintis studi tentang kekerabatan. Dalam bukunya yang berjudul:

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR

BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR Setelah mempelajari lebih lanjut mengenai hal-hal yang terkandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Pencarian Jodoh Muli Mekhanai Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata Pemilihan mempunyai arti proses atau cara perbuatan

Lebih terperinci

BAB VII EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT

BAB VII EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT BAB VII EKSISTENSI TRADISI BAJAPUIK DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT Pada bab ini diuraikan kontinuitas keberadaan perkawinan bajapuik yang tetap eksis dalam perubahan sosial budaya masyarakat. Eksis atau adanya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar 8.2 Pengertian Keluarga

BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar  8.2 Pengertian Keluarga BAB VIII KELUARGA 8.1 Pengantar keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat dan merupakan gejala yang universal. Dewasa ini, lembaga keluarga banyak mengalami perubahan baik dalam struktur maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Setiap suku biasanya memiliki tradisi yang menjadi keunikan tersendiri yang menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA LAMPIRAN HASIL WAWANCARA 83 LAMPIRAN Wawancara Dengan Bapak Eriyanto, Ketua Adat di Karapatan Adat Nagari Pariaman. 1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Tradisi Bajapuik? - Pada umumnya proses pelaksanaan perkawinan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran kawin sasuku pada masyarakat Minangkabau dianggap sebagai perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Manusia dilahirkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain,

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Ritual Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama,

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan

BAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan benda tidak bergerak yang mutlak perlu bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN A. Sekilas Tentang Bapak Kasun Sebagai Anak Angkat Bapak Tasral Tasral dan istrinya

Lebih terperinci

Keluarga inti merupakan kelompok primer yang dapat dikatakan sebagai institusi dasar berkembangnya institusi sosial yang lain.

Keluarga inti merupakan kelompok primer yang dapat dikatakan sebagai institusi dasar berkembangnya institusi sosial yang lain. Pranata Keluarga Istilah keluarga dapat berarti : 1. Keluarga besar (extended/consanguine family), yang dapat terdiri dari kakeknenek, mertua, bapak-ibu, anak kandung dan menantu, cucu, saudara sepupu

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI DUNIA

LAMPIRAN 1. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI DUNIA 187 LAMPIRAN 1. KAJIAN TENTANG PERKAWINAN DI DUNIA No Nama Peneliti Tahun Bidang Judul Fokus Ilmu 1. J.P. Mclennan 1865 Antropologi Primitive Marriage Pada perkawinan rampas 2. Bachoffen 1880 Antropologi

Lebih terperinci

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H.

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H. ÉÄx{M Joeni Arianto Kurniawan, S. H. Perkawinan dlm Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan dunia gaib HAZAIRIN: Perkawinan mrp rentetan perbuatanperbuatan magis, yg bertujuan utk menjamin ketenangan,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE. belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE. belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KELUARGA IE 2.1 Konsep Ie Dalam tradisi masyarakat Jepang hubungan sosial tidak hanya di latar belakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung dan rugi, melainkan diikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa anak-anak, remaja, nikah, masa tua, dan mati (Koenthjaraningrat, 1977: 89). Masa pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano Menurut Hertz, kematian selalu dipandang sebagai suatu proses peralihan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, masalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial sudah makin kompleks dan terdiri dari berbagai aspek yang mana hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas membentang dari kota Sabang Provinsi Nanggro Aceh Darussalam hingga kota Merauke Provinsi Papua. Tidak

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan antara suku bangsa, yang harus saling menghargai nilai nilai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan antara suku bangsa, yang harus saling menghargai nilai nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang terkenal dengan beranekaragam suku bangsa, setiap suku bangsa mempunyai adat dan budaya sendiri. Dimana ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia mempunyai nilai yang tinggi karena merupakan suatu system yang dikembangkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad lamanya, di dalam kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa penting tersebut dikaitkan dengan upacaraupacara yang bersifat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Minangkabau di Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Koto Baru, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan satu sama lain dan tidak bisa hidup sendiri, begitu juga dalam kehidupan manusia yang berlainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: SITI SOLIKAH F100040107 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga dalam ikatan suatu perkawinan.ikatan perkawinan adalah ikatan lahir

BAB I PENDAHULUAN. keluarga dalam ikatan suatu perkawinan.ikatan perkawinan adalah ikatan lahir 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan kedunia manusia ditakdirkan untuk saling berpasang-pasangan agar hidup bersama untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan A. Latar Belakang Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya. Ikatan suci ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang merupakan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang merupakan aset dari kebudayaan nasional adalah bersumber dari puncak-puncak terindah, terhalus, terbaik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pandangan Gennep (Winangun,1990 : 33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu (1) Ritus pemisahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. para ahli. Makna berasal dari bahasa Jerman meinen yang artinya ada di pikiran atau benar

II. TINJAUAN PUSTAKA. para ahli. Makna berasal dari bahasa Jerman meinen yang artinya ada di pikiran atau benar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Makna Tradisi Untuk memberikan gambaran yang memperjelas permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, berikut penulis menyajikan beberapa

Lebih terperinci

POTRET KELUARGA, DARI MASA KE MASA

POTRET KELUARGA, DARI MASA KE MASA Artikel POTRET KELUARGA, DARI MASA KE MASA Oleh Mardiya Dahulu kala, ketika orang-orang masih hidup secara nomaden dan agama belum diturunkan ke bumi, masih belum ada keluarga dalam arti sebenarnya. Karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia

Lebih terperinci

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Pitirim Sorokin Sistem stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1992:78). Dalam pengertian lain industrialisasi merupakan transformasi proses

BAB I PENDAHULUAN. 1992:78). Dalam pengertian lain industrialisasi merupakan transformasi proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industrialisasi adalah proses segala hal yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (SR. Parker, 1992:78).

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA MASA DEWASA AWAL Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Sosial Pada Masa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami dibawah tangan pada masyarakat batak toba di Kota Bandar Lampung saat ini, maka dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat (1) dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dalam batin seseorang (Damono, 2002: 1).

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dalam batin seseorang (Damono, 2002: 1). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan

Lebih terperinci