BAB I PENDAHULUAN. 1 Tulisan terkait korelasi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi antara lain dapat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1 Tulisan terkait korelasi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi antara lain dapat"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan merupakan instrumen efektif untuk mendorong proses pembangunan. Beragam teori maupun kajian empiris menunjukan bahwa negara yang lebih terbuka terhadap pasar cenderung memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara yang protektif. 1 Argumen ini semakin banyak diamini oleh banyak negara terutama paska berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai kemunculan kesadaran urgensi perdagangan lintas negara termasuk tata kelola yang menyertainya. Era tersebut sekaligus menjadi penanda mulai diinisiasinya pembentukan rezim perdagangan untuk memperkuat sistem perdagangan global agar berjalan lebih lancar dan bebas hambatan. Pada tahun 1948, 23 negara berkumpul dan berhasil menyepakati pembentukan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT). Kesepakatan ini sekaligus menjadi upaya awal menjadikan sistem perdagangan global yang lebih terbuka dan terkelola dengan baik. Harapannya, agar kesempatan tercapainya kesejahteraan bisa dinikmati oleh semua negara yang ikut serta dalam skema perdagangan ini. Dalam perkembangannya, dimensi perdebatan mengenai perdagangan sendiri semakin meluas, tidak hanya hirau persoalan ekonomi melainkan juga politik. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya aktor yang terlibat baik dari negara maju maupun berkembang. Transformasi pelembagaan GATT dalam bentuk WTO 1 Tulisan terkait korelasi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi antara lain dapat dilacak dari karya Sachs & Warner (1995) yang meneliti kebijakan negara dan korelasinya dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian mereka berhasil menunjukkan indeks yang memperlihatkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi negara paska diambilnya kebijakan perdagangan terbuka memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. 1

2 (World Trade Organization) pada tahun 1995 semakin memperjelas pemposisian sekaligus pengkutuban antar kelompok negara ini. Kemiskinanan yang masih mewabah di negara berkembang terlebih di negara terbelakang/ LDC (Least Developed Country) menjadi persoalan yang memunculkan pertanyaan tentang klaim korelasi positif perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan, serta kesejahteraan. Bahkan, gagasan dari paham anti globalis memandang muram korelasi ini. Oleh mereka, alih-alih membawa kemakmuran, konsep perdagangan bebas yang terus dipromosikan WTO dianggap justru semakin menjerat dan menjerumuskan negara berkembang. Sementara pihak yang mendukung beranggapan, kemudahan akses pasar dan kepastian peraturan yang ditawarkan organisasi ini sulit untuk diabaikan begitu saja. Di tengah regangan perdebatan inilah negara berkembang semakin menyadari urgensi perjuangan politik dalam WTO sebagai rezim perdagangan utama dunia. Negara berkembang sendiri sebenarnya mendominasi keanggotaan WTO dengan presentase mencapai dua per tiga dari total anggota. Meski begitu, peran dan pemposisian mereka dalam perundingan yang dilakukan masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan ini diakibatkan oleh masih kurangnya kapasitas yang berkelindan dengan berbagai persoalan struktural yang dimiliki. Terlebih prinsip transparansi dan non diskriminasi yang menjadi pilar dalam sistem WTO sendiri sering disalahpahami dan disalahgunakan sebagai dalih negara maju untuk melanggengkan status quo untuk konsesi yang lebih menguntungkan mereka. Negara berkembang memang tidak tinggal diam begitu saja, namun tarik ulur kepentingan yang terjadi malah berimbas pada ketidakjelasan dan lambannya keputusan perundingan. Jika hal ini tidak segera dijembatani, bukan tidak mungkin yang terjadi malah pelemahan sistem perdagangan multilateral dan peminggiran kepentingan negara berkembang itu 2

3 sendiri. Keberadaan sistem perdagangan global yang menjadi cita-cita bisa saja sekedar jargon yang tidak berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan negara berkembang. Reposisi negara berkembang menjadi misi yang sangat penting dalam mengupayakan tercapainya rasa keadilan (sense of fairness) yang lebih baik dalam tubuh WTO. Persoalan keadilan ini sendiri merupakan salah satu isu utama baik dalam konteks perdagangan maupun ranah ekonomi politik internasional yang lebih luas. Namun dalam praksisnya, keadilan disini cenderung berada dalam domain politik sehingga sifatnya lebih prosedural ketimbang substantif. Turunan prinsip non diskriminasi WTO Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment (NT) menjadi bentuk nyata dari argumen ini. Secara teori, kedua prinsip ini merupakan bentuk keadilan karena setiap negara akan mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pembedaan. Namun jika ditinjau lebih jauh, perlakuan yang sama ini jika diberlakukan tanpa mempertimbangkan status dan kemampuan ekonomi negara bersangkutan bias jadi hanya akan menempatkan negara tersebut dalam posisi yang dirugikan. Upaya pemajuan kepentingan negara berkembang di WTO diperlukan guna memperbaiki pemposisian negara berkembang agar kedepannya peran yang dimainkan serta manfaat yang diraih menjadi lebih baik. Terlebih jika dibandingkan dengan institusi ekonomi dunia lain seperti IMF dan Bank Dunia, kesempatan yang ditawarkan mekanisme pengambilan keputusan WTO bagi negara berkembang jauh lebih memungkinkan. Keputusan dan kebijakan yang diambil oleh kedua institusi sebelumnya sangat didominasi oleh pengaruh lembaga tertentu dimana penentuan mengenai putusan yang harus diambil sangat dipengaruhi saham yang disumbang negara anggota. Hak suara yang dimiliki negara anggota sangat timpang sehingga persoalan akuntabilitas keputusan terlebih yang mewakili kepentingan negara berkembang sulit terwadahi. Di IMF misalnya, saham negara maju 3

4 secara keseluruhan mencapai 60,45 persen yang didominasi AS dengan 17,29 persen, sementara negara berkembang hanya mencapai 30,32 persen. 2 Hal yang hampir mirip terjadi dengan Bank Dunia karena hak suara organisasi ini juga dipengaruhi oleh suara pokok (basic votes) yang dimiliki di IMF. 3 Tradisi kedua institusi ini dapat dipastikan menjadi milik negara maju, dengan negara dengan modal lebih banyak akan memiliki hak suara lebih besar. Pengalaman hingga saat ini, IMF sangat dipengaruhi oleh negara-negara Eropa sementara Bank Dunia berada dibawah pengaruh kuat Amerika Serikat. 4 Hal ini sangat berbeda dalam mekanisme WTO dimana negara anggotanya memiliki hak suara yang sama. Secara teori, keberadaan sistem demokratis yang transparan, inklusif, serta berbasis konsesus jika dimanfaatkan dengan baik akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi kepentingan negara berkembang. Analisa kuasa (power) diperlukan karena di dalam sistem demokratis selalu berkelindan mekanisme kuasa didalamnya. Kuasa dalam berbagai modenya selalu mengambil peranan dalam persoalan, menurut Harold Laswell (1936), siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Imbasnya, keberadaan kuasa yang dimiliki masing-masing aktor tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam setiap upaya analisa mengenai WTO. Pemahaman mengenai aspek kuasa ini penting untuk memahami relasi yang terbangun antara negara maju dan berkembang. Kuasa negara maju baik secara politis maupun teknis lebih kuat dibandingkan negara berkembang karena didukung kapasitas yang lebih baik. Disparitas kuasa yang dimiliki antara keduanya memunculkan tantangan tersendiri terutama bagi negara 2 Bahagijo, S. (ed) (2006). Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES hal Suprijanto, A. Melihat dari Jakarta, dalam Bahagijo, S. (ed) (2006), hal Harinowo, C. (2004). IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF. Jakarta: Gramedia, hal. 89 4

5 berkembang dalam memperjuangkan kepentingannya. 5 Analisa berbasis kuasa ini bermanfaat untuk pemetaan yang lebih mendalam untuk memahami proses perundingan yang dijalani, termasuk dalam pencapaian Paket Bali dalam perundingan KTM IX WTO. Paket Bali sendiri merupakan sebagian dari total isu runding perundingan Putaran Doha (Doha Development Agenda/ DAA) yang mencakup isu pertanian, fasilitasi perdagangan, dan paket pembangunan LDC. Mengingat pengalaman kegagalan pencapaian dalam empat perundingan KTM sebelumnya, tentu ada konteks serta faktor yang berbeda dengan yang ada pada KTM IX tersebut. Tulisan ini beranggapan, keberhasilan ini terutama dipengaruhi oleh adanya perubahan karakter serta identitas WTO mengenai relasi kuasa antara negara maju dan berkembang. Hal ini bisa dikenali dalam konteks konstelasi kuasa paska krisis yang memberikan dampak serius pada negara maju. Hal ini menyebabkan, konsesi yang mereka inginkan melalui koalisi di WTO bergeser untuk lebih mengadopsi kepentingan negara berkembang. Sementara di sisi lain, keberadaan negara berkembang terutama advanced developing countries/ emerging countries yang lebih resilien terhadap krisis semakin memperkuat koalisi dan tuntutan konsesi negara berkembang. Anggapan ini didukung data yang dikeluarkan International Comparison Program (ICP) yang menunjukkan bahwa total produksi barang dan jasa global pada 2011 senilai 90 trilliun dollar, hampir setengahnya berasal dari negara berkembang. 6 Sumber yang sama menyebutkan pada tahun tersebut, GDP (gross domestic product) dari enam negara berkembang China, India, Russia, Brasil, Indonesia, dan Meksiko senilai 32.3 persen, hampir menyamai GDP dari enam negara 5 Gerhart, P. M. & Kella A.S. (2004). Power and Preferences: Develop ing Countries and the Role of the WTO Appellate Body dalam North Carolina Journal Of International Law & Commercial [vol.30], hal World Bank, 2011 International Comparison Program Summary Results Release Compares the Real Size of the World Economies dapat diakses di [ 17 Januari 2014] 5

6 maju AS, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia. Analisa faktorfaktor di atas dibutuhkan untuk mengenali pertanda dari adanya pergeseran pemposisian dalam konstelasi kuasa geo-ekopolitik global dan pengaruhnya dalam kekuatan koalisi di WTO. Pelemahan kapasitas ekonomi terutama negara maju akibat krisis global sejak akhir 2007 ikut mendorong pergeseran ini sekaligus mempengaruhi wacana (discourse) serta pembicaraan dalam perundingan WTO. Statemen dari UNCTAD mengungkapkan jika krisis global dan tidak meratanya recovery perdagangan memperkuat terjadinya pergeseran menuju keseimbangan kekuatan ekonomi dunia yang ditandai relatif menurunnya kekuatan negara maju dan kebangkitan negara berkembang. 7 Krisis ini sendiri sebenarnya disebabkan oleh praktek over liberalisasi di sektor jasa keuangan dan investasi. Namun solusi pragmatis dari negara yang terkena krisis dengan memunculkan kebijakan proteksionis dan nasionalis ekstrim, mengancam keberlangsungan perdagangan multilateral. Contoh kebijakankebijakan ini antara lain AS yang memunculkan kembali gagasan neokeynesian dengan kebijakan Buy America Act, negara Mercosur (Amerika latin) dengan kebijakan safeguard atau proteksi industri lokal dengan bea masuk, serta di Singapura, Malaysia, dan Turki yang mengeluarkan kebijakan proteksi tenaga kerja dengan resillence package. Proteksionisme yang berkelindan dengan maraknya perjanjian perdagangan bilateral maupun kemunculan regionalisme seperti TPP (Trans Pasific Partnership) menjadi tantangan serius bagi perdagangan multilateral di bawah kerangka WTO. Pelaksanaan KTM IX Bali menjadi momentum yang tepat guna merefleksikan kembali keberlanjutan perdagangan multilateral yang selama ini stagnan pada deadlock perundingan Putaran Doha, sekaligus mengupayakan cara 7 Globalization And The Shifting Balance In The World Economy dapat diakses di [ 17 Januari 2014] 6

7 yang lebih baik untuk memenuhi rasa keadilan bagi negara berkembang. Perspektif Indonesia Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ministerial Conference ke-9 WTO pada 3-6 Desember 2013 di Bali. Pertemuan ini sendiri merupakan momentum bagi keberlanjutan perundingan Putaran Doha yang mulai digelar pada KTM IV di Doha, Qatar, dua belas tahun sebelumnya. Putaran ini selain menjadi peluang penegakan sense of fairness bagi negara berkembang karena substansi isu runding yang sebagian besar merupakan domain mereka, juga menghadirkan peluang bagi keberlanjutan peta jalan perundingan Putaran Doha setelahnya. Kesempatan ini sekaligus menjadi ajang pembuktian kapasitas negara berkembang mengingat rekam sejarah perundingan-perundingan WTO terdahulu termasuk ketika masih bernama GATT yang sangat sedikit mengakomodasi kepentingan nereka. Dari perspektif Indonesia, KTM IX Bali menjadi ajang pembuktian bagi pelaksanaan dan strategi diplomasi ekonomi yang dimiliki. Kebutuhan akan diplomasi ekonomi ini sendiri semakin meningkat paska reformasi yang berperan untuk memperkuat perekonomian sekaligus menjawab tantangan dari semakin meluasnya globalisasi. Pelaksanaannya yang efektif diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mendapat manfaat riil seperti investasi asing, pengembangan infrastruktur, transfer teknologi, maupun akses pasar perdagangan di negara non tradisional. Semakin membaiknya perekonomian Indonesia memperkuat kapasitas, daya tawar, dan sekaligus peluang untuk menjadi pemain kunci dan jembatan penghubung antara negara berkembang dengan negara maju. Indonesia berpeluang sebagai garda depan negara berkembang dalam perundingan-perundingan WTO. Dalam konteks 7

8 KTM IX Bali, peluang ini hadir dengan kepememimpinannya memajukan kepentingan negara berkembang dalam institusi ini. Sebelum KTM IX Bali, Indonesia sebenarnya telah cukup memiliki pengalaman dalam hal ini. Peluncuran Perundingan Doha merupakan contoh keberhasilan bagi pelaksanaan diplomasi ekonomi sekaligus peluang memperbesar kesempatan bagi negara berkembang termasuk Indonesia untuk lebih bersatu dan terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan. 8 Inisiatif Indonesia mengkoordinir 32 negara lain dalam perundingan KTM V WTO di Cancun, Meksiko, yang berhasil membentuk kelompok kepentingan G-33 menjadi pembuktian lain. Kepemimpinan dalam koalisi negara berkembang untuk isu pertanian ini membuka jalan kepemimpinan lain di luar isu pertanian seperti akses pasar produk industri, jasa, perdagangan, lingkungan hidup, dan fasilitasi perdagangan. Dengan koordinasi negara berkembang yang semakin baik, diharapkan kekuatan jejaring dan koalisi yang dibutuhkan untuk berunding dalam forum WTO juga semakin menguat. Hasilnya, meskipun penutupan KTM IX Bali sempat tertunda sehari, pertemuan tersebut akhirnya berhasil meloloskan Paket Bali sebagai putusan perundingan. Pentingnya pencapaian ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo yang mengklaim sebagai progress paling penting dalam perdagangan multilateral sejak organisasi ini didirikan pada Peluang dan potensi nilai perdagangan dunia dari implementasi Paket Bali dikatakan diperkirakan mencapai 980 miliar dollar AS yang akan membuka 8 Nasir dalam Cahyono (2008). Menjinakkan Meta Kuasa Global. Jakarta: LP3ES hal Wto Bali Deal Offers More Symbolism Than Substance dapat diakses di , [17 Januari 2014] 8

9 lapangan pekerjaan sejumlah 21 juta dengan 18 juta diantaranya berada di negara berkembang. 10 Mengapa baru di Bali perundingan Doha bisa menghasilkan keputusan? Apa alasan dibalik keberhasilan tersebut? Apa konteks yang membedakan perundingan KTM IX Bali dengan KTM-KTM sebelumnya? Bagaimana peranan Indonesia didalamnya? Dengan menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Bernett-Duvall dan strategi integrative-distributive dari Odell, penelitian ini akan berupaya untuk memahami alasan dibalik pencapaian tersebut dengan melacak alur progress modalitas isu runding terutama menjelang perundingan berlangsung serta peranan aktor-aktor terkait, termasuk Indonesia. B. Pokok Permasalahan Dari latar belakang sebelumnya, didapat elaborasi lokus persoalan sebagai berikut: Mengapa baru pada perundingan KTM IX WTO Bali perundingan Putaran Doha bisa menghasilkan keputusan? Bagaimana peran dan upaya diplomasi ekonomi Indonesia dalam pencapaian tersebut? C. Tinjauan Pustaka Bagian ini akan meninjau beberapa literalur terkait dengan fokus kajian pemajuan kepentingan negara berkembang dalam perundingan WTO. Dengan beberapa konteks yang berbeda, terdapat beberapa literatur sebelumnya yang membahas persoalan pemajuan kepentingan ini. Literatur ini cukup berguna untuk memberikan pemahaman 10 Hufbauer & Schott (2013), Pay off from the World Trade Agenda 2013 dapat diakses dari [5 Februari 2014] 9

10 mengenai posisi negara berkembang di WTO untuk dielaborsi lebih jauh dalam konteks pelaksanaan KTM IX. Pemposisian serta upaya pemajuan kepentingan negara berkembang memang merupakan persoalan yang kompleks ditinjau dari perspektif negara berkembang. Dilema terkadang muncul disini, namun kesempatan yang disediakan oleh sebuah rezim internasional tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk itu, negara berkembang harus menyikapinya dengan cerdas agar kesempatan yang ada bisa dimanfaatkan secara optimal. Pilihan untuk memanfaatkan kesempatan sekecil apapun dalam forum perundingan WTO nampaknya lebih rasional dan bijaksana ditengah ruang kebijakan alternatif lain yang masih sangat kecil. Jagdihs Bhagwati dalam In Defense of Globalization (2004) mengingatkan bahwa dalam era globalisasi yang ditandai dengan peningkatan interkonektivitas, upaya paling penting yang harus dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan manfaat dari globalisasi yang sedang berlangsung. Ia menyatakan bahwa perdagangan memang tidak selalu membawa pada pertumbuhan, namun dengan menghilangkan penghalang domestik yang ada maka negara berkembang kemungkinan akan mendapatkan manfaat yang lebih besar. WTO merupakan tempat yang kompleks sebagai sarana memperjuangkan kepentingan, namun jika dikelola dengan baik hasil yang didapat oleh negara berkembang akan bisa maksimal. Studi yang dilakukan oleh Michalopoulos yang berjudul The Participation of Developing Countries in WTO (1997) menjadi karya penting untuk memahami keterlibatan negara berkembang dalam negosiasi di WTO. Penelitian ini menunjukkan beberapa isu utama yang menjadi perhatian bagi negara berkembang. Pertama, isu representasi. Hal ini terkait ukuran jumlah dan kapasitas perwakilan dalam setiap misi di WTO. Kedua, isu keketuaan (chairmanship). Hal ini terkait alokasi jumlah negara berkembang yang mendapatkan jatah pimpinan di dewan maupun badan WTO. Ketiga, isu kapasitas 10

11 institusional. Hal ini terkait efektifitas dalam partisipasi dan representasi. Ia menjelaskan, dalam kerangka teknis, banyak perwakilan misi negara berkembang di Jenewa tidak memadai. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan negara maju yang memiliki perwakilan misi yang sangat besar. 11 Representasi yang dihasilkan dari banyaknya negara berkembang yang melakukan aksesi ke WTO paska putaran Uruguay tidak diimbangi partisipasi konsisten untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Kapasitas dan staffing dari banyak negara berkembang tidak sepadan dengan kompleksitas isu dan jumlah pertemuan yang dilaksanakan di WTO. Menanggapi permasalahan ini, Michalopoulos menyarankan kepada negara berkembang yang menghadapi persoalan ini untuk meningkatkan efektivitas strategi seperti memastikan arus informasi dapat berjalan dengan baik, identifikasi negara yang memiliki kepentingan mirip namun memiliki partisipasi yang lebih baik, penguatan kapasitas domestik, dan mendukung aksesi negara lain yang sekiranya dapat memperkuat perjuangan kepentingannya. 12 Penelitian ini menekankan pada aspek pentingnya strategi dan koalisi. Dalam KTM IX Bali, identifikasi kepentingan masing-masing negara menjadi bagian integral dalam menyusun strategi perundingan sekaligus mengkerucutkan pemposisian dari masing-masing koalisi negara. Tulisan lain yang hampir sama dari Kishan S. Rana dalam Economic Diplomacy: The Experience of Developing Countries dalam buku Bayne dan Wollcock berjudul The New Economic Diplomacy (2007: ) mempertegas gambaran mengenai diplomasi ekonomi yang dilakukan oleh negara berkembang. Perbedaan diplomasi ekonomi negara berkembang merefleksikan perbedaan respon masingmasing negara terhadap persoalan lingkungan eksternal. Persoalan 11 Michalopoulos (1997). The Participation of The Developing Countries in The WTO dapat diakses di [12 Januri 2014] 12 Michalopoulos (1997), hal:

12 yang muncul kadang tidak ditanggapi dengan serius sebagai akibat lemahnya diplomasi baik dalam ranah ekonomi maupun politik. Kelemahan yang mereka miliki tidak dicoba untuk disiasati dengan penguatan jejaring dengan negara lain yang relevan. Selain itu, korelasi kebijakan ekonomi domestik dengan diplomasi ekonomi harus sejalan. Peningkatan kapasitas domestik sangat berpengaruh pada penguatan kekuatan negara tersebut di luar negeri. Kombinasi antara politik luar negeri dengan perdagangan luar negeri juga merupakan merupakan prinsip yang penting. Sementara dari segi yang lebih teknis, diperlukan penguatan skill untuk penguatan jejaring aktor diplomasi. Terakhir, proses pembelajaran dari praktek yang dialami negara lain penting untuk perbaikan manajemen sistem ekonomi untuk diplomasi di era globalisasi. Kelemahan yang dimiliki oleh negara berkembang bukan berarti mereka menjadi tidak berdaya dalam perundingan. Sheila Page dalam Developing Countries in GATT/WTO Negotiations (2002) menilai bahwa hasil dari negosiasi internasional bukan sekedar ditentukan oleh kuasa relatif dari masing-masing aktor, namun ada potensi dari aliansi antar negara untuk representasi dan mobilisasi kepentingan. Ia menambahkan, bagaimana struktur dan institusi formal dari kesepakatan menyediakan basis analisis pada dasar sistemik mengenai bagaimana negosiasi internasional dapat mempengaruhi kepentingan nasional. Hal ini dikatakan dapat meningkatkan kualitas partisipasi dan kesuksesan negosiasi. Jika negosiasi berhasil maka akan memunculkan efisiensi baik bagi pelaku bisnis maupun negara yang akhirnya akan menghilangkan rintangan dagang dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak. Masih menurut Page, selalu ada kepentingan yang sama dalam sebuah negosiasi untuk tata kelola perdagangan. Dalam konteks KTM IX Bali, hal ini dapat dilacak pada kemunculan konsesus untuk menjadikan sentralitas institusi WTO dan perdagangan multilateral sebagai bagian dari recovery krisis. Hal lain 12

13 yang dipertegas oleh Page adalah bahwa salah satu elemen dari negosiasi internasional di WTO adalah negara tidak lagi terlalu berperan sebagai unit yang berdaulat. 13 Hal ini berimplikasi pada analisa kuasa yang digunakan tidak bisa lagi menggunakan perspektif tunggal (ukuran ekonomi negara, kemampuan finansial, atau bahkan kekuatan militer) karena tidak relevan lagi. 14 Bargaining dan pertukaran konsesi antar negara termasuk negara kuat dan lemah sangat memungkinkan karena alur perundingan yang biasanya dilaksanakan bertahap. Namun hal ini tetap kembali pada bagaimana negara terkait mengelola kepentingan, kuasa, dan koalisi mereka. Penelitian lain yang dilakukan Olajumoke Oduwole berjudul Realigning International Trade Negotiation Asymmetry: Developing Country Coalition Strategy in The WTO Doha Round Agriculture Negotiations (2011) memberikan pemahaman komprehensif mengenai strategi diplomasi ekonomi negara berkembang di WTO. Meskipun secara spesifik penelitian yang ia lakukan terkait sektor pertanian, namun tetap bisa memberikan gambaran hal serupa di sektor-sektor lain. Ia menggambarkan bagaimana kontestasi negara berkembang yang lemah dalam forum WTO yang diakibatkan oleh bargaining power yang terbatas yang berimplikasi pada banyak hasil perundingan yang dilakukan serta sistem internasional pada umumnya. Melihat realita tersebut, dibutuhkan adanya strategi komprehensif dalam hal pengelompokan (clustering) isu, penggelolaan sumber daya yang dimiliki, serta pembentukan aliansi untuk memperkuat pemposisian dan bargaining mereka. Penelitian ini menganalisa pergeseran yang terjadi pada kekuatan negara berkembang khususnya pada isu pertanian putaran Doha. Ia melihat koalisi empat kelompok utama: Cotton-4, G-20, G-33, dan G-99 sebagai contoh menarik bagaimana strategi koalisi dijalankan. Ia membandingkan dan mengkontraskan 13 Page, Sheila (2002). Developing Countries in GATT/WTO Negotiations (kertas kerja). London: Overseas Development Institute, hal.9 14 Page (2002), hal.10 13

14 strategi dari masing-masing koalisi selama negosiasi berlangsung. Hasilnya, strategi pertukaran konsesi yang dilakukan oleh masingmasing koalisi sangat efektif dalam memperkuat leverage isu pertanian dalam WTO. 15 Penelitian ini mengapresiasi positif upaya negara berkembang ini karena hasilnya, modalitas yang dihasilkan dari perundingan pertanian putaran Doha pada modalitas terakhir tahun 2008 relatif lebih menguntungkan negara berkembang dibandingkan saat awal Putaran Doha terlebih pada saat Putaran Uruguay. Penelitian ini akan mencoba melihat progress modalitas yang sama pada dua isu lain yang dibahas pada KTM IX Bali: Paket Pembangunan LDC dan Fasilitasi Perdagangan. Upaya penyelesaian perundingan Putaran Doha sendiri merupakan persoalan yang cukup kompleks dan pelik. Paul Collier menulis dalam Why The Wto Is Deadlocked: And What Can Be Done About It (2005), setidaknya terdapat tiga persoalan mengapa perundingan ini berjalan begitu rumit. Pertama, terdapat perbedaan mendasar antar anggota WTO sehingga jika dilakukan pertukaran konsesi yang terjadi bisa jadi akan merugikan salah satu pihak. Negara berkembang menginginkan konsesi berupa transfer agar ada manfaat langsung yang mereka dapatkan. Contoh dari transfer ini seperti bantuan teknis atau perlakuan khusus dan berbeda. Kedua, terdapat kelompok negara terutama negara berkembang di WTO yang menganggap bahwa mereka telah cukup termarjinalisasi dari perekonomian dunia sehingga tidak memiliki dasar bargaining untuk kepentingan bersama. Padahal, sistem konsesus yang dianut mengharuskan semua negara untuk menyepakati perundingan yang disepakati. Dan ketiga, meskipun terdapat negara berkembang yang masih memiliki bargaining dalam forum perundingan, namun tetap saja sulit untuk mencapai kesepakatan seperti pada era GATT karena 15 Oduwole, Olajumoke O. (2011), Negotiation Asymmetry: Developing Country Coalition Strategy in the.wto Doha Round Agriculture Negotiations (disertasi). Stanford University, hal

15 kesepakatan yang diputuskan terlalu lintas sektoral sehingga jika ditransformasi dalam aturan domestik negara membutuhkan adaptasi yang banyak dari beragam aturan yang telah ada. Persoalan-persoalan ini belum ditambah faktor negara free rider yang bisa saja membuyarkan strategi serta peta koalisi yang ada. Selanjutnya, untuk mengatasi masalah-masalah ini, Collier mengusulkan beberapa alternatif. Pertama, menyelesaikan tegangan yang ada antara bargaining dan transfer. Artinya, jika dilihat secara obyektif, fungsi dari perundingan di WTO adalah tawar menawar konsesi bukan seperti saat ini dimana yang terjadi adalah beban pada perundingan yang terlalu besar. Mekanisme transfer yang memungkinkan untuk misalnya penerapan perlakuan khusus dan berbeda dikembalikan pada sekretariat WTO. Kedua, menyelesaikan tegangan antara penerapan aturan dan kedaulatan negara. Sebagaimana kesepakatan plurilateral lain, permasalahan ini muncul karena semua negara anggota tanpa terkecuali harus menerapkan aturan meskipun isu yang disepakati belum tentu merupakan domain dan bagian dari kepentingan mereka. Untuk itu ia mengusulkan bahwa harus ada mekanisme tertentu yang memberikan fleksibilitas pada aspek ini. Ketiga, memberikan preferensi tertentu kepada negara LDC agar mendapatkan hasil yang lebih besar dari WTO. Keempat, memfasilitasi kesepakatan anatar OECD dan koalisi negara berkembang. Hal ini disebabkan kelompok negara berkembang menjadi kunci perundingan dalam proses-proses perundingan terakhir. Fasilitasi ini bisa dilakukan dengan memperjelas konsesi pada persoalan kompensasi yang diperoleh negara berkembang yang selama ini menjadi salah satu isu pokok perdebatan. Kelima, memfasilitasi liberalisasi intra negara berkembang. Hal ini dikarenakan hambatan perdagangan intra negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju sehingga fasilitasi melalui mekanisme regional diharapkan bisa membuka jalan bagi keberhasilan di tingkat 15

16 multilateral. Lebih jauh, hal ini bisa juga dilakukan dengan evaluasi terhadap konsep MFN untuk memberikan keleluasaan pembedaan pada negara tertentu. Keenam, dari sisi institusi WTO sendiri dibutuhkan penguatan pada aspek fasilitasi pasar dan kelembagaan sekretariat. Usulan dari Coller ini cukup berkorelasi dengan proses perundingan KTM IX Bali. Dilihat dari aspek tema perundingan, maka tiga isu runding yang dibahas: pertanian, fasilitasi perdagangan, dan LDC sangat mewakili aspirasi kepentingan dari masing-masing kelompok koalisi negara. D. Landasan Analisa Untuk mengeksplorasi lebih jauh lokus persoalan yang akan dibahas, penelitian ini menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Barnett dan Duvall serta strategi integrative-distributive dari Odell sebagai landasan analisa. Mode Kuasa Barnett dan Duvall Terkait dengan relasi kuasa dengan diplomasi ekonomi, Odell menjelaskan bahwa hasil dari negosiasi ekonomi politik juga dipengaruhi oleh faktor lain selain proses negosiasi seperi perubahan teknologi, tren pasar, peraturan internasional, institusi domestik, dan struktur kuasa. 16 Menurut Jessop, faktor perubahan kuasa penting untuk mengenali perubahan pada tata kelola yang ada. 17 Kuasa dalam berbagai mode dan relasinya menjadi bagian penting dalam tata kelola yang terbentuk.karakter negosiasi di WTO yang cenderung inklusif dengan satu negara satu suara menghendaki adanya blok-blok negara dengan negosiasi kepentingan antara mereka. Meskipun lembaga antar pemerintah ini merepresentasikan keanggotaannya secara suka rela, 16 Odell (2006), How to Negotiate Over Trade:a Summaryof New Research for Developing(kertas kerja). Jenewa: Geneva International Academic Network (GIAN) hal Griffin (2000), Why Geography matters in Theory of Governance, dalam Political Studies Review volume

17 pluralis, dan berorientasi kerjasama, kenyataannya negara yang lebih lemah yang dijadikan sebagai objek dalam isu-isu yang lebih luas yang mencakup ranah sosial, ekonomi, dan politik. 18 Pertukaran konsesi menjadi sangat ketat yang tentunya membutuhkan kejelian strategi dari koalisi-koalisi yang terbentuk. Menghadapi kenyataan ini, aktoraktor yang bermain harus jeli melihat peluang dengan menggunakan strategi yang tepat. Meskipun kuasa (power) sendiri merupakan salah satu konsep dasar ekonomi politik, hingga kini tidak terdapat kesepakatan definitif tentangnya. Pemahaman sederhana mengenai konsep ini adalah kemampuan satu pihak untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan dari pihak lain. Giddens (1989) menjelaskan konsep ini sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mendapatkan kepentingannya meskipun mendapatkan perlawanan dari pihak lain, dengan kadang melibatkan penggunaan kekuatan langsung atau disertai dengan penggunaan gagasan (ideologi) yang mendasari tindakan dari pihak yang lebih kuat. 19 Dalam rezim ekonomi internasional, dimensi politik memainkan peranannya dalam persoalan kuasa terutama dalam hal siapa memutuskan apa. Pemahaman yang utuh tentang permainan kuasa ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang perilaku ataupun konstelasi aktor yang bermain, yang akhirnya akan memberikan masukan tepat bagi langkah strategis yang akan diambil aktor tersebut. Gagasan dari Gramsci dan Neogramscian memberikan perhatian dan penekanan pada faktor susunan ide, pengetahuan, dan pelembagaannya yang mencerminkan kepentingan kelompok dominan. Sementara Barnett dan Duvall (2005) menjabarkan lebih jauh dan kompleks mengenai bagaimana kuasa bekerja. Bagi mereka, kuasa bekerja dengan berbagai bentuk dan ekspresi yang tidak bisa diungkap begitu saja dengan formula 18 Bernett, Michael & Raymond Duvall (2005), Power in Global Governance, New York: Cambridge University Press, hal Giddens, Anthony. (1989), Sociology. London: Cambridge, hal: 52 17

18 tunggal. 20 Kuasa merupakan pembentukan dari serangkaian akibat kepada para pelaku di dalam dan selama proses hubungan sosial, yang membentuk kapasitas mereka untuk menentukan takdirnya. 21 Mekanisme kuasa disini sendiri dapat dilihat dari macam hubungan sosial yang mempengaruhi maupun berimbas pada kapasitas para pelaku serta dari spesifikasi dari hubungan sosial apakah langsung atau tersebar. Dalam konteks yang hubungan sosial, kuasa di sini berada dalam relasi sosial yang ada dan melembaga dalam tatanan sosial yang terbentuk dari relasi sosial tersebut. Hubungan sosial ini membentuk siapa yang menjadi pelaku serta praktek dan kapasitas yang dilaksanakan oleh pelaku tersebut. Sementara dalam konteks hubungan sosial, pola langsung dapat dipahami sebagai interaksi penggunaan kekuasaan tanpa melalui perantara sementara menyebar dapat dipahami sebagai pendistribusian kekuasaan melalui perantara tidak langsung. Mereka kemudian menjabarkan kuasa ini dalam empat dimensi melalui compulsory power, institutional power, structural power, dan productive power. Compulsory power merupakan bentuk paling tradisional yang menggambarkan relasi aktor mengendalikan lainnya. Negara yang lebih kuat secara langsung menggunakan sumber kuasa mereka untuk menekan tindakan negara yang lebih lemah agar sesuai keinginan mereka. 22 Institutional power merupakan bentuk kuasa dimana satu pihak mengendalikan secara tidak langsung pihak lainnya melalui institusi dengan beragam peraturan, prosedur, atau kesepakatan yang dimiliki institusi tersebut. Hal ini berlangsung baik dalam bentuk institusi langsung maupun tidak langsung. 23 Structural power digambarkan sebagai relasi struktural baik politik maupun ekonomi menundukan kapasitas sosial dan pihak-pihak 20 Bernett & Duvall (2005), hal Barnett & Duval (2005). Power in international Politics, dalam International Organization, Vol. 59, No. 1, Winter 2005, hal Bernett & Duvall (2005), hal Barnett & Duval (2005). Power in international Politics, hal.51 18

19 berkepentingan. Konsep ini hirau terhadap pelembagaan dari relasi sosial dalam konteks sosial (struktur) yang mendefinisikan identitas dimana aktor terlibat, yang menurut pandangan ini meliputi kapasitas relasi sosial, subjektivitas, dan kepentingan aktor yang dibentuk oleh posisi sosial yang dimiliki. 24 Bernett dan Duvall menyadari kemiripannya dengan institutional power sehingga untuk membedakannya mereka memperjelas bahwa institutional power hirau pada pembatasan tindakan tertentu sementara structural power hirau pada penetapan kapasitas sosial dalam hubungannya pada pemajuan kepentingan. 25 Untuk sederhananya, mereka membandingkan dengan konsep klasik struktural hubungan antara pemilik modal dan kelas pekerja sebagai konsekuensi keberadaan model produksi kapitalis global 26 dan konsep dalam teori sistem dunia yang menggambarkan fundamental struktur kelas negara. 27 Sementara productive power merupakan bentuk kuasa dalam kaitannya dengan produksi makna, wacana, dan pengetahuan dalam sistem sosial yang mendukung untuk dilaksanakanya pemajuan kepentingan tertentu. Productive power bukan lagi dikuasai oleh aktor tertentu namun bekerja melalui makna yang dihasilkan dari tindakan aktor. 28 Penjabaran lebih lanjut tergambar dalam matriks berikut: Power works through Matriks 1: Ragam Kuasa Interactions of specific actors Social Relations of constitution Sumber: Types of power 29 Relational specificity Direct Diffuse Compulsory Institusional Structural Productive 24 Barnett & Duvall (2005), hal Barnett & Duvall (2005). Power in international Politics, hal Barnett & Duvall (2005), hal.3 27 Barnett & Duvall (2005). Power in international Politics, hal Barnett & Duvall (2005). Power in international Politics, hal Bernett & Duval (2005), hal: 12 19

20 Perkembangan pemikiran telah menghantarkan spektrum kuasa dalam banyak ranah dari hal yang sifatnya terukur (tangible) seperti kekuatan militer atau ekonomi hingga yang (intangible) seperti gagasan dan wacana (discourse). Empat hal yang tersebut dalam tabel diatas memperlihatkan bentuk kuasa dalam mode yang berbeda. Penggunaan empat tipe kuasa dari langgam perspektif yang berbeda ini tentu saja bukan dimaksudkan untuk bersikap eklektik melainkan untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai mekanisme kuasa yang ada. Penelitian ini berpendapat, penggunaan keempat mode tersebut sangat relevan karena sifatnya yang saling mendukung dalam pelembagaan sebuah kuasa. Namun untuk compulsory power tidak akan terlalu banyak digunakan dengan asumsi mekanisme koalisi dalam model pengambilan keputusan WTO relatif dapat meredamnya. Adapun operasionalisasi dari penjabaran di atas tergambar dalam matriks berikut: Matriks 2: Operasionalisasi Kuasa 20

21 Analisa kuasa ini bisa dilacak pada progress baik teks isu runding maupun kekuatan koalisi negara sebagai modalitas dalam pencapaian paket Bali. Secara sederhana, modalitas sendiri adalah atribut atau keadaan yang menandakan sikap tertentu. 30 Sementara menurut Giddens (1984) yang menggunakan istilah ini dalam teori strukturasinya mendefinisikan konsep ini sebagai sarana atau instrumen yang membuat interaksi memungkinkan. Ia cukup komprehensif dalam mengartikulasikan modalitas ini yakni sebagai skema interpretatif, fasilitas, dan norma. 31 Dalam konteks diplomasi, modalitas di sini bisa dipahami sebagai serangkaian petunjuk, formula, target, maupun spesifik aturan yang memungkinkan untuk dicapainya tujuan dalam negosiasi. Telah terjadi perubahan dan disposisi kuasa yang signifikan dalam WTO terutama paska pelaksanaan putaran Doha dalam konteks pemajuan kepentingan negara berkembang. Saat ini, sebagian besar negara berkembang menjadi anggota dalam forum ini. Spektrum dunia yang sebelumnya sangat dikuasai oleh negara maju mulai memendar dengan kemunculan emerging power yang antara lain diwakili kehadiran negara berkembang di G dan BRIC. Modalitas dari koalisi negara berkembang paska perundingan Doha semakin menguat dengan berbagai isu yang menjadi spesifikasinya. 30 Modality dapat diakses di [21 Januari 2014] 31 Gidden, Anthony (1984). The Constitution of Society diterjemahkan oleh Maufur & Daryanto (2010). Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat (terj). Yogyakarta Pustaka Pelajar, hal: G-20 yang dimaksud disini berbeda dengan koalisi G-20 pertanian dalam konteks koalisi di WTO. istilah G-20 yang terakhir ini yang akan banyak digunakan dalam pembahasan penelitian ini. 21

22 Strategi Integrative-Distributive Odell Secara sederhana strategi dipahami sebagai suatu kelengkapan tindakan atau taktik yang terukur dan sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan dengan cara tawar menawar. 33 Peran strategi ini penting bagi negara berkembang terutama karena keaktifannya yang terus meningkat dalam perundingan-perundingan internasional termasuk dalam hal perdagangan. Namun, peningkatan ini bisa jadi tidak relevan jika dihadapkan dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki saat bernegosiasi dengan negara maju. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah negara berkembang tersebut mendapatkan bisa untuk mendapatkan hasil yang maksimal atau tidak. Jika bisa, persoalan selanjutnya menjadi bagaimana cara atau strategi yang harus dilakukan untuk memaksimalkan hasil tersebut. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba dijawab oleh Odell. Namun sebelumnya, Singh mencoba menjelaskan konsesi negara berkembang yang mungkin diperoleh dalam perundinganperundingan WTO. 34 Ia mengemukakan empat faktor yang dianggap penting mengenai hal tersebut. Pertama, konstituen domestik. Kedua, agenda setting. Agenda setting merupakan proses untuk melibatkan atau tidak melibatkan isu tertentu dalam pembahasan. Dalam praktek negosiasi, pilihan pembahasan isu dalam kerangka agenda setting melibatkan faktor popularitas isu, tingkat partisipasi dalam pertemuan, serta tingkatan teknis dan kapasitas kelembagaan dari isu tersebut. Ketiga, penggunaan tekanan yang kredibel. Kapasitas aktor untuk menekan aktor lain merupakan instrumen yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pembahasan. Keempat, bentuk koalisi. Bentuk koalisi aktor sangat terkait dengan kesesuaian kepentingan yang dimiliki. Odell mendefinisikan koalisi ini sebagai sekelompok 33 Odell (2006), hal Odell (2006), hal.41 22

23 pemerintah yang memiliki kesamaan posisi dalam negosiasi dan menjalankan koordinasi yang jelas diantara mereka. 35 Terkait persoalan strategi, Odel memperkenalkan dua mekanisme strategi yang bisa dilakukan dalam konteks koalisi tersebut untuk mendapatkan maksimal: strategi distributive dan integrative. Pemilihan strategi dalam sebuah mekanisme yang lebih teknis kadang sangat pragmatis sesuai tujuan yang ingin diraih. Strategi distributive bermanfaat jika pihak yang berunding benarbenar berada dalam situasi konflik sementara integrative bermanfaat saat masih bisa dikenali adanya tujuan bersama yang bisa dipahami sebagai kepentingan bersama dalam derajat tertentu. Strategi yang pertama dapat dijabarkan dengan taktik-taktik seperti: membuka penawaran yang tinggi, menolak semua konsesi, melebih-lebihkan permintaan dan prioritas minimal pihak lain, memanipulasi informasi untuk merugikan pihak lain, menyandera isu pihak lain, menyalahkan alternatif pihak lain, penuntutan secara hukum, pengancaman, dan penjatuhan hukuman. Sementara tataran teknis strategi ini antara lain meliputi: berbagi informasi secara terbuka untuk mengetahui masalah dan ancaman bersama yang dihadapi, serta menawarkan pertukaran konsesi atau tindakan yang akan menguntungkan banyak pihak. Secara sederhana strategi ini dapat dipahami sebagai upaya mendapatkan konsesi dengan kerjasama dengan pihak lain. Namun, resiko yang muncul dari strategi ini adalah ketika pihak lain malah yang diajak kerjasama mengeksploitasi keterbukaan yang ditawarkan. 36 Ringkasan tawaran strategi dari Odell di atas dapat dilihat dalam bagan berikut: \ 35 Odell (2006), hal Odell (2006), hal

24 Bagan 1: Strategi Integrative-Distributive Odell Membuka penawaran yang tinggi Menolak semua konsesi Melebih-lebihkan permintaan dan prioritas minimal pihak lain Memanipulasi informasi untuk Merugikan pihak lain Menyandera isu pihak lain, Menyalahkan alternatif pihak lain Penuntutan secara hukum Pengancaman Penjatuhan hukuman. Berbagi informasi secara terbuka untuk mengetahui masalah dan ancaman bersama yang dihadapimengambil tindakan yang akan menguntungkan banyak pihak Kegagalan perundingan putaran Doha paling tidak hingga perundingan KTM VII adalah akibat dari fragmentasi yang begitu kuat antara negara maju dengan negara berkembang. Jika dikenali lebih jauh, hal ini bisa dipahami akibat distribusi konsesi yang terlalu kaku. Struktur kuasa di WTO paska KTM VII telah bergeser dengan kehadiran negara emerging power baru yang memperkuat koalisi di satu sisi dan pelemahan kuasa negara maju akibat kapasitas ekonominya yang limbung terkena hempasan krisis global di sisi lain. Ketika pada perundingan-perundingan sebelumnya negara maju tidak terlalu antusias mengejar progress perundingan Doha karena dianggap tidak terlalu bermanfaat bagi mereka, hempasan krisis membuat kondisi berbalik karena merekalah yang kemudian membutuhkan perdagangan multilateral sebagai stimulan ekonomi. Dari sini dapat dikenali ada tujuan bersama dari pihak-pihak yang berunding pada KTM IX, setidaknya agar Putaran Doha menunjukkan 24

25 progress demi keberlangsungan dan masa depan perdagangan multilateral. E. Argumen Utama Pencapaian Paket Bali dalam KTM IX WTO dilatarbelakangi konteks pergeseran distribusi kuasa dalam institusi WTO. Pergeseran ini terjadi karena pengaruh tiga faktor: pertama, adanya penguatan koalisi negara berkembang terutama paska dimulainya perundingan Doha sebagai bagian dari structural power; kedua, becara bertahap penguatan ini juga meningkatkan institutional power negara berkembang di WTO yang ditandai dengan progress modalitas yang dicapai; dan ketiga, kehadiran krisis semakin melemahkan structural power negara maju di WTO. Wacana yang kemudian muncul baik dalam forum WTO maupun forum ekonomi internasional yang lain adalah agar perundingan Doha segera diselesaikan sebagai bagian dari upaya recovery dari krisis. Wacana ini terus menguat yang akhirnya menjadi productive power yang berpengaruh dalam perundingan WTO. Fenomena krisis menjadi faktor tersendiri, sebagai intervening variable, yang menekan disparitas kepentingan yang ada. Sebelumnya, disparitas kepentingan ini menempatkan negara maju dan berkembang dalam posisi distributive yang kemudian bergeser lebih berintegratif seiring pergeseran kuasa dan dalam menghadapi krisis sebagai ancaman bersama. Krisis juga telah mengurangi gap dan asimetri kuasa yang berlanjut pada semakin seimbangnya posisi runding. Kecenderungan untuk semakin terintegrasinya kepentingan dan seimbangnya kuasa yang ada, dalam derajat tertentu, menjadi faktor yang memungkinkan kesepakatan perundingan dapat diraih. Pergeseran ini membuat pelaksanaan KTM IX WTO Bali berada dalam momentum yang tepat untuk menghasilkan putusan. 25

26 Posisi runding Indonesia selain pada substansi isu pertanian, juga terletak pada keberhasilan KTM IX agar menghasilkan putusan terkait Perundingan Doha. Diplomasi ekonomi Indonesia sendiri dalam pencapaian Paket Bali dilakukan dengan proses pencarian dukungan melalui political engagement dan technical engagement baik sebelum maupun saat pelaksanaan perundingan. Strategi mixed distributive-integrative diupayakan karena dalam perundingan KTM Bali posisi negara maju dan berkembang relatif memiliki kesamaan kepentingan, yakni agar perundingan dapat menghasilkan keputusan. F. Jangkauan Penelitian Jangkauan penulisan dalam penelitian ini digunakan untuk menghindari penyimpangan pembahasan yang terlalu jauh dan tetap konsisten dengan argumen utama untuk menjawab pokok permasalahan yang telah diajukan dan agar obyek penelitian menjadi lebih jelas dan spesifik. Dalam lingkup WTO, melakukan analisa berbasis kelompok negara/ koalisi menjadi cara relevan untuk memahami proses perundingan karena kebiasaan negara mengelompokkan diri sesuai posisi runding mereka. Penelitian ini akan membatasi kajian pada dinamika kepentingan negara berkembang, pergeseran kuasa, serta upaya diplomasi Indonesia dalam lingkup perundingan KTM IX WTO Bali. G. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong keberhasilan kesepakatan Paket Bali, memahami perubahan karakter konstelasi kuasa dalam WTO, serta untuk mengetahui lebih dalam strategi diplomasi ekonomi Indonesia dalam pemajuan kepentingan negara berkembang pada KTM IX WTO Bali. Harapannya, hasil penelitian ini bisa digunakan untuk masukan rekomendasi strategis selanjutnya, baik untuk semakin memperkuat 26

27 peran negara berkembang dalam forum WTO, maupun mencapai pemenuhan Doha Development Agenda, ataupun untuk semakin meningkatkan kapasitas diplomasi ekonomi Indonesia. H. Metode Penelitian Menetukan metode yang tepat merupakan hal yang krusial untuk mendapatkan kedalaman dan komprehensifitas dari penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai cara untuk memahami objek penelitian yang menjadi tema penelitian. Sementara dalam teknik pengumpulan data akan digunakan pengumpulan data dengan menggunakan bahan-bahan sekunder baik yang bersifat teoritis maupun empiris tentang obyek penelitian yang caranya diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) baik dari buku, jurnal ilmiah, dokumen pemerintah, artikel dan majalah, surat kabar, serta sumber internet yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. I. Sistematika Pembahasan Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang, pokok permasalahan, studi pustaka, landasan analisa, argumen utama, jangkauan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua akan membahas gambaran obyektif WTO dan pengalaman upaya pemajuan kepentingan negara berkembang yang mencakup disparitas kepentingan dan signifikansi koalisi dalam mekanisme pengambilan keputusan, upaya pemajuan kepentingan negara berkembang era GATT dan WTO era Awal, serta analisa kuasa dalam struktur GATT dan WTO era awal. 27

28 Bab ketiga akan membahas pergeseran kuasa di WTO pergeseran kuasa di WTO yang mencakup deadlock Perundingan Doha dan penguatan structural power negara berkembang, faktor krisis global sebagai pelemahan structural power negara maju, dan wacana perdagangan multilateral sebagai productive power. Bab keempat akan membahas distribusi kuasa dalam negosiasi pada KTM IX WTO Bali yang mencakup penguatan institutional power negara berkembang dalam modalitas isu runding KTM IX Bali, penguatan modalitas pada masing-masing isu runding, dan pengaruh distribusi kuasa tersebut pada strategi integrative-distributive saat perundingan. Bab kelima akan membahas posisi dan peran diplomasi ekonomi Indonesia yang mencakup pengalaman indonesia dalam upaya pemajuan kepentingan negara berkembang di WTO, posisi dan kepentingan serta strategi dan peran diplomasi ekonomi Indonesia dalam Perundingan KTM IX WTO Bali. Bab keenam akan memuat kesimpulan dan penutup. 28

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Perjanjian Bidang Pertanian/ Agreement on Agriculture merupakan salah satu jenis perjanjian multilateral yang disepakati di dalam WTO. Secara umum, hal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Persetujuan Pembimbing... ii Halaman Pengesahan Skripsi... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vii Kutipan Undang-Undang...

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan BAB V KESIMPULAN Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan intensitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara, yang kemudian ditengarai

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan

Lebih terperinci

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan 100 1 BAB V: PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menekankan pada proses penandatangan MoU Microsoft - RI. Proses tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses politisasi hak kekayaan intelektual

Lebih terperinci

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Disampaikan Pada Forum Seminar WTO Tanggal 12 Agustus 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n BAB IV KESIMPULAN Regionalisme Mercosur merupakan regionalisme yang telah mengalami proses yang panjang dan dinamis. Berbagai peristiwa dan upaya negara anggotanya terhadap organisasi ini telah menjadikannya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL Oleh: NANI TUARSIH 0810512064 Mahasiswa Program Strata

Lebih terperinci

Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku

Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku Indonesian Perspective, Vol. 2, No. 1 (Januari-Juni 2017): 77-81 Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku Tonny Dian Effendi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : A Dosen : Huala Adolf,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. neoliberal melalui proses penerapan diskursus good governance di

BAB III METODE PENELITIAN. neoliberal melalui proses penerapan diskursus good governance di 81 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokus Penelitian Lokus dalam penelitian ini adalah adanya indikasi masuknya ideologi neoliberal melalui proses penerapan diskursus good governance di Indonesia. 3.2 Tipe

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi ekonomi di berbagai belahan dunia. Proses integrasi ini penting dilakukan masing-masing kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan manusia. Perdagangan dipercaya sudah terjadi sepanjang sejarah umat manusia

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika. KEWARGANEGARAAN Modul ke: GLOBALISASI DAN NASIONALISME Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan pengertian globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini BAB I PENDAHULUAN Saat ini, pembentukan Free Trade Agreement (FTA) menjadi salah satu opsi utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini menjadikan evaluasi dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN BRIC. signifikan pasca krisis ekonomi besar yang melanda beberapa Negara-negara besar.

BAB II PERKEMBANGAN BRIC. signifikan pasca krisis ekonomi besar yang melanda beberapa Negara-negara besar. BAB II PERKEMBANGAN BRIC BRIC merupakan organisasi yang mengalami perkembangan yang signifikan pasca krisis ekonomi besar yang melanda beberapa Negara-negara besar. Sejak saat itu BRIC mulai dikenal sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Prinsip perluasan Uni Eropa adalah semua anggota harus memenuhi ketentuan yang dimiliki oleh Uni Eropa saat ini, antara lain menyangkut isu politik (kecuali bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional merupakan komponen penting dalam determinasi pendapatan nasional suatu negara atau daerah, di

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 110 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab terakhir ini bertujuan untuk menyimpulkan pembahasan dan analisa pada bab II, III, dan IV guna menjawab pertanyaan penelitian yaitu keuntungan apa yang ingin diraih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya

Lebih terperinci

Resensi Buku: Melawan Gurita Neoliberalisme. Oleh: Sugiyarto Pramono

Resensi Buku: Melawan Gurita Neoliberalisme. Oleh: Sugiyarto Pramono Resensi Buku Melawan Gurita Neoliberalisme Oleh: Sugiyarto Pramono Resensi Buku: Judul : Melawan Gurita Neoliberalisme Penulis : Budi Winarno Tebal : 174 halaman + x Penerbit : Erlangga Kota terbit : Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan inovasi di bidang finansial yang semakin canggih.

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan inovasi di bidang finansial yang semakin canggih. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika perekonomian dunia yang terjadi pada beberapa periode terakhir turut mewarnai perkembangan dan aktivitas bisnis dalam negeri baik secara langsung dan tidak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan BAB V KESIMPULAN Penelitian ini membahas salah satu isu penting yang kerap menjadi fokus masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya isu isu di dunia internasional,

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi. BAB I 1.1 Pengantar PENDAHULUAN Tuntutan mengenai pengelolaan suatu organisasi berdasarkan sistem tata kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi organisasi di sektor pemerintahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 Pengantar Hukum WTO Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 PRAKATA Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Adolf Warauw S.H., LL.M. dan Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Regional Trade Agreements (RTA) didefinisikan sebagai kerjasama perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup free trade agreements (FTA),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ekonomi, pemerintah merupakan agen, dimana peran pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ekonomi, pemerintah merupakan agen, dimana peran pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam ekonomi, pemerintah merupakan agen, dimana peran pemerintah adalah menghasilkan barang publik. Barang publik harus dihasilkan pemerintah, terutama karena tidak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Diplomasi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

BAB V KESIMPULAN. Diplomasi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang BAB V KESIMPULAN Diplomasi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dihadapkan pada berbagai perubahan dan pergeseran kekuatan dalam lingkungan strategis global dan regional sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang saling mempengaruhi atau memperkuat satu dengan yang lainnya. Kedua hal tersebut pun

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN. BAB V KESIMPULAN Kebangkitan ekonomi Cina secara signifikan menguatkan kemampuan domestik yang mendorong kepercayaan diri Cina dalam kerangka kerja sama internasional. Manuver Cina dalam politik global

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam membangun perekonomian sebuah negara karena bank berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009 Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, 8-12-09 Selasa, 08 Desember 2009 Â SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY DI GEDUNG MERDEKA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia Oleh : Indah Astutik Abstrak Globalisasi ekonomi merupakan proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistim ekonomi global yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya

BAB I PENDAHULUAN. ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi telah mendorong negara-negara di dunia untuk memperluas ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya keterbukaan, baik keterbukaan

Lebih terperinci

LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION

LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION 2011 LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION JENEWA, 21 22 MARET 2011 BADAN KERJA SAMA ANTAR PARLEMEN 2011 LAPORAN DELEGASI DPR RI KE

Lebih terperinci

Politik Global dalam Teori dan Praktik

Politik Global dalam Teori dan Praktik Politik Global dalam Teori dan Praktik Oleh: Aleksius Jemadu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Millenium Development Goals disingkat MDGs merupakan sebuah cita-cita

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Millenium Development Goals disingkat MDGs merupakan sebuah cita-cita 132 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Millenium Development Goals disingkat MDGs merupakan sebuah cita-cita pembangunan global yang menitikberatkan pembangunan pada pembangunan manusia (human development).

Lebih terperinci

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Tahun 2001, pada pertemuan antara China dan ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, Cina menawarkan sebuah proposal ASEAN-China

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup:

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945) secara tegas menyebutkan negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing

Lebih terperinci

BAB VIII TIGA BUTIR SIMPULAN. Pada bagian penutup, saya sampaikan tiga simpulan terkait kebijakan

BAB VIII TIGA BUTIR SIMPULAN. Pada bagian penutup, saya sampaikan tiga simpulan terkait kebijakan BAB VIII TIGA BUTIR SIMPULAN Pada bagian penutup, saya sampaikan tiga simpulan terkait kebijakan investasi di Indonesia jika ditinjau dari perspektif demokrasi ekonomi, yaitu: Pertama, UU 25/2007 telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. terbesar itu dilaksanakan bersamaan pada sidang tahunan ke-41 IDB di Jakarta. IDB

BAB V KESIMPULAN. terbesar itu dilaksanakan bersamaan pada sidang tahunan ke-41 IDB di Jakarta. IDB BAB V KESIMPULAN Meskipun Indonesia belum bisa lepas dari jerat utang, namun Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan Indonesia merupakan negara penerima bantuan IDB terbesar bila dibandingkan dengan

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN telah menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya. Pada awal berdirinya, kerjasama ASEAN lebih bersifat politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirancang untuk menaksir bagaimana aktivitas kinerja dan hasil akhir yang

BAB I PENDAHULUAN. dirancang untuk menaksir bagaimana aktivitas kinerja dan hasil akhir yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu kepada standar dan kebijakan yang telah ditetapkan. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian suatu negara dapat mempengaruhi kinerja perusahaan,

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian suatu negara dapat mempengaruhi kinerja perusahaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi perekonomian suatu negara dapat mempengaruhi kinerja perusahaan, Osoro dan Ogeto (2014) dalam Makori (2015). Kinerja perusahaan sangat bergantung kepada informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis utama pada tahun 1990-an memunculkan corak perkembangan Hubungan Internasional yang khas. Perkembangan pasca-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah sebuah program pemberian pinjaman yang dicanangkan oleh IMF. SAPs pada mulanya dirumuskan untuk membendung bencana

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perjalanan menuju negara maju, Indonesia memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat dilakukan melalui pengelolaan strategi pendidikan dan pelatihan, karena itu pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi tidak hanya berelasi dengan bidang ekonomi, tetapi juga di lingkungan politik, sosial, dan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin BAB IV KESIMPULAN Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin memiliki implikasi bagi kebijakan luar negeri India. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi India baik pada

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Liberalisasi perdagangan kini telah menjadi fenomena dunia. Hampir di seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok perdagangan bebas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dampak globalisasi di bidang ekonomi memungkinkan adanya hubungan saling terkait dan saling memengaruhi antara pasar modal di dunia. Dampak globalisasi di bidang ekonomi diikuti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi yang ditandai kompetisi super ketat antarindividu, antarorganisasi dan bahkan antarbangsa, yang kemudian direspon dengan reformasi dalam berbagai

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Pengertian Globalisasi Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan menyulut

Lebih terperinci