BAB I. A. Latar Belakang
|
|
- Harjanti Agusalim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral dalam dinamika perundingan isu-isu pertanian. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara telah tergabung dalam WTO dan merepresentasikan 97.1% perdagangan dunia. [1] Negara-negara tersebut tidak dapat membuat peraturan, termasuk aturan pertanian, tanpa memperhatikan batasan-batasan yang telah disepakati melalui WTO. Meskipun ada alternatif berupa Regional Trade Agreement (RTA) dan Free Trade Area (FTA), negara tidak dapat meninggalkan negosiasi multilateral karena ada isu-isu, khususnya isu pertanian, yang secara fundamental hanya dapat diatur melalui kesepakatan di dalam WTO. Salah satu negara yang terlibat dengan sangat aktif dalam perundingan isu-isu pertanian di WTO adalah India. Kepentingan besar India dalam isu-isu pertanian didasari oleh populasi yang besar dan produktivitas pertanian yang belum dapat mencukupi kebutuhan domestik. Negara ini memiliki populasi sebesar 1,2 miliar jiwa, dimana sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga hampir 50%, namun sumbangannya terhadap PDB hanya sebesar 17.4% (The World Factbook, 2014, dan International Monetary Fund, 2014). Idealnya ketika produktivitas pertanian sudah tinggi, tenaga kerja akan memilih untuk migrasi dari pekerjaan bertani menjadi bukan bertani (Snodgrass & Wallace, 1964:77). Premis yang dapat ditarik adalah perkembangan pekerjaan bukan bertani di India terhambat oleh produktivitas pertanian yang masih rendah. Dengan demikian, bidang pertanian menjadi masalah utama dalam pembangunan India. Selama putaran Doha, diplomasi India dapat dilihat sejak pembuatan Paket Juli 2004 dimana India menuntut negara maju untuk menghapus subsidi mereka serta menuntut agar negara berkembang mendapat perlakuan khusus. Diplomasi tersebut berlanjut hingga tahun 2012, dimana India melalui koalisi G-33 mengajukan proposal Public Stockholding (PSH). Menuju KTM WTO ke-ix di Bali pada tahun 2013, India terus memperjuangkan proposal PSH guna membuat pemerintah di negara berkembang dapat membeli pangan pokok sebagai simpanan negara tanpa perlu mendapatkan hambatan hukum apabila pembelian tersebut menyebabkan jumlah subsidi domestik melampaui batas maksimal yang sudah ditetapkan. 1 Dengan masuknya Yaman pada 26 Juni 2014, kini ada 160 negara anggota WTO (WTO, 2014).
2 Konsistensi diplomasi India yang aktif ini mengundang ketertarikan penulis untuk mengkajinya sebagai studi diplomasi perdagangan, yakni untuk mengetahui bagaimana strategi negosiasi India dapat menghasilkan keuntungan bagi negara tersebut. Penulis menyakini bahwa penelitian ini menjadi penting karena setelah KTM IX, solusi yang dicapai untuk isu PSH baru interim solution, sementara proses pembuatan permanent solution masih berlangsung selama 4 tahun hingga nanti dirundingkan pada tahun Karena negosiasi isu PSH masih berlanjut maka negara berkembang perlu memberikan lebih banyak perhatian dan penekanan untuk isu pertanian agar akselerasi pembangunan mereka dapat terwujud dalam tata kelola perdagangan dunia yang adil. Karena itu, sudah sewajarnya kemampuan diplomasi yang ditunjukkan India dalam KTM IX dapat diteladani oleh negara-negara berkembang lain, khususnya Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana strategi negosiasi India dalam memperjuangkan proposal public stockholding koalisi G-33 pada KTM WTO IX? C. Landasan Konseptual Diantara pilihan interaksi lain, negosiasi memberikan lebih banyak keuntungan karena selain keuntungan substansi, didapat pula keuntungan hubungan (Fisher dan Ury, 1991:14). Keuntungan hubungan tersebut dapat memperkuat soft power negara. Odell mendefinisikan proses negosiasi internasional sebagai rangkaian aksi dimana dua atau lebih negara membahas tuntutan dan proposal satu sama lain dalam rangka mencapai sebuah kesepakatan dan mengubah perilaku dari setidaknya salah satu pihak. Dalam proses negosiasi internasional tersebut negara memerlukan strategi, yakni suatu rangkaian perilaku atau taktik yang dapat diamati dan pada dasarnya ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui negosiasi (Odell, 2006:2-3). Dalam mengamati strategi negosiasi sesuai yang disebutkan dalam rumusan masalah diatas, penulis mendasarkan analisa pada beberapa landasan konsep terkait tipe negosiasi, strategi negosiasi dan prinsip negosiasi dalam WTO. 1
3 1. Tipe Negosiasi Ada dua tipe negosiasi yang dibedakan berdasarkan bentuk interdependensi para partisipan negosiasi, yakni negosiasi distributif dan negosiasi integratif. [2] Pada negosiasi distributif, bentuk interdependensi tiap negara adalah zero-sum. Dalam negosiasi tipe ini, keuntungan yang didapat suatu negara berdampak pada tidak adanya keuntungan bagi negara lain. Pada negosiasi integratif, tidak ada konflik fundamental dalam bentuk interdependensi tiap negara sehingga keuntungan menjadi mungkin untuk diperoleh bersama. Perilaku negara yang mempersepsikan suatu negosiasi sebagai negosiasi distributif tentunya berbeda dengan negara yang mempersepsikannya sebagai negosiasi integratif. Urutan langkah negara dalam negosiasi distributif adalah opening offer, opening stance, initial concessions, role of concessions, pattern of concession making, dan final offer (Lewicki, Saunders & Minton, 2001:67-73). Selain berdasarkan bentuk interdependensi, negosiasi juga dapat dibedakan berdasarkan isunya. Negosiasi perdagangan adalah negosiasi internasional dimana tuntutan dan proposal yang dibahas berkaitan dengan kepentingan negara dalam isu perdagangan. Menurut Odell, negosiasi perdagangan dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan fungsinya (Odell, 2006:3). Negosiasi perdagangan tipe pertama bertujuan menulis aturan baru dalam sistem perdagangan dunia, misalnya dalam mengatur akses pasar. Negosiasi perdagangan tipe kedua bertujuan menyelesaikan sengketa yang disebabkan aturan-aturan yang sudah dibuat dalam tipe pertama tersebut. Diantara kedua tipe ini, tipe pertama adalah yang lebih rumit dalam pembahasan isu, lebih banyak jumlah partisipannya dan dampaknya dirasakan seluruh anggota. 2. Strategi negosiasi Dalam melakukan negosiasi, negara memerlukan strategi negosiasi. Odell mendefinisikan strategi negosiasi sebagai suatu rangkaian perilaku atau taktik yang dapat diamati dan pada dasarnya ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui negosiasi (Odell, 2006:15). Berikut adalah beberapa konsep strategi negosiasi yang relevan dengan tipe negosiasi distributif dan negosiasi perdagangan tipe pertama: 2 Tipe negosiasi distributif dan negosiasi integratif diperkenalkan oleh Walton dan McKersie pada tahun Klasifikasi ini turut digunakan Fisher dan Ury (1983) serta Lewicki, Saunders dkk. (2001). Lihat R. Walton & R. McKersie, A Behavioral Theory of Labor Negotiations: An Analysis of a Social Interaction System, McGraw- Hill, 1965, p. 4. 2
4 a. Permainan Koalisi Dalam negosiasi multilateral seperti negosiasi perdagangan tipe pertama terdapat permainan koalisi yang merupakan model interaksi para perumus kebijakan. Para perumus kebijakan ini fokus pada perilaku kelompok-kelompok yang disebut sebagai koalisi. Interaksi melalui koalisi seperti ini digunakan negara untuk memudahkan perjuangan kepentingannya, terutama ketika upaya tersebut sulit untuk dilakukan secara individual (Osborne, 2004:235). Koalisi menawarkan manfaat berupa external balancing dan membantu negara dalam menghimpun riset, daya tawar serta kemampuan negosiasi (Narlikar, 2003:14). Melalui koalisi, negara dapat memasukkan kepentingannya sebagai agenda koalisi yang diperjuangkan bersama-sama dengan sesama anggota koalisi. b. Perilaku distributif-campuran. Perilaku distributif suatu negara dalam negosiasi dicirikan dengan upaya mengklaim keuntungan sendiri. Dalam perilaku distributif-campuran yang diperkenalkan Odell, negara tidak hanya mengklaim keuntungan sendiri namun juga memberikan kesempatan bagi lawan untuk mengklaim beberapa keuntungan, atau setidaknya lebih memperhatikan kepentingan lawan. Perilaku distributif campuran membuat negosiasi menjadi cenderung tidak berakhir buntu. Negara yang menerapkan perilaku distributif-campuran dalam Putaran Dillon dan Kenedy terbukti mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada negara yang pasif (Odell, 2006:17). Dalam negosiasi distributif, tahapan negosiasi yang dapat diamati terdiri dari penawaran awal, pernyataan pembuka, konsesi awal, urutan konsesi, pola pembuatan konsesi serta penawaran akhir (Lewicki, Saunders & Minton, 2001:67-73). Perilaku distributif-campuran pada tahap penawaran awal, pendirian awal dan pembuatan konsesi adalah mengeluarkan tuntutan yang tinggi, melebih-lebihkan kebutuhan dan prioritas utama mereka, menolak semua konsesi, menahan isu lain sebagai sandera, dan mengeluarkan ancaman. Menjelang tahap penawaran akhir, sikap ini berubah menjadi lebih lebih mendengarkan kepentingan negara lain dan melepaskan isu yang disandera tersebut agar tetap ada kesepakatan yang dicapai. 3
5 c. Pengkaitan Isu Pengkaitan isu adalah membahas banyak isu dalam suatu negosiasi yang bersamaan, sehingga proses interaksinya memungkinkan suatu negara untuk berhasil competing di satu isu dengan menjadi accomodating di isu yang lain. Kemudahan yang dibawa oleh strategi ini ada tiga, yakni menawarkan keuntungan tambahan dan alasan untuk setuju (1), menambah anggota koalisi sehingga dapat menandingi koalisi lawan (2) dan dapat menggeser fokus institusional organisasi ke bagian lain dimana implementasi persetujuan akan lebih mudah (3) (Susskind, 1994: ). 3. Prinsip Negosiasi dalam WTO WTO bertujuan untuk meningkatkan arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Untuk mencapai tujuan ini WTO memiliki 5 fungsi, yakni implementasi dari persetujuan WTO (1), forum untuk perundingan perdagangan (2), penyelesaian sengketa (3), mengawasi kebijakan perdagangan (4) dan kerjasama dengan organisasi lainnya (5). Untuk forum perundingan perdagangan, WTO memerlukan konsensus dalam pengambilan keputusan. Upaya negosiasi menuju pencapaian konsensus tersebut harus ditempuh melalui cara-cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip WTO (Bossche, 2008:38). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a. Prinsip resiprositas, yang berarti bahwa dalam memperjuangkan kepentingannya, para negara anggota WTO harus bersedia melakukan konsesi dengan menyambut upaya negara lain dalam memperjuangkan kepentingan mereka. b. Prinsip transparan, yang berarti negosiasi dalam WTO dilakukan melalui caracara transparan yang membuatnya dapat diketahui oleh semua anggota guna mendorong partisipasi efektif dari semua anggota tersebut. c. Prinsip single undertaking, yakni kesepakatan atas suatu isu dalam WTO tidak dapat dilakukan apabila belum ada kesepakatan atas isu yang lain. Nothing is agreed until everything is agreed. d. Prinsip non-diskriminasi, yang terdiri dari Most Favorite Nation (MFN) dan National Treatment. MFN berarti dalam perdagangan, negara harus memberikan 4
6 perlakuan yang sama terhadap seluruh negara. National treatment berarti negara harus memberikan perlakuan yang sama antara produk impor dengan produk lokalnya. D. Argumen Utama Negosiasi proposal PSH dalam KTM IX yang melibatkan seluruh negara anggota WTO tergolong sebagai negosiasi distributif. Hal ini dikarenakan keuntungan yang akan didapat negara-negara pendukung proposal tersebut tidak turut membawa keuntungan bagi negara lainnya. Oleh karenanya terjadi saling klaim atau perebutan nilai antara para perunding. Sebagai negara yang diyakini paling berkepentingan, India perlu mempraktekkan strategi negosiasi yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik negosiasi distributif tersebut. Dalam penelitian ini penulis menyakini bahwa ada tiga strategi negosiasi yang digunakan India. Ketiga strategi tersebut tidak ditujukan untuk menjadi penjelasan sebabakibat terhadap hasil yang didapat India dari KTM IX, melainkan menjadi penjelasan atas proses yang dilakukan India dalam KTM tersebut. Pada strategi pertama, India menerapkan strategi permainan koalisi melalui koalisi G-33 agar mendapat banyak dukungan sehingga program PSH berhasil menjadi salah satu agenda negosiasi KTM IX. Pada strategi kedua, India menerapkan strategi perilaku distributif-campuran guna menekan lawan untuk menyetujui tuntutan India. Pada strategi ketiga, India menerapkan strategi pengkaitan isu yang menempatkan proposal PSH dibahas bersamaan dengan proposal-proposal lain termasuk proposal fasilitasi perdagangan yang padat akan kepentingan negara maju. E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kurun waktu 13 bulan sejak Koalisi G-33 mengajukan proposal PSH pada bulan November 2012 hingga penyelenggaraan KTM WTO IX pada bulan Desember Selama kurun waktu tersebut telah terselenggara beberapa kali pertemuan Trade Negotiation Committee (TNC) dalam rangka menuju KTM IX serta pertemuan KTM IX sendiri yang berlangsung selama 5 hari sejak 3 Desember hingga 7 Desember
7 F. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi literatur dari buku, penelitian ilmiah, dan dokumen yang bertemakan upaya diplomasi negara berkembang dalam WTO serta strategi negosiasi yang lazim digunakan. Untuk isu PSH sendiri, penulis menggunakan metode studi literatur dari halaman website resmi institusi terkait dan opini serta penelitian ilmiah yang disajikan para peneliti/praktisi ekonomi politik internasional di internet. G. Sistematika Penulisan Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Dalam bab ini, penulis memberikan penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan pertanyaan, landasan konseptual yang digunakan dalam melakukan analisis dan menjawab rumusan masalah, ruang lingkup penulisan serta asumsi sementara yang penulis yakini. Dalam bab ini, penulis memberikan penjelasan mengenai proposal PSH yang diajukan oleh koalisi G-33. Bahasannya adalah praktek PSH di India yang merefleksikan kepentingan India dalam proposal ini (1), regulasi PSH dalam WTO yang menjelaskan bagaimana regulasi ini menyulitkan negara berkembang (2), lalu muatan-muatan dalam proposal PSH koalisi G-33 yang merefleksikan tuntutan India (3). Dalam bab ini, penulis memberikan penjelasan mengenai jalannya negosiasi yang berlangsung menuju dan selama pelaksanaan KTM. Bahasannya adalah dinamika upaya negosiasi pertanian India dalam perundingan-perundingan WTO (1), pemetaan kepentingan atas proposal PSH (2), upaya negosiasi India sebelum KTM (3) dan upaya negosiasi India selama KTM (4). Dalam bab ini, penulis mencoba mengelaborasikan 3 konsep strategi yang dianggap relevan yakni strategi permainan koalisi, sikap distributif-campuran dan pengkaitan isu. Kesimpulan dari skripsi ini adalah ketiga strategi yang diterapkan India telah memberikan banyak kemudahan dalam memperjuangkan kepentingannya, namun ada tiga hambatan taktis yang menghalangi pencapaian hasil lebih maksimal. 6
DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Persetujuan Pembimbing... ii Halaman Pengesahan Skripsi... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vii Kutipan Undang-Undang...
Lebih terperinciBab I Pendahuluan 1. Latar Belakang
Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Perjanjian Bidang Pertanian/ Agreement on Agriculture merupakan salah satu jenis perjanjian multilateral yang disepakati di dalam WTO. Secara umum, hal ini dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini hendak mendiskusikan strategi diplomatik Tim Satgas G-33
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tulisan ini hendak mendiskusikan strategi diplomatik Tim Satgas G-33 memperjuangkan Public Stockholding di WTO. Sejauh ini, WTO telah membuka kesempatan bagi
Lebih terperinciPengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1
Pengantar Hukum WTO Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 PRAKATA Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Adolf Warauw S.H., LL.M. dan Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M.,
Lebih terperinciLatar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang
Lebih terperinciSambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia
Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Disampaikan Pada Forum Seminar WTO Tanggal 12 Agustus 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan
Lebih terperinciTUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI
TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : A Dosen : Huala Adolf,
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.
ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu negara saat ini tidak bisa terlepas dari negara lain. Perdagangan antar negara menjadi hal yang perlu dilakukan suatu negara. Disamping
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Regional Trade Agreements (RTA) didefinisikan sebagai kerjasama perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup free trade agreements (FTA),
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan
BAB V KESIMPULAN Penelitian ini membahas salah satu isu penting yang kerap menjadi fokus masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya isu isu di dunia internasional,
Lebih terperinciLAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION
2011 LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION JENEWA, 21 22 MARET 2011 BADAN KERJA SAMA ANTAR PARLEMEN 2011 LAPORAN DELEGASI DPR RI KE
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10
BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade
Lebih terperinciBAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL
BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM
Lebih terperinciBAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL
BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun
Lebih terperinciSATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) TATAP MUKA KE : 1-3
TATAP MUKA KE : 1-3 5. Jumlah Tatap Muka : 3 kali 6. Standar Kompetensi : Setelah mengikuti Mata Kuliah Hubungan Industrial selama satu semester mahasiswa dapat menjelaskan konsep, proses, praktek dan
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008
BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Jl. BungaAsoka Gg. AndalasNo. 1 AsamKumbang, Medan Cellphone : 0813 62260213, 77729765 E-mail
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan
Lebih terperinciRESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari
RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu
Lebih terperinciTEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN DIPLOMASI. Tahap-tahap Persiapan dalam Negosiasi. Public Relations. Drs. Dwi Prijono Soesanto M.Ikom., MPM.
TEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN Modul ke: DIPLOMASI Tahap-tahap Persiapan dalam Negosiasi Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations www.mercubuana.ac.id Drs. Dwi Prijono Soesanto M.Ikom., MPM
Lebih terperinciTEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN DIPLOMASI
TEKNIK LOBBY, NEGOSIASI DAN Modul ke: DIPLOMASI Metode Pertarungan dan Penutupan Negosiasi: 1.Mengenal metode pertarungan dan taktik negosiasi. 2.Menghadapi metode pertarungan. 3.Penutupan negosiasi Fakultas
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.
100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan
Lebih terperinci2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini, keterbukaan, keterkaitan, ketergantungan, serta persaingan antar negara khususnya dalam bidang ekonomi semakin tidak dapat dihindari.adanya
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI
Lebih terperinciArtikel 22 ayat 1, DSU Agreement.
BAB IV KESIMPULAN World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kuat. (2) Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu bentuk upaya untuk
kuat. (2) Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu bentuk upaya untuk BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi akan membawa dampak terhadap perubahan tatanan kehidupan
Lebih terperinciDewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen
Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen OLEH: ALAN KOROPITAN Sinar Harapan, 13 Juni 2009 Tak terasa, dengan hadirnya PP No 46 Tahun 2008, Dewan Nasional
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perusahaan korporasi pada awalnya dibentuk agar badan usaha dapat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pupuk sangat penting dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional. Segala cara dilakukan oleh Pemerintah sebagai regulator untuk dapat memenuhi kebutuhan
Lebih terperinci2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi yang semakin maju ini ada banyak isu-isu yang berkembang. Bukan hanya isu mengenai hard power yang menjadi perhatian dunia, tetapi isu soft
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan manusia. Perdagangan dipercaya sudah terjadi sepanjang sejarah umat manusia
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Cairns Group adalah sebuah koalisi campuran antara negara maju dan negara berkembang yang merasa kepentingannya sebagai pengekspor komoditas pertanian selain dua kubu besar
Lebih terperinciBahan Ajar Komunikasi Bisnis Dosen : Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si.
Bahan Ajar Komunikasi Bisnis Dosen : Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si. Oxford Dictionary : Negosiasi didefinisikan sebagai : pembicaran dengan orang lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan
Lebih terperincinegara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk
BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah
Lebih terperinciBAB IV RESPON WTO TERHADAP TUNTUTAN REFORMASI INDIA
BAB IV RESPON WTO TERHADAP TUNTUTAN REFORMASI INDIA World Trade Organization (WTO), rezim perdagangan internasional terbesar yang mengatur sistem perdagangan bebas dalam dunia global. Dalam perannya sebagai
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Diplomasi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
BAB V KESIMPULAN Diplomasi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dihadapkan pada berbagai perubahan dan pergeseran kekuatan dalam lingkungan strategis global dan regional sebagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa
Lebih terperinciBAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini,
BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini, yaitu: 1. Tahapan dan Bentuk Gerakan Lingkungan di
Lebih terperinciDhiani Dyahjatmatmayanti, S.TP., M.B.A.
Pertemuan 5 Dinamika Organisasi Internasional Dhiani Dyahjatmatmayanti, S.TP., M.B.A. STTKD Yogyakarta Jl.Parangtritis Km.4,5 Yogyakarta, http://www.sttkd.ac.id info@sttkd.ac.id, sttkdyogyakarta@yahoo.com
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap
Lebih terperinciConduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947
BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 6 GENERAL AGREEMENT on TARIFF and TRADE (GATT) A. Sejarah GATT Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional
Lebih terperinciIDENTITAS MATA KULIAH
S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 4 KE ATAS B. DESKRIPSI
Lebih terperinciINSTRUMEN INTERNASIONAL DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
INSTRUMEN INTERNASIONAL DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Pada saat ini, ada beberapa organisasi internasional yang mencoba untuk mengatur teknologi informasi, diantaranya the United Nations
Lebih terperincihambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l
BAB V 5.1 Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Dalam kesepakatan AoA, syarat hegemoni yang merupakan hubungan timbal balik antara tiga aspek seperti form of state, social force, dan world order, seperti dikatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya
Lebih terperinciSEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009
BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan
Lebih terperinciProf. Dr. Rina Oktaviani Guru Besar FEM-IPB International Trade and Policy Studies- IPB. Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014
Prof. Dr. Rina Oktaviani Guru Besar FEM-IPB International Trade and Policy Studies- IPB Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014 Perundingan Pertanian Indonesia Di Forum WTO (Pasca Bali)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa
Lebih terperinciLatar Belakang Pencapaian Paket Bali sebagai Penyelesaian Doha Development Agenda
Latar Belakang Pencapaian Paket Bali sebagai Penyelesaian Doha Development Agenda Winanda Puthu Tarni Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga ABSTRAK Paket Bali yang disepakati
Lebih terperinciDr Erwidodo Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian. Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014
Dr Erwidodo Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014 1 Multilateral (WTO) Plurilateral/Regional : APEC, ASEAN-FTA (AFTA),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap
Lebih terperinciRESENSI BUKU. : Investor-State Arbitration. Rubins, Borzu Sabahi. Judul. Penulis buku : Christopher F. Dugan, Don Wallace, Jr., Noah D.
RESENSI BUKU Judul : Investor-State Arbitration Penulis buku : Christopher F. Dugan, Don Wallace, Jr., Noah D. Rubins, Borzu Sabahi Penerbit : Oxford University Press Bahasa : Inggris Jumlah halaman :
Lebih terperincimenjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.
BAB V KESIMPULAN Kebangkitan ekonomi Cina secara signifikan menguatkan kemampuan domestik yang mendorong kepercayaan diri Cina dalam kerangka kerja sama internasional. Manuver Cina dalam politik global
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat industri jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan
Lebih terperinciCara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable). Artinya para pihak yang berkonflik mengizinkan
Cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable). Artinya para pihak yang berkonflik mengizinkan keterlibatan pihak ketiga untuk membantu mencapai penyenyelesaian.
Lebih terperinciPoppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PADA HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA DAN TIGA NEGARA (CHINA, INDIA, DAN AUSTRALIA) TERHADAP KINERJA EKSPOR-IMPOR, OUTPUT NASIONAL DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA: ANALISIS
Lebih terperinciDINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK
DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK Resolusi dan Alternatif Resolusi Konflik (2) Dr. Teguh Kismantoroadji Dr. Eko Murdiyanto 1 Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu menentukan alternatif resolusi konflik
Lebih terperincimereka. Seperti telah diketahui misalnya KPI telah melakukan kerjasama sebelumnya dengan pihak Jepang dan Vietnam dalam downstream business di Vietnam
BAB IV KESIMPULAN Harapan akan adanya kerjasama yang menguntungkan dari masing-masing pihak menjadi fondasi terjadinya negosiasi antara kedua belah pihak seperti pembahasan sebelumnya. Ketersediaan minyak
Lebih terperinciMULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL
MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan
Lebih terperinciPERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL
PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ASEP GINANJAR PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 1. Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seperti kita ketahui, perdagangan bebas telah menjadi topik kebijakan publik yang paling hangat diperdebatkan menjelang penerapan perdagangan bebas dunia. Salah satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini
BAB I PENDAHULUAN Saat ini, pembentukan Free Trade Agreement (FTA) menjadi salah satu opsi utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini menjadikan evaluasi dampak terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pesat di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998, bank didefinisikan. dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Industri perbankan merupakan salah satu industri dengan pertumbuhan yang pesat di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998, bank didefinisikan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak kepada ketatnya persaingan, dan cepatnya perubahan lingkungan usaha. Perkembangan
Lebih terperinci: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi
Mata Kuliah Dosen : Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si Memahami Diplomasi Pada masa kini dengan berkembang luasnya isu internasional menyebabkan hubungan internasional tidak lagi dipandang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Prinsip perluasan Uni Eropa adalah semua anggota harus memenuhi ketentuan yang dimiliki oleh Uni Eropa saat ini, antara lain menyangkut isu politik (kecuali bagi
Lebih terperinciGambaran Umum G20. Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral dan Pembiayaan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Gambaran Umum G20 Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral dan Pembiayaan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Latar Belakang Faktor utama terbentuknya G20 Ketergantungan antar negara semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Membahas mengenai perekonomian internasional, isu globalisasi sering
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas mengenai perekonomian internasional, isu globalisasi sering dikaitkan dengan adanya ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik antara negara maju dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian di era global ini masih memainkan peran penting. Sektor pertanian dianggap mampu menghadapi berbagai kondisi instabilitas ekonomi karena sejatinya manusia memang
Lebih terperinciSecara umum, perencanaan sosial dimaksudkan untuk:
PERENCANAAN SOSIAL BERBASIS KOMUNITAS YANG INDEPENDEN PADA SEKTOR RELAWAN Pada tahun 1992, Dewan Perencanaan Sosial Halton bekerjasama dengan organisasi perencanaan sosial yang lain menciptakan Jaringan
Lebih terperinciRELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh I Putu Ananta Wijaya A.A Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT
Lebih terperinciMinistry of National Development Planning/Bappenas Kerjasama Pembangunan Internasional dalam Rangka Pelaksanaan SDGs di Indonesia
Ministry of National Development Planning/Bappenas Kerjasama Pembangunan Internasional dalam Rangka Pelaksanaan SDGs di Indonesia Direktorat Politik Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Internasional
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.
BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi telah mendorong negara-negara di dunia untuk memperluas ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya keterbukaan, baik keterbukaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara
Lebih terperinciNegosiasi Bisnis. Minggu-11: Agen, Konstituen, dan Khalayak. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: ,
Negosiasi Bisnis Minggu-11: Agen, Konstituen, dan Khalayak By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: 08122035131, Email: ailili1955@gmail.co.id Jumlah Pihak Dalam Negosiasi Negosiasi antar dua orang negosiator.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Tulisan terkait korelasi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi antara lain dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan merupakan instrumen efektif untuk mendorong proses pembangunan. Beragam teori maupun kajian empiris menunjukan bahwa negara yang lebih terbuka terhadap
Lebih terperinciPRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)
BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP
Lebih terperinciPAPARAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS
PAPARAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS SESI PANEL MENTERI - RAKERNAS BKPRN TAHUN 2015 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Jakarta, 5 November 2015 DAFTAR ISI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBisnis Internasional Pertemuan Pertama Bab 1 dan 2 Globalisasi dan Perbedaan Sistem Politik Ekonomi antar Negara
Bisnis Internasional Pertemuan Pertama Bab 1 dan 2 Globalisasi dan Perbedaan Sistem Politik Ekonomi antar Negara REFERENSI : CHARLES W. L. HILL INTERNATIONAL BUSINESS EDISI 7 PERTEMUAN PERTAMA Outline
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menyentuh hampir seluruh aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Kehidupan ekonomi global kini bersifat bebas dan tidak dibatasi oleh teritorial antar
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Fenomena internasional yang menjadi tren perdagangan dewasa ini adalah perdagangan bebas yang meliputi ekspor-impor barang dari suatu negara ke negara lain.
Lebih terperinci