I. PENDAHULUAN. setiap hari. Keadaan ini menjadikan negara Indonesia sangat bergantung pada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN. setiap hari. Keadaan ini menjadikan negara Indonesia sangat bergantung pada"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan utama setiap hari. Keadaan ini menjadikan negara Indonesia sangat bergantung pada komoditas tersebut. Ketergantungan masyarakat dalam mengkonsumsi beras akan berdampak pada peningkatan kebutuhan beras yang tinggi. Meski merupakan negara agraria yang mampu menyediakan beras untuk masyarakat, kenyataannya Indonesia juga memiliki tingkat impor beras yang tinggi. Fenomena semacam ini pada akhirnya akan mempengaruhi harga beras dipasaran sehingga masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan beras. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian secara mendalam untuk komoditas non-beras serta peluang pengembangan dan pemanfataannya bagi masyarakat serta negara. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal tetapi pengembangannya tidak sebaik padi dan jagung. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya daerah yang memanfaatkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan. Tanaman ini mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan secara komersial di Indonesia, karena didukung oleh kondisi agroekologis dan ketersediaan lahan yang cukup luas. Penanganan pascapanen pada komoditas tanaman pangan bertujuan mempertahankan komoditas yang telah dipanen dalam kondisi baik serta layak dan tetap enak dikonsumsi. Penanganannya dapat berupa pemipilan/perontokan, pengupasan, pembersihan, pengeringan, pengemasan, penyimpanan, pencegahan serangan hama dan penyakit, dan penanganan lanjutan (Mutiara, 2007). 1

2 Pengeringan bahan pangan merupakan salah satu penanganan pascapanen yang sangat penting. Pengeringan merupakan tahapan operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan mutu hasil maupun mekanisme perpindahan panas dan massa. Proses pengeringan dilakukan sampai pada kadar air seimbang dengan keadaan udara atmosfir normal (Equilibrium Moisture Content) atau pada batas tertentu sehingga aman disimpan dan tetap memiliki mutu yang baik sampai ke tahap proses pengolahan berikutnya (Widyotomo and Mulato, 2005). Kerusakan pada biji sorgum dapat disebabkan oleh terlambatnya proses pengeringan, proses pengeringan yang terlalu lama atau terlalu cepat dan proses pengeringan yang tidak merata. Suhu yang terlalu tinggi atau adanya perubahan suhu yang mendadak juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada biji sorgum yang berdampak langsung pada mutu yang dihasilkan (Brooker et al., 1981), sehingga perlunya sebuah model pada proses pengeringan yang dapat menjadi acuan pemodelan pengeringan lapisan tipis biji sorgum varietas numbu. Selama proses pengeringan bahan, transformasi fisik salah satunya yaitu warna bahan dapat mengalami perubahan. Laju perubahan ini berbanding lurus dengan lama proses pengeringan (Culver and Wrolstad, 2008). Sehingga warna menjadi salah satu indikasi lama proses pengeringan dari biji sorgum. Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diadakan penelitian untuk mendapatkan sebuah model pengeringan lapisan tipis dan pengidentifikasian perubahan warna biji sorgum varietas numbu selama proses pengeringan. 2

3 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk mendapatkan model matematika pengeringan lapisan tipis yang paling sesuai berdasarkan model matematika berikut yaitu Model Newton, Model Henderson-Pabis dan Model Page serta mengidentifikasi perubahan warna yang terjadi selama proses pengeringan biji sorgum varietas numbu. Kegunaan penelitian yang dilaksanakan ini adalah sebagai acuan permodelan pengeringan lapisan tipis biji sorgum varietas numbu dan menjadi bahan informasi untuk industri pengolahan tepung sorgum. 3

4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman graminae yang mampu tumbuh hingga 6 meter. Bunga sorgum termasuk bunga sempurna dimana kedua alat kelaminnya berada di dalam satu bunga. Pada daun sorgum terdapat lapisan lilin yang ada pada lapisan epidermisnya. Adanya lapisan lilin tersebut menyebabkan tanaman sorgum mampu bertahan pada daerah dengan kelembaban sangat rendah (Kusuma dkk., 2008). Sorgum merupakan tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum sendiri memiliki 32 spesies. Diantara spesies-spesies tersebut, yang paling banyak dibudidayakan adalah spesies Sorghum bicolor (japonicum). Tanaman yang lazim dikenal masyarakat Jawa dengan nama Cantel ini sekeluarga dengan tanaman serealia lainnya seperti padi, jagung, hanjeli dan gandum serta tanaman lain seperti bambu dan tebu. Dalam taksonomi, tanaman-tanaman tersebut tergolong dalam satu keluarga besar Poaceae yang juga sering disebut sebagai Gramineae/rumput-rumputan (Anas, 2011). Sorgum telah dibudidayakan di Cina selama lebih dari 5000 tahun dan sekarang roti dengan bahan sorgum merupakan makanan paling penting di sebagian besar daerah kering di Afrika dan Asia (Bouman, 1985). Bahan pangan biji sorgum dapat diolah menjadi berbagai macam makanan. Tepung sorgum dapat diolah sebagai bahan dasar roti. Roti tawar yang terbuat dari tepung sorgum tidak berbeda teksturnya dibandingkan roti yang terbuat dari tepung terigu (Syam dkk., 1996). 4

5 Sorgum adalah jenis serealia yang di Indonesia belum banyak dimanfaatkan kegunaannya (Nurmala, 1998). Tanaman sorgum masih demikian kurang perkembangannya, padahal hasilnya dapat merupakan bahan pangan pengganti beras atau untuk diekspor (Kartasapoetra, 1994). Sorgum memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan genangan, memiliki adaptasi yang luas dan dapat tumbuh baik di lahan yang kurang subur (Syam dkk., 1996). 2.2 Varietas Sorgum Dikaitkan dengan program diversifikasi pangan, sorgum merupakan komoditas alternatif yang dapat dikembangkan di lahan kering beriklim kering, terutama di kawasan timur Indonesia. Pengembangan komoditas ini perlu didukung oleh ketersediaan sejumlah varietas yang masing-masing memiliki sifat yang spesifik mengingat beragamnya kondisi lahan (Syam dkk., 1996). Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Biji sorgum memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan sering digunakan sebagai bahan baku industri bir, pati, gula cair atau sirup, etanol, lem, cat, kertas dan industri lainnya. Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, NTB, dan NTT (Yanuwar, 2002). 5

6 Pentingnya tanaman sorgum tersebut menyebabkan perkembangan pemuliaan tanaman ini berkembang cukup pesat. Pemuliaan tanaman sorgum lebih diarahkan pada tinggi tanaman, hasil, ketahanan terhadap hama penyakit, kualitas dan mutu biji. Berdasarkan bentuk malai dan tipe spikelet, sorgum diklasifikasikan ke dalam 5 ras yaitu ras Bicolor, Guenia, Caudatum, Kafir, dan Durra. Ras Durra yang umumnya berbiji putih merupakan tipe paling banyak dibudidayakan sebagai sorgum biji (grain sorgum) dan digunakan sebagai sumber bahan pangan. Diantara ras Durra terdapat varietas yang memiliki batang dengan kadar gula tinggi disebut sebagai sorgum manis (sweet sorghum). Sedangkan rasras lain pada umumnya digunakan sebagai biomasa dan pakan ternak. Program pemuliaan sorgum telah berhasil memperoleh varietas dengan kandungan gula yang tinggi (sweet sorghum) sehingga dapat menggantikan tanaman tebu sebagai penghasil bahan pemanis. Sorgum manis tersebut telah berhasil dibudidayakan di China sebagai bahan pembuat biofuel (Kusuma dkk., 2008). Beberapa varietas sorgum yang telah dikenal di Indonesia adalah Malang 26, Birdproof, katengu, Pretoria, Darsa, dan Cempaka. Varietas-varietas yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor diantaranya adalah varietas UPCA-S1, UPCA-S2, No.46, No.6C, dan No.7C. Balai penelitian tanaman serealia Indonesia pada tahun 2001 telah melepas dua varietas sorgum unggul baru yaitu Kawali dan Numbu yang berasal dari India. Potensi hasil kedua varietas tersebut masing-masing 4,67 ton/ha dan 5,05 ton/ha dengan rata-rata hasil 0,3 ton/ha dan berumur 90 hari. Varietas Kawali dan Numbu memiliki tangkai yang kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat serta penyakit bercak daun. Kedua varietas ini ditanam dibeberapa daerah antara lain di Demak 6

7 dan Gunungkidul (Jawa Tengah) serta daerah Bantul, Yogyakarta (Yanuwar, 2002). Sedangkan untuk varietas Numbu merupakan varietas sorgum yang berumur hari dengan tinggi tanaman ± 187 cm. Biji sorgum varietas ini berwarna krem dengan bentuk biji bulat lonjong. Kelebihan dari varietas sorgum ini adalah mudah dirontokkan, tahan terhadap bercak dan karat daun. Bobot biji sorgum varietas ini mencapai gr dengan potensi hasil panen 4 5 ton/ha. Selain itu, kadar protein dari varietas ini sebesar 9,12 % dengan kadar lemak 3,94 % dan karbohidrat sebesar 84,58 % (DIY Agricenter, 2008). 2.3 Pascapanen Sorgum Setelah dipanen bahan pangan secara fisiologi masih hidup. Proses hidup ini perlu dipertahankan, tetapi sebaiknya jangan dibiarkan berlangsung cepat. Jika proses hidup ini berjalan cepat, maka akan terjadi kebusukan (Heddy dkk., 1994). Penanganan pascapanen yang baik akan menekan kehilangan (losses), baik dalam kualitas maupun kuantitas, yaitu mulai dari penurunan kualitas sampai komoditas tersebut tidak layak pasar (not marketable) atau tidak layak dikonsumsi (Mutiarawati, 2007). Bahan pangan yang tergolong pada biji-bijian banyak sekali jenisnya, antara lain adalah jagung, padi, gandum, sorgum, kedelai, kacang panjang, kacang hijau, kacang tunggak, berbagai jenis kara, dan lain-lain. Secara individual, tiap biji-bijian mempunyai sifat-sifat tersendiri yang spesifik (Heddy dkk., 1994). Penanganan pascapanen pada komoditas tanaman pangan yang berupa biji-bijian (cereal/grains), ubi-ubian dan kacang-kacangan dilakukan penanganan berupa pemipilan/perontokan, pengupasan, pembersihan, pengeringan (curing/drying), pengemasan, penyimpanan, dan pencegahan serangan hama dan penyakit. Hal ini 7

8 bertujuan untuk mempertahankan komoditas yang telah dipanen dalam kondisi baik serta layak dan tetap enak dikonsumsi serta dapat tahan agak lama jika disimpan (Mutiarawati, 2007). Berdasarkan Laimeheriwa (1990) tahapan penanganan pascapanen sorgum antara lain: a. Pengeringan Biasanya pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran selama ± 60 jam hingga kadar air biji mencapai %. Kriteria untuk mengetahui tingkat kekeringan biji biasanya dengan cara menggigit bijinya. Bila bersuara berarti biji tersebut telah kering. Apabila hari hujan atau kelembaban udara tinggi, pengeringan dapat dilakukan dengan cara menggantungkan batang-batang sorgum di atas api dalam suatu ruangan atau di atas api dapur. b. Perontokan Perontokan secara tradisional dilakukan dengan pemukul kayu dan dikerjakan di atas lantai atau karung goni. Pemukulan dilakukan terus menerus hingga biji lepas. Setelah itu dilakukan penampian untuk memisahkan kotoran yang terdiri dari daun, ranting, debu atau kotoran lainnya. Sejumlah biji dijatuhkan dari atas dengan maksud agar kotorannya dapat terpisah dari biji dengan bantuan hembusan angin. Agar dicapai hasil yang terbaik dan efisien dianjurkan agar menggunakan wadah supaya biji tetap bersih, usahakan agar biji segera dirontokan setelah panen untuk mencegah serangan tikus dan burung serta kadar air tidak boleh lebih dari % untuk mencegah pertumbuhan jamur. 8

9 c. Penyimpanan Penyimpanan sederhana di tingkat petani adalah dengan cara menggantungkan malai sorgum di ruangan di atas perapian dapur. Cara ini berfungsi ganda yaitu untuk melanjutkan proses pengeringan dan asap api berfungsi pula sebagai pengendalian hama selama penyimpanan. Namun jumlah biji yang dapat disimpan dengan cara ini sangat terbatas. Bila biji disimpan dalam ruangan khusus penyimpanan (gudang), maka tinggi gudang harus sama dengan lebarnya supaya kondensasi uap air dalam gudang tidak mudah timbul. Dinding gudang sebaiknya terbuat dari bahan yang padat sehingga perubahan suhu yang terjadi pada biji dapat dikurangi. Tidak dianjurkan ruang penyimpanan dari bahan besi karena sangat peka terhadap perubahan suhu. Sebelum disimpan biji harus kering, bersih dan utuh (tidak pecah). Tahapan pascapanen di atas masih berlanjut pada tahap pengolahan. Pemanfataan sorgum menjadi produk olahan dapat dibagi menjadi produk olahan setengah jadi dan produk olahan jadi. Produk olahan setengah jadi atau intermediate product yang dimaksud ialah pengolahan biji sorgum menjadi beras atau dikenal dengan istilah dhal sorgum, pembuatan tepung dan pati sorgum. Sedangkan produk olahan jadi ialah hasil olahan yang siap dikonsumsi (Susila, 2010). 9

10 2.4 Konsep Pengeringan Pengeringan makanan merupakan operasi yang paling penting dalam rantai penanganan makanan. Pengeringan yang baik menghambat perkecambahan dan menghambat pertumbuhan jamur serta bakteri. Pengeringan juga menghambat serangan serangga dan tungau terhadap biji-bijian (Sodha et al., 1987a). Proses pengeringan merupakan proses perpindahan panas dari sebuah permukaan benda sehingga kandungan air pada permukaan benda berkurang (Mahadi, 2007). Sedangkan Brooker et al. (1992) menjelaskan bahwa pengeringan adalah proses perpindahan panas dan perpindahan massa secara bersamaan. Panas diperlukan untuk menguapkan kelembaban yang mengalir dari permukaan produk ke media pengeringan eksternal, biasanya udara. Widyotomo dan Mulato (2005) menjelaskan bahwa pengeringan adalah operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perubahan mutu hasil maupun mekanisme perpindahan panas dan massa. Perpindahan panas dan perpindahan massa yang terjadi selama proses pengeringan merupakan proses yang sangat kompleks karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi proses tersebut (Sitkei, 1986). Selama proses pengeringan, tidak hanya perpindahan panas yang terjadi tetapi juga adanya penambahan uap air ke udara. Penambahan uap air dari bahan ke udara ini disebabkan oleh perbedaan tekanan uap dimana proses pengeringan terjadi dengan cara penguapan air. Cara ini dilakukan dengan menurunkan kelembaban nisbi udara melalui aliran udara panas atau udara bertekanan sehingga tekanan uap air bahan lebih besar dari tekanan uap air udara (Brooker et al., 1981). 10

11 Aliran udara panas merupakan fluida kerja bagi sistem pengeringan. Komponen aliran udara yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kecepatan, temperatur, tekanan dan kelembaban relatif (Mahadi, 2007). Pengeringan biji-bijian dapat dianggap sebagai proses adiabatik dimana selama proses ini berlangsung, entalpi dan suhu bola basah udara pengering tetap, sedangkan suhu bola kering berkurang yang diikuti dengan kenaikan kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, tekanan parsial uap air dan suhu pengembunan udara pengering (Brooker et al., 1981). Proses pengeringan dipengaruhi oleh kondisi udara pengering, sifat internal bahan dan sistem pengeringan yang diterapkan. Kinetika pengeringan dikendalikan oleh besarnya konstanta pengeringan dalam sistem atau model pengeringan lapis tipis (thin layer drying) yang tergantung pada laju alir udara pengering, difusivitas air di dalam bahan, kondisi udara pengering, struktur mikro pori-pori bahan, serta kadar air dan ketebalan bahan (Istadi dkk., 2002). Dalam sebagian besar sistem pengeringan pemanas udara biji-bijian, energi ditambahkan ke udara oleh pembakaran langsung gas di udara. Selama proses ini, tidak hanya panas tetapi juga adanya penambahan uap air ke udara. Hasil dari proses pemanasan dan penambahan uap air tersebut menyebabkan entalpi, rasio kelembaban, tekanan uap, suhu bola kering, bola basah dan titik embun serta volume spesifik udara meningkat. Perubahan pada kelembaban relatif ditentukan oleh jumlah relatif energi dan uap air ditambahkan ke udara (Brooker et al., 1981). Tugas pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air menuju kadar air yang telah ditentukan dimana bahan kering dapat selanjutnya disimpan (pada 11

12 sereal standar tersebut ialah 14%). Untuk dapat mengurangi atau menguapkan kelembaban, panas harus masuk kedalam bahan. Energi dapat berasal dari penurunan suhu bahan dan air yang terkandung didalamnya atau panas yang keluar dari permukaan bahan. Air mencapai permukaan dari bagian dalam materi secara konduksi dan biasanya keluar dari permukaan secara konveksi. Dengan demikian proses pemindahan uap air dapat dikurangi dengan perpindahan panas dan massa secara simultan (Sitkei, 1986). Ketika biji-bijian memiliki kadar air yang tinggi untuk penyimpanan jangka panjang, maka biji-bijian tersebut harus dikeringkan sebelum proses penyimpanan. Dalam proses pengeringan, panas dihasilkan untuk menguapkan atau mengurangi kadar air dari biji-bijian dan aliran udara untuk mengangkat uap air dan membawanya ke atmosfir (McConnell, 1995). Pengujian berat pada biji-bijian biasanya meningkat selama proses pengeringan. Jumlah kenaikan tergantung pada 1) Tingkat kerusakan biji, 2) Kadar air awal, 3) Suhu biji-bijian selama proses pengeringan, 4) Kadar air akhir dan 5) Varietas Biji-bijian. Kerusakan yang parah pada biji menyebabkan terjadinya penurunan berat biji yang signifikan pada pengujian. Pada awal masa panen, biji-bijian dengan kadar air yang tinggi yang tidak banyak mendapat pengaruh oleh cuaca dan menunjukkan uji berat yang lebih tinggi setelah proses pengeringan dengan biji-bijian yang sama saat pemanenan dengan kadar air bijibijian yang lebih rendah. Pengeringan suhu udara yang lebih tinggi akan menghasilkan biji-bijian dengan uji berat yang rendah. Selama proses pengeringan, uji berat meningkat mencapai maksimum, biasanya ketika kelembaban antara 14-16% berat basah (Brooker et al., 1981). Hal yang sama juga 12

13 ditambahkan oleh McLean (1980) yang menjelaskan mengenai pentingnya pengujian berat. Ketika biji-bijian yang diterima oleh pedagang memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan standar yang telah ditentukan, maka kehilangan berat selama proses pengeringan harus dihitung untuk mencapai nilai dari bijibijian yang sebenarnya. Menurut Rao et al. (2006) dalam bukunya, pengukuran berat biasanya menggunakan timbangan analitik yang keseimbangan analitisnya mampu menimbang 3-4 desimal (0,001-0,0001 g). Proses pengeringan untuk produk pertanian dalam jumlah besar dalam praktiknya merupakan proses yang sangat kompleks, karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi proses pengeringan. Ketika terjadi pengurangan berat bahan selama proses pengeringan, perpindahan massa dan panas yang terjadi pada bahan sebagai medium yang dikeringkan menjadi sangat mempengaruhi berat bahan sehingga diperlukan perkiraan secara matematis terhadap bahan yang dikeringkan dalam jumlah yang banyak (Sitkei, 1986). Sistem pengeringan mengenal adanya model simulasi yang digunakan untuk mempelajari dan menganalisis karakteristik bahan yang dikeringkan. Simulasi adalah metode dimana kinerja sistem atau proses dapat diprediksi dengan menggunakan model matematika. Simulasi mempelajari proses pengeringan sehingga pada dasarnya akan tergantung pada analisis perubahan panas dan massa serta kelembaban di dalam bahan. Tingkat perubahan terjadi secara bertahap dan dipengaruhi oleh struktur bahan, proses pengeringan yang dilakukan dan media pengeringan. Pada bahan pertanian terutama biji-bijian sereal, varietas bahan, kematangan fisiologis saat panen, perubahan selama proses pengeringan merupakan faktor dalam meningkatkan kompleksitas analisis. Suatu 13

14 analisis pengeringan seringkali didasarkan pada kondisi eksternal yaitu suhu, kelembaban, dan kecepatan udara (Sodha et al., 1987a). Pada prinsip pemodelan, untuk menjelaskan bagaimana sistem bekerja selama proses pengeringan, maka didasarkan pada berbagai persamaan matematika. Solusi dari persamaan ini harus memungkinkan perhitungan terhadap parameter yang telah ditentukan yang mempengaruhi kondisi bahan selama proses pengeringan. Oleh karena itu, penggunaan model matematika merupakan alat penting untuk mensimulasi kinerja sistem pengeringan (Garavand et al., 2011). 2.5 Laju Pengeringan Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan yang dibedakan menjadi dua tahap utama, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi pada lapisan air bebas yang terdapat pada permukaan biji-bijian. Laju pengeringan ini terjadi sangat singkat selama proses pengeringan berlangsung, kecepatan penguapan air pada tahap ini dapat disamakan dengan kecepatan penguapan air bebas. Besarnya laju pengeringan ini tergantung dari: a) Lapisan yang terbuka, b) Perbedaan kelembaban antara aliran udara dan daerah basah, c) Koefisien pindah massa, dan d) Kecepatan aliran udara pengering (Nurba, 2010;Sodha et al., 1987a). Laju pengeringan bahan pangan dengan kadar air awal di atas % basis basah, selama periode awal pengeringan, laju pengeringan ditinjau dari tiga parameter pengeringan eksternal yaitu kecepatan udara, suhu udara dan kelembaban udara. Jika kondisi lingkungan konstan, maka laju pengeringan akan konstan (Brooker et al., 1981). 14

15 Sedangkan laju pengeringan menurun terjadi setelah periode pengeringan konstan selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke permukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji (Nurba, 2010). Proses pengeringan dengan laju menurun sangat tergantung pada sifat-sifat alami bahan yang dikeringkan. Laju perpindahan massa selama proses ini dikendalikan oleh perpindahan internal bahan (Istadi dkk., 2002). Periode laju pengeringan menurun meliputi 2 proses yaitu perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan dan perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar (Henderson and Perry, 1976). Kadar air kritis (critical moisture content) menjadi batas antara laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun (Nurba, 2010). Menurut Henderson dan Perry (1976) dalam bukunya menyatakan bahwa kadar air kritis adalah kadar air terendah pada saat kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke permukaan sama dengan kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji. Proses pengeringan berlangsung sampai kesetimbangan dicapai antara permukaan dalam dan permukaan luar bahan dan antara permukaan luar bahan dengan lingkungan. Pada tahap awal, dimulai dengan masa pemanasan singkat dengan laju pengeringan maksimum dan konstan. Dalam tahap pengeringan ini, kadar air melebihi kadar air maksimum higroskopis diseluruh bagian dalam bahan. Dalam hal ini, tingkat pengeringan bahan tertentu tergantung pada karakteristik bahan yaitu suhu bahan, kelembaban relatif dan kecepatan udara pengeringan (Sitkei, 1986). Laju penguapan air dapat dihitung dengan persamaan berikut:... (1) 15

16 Dimana w t merupakan berat awal bahan, w t+1 merupakan berat bahan pada waktu (t, jam) dan w a merupakan berat bahan saat konstan serta t 1 dan t 2 merupakan perubahan waktu setiap jam. Laju penguapan air adalah banyaknya air yang diuapkan setiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu (Yadollahinia et al., 2008). 2.6 Parameter Pengeringan a. Suhu udara pengering Suhu udara pengeringan dapat memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kualitas biji-bijian. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan adanya peningkatan kerusakan pada biji jagung, tekanan keretakan dan perubahan warna biji serta mengakibatkan kesulitan dalam pemisahan pati dalam proses produksi pabrik, mutu minyak dan kualitas protein. Sedangkan, suhu gandum yang tinggi akan mempengaruhi kualitas makanan yang dibuat dengan bahan baku gandum tersebut (Brooker et al., 1981). Bahan dipanaskan selama proses pengeringan dengan suhu tertentu. Suhu bahan dipengaruhi terutama oleh suhu udara pengeringan, tetapi juga dipengaruhi oleh kadar air awal bahan dan kadar air akhir bahan. Suhu dari bahan seperti biji-bijian selama proses pengeringan dapat ditentukan berdasarkan keseimbangan panas. Jumlah panas yang dipindahkan ke permukaan biji-bijian di satu sisi meningkatkan suhu biji dan di sisi lain mengurangi atau menguapkan air pada biji (Sitkei, 1986). Untuk pengeringan biji sorgum dalam tray dryer, Aviara et al. (2010) dimana suhu yang digunakan dalam mengeringkan sorgum untuk 16

17 kebutuhan pangan khususnya tepung sorgum adalah 40 o C - 60 o C. Berikut ini suhu aman maksimum untuk bahan pangan biji-bijian selama pengeringan berdasarkan jenis penggunaan akhir bahan (end uses). Tabel 1. Suhu Aman Maksimum ( o C) Biji-Bijian Selama Pengeringan Berdasarkan Jenis Penggunaan Akhir Bahan. Bahan Pangan Benih Penggunaan Akhir Dijual Untuk Penggunaan Komersial Pakan Ternak Jagung Tongkol Jagung Gandum Oats Barley Sorgum Kedelai Beras Kacang Tanah Sumber: Aviara et al., Bahan pangan yang dikeringkan sampai berat konstan selanjutnya akan dikeringkan dalam oven untuk mengukur berat kering bahan. Innocent (2008) menjelaskan bahwa untuk mengukur berat kering suatu bahan dalam oven membutuhkan suhu pengeringan yang bervariasi tergantung jenis bahan yang dikeringkan. Pada suhu pengeringan oven 105 o C digunakan untuk mengeringkan biji jelai, sorgum, jagung dan gandum selam 72 jam (Ware, 1977). Untuk suhu pengeringan oven 130 o C digunakan untuk mengeringkan kacang locust sedangkan untuk suhu pengeringan oven 150 o C digunakan untuk mengeringkan beras. Penggunaan suhu pengeringan oven di atas 200 o C akan dapat menurunkan serat bahan. 17

18 b. Kecepatan aliran udara pengering Laju aliran udara pengeringan berfungsi untuk membawa energi panas yang selanjutnya mentransferkannya ke bahan dan membawa uap air keluar ruang pengering. Laju pengeringan yang cepat dapat terjadi jika udara pengering memiliki kandungan panas yang lebih seragam dengan volume dan laju aliran udara yang lebih besar sehingga memiliki kekuatan yang lebih besar pula untuk menembus lapisan bahan (Widyotomo dan Mulato, 2005). Untuk pengeringan lapisan tipis biji-bijian sereali umumnya menggunakan kecepatan antara 0,25 2,33 m/s (Shei and Chen, 1999), c. Kelembaban relatif (RH) udara pengering Kelembaban relatif udara pengeringan menunjukkan kemampuan udara untuk menyerap uap air. Udara panas di dalam ruang pengering secara perlahan akan memanaskan dan menguapkan massa air di dalam biji sorgum. Uap air tidak langsung keluar dari ruang pengering melainkan menjenuhkan udara di sekitar bahan (Widyotomo dan Mulato, 2005). Kelembaban berkurang disebabkan oleh perbedaan tekanan uap antara permukaan bahan dan lingkungan (Sitkei, 1986). Semakin rendah kelembaban relatif udara pengeringan, maka kemampuannya dalam menyerap uap air akan semakin besar. Hal sebaliknya akan terjadi jika kelembaban relatif udara pengeringan semakin besar maka kemampuan dalam menyerap uap air akan semakin kecil (Widyotomo dan Mulato, 2005). 18

19 d. Kadar air Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan (Safrizal, 2010). Kadar air panen rata-rata biji sorgum adalah 20% namun bila daerah penanaman adalah daerah kering biasanya kadar air panen biji bisa mencapai 16%. Selanjutnya biji sorgum dikeringkan untuk mengurangi kadar air bahan hingga mencapai kadar air kesetimbangan (Susila, 2010). Pernyataan yang sama juga dijelaskan oleh Mwithiga dan Mark (2004) bahwa biji sorgum biasanya dipanen pada kadar air 20% basis basah atau lebih rendah dan sebagian besar pengolahan akan berlangsung antara kadar air ini dan menuju kadar air kesetimbangan dengan kadar air 12% basis basah. Konsep kadar air kesetimbangan merupakan suatu konsep yang penting dalam studi pengeringan biji-bijian karena kadar air kesetimbangan menentukan kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi udara pengeringan yang tetap atau pada suhu dan kelembaban relatif yang tetap. Kadar air kesetimbangan pada biji-bijian didefinisikan sebagai kadar air bahan setelah bahan dipaparkan atau berada dilingkungan tertentu untuk jangka waktu yang panjang yang ditentukan. 19

20 Selain itu, kadar air kesetimbangan dapat pula didefinisikan sebagai kadar air dimana tekanan uap internal bahan berada dalam kondisi kesetimbangan dengan tekanan uap lingkungan. Kadar air kesetimbangan juga dipengaruhi atau tergantung pada kelembaban dan kondisi suhu lingkungan dan bergantung pula pada varietas, spesies dan kematangan dari biji-bijian (Brooker et al., 1992). Menurut Henderson dan Perry (1976) suatu bahan dalam keadaan seimbang apabila laju kehilangan air dari bahan ke udara sekelilingnya sama dengan laju penambahan air ke bahan dari udara di sekelilingya. Kadar air pada keadaan seimbang disebut juga dengan kadar air keseimbangan atau keseimbangan higroskopis. Ketika mengukur kadar air dari sampel biji-bijian, proses pengambilan sampel benar-benar diperhatikan sebab pengambilan sampel tersebut mewakili sebagian besar biji-biji yang di ukur. Hal tersebut dapat menjadi alternatif yang terbaik secara sistematis dalam menguji sampel yang umumnya diambil dengan cara mencampurkan semua biji-bijian kemudian mengambil sampel campuran secara acak. Tanpa perlakuan yang benar dalam pengambilan sampel, dalam menentukan kelembaban yang baik dan bahkan kehati-hatian operator maka akan gagal dalam menghasilkan hasil yang memuaskan (McConnell, 1995). Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis) (Safrizal, 2010). Biasanya harga pasar 20

21 untuk bahan hasil pertanian ditentukan dari pengukuran kadar air basis basah bahan (Sodha et al., 1987a). Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut: 1-1. (2) Dimana: Ka bb = Kadar air basis basah (%) Wa Wk Wt = Berat air dalam bahan (g) = Berat kering mutlak bahan (g) = Berat total (g) = Wa + Wk Kadar air basis kering adalah perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air berat kering dapat ditentukan dengan persamaan berikut: (3) Dimana: Ka bk = Kadar air basis kering (%) Wa Wk Wt = Berat air dalam bahan (g) = Berat kering mutlak bahan (g) = Berat total (g) = Wa + Wk Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah mengalami pengeringan dalam waktu tertentu sehingga beratnya konstan. Pada proses pengeringan, air yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya 21

22 diuapkan meskipun demikian yang diperoleh disebut juga sebagai berat bahan kering (Ramadhani, 2011). e. Moisture Ratio Sama halnya dengan laju kadar air, rasio kelembaban juga mengalami penurunan selama proses pengeringan. kenaikan suhu udara pengeringan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencapai setiap tingkat rasio kelembaban sejak proses transfer panas dalam ruang pengeringan meningkat. Sedangkan, pada suhu tinggi, perpindahan panas dan massa juga meningkat dan kadar air bahan akan semakin berkurang (Garavand et al., 2011). Rasio kelembaban (moisture ratio) pada sorgum selama pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: (4) Dimana MR merupakan moisture ratio (rasio kelembaban), M t merupakan kadar air pada saat t (waktu selama pengeringan, menit), M o merupakan kadar air awal bahan, dan M e merupakan kadar air yang diperoleh setelah berat bahan konstan. Nilai satuan M t, M o dan M e merupakan persentase dari kadar air basis kering bahan (Garavand et al., 2011). 22

23 2.7 Warna Persepsi dan Peranan Warna Salah satu atribut utama dalam gambar adalah warna. Warna digunakan dalam seni, fotografi dan visual-personalisasi untuk menyampaikan informasi atau untuk menyampaikan kondisi tertentu dari suatu objek (Leön, 2005). Peranan warna dalam mutu bahan pangan adalah sangat penting, karena umumnya konsumen atau pembeli sebelum mempertimbangkan nilai gizi dan rasa, pertama-tama akan tertarik oleh keadaan warna bahan. Bila warna bahan makanan kurang cocok dengan selera atau menyimpang dari warna normal, bahan makanan tersebut tidak akan dipilih oleh konsumen, walaupun rasa, nilai gizi dan faktor-faktor lainnya normal. Bahkan sering konsumen mempergunakan warna dari bahan makanan sebagai indikasi mutu yang ada pada bahan makanan tersebut (I Gusti, 1996). Hal yang sama juga dijelaskan Leön (2005) bahwa penampilan fisik dan warna adalah parameter pertama bagi konsumen untuk menentukan kualitas dari suatu produk secara subjektif. Selama proses grading dan pengemasan produk-produk makanan, warna seringkali menjadi indikator untuk menunjukkan tingkat kualitas produk. Oleh karena itu, penentuan warna dalam industri makanan tidak hanya untuk alasan ekonomi, tetapi juga untuk kualitas merek dan standarisasi. Ketika bahan mengalami penyimpangan dalam proses pengolahannya, baik proses pemanasan, pengeringan atau proses lainnya maka secara fisik selain terjadi perubahan tekstur, warna dari bahan juga akan mengalami perubahan. Selama proses pengolahan, warna bahan akan mengalami perubahan yang cepat terhadap waktu, suhu dan cahaya. 23

24 Standarisasi warna fisik (pigmen) juga penting untuk industri dimana kualitas ditentukan oleh nilai warna produk tersebut (Culver and Wrolstad, 2008) Warna Bahan Pangan Warna merupakan salah satu faktor sensori yang mempengaruhi penerimaan produk pangan (Holinesti, 2009). Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, disamping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadangkadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan menyimpang dari warna seharusnya. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Margaret, 2008). Warna bahan pangan secara alami disebabkan oleh senyawa organik yang disebut pigmen. Di dalam buah dan sayuran terdapat empat kelompok pigmen yaitu khlorophil, karotenoid, anthocyanin dan anthoxanthin. Selain itu, terdapat pula kelompok senyawa polyphenol yang disebut tannin yang memberikan warna coklat kehitaman dan rasa sepat (astrigency) pada beberapa buah-buahan dan sayuran (I Gusti, 1996). Kandungan tannin tidak hanya terdapat pada buah dan sayuran tetapi juga terdapat pada biji sorgum. Varietas sorgum yang berbeda juga 24

25 mengandung jumlah tannin yang berbeda dari setiap varietas. Varietas dengan warna yang lebih terang akan menghasilkan produk yang dapat dijadikan pangan pengganti beras dan cocok diolah menjadi tepung. Sedangkan varietas yang berwarna cenderung gelap yang diakibatkan oleh kandungan tannin, jika diolah menjadi tepung akan berwarna gelap dan rasanya lebih pahit (Laimeheriwa, 1990). Penjelasan tentang tannin juga ditambahkan Narsih dkk. (2008) bahwa tannin adalah komponen fenolik yang dapat berinteraksi dengan protein, sehingga terbentuk kompleks yang tidak larut dan dapat menurunkan daya cerna. Selain itu, tannin yang jumlahnya tinggi dalam biji dapat menyebabkan rasa sepat dan pahit serta menimbulkan warna yang gelap. Persentase tannin dalam biji sorgum berkisar antara 0,3-4% Pengukuran Warna Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kolorimeter, spektrometer, atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Tetapi alat-alat tersebut biasanya terbatas penggunaannya untuk bahan cair yang tembus cahaya seperti sari buah, bir atau warna hasil ekstraksi. Untuk bahan cairan yang tidak tembus cahaya atau padatan, warna bahan dapat diukur dengan membandingkannya terhadap suatu warna standar yang dinyatakan dalam angka-angka (Hardiyanti dkk., 2009). 25

26 Gambar 1. CIE Color Space (Gökmen, 2006) Instrument yang sangat berguna dalam mengukur warna adalah kamera digital. Kamera digital memiliki tangkapan warna yang jelas dari setiap pixel dari gambar objeknya. Dengan jenis kamera tertentu, cahaya yang dipantulkan oleh suatu benda dideteksi oleh tiga sensor per pixel. Model warna yang paling sering digunakan adalah model RGB. Setiap sensor menangkap intensitas cahaya dalam merah (R), hijau (G) atau biru (B) spectrum masing-masing. Dalam menganalisis gambar digital dari suatu objek maka terlebih dahulu dilakukan analisis titik, meliputi sekelompok kecil pixel dengan tujuan mendeteksi karakteristik kecil dari objek dan selanjutnya dilakukan analisis global dengan menggunakan histogram warna untuk menganalisis homogenitas dari objek (Leön, 2005). Cara pengukuran warna yang lebih teliti dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue dan chroma. Nilai value menunjukkan gelap terangnya warna, nilai hue mewakili panjang gelombang yang dominan yang akan menentukan apakah warna tersebut merah, hijau atau kuning, sedangkan chroma menunjukkan intensitas warna. Ketiga komponen itu diukur dengan menggunakan alat khusus yang mengukur nilai 26

27 kromatisitas suatu bahan. Angka-angka yang diperoleh berbeda untuk setiap warna, kemudian angka-angka tersebut diplotkan ke dalam diagram kromatisitas (Hardiyanti dkk., 2009). Sistem pengukuran pada alat pencahayaan objek untuk menentukan warna bahan yang banyak digunakan ada 2 macam yaitu d/8 dan 45/0. Sistem pengukuran d/8 dimana bahan diberi pencahayaan d pada dinding dalam bola integrator dan diukur pada sudut 8 o, sedangkan untuk sistem pengukuran 45/0 dimana bahan diberi pencahayaan dengan sudut 45 o dan diukur pada titik 0 o (Soesatyo dan Marwah, 2004). Gambar 2. Sistem Pengukuran 45/0 (Soesatyo dan Marwah, 2004) Model CIELAB CIELAB merupakan model warna yang dirancang untuk menyerupai persepsi penglihatan manusia dengan menggunakan tiga komponen yaitu L sebagai luminance (pencahayaan) dan a dan b sebagai dimensi warna yang berlawanan. Perancangan sistem aplikasi ini menggunakan model warna CIELAB pada proses segmentasi dan proses color moments. Color moments merupakan metode yang cukup baik dalam pengenalan ciri warna. Color moments menghasilkan tiga moments level rendah dari sebuah objek dengan 27

28 cukup baik. Model warna ini dipilih karena terbukti memberikan hasil yang lebih baik daripada model warna RGB dalam mengukur nilai kemiripan ciri warna terhadap objek. Model warna CIELAB juga dapat digunakan untuk membuat koreksi keseimbangan warna yang lebih akurat dan untuk mengatur kontras pencahayaan yang sulit dan tidak mungkin dilakukan oleh model warna RGB (Isa dan Yoga, 2008). Nilai Lab* dapat mengalami perubahan. Perubahan nilai selama proses pengeringan dapat terjadi jika warna bahan mengalami perubahan. Berdasarkan Anonim (2008) perubahan-perubahan nilai Lab* dapat dituliskan sebagai berikut: a. h l * ( ) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauhmana perubahan nilai L* yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih terang dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih gelap dari sebelumnya. L* L* 0 L*.. (5) Dimana : L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu L* 0 = Nilai L* untuk sampel pada kondisi awal L* = Nilai L* untuk sampel selama waktu tertentu b. Perubahan l * ( ) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai a* yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih 28

29 merah dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih hijau dari sebelumnya. a* a* 0 a* (6) Dimana : a* = Perubahan nilai a* selama waktu tertentu a* 0 = Nilai a* untuk sampel pada kondisi awal a* = Nilai a* untuk sampel selama waktu tertentu c. h l * ( ) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan nilai b* yang dihasilkan. Dimana nilai positif menandakan sampel lebih kuning dari sebelumnya dan nilai negatif menandakan sampel lebih biru dari sebelumnya. b* b* 0 b*.. (7) Dimana : b* = Perubahan nilai b* selama waktu tertentu b* 0 = Nilai b* untuk sampel pada kondisi awal b* = Nilai b* untuk sampel selama waktu tertentu d. Total perubahan nilai Lab* ( E*) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan/perbedaan nilai Lab* yang dihasilkan. Dimana semakin s l E* m s m s l h / d l * y d. D l s l y, s m c l l E* maka semakin kecil pula perubahan/perbedaan nilai Lab* yang terjadi. 29

30 E*.. (8) Dimana : E* = Perubahan nilai Lab* selama waktu tertentu L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu a* = Perubahan nilai a* selama waktu tertentu b* = Perubahan nilai b* selama waktu tertentu e. Total perubahan tingkat saturasi warna (C* dan C*) Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana tingkat saturasi warna yang dihasilkan. Dimana semakin tinggi nilai C*, maka semakin tinggi pula saturasi warna yang dihasilkan. Dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai C*, semakin rendah pula nilai saturasi yang dihasilkan. C*.. (9) C* C* 0 C*.. (1 ) Dimana : C* = Nilai saturasi sampel selama waktu tertentu a* = Nilai a* untuk sampel selama waktu tertentu b* = Nilai b* untuk sampel selama waktu tertentu C* = Perubahan nilai C* selama waktu tertentu C* 0 = Nilai saturasi sampel pada kondisi awal f. Perubahan warna/hue ( H*) Parameter yang digunakan untuk melihat perubahan warna yang d h s l. D m s m s l H* m s m s l 30

31 perubahan warna yang terjadi. Dan begitu pula sebaliknya, semakin c l l H* m s m c l l perubahan warna yang terjadi. H*.. (11) Dimana : H* = Perubahan warna selama waktu tertentu E* = Perubahan nilai Lab* selama waktu tertentu L* = Perubahan nilai L* selama waktu tertentu C* = Perubahan nilai C* selama waktu tertentu 2.8 Tray Dryer Pengering buatan (artificial dryer) merupakan jenis pengering yang banyak diterapkan di perkebunan besar karena fleksibilitas operasional dan kapasitasnya besar serta tidak tergantung pada cuaca (Widyotomo dan Mulato, 2005). Komponen yang diperlukan pengering menurut Sodha et al. (1987b) yaitu sebuah sistem pemanas menyalurkan sejumlah energi yang diperlukan untuk proses pengeringan, sebuah tempat pengeringan sebagai sarana perpindahan panas dan massa antara udara dan produk, sebuah sistem ventilasi yang tepat dan perangkat pengontrol. Salah satu alternatif lain dalam proses pengeringan yaitu pengeringan bahan dengan menggunakan tray dryer. Bahan seperti buah-buahan dan sayuran adalah bahan terbaik yang biasanya dikeringkan dalam tray dryer (Henderson and Perry, 1976). Pada model ini, produk ditempatkan pada setiap rak yang tersusun sedemikian rupa agar dapat dikeringkan dengan sempurna. Udara panas sebagai fluida kerja bagi model ini diperoleh dari pembakaran bahan bakar, panas 31

32 matahari atau listrik. Kelembaban relatif udara yang mana sebagai faktor pembatas kemampuan udara menguapkan air dari produk, diperhatikan dengan mengatur pemasukan dan pengeluaran udara ke dan dari alat pengering ini melalui sebuah alat pengalir (Mahadi, 2007). Pada umumnya, ada dua mode pengering yaitu pengering batch dan pengering kontinu. Salah satu metode pengering adalah pengeringan butiran dengan pengering unggun diam (deep bed). Pada pengering jenis ini, proses pengeringan dianggap merupakan proses batch, dengan kadar air butiran, kelembaban udara pengering, temperatur udara dan butiran, berubah secara simultan terhadap waktu pengeringan (Istadi dan Sitompul, 2000). Tray Dryer atau alat pengering berbentuk rak, mempunyai bentuk persegi dan di dalamnya berisi rak-rak yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Pada umumnya rak tidak dapat dikeluarkan. Beberapa alat pengering jenis ini rak-raknya mempunyai roda sehingga dapat dikeluarkan dari alat pengeringnya. Bahan diletakkan di atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alas yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan udara panas dan uap air (Harrys, 2010). Tray dryer merupakan model pengering yang menggunakan sistem pengering konveksi. Sistem pengering konveksi ini menggunakan aliran udara panas untuk mengeringkan produk. Proses pengeringan terjadi saat aliran udara panas ini bersinggungan langsung dengan permukaan produk yang akan dikeringkan (Mahadi, 2007). Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering dari ruang pemanas dengan bantuan kipas akan bergerak menuju dasar rak dan melalui 32

33 lubang-lubang yang terdapat pada dasar rak tersebut akan mengalir melewati bahan yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga terjadi proses penguapan air dari bahan. Dengan demikian, semakin ke bagian atas rak suhu udara pengering semakin turun. Penurunan suhu ini harus diatur sedemikian rupa agar pada saat mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan, udara pengering masih mempunyai suhu yang memungkinkan terjadinya penguapan air. Di samping itu, kelembaban udara pengering pada saat mencapai bagian atas harus dipertahankan tetap tidak jenuh sehingga masih mampu menampung uap air yang dilepaskan. Di dalam penggunaan alat pengering ini perlu diperhatikan pengaturan suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan tebal tumpukan bahan yang dikeringkan sehingga hasil kering yang diharapkan dapat tercapai (Harrys, 2010). Semakin banyak tumpukan biji-bijian yang dikeringkan, baik dengan kadar air yang tinggi atau kadar air yang rendah, semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan baik menyangkut penggunaan energi dan lamanya waktu yang digunakan dalam proses pengeringan dan proses operasi mesin pengering (McConnell, 1995). Pada pengeringan buatan dibutuhkan energi utnuk memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat pengering, memanaskan bahan sampai tercapai suhu yang dipertahankan, untuk penguapan dan untuk menggerakkan udara. Kecepatan pengeringan untuk setiap bahan akan berbeda-beda. Lamanya kontak antara udara panas dengan bahan selama pengeringan juga akan berpengaruh. Semakin lama kontak antara udara panas dengan bahan maka semakin cepat pengeringan berlangsung (Harrys, 2010). 33

34 2.9 Pengeringan Lapisan Tipis Pemodelan pengeringan terus berkembang hingga dekade terakhir yang melibatkan proses-proses yang kompleks meliputi perpindahan massa, energi dan momentum. Pemodelan pengeringan dimulai dari sesuatu yang sederhana hingga yang kompleks yang semuanya dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasinya. Optimisasi proses dilakukan untuk mendapatkan kondisi-kondisi proses yang menghasilkan efisiensi pengeringan yang lebih baik sehingga diperlukan informasi parameter-parameter proses tertentu yang diperlukan. Parameter-parameter proses tersebut dapat ditentukan dengan pengkorelasian model empiris terhadap data-data eksperimen yang dilakukan dengan metodemetode tertentu tergantung dari kompleks tidaknya persamaan yang dikorelasikan (Istadi dkk., 2002). Widyotomo dan Mulato (2005) menyatakan dalam jurnalnya bahwa karakteristik pengeringan bahan pertanian umumnya dikaji dengan menggunakan pendekatan model pengeringan lapis tipis (the thin layer drying model). Istadi dkk., (2002) menyatakan bahwa pemodelan proses pengeringan yang paling sederhana adalah model kinetika pengeringan untuk sistem pengeringan lapis tipis atau lebih dikenal dengan thin layer drying. Proses pengeringan lapisan tipis adalah proses dimana uap air dihilangkan dari media yang berpori dengan proses penguapan, dimana udara pengeringan berlebih dilewatkan melalui lapisan tipis bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan. Proses untuk menghilangkan uap air dari produk pertanian tergantung pada jenis pengeringan yang dilakukan, suhu, kecepatan udara dan kelembaban relatif serta kematangan produk (Yadollahinia et al., 2008). 34

35 Sedangkan pengeringan lapisan tipis menurut Henderson dan Perry (1976) adalah proses pengeringan dimana udara pengering mengalir langsung melewati lapisan bahan secara keseluruhan dengan kelembaban relatif dan suhu udara yang konstan. Sodha et al (1987a) menjelaskan hal yang sama bahwa pengeringan lapisan tipis merupakan suatu metode pengeringan dimana bahan dihamparkan dengan rata selanjutnya udara panas masuk melalui seluruh permukaan bahan yang dikeringkan. Selanjutnya Henderson dan Perry (1976) juga menjelaskan bahwa dalam metode pengeringan lapisan tipis, udara panas yang mengalir dalam alat pengering akan menembus hamparan bahan yang dikeringkan sehingga pengeringan berlangsung serentak dan merata di seluruh bahan yang selanjutnya berdampak pada penurunan kadar air bahan selama proses pengeringan. Persamaan pengeringan lapisan tipis terdiri dari 3 kategori yaitu teoritis, semi-teoritis dan empiris. Kategori pertama memperhitungkan resistensi internal dalam proses perpindahan uap air (Murat, 2001) dimana seluruh permukaan bahan menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering sehingga proses perpindahan uap air terjadi (Henderson and Perry, (1976). Sementara dua kategori lainnya mempertimbangkan resistensi eksternal dalam perpindahan uap air antara produk pertanian dengan udara (Murat, 2001) dan metode ini juga untuk menyederhanakan penyelesaian persamaan difusi pada pengeringan (Henderson and Perry, 1976). Beberapa model matematika yang biasanya digunakan dalam pengeringan lapisan tipis bahan pangan hasil pertanian, antara lain: 35

36 Tabel 2. Model Matematika Pengeringan Lapisan Tipis No Nama Model Model Matematika Referensi 1 Newton Mr = exp (-kt) ASAE, 1999 Henderson and Yadollahinia, et al., 2 Mr = a exp (-kt) Pabis Page Mr = exp (-kt n ) ASAE, Logarithmic Mr = a exp (-kt) + c Hii, et al., Wang and Singh Mr = 1 + at + bt 2 Murat and Onur, Two-terms Mr = a exp (-k 1 t) + b exp (-k 2 t) Murat, 2001 Akpinar and Yazar, 7 Diffusion Approach Mr = a exp (-kt) + (1-a) exp (-kbt) 2006 Akpinar and Yazar, 8 Verma et al Mr = a exp (-k 1 t) + (1-a) exp (-k 2 t) 2006 Modified Henderson Mr = a exp (-kt) + b exp (-gt) + c 9 Meisami, et al., 2010 and Pabis exp (-ht) 10 Midilli et al Mr = a exp (-kt n ) + bt Shen, et al., 2011 Garavand, et al., 11 Aghbashlo et al Mr = exp (-k 1 t/1 + k 2 t) Modified Page Mr = exp [-(kt) n Tabatabaee, et al., ] 2004 Two-terms Kashaninejad, et al., 13 Mr = a exp (-kt) + (1 a) exp (-kat) Exponential Hii et al Mr = a exp (-kt n ) + c exp (-gt n ) Hii, et al., Thompson Mr = A + Bt + Ct 2 Shei and Chen, F c s s c d l w δ /δ D[δ 2 /δ 2 Murat and Onur, + (2/ )(δ /δ )] Single-term Mr = A exp (-kt) Shei and Chen, Shen, et al., 2011 Three-terms Mr = a exp (-kt) + b exp (-k 1 t) + c exponential exp (-k 2 t) Berdasarkan model matematika pada Tabel 2 di atas, berikut tiga model matematika yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Model Newton Model Newton merupakan sebuah model matematika pengeringan lapisan tipis yang juga disebut Model Lewis (Murat, 2001). Lewis mendeskripsikan bahwa perpindahan air dari makanan dan bahan pangan dapat ditunjukkan dengan analogi aliran panas dari tubuh ketika tubuh direndam dalam cairan dingin (Kashaninejad et al., 2007). Model ini digunakan terutama karena sederhana. Dianalogikan dengan hukum Newton tentang pendinginan dimana laju hilangnya uap air 36

37 dari produk pertanian yang dikelilingi oleh udara pada suhu konstan (kesetimbangan termal). Model ini cenderung meningkat pada tahap awal dan menurun pada tahap selanjutnya terkait pada kurva pengeringannya (Murat, 2001;Kashaninejad et al., 2007). Hal yang sama juga dijelaskan Sodha et al (1987a) bahwa pada hukum Newton mengenai pemanasan atau pendinginan dapat merepresentasikan tingkat penurunan uap air selama proses pengeringan. Tingkat penurunan uap air dari produk yang dikelilingi oleh media udara pada suhu konstan dapat diketahui dengan memperhatikan perbedaan antara kelembaban produk dan kadar air kesetimbangan. w (- ).. (12) Dimana MR Newton merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Newton, k ialah konstanta pengeringan dan t merupakan waktu pengeringan (jam). Lebih lanjut Murat (2001) menjelaskan model matematika ini digunakan untuk menggambarkan pengeringan gandum, jagung, kacang mete, kacang-kacangan dan biji-bijian sereal lainnya. 2. Model Henderson-Pabis Ada berbagai model pendekatan yang telah digunakan oleh para peneliti dalam pemodelan pengeringan terkait karakteristik produk makanan dan bahan pertanian. Bentuk paling sederhana dari berbagai model pendekatan tersebut direpresentasikan sebagai Model Henderson 37

38 dan Pabis sebagai bentuk sederhana dari serangkaian bentuk penyelesaian umum hukum Fick II (Kashaninejad et al., 2007;Murat, 2001). H d s s (- ).. (13) Dimana MR Henderson & Pabis merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Henderson dan Pabis, a dan k merupakan konstanta pengeringan serta t merupakan waktu pengeringan (jam). Model Henderson dan Pabis telah digunakan untuk model pengeringan lapisan tipis untuk berbagai produk pertanian (Kashaninejad et al., 2007), diantaranya model ini digunakan untuk model pengeringan jagung, gandum, beras kasar, kacang dan jamur (Murat, 2001). 3. Model Page Model Page merupakan model yang dimodifikasi dari Model Lewis (Murat, 2001). Page menyarankan model ini dengan tujuan untuk mengoreksi kekurangan-kurangan dari Model Lewis (Kashaninejad et al., 2007). Model Page telah menghasilkan simulasi yang sesuai untuk menjelaskan pengeringan produk pertanian yang banyak dan juga lebih mudah digunakan dibandingkan dengan persamaan lainnya dimana perpindahan uap air secara difusi yang lebih sulit secara teoritis serta yang memerlukan waktu komputasi dalam proses pemasangan data (Yadollahinia et al., 2008). (- ).. (14) 38

39 Dimana MR Page merupakan rasio kelembaban (moisture ratio) dari Model Page, k merupakan konstanta pengeringan, n merupakan konstanta pengeringan, nilai n bervariasi tergantung pada materi yang digunakan (Yadollahinia et al., 2008), dan t merupakan waktu pengeringan (jam). Model Page dimodifikasi untuk menjelaskan proses pengeringan berbagai makanan dan produk pertanian (Kashaninejad et al., 2007). Model Page sangat cocok dan menghasilkan hasil perhitungan yang baik dalam memprediksi proses pengeringan biji-bijian seperti beras, sorgum, kedelai, kacang, jagung pipil, lobak, dan biji bunga matahari (Murat, 2001). 39

40 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2012 di Laboratorium Processing Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengering tray dryer model EH-TD-300 Eunha Fluid Science, timbangan digital (ketelitian 0,001 g), desikator, oven, kamera digital Samsung PL100, termometer, lampu Philips, anemometer dan laptop untuk penggunaan software Adobe Photoshop CS3. Bahan yang digunakan adalah biji sorgum varietas Numbu yang diperoleh dari Balai Besar Pelatihan Pertanian Batangkaluku Kabupaten Gowa. Biji sorgum varietas ini berwarna kecoklatan dan berbentuk bulat lonjong. Bahan lainnya yaitu plastik bening, plastik kedap udara dan kawat kasa. 3.3 Parameter Perlakuan dan Pengamatan Parameter perlakuan dalam penelitian ini mencakup tiga level perubahan suhu alat pengering yaitu 40 o C, 50 o C dan 60 o C. Sedangkan parameter pengamatan dalam penelitian ini antara lain: a. Suhu (T in dan T out ) dalam alat pengering tray dryer dan kelembaban relatif (RH) udara pengering. 40

41 b. Kadar Air meliputi kadar air basis basah (Ka bb, %) dan kadar air basis kering (Ka bk, %). Kadar air ditentukan dengan menghitung berat bahan dan berat air yang menguap selama pengeringan. c. Laju Penguapan Air (g air menguap/g biji/jam). Laju penguapan air ditentukan dengan selisih berat bahan selama pengeringan terhadap waktu. d. Moisture Ratio (MR). Moisture ratio (MR) ditentukan dengan menghitung nilai kadar air awal bahan, kadar air pada saat t (waktu) dan kadar air saat berat bahan konstan. e. Model Matematika Pengeringan Lapisan Tipis meliputi Model Newton (MR Newton ), Model Henderson and Pabis (MR Henderson and Pabis ), dan Model Page (MR Page ). f. Perubahan warna selama proses pengeringan diamati dengan menggunakan kamera digital. Selanjutnya diolah menggunakan software Adobe Photoshop CS Prosedur Penelitian a. Persiapan Bahan Persiapan bahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan biji sorgum varietas Numbu 2. Menimbang wadah terlebih dahulu sebelum diisi dengan biji sorgum. Cara ini akan lebih efisien saat penimbangan berat biji sorgum selama proses pengeringan. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital (ketelitian 0,001 g). 41

42 3. Menghamparkan bahan ke dalam wadah dengan teratur. Hal tersebut bertujuan agar bahan selama dalam wadah tidak berantakan sehingga memudahkan pengidentifikasian warna selama proses pengeringan. 4. Menimbang kembali wadah yang kini telah terisi biji sorgum. Penimbangan ini dimaksudkan untuk mengetahui berat total sehingga berat biji dapat lebih mudah dihitung dengan cara berat total dikurang dengan berat wadah. 5. Menempatkan bahan beserta wadahnya pada alat pencahayaan objek dengan sudut pencahayaan sebesar 45 o untuk dilakukan pengambilan gambar awal dengan menggunakan kamera digital sebelum bahan dimasukkan ke dalam ruang pengering. Hal ini diperlukan sebab pengambilan gambar awal akan membuat data lebih akurat dan gambar ini akan menjadi acuan bagi pengolahan data gambar-gambar selanjutnya. b. Proses Pengeringan Proses pengeringan dilakukan setelah bahan selesai dipersiapkan. Penelitian ini menggunakan 3 level suhu pada satu level kecepatan udara. Suhu pengeringan ditetapkan masing-masing 40 o C, 50 o C dan 60 o C dengan kecepatan udara sebesar 1,5 m/s. Proses pengeringan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan bahan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 2. Mengatur suhu pengeringan sesuai dengan parameter perlakuan yang ditentukan (40 o C, 50 o C dan 60 o C). 42

43 3. Mendiamkan alat pengering selama 30 menit agar suhu pengeringan stabil ketika bahan dimasukkan. 4. Memasang termometer bola basah dan bola kering pada alat pengering. 5. Mengatur kecepatan udara pengeringan 1,5 m/s. Untuk menguji bahwa kecepatan udara pengering telah sesuai, maka digunakan anemometer. 6. Memasukkan bahan ke dalam ruang pengering. 7. Setiap selang waktu 1 (satu) jam, bahan dikeluarkan dari alat pengering kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Selanjutnya, bahan ditempatkan pada alat pencahayaan objek dengan sudut pencahayaan 45 o. Pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan kamera digital Samsung PL Dalam sehari, pengeringan dilakukan selama interval waktu 10 (sepuluh) jam pengeringan untuk menghindari beban yang berlebihan pada alat pengering. Selama proses pengeringan dihentikan, bahan dimasukkan ke dalam plastik kedap udara kemudian disimpan di dalam desikator agar tidak terjadi pertukaran udara antara bahan dengan lingkungan. 9. Setelah berat bahan konstan selama 5 (lima) jam kemudian pengeringan dihentikan. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven selama 72 jam pada suhu 105 o C untuk mendapatkan berat kering bahan. 43

44 c. Pengolahan Data Penelitian yang dilakukan ini menggunakan tiga level suhu pengeringan dengan satu level kecepatan udara. Selama proses pengeringan berlangsung, data pengeringan yang menjadi acuan dalam pengolahan data meliputi data pengukuran selama proses pengeringan setiap interval waktu satu jam, data nilai pengambilan gambar bahan setiap interval waktu satu jam, selanjutnya dilakukan pengolahan data sebagai berikut: 1. Suhu dan RH Udara Pengering Suhu T in dan T out ditentukan dengan menggunakan termometer. Sedangkan untuk RH udara pengering ditentukan dengan termometer bola basah dan bola kering. 2. Kadar Air Setelah berat kering bahan yaitu berat bahan setelah dimasukkan ke dalam oven diukur, selanjutnya dilakukan perhitungan persentasi kadar air basis basah dan kadar air basis kering (Ka bb dan Ka bk ). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Persamaan 2 untuk Ka bb dan Persamaan 3 untuk Ka bk selanjutnya hasil perhitungan tersebut ditabelkan. 3. Laju Penguapan Air Berat bahan yang telah dihitung setiap jam kemudian digunakan untuk menghitung laju penguapan air selama proses pengeringan. Perhitungan laju penguapan air dilakukan dengan menggunakan Persamaan 1, selanjutnya hasil perhitungan tersebut ditabelkan. 44

45 4. Moisture Ratio (MR) Setelah sebelumnya dilakukan perhitungan untuk menghitung kadar air bahan, selanjutnya dilakukan perhitungan moisture ratio (MR) bahan. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Persamaan 4, selanjutnya hasil perhitungan tersebut ditabelkan. 5. Model Pengeringan Lapisan Tipis Setiap data perhitungan moisture ratio sebelumnya kemudian diuji kesesuaiannya dengan model pengeringan lapisan tipis yang telah ditentukan yaitu model Newton, Henderson and Pabis dan model Page. Untuk memudahkan proses perhitungan data dan pengujiannya, ketiga model ini (persamaan 12 sampai dengan persamaan 14) ditransformasikan ke dalam bentuk linear. Selanjutnya dilakukan langkah berikut: a. Menginput seluruh data selama pengeringan termasuk data MR ke dalam program Microsoft Excel. b. Membuat grafik dari input data yang telah dimasukkan dan menambahkan trendline dengan mengklik kanan pada grafik tersebut. Trendline akan menunjukkan bentuk persamaan linear, hubungan antara Ln MR dan t untuk model Newton dan model Henderson and Pabis, serta Ln (-Ln MR) dan Ln t untuk model Page, nilai konstanta, dan nilai R 2 untuk masing-masing model. c. Memilih model nilai R 2 tertinggi sebagai model terbaik yang akan merepresentasikan karakteristik pengeringan lapisan tipis biji sorgum varietas Numbu. 45

46 6. Analisis Perubahan Warna Hasil foto bahan dengan menggunakan kamera digital selanjutnya diolah dengan menggunakan software Adobe Photoshop CS3. Selanjutnya dilakukan langkah berikut: a. Menentukan 5 tempat pengambilan gambar acak. Setiap tempat terdiri dari 3 biji sorgum dan setiap biji dilakukan pengambilan titik sebanyak 5 titik. Banyaknya pengambilan titik bertujuan untuk meminimalisir nilai error selama pengolahan data. Perhatikan Gambar 3 berikut ini. Gambar 3. Pengambilan Titik Pada Gambar b. Mengidentifikasi nilai L*, a* dan b* pada setiap titik dengan melakukan perbesaran gambar dan menampilkan grid untuk memudahkan dalam pengambilan titik. Ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar 4. Pengidentifikasian Nilai L*, a* dan b* 46

47 c. Nilai L*, a* dan b* selanjutnya diolah dalam persamaan 5 sampai dengan persamaan 11 dalam Microsoft Excel untuk mengetahui perubahan warna secara numerik yang terjadi selama proses pengeringan. d. Selanjutnya, hasil perhitungan warna secara numerik (nilai L*, a* dan b*) diinput pada Color Picker dalam Adobe Photoshop CS3. Kemudian pilih menu Color Libraries. Menu ini akan menampilkan secara otomatis warna yang sesuai atau mendekati dengan data numerik yang telah diinput sebelumnya. Color Libraries dilengkapi dengan beberapa panduan buku warna untuk menciptakan kesesuaian warna yang tinggi. Gambar 5. Input Nilai L*, a* dan b* Pada Color Picker Gambar 6. Pengidentifikasian Warna Pada Color Libraries 47

48 Mulai Penyiapan Sampel Biji Sorgum Varietas Numbu Penimbangan wadah sampel Pengisian biji sorgum ke dalam wadah secara teratur Penimbangan wadah yang telah berisi sampel Pengambilan gambar awal dengan alat pencahayaan objek dengan sudut pencahayaan 45 Pengeringan dengan tray dryer, suhu 50 C, 60 C dan 40 C dengan kecepatan udara 1,5 m/s Pengukuran suhu dan RH setiap jam Pengukuran berat bahan setiap jam Pengambilan gambar dengan alat pencahayaan objek setiap jam Bahan disimpan dalam desikator setiap hari setelah dilakukan pengukuran selama 10 jam Kadar air konstan selama 5 jam tidak Bahan dimasukkan dalam oven selama 72 jam pada suhu 105 o C untuk menentukan berat akhir bahan Analisis Model Pengeringan dan Analisi Warna Selesai Gambar 7. Bagan Alir Prosedur Penelitian 48

49 Suhu ( C) RH (%) Suhu ( C) RH (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Suhu dan Kelembaban Relatif (RH) Udara Pengering Proses pengeringan merupakan proses perpindahan panas dan massa yang terjadi secara simultan (Brooker et al., 1992). Proses ini dipengaruhi oleh kondisi suhu dan kelembaban relatif (RH) udara pengering (Mahadi, 2007). Berikut grafik suhu dan kelembaban relatif untuk tiga level suhu yang berbeda selama proses pengeringan. Grafik Suhu dan Kelembaban Relatif Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 40 o C Waktu (Jam) Gambar 8. Perubahan Suhu dan Kelembaban Relatif Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 40 o C Tout Tin RH Grafik Suhu dan Kelembaban Relatif Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 50 o C Waktu (Jam) Gambar 9. Perubahan Suhu dan Kelembaban Relatif Selama Proses Pengeringan Pada suhu 50 o C Tin Tout RH 49

50 Suhu ( C) RH (%) Grafik Suhu dan Kelembaban Relatif Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 60 o C Waktu (Jam) Gambar 10. Perubahan Suhu dan Kelembaban Relatif Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 60 o C Tin Tout RH Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan perubahan suhu T in dan T out serta kelembaban relatif udara selama proses pengeringan. Grafik ini menunjukkan bagaimana hubungan suhu dan kelembaban relatif udara menjelaskan proses pengeringan yang terjadi. Ketika suhu udara pengering (T in ) mengalami kenaikan, udara panas akan dihembuskan oleh kipas melewati seluruh permukaan bahan. Akibat perbedaan suhu dimana suhu udara pengering lebih tinggi dibandingkan suhu dalam bahan, maka akan terjadi proses perpindahan panas dari lingkungan ke dalam bahan. Perpindahan ini menyebabkan terjadinya perpindahan massa air yang ada dalam bahan menuju ke permukaan dan menguap ke udara. Kandungan uap air yang dibawa oleh udara pengering menyebabkan RH udara pengering cenderung meningkat sedangkan suhu udara (T out ) cenderung mengalami penurunan (Brooker et al., 1981). 50

51 Kadar Air Basis Kering (%) 4.2 Kadar Air Selama Pengeringan Pengeringan sorgum yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tiga level perubahan suhu pengeringan (40 o C, 50 o C dan 60 o C) dengan kecepatan udara pengering 1,5 m/s. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, kadar air selama proses pengeringan akan mengalami penurunan. Semakin lama proses pengeringan maka penurunan kadar air bahan akan semakin jelas terlihat. Pengaruh lama proses pengeringan terhadap penurunan kadar air basis kering biji sorgum dapat diperhatikan pada Gambar Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Waktu (menit) Suhu 40 C Suhu 50 C Suhu 60 C Gambar 11. Grafik Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Suhu Pengeringan. Gambaran grafik kadar air basis kering bahan menunjukkan bahwa pengeringan biji sorgum pada suhu 40 o C membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama yaitu 3600 menit atau 60 jam dibandingkan dengan pengeringan sorgum pada suhu 50 o C dan suhu 60 o C. Sebaliknya pada suhu 60 o C, pengeringan sorgum lebih cepat yaitu 2460 menit (41 jam) dibandingkan pengeringan pada suhu 40 o C dan suhu 50 o C. Pada grafik tersebut, terlihat jelas bahwa pengaruh suhu pengeringan sangat besar dimana 51

52 (g air menguap/g biji/jam) suhu yang lebih tinggi akan cenderung mempercepat proses pengeringan bahan pangan menuju kadar air kesetimbangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun kadar air awal bahan pada suhu 60 o C lebih tinggi, yaitu 48,340% Kabk, dibanding kadar air awal bahan pada suhu 40 o C dan 50 o C, namun terlihat jelas bahwa pengeringan biji sorgum yang cepat menuju kadar air kesetimbangan adalah pada suhu pengeringan 60 o C. Menurut Sitkey (1986) suhu bahan selama proses pengeringan tidak hanya dipengaruhi oleh kadar air awal dan kadar air akhir bahan namun suhu udara pengering akan sangat mempengaruhi suhu bahan. Ketika suhu pengering lebih tinggi maka akan mempercepat proses pengeringan. 4.3 Laju Penguapan Air Selama proses pengeringan, dikenal adanya laju penguapan air. Laju penguapan air menjelaskan banyaknya air pada bahan yang mengalami penguapan selama proses pengeringan. 0,050 Laju Penguapan Air 0,040 0,030 0,020 Suhu 40 C Suhu 50 C Suhu 60 C 0,010 0, Waktu (Jam) Gambar 12. Grafik Laju Penguapan air Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Suhu Pengeringan 52

53 Gambar 12 menunjukkan perubahan nilai laju penguapan untuk tiga level suhu pengeringan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa perubahan laju penguapan air pada biji sorgum mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan pada grafik dimana pada periode awal pengeringan terjadi penurunan yang besar kemudian semakin mengalami penurunan hingga bahan mencapai kadar air kesetimbangan. Kecenderungan bahan mengalami penurunan kadar air lebih besar selama proses pengeringan, dipengaruhi oleh suhu pengeringan yang besar pula, sehingga mempengaruhi besarnya penurunan laju penguapan air. Hal ini ditunjukkan pada suhu 60 o C selama periode awal pengeringan, dimana tingkat penurunan laju penguapannya lebih besar dibandingkan dengan suhu 50 o C dan 40 o C. Sedangkan pada suhu 40 o C tingkat penurunan laju penguapannya lebih kecil dibandingkan suhu 50 o C dan 60 o C. Perubahan laju penguapan terlihat fluktuatif selama periode akhir pengeringan namun cenderung terus mengalami penurunan. Penurunan kadar air yang fluktuatif menjelaskan bahwa air dalam bahan masih berpotensi untuk mengalami penguapan selama periode akhir pengeringan. Hal tersebut terjadi sebab selama proses pengeringan, terutama pengeringan biji-bijian, selain adanya air bebas yang cenderung lebih mudah menguap selama periode awal pengeringan, adapula air terikat yaitu air yang sulit untuk bergerak naik ke permukaan bahan selama pengeringan sehingga laju penguapan air semakin lama semakin menurun (Ismandari dkk., 2008). 53

54 Moisture Ratio (MR) 4.4 Model Pengeringan Moisture Ratio (Rasio Kelembaban) Proses pengeringan yang telah dilakukan tidak hanya menunjukkan penurunan laju kadar air biji sorgum, tetapi juga memperlihatkan terjadinya penurunan nilai MR (Moisture Ratio) selama proses pengeringan berlangsung untuk masing-masing suhu pengeringan. Laju penurunan nilai MR terhadap waktu pengeringan ditunjukkan pada Gambar 13. Moisture Ratio 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0, Waktu Pengeringan (jam) MR Suhu 40 C MR Suhu 50 C MR Suhu 60 C Gambar 13. Grafik MR (Moisture Ratio) Biji Sorgum Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Suhu Pengeringan. Berdasarkan Gambar 13 di atas, penurunan nilai MR (Moisture Ratio) yang terjadi sejalan dengan penurunan nilai kadar air bahan selama proses pengeringan. Perubahan nilai MR sangat dipengaruhi oleh nilai perubahan kadar air basis kering bahan. Pada gambar di atas, nilai MR dari Suhu 50 o C dan Suhu 60 o C sangat dekat. Hal ini disebabkan karena kadar air awal pada suhu 60 o C yang relatif lebih tinggi dibandingkan dua level suhu lainnya sehingga pola penurunan kadar air yang terjadi cenderung mendekati pola penurunan kadar air pada suhu 50 o C. Meskipun cenderung mendekati nilai 54

55 penurunan MR suhu 50 o C namun pola penurunan MR (Moisture Ratio) suhu 60 o C masih jelas terlihat berbeda dari suhu 50 o C. Nilai MR di atas, selanjutnya digunakan untuk menentukan model pengeringan Analisa Model Pengeringan Dari hasil perhitungan nilai MR (Moisture Ratio) observasi, ada tiga jenis model yang sesuai dengan gambaran penurunan nilai MR (Moisture Ratio) tersebut yaitu model Newton, model Henderson-Pabis dan model Page. Sebelum menghubungkan antara model tersebut dengan hasil perhitungan MR observasi dan menentukan model terbaik dari ketiga model tersebut, maka dilakukan analisa model pengeringan. dengan melinearkan persamaan dari ketiga model yang ada yaitu model Newton, Henderson-Pabis dan Page. Bentuk linear ketiga model tersebut sebagai berikut; Tabel 3. Bentuk Linear Model Pengeringan Lapisan Tipis Model Bentuk Bentuk Linear Referensi Pengeringan Eksponensial Newton Mr = exp (-kt) ln MR = -kt Murat, 2001 Henderson- Kashaninejad et al., Mr = a exp (-kt) ln MR = ln a kt Pabis 2007 Page Mr = exp (-kt n Yadollahinia et al., ) ln (-ln MR) = ln k + (n) ln (t) 2008 Selanjutnya, dari bentuk linear persamaan tersebut dalam Excel dimasukkan nilai MR observasi dalam setiap bentuk linear dari model di atas. Untuk mendapatkan nilai MR setiap model maka nilai ln MR untuk model Newton dan Model Henderson-Pabis serta nilai ln(-ln MR) untuk model Page dalam Excel di lakukan plot data ke dalam grafik. Garis linear akan ditunjukkan dalam grafik setelah ditambahkan trendline yang tertera di option box pada Excel. Hasil grafik ini ditunjukkan pada lampiran. 55

56 Berdasarkan hasil pengujian trendline pada setiap grafik model pengeringan, diperoleh nilai konstanta dan R 2 yang ada pada masing-masing model sebagai berikut; Tabel 4. Nilai Konstanta dan R 2 Masing-Masing Model Pengeringan Bahan Biji Sorgum Suhu ( o C) Persamaan Newton Persamaan Henderson-Pabis Persamaan Page k R 2 k a R 2 k n R 2 40 o C 0,080 0,973 0,085 1,210 0,978 0,075 1,024 0, o C 0,114 0,962 0,122 1,275 0,968 0,107 1,024 0, o C 0,140 0,895 0,163 1,749 0,918 0,126 1,026 0,981 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, Berdasarkan tabel di atas, persamaan model Page untuk tiga level suhu yang berbeda menunjukkan nilai R 2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua persamaan model lainnya yaitu model Newton dan Henderson-Pabis. Hal ini menunjukkan bahwa model Page memiliki nilai kesesuaian yang besar terhadap karakteristik pengeringan lapisan tipis biji sorgum. Untuk memastikan bahwa model Page merupakan model yang terbaik, berikut ditunjukkan nilai R 2 s h s l h χ 2 dan RMSE pada tabel berikut. Tabel 5. Nilai R 2, χ 2 dan RMSE Model Suhu ( o C) R 2 χ 2 RMSE Newton 0,973 0, , o C Henderson-Pabis 0,978 0, ,05717 Page 0,997 0, ,00626 Newton 0,962 0, ,00036 Henderson-Pabis 50 o C 0,968 0, ,03830 Page 0,995 0, ,00024 Newton 0,895 0, ,00268 Henderson-Pabis 60 o C 0,918 0, ,25373 Page 0,981 0, ,00123 Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

57 Pada Tabel 4 tertera nilai R 2 (Coefficient of Determinat), χ 2 (chi square) dan RMSE (root mean square error) yang digunakan untuk melihat tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil observasi. Untuk nilai R 2 mendekati nilai 1, maka tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil s v s s s. U l χ 2 dan RMSE apabila mendekati nilai nol menunjukkan bahwa model pengeringan mendekati hasil observasi. Berdasarkan dari ketiga nilai kesesuaian tersebut, maka Model Page adalah model yang terbaik yang dapat merepresentasikan karakteristik pengeringan lapisan tipis biji sorgum Kesesuaian Model Pengeringan Berdasarkan hasil analisa model pengeringan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tingkat kesesuaian model pengeringan yaitu Model Page dan hasil observasi ditunjukkan pada grafik hubungan model pengeringan dan hasil observasi pada tiga level suhu pengeringan pada Gambar 14, 15 dan 16. Gambaran setiap grafik ini akan menunjukkan kecenderungan nilai prediksi model Page terhadap nilai hasil observasi yang semakin dekat. Grafik ini semakin menunjukkan bahwa model pengeringan yang sesuai dengan karakteristik pengeringan lapisan tipis biji sorgum dalam penelitian ini adalah model Page. 57

58 Moisture Ratio (MR) Moisture Ratio (MR) Moisture Ratio (MR) Moisture Ratio Suhu 40 C 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 MR Observasi MR Page y = exp(-0,075)(t) 1, Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 14. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Page dengan MR Observasi Pada Suhu 40 o C. Moisture Ratio Suhu 50 C 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 MR Observasi MR Page y = exp(-0,107)(t) 1, Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 15. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Page dengan MR Observasi Pada Suhu 50 o C Moisture Ratio Suhu 60 C 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 MR Observasi MR Page y = exp(-0,126)(t) 1, Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 16. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Page dengan MR Observasi Pada Suhu 60 o C 58

59 4.5 Perubahan Warna Biji Selama Pengeringan Warna biji selama proses pengeringan diperoleh dengan mengolah data warna berupa perhitungan rata- l *, * d * s h Δ *, Δ *, Δ *, ΔE*, ΔC* d ΔH*. l * m m m l terang gelap gambar. Perubahan terang gelapnya gambar selama pengeringan d h d l Δ *. S d l * m m menilai warna dari merah ke hijau. Perubahan warna merah ke hijau atau s l y s l m d h d l Δ *. m d, l * untuk menilai warna dari kuning ke biru. Perubahan nilai b* selama d h d l Δ *. h l ΔE* d l untuk melihat tingkat perubahan nilai L*, a* dan b* selama pengeringan. S d l ΔC* d m l h h s s w. Untuk menentukan tingkat perubahan warna yang terjadi selama pengeringan d d h l ΔH*. Pada pengolahan data warna ini akan menunjukkan perubahan warna rata-rata yang dialami oleh biji sorgum selama proses pengeringan dengan tiga level suhu pengeringan yang berbeda yaitu 40 o C, 50 o C dan 60 o C Nilai L* Berikut ditunjukkan grafik hasil pengolahan data warna untuk nilai rata-rata L* selama proses pengeringan dengan tiga level suhu pengeringan yang berbeda pada Gambar 17 di bawah ini. 59

60 Nilai L* Nilai L* Terhadap Lama Pengeringan Biji Sorgum Suhu 40 C Suhu 50 C Suhu 60 C Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 17. Grafik Nilai L* Pada Tiga Level Suhu Pengeringan Berdasarkan gambar di atas, perubahan nilai rata-rata L* pada warna biji sorgum selama proses pengeringan pada suhu 40 o C, 50 o C dan 60 o C menunjukkan adanya penurunan. Penurunan nilai L* yang besar terjadi pada periode awal pengeringan untuk tiga level suhu tersebut. Selanjutnya, penurunan yang terjadi relatif konstan sampai periode akhir pengeringan. Perubahan nilai L* yang cenderung menurun menunjukkan perubahan warna biji menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Warna awal biji yang cenderung coklat muda mengalami perubahan selama pengeringan menjadi coklat tua. Hal ini membuktikan bahwa ketika nilai L* semakin menurun, dimana nilai 0 berarti gelap atau hitam dan nilai 100 berarti terang atau putih, maka perubahan warna bahan akan semakin gelap dan begitupun sebaliknya (Pascale, 2011).. 60

61 Nilai a* Nilai a* Perubahan warna yang terjadi setiap jam selama proses pengeringan biji sorgum menunjukkan adanya perubahan nilai a*. Perubahan nilai a* pada tiga level suhu pengeringan ditunjukkan pada gambar di bawah ini. 20 Nilai a* Terhadap Lama Pengeringan Biji Sorgum 15 Suhu 40 C Suhu 50 C 10 Suhu 60 C Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 18. Grafik Nilai a* Pada Tiga Level Suhu Pengeringan Pada Gambar 18, nilai a* pada suhu 40 o C, 50 o C dan 60 o C mengalami peningkatan yang besar selama periode awal pengeringan. Selanjutnya, peningkatan ini relatif konstan hingga periode akhir pengeringan pada masing-masing suhu tersebut. Perubahan nilai a* yang meningkat menyebabkan warna biji terlihat kemerahan. Warna awal biji yang cenderung coklat muda selama pengeringan akan menjadi terlihat coklat kemerahan. Nilai a* merupakan parameter untuk menilai perubahan warna dari hijau ke merah, dimana nilai negatif berarti perubahan warna menuju hijau dan nilai positif berarti perubahan warna menuju merah (Blum, 1997). Ketika nilai a* semakin meningkat maka perubahan warna akan cenderung menuju ke merah dan begitupun sebaliknya. 61

62 Nilai b* Nilai b* Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, perubahan ratarata nilai b* untuk warna pada biji sorgum selama proses pengeringan pada tiga level suhu yang berbeda ditunjukkan pada grafik berikut. 45 Nilai b* Terhadap Lama Pengeringan Biji Sorgum Suhu 40 C Suhu 50 C Suhu 60 C Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 19. Grafik Nilai b* Pada Tiga Level Suhu Pengeringan Perubahan nilai rata-rata b* pada Gambar 19 memperlihatkan penurunan yang besar selama periode awal pengeringan untuk masing-masing suhu. Selama proses pengeringan, penurunan yang terjadi relatif konstan untuk tiga level suhu pengeringan sampai periode akhir pengeringan. Penurunan nilai b* mengakibatkan terjadinya penurunan warna kuning pada biji. Warna awal biji yang coklat muda cenderung sedikit kekuningan, selama pengeringan mengalami perubahan menjadi lebih pucat sebab kandungan warna kuning menjadi lebih sedikit. Nilai b* menunjukkan perubahan warna dari biru ke kuning, dimana nilai negatif berarti perubahan warna menuju biru dan nilai positif berarti perubahan warna menuju kuning (Blum, 1997). 62

63 Nilai C* Ketika nilai b* semakin tinggi maka perubahan warna cenderung menuju kuning dan begitupun sebaliknya Perubahan Nilai C* (ΔC*) h l ΔC* m s s w s l m proses pengeringan. Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, perubahan rata-rata nilai C* untuk tiga level suhu pengeringan ditunjukkan oleh gambar di bawah ini. 45 Nilai C* Terhadap Lama Pengeringan Biji Sorgum 40 Suhu 40 C Suhu 50 C 35 Suhu 60 C Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 20. Grafik Nilai C* Pada Tiga Level Suhu Pengeringan Gambar 20 menunjukkan perubahan saturasi warna yang terjadi selama proses pengeringan. Dari grafik di atas, nilai saturasi warna pada periode awal pengeringan untuk tiga level suhu mengalami penurunan kemudian relatif konstan hingga pada periode akhir pengeringan cenderung mulai mengalami perubahan. Nilai saturasi pada suhu 40 o C cenderung mengalami penurunan pada periode akhir pengeringan. Penurunan saturasi yang terjadi menunjukkan bahwa warna biji pada suhu 40 o C mengalami penambahan kekentalan warna. Pada suhu 40 o C, warna awal biji yang coklat muda dengan saturasi warna yang tinggi, selama pengeringan mengalami 63

64 Nilai ΔE* penambahan kekentalan sampai pada akhir pengeringan, sehingga warna menjadi lebih pekat atau tua. Selanjutnya, nilai saturasi pada suhu 50 o C dan 60 o C pada periode akhir pengeringan cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa saturasi warna pada suhu 50 o C dan 60 o C mengalami pengurangan kekentalan warna. Pada suhu 50 o C dan 60 o C, warna biji awal yang coklat muda dengan saturasi warna yang tinggi, selama pengeringan mengalami pengurangan kekentalan sampai pada akhir pengeringan, sehingga warna menjadi lebih cerah atau muda Perubahan Nilai ΔE* Dari hasil pengolahan data warna, p h l ΔE* ( perubahan nilai L*, a* dan b*) untuk warna pada biji sorgum selama proses pengeringan pada tiga level suhu yang berbeda ditunjukkan pada grafik berikut. 25 Nilai ΔE* Terhadap Lama Pengeringan Biji Sorgum Suhu 40 C Suhu 50 C Suhu 60 C Waktu Pengeringan (Jam) G m 21. h l ΔE* d T v l S h Grafik h l ΔE* d G m 21 m h yang terjadi cenderung meningkat. Peningkatan ini terlihat jelas untuk masing-masing suhu yaitu suhu 40 o C, 50 o C dan 60 o C pada grafik di atas. Hal 64

65 Nilai ΔH* ini menunjukan besarnya perubahan nilai L*, a* dan b* selama proses pengeringan. Masing-masing suhu pada grafik tersebut memperlihatkan perubahan yang sama mulai dari periode awal pengeringan sampai pada periode akhir pengeringan. Nilai L*, a* dan b* pada bahan akan cenderung berubah ketika bahan mengalami perlakuan seperti pengeringan. Hal tersebut terjadi karna dipengaruhi oleh parameter selama pengeringan seperti suhu pengeringan dan lamanya waktu pengeringan (Culver et al., 2008) Perubahan Nilai ΔH* Tingkat perubahan warna yang terjadi selama proses pengeringan ( l ΔH*) s m d l v l s h y d s berikut. 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 Nilai ΔH* Terhadap Lama Pengeringan Biji Sorgum Suhu 40 C Suhu 50 C Suhu 60 C 0, Waktu Pengeringan (Jam) G m 22. h l ΔH* d T v l S h B d s G m 22, f h l ΔH* ( perubahan warna) menunjukkan peningkatan untuk masing-masing suhu pengeringan. Peningkatan yang besar terjadi pada periode awal pengeringan kemudian perubahan relatif konstan hingga akhir periode pengeringan. h l ΔH* d l s d h l ΔE*, d m 65

66 semakin besar p h l ΔE* m h l ΔH* cenderung meningkat. Berikut tabel perubahan warna yang terjadi selama proses pengeringan. Tabel 6. Perubahan Warna Biji Sorgum Waktu (Jam) Jenis Warna Pada Tiga Level Suhu Pengeringan 40 o C 50 o C 60 o C t awal t 20 t 40 t akhir Sumber: Data Primer Setelah Diolah, Tabel di atas merepresentasikan dengan jelas secara visualisasi perubahan warna yang terjadi pada awal pengeringan sampai akhir pengeringan. Hal ini menunjukkan bahwa hasil perubahan warna secara numerik sesuai dengan identifikasi warna secara visualisasi. Pada awal pengeringan terlihat perbedaan warna biji sorgum untuk tiga level suhu pengeringan. Perbedaan warna ini terjadi karena proses pengeringan tidak berlangsung secara bersamaan untuk tiga level suhu disebabkan oleh keterbatasan alat pengering. Selama penelitian, suhu 50 o C merupakan perlakuan suhu pada pengeringan pertama, selanjutnya diikuti dengan suhu 60 o C dan pengeringan terakhir adalah suhu 40 o C. Perbedaan perlakuan ini menyebabkan terjadinya perubahan warna awal biji saat melakukan pengeringan yang disebabkan oleh lamanya penyimpanan bahan 66

67 selama penelitian untuk masing-masing suhu. Meskipun demikian, selama proses pengeringan perubahan warna terus terjadi pada masing-masing perlakuan suhu. Perubahan warna selama proses pengeringan menunjukkan peningkatan pada periode awal pengeringan kemudian relatif konstan hingga akhir periode pengeringan untuk tiga level suhu pengeringan. Hal ini terlihat l s d l ΔE* d ΔH* y d l s. S h dari hasil penelitian didapatkan hw h w (ΔH*) s l m s s pengeringan menunjukkan warna awal biji sorgum yang cenderung coklat muda mengalami perubahan menjadi coklat tua. Pada hasil akhir, perubahan warna biji yang cenderung lebih cerah akan lebih cocok diolah menjadi tepung sebagai pangan pengganti beras (Laimeheriwa, 1990). 67

68 V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian pengeringan biji sorgum diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan kadar air dan laju penguapan air sangat dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin besar perubahan kadar air dan laju penguapan air. 2. Model matematika yang paling sesuai untuk merepresentasikan karakteristik pengeringan lapisan tipis biji sorgum adalah model Page. 3. Perubahan warna (ΔH*) s l m s s m bahwa warna awal biji yang cenderung coklat muda mengalami perubahan menjadi coklat tua. 5.2 Saran Dalam melakukan sebuah penelitian tentang perubahan warna untuk bahan pangan dengan ukuran dimensi yang kecil, disarankan untuk memperhatikan pergeseran atau perubahan sekecil apapun dari bahan. Hal ini sangat penting agar hasil penelitian yang dilakukan lebih akurat dan tidak terjadi kesalahan. Selanjutnya, bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, disarankan untuk melanjutkan penelitian ini. Penelitian ini hanya sampai pada pengeringan biji sorgum sehingga untuk kedepannya sangat potensial untuk dilakukan penelitian tentang pengolahan biji sorgum menjadi tepung sorgum. 68

69 DAFTAR PUSTAKA Akpinar, Ebru K. and Yazar B Mathematical Modeling and Experimental Study on Thin Layer Drying of Strawberry. International Journal of Food Engineering Vol. 2, Page 6. Anas Sorgum. name/sorgum1.doc. Diakses tanggal 9 Oktober Makassar. Anonim Insight On Color: CIE L*a*b* Color Scale. Technical Services Department Hunter Associates Laboratory, Inc. Applications Note, Vol. 8, No. 7, Page 1-4. ASAE Thin Layer Drying of Grains and Crops ASAE S448 DEC98. ASAE Grain and Feed Processing and Storage Committee. Food and Process Engineering Institute Standards Committee. ASAE S448, Page Aviara, N.A., J.C. Igbeka and L.M. Nwokocha Physicochemical Properties of Sorghum (Sorghum Bicolor L. Moench) Starch as Affected by Drying Temperature. Agricultural Engineering International: CIGR Journal Vol. 12, No. 2, Page Blum, Peter Physical Properties Handbook - Chapter 7 Reflectance Spectrophotometry and Colorimetry. Texas A&M University. Texas, USA. Bouman, G Developments in Agricultural Engineering : 4. Grain Handling and Storage. Elsevier Science Publishers; New York, USA. Brooker, D. B., F. W. Bakker-arkema and C. W. Hall Drying Cereal Grains. Avi Publishing Company Inc. West Port, Connecticut. Brooker, D. B., F. W. Bakker-arkema and C. W. Hall Drying and Storage of Grains and Oilseeds. Avi Published by Van Nostrand Reinhold, New York, USA. Culver, Catherine A. and R. E. Wrolstad Color Quality of Fresh and Processed Foods. ACS Symposium Series 983. ACS Division of Agricultural and Food Chemistry, Inc. Oxford University Press. American Chemical Society, Washington, DC. DIY Agricenter Teknologi Produksi Sorgum. Seksi Pengembangan Teknologi dan Produksi Perbenihan Tanaman Pangan. UPTD Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BP2APTP). content.main&id_gc=315. Diakses tanggal 17 November 2011.Makassar. 69

70 Garavand-Amin Taheri, Shahin Rafiee and Alireza Keyhani Mathematical Modeling Of Thin Layer Drying Kinetics of Tomato Influence Of Air Dryer Conditions. Department Of Agricultural Machinery Engineering University Of Tehran, Karaj, Iran. International Transaction Journal Of Engineering, Management, & Applied Science & Technologies Vol. 2, No. 2, Page Gökmen, V., H. Z. Senyuva, Berkan Dülek and Enis Cetin Computer Vision Based Analysis of Potato Chips A tool For Rapid Detection of Acrylamide Level. Science Direct Food Chemistry Vol. 101, Page Hardiyanti, N., E. J. Kining, Fauziah Ahmad dan N. M. Ningsih Warna Alami. Jurusan Geografi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Makassar. Harrys, P. M. J Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan Pada Pengeringan Ubi Jalar dengan Alat Pengering Surya Tipe Rak. Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Heddy, S., Wahono H. S. dan M. Kurniati Pengantar Produksi Tanaman dan Penanganan Pasca Panen Ed.1. Cet.1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Henderson, S. M. and R. L. Perry Agricultural Process Engineering. 3rd ed. The AVI Publ. Co., Inc, Wesport, Connecticut, USA. Hii, C. L., C. L. Law and M. Cloke Modelling of Thin Layer Drying Kinetics of Cocoa Beans During Artificial and Natural Drying. Journal of Engineering Science and Technology Vol. 3, No. 1, Page Holinesti, Rahmi Studi Pemanfaatan Pigmen Brazilein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Sebagai Pewarna Alami Serta Stabilitasnya pada Model Pangan. Jurnal Pendidikan dan Keluarga UNP, Vol. I, No. 2, Page I Gusti N.A Pigmen Pada Pengolahan Buah dan Sayur (Kajian Pustaka). Majalah Ilmiah Teknologi Pertanian Vol. 2, No. 1, Page Innocent C.O. A, L.O. Gumbe and A.N. Gitau Dewatering and Drying Characteristics of Water Hyacinth (Eichhornia Crassipes) Petiole. Part II. Drying characteristic. Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal Manuscript FP, Vol. 10, No. 07, Page

71 Isa, M. S. dan Y. Pradana Flower Image Retrieval Berdasarkan Color Moments, Centroid-Contour Distance dan Angle Code Histogram. Konferensi Nasional Sistem dan Informatika Bali, Vol. 108, No. 57, Page Ismandari, T., L. Hakim, C. Hidayat, Supriyanto dan Y. Pranoto Pengeringan Kacang Tanah (Arachis hypogaeal) Menggunakan Solar Dryer. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. Yogyakarta. Istadi dan J.P. Sitompul Model Heterogen Pengeringan Butiran Jagung dalam Unggun Diam. Mesin, Vol. 15, No. 3, Page Istadi, S. Sumardiono dan D. Soetrisnanto Penentuan Konstanta Pengeringan dalam Sistem Pengeringan Lapis Tipis (Thin Layer Dring). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia. Inovasi Produk Berkelanjutan, Hotel Sahid Jaya Jakarta. Johnson, M.A Grain Sorghum Production Handbook. Kansas State University Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, Manhattan, Kansas, USA. Kartasapoetra, A.G Teknologi Penanganan Pasca Panen. PT Rineka Cipta. Jakarta. Kashaninejad, M., A. Mortazavi, A. Safekordi and L.G. Tabil Thin Layer Drying Characteristics and Modeling of Pistachio Nuts. Journal of Food Engineering Vol. 78, Page Kusuma, J., F.N. Azis, A. Hanif, Erifah I., M. Iqbal, A. Reza dan Sarno Tugas Terstruktur Mata Kuliah Pemulihan Tanaman Terapan; Sorgum. Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Pertanian, Purwokerto. Laimeheriwa, Jantje Teknologi Budidaya Sorgum. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian Propinsi Irian Jaya. Leön, K., D. Mery and F. Pedreschi Color Measurement in L*a*b* Units From RGB Digital Images. Publication in Journal of Food Engineering Vol. I, Page Mahadi Model Sistem dan Analisa Pengering Produk Makanan. USU Repository. Universitas Sumatera Utara. Margaret, S. Veronika Analisa Kadar Zat Pewarna Kuning pada Tahu yang Dijual di Pasar-Pasar di Medan Tahun USU Repository. Universitas Sumatera Utara. 71

72 McConnell, Primrose The Agricultural Notebook. 19th ed. Edited by R.J Soffe. Blackwell Science Ltd. Great Britain. McLean, K.A Drying and Storing Combinable Crops. Farming Press Ltd. Wharfedale Road, Ipswich, Suffolk. Meisami, asl E., S. Rafiee, A. Keyhani and A. Tabatabaeefar Determination of Suitable Thin Layer Drying Curve Model for Apple Slices (variety-golab). Plant Omics Journal POJ Vol. 3, No. 3, Page Murat, Özdemir dan Y. O. Devres The Thin Layer Drying Characteristics of Hazelnuts During Roasting. Journal of Food Engineering Vol. 42, Page Murat, Özdemir M.Sc Mathematical Analysis of Color Changes and Chemucal Parameters of Rosted Hazelnut. Istanbul Technical University. Institute of Science And Technology. Mutiarawati, Tino Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Workshop Pemandu Lapangan 1 (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Departemen Pertanian. Mwithiga Gikuru and Mark Masika Sifuna, Effect Of Moisture Content on The Physical Properties of Three Varieties of Sorghum Seeds. Journal Of Food Engineering Vol. 75, Page Narsih, Yunianta dan Harijono Studi Lama Perendaman dan Lama Perkecambahan Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Untuk Menghasilkan Tepung Rendah Tanin dan Fitat. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 9, No. 3, Page Nurba, Diswandi Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, RH dan Kadar Air dalam In-Store Dryer (ISD) untuk Biji Jagung. Institut Pertanian Bogor. Nurmala, Tati Serealia Sumber Karbohidrat Utama Cetakan Pertama. PT Rineka Cipta. Jakarta Pascale, Danny BabelColor, Color Translator and Analyzer Version 3.1. Help Manual Publisher. Montreal, Quebec, Canada. Ramadhani, N. F Model Matematika Pengeringan Lapisan Tipis Cabai Merah Besar (Capsicum annum L.) Varietas Tombak. Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. 72

73 Rao, N. K., Jean Hanson, M. Ehsan Dulloo, Kakoli Ghosh, David Nowell and Michael Larinde Handbooks for Genebanks No. 8, Manual of Seed Handling in Genebanks. Bioversity International. Rome, Italy. Safrizal, Refli Kadar Air Bahan. Teknik Pasca Panen. Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. Shei, H. J and Y. L. Chen Thin Layer Models for Intermittent Drying of Rough Rice. American Association of Cereal Chemists, Inc. Vol. 76, No. 4, Page Shen, F., Lin Peng, Yanzong Zhang, Jun Wu, Xiaohong Zhang, Gang Yang, Hong Peng, Hui Qi and Shihuai Deng Thin Layer Drying Kinetics and Quality Changes of Sweet Sorghum Stalk for Ethanol Production as Affected by Drying Temperature. Industrial Crops and Products Vol. 34, Page Sitkei, György Mechanics of Agricultural Materials. Developments in Agricultural Engineering 8. Elsevier Science Publishers. Budapest, Hungary. Sodha, M. S., N. K. Bansal, A. Kumar, P. K. Bansal, and M.A.S. Malik. 1987a. Solar Crop Drying. Volume I. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Sodha, M. S., N. K. Bansal, A. Kumar, P. K. Bansal, and M.A.S. Malik. 1987b. Solar Crop Drying. Volume II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Soesatyo, B. dan S.D. Marwah Pengungkapan Nilai Negatif a, b Pada Chromameter Dengan Analisa Perhitungan. Puslit KIM-LIPI, PPI-KIM. Serpong, Tangerang. Sumner, P.E Grain Sorghum: Harvesting, Drying and Storing. Furtherance of Cooperative Extension Work. The University of Georgia College of Agriculture and the U.S. Departement of Agriculture Cooperating. USA. Susila, B. A Keunggulan Mutu Gizi dan Sifat Fungsional Sorgum (Sorghum vulgare). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Bogor. Syam, M., Hermanto dan A. Musaddad Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Buku 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Tabatabaee, R., D.d. Jayas and N.D.G. White Thin Layer Drying and Rewetting Characteristics of Buckwheat. Canadian Biosystems Engineering Vol. 46, No. 3, Page

74 Ware, D. R., H. L. Self, R. L. Vetter and M. P. Hoffman Effects of Storage System on the Chemical Character and Utilization of Sorghum Grain by Steers. American Society of Animal Science, Vol. 45, Page Widyotomo, S. dan Sri Mulato Penentuan Karakteristik Pengeringan Kopi Robusta Lapis Tebal. Study of Drying Characteristic Robusta Coffe with Thick Layer Drying Method. Buletin Ilmiah INSTIPER Vol. 12, No. 1, Page Yadollahinia, A.R., M. Omid and S. Rafiee Design and Fabrication of Experimental Dryer for Studying Agricultural Products. Int. J. Agri.Bio., Vol. 10, Page Yanuwar, W Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non- Beras. Institut Pertanian Bogor. 74

75 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 40 o C Waktu (jam) Kecepatan Udara (m/s) Suhu Pengeringan ( C) Alat T in T out Suhu Bola Basah ( C) Suhu Bola Kering ( C) Berat Bahan (g)

76 Waktu (jam) Kecepatan Udara (m/s) Suhu Pengeringan ( C) Alat T in T out Suhu Bola Basah ( C) Suhu Bola Kering ( C) Berat Bahan (g) Sumber; Data Primer Sebelum Diolah,

77 Lampiran 2 Waktu (Jam) Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 50 o C Kecepatan Udara (m/s) Suhu Pengeringan ( C) Alat T in T out Suhu Bola Kering ( C) Suhu Bola Basah ( C) Berat Bahan (g)

78 Waktu (Jam) Kecepatan Udara (m/s) Suhu Pengeringan ( C) Alat T in T out Suhu Bola Kering ( C) Suhu Bola Basah ( C) Berat Bahan (g) Sumber: Data Primer Sebelum Diolah,

79 Lampiran 3 Waktu (Jam) Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 60 o C Kecepatan Udara (m/s) Suhu Pengeringan ( C) Alat T in T out Suhu Bola Kering ( C) Suhu Bola Basah ( C) Berat Bahan (g)

80 Waktu (Jam) Kecepatan Udara (m/s) Suhu Pengeringan ( C) Alat T in T out Suhu Bola Kering ( C) Suhu Bola Basah ( C) Berat Bahan (g) Sumber: Data Primer Sebelum Diolah,

81 Lampiran 4 RH Udara Pengering, Kadar Air, Laju Pengeringan dan Moisture Ratio Biji Sorgum Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 40 o C. Waktu (Jam) RH (%) Laju Pengeringan (g air menguap/g biji/jam) Kabb (%) Kabk (%) Moisture Ratio (MR)

82 Waktu (Jam) RH (%) Laju Pengeringan (g air menguap/g biji/jam) Kabb (%) Kabk (%) Moisture Ratio (MR) Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

83 Lampiran 5 RH Udara Pengering, Kadar Air, Laju Pengeringan dan Moisture Ratio Biji Sorgum Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 50 o C. Waktu (Jam) RH (%) Laju Pengeringan (g air menguap/g biji/jam) Kabb Kabk Moisture Ratio (MR)

84 Waktu (Jam) RH (%) Laju Pengeringan (g air menguap/g biji/jam) Kabb Kabk Moisture Ratio (MR) Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

85 Lampiran 6 RH Udara Pengering, Kadar Air, Laju Pengeringan dan Moisture Ratio Biji Sorgum Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 60 o C. Waktu (Jam) RH (%) Laju Pengeringan (g air menguap/g biji/jam) Kabb Kabk Moisture Ratio (MR)

86 Waktu (Jam) RH (%) Laju Pengeringan (g air menguap/g biji/jam) Kabb Kabk Moisture Ratio (MR) Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

87 Ln (-Ln MR) Ln MR Ln MR Lampiran 7 Gambar grafik persamaan linear pada suhu 40 o C MR Newton t y = -0,0807x R² = 0,9735 MR Newton Linear (MR Newton) MR Henderson-Pabis t MR Henderson -Pabis Linear (MR Henderson -Pabis) y = -0,0858x + 0,1916 R² = 0,9781 MR Page y = 1,0241x - 2,5941 R² = 0, Ln t MR Page ln(-lnmr) Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

88 Ln (-Ln MR) Ln MR Ln MR Lampiran 8 Gambar grafik persamaan linear pada suhu 50 o C MR Newton MR Henderson-Pabis t y = -0,1147x R² = 0,9624 MR Newton Linear (MR Newton) t y = -0,1229x + 0,2438 R² = 0,9681 MR Henderso n-pabis Linear (MR Henderso n-pabis) MR Page y = 1,0248x - 2,2312 R² = 0, ,0-1 1,0 2,0 3,0 4,0-1 MR Page Ln t Linear (MR Page) Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

89 Ln (-Ln MR) Ln MR Ln MR Lampiran 9 Gambar grafik persamaan linear pada suhu 60 o C MR Newton MR Henderson-Pabis t y = -0,1407x R² = 0,8956 MR Newton Linear (MR Newton) t y = -0,1631x + 0,5598 R² = 0,9184 MR Henderso n-pabis Linear (MR Henderso n-pabis) -8-9 MR Page y = 1,0266x - 2,074 R² = 0, ,0-1 2,0 4,0 Ln t MR Page Linear (MR Page) Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

90 Lampiran 10 Hasil Regresi Linear Pada Suhu 40 o C Waktu (Jam) MR Newton MR Henderson -Pabis MR Page

91 Waktu (Jam) MR Newton MR Henderson -Pabis MR Page Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

92 Lampiran 11 Hasil Regresi Linear Pada Suhu 50 o C Waktu (Jam) MR Newton MR Henderson -Pabis MR Page

93 Waktu (Jam) MR Newton MR Henderson -Pabis MR Page Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

94 Lampiran 12 Hasil Regresi Linear Pada Suhu 60 o C Waktu (Jam) MR Newton MR Henderson -Pabis MR Page

MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS dan PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN KACANG MERAH (Phaseoulus vulgaris L) VARIETAS HAWAIAN WONDER

MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS dan PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN KACANG MERAH (Phaseoulus vulgaris L) VARIETAS HAWAIAN WONDER MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS dan PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN KACANG MERAH (Phaseoulus vulgaris L) VARIETAS HAWAIAN WONDER Oleh : A. EVI ERFIANI G 621 08 001 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan, dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman asli

BAB I PENDAHULUAN. Sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman asli BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman asli tropis Ethiopia, Afrika Timur, dan dataran tinggi Ethiopia dianggap sebagai pusat utama domestikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI Oleh : Ir. Nur Asni, MS Peneliti Madya Kelompok Peneliti dan Pengkaji Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Sorgum 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang perekonomian nasional dan menjadi

Lebih terperinci

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG Oleh : Sugeng Prayogo BP3KK Srengat Penen dan Pasca Panen merupakan kegiatan yang menentukan terhadap kualitas dan kuantitas produksi, kesalahan dalam penanganan panen dan pasca

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Salah satu tantangan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia adalah ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional adalah masalah sensitif yang selalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu perhatian utama dalam pembangunan nasional. Usaha peningkatan produksi bahan

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di Indonesia. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2012), pada tahun 2011

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diversifikasi Pangan Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan MEKANISME By : Dewi Maya Maharani Pengeringan Prinsip Dasar Pengeringan Proses pemakaian panas dan pemindahan air dari bahan yang dikeringkan yang berlangsung secara serentak bersamaan Konduksi media Steam

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA AgroinovasI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA Dalam menghasilkan benih bermutu tinggi, perbaikan mutu fisik, fisiologis maupun mutu genetik juga dilakukan selama penanganan pascapanen. Menjaga mutu fisik

Lebih terperinci

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG 1. DEFINISI Panen merupakan pemetikan atau pemungutan hasil setelah tanam dan penanganan pascapanen merupakan Tahapan penanganan hasil pertanian setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanganan pascapanen komoditas pertanian mejadi hal yang tidak kalah pentingnya dengan penanganan sebelum panen. Dengan penanganan yang tepat, bahan hasil pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di

Lebih terperinci

ANALISIS PENYEBARAN PANAS PADA ALAT PENGERING JAGUNG MENGGUNAKAN CFD (Studi Kasus UPTD Balai Benih Palawija Cirebon)

ANALISIS PENYEBARAN PANAS PADA ALAT PENGERING JAGUNG MENGGUNAKAN CFD (Studi Kasus UPTD Balai Benih Palawija Cirebon) ANALISIS PENYEBARAN PANAS PADA ALAT PENGERING JAGUNG MENGGUNAKAN CFD (Studi Kasus UPTD Balai Benih Palawija Cirebon) Engkos Koswara Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Majalengka Email : ekoswara.ek@gmail.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman jagung ( Zea mays L) sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Jagung merupakan komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Berdasarkan urutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, menurut Purwono dan Hartanto (2007), klasifikasi dan sistimatika tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum berasal dari bahasa latinsorgum bicolor L. Moench.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum berasal dari bahasa latinsorgum bicolor L. Moench. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Sorgum Tanaman sorgum berasal dari bahasa latinsorgum bicolor L. Moench. Tanaman ini berasal dari wilayah sungai Niger di Afrika.Sorgum termasuk tanaman utama di peringkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Pindah Panas serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench) Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) termasuk dalam divisi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench) Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) termasuk dalam divisi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench) Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) termasuk dalam divisi Spermatopytha, kelas Monokotiledonae, ordo Poales, dan

Lebih terperinci

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) ) ISHAK (G4 9 274) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Perbedaan pola penurunan kadar air pada pengeringan lapis tipis cengkeh

Lebih terperinci

1. Pendahuluan PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK)

1. Pendahuluan PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK) Ethos (Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat): 99-104 PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK) 1 Ari Rahayuningtyas, 2 Seri Intan Kuala

Lebih terperinci

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk didalamnya agribisnis. Kesepakatankesepakatan GATT, WTO,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan utama dalam pascapanen komoditi biji-bijian adalah susut panen dan turunnya kualitas, sehingga perlu diupayakan metode pengeringan dan penyimpanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spesifikasi Biji Jarak Pagar Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar. Menurut Hambali et al. (2007), tanaman jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN UNTUK MENINGKATKAN MUTU JAGUNG DITINGKAT PETANI. Oleh: Ir. Nur Asni, MS

TEKNOLOGI PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN UNTUK MENINGKATKAN MUTU JAGUNG DITINGKAT PETANI. Oleh: Ir. Nur Asni, MS TEKNOLOGI PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN UNTUK MENINGKATKAN MUTU JAGUNG DITINGKAT PETANI Oleh: Ir. Nur Asni, MS Jagung adalah komoditi penting bagi perekonomian masyarakat Indonesia, termasuk Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama padi, jagung,tebu,gandum, dan lain-lain. Di jawa tengah dan jawa timur, sorgum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae (Poaceae). Tanaman ini telah lama dibudidayakan namun masih dalam areal yang terbatas. Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan setiap penduduk. Di Indonesia, masalah ketahanan pangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dinamakan akar adventif (Duljapar, 2000). Batang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dinamakan akar adventif (Duljapar, 2000). Batang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seperti akar tanaman jagung tanaman sorgum memiliki jenis akar serabut. Pada ruas batang terendah diatas permukaan tanah biasanya tumbuh akar. Akar tersebut dinamakan akar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sungai Niger di Afrika. Di Indonesia sorgum telah lama dikenal oleh petani

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sungai Niger di Afrika. Di Indonesia sorgum telah lama dikenal oleh petani 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sorgum (Sorghum bicolor L. merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang banyak dibudidayakan didaerah beriklim panas dan kering. Sorgum bukan merupakan tanaman asli

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penanganan Pasca Panen Lateks Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang masih segar 35 jam setelah penyadapan. Getah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1)

TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1) TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2016 KONTRAK PERKULIAHAN KEHADIRAN

Lebih terperinci

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN Perbaikan mutu benih (fisik, fisiologis, dan mutu genetik) untuk menghasilkan benih bermutu tinggi tetap dilakukan selama penanganan pasca panen. Menjaga mutu fisik dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER Endri Yani* & Suryadi Fajrin Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Andalas Kampus Limau Manis

Lebih terperinci

KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN

KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN ISSN 2302-0245 pp. 1-7 KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN Muhammad Zulfri 1, Ahmad Syuhada 2, Hamdani 3 1) Magister Teknik Mesin Pascasarjana Universyitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat),

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat), 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Waluh Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat), pumpkin (Inggris) merupakan jenis buah sayur-sayuran yang berwarna kuning dan berbentuk lonjong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cakupan pangan di Indonesia secara mandiri masih merupakan masalah serius yang harus kita hadapi saat ini dan masa yang akan datang. Bahan pokok utama masih bertumpu

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama 38 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama adalah pembuatan alat yang dilaksanakan di Laboratorium Mekanisasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian Jurusan Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN Kegunaan Penyimpangan Persediaan Gangguan Masa kritis / peceklik Panen melimpah Daya tahan Benih Pengendali Masalah Teknologi Susut Kerusakan Kondisi Tindakan Fasilitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015).

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap komoditas beras sebagai bahan pangan utama cenderung terus meningkat setiap

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang memiliki arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari penggunaannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan utama manusia. Badan Pusat Statistik (2010)

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan utama manusia. Badan Pusat Statistik (2010) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan merupakan kebutuhan utama manusia. Badan Pusat Statistik (2010) melaporkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya meningkat 1,48

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan penting sebagai bahan pangan pokok. Revitalisasi di bidang pertanian yang telah dicanangkan Presiden

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak. Oleh karena itu memerlukan penanganan pascapanen yang serius

Lebih terperinci

PENGERINGAN LAPISAN TIPIS KENTANG ( Solanum tuberosum. L) VARIETAS GRANOLA OLEH: AGUS M.HANI G

PENGERINGAN LAPISAN TIPIS KENTANG ( Solanum tuberosum. L) VARIETAS GRANOLA OLEH: AGUS M.HANI G PENGERINGAN LAPISAN TIPIS KENTANG ( Solanum tuberosum. L) VARIETAS GRANOLA OLEH: AGUS M.HANI G 621 07 027 Skripsi Hasil Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Botani Tanaman Sorgum. Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Botani Tanaman Sorgum. Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Sorgum Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk ke dalam : Kingdom : Plantae Divisi Class Ordo Family Genus : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENGERINGAN Pengeringan adalah proses pengurangan kelebihan air yang (kelembaban) sederhana untuk mencapai standar spesifikasi kandungan kelembaban dari suatu bahan. Pengeringan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa 1. Perubahan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan buah mahkota dewa dimulai dari kadar air awal bahan sampai mendekati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, menyebabkan kebutuhan akan

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, menyebabkan kebutuhan akan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, menyebabkan kebutuhan akan konsumsi pangan juga ikut meningkat. Namun pada kenyataannya, produksi pangan yang dihasilkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Terminologi Pasca Panen Padi. A. Kualitas Fisik Gabah

II. TINJAUAN PUSTAKA Terminologi Pasca Panen Padi. A. Kualitas Fisik Gabah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terminologi Pasca Panen Padi Kegiatan pascapanen padi perontokan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan dan pengemasan (Patiwiri, 2006). Padi biasanya dipanen pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ALAT PENGKONDISIAN UDARA Alat pengkondisian udara merupakan sebuah mesin yang secara termodinamika dapat memindahkan energi dari area bertemperatur rendah (media yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak digunakan pada industri pangan dan proses pembudidayaannya yang relatif mudah. Hampir sebagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013, di Laboratorium Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung B. Alat dan Bahan Alat yang

Lebih terperinci

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi Pengeringan Shinta Rosalia Dewi SILABUS Evaporasi Pengeringan Pendinginan Kristalisasi Presentasi (Tugas Kelompok) UAS Aplikasi Pengeringan merupakan proses pemindahan uap air karena transfer panas dan

Lebih terperinci

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao PENDAHULUAN Pengolahan hasil kakao rakyat, sebagai salah satu sub-sistem agribisnis, perlu diarahkan secara kolektif. Keuntungan penerapan pengolahan secara kolektif adalah kuantum biji kakao mutu tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan adalah padi,

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan adalah padi, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan adalah padi, padahal ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditas tanaman mengandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang berasal dari Amerika

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang berasal dari Amerika 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman jagung Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang berasal dari Amerika Tengah (Meksiko Bagian Selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini, lalu teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hardware Sistem Kendali Pada ISD Pada penelitian ini dibuat sistem pengendalian berbasis PC seperti skema yang terdapat pada Gambar 7 di atas. Pada sistem pengendalian ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan

TINJAUAN PUSTAKA. rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum Manis Sorgum dapat tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis, dari dataran rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan untuk tumbuh berkisar

Lebih terperinci

Sumber Pustaka Hilman. Y. A. Hidayat, dan Suwandi Budidaya Bawang Putih Di Dataran Tinggi. Puslitbang Hortikultura. Jakarta.

Sumber Pustaka Hilman. Y. A. Hidayat, dan Suwandi Budidaya Bawang Putih Di Dataran Tinggi. Puslitbang Hortikultura. Jakarta. PANEN BAWANG PUTIH Tujuan : Setelah berlatih peserta terampil dalam menentukan umur panen untuk benih bawang putih serta ciri-ciri tanaman bawang putih siap untuk dipanen 1. Siapkan tanaman bawang putih

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA Jurusan Teknik Elektro, Fakultas. Teknik, Universitas Negeri Semarang Email:ulfaharief@yahoo.com,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman setelah perkecambahan. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal

Lebih terperinci

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Ruang Pengering dan Sebarannya A.1. Suhu Lingkungan, Suhu Ruang, dan Suhu Outlet Udara pengering berasal dari udara lingkungan yang dihisap oleh kipas pembuang, kemudian

Lebih terperinci

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI 1. PENGERINGAN Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang sangat populer di Indonesia adalah kacang hijau (Vigna radiata.wilczek). Kacang hijau ialah tanaman penting ketiga di

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan (1.7) Tempat dan Waktu Penelitian. Jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Plerotus

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan (1.7) Tempat dan Waktu Penelitian. Jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Plerotus I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian dari keluarga rumput-rumputan. Jagung merupakan tanaman serealia yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertumpu pada satu sumber karbohidrat yaitu beras, melemahkan ketahanan. pangan dan menghadapi kesulitan dalam pengadaanya.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertumpu pada satu sumber karbohidrat yaitu beras, melemahkan ketahanan. pangan dan menghadapi kesulitan dalam pengadaanya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan beras sebagai bahan pangan utama Indonesia cenderung terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Suswono (2011),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) Dwi Santoso 1, Djunaedi Muhidong 2, dan Mursalim 2 1 Program Studi Agroteknologi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENYIMPANAN KOPI Penyimpanan kopi dilakukan selama 36 hari. Penyimpanan ini digunakan sebagai verifikasi dari model program simulasi pendugaan kadar air biji kopi selama penyimpanan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer Seminar Skripsi Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer LABORATORIUM PERPINDAHAN ` PANAS DAN MASSA Jurusan Teknik Kimia FTI - ITS Disusun oleh : Argatha Febriansyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

Nama : Maruli Tua Sinaga NPM : 2A Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing :Dr. Sri Poernomo Sari, ST., MT.

Nama : Maruli Tua Sinaga NPM : 2A Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing :Dr. Sri Poernomo Sari, ST., MT. KAJIAN EKSPERIMEN ENERGI KALOR, LAJU KONVEKSI, dan PENGURANGAN KADAR AIR PADA ALAT PENGERING KERIPIK SINGKONG Nama : Maruli Tua Sinaga NPM : 2A413749 Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kurangnya Indonesia dalam menggali sumberdaya alam sebagai bahan pangan

I. PENDAHULUAN. kurangnya Indonesia dalam menggali sumberdaya alam sebagai bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman bahan pangan yang melimpah. Bahan pangan memang melimpah namun Indonesia masih memiliki ketergantungan dengan impor

Lebih terperinci