BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Mycobacterium non tuberculosis pertama kali. teridentifikasi menginfeksi manusia pada tahun 1885,

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Mycobacterium pertama kali teridentifikasi menginfeksi manusia pada tahun 1885, dan mengalami peningkatan prevalensi yang cukup signifikan pada tahun Sekitar tahun 1980, di mana infeksi HIV mulai terjadi, banyak ditemukan disseminated infections yang disebabkan oleh M.avium dan M.kansasii terkait kondisi immunocompromised. Hingga awal tahun 2008, genus Mycobacterium sudah teridentifikasi sebanyak 139 spesies dan subspesies (Tomford, 2014). Meskipun infeksi oleh Mycobacterium tidak sebanyak M., namun beberapa tahun terakhir ini Mycobacterium mengalami peningkatan prevalensi, bahkan dari beberapa data terakhir menunjukkan jumlah infeksi Mycobacterium melebihi M. di beberapa wilayah di Amerika Serikat (ATS, 2010). Hal ini sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menginfeksi baik dalam kondisi immunocompromised, maupun immunocompetent (Cavusoglu et al., 2012).

2 Meskipun jumlah prevalensi infeksi Mycobacterium di setiap wilayah berbeda-beda, namun rata-rata mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil penelitian tentang prevalensi infeksi Mycobacterium di Shanghai pada tahun 2005, 2006,2007, dan 2008 diperoleh hasil berturut-turut 4,26%; 4,70%; 4,96%; dan 6,38% (Hong-xiu et al., 2010). Penelitian tentang prevalensi infeksi Mycobacterium ini juga menunjukkan peningkatan di Taiwan selama beberapa tahun terakhir (Huang et al., 2013). Menurut suatu penelitian, bahkan ditemukan bahwa prevalensi Mycobacterium di Taiwan dari tahun melebihi prevalensi M., dengan prevalensi berturut-turut adalah 56,9%; 43,1% (Chien et al., 2014). Di Indonesia sendiri, data mengenai Mycobacterium ini masih kurang memadai. Namun, untuk Yogyakarta, terdapat 28 kasus infeksi Mycobacterium dalam 4 tahun terakhir yang ditemukan di beberapa rumah sakit di wilayah Yogyakarta yang diteliti di Laboratorium Tuberkulosis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Mycobacterium tersebar luas di berbagai wilayah dengan prevalensi yang cukup tinggi.

3 Setiap wilayah memiliki spesies yang spesifik untuk Mycobacterium dengan prevalensi tertinggi. Di Amerika Serikat dan Jepang, M.avium dan M.kansasii adalah spesies-spesies yang lebih banyak ditemukan di antara Mycobacterium lain. Sementara di Inggris adalah M.kansasii, di Korea adalah M.intracellulare, M.avium, dan M.absscessus (Lee et al., 2014). Untuk negara dengan lokasi yang berada di sekitar Indonesia, seperti Singapura dan Thailand, spesies yang paling banyak ditemukan adalah M.avium complex dan M.kansasii, lalu diikuti dengan M.fortuitum dan M.chelonae dari golongan rapidly growing mycobacterium. Selain itu, prevalensi M.abscessus, M.chelonae, dan M.fortuitum dari golongan rapidly growing mycobacterium lebih tinggi daripada M.kansasii di Taiwan (Simons, 2011). Karakteristik penyakit yang dapat disebabkan oleh Mycobacterium antara lain: (1)Infeksi paru yang menyerupai infeksi M.; (2)Infeksi luar paru, mencakup limfonodi, kulit, dan jaringan lunak; (3)Infeksi pada pasien penderita immunocompromised, seperti AIDS, dan transplantasi organ; (4)infeksi dari peralatan medis yang tidak steril (Hong-xiu et al., 2010). Gejala yang muncul pada pasien penderita infeksi Mycobacterium

4 sulit dibedakan dengan pasien penderita TB, antara lain: batuk, demam, penurunan berat badan, dan insufisiensi respirasi (Tortoli, 2009). Masalah utama dalam penanganan Mycobacterium adalah banyaknya ditemukan resistensi terhadap pengobatan lini pertama M. yang terbukti cukup efektif dalam mengobati pasien yang terinfeksi TB (Hong-xiu et al., 2010). Meski begitu, masih banyak praktikan klinis yang memberi terapi TB terhadap pasien penderita infeksi Mycobacterium, seperti Rifampisin, yang dari hasil beberapa penelitian menunjukkan adanya resistensi (Brown-Elliot, 2002). Hal ini tentunya menyebabkan tingkat kegagalan terapi terhadap infeksi Mycobacterium meningkat. Karena keterbatasan obat yang dapat dipakai untuk terapi, maka dibutuhkan penelitian mengenai antibiotik yang efektif dalam mengobati pasien yang terinfeksi Mycobacterium. Penelitian mengenai kepekaan Mycobacterium terhadap antibiotik sudah beberapa kali dilakukan. Namun, dari hasil yang ditemukan, terdapat perbedaan pola kepekaan per spesies untuk setiap wilayah. Berdasarkan penelitian sebelumnya di Spanyol,

5 diperoleh MIC M.chelonae terhadap cefoxitin adalah >128 µg/ml (resisten 100%) dan angka MIC untuk tobramisin adalah 4 µg/ml (Casal et al., 1985). Pada penelitian lain di Amerika Serikat, diperoleh angka MIC M.chelonae terhadap cefoxitin adalah 64µg/ml untuk 69% bakteri, dan MIC terhadap tobramycin adalah 8 µg/ml untuk 69% bakteri (Swenson et al., 1985). Begitupula halnya dengan M.abscessus yang juga dari golongan rapidly growing mycobacterium, pada sebuah penelitian di Turki didapatkan bahwa tobramycin memiliki aktivitas yang sangat buruk, dengan MIC oleh tobramycin >16 µg/ml pada 100% isolat (Cavusoglu et al., 2012). Namun pada penelitian lain di Amerika Serikat, diperoleh hasil MIC terhadap tobramycin 4 µg/ml untuk 27% bakateri (Swenson et al., 1985). Hal ini menunjukkan bahwa uji suseptibilitas Mycobacterium terhadap antibiotik memiliki hasil yang berbeda-beda. Hal bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah perbedaan geografis. Selain itu, perubahan genetik pada beberapa spesies Mycobacterium juga dapat mempengaruhi pola kepekaan dan resistensi terhadap berbagai antibiotik. Salah satunya adalah ditemukannya ekspresi gen erm(41) yang menimbulkan resistensi M.abscessus terhadap antibiotik golongan

6 makrolit, seperti klaritromisin dan azitromisin (Nash et al., 2009). Setiap spesies memiliki antibiotik lini pertama yang berbeda-beda. Sebagai contoh, sebuah penelitian menunjukkan bahwa M.chelonae memiliki kepekaan tertinggi terhadap antibiotik clarithromycin dengan MIC 0,5 µg/ml untuk 100% isolat, dan M.fortuitum memiliki kepekaan tertinggi terhadap amikasin dengan MIC 4 µg/ml pada 100% isolat (Cavusoglu et al., 2012). Meskipun telah ditemukan kepekaan tertinggi pada hampir seluruh spesies, terapi lini pertama memiliki kemungkinan untuk menimbulkan resistensi, sehingga dibutuhkan terapi antibiotik lain yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan. Bertitik tolak dari hal-hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji secara in vitro, apakah kanamisin dari golongan aminoglikosida memiliki efikasi yang baik terhadap Mycobacterium.

7 I.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah tingkat kepekaan Mycobacterium tipe rapidly growing terhadap kanamisin secara in vitro? I.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk melihat bagaimanakah tingkat kepekaan Mycobacterium terhadap kanamisin secara in vitro. Sementara tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) kanamisin yang bisa dipakai dalam terapi Mycobacterium, dan menilai tingkat potensi kanamisin untuk dijadikan sebagai pilihan terapi Mycobacterium. I.4 Keaslian Penelitian Uji suseptibilitas Mycobacterium terhadap berbagai antibiotik dari golongan aminoglikosida, termasuk kanamisin, sudah pernah dilakukan sebelumnya. Namun, karena adanya perbedaan pola kepekaan di setiap wilayah, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat pola kepekaan tersebut di wilayah sekitar Yogyakarta.

8 I.5 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada kalangan akademisi tentang bagaimana tingkat kepekaan Mycobacterium tipe rapidly growing terhadap kanamisin secara in vitro.