BAB I PENDAHULUAN. urusan pemerintahan sepanjang perjalanan sejarah mengalami pasang surut. Dimulai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. urusan pemerintahan sepanjang perjalanan sejarah mengalami pasang surut. Dimulai"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, dalam praktik penyelenggaraan urusan pemerintahan sepanjang perjalanan sejarah mengalami pasang surut. Dimulai sejak awal kemerdekaan sampai saat ini terjadi perubahan-perubahan, baik dari sisi konsep maupun kecenderungannya ke arah sentralisasi atau desentralisasi. Pasang surut tersebut berlangsung sangat dinamis, puncaknya terjadi praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sangat sentralistis dalam kurun waktu yang lama di masa orde baru, yang mengakibatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tidak tercapai dan proses demokratisasi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Secara normatif undang-undang ini juga mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan, termasuk urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepada Daerah. Namun dalam praktek, sebagian besar urusan pemerintahan dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah. Daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan untuk melaksanakan kehendak dan program-program Pemerintah serta tidak mempunyai kewenangan yang signifikan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.

2 Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 membawa perubahan besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut meliputi berbagai bidang, termasuk perubahan tata kepemerintahan dan hubungan antara Pemerintah dan Daerah. Perubahan hubungan Pusat dan Daerah ditandai dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut, perubahan mendasar juga terjadi pada Konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD Salah satu perubahan mendasar pada UUD 1945 adalah terkait dengan Pemerintahan Daerah. Pada amandemen kedua UUD 1945, Bab VI tentang Pemerintah Daerah Pasal 18 yang sebelumnya hanya terdiri dari satu pasal tanpa ayat mengalami perubahan menjadi 3 pasal, yakni Pasal 18, 18A dan 18B dengan 11 ayat. Dalam pasal ini juga dinyatakan secara tegas mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Daerah dan otonomi daerah, Pasal 18 ayat (2) mengatur sebagai berikut, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Lebih lanjut dalam pasal yang sama pada ayat (5) dinyatakan, bahwa: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 18 memberikan landasan tentang kedudukan pemerintahan daerah, dan diantaranya adalah tentang penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan

3 daerah menurut asas otonomi. Konsekuensi dari perubahan undang-undang dasar ini, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 dilakukan berbagai evaluasi dan koreksi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Koreksi dilakukan sebagai jawaban atas perubahan drastis pada sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menempatkan hubungan Pemerintah dan Daerah kurang proporsional. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi terjadinya disintegrasi dan tidak tercapainya tujuan otonomi daerah sebagaimana yang dicita-citakan. Di tengah perubahan dan perkembangan dinamika kehidupan politik, terdapat isu sentral yang menjadi wacana publik, yaitu perlunya pembagian kewenangan yang seimbang antara Pemerintah dan Daerah. 1 Pembagian kewenangan atas urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah perlu dilakukan secara proporsional dalam kerangka otonomi daerah. Salah satu ukuran yang dapat menjadi parameter tentang besarnya otonomi, dapat diukur dari seberapa banyak urusan pemerintahan yang dimiliki Daerah. Walaupun demikian, menurut Bhenyamin Hoessein, bahwa besarnya otonomi bukan hanya diukur oleh banyaknya urusan pemerintahan yang telah dimiliki daerah sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan 1 Kaloh, Kepala Daerah; Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 17.

4 desentralisasi, melainkan pula secara mendasar diukur oleh tingkat kemandirian Daerah. 2 Berpijak pada uraian pengalaman di atas, dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan pada masa orde lama dan orde baru cenderung sentralistik atau proporsi urusan pemerintahan yang berada pada Pemerintah jauh lebih besar dibanding dengan yang ada di daerah. Walaupun sama-sama cenderung sentralistik, namun pembagian urusan pemerintahan pada masa orde lama dan orde baru mempunyai karakteristik yang berbeda. Sebaliknya, pada masa pasca reformasi tahun 1998, walaupun samasama desentralisasi, namun saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa proporsi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah menurut kedua undang-undang tersebut juga berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh setting sosial dan politik dari masa ke masa atau dari rezim ke rezim berikutnya. Artinya, kehendak para pembuat undang-undang yang dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang melatarbelakanginya akan sangat mempengaruhi bangunan regulasi yang mengatur hubungan pusat dan daerah. Arah kebijakan hukum yang dikehendaki oleh negara terkait dengan politik hukum desentralisasi sangat mempengaruhi kemana arah bandul kekuasaan, apakah lebih condong ke Pemerintah atau ke Daerah. 2 Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, 2009), hal. 166.

5 Penerapan praktik penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan desentralisasi dan otonomi daerah sepanjang sejarah Indonesia sampai saat sekarang ini telah menampilkan gambaran yang bervariasi, yang secara umum dipahami mencerminkan tarik ulur sifat sentralistik dan desentralistik. Kenyataan implementasi antara dua kontinum tersebut selama ini telah pula menampilkan pemahaman yang beraneka ragam terhadap otonomi daerah. Namun, apapun rumusan atau ungkapannya, otonomi daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat. 3 Penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan desentralisasi yang selama ini telah berlangsung, berpotensi untuk terjadi resentralisasi bila bandul kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong kepada pusat dan sebaliknya dapat berpotensi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme bila bandul kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong kepada daerah. Potensi terjadi resentralisasi atau kewenangan kembali terpusat dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (5), yang menyatakan bahwa, Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat : 3 Hari Sabarno, Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Penerbitan Buku Beberapa Gagasan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Owen Podger dkk, Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. iv.

6 a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Pada ayat (5) tersebut dapat diartikan bahwa, selain dilaksanakan enam urusan pemerintahan yang mutlak menjadi milik Pemerintah, Pemerintah juga dapat menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan di luar enam urusan tersebut. Artinya, Pasal 10 ayat (5) huruf a memberikan legitimasi bahwa terhadap urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah, masih dibenarkan bagian urusan pemerintahan diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah. Ketentuan ini dapat berpotensi terjadinya sentralisasi, bila urusan pemerintahan yang semestinya dapat didesentralisasikan atau sudah menjadi urusan Daerah, dengan alasan kepentingan nasional atau kepentingan lintas Daerah dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah. Lebih lanjut, penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Ketentuan ini tidak secara tegas menyebut pada hal apa suatu urusan pemerintahan yang concurrent dapat diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah atau didesentralisasikan. Hal ini juga berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, yang disebabkan antara lain oleh

7 lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di antara tingkatan. 4 Pada praktiknya, Pemerintah melalui kementerian masih menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan yang semestinya bisa didesentralisasikan. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai proyek Pemerintah yang dilaksanakan di daerah. Oleh beberapa pihak, inilah yang disebut dengan otonomi setengah hati. Semestinya, untuk penguatan desentralisasi, kewenangan Pemerintah atas urusan pemerintahan porsinya lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan tertentu. 5 Sebaliknya, selain berpotensi terjadi resentralisasi, penyelenggaraan urusan pemerintahan juga berpotensi terjadi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme. Hal ini dapat terjadi apabila bandul kewenangan lebih condong kepada Daerah. Kewenangan besar yang dimiliki oleh Daerah akibat desentralisasi membuat Daerah merasa mempunyai kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan. Akibatnya, timbul pandangan bahwa 4 Indra J.Piliang ed., Otonomi Daerah: Evaluasi Dan Proyeksi, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2003), hal Kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan oleh Pemerintah hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan: (1) Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara; (2) Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara; (3) menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional; (4) Menjamin keselamatan fisik dan nonfisik secara setara bagi semua warga negara; (5) Menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan beresiko tinggi serta sumber daya manusia yang berkualifikasi tinggi tetapi sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan dan sejenisnya; (6) Menjamin supremasi hukum nasional; dan (7) Menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat. Dalam Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal

8 Pemerintah sudah tidak perlu campur tangan lagi terhadap urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan. Ada anggapan dari Pemerintah Daerah bahwa dengan desentralisasi, Daerah mempunyai kedudukan dan kewenangan yang besar sehingga Pemerintah tidak perlu lagi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah didesentralisasikan. Seharusnya, peran Pemerintah sebatas merumuskan kebijakan makro atau koordinasi secara nasional, Pemerintah tidak lagi mempunyai peran sebagai pelaksana langsung (executing) terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan. Akibat lain dari desentralisasi adalah terdapat kenyataan bahwa pemerintah daerah tidak tunduk terhadap kebijakan Pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan tidak ikut melaksanakan program nasional yang telah menjadi kebijakan Pemerintah dikarenakan berbagai alasan. 6 Berpijak pada kenyataan implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan seperti yang telah digambarkan, pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi daerah di negara kesatuan bagai dua sisi mata uang. Pada satu sisi, bila Daerah mempunyai kewenangan yang besar pada suatu urusan pemerintahan tanpa adanya kewenangan Pemerintah, maka akan berpotensi terjadi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme. Namun sebaliknya, bila Pemerintah masih 6 Kerapkali terjadi Pemerintah Daerah menolak program Pemerintah dengan berbagai alasan, misal tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, daerah tidak siap, bahkan karena perbedaan aspirasi politik antara Pemerintah (Presiden) dengan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/walikota), serta alasan-alasan lainnya.

9 menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan yang semestinya dapat didesentralisasikan, maka akan mengarah kepada sentralisasi. Baik secara teoritis maupun praktik di banyak negara, hubungan antara Pemerintah dan Daerah sebagaimana telah dikemukakan, diibaratkan sebagai sebuah bandul dengan dua kutub, yaitu Pemerintah dan Daerah. Jika bandul itu mengarah ke kutub Pemerintah maka terjadi sentralisasi, sehingga otomatis kewenangan Daerah akan berkurang. Demikian juga sebaliknya, jika Daerah diberikan kewenangan yang besar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka terjadi desentralisasi, sehingga kewenangan Pemerintah akan berkurang. Oleh sebab itu, pembahasan hubungan kewenangan Pemerintah dan Daerah tidak akan terlepas dari tarik ulur kekuasaan diantara keduanya. 7 Berbagai produk hukum mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan telah dibentuk dan telah tercapai konsesus nasional mengenai asas-asasnya. Namun dalam aplikasi selama ini sering kali menimbulkan masalah di seputar upaya mencari titik keseimbangan antara bobot sentralisasi dan bobot otonomi daerah. 8 Kemudian, berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor, yaitu : Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif terhadap 7 Syahrul Hidayat, Otonomi Daerah, Pilkada dan Komitmen Desentralisasi Politik: Tinjauan atas tiga UU mengenai Otonomi Daerah dalam Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik Fisip UI, Jakarta, Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model..., Op.Cit., hal. 59.

10 perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi hukum) masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya terbatas (budaya lokal). 9 Secara formal selalu diupayakan untuk menyerasikan kedua orientasi tersebut, namun secara subtansi yang tercermin dari berbagai rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan belum tentu demikian. Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasikannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur. Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah sangat 9 Maria R Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm

11 memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi tingkat perkembangannya. Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara pemerintah dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin meningkatnya sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta. Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana tercatat dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh Inggris maupun Belanda. 10 Kemudian, dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan, walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang tersebut mencakup kewenangan di bidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak zaman Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan asas Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran rakyat (Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya. 11 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm.40.

12 Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind. Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 2 Undang- Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur

13 peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12 Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik, dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidasinambungan pemanfaatan ruang. 13 Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks 12 Pasal 14, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 13 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

14 Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara). B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan urusan pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah? 2. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah? 3. Apakah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kewenangan pertanahan di daerah serta upaya-upaya apa yang dilakukan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan urusan pertanahan menurut Undang- Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. 2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kewenangan pertanahan di daerah serta upaya-upaya yang dilakukan.

15 D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari latar belakang serta rumusan masalah yang telah diuraikan, manfaat penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan dan menganalisis secara juridis dinamika pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah di Indonesia khususnya di bidang pertanahan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah khususnya di bidang pertanahan. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan kegunaan secara teoritis, berupa : 1. Sumbangan pemikiran terhadap kajian pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah di bidang pertanahan. 2. Sebagai salah satu referensi untuk mengkaji lebih mendalam mengenai hukum ketatanegaraan dan administrasi negara khususnya hukum pemerintahan daerah yang secara langsung berkaitan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang pertanahan. Manfaat dan kegunaan dari penelitian ini secara praktis adalah: 1. Sebagai masukan pemikiran untuk pembangunan hukum dalam rangka memperkuat dan mendorong otonomi daerah dengan kewenangan yang seluasluasnya namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

16 2. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk kebijakan dan pengaturan terkait dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan. 3. Diharapkan berguna sebagai bahan kajian untuk akselerasi otonomi daerah, sebagai upaya mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat serta terwujudnya clean government dan good governance di bidang pertanahan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Pascasarjana, dan sepanjang yang diketahui belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat Judul Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara). Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan di lingkungan Pascasarjana, oleh karenanya, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Pada kajian tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu terkait negara, sehingga teori dasar tentang negara menjadi landasan teori pada

17 penelitian ini. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu terkait dengan hubungan pusat dan daerah, salah satu hubungan tersebut dibangun dengan sistem desentralisasi. Desentralisasi pada penelitian ini menjadi faktor utama dalam hubungan pusat dan daerah, sehingga perlu disajikan kerangka teorinya. Selain itu yang terkait adalah teori tentang politik hukum mengenai kewenangan pertanahan dalam konsep otonomi daerah. Negara adalah suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. 14 Menurut Aristoteles, 15 negara pada hakekatnya adalah sebuah asosiasi, yaitu suatu perkumpulan dari kelompok orang yang mengorganisir diri mereka untuk tujuan tertentu yang hendak dicapai. Sementara itu, menurut Supomo 16 dengan berpijak teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain (pada abad 18 dan 19), negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan yang masyarakat yang organis. 14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal Bhenyamin Hoessein, Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Menurut Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen 1945, disampaikan dalam Seminar Dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh BPHN Depkumham, Bali, Juli 2003, hal Marsilam Simanjutak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 85.

18 Pada perkembangan saat ini, Jimly Asshydiqqie membedakan bentuk negara di dunia menjadi empat macam susunan organisasi negara, yaitu 17 : 1. Negara Kesatuan (Unitary State, Eenheidsstaat), pada negara kesatuan dimana kekuasan negara terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kekuasaan asli terdapat di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang ditentukan secara tegas. 2. Negara Serikat atau Federal (Federal State, Bondsstaat), pada negara serikat atau federal kekuasaan negara terbagi antara negara bagian dan pemerintahan federal, kekuasaan asli ada pada negara bagian sebagai badan hukum negara yang bersifat sendiri-sendiri yang secara bersamasama membentuk pemerintahan federal dengan batas-batas kekuasaan yang disepakati bersama oleh negara-negara bagian dalam konstitusi federal. 3. Negara Konfederasi (Confederation, Statenbond), negara konfederasi merupakan persekutuan antar negara-negara yang berdaulat dan independen yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi kerjasama yang longgar. 4. Negara Superstruktural (Superstate), yaitu persekutuan antar negara dengan sifat yang sangat kuat, yang di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan sebagaimana lazimnya, seperti fungsi legislasi dan fungsi administrasi. Dari keempat bentuk susunan organisasi negara tersebut, bentuk negara kesatuan menjadi pilihan bagi Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Pada ketentuan ini dapat dilihat beberapa pengertian seperti yang disampaikan oleh Jimly Asshydiqqie 18 : Pertama, Negara yang diatur dalam UUD ini bernama Negara Indonesia; Kedua, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan; Ketiga, Negara Indonesia berbentuk Republik. Karena itu, Negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Konstitusi Negara 17 Jimly Asshidiqqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal Ibid.

19 Republik Indonesia. Apalagi, adanya kata ialah dalam rumusan Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan menunjukan rumusan yang bersifat definitif. Artinya, jika bukan Negara Kesatuan, maka namanya bukan lagi Negara Indonesia. Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah. Pada suatu negara kesatuan, kekuasaan terletak pada Pemerintah dan tidak pada pemerintah daerah. 19 Lebih lanjut Mahfud.MD. menegaskan bahwa negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagverhouding) antara Pemerintah dan Daerah. 20 Sementara itu menurut C.F. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan Pemerintah. C.F Strong menyimpulkan bahwa terdapat ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan yaitu, (1) adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. x. 20 Moh. Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal Mahfud juga menjelaskan bahwa konsep kesatuan berbeda dengan konsep persatuan, persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara. 21 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Op.Cit., hal. 269.

20 Dalam menjalankan fungsinya, negara mempunyai kekuasaan, yang menurut Arthur Maass memilah pembagian kekuasaan negara menjadi dua, yaitu 22 : Pertama, Capital Division of Powers, pembagian kekuasaan secara horisontal atau pemisahan kekuasaan (separations of powers) yang melahirkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, Areal Division of Power, pembagian kekuasaan secara vertikal (pembagian kekuasaan berdasarkan wilayah) yang melahirkan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada konteks ini, desentralisasi merupakan instrumen yang digunakan dalam rangka areal division of powers. Pembagian kekuasaan secara vertikal bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara Pemerintah dan Daerah. Pembagian kekuasaan ini dilakukan dengan membentuk daerah otonom yang berfungsi sebagai organ yang menerima penyerahan kekuasaan dari Pemerintah atau dapat disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau penyerahan sebagian urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom. Menurut Bhenyamin Hoesein, pengertian desentralisasi tidak hanya penyerahan wewenang namun harus pula mecakup pembentukan daerah otonom. 23 Sementara itu, menurut Hans Kelsen pada sebuah negara tidak mungkin terjadi urusan pemerintah diselenggarakan 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi 22 Arthur Maass, Area And Power A Thery Of Local Government, (Illions: Glencoe, 1969), hal Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 71.

21 atau tidak mungkin terdapat total centralization atau total decentralization. 24 Sebagaimana disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa sentralisasi merupakan asas yang pokok, sementara itu asas desentralisasi (termasuk juga dekonsentrasi dan tugas pembantuan) tidak mungkin diselenggarakan tanpa sentralisasi. 25 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna desentralisasi pada negara kesatuan adalah sebagai wujud toleransi Pemerintah kepada Daerah dalam hal pemberian kewenangan untuk melaksanakan urusan-urusan yang bisa menjadi urusan rumah tangga daerah, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya, jadi hubungan pusat dan daerah merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. Pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah tidak akan lepas dari sisi politik hukum atau kebijakan hukum (legal policy). Politik hukum menurut Moh. Mahfud, MD 27 adalah sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak diperkembangkan. Pengertian ini menunjukkan pandangan Radhie Bhenyamin Hoessein, et.,al. Naskah akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintahan Pusat Dan Daerah, PKPADK Fisip UI, Jakarta, 2005, hal Bhenyamin Hoessein, Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Dan Daerah Otonomi, Makalah, disajikan dalam seminar FISIP UI, Depok, 2007, hal Ni matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hal Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 13.

22 bahwa politik hukum mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius contituendum atau hukum yang atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang. Sementara itu, Padmo Wahyono 28 mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Dalam hal ini, Padmo Wahyono melihat politik hukum dengan lebih condong pada aspek ius constituendum. Soedarto memberikan pengertian politik hukum adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundangan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan norma yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. 29 Dari berbagai definisi politik hukum, dapat dibuat rumuan sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan 28 Ibid. 29 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Cet. I, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 55.

23 negara. 30 Tujuan politik hukum nasional adalah, pertama, sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki; Kedua, dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar. 31 Selanjutnya, konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan pemerintahan saat itu, yakni orde lama. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) ditujukan guna pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup waktu dan terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara berpindah pada rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan yang berbeda. Sebagaimana diketahui masa orde baru adalah masa pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan sangat propertumbuhan. Meskipun banyak kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya yang berbeda dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) namun dengan berbagai tafsiran disediakan perangkat peraturan pelaksana UUPA yang memungkinkan pemerintah orde baru menjalankan kebijakannya di bidang pertanahan, yang sangat pro pemodal dengan segala akibatnya terhadap masyarakat banyak Teuku Muhammad Radhi dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, Op.Cit., hal Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hal Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraia, Isi, dan Pelaksanaanya (Jilid I), (Jakarata: Penerbit Djambatan, 2003), hal

24 Hukum agraria nasional kemudian mengalami perubahan seiring peralihan kepempinan negara pada orde reformasi. Tampak ada tekad untuk mengadakan perombakan yang mendasar pada kebijakan nasional di bidang ekonomi. Selain Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) dan berbagai peraturan perundang-undangan baik yang setingkat (undang-undang) maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (peraturan pemerintah, keputusan/peraturan presiden, keputusan/peraturan menteri), pengaturan dan kebijakan di bidang agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti TAP MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Konsepsi Hukum Tanah Nasional dan ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) telah menjadi dasar pijak pembangunan Nasional selama kurun waktu hampir setengah abad. Berbagai peraturan perundang-undangan baik berbentuk undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya dalam pertimbangan hukumnya merujuk kepada UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional. Undang-undang terkait agraria seperti kehutanan, pertambangan, sumber daya alam, sumber daya air, dan penataan ruang menjadikan dasar-dasar hukum dalam UUPA sebagai suatu pertimbangan hukum di dalam aturan-aturan undang-undang tersebut.

25 Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional sangat signifikan dan terkait dengan kepentingan antar dan berbagai sektor dan bidang hukum lainnya. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dalam berbagai peraturan perundangan di bidang hukum agraria khususnya dan yang terkait dengan agraria lainnya. Harmonisasi terkait dengan harmonis dan selarasnya (tidak bertentangannya) suatu peraturan perundangundangan yang secara horizontal memiliki tingkat hirarkhi yang sama, sementara mengarah pada hubungan vertikal antara satu peraturan perundangan dengan peraturan perundangan yang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatanya dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Selain perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hukum agrarian yang saling bertentangan dan tumpang tindih, berbagai persoalan terkait tanah dalam pengelolaan berbagai sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Persoalan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi suatu unsur yang tidak tercapai dalam berbagai kebijakan pertanahan, sehingga menimbulkan berbagai konflik dan menjauhkan masyarakat dari rasa keadilan. Kondisi ini kemudian memunculkan suatu komitmen politik dari para wakil rakyat sehingga setelah melalui tahapan yang panjang, berliku dan beragam ditetapkanlan suatu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh

26 MPR dengan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam inilah kemudian menjadi tonggak awal adanya pembaruan hukum agraria sebagai bagian dari pembaruan agrarian secara keseluruhan. Beberapa catatan penting dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam terkait dengan pembangunan hukum agraria nasional yakni : a. Adanya fakta bahwa yuridis bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan. 33 b. TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ini ditujukan sebagai landasan peraturan perundangundangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. 34 c. Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Konsideran Menimbang Huruf d. 34 Ibid., Pasal Ibid., Pasal 2.

27 d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama dalam kaitannya dengan perundang-undangan, terdapat prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar yakni 36 : 1. prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. prinsip penghormatan kepada hak asas manusia; 3. prinsip penghormatan supremasi hukum dan pengakomodasian prularisme hukum dalam unifikasi hukum; 4. prinsip kesejahteraan rakyat; 5. prinsip keadilan; 6. prinsip keberlanjutan; 7. prinsip pelaksanaan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis; 8. prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor; 9. prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa; 10. prinsip keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; dan 11. prinsip desentralisasi. e. Bahwa dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip diatas, salah satu arah kebijakan utama yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria adalah melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang 36 Ibid., Pasal 4.

28 berkaitan dengan agraria dalam rangka kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas. 37 f. MPR menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti. 38 Sebelum dikeluarkannya TAP MPR tentang Pembaruan Agraria pada tahun 2001, salah satu arahan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi dalam GBHN adalah mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat 39 dan masyarakat adat, 40 serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. 41 Ditegaskan pula bahwa salah satu ciri sistem ekonomi kerakyatan adalah pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat 37 Ibid., Pasal Ibid., Pasal Kata ulayat berasal dari bahasa Minang, berarti wilayahnya. Lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah, Op.Cit., hal Masyarakat adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu dengan rasa solidaritas yang besar diantara anggota dan memandang yang bukan anggota sebagai orang luar. Penggunaan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar harus mendapat izin dan pemberian imbalan tertentu berupa recognisi, Lihat dalam Maria. S.W. Sumardjono, Hak Ulayat dan Pengakuannya Dalam UUPA, (Jakarta: Kompas, 13 Mei 1993), hal Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun , Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.

29 setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. 42 Terkait dengan dimulainya era desentralisasi, maka dalam rangka pembangunan daerah, di samping aspek ruang, maka sebagian besar kegiatan masyarakat berkaitan dengan tanah yang merupakan aset bagi perorangan, badan usaha, dan publik yang wajib diakui. Pada saat ini masalah pengelolaan atau administrasi pertanahan dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketertiban proses sertifikasi status tanah, penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah, penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah. Peran pemerintah sangat penting untuk menjamin kepastian hukum, kelancaran penggunaan tanah oleh semua anggota masyarakat untuk berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunan tanah secara adil, transparan dan produktifitas dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Untuk melaksanakan amanat GBHN , program pembangunan prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang pertanahan adalah dengan Program Pengelolaan Pertanahan. Tujuan dari program ini adalah mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas 42 Ibid.

30 kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya pelayanan pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang berlaku secara nasional. 43 Adapun kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan pelayanan pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang andal; (2) penegakan hukum pertanahan secara konsisten; (3) penataan penguasaan tanah agar sesuai dengan rasa keadilan; (4) pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan (5) pengembangan kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah Konsepsi Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep dan terminologi yang perlu untuk dijelaskan secara lebih rinci serta diberikan batasan dalam definisinya. Penjelasan dan pemberian dimaksudkan untuk memberikan definisi atau gambaran yang sama tentang konsep dan terminologi yang berhubungan topik pada penelitian ini. Kerangka konsep yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari undangundang dan pendapat ahli. Beberapa definisi dan batasan yang dapat digunakan sebagai pedoman operasional dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut : 43 Ibid. 44 Ibid.

31 1. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam hal ini Pemerintah ialah seluruh aparat dari unit Pemerintah, baik yang berada di pusat pemerintahan negara maupun instansi vertikal yang ada di daerah. 2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Pembagian urusan pemerintah adalah pembagian kewenangan dalam melaksanakan urusan pemerintahan (bukan merupakan pembagian kedaulatan) Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang atau badan berdasarkan hukum publik Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4584); 46 Pasal 1 angka 2, Ibid. 47 Pasal 1 angka 3, Ibid. 48 H.M. Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal H. Ateng Syafrudin, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 24.

32 5. Otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakannya Kewenangan pertanahan yang dilimpahkan kepada daerah adalah wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan. 51 Kewenangan tersebut meliputi, perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing Kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota adalah kewenangan pemberian izin lokasi; penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian sengketa tanah garapan; penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; 50 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 81. Kemudian pengertian otonomi daerah menurut Bhenyamin Hossein adalah pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintah pusat. Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Op.Cit., hal. 18. Lihat juga pengertian daerah dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 51 Pasal 2 ayat (2) huruf a, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. 52 Pasal 14 ayat (2) huruf a, Ibid.

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie,Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie,Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie,Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,

Lebih terperinci

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Rizkyana Zaffrindra Putri 1, Lita Tyesta A.L.W. 2 litatyestalita@yahoo.com ABSTRAK Undang-Undang

Lebih terperinci

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment) DESENTRALISASI PENYELENGGARA PENANAMAN MODAL (SUATU TINJAUAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL) (The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25

Lebih terperinci

Sumarma, SH R

Sumarma, SH R PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DIBIDANG PERTANAHAN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SEBAGAI WUJUD KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN RINGKASAN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA A. Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah dan Daerah Dalam Konstitusi Republik

Lebih terperinci

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia desentralisasi dan sentralisasi telah beberapa kali mengalami

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Lebih terperinci

rincian kewenangan Pemerintah yang merupakan penjabaran kewenangan Pemerintah bidang lain dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

rincian kewenangan Pemerintah yang merupakan penjabaran kewenangan Pemerintah bidang lain dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM A. U M U M Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah mempunyai peran yang sangat strategis sebagai sarana pembinaan keluarga dan pendidikan dasar dan juga berfungsi dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK TENTANG BENTUK PENGHORMATAN DAN PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010 2014 A. PENDAHULUAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT I. Pendahuluan Badan Legislasi telah menerima surat tertanggal 27 Juli 2017 perihal usulan Rancangan

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan adalah mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak hak masyarakat hukum adat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara ini lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan Negara kesatuan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ~HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH)* 0/eh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein Arah kebijakan pembangunan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Pendahuluan Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2010 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten yang mencerminkan peranan rakyat. Salah satunya adalah peranan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu perubahan mendasar dari UUD 1945 pasca amandemen adalah kedudukan Presiden yang bukan lagi sebagai mandataris dari MPR. Sebelum amandemen, MPR merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN 2004 SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract:In order to establish the local autonomy government, the integration

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Abd. Rais Asmar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Email:rais.asmar@uin-alauddin.ac.id Abstract Governor is administration of the district

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan wacana yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Sani Safitri Universitas Sriwijaya Abstrak: Dengan diberlakukanya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK) HAK PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Indra Lorenly

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD. Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 1. RAHMAT, S.H.,M.H 2. JUNINDRA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG HIBAH DAERAH DI INDONESIA. A. Pengaturan Tentang Hibah Daerah di Indonesia

BAB II PENGATURAN TENTANG HIBAH DAERAH DI INDONESIA. A. Pengaturan Tentang Hibah Daerah di Indonesia BAB II PENGATURAN TENTANG HIBAH DAERAH DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Hibah Daerah di Indonesia 1. Pengaturan Hibah dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pelaksanaan otonomi di daerah bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi bidang pemerintahan daerah salah satunya adalah tuntutan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu sendiri, terutama optimalisasi peran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat bukan sekedar antithesis terhadap kolonialisme, melainkan membawa berbagai cita-cita, gagasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Unsur penting dalam negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive power) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN A. Tinjauan Umum tentang Wewenang 1. Pengertian Wewenang Pelaksanaan tugas oleh setiap pejabat pemerintahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara 187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 Juli 2008 Pukul : 08.30 WIB Tempat : Balai Petitih Kantor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

Lebih terperinci

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan No.179, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ORGANISASI. Arsitek. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap

Lebih terperinci

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN Bahan Rapat Tgl 23 Oktober 2017 PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN I. Pendahuluan Pimpinan Komisi IX DPR RI melalui Surat Nomor: LG/17843/DPR

Lebih terperinci

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM * MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM * DPR-RI dan Pemerintah telah menyetujui RUU Desa menjadi Undang- Undang dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 18 Desember

Lebih terperinci

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara.. & Apakah KONSTITUSI? 1. Akte Kelahiran suatu Negara-Bangsa (the birth certificate of a nation state); 2. Hukum Dasar atau hukum yang bersifat fundamental sehingga menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN DI ERA OTONOMI DAERAH 1 Oleh : Gabriela Georgeinia Voges 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Pemerintah Daerah mempunyai

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci