Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 ISSN:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 ISSN:"

Transkripsi

1 Volume 15 Nomor Desember 014 ISSN: Perbandingan Karakteristik Scanner Vidar Dosimetrypro Advantage dan Epson Perfectio V700 Berbasis Dosimetri Film Radiochromic EBT A.S. Miharja, S.A. Pawiro Perbandingan Dosis Radiasi di Permukaan Kulit pada Pasien Thorax Terhadap Dosis Radiasi di Udara dengan Sumber Radiasi Pesawat Sinar-X D. Milvita, N.L. Gemi, H. Prasetio, D.D. Kusumawati, H. Yuliati, Suyati Karakterisasi Masker Termoplastik Sebelum dan Sesudah Radiasi Y. Nurhamiyah, Dr Ariadne L. Juwono Ph.D, Prof Dr. Djarwani S. Soejoko Karakterisasi Material Bahan Fiksasi A. Ramadhan, A.L. Juwono, D.S. Soejoko Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan K + p K. Trisnayadi Asimetri Isospin pada Materi Quark A.I. Qauli, A. Sulaksono Bound State Solution of Dirac Equation for Scarf Potential with New Tensor Coupling Potential for Spin and Pseudospin Symmetries Using Nikiforov-Uvarov Method U.A. Deta, A. Suparmi, C. Cari Tortuositas pada Model 3D Batuan Berpori Firmansyah, S. Feranie, F.D.E. Latief, P.F.L. Tobing Sifat Magnetik Sedimen Sungai sebagai Indikator Pencemaran (Studi Kasus: Sungai Citarum Kabupaten Karawang) K.H. Kirana, D. Fitriani, E. Supriyana, E. Agustine Karakterisasi Reservoar Batupasir pada Lapangan SG Menggunakan Inversi Acoustic Impedance (AI) dan Elastic Impedance (EI) F. Akbar, S. Rosid Penyesuaian Kurva Model Dinamis Landau-Khalatnikov Pada BZT M. Hikam, Septian Rahmat Adnan, Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT Fotoproduksi η-meson Pada Nukleon Dengan Model Isobar Maya Puspitasari Izaak, Agus Salam

2 SPEKTRA JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA Volume 15 Nomor Desember 014 ISSN: Perbandingan Karakteristik Scanner Vidar Dosimetrypro Advantage dan Epson Perfectio V700 Berbasis Dosimetri Film Radiochromic EBT A.S. Miharja, S.A. Pawiro Perbandingan Dosis Radiasi di Permukaan Kulit pada Pasien Thorax Terhadap Dosis Radiasi di Udara dengan Sumber Radiasi Pesawat Sinar-X D. Milvita, N.L. Gemi, H. Prasetio, D.D. Kusumawati, H. Yuliati, Suyati Karakterisasi Masker Termoplastik Sebelum dan Sesudah Radiasi Y. Nurhamiyah, Dr Ariadne L. Juwono Ph.D, Prof Dr. Djarwani S. Soejoko Karakterisasi Material Bahan Fiksasi A. Ramadhan, A.L. Juwono, D.S. Soejoko Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan K + p K. Trisnayadi Asimetri Isospin pada Materi Quark A.I. Qauli, A. Sulaksono Bound State Solution of Dirac Equation for Scarf Potential with New Tensor Coupling Potential for Spin and Pseudospin Symmetries Using Nikiforov- Uvarov Method U.A. Deta, A. Suparmi, C. Cari Tortuositas pada Model 3D Batuan Berpori Firmansyah, S. Feranie, F.D.E. Latief, P.F.L. Tobing

3 Sifat Magnetik Sedimen Sungai sebagai Indikator Pencemaran (Studi Kasus: Sungai Citarum Kabupaten Karawang) K.H. Kirana, D. Fitriani, E. Supriyana, E. Agustine Karakterisasi Reservoar Batupasir pada Lapangan SG Menggunakan Inversi Acoustic Impedance (AI) dan Elastic Impedance (EI) F. Akbar, S. Rosid Penyesuaian Kurva Model Dinamis Landau-Khalatnikov Pada BZT M. Hikam, Septian Rahmat Adnan, Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT Fotoproduksi η-meson Pada Nukleon Dengan Model Isobar Maya Puspitasari Izaak, Agus Salam Diterbitkan oleh: Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta

4 SPEKTRA JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA Volume 15 Nomor Desember 014 ISSN: Penanggung jawab Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta Dewan Redaksi Ketua Sekretaris Anggota Penyunting ahli Penyunting pelaksana Sekretariat : Prof. Dr. Agus Setyo Budi, M.Sc : Teguh Budi Prayitno, M.Si : Hadi Nasbey, M.Si Drs. Anggoro Budi Susilo, M.Si Dr. I Made Astra, M.Si Dr. Sunaryo, M.Si : Dr. Erlan Rosyadi (BPPT) Dr. Artoto Arkundato (UNEJ) Dr. Yudiakto Pramudya (UAD) Dr. Supriyanto (UI) Dr. Yoga Divayana (NTU) Prof. Agus Setyo Budi, M.Sc (UNJ) Dr. Mangasi A. Marpaung, M.Si (UNJ) Dr. rer nat. Bambang Heru Iswanto, M.Si (UNJ) Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc (UNJ) Dr. Esmar Budi (UNJ) Dr. Erfan Handoko (UNJ) : Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc Teguh Budi Prayitno, M.Si : Umiatin, M.Si Pengantar redaksi Spektra merupakan jurnal Fisika dan aplikasinya terbit setahun dua kali dan dibuat untuk mewadahi dan mempublikasikan hasil riset dan review yang belum pernah dipublikasikan di terbitan lain. Penerbit: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta Kampus B Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun Jakarta 130 Telp

5 PENGANTAR REDAKSI Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor Desember 014 dapat diterbitkan. Spektra diterbitkan dua kali dalam setahun dan berisi artikel-artikel ilmiah di bidang Fisika antara lain teori, material, medis, geofisika, optik, instrumentasi serta hasil-hasil penelitian lain yang berhubungan dengan fisika. Kehadiran Spektra merupakan wadah publikasi hasil penelitian di bidang ilmu fisika dan aplikasinya yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi perkembangan di bidang fisika. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh penulis artikel sehingga Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor Desember 014 dapat diterbitkan. Dewan redaksi

6 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 PERBANDINGAN KARAKTERISTIK SCANNER VIDAR DOSIMETRYPRO ADVANTAGE DAN EPSON PERFECTIO V700 BERBASIS DOSIMETRI FILM RADIOCHROMIC EBT Ari Surya Miharja 1*), Supriyanto Ardjo Pawiro 1 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 1644 * ) ari.surya@ui.ac.id Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk menentukan karakteristik dasar dari scanner yang digunakan untuk dosimetri film radiochromic EBT.Dalam penelitian ini digunakan scanner Vidar DosimetryPro Advantage dan Epson Perfection V700. Pengujian yang dilakukan meliputi uji konsistensi scanner, uji variasi film to film, uji uniformitas scanner, uji efek orientasi film, uji suhu ruang penyimpanan film, uji fading film dan uji noise film/scanner. Scanner diuji menggunakan film EBT yang telah dipapar radiasi menggunakan Linac dengan modalitas foton 6 MV. Film mempunyai 8 buah lapangan berukuran 3 cm x 3 cm dengan dosis dari 31,31 50,48 cgy. Software yang digunakan untuk menganalisa hasil bacaan scanner adalah ImageJ dan FilmQA Pro. Dari hasil pengujian didapatkan konsistensi Vidar mode Logarithmic lebih baik dengan standar deviasi (SD) kurang dari 0,06%, sedangkan standar deviasi Epson mencapai 0,40%. Uniformitas Vidar juga lebih baik dengan SD kurang dari 0,76% dibandingkan Epson yang mencapai 1,16%. Orientasi film cukup berpengaruh terhadap hasil bacaan, terutama pada Epson, sehingga orientasi film harus konstan selama pemindaian.performa Vidar secara keseluruhan lebih bagus daripada Epson terutama saat red channel saja yang dianalisa. Kata kunci dosimetri. 1. Pendahuluan : film radiochromic EBT, film scanner, Vidar DosimetryPro Advantage, Epson Perfection V700, film Film GafChromic EBT (GAF-EBT: International Speciality Products, Wayne, NJ) sebagai film radiochromic sering digunakan untuk radioterapi dan memiliki rentang dosis serap mencapai 0,01 40 Gy. Film ini dapat diukur dengan densitometer transmisi, pemindai film, atau spektrofotometer. Ketika bagian komponen aktif film terpapar radiasi, maka akan terbentuk polimer berwarna biru dengan absorpsi maksimum sekitar 636 nm dan 585 nm. Akibatnya tanggapan dari film dosimetri ditingkatkan oleh pengukuran dengan sinar merah karena sinar warna merah memiliki panjang gelombang dengan jangkauan sekitar nm. Tanggapan terbaik terhadap film akan didapatkan jika film dipindai dengan mode transmisi. Selain itu tanggapan spektral dari alat pindai harus cocok dengan absorbansi dari film [1]. Saat ini ada dua tipe alat pindai yang biasa digunakan untuk dosimetri film, scanner khusus film radiochromic dan flatbed document scanner. Salah satu contoh alat pindai khusus film radiochromic adalah Vidar DosimetryPro Advantage (RED) dengan sumber cahaya LED merah. Bila dibandingkan dengan alat pindai lain, salah satu kelebihannya yaitu LED pada alat ini memiliki emisi maksimum dengan panjang gelombang mendekati 630 nm sehingga sangat cocok dengan spectral maksimum film EBT (Lewis). Meskipun tidak dirancang secara khusus untuk dosimetri film radiochromic, flatbed document scanner sebelumnya sudah sering digunakan untuk pengukuran di berbagai aplikasi dosimetri film. Salah satu jenis flatbed document scanner yang menangkap warna dengan rinci dan presisi yaitu scanner EPSON dengan tipe Perfection V700. Alat pindai ini menghasilkan akurasi dan reprodusibilitas yang bagus sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan [].Hasil yang didapatkan dari kedua scanner tersebut dapat diolah dengan menggunakan beberapa software seperti Image processing and analysis in Java (ImageJ) dan FilmQA Pro.Kedua software tersebut dapat menampilkan pixel value yang dibutuhkan untuk menganalisa hasil pemindaian film yang dilakukan.. Metode Penelitian.1. Scanner Scanner yang diuji pada penelitian ini adalah Vidar DosimetryPro Advatage dan Epson Perfection V700 seperti terlihat pada Gambar 1. Meskipun tidak dirancang khusus untuk dosimetri film radiochromic seperti Vidar, menurut beberapa penelitian performa Epson untuk kebutuhan dosimetri cukup memuaskan sehingga dapat menggantikan fungsi dari scanner khusus film radiochromic seperti Vidar [,3]. Vidar menggunakan detektor CCD linier dan sumber cahaya LED dengan emisi maksimum 67 nm. Sumber cahaya ini sangat cocok dengan absorpsi puncak dari film EBT yakni 635 nm [1]. 61

7 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar 1.Scanner Vidar DosimetryPro Advantage (kiri) dan Epson Perfection V700. Scanner Vidar mampu memindai film dengan dimensi maksimum 35,6 cm x 43, cm. Film yang dipindai nantinya akan bergerak, sehingga film harus dipindahkan lagi secara manual untuk melakukan pemindaian ulang. Hal ini menyebabkan pemindaian ulang film pada posisi yang persis sama tidak bisa dilakukan.vidar memiliki kemampuan untuk melakukan pemanasan secara otomatis dan rutin untuk memastikan bahwa sumber cahaya selalu siap dan stabil untuk setiap pemindaian. Epson V700 menggunakan sumber cahaya fluoresens dengan spektrum emisi broadband dan detektor CCD linier.untuk dosimetri film, mode yang digunakan adalah mode transmisi.epson V700 tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kalibrasi secara otomatis seperti Vidar.Namun, sumber cahaya pada V700 diasumsikan telah stabil setelah dilakukan beberapa pemindaian awal tersebut [3]... Film Uji Film GafChromic EBT yang telah disiapkan akan dipapar dengan mengadaptasi teknik kalibrasi film yang dilakukan oleh Childress et. al.. Lapangan yang dibentuk ada delapan buah kotak dengan ukuran masing masing lapangan 3 cm x 3 cm dengan variasi dosis antara 30, 60, 90, 10, 150, 180, 10 dan 40 MU seperti terlihat pada Gambar 3.8. Penyinaran dilakukan menggunakan Varian CLINAC RapidArc dengan modalitas foton berenergi 6 MV.Film diletakkan tegak lurus dengan arah datangnya sinar pada jarak 100 cm source to axis distance (SAD) dan pada kedalaman 10 cm solid water seperti yang terlihat pada Gambar 3. Keluaran energi yang dikeluarkan oleh Linac tersebut pada foton 6 MV adalah 1,0 cgy/mu. Oleh karena itu, pada dosis yang diterima masing masing lapangan bervariasi antara 31,31 50,48 cgy. Skema penyinaran yang lebih jelas terlihat pada Gambar. Penyinaran yang dilakukan adalah sama untuk tiap film. Penambahan 10 cm solid water lagi di bawah film bertujuan untuk menciptakan hamburan balik (backscatter). Penyinaran dilakukan dalam hari yang sama dan dengan selang waktu penyinaran tiap film tidak terlalu lama. Gambar. Skema penyinaran film.3. Pemindaian Film Film yang diuji (lihat Gambar 3) berukuran 0,3 cm x 5,4 cm dan lebih kecil daripada ukuran maksimum film yang dapat dipindai oleh kedua scanner yang digunakan. Pada Vidar, posisi film yang dipindai diletakkan di pojok kiri agar didapatkan posisi film yang lebih stabil saat dilakukan pemindaian. Ada sedikit perbedaan sekitar kurang dari dua persen saat film dipindai di bagian pinggir dan di bagian tengah [1].Jika pada Vidar posisi film diletakkan di bagian pinggir, pada Epson V700 film yang dipindai diletakkan di bagian tengah bed scanner.resolusi yang digunakan adalah 150 dpi untuk kedua scanner.hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan ukuran piksel yang kecil dengan peningkatan waktu pemindaian dan keseluruhan ukuran dari citra yang dihasilkan [3]. Pada saat memindai dengan Epson V700, dilakukan sepuluh pemindaian awal tanpa film untuk setiap sesi pemindaian.hal ini dilakukan untuk menstabilkan sumber cahaya pada scanner.selain itu juga, semua fitur terkait peningkatan gambar pada Epson dimatikan agar didapatkan data yang sesuai. Keseluruhan orientasi film saat pemindaian adalah portrait dan akan dianalisa menggunakan dua buah software yaitu ImageJ dan FilmQA Pro. Gambar 3.Contoh film yang diuji 6

8 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar yang diperoleh dari kedua scanner kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ dan FilmQA Pro. Untuk setiap film yang telah dipapar akan diukur nilai piksel dengan area 5 mm x 5mm dari delapan lapangan radiasi yang ada. Area pengukuran tersebut sudah mampu memberikan statistik yang cukup bagus dan cukup kecil untuk menghindari efek penumbra yang ada di sekitar lapangan radiasi.data yang sudah didapatkan kemudaian nantinya diolah untuk dicari nilai standar deviasi dari tiap pengukuran menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. 3. Pengujian Scanner 3.1. Uji Konsistensi Dalam pengujian konsistensi untuk masing masing scanner dilakukan pemindaian terhadap satu buah film yang telah dipapar dan satu buah film yang belum dipapar. Proses pengujian ini dilakukan sekali tiap harinya dan berlangsung selama ± 3 bulan. Selain itu, pada salah satu hari juga dilakukan pengukuran terhadap film yang telah dipapar tersebut sebanyak sepuluh kali secara berurutan. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi dari hasil pemindaian scanner pada film yang sama. Untuk setiap wilayah dosis akan diambil nilai rata rata pikselnya. Pengujian ini juga akan melibatkan kesalahan yang dilakukan saat menentukan area ROI karena satu buah film yang sama digunakan untuk seluruh pemindaian sehingga standar deviasi yang didapatkan merupakan hasil dari pengukuran konsistensi scanner dan pemilihan lokasi dari ROI. 3.. Uji Uniformitas Satu buah film EBT yang belum terpapar radiasi dipindai dengan orientasi portrait menggunakan kedua buah scanner.profil horisontal dan vertikal diambil dari bagian tengah film dan rata rata nilai piksel dihitung sepanjang profil tersebut.tes ini mengasumsikan bahwa film yang belum dipapar memiliki densitas optik yang seragam pada seluruh bagian.profil horisontal menggambarkan uniformitas dari kombinasi cahaya dan sistem detektor sepanjang daerah pemindaian.profil vertikal dari film yang belum dipapar mengukur uniformitas dari tanggapan detektor dalam sebuah pemindaian dan stabilitas dari sumber cahaya berlawanan dengan bagian tertentu dari detektor Uji Efek Orientasi Film Densitas optik dari sebuah film EBT yang dipindai menggunaka scanner Vidar dan Epson mengalami perbedaan nilai ketika pemindaian dilakukan dengan orientasi film yang berbeda (Matney, 010). Film EBT yang merupakan pengembangan dari film EBT pun perlu diperhatikan terkait efek orientasi film saat dipindai secara portraitmaupun landscape. Orientasi portrait didefinisikan sebagai bagian panjang film yang tegak lurus dengan sumber cahaya dari scanner. Di sisi lain, orientasi landscape ditentukan sebagai bagian panjang dilm yang paralel dengan sumber cahaya scanner. Tanggapan film pada area yang dipapar dalam kedua orientasi tersebut dibandingkan dalam perbedaan persen.orientasi portrait digunakan sebagai referensi karena seluruh pemindaian lainnya dilakukan dengan orientasi ini Uji Suhu Ruang Penyimpanan Film EBT yang sudah dipapar sebaiknya disimpan dalam ruangan yang sama seperti saat sebelum dipapar. Namun, dalam penelitian kali ini akan dilihat perbedaan tanggapan film yang disimpan dalam ruangan berbeda selama ± 1 bulan. Perbedaan suhu diamati pada suhu ruangan ºC dan 4ºC.Pemindaian ini melibatkan dua buah film yang disimpan pada suhu ruangan ºC dan 4 ºC Uji Variasi Film to Film Variasi diantara film dalam batch yang sama diukur untuk mengevaluasi sensitivitas scanner terhadap variasi film. Lima film yang digunakan ini sebelumnya dipapar secara berurutan dalam satu sesi untuk mengurangi variasi dari output Linac yang digunakan. Oleh karena itu, tiap film akan menerima dosis yang sama dalam tiap area lapangan yang sudah ditentukan. Untuk delapan lapangan yang ada, dilakukan pengukuran rata rata tanggapan film dan standar deviasi dari tanggapan film.perbandingan bacaan terhadap kelima buah film tersebut yang dijadikan acuan pengujian ini Uji Fading Film Fading dalam bahasa indonesia diartikan sebagai pemudaran. Dalam penelitian ini, fading film dimaksudkan sebagai proses pengaburan warna dari film yang belum terpapar sebagai akibat dari pengaruh sumber cahaya yang dikeluarkan oleh scanner yang mengenail film tersebut. Dua buah film yang belum dipapar digunakan dengan masing masing dipindai oleh Vidar dan Epson selama satu bulan Uji Noise Film/Scanner Lima buah film yang telah dipapar yang digunakan untuk menguji konsistensiscannerdan variasi film to film digunakan untuk pengukuran keseluruhan noise.pengukuran noise ini menggabungkan variasi scanner, film dan penyinaran dan memberikan presisi dari pengukuran nilai piksel sebagai fungsi dosis.pengukuran noise dari film/scanner diambil untuk menjadi standar deviasi dari seluruh piksesl yang ada di pusat wilayah ROI 5 mm x 5 mm. 63

9 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Dosis (MU) ImageJ FilmQA Pro Log Sqrt Epson Log Sqrt Epson Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Standar Deviasi (%) Hasil dan Pembahasan 4.1. Uji Konsisten Hasil uji konsistensi dapat dilihat pada Tabel 1 menyatakan bahwa scanner Vidar dengan mode Logarithmic menghasilkan nilai standar deviasi yang lebih kecil yaitu sebesar 0,06% dibandingkan Vidar dengan mode SQRT dan Epson yang menghasilkan masing masing nilai standar deviasi maksimum sebesar 0,38% dan 0,40%. Penurunan nilai piksel pada Vidar saat mode Logarithmic lebih sedikit dibandingkan dengan Vidar dengan mode SQRT dan Epson.Dapat disimpulkan bahwa antara Vidar SQRT dan Epson menghasilkan nilai bacaan yang mirip meskipun berbeda hasil bacaan nilai piksel. Pada Vidar, hal ini juga menandakan bahwa penggunaan mode yang berbeda menghasilkan pengaruh penurunan nilai piksel yang berbeda. Hal ini terjadi pada evaluasi terhadap film yang sudah dipapar dan film yang belum dipapar. 4.. Uji Uniformitas Dari hasil analisa yang didapat menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro pada profil horisontal film terlihat ada artefak yang muncul terutama di bagian ujung kanan dan kiri film.pada Vidar terlihat adanya non-uniformitas di bagian kiri film saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal ini terjadi karena proses pemindaian film yang dilakukan terhadap bagian sisi kiri Vidar. Rata rata nilai pikselnya mencapai 40.43,5 dan 40.09,74 dengan menghasilkan standar deviasi sebesar 0,76 % dan 0,64 % saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal berbeda pada Epson terlihat adanya non-uniformitas di bagian kanan dan kiri film tetapi tidak di bagian tengah. Nilai rata rata piksel yang didapatkan sebesar ,89 dan ,75 dengan standar deviasi sebesar 1,16 % dan 1,14 % saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Pada uji uniformitas ini, dengan mengabaikan uniformitas dari film yang digunakan, terdapat nonuniformitas yang dihasilkan oleh scanner yang digunakan.dari hasil didapatkan bahwa daerah pemindaian yang terbaik adalah bagian tengan scanner. Non-uniformitas terbesar yang dihasilkan Vidar sebesar 0,76% sedangkan pada Epson sebesar 1,16%. Keduanya didapatkan dari profil horisontal.hasil ini masih cukup baik karena menurut pabrik pembuatnya, film EBT memiliki variasi uniformitas sebesar ± 1%.Epson sebaiknya digunakan untuk memindai film dengan ukuran yang tidak terlalu besar sehingga dapat memaksimalkan bagian tengah dari bed scanner Uji Efek Orientasi Film Efek dari orientasi film ditunjukkan pada Tabel.Tabel tersebut menunjukkan persentase perbedaan bacaan yang didapatkan karena perbedaan orientasi film saat dipindai. Nilai terbesar terdapat pada Epson dengan nilai suseptibilitas mencapai 10,65% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Nilai suseptibilitas maksimum dari Vidar dengan mode Logarithmic dan SQRT mencapai 0,67% dan 3,0%. Nilai yang lebih besar pada Epson bisa terjadi karena proses analisa film hanya menyertakan red channel saja sehingga channel lain tidak dianalisa [3]. Pada pengujian efek orientasi film, Vidar memunculkan hasil yang jauh lebih bagus dibandingkan Epson, hal ini kemungkinan terjadi karena hanya dilakukan analisa terhadap red channel saja.film hasil pemindaian menggunakan Epson menghasilkan gambar RGB yang berarti memiliki tiga buah channel yaitu red, green dan blue.oleh karena itu, saat dilakukan single channel dosimetry, hasil yang maksimal tidak bisa didapatkan dari Epson. ImageJ FilmQA Pro Dosis Epson Vidar Epson Vidar Sqrt (MU) (%) Sqrt (%) (%) (%) Uji Suhu Ruang Penyimpanan 64

10 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Nilai penurunan terbesar pada film yang dipindai dengan Vidar pada suhu ºC sebesar 881 dan 879 saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro, sedangkan pada Epson terjadi penurunan maksimum sebesar 955 dan 971. Lalu, pada suhu 4 ºC terjadi penurunan maksimum sebesar 1393 dan 1379 saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal lain terjadi pada Epson dimana penurunan maksimum yang didapatkan sebesar 1435 dan 137. Secara keseluruhan, perbedaan yang terbesar dihasilkan saat menggunakan Vidar, yaitu terdapat perbedaan sebesar ± 514 nilai piksel, sedangkan pada Epson terdapat perbedaan ± 500 nilai piksel. Hal ini menandakan bahwa suhu ruang penyimpanan film cukup berpengaruh terhadap hasil pemindaian meskipun masih berada pada rentang suhu yang disarankan Uji Variasi Film to Film Pengujian ini mirip dengan pengujian terhadap konsistensi scanner, hanya saja kali ini dilakukan pemindaian yang berulang dengan lima buah film yang berbeda. Hasil yang didapatkan sedikit berbeda, kali ini standar deviasi yang dihasilkan Vidar mencapai 0,% dan 0,0% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Di sisi lain, pada Epson mencapai 0,71% dan 0,73%. Hal ini menunjukkan bahwa bacaan terhadap tiap film pada batch yang sama juga memiliki perbedaan. Nilai ini akan berpengaruh terhadap penentuan kurva kalibrasi film yang berasal dari batch yang sama Uji Fading Film Pengujian fading film ini memunculkan nilai penurunan rata rata piksel yang diakukan terhadap dua buah scanner.penurunan nilai pada Epson mencapai 700 piksel sedangkan pada Vidar mencapai hampir 900 piksel.hal ini menunjukkan bahwa Vidar Sqrt memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap film yang belum dipapar. Pada Vidar Sqrt didapatkan rata rata penurunan nilai piksel sebesar 51,84 dan 31,46 nilai piksel per pekan saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Nilai yang lebih kecil dihasilkan Epson dengan penurunan sebesar 193,93 dan 05,8 nilai piksel per pekan. Penurunan yang terjadi per pekannya pun semakin lama semakin berkurang, sehingga waktu pemindaian film memang cukup berpengaruh terhadap hasil bacaan nilai piksel film Uji Noise Film/Scanner Vidar menghasilkan nilai standar deviasi maksimum mencapai 0,33% dan 0,8% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro, sedangkan pada Epson hanya mencapai 0,09% dan 0,10%. Nilai yang didapat pada Epson cukup berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian sebelumnya yang juga menggunakan Epson V700, yaitu sebesar 0,30% [3]. Noise yang lebih besar pada Vidar kemungkinan besar disebabkan karana pada saat pemindaian film bergerak sehingga memungkinkan bergesernya posisi film saat dipindai. Secara keseluruhan, noise yang didapatkan pada penelitian kali ini tentunya juga termasuk kepada kesalahan pada saat menentukan ROI sebesar 5 mm x 5 mm pada ImageJ dan FilmQA Pro. Penentuan area yang berbeda dapat menghasilkan bacaan nilai piksel yang berbeda sehingga akan menetukan nilai dosis yang ditentukan melalui kurva kalibrasi 5. Kesimpulan dan Saran Secara keseluruhan Vidar DosimetryPro Advantage unggul dalam pengujian ini.hasil yang didapatkan terkait uji konsistensi, uji variasi film to film, uji uniformitas dan uji efek orientasi film pada Vidar lebih bagus dibandingkan Epson Perfection V700.Epson hanya unggul pada uji noise filmdengan menghasilkan noise dengan standar deviasi yang jauh lebih kecil. Pada uji fading film, Vidar DosimetryPro Advantage menghasilkan penurunan nilai piksel film sebesar 05,8 per pekan, sedangkan Epson V700 sebesar 193,93 nilai piksel per pekan. Hal ini diakibatkan pengaruh sumber cahaya yang dikeluarkan oleh scanner.suhu ruang penyimpanan film juga cukup berpengaruh terhadap penurunan hasil bacaan nilai piksel film. Untuk selanjutnya diperlukan pengujian menggunakan film EBT3 yang memiliki komposisi lapisan yang seimbang agar tidak menimbulkan ketidakpastian orientasi film saat dipindai.selain itu juga berikan rentang dosis yang lebih besar lagi dari 50 cgy, bila perlu sampai 10 Gy serta lakukan pengujian dengan dpi yang berbeda.variasi suhu ruang penyimpanan juga perlu dilakukan untuk melihat perbedaan hasil bacaan. Daftar Acuan [1] Lewis, D. F. Performance of the Vidar Red LED Dosimetry Pro Advantage : A scanner optimized for use with GAFCHROMIC EBT Dosimetry Film. (007). International Speciality Products: Wayne, NJ. [] Alnawaf, H., Yu, P. K. N. & Butson, M. Comparison of Epson scanner quality for radiochromic film evaluation. Journal of Applied Clinical Medical Physics (01), 13 (5), [3] Matney, J. E., et al. Evaluation of a commercial flatbed document scannerand radiographic film scanner for radiochromic EBT film dosimetry. Vol 11, No.Medical Physics (010). 65

11 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN KULIT PADA PASIEN THORAX TERHADAP DOSIS RADIASI DI UDARA DENGAN SUMBER RADIASI PESAWAT SINAR-X Dian Milvita 1*), Nola Leona Gemi 1, Heru Prasetio, Dyah Dwi Kusumawati, Helfi Yuliati, Suyati 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau manis, Padang dan 5163 PTKMR BATAN, Jakarta Selatan * ) d_milvita@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran dosis radiasi permukaan kulit yang diterima pasien thorax terhadap dosis radiasi di udara dari penyinaran pesawat sinar-x.penelitian ini menggunakan TLD-100 sebagai alat ukur radiasi. Pengambilan data dilakukan di salah satu rumahsakit di Kota Padang dengan cara mengumpulkan 18 orang data pasien yang menjalani pemeriksaan thorax untuk pengukuran dosis radiasi di permukaan kulit dan styrofoam untuk pengukuran dosis radiasi di udara dengan menvariasikan tegangan mulai dari 40 kv sampai 70 kv, Hasil penelitian untuk pengukuran dosis radiasi di permukaan kulit (Entrance Surface Dose / ESD), minimum adalah 0,68 mgy dan maksimum adalah 0,736 mgy dengan ESD rata-rata adalah 0,497 mgy. Selanjutnya, untuk pengukuran dosis radiasi di udara untuk kondisi thorax, nilai minimum adalah sebesar 0,333 mgy dan nilai maksimum adalah sebesar 0,53 mgy dengan rata-rata 0,455 mgy.dari perbandingan kedua dosis radasi ini, didapatkan nilai backscatter factor yang bervariasi, tetapi nilai ini tidak berbeda jauh dengan data TRS (Technical Reports Series) IAEA No Kata kunci :Backscatter factor, dosis radiasi di permukaan kulit, dosis radiasi di udara, Entrance Surface Dose. 1. Pendahuluan Sejak pesawat sinar-x ditemukan oleh W. C. Rontgen, telah banyak manfaat yang diterima manusia. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan pesawat sinar-x seperti pemeriksaan femur, skull, lungs, abdomen, cervic, pelvis dan thorax. Pemeriksaan menggunakan pesawat sinar-x tidak hanya memberikan efek positif tetapi juga efek negatif terhadap tubuh pasien. Jika pasien menerima paparan radiasi melebihi nilai batas dosis radiasi maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan sel-sel tubuh. Oleh karena itu banyak penelitian yang berhubungan dengan pesawat sinar-x dilakukan, diantaranya: pengukuran keluaran pesawat sinar-x untuk estimasi dosis radiasi pada pemeriksaan thorax, abdomen dan skull [1], perbandingan karakterisasi keluaran pesawat sinar-x Toshiba model DRX-184 B dan Toshiba model DRX-1603 B [] dan perbandingan dosis radiasi di udara terhadap dosis radiasi di permukan fantom [3]. Perbandingan dosis radiasi di permukaan kulit pasien thorax terhadap dosis radiasi di udara juga perlu dilakukan, hal ini sebagai tujuan proteksi radiasi terhadap pasien. merek Toshiba pada salah satu rumah sakit di kotapadang. Pesawat sinar-x merek Toshiba Unit DRX-184B ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Pesawat sinar-x merek Toshiba Unit DRX-184B. TLD-100 digunakan untuk mengukur dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-x untuk pemeriksaan thorax, baik dipermukaan kulit pasien maupun di udara.tld-100 diitunjukkan pada Gambar.. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada pesawat sinar-x 66

12 Dosis radiasi di permukaan kulit (mgy) Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar.TLD-100 Gambar 3. TLD- Reader TLD - reader digunakan untuk membaca TLD-100, ditunjukkan pada Gambar 3. Pada penelitian ini dilakukan dua pengukuran dosis radiasi, yaitu dipermukaan kulit pasien dan di udara. Persiapan serta pembacaan TLD- 100 dilaksanakan diptkmr BATAN Jakarta.Skema pengukuran dosis radiasi dipermukaan kulit pasien ditunjukkan pada Gambar.4. Skema pengukuran dosis radiasi di udara ditunjukkan pada Gambar 5. TLD-100 Styrofoam Tabung sinar-x Gambar 4. Skema pengukuran dosis radiasi pada udara menggunakan TLD-100 Gambar 5. Skema pengukuran dosis radiasi di pasien menggunakan TLD Hasil dan Pembahasan Gambar 6 menunjukkan hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien thorax terhadap tegangan tabung sinar-x tegangan (kv) y = 0.081x R² = dosis radiasi Gambar 6. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien terhadap tegangan tabung sinar-x 67

13 Dosis radiasi (mgy) Dosis radiasi di permukaan kulit (mgy) Dosis radiasi di udara (mgy) Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar 7 menunjukkan hubungan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-x. Gambar 8 menunjukkan hubungan radiasi dipermukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara. Gambar 9 menunjukkan perbandingandosis radiasi di permukaan kulit pada pasien thorax dan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-x Tegangan (kv) y = x R² = Dosis radias di udara Gambar 7. Hubungan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-x y = x R² = dosis radiasi pada tegangan berbeda Dosis radiasi di udara (mgy) Linear (dosis radiasi pada tegangan berbeda) Gambar 8. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara Tegangan (kv) Dosis radiasi di permukaan kulit Dosis radiasi di udara Gambar 9.Perbandingan nilai dosis radiasi di permukaan kulit pasien dan dosis radiasi di udara terhadap tegangan. 68

14 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar 6 menunjukkan bahwa dosis radiasi yang diterima pasien bervariasi. Hal ini disebabkan oleh tegangan yang diberikan, massa dan tinggi pasien yang bervariasi, karena dengan bertambah tinggi badan dan massa badan maka tegangan akan semakin tinggi dan dosis yang diterima semakin besar. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hubungan linier antara dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-x terhadap tegangan yang berikan sehingga membentuk persamaan garis lurus dengan y = 0,08x 1,308 dan rasio R = 0,478. Nilai ratarata dari dosis radiasi yang terserap oleh TLD-100 adalah 0,497 mgy dengan dosis radiasi minimum 0,68 mgy dan dosis radiasi maksimum 0,736 mgy. Gambar 7 menunjukkan bahwa besarnya tegangan sangat berpengaruh terhadap dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-x. Hal ini terlihat jelas dari persamaan garis lurus dari dosis radiasi di udara dan tegangan yang mendekati nilai 1, dimana y= 0,017x 0,491 dan R = 0,98. Nilai rata-rata radiasi yang terserap TLD-100 adalah 0,47 mgy dengan dosis radiasi minimum adalah 0,345 mgy dan dosis radiasi maksimum adalah 0,537 mgy. Gambar 8 menunjukkan bahwa dosis radiasi di permukaan kulit pasien akan semakin besar seiring meningkatnya dosis radiasi di udara. Hal ini terjadi karena variasi tegangan pada pesawat sinar-x yang diberikan semakin meningkat. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada tegangan 47 kv hingga 53 kv nilai dosis radiasi pada pengukuran di udara lebih besar daripada nilai dosis radiasi pada pengukuran di permukaan kulit.namun, pada tegangan 55 kv dan 57 kv nilai dosis radiasi pada pengukuran di permukaan kulit melebihi nilai dosis radiasi pada pengukuran di udara.hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran dengan tegangan tinggi, dosis radiasi semakin besar dan mengakibatkan terjadinya hamburan balik (backscatter factor).radiasi yang terhambur tersebut kembali terserap oleh TLD Nilai backscatter factor diperoleh dari perbandingan antara Entrance Surface Dose terhadap Incident Air Kerma. Dalam kajian ini nilai dosis radiasi di permukaan kulit merupakan nilai Entrance Surface DoseatauEntrance Surface Air Kermadan nilai dosis radiasi di udara merupakan Incident Air Kerma. Backscatter factor ditunjukkan pada persamaan (1) Nilai backscatter factor pada setiap tegangan ditunjukkan pada Tabel 1. K e = K i B (1) dimana : K e = Entrance Surface Air Kerma (ESAK) (Gy) K i = Incident Air Kerma (INAK) (Gy) B =Backscatter factor Tabel 1. Nilai backscatter factor pada setiap Tegangan No. Tegangan (kv) Backscatter factor , , , , , ,934 Tabel 1 menunjukkan nilai backscatter factor hasil penelitian, dimana nilai tersebut berada dibawah nilai yang direkomendasikan TRS IAEA No Hal ini dapat dilihat pada tegangan (47, 53, 56, dan 58) kv, sedangkan pada tegangan 55 kv dan 57 kv nilai backscatter factormendekati TRS IAEA No Hal ini disebabkan pada tegangan 47 kv, 53 kv, 56 kv dan 58 kv nilai dosis radiasi pada pasien lebih kecil dari nilai dosis radiasi di udara sehingga nilai backscatter factor yang didapatkan bernilai kurang dari 1, sedangkan pada tegangan 55 kv dan 57 kv nilai dosis radiasi pada pasien lebih besar dari nilai dosis radiasi di udara, sehingga nilai backscatter factor yang didapatkan lebih dari 1 dan mendekati nilai backscatter TRS IAEA No.457 [4]. 4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai backsatter factor (BSF) pada tegangan 47kV, 53 kv, 56 kv, dan 58 kv berada dibawah nilai BSF yang direkomendasikan oleh TRS IAEA No. 457 sedangkan pada tegangan 55kV dan 57kV, nilai backscatter factor mendekati nilai BSF TRS IAEA No

15 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Daftar Acuan [1] D. Milvita, V. Edriani, H. Prasetio, N. Nuraini, H. Yuliati, D.D. Kusumawati, Suyati, Pengukuran keluaran pesawat sinar-x untuk estimasi dosis radiasi pada pemeriksaan thorax, abdomen dan skull, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 01, Palembang (01), hal [] D. Milvita, A. Rahayu, H. Prasetio, N. Nuraini, H. Yuliati, Perbandingan karakterisasi keluaran pesawat sinar-x Toshiba model DRX-184 B dan Toshiba model DRX-1603 B, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, Padang (013), hal [3] Y.M. Zega, D. Milvita, N. Nuraini, Perbandingan dosis radiasi di udara terhadap dosis radiasi di permukan fantom pada pesawat sinar-x Konvensional, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, Padang (011), hal [4] International Atomic Energy Agency. Dosimetry In Diaaagnostic Radiology: An International Code of Practice, Technical Reports Series No. 457, Vienna (007), p

16 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 KARAKTERISASI MASKER TERMOPLASTIK SEBELUM DAN SESUDAH RADIASI Yeyen Nurhamiyah*, Dr Ariadne L Juwono Ph.D dan Prof Dr. Djarwani S. Soejoko Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok * ) yeyen.nurhamiyah@ui.ac.id Abstrak Masker fiksasi dipakai pada radioterapi sebagai salah satu alat bantu agar pasien tidak bergerak selama proses radioterapi. Masker fiksasi ini biasanya diimpoor dari luar negeri tanpa tahu kandungan bahan di dalamnya.oleh karena itu, pada penelitian ini, bahan masker fiksasi bekas pasien radioterapi dianalisa untuk diketahui jenis polimer penyusunnya. Dengan melakukan serangkaian pengujian yakni pengukuran massa jenis, X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC), Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Energy Dispersive X-Ray Spectrometry (EDAX) diketahui bahwa bahan masker fiksasi adalah polimer termoplastik Polycaprolactone. Dari hasil pengujian XRD didapat jika masker fiksasi memiliki system Kristal ortorombik dengan parameter kisi yang sedikit berbeda pada bahan yang terkena radiasi dan yang tidak terkena radiasi. Selain itu dari hasil pengujian diketahui bahwa pemakaian terus-menerus pada masker fiksasi tidak begitu mempengaruhi sifat fisik material ini. Walaupun demikian pada pengujian FTIR menunjukkan jika pada bagian bahan yang mendapat radiasi secara terus menerus akan membuat gugus CH3 menghilang dan membentuk gugus =CH. Kata Kunci : Fiksasi, Radioterapi, Polycaprolactone. 1. Pendahuluan Kebutuhan akan radioterapi sebagai salah satu metode penyembuhan kanker semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya penderita kanker di dunia. Radioterapi adalah salah satu teknik dalam penyembuhan kanker. Dalam proses radioterapi posisi pasien sangatlah penting. Oleh karena itu, keakuratan penyinaran radiasi bergantung dari posisi pasien saat terapi.hal ini digunakan agar dosis radiasi yang mengenai jaringan tubuh yang sehat dibuat seminimal mungkin dan dosis radiasi yang mengenai sel kanker semaksimal mungkin. Ketika akan melakukan terapi pasien akan diposisikan menggunakan laser atau pena dan nantinya akan dibantu oleh sebuah alat bantu bernama fiksasi. Fiksasi adalah alat bantu untuk membantu pasien agar tidak bergerak saat akan dilakukan terapi karena jika pasien bergerak maka sel-sel tubuh yang sehat akan terpapar radiasi dan ini akan lebih membahayakan pasien lagi. Fiksasi sendiri beragam tergantung dari bagian tubuh mana yang akan mendapatkan radiasi. Namun, untuk penelitian kali ini fiksasi yang dipakai adalah fiksasi yang diperuntukkan bagi pasien kanker di daerah kepala. Fiksasi jenis ini adalah material termoplastik berbentuk lembaran dimana nanti akan dilenturkan air hangat dengan suhu ±40oC kemudian setelah melunak akan dipasangkan ke bagian tubuh pasien yang akan disinari oleh radiasi elektromagetik [1]. Fiksasi ini semakin lama akan semakin mengeras dan mengikuti bentuk tubuh pasien. Hal ini mengakibatkan tubuh pasien tidak bergerak dalam proses penyinaran. Pasien yang mendapatkan terapi radiasi akan memakai masker termoplastik untuk 30 kali pemakaian. Oleh karena itu material akan mengalami perubahan sifat fisik dan setelah beberapa kali pemakaian, fiksasi ini tidak dapat dipakai secara maksimal. Untuk itu pada penelitian ini penulis mencoba untuk mengetahui beberapa perubahan sifat pada material fiksasi setelah mengalami radiasi berkali-kali melalui serangkaian pengujian Rumah sakit yang menyediakan jasa pelayanan radioterapi biasanya akan mengimpor fiksasi dari Eropa ataupun Cina. Sebab di Indonesia belum ada perusahaan yang memproduksi massal fiksasi. Dengan mengetahui komposisi penyusun fiksasi diharapkan Indonesia mampu memproduksi sendiri fiksasi sehingga akan mengurangi beban keluarga pasien karena biaya untuk radioterapi akan berkurang. pasien. Untuk itu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui komponen penyusun material fiksasi serta didapat perbedaan material fiksasi sebelum dan sesudah mendapatkan radiasi.penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi industri kesehatan dalam negeri untuk memproduksi fiksasi secara massal sehingga tidak perlu mengimpor dari luar negeri lagi.hal ini 71

17 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 ditujukan untuk mengurangi beban keluarga pasien penderita kanker terutama untuk pasien dari kalangan menengah ke bawah.selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi awal pengembangan penelitian material medis di Departemen Fisika Universitas Indonesia.. Metode Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan fiksasi penderita kanker nasofaring dengan fokus penelitian pada bagian yang terkena radiasi dan bagian yang tidak terkena radiasi secara langsung.bahan kemudian dipotong sesuai dengan kebutuhan masing-masing pengujian. Untuk menetukan jenis dan komposisi bahan dilakukan beberapa karakterisasi yakni pengukuran massa jenis bahan, FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy), XRD (X-Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Miscrocopy) + EDAX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometry) dan DSC (Differential Scanning Calorimetry). 3. Hasil dan Pembahasan Pengukuran Massa Jenis Bahan Berdasarkan pengukuran massa sampel dan perhitungan dengan rumus (3.1) didapatkan bahwa massa jenis bahan adalah gr/cm3. Angka ini masih masuk dalam kisaran massa jenis Polycaprolactone yang berkisar antara gr/cm3 [8] [10] [11]. Hasil pengukuran massa jenis bahan dapat dilihat pada tabel 1. Karakterisasi dengan DSC Karakterisasi dengan menggunakan DSC berfungsi untuk mengetahui suhu transisi masker fiksasi.selain itu juga untuk mengetahui perubahan titik leleh pada sampel radiasi dan non-radiasi.gambar 1 dan adalah hasil pengujian DSC yang diperoleh dari kedua sampel. Tabel 1.Hasil Pengukuran Massa Jenis Bahan Gambar 1 Grafik Suhu Transisi pada Sampel Radiasi Nilai suhu puncak leleh pada sampel radiasi adalah 56.7 o C. Suhu transisi gelas (Tg) tidak terdapat dalam grafik dikarenakan nilainya kurang dari 0 o C. Sementara itu entalpi perubahan (ΔHf) pada sampel ini adalah J/g. ΔHf adalah selisih antara entalpi solid dan likuid atau panas yang dibutuhkan untuk mengubah sampel padat menjadi cair Suhu transisi dan entalpi perubahan (ΔHf) pada sampel non-radiasi tidak berbeda jauh dengan sampel radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Nilai titik leleh puncak pada sampel non-radiasi adalah 56.11oC sementara untuk nilai entalpi perubahan (ΔHf) nilainya sebesar J/g. Nilai titik leleh pada sampel radiasi sedikit lebih besar bisa dikarenakan masih adanya panas yang terperangkap pada sampel akibat pemanasan saat radiasi. Walaupun pada pengujian DSC telah dilakukan pemansan yang berfungsi untuk menghilangkan perilaku panas yang telah dialami bahan sebelumnya. Hasil ini sama dengan yang ditunjukkan pada percobaan C. Pereira-Loch dkk dimana nilai Tm materal fiksasi sebelum dan sesudah mendapat radiasi tidak mengalami peubahan yang signifikan []. Nilai ini masih berada kisaran titik leleh yang berkisar antara o C. Karakterisasi dengan FTIR Berat di Udara Berat di air (g) Massa Jenis (g) Rata-rata 1.14 Gambar 3 Hasil Karakterisasi dengan FTIR pada Sampel Radiasi Karakterisasi dengan FTIR berfungsi untuk 7

18 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 mengetahui perubahan gugus fungsi pada masker fiksasi sebelum dan sesudah mendapatkan radiasi. Selain itu karakterisasi dengan FTIR juga berguna untuk mengidentifikasi material. Gambar 1 dan masing masing menunujukkan grafik FTIR pada sampel radiasi dan non-radiasi. Pada sampel radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 1 terdapat beberapa serapan pada bilangan gelombang tertentu. Serapan pada bilangan gelombang 171 cm -1 adalah milik ikatan rangkap C=O yang terdapat pada rantai karbon utama. Puncak-puncak yang berkisar diantara 1000 cm cm -1 adalah milik C-O-C. Sementara itu gugus CH terlihat pada bilangan gelombang 94 cm -1 dan 865 cm -1. Untuk sampel non-radiasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 ternyata memiliki pita serapan pada bilangan gelombang yang hampir sama dengan sampel radiasi. Hanya saja pada sampel non-radiasi terdapat gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang cm -1 namun tidak terlihat lagi pada sampel radiasi. Gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang cm -1 adalah CH3 dengan mode vibrasi bending. Ini artinya peristiwa pemberian radiasi secara terus menerus pada bahan membuat vibrasi bending CH3 hilang. Sebaliknya, pada bilangan gelombang cm -1 terdapat gugus yang menyerap radiasi infra merah pada sampel radiasi, dapat terlihat pada Gambar 3 namun tidak menyerap radiasi infra merah pada sampel non radiasi. Gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang cm -1 adalah =CH atau CH dengan ikatan rangkap yang mempunyai mode vibrasi bending. Ini berarti bahwa gugus fungsi pada CH 3 pada bilangan gelombang cm -1 hilang telah membentuk =CH pada bilangan gelombang cm -1. Gambar 9 Hasil Karakterisasi dengan XRD pada Sampel Radiasi Hasil FTIR kedua sampel menunjukkan karakter suatu polimer yang bernama Polycaprolactone (PCL). Karakterisasi dengan XRD Hasil karakterisasi XRD dari masing-masing sampel ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6. Gambar 5 menunjukkan hasil XRD sampel radiasi sementara itu untuk sampel non-radiasi ditunjukkan oleh Gambar 6. Pada kedua gambar terlihat jika bahan masker fiksasi adalah material semi kristal yakni gabungan kristal murni dan amorf. Terdapat bagian melebar khas amorf pada grafik dan puncak-puncak tajam khas kristal. Selain itu pola difraksi sampel mirip dengan pola difraksi yang dimiliki oleh Polycaprolactone. Pada gambar 5 puncak-puncak utama difraksi sampel radiasi terdapat pada posisi 1.6 o dan 3.8 o namun pada sampel non-radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 6 puncak-puncak utama berada pada posisi 1.5 o dan 3.8 o. Dapat dikatakan jika sesudah mendapat radiasi puncak difraksi bertambah 0.1 o. Polycaprolactone (PCL) memiliki struktur kristal ortorombik dengan parameter kisi a = Å, b = 4.974Å, c = 17.97Å [11]. Parameter kisi yang ditunjukkan kedua sampel tidak jauh berbeda dengan parameter kisi PCL. Dengan bantuan perangkat lunak MAUD diperoleh nilai parameter kisi masing-masing sampel. Perangkat lunak MAUD menghitung pergeseran parameter kisi sampel dengan data kristalografi Polycaprolactone. Gambar 10 Hasil Karakterisasi dengan XRD pada Sampel Non-Radiasi Gambar 4 Hasil Karakterisasi dengan FTIR pada Sampel Non-Radiasi Parameter kisi sampel radiasi sedikit lebih kecil dibandingkan dengan parameter kisi pada sampel non-radiasi. Sampel radiasi mempunyai parameter kisi a = 7.45 Å b = 4.94 Å c =16.6 Å dengan kesalahan a = 0.6% b = 0.4 % c = 4 %. Sementara itu 73

19 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 untuk parameter kisi sampel non-radiasi adalah a = 7.46 Å b = 4.96 Å c =16.8 Å dengan kesalahan a = 0.4 % b = 0.3 % c = 3.4 % Karakterisasi dengan SEM dan EDAX Gambar 7 memperlihatkan citra SEM pada sampel radiasi dan non-radiasi pada perbesaran 1000 kali. Citra SEM pada sampel non-radiasi relatif sama dengan citra SEM Polycaprolactone pada Gambar. Pada gambar terlihat perbedaan material fiksasi, sebelum dan sesudah mendapat radiasi. Sampel radiasi (a) permukaanya cenderung lebih rusak dibanding dengan sampel non-radiasi (b). Hal ini dapat terjadi akibat perlakuan yang diterima oleh sampel radiasi. Radiasi yang mengenai sampel secara berkala akan merusak morfologi bahan. Ditambah lagi, masker fiksasi akan dipakai secara terus menerus sampai kurang lebih 30 kali sehingga wajar jika ada perubahan secara morfologis pada masker fiksasi ini. Gambar 8 menunjukkan hasil EDAX sampel radiasi dan sampel non radiasi.berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa karbon dan oksigen mendominasi daerah yang dibatasi garis merah. Pada sampel radiasi, karbon memiliki komposisi berat hingga 69.0 wt% sementara oksigen mencapai 9.53 wt%. Unsur lain yang dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit adalah silikon (0.8 wt%),dan magnesium (0.6 wt%). Sementara itu untuk sampel non radiasi komposisi karbon dan oksigen berbeda dengan sampel radiasi. Pada sampel non-radiasi jumlah karbon lebih sedikit yakni wt% sementara jumlah oksigen lebih besar dibanding sampel radiasi yakni wt%. Unsur lain yang dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit adalah silikon (0. wt%),dan magnesium (0.1 wt%). Gambar 7Hasil Karakterisasi dengan SEM pada (a) Sampel Radiasi (b) Sampel Non-Radiasi Gambar 8Hasil Karakterisasi dengan EDAX pada (a) Sampel Radiasi (b) Sampel Non-Radiasi 4. Kesimpulan Setelah melalui pengujian untuk mengidentifikasi material penyusun masker fiksasi diperoleh kesimpulan jika material penyusun fiksasi adalah suatu polimer termoplastik yang bernama Polycaprolactone (PCL). Pengujian FTIR, XRD dan massa jenis menunjukkan sidik jari Polycaprolactone. Dari serangkaian pengujian yang berguna untuk membandingkan masker fiksasi sebelum dan sesudah radioterapi didapat kesimpulan jika material penyusun fiksasi adalah suatu material yang stabil. Ini berarti tidak ada perubahan yang signifikan ketika material ini mendapat paparan radiasi. Hanya saja pada pengujian FTIR terlihat jika peristiwa pemberian radiasi secara terus menerus pada bahan mengakibatkan hilangnya satu gugus yang kemudian membentuk gugus baru. Daftar Referensi [1] Wawancara dengan Prof Djarwani S.Soedjoko. Mei 014. [] Pereira-Loch C, dkk. 01. Radiation and thermal effects on polymeric immobilization devices used in patients submitted to radiotherapy. Journal of Radiotherapy in Practice 11. p [3] Elzubair, A., dkk. The physical characterization of a thermoplastic polymer for endodontic obturation. Journal of dentistry p [4] Labet, M., Thielmans, W. Synthesis of Polycaprolactone : a review. Chemical Society Review pp [5] Chih-Chang Yeh, dkk The Effect of Polymer Molecular Weight and UV Radiation on Physical Properties and Bioactivities. Cellular Polymers Vol 30. pp 7-4 [6] Bittiger, H dan Marchessault, R. H Crystal Structure of Poly-ε-caprolactone. Acta Cryst. (1970). B6, pp [7] Ahluwalia, V.K, Mishra,A Polymer Science: A Textbook. Taylor & Francis. [8] K. Van de Velde and P. Kiekens

20 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Biopolymers: overview of several properties and consequences on their applications Polymer Testing vol. 1. pp [9] Y. Ikada and H. Tsuji Biodegradable polyesters for medical and ecological applications Macromolecule Rapid Communicaton vol. 1. Pp [10] R. A. Gross and B. Kalra. 00. Biodegradable Polymers for the Environment. Science vol 97. pp [11] J. O. Iroh Polymer Data Handbook. New York: Oxford University Press. 75

21 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 KARAKTERISASI MATERIAL BAHAN FIKSASI Agie Ramadhan, Ariadne L. Juwono, Djarwani S. Soejoko Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia Kampus UI, Depok 1644 Indonesia Abstrak Alat fiksasi sebagai alat bantu radioterapi merupakan alat penentu posisi pasien pada saat pasien kanker mendapat terapi dengan penyinaran (radioterapi). Alat fiksasi ini berbahan dasar polimer dan merupakan salah satu alat yang di-import. Dengan bertambahnya jumlah penderita kanker di Indonesia dan penderita memerlukan radioterapi maka kebutuhan akan alat ini juga semakin bertambah. Telah dilakukan penelitian melalui serangkaian pengujian untuk mengetahui jenis material dari polimer pembentuk alat fiksasi.dengan melakukan pengujian sifat fisik dan kimia dari bahan polimer alat fiksasi, dapat ditentukan bahwa bahan dasar alat fiksasi adalah polimer polycaprolactone (PCL).Dengan mengetahui jenis bahan polimer, sifat fisik, dan sifat kimia bahan fiksasi, diharapkan Indonesia dapat memiliki kebijakan untuk memproduksi alat fiksasi sehingga ketergantungan bahan import untuk keperluan radioterapi dapat dikurangi di masa mendatang. Kata kunci: polimer, alat fiksasi, polycaprolactone (PCL) Abstract Fixation device as radiotherapy tools is a tool to determine the position of the patient when cancer s patient has a therapy with radiation (radiotherapy). This fixation device is polymer-based and is one tool which imported.with the increasing number of cancer patients in Indonesia and cancer s patients need radiotherapy sothe need for these tools is also increasing. Research has been conducted through a series of tests to determine the type of material from polymer of fixation device.by doing test the chemical and physical properties of polymer material fixation devices, it can be determined that the polymer polycaprolactone (PCL) is the basic ingredient fixation device.by knowing the type of polymeric materials, physical properties, and chemical properties from material fixation, Indonesia is expected to have a policy to produce fixation device so that the dependence of materials imported for radiotherapy can be reduced in the future. Keywords: polymers, fixation device, polycaprolactone (PCL) 1. Pendahuluan Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang mendapatkan perhatian di Indonesia.Kanker dapat menyerang bagian manapun dari anggota tubuh manusia. Selain itu, kemungkinan untuk terkena penyakit kanker tidak memandang usia. Apabila dibandingkan dengan penyakit-penyakit non-kanker yang mengakibatkan kematian, kanker menempati posisi ke-7.data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 007, menempatkan stroke, TBC, hipertensi, cedera, perinatal dan diabetes melitus di atas jumlah kematian akibat kanker. [1] Pengobatan kanker selalu menjadi kalimat yang sangat menakutkan bagi setiap orang yang mendengar maupun bagi mereka yang terpaksa menjalaninya.pengobatan kanker secara medis yang selama ini dilakukan adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Dalam proses radioterapi diperlukan alat fiksasi untuk melindungi bagian luar tubuh dari pasien. Alat fiksasiberfungsi sebagai media penggambaran lokasi penyinaran dalam proses radioterapi. [] Mengingat harga alat fiksasi yang sangat mahal dan harus di-impor dari luar Indonesia, material penyusun bahan fiksasitersebut akan diteliti, dengan harapan suatu saat alat fiksasi ini dapat diproduksi di dalam negeri dengan harga yang terjangkau. Pada proses radioterapi alat fiksasi memegang peranan penting untuk mengatur posisi pasien agar tidak berubah-ubah selama proses penyinaran. Hingga kini belum ada perusahaan di Indonesia yang memproduksi bahan dan alat ini sehingga kita masih harus mengimport dari Amerika, Jerman, Perancis ataupun Cina.Oleh karena itu, diperlukan penelitian awal untuk mengetahui material peyusun bahan fiksasi tersebut dengan harapan suatu saat nanti Indonesia dapat memproduksi sendiri alat fiksasi dengan biaya yang lebih ekonomis agar dapat dijangkau oleh semua kalangan. [3] 76

22 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014. Metode Penelitian Bahan sampel adalah polimer termoplastik yang merupakan alat untuk fiksasi pada proses radioterapi. Untuk mengetahui jenis polimernya, dilakukan serangkaian pengujian yang meliputi pengukuran densitas, FTIR, DSC, SEM, XRD dan VST. Uji densitas dilakukan untuk menentukan massa jenis dari bahan fiksasi.pada percobaan ini, penentuan massa jenis dari bahan fiksasi akan dilakukan dengan alat densitometer. Jenis alat yang digunakan adalah densitometergdm.cara kerja alat ini adalah dengan menghitung berat benda pada saat di udara dan berat benda pada saat di air. Massa jenis yang didapatkan nantinya adalah massa jenis rata-rata hasil dari perhitungan massa jenis pada buah sampel. Pengujian FTIR dengan merk Bruker, dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong.Sampel yang digunakan untuk uji FTIR ini berbentuk serbuk.sampel terlebih dahulu digerus sehingga dapat berupa serbuk.dengan mengetahui panjang bilangan gelombang pada puncak dari grafik FTIR maka kita dapat mengetahui ikatan kimia yang terdapat pada sampel.sampel diuji dengan FTIR menggunakan metode ATR (Attenuated Total Reflectance) dengan mengacu pada standar uji ASTM E Spektrometer dijalankan pada bilangan gelombang cm -1. Untuk analisa termal pengujian dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry, tipe Perkin Elmer Pyris 8000.Pengujian DSC ini dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong, mengacu pada ASTM D Sampel yang digunakan berupa serbuk.sampel kemudian dimasukkan ke dalam crucible. Analisa DSC dilakukan dengan program temperatur heatingcooling-heating dengan kecepatan -(-30) o C/min 10 o C/min. Purge gas yang digunakan yaitu gas nitrogen dengan kecepatan aliran 0 ml/min. Pengujian dengan menggunakan SEM dilakukan untuk melihat bagian samping dari alat fiksasi tersebut.pengujian SEM yang dilengkapi dengan EDX, dilakukan di Fakultas Teknik UI.Alat yang digunakan yaitu FE-SEM FEI INSPECT F50 dan EDAX EDS Analyzer. Pengujian XRD dengan Merk Philips dilakukan di Laboratorium XRD PSTBM-BATAN PUSPITEK, Serpong.Sampel yang digunakan berupa serbuk. Sumber XRD adalah Cu (K α1 = , K α = ), dengan sudut pengamatan (θ) = 5-70 o dan suhu pengukuran 5 o C. Analisa dilakukan dengan menggunakan alogaritma le-bail fit dengan software HSP 3.0 dari PANalytical yang dapat menentukan unit cell, space group, dan parameter kisi bahan fiksasi. Pada penelitian ini pengamatan XRD digunakan untuk menghitung kristalinitas bahan fiksasi. Pengujian Vicat Softening Temperature dilakukan untuk menentukan titik lunak dari bahan fiksasi.pengujian ini dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong dengan menggunakan HDT Vicat Apparatus.Sampel disiapkan dengan ukuran 1 x 1 cm lalu dikondisikan pada suhu 3 o C dan relative humidity 50% selama 48 jam.pengujian VST dilakukan dengan menggunakan beban 10 N dengan kecepatan pemanasan 10 o C/jam.Pengujian ini mengacu pada standar uji ASTM D Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Hasil Pengukuran Rapat Massa Sampel Berat di Berat di Densitas Udara Air (gram/cm 3 ) (gram) (gram) 1,15 0, 1,11 3,17 0,33 1,1 Rata-Rata 1,1 Hasil yang didapatkan dari pengukuran densitas merupakan berat bahan fiksasi di udara dan berat bahan fiksasi di dalam air yang tercantum pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diperoleh densitas bahan fiksasi adalah sebesar 1,1 gram/cm 3. Gambar 1.Grafik hasil pengujian FTIR Gambar 1 menunjukkan hasil pengujian FTIR bahan fiksasi. Terlihat adanya ikatan C=O yang merupakan puncak tajam dari grafik tersebut pada bilangan gelombang 174 cm -1. Dari grafik penyerapan IR juga dapat dilihat adanya ikatan -CH pada bilangan gelombang 867 dan 947 cm -1. Terdapat puncak lain selain ikatan C=O, yaitu ikatan -CH, memang puncak yang ditunjukkan oleh ikatan ini tidak setinggi pita serapan C=O pada bilangan gelombang 174 cm -1 yang merupakan ciri khas pita serapan PCL, tetapi terlihat pada grafik yang kita peroleh. Dari semua data yang terlihat, maka ikatan pada bahan fiksasi, jelas terlihat adanya ikatan -CH dan ikatan C=O. Selain itu terdapat juga ikatan C-O dan C-C pada bilangan gelombang 194 cm -1, ikatan C- O-C terdapat pada bilangan gelombang 141 dan 1170 cm -1, dan 1185 cm -1 yang pita serapannya terlihat agak lebar. Ikatan -CH terdapat padabilangan gelombang 841 cm

23 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Dari hasil pengujian VST bahan fiksasi tidak mengalami pelunakan namun langsung pecah pada suhu 43,6 o C yang dapat dilihat pada Gambar 4. Karena material dari bahan fiksasi tersebut bersifat getas, material tidak mengalami proses pelunakan secara bertahap tidak seperti material termoplastik secara umum. Hal tersebut dikarenakan material dari bahan fiksasi ini sudah terkena radiasi dan berubah sifat fisiknya dari bahan ulet menjadi getas. Gambar.Grafik hasil pengujian DSC Gambar menunjukan hasil pengujian dengan metode differential scanning calorimetry memperlihatkan titik leleh dari bahan fiksasi adalah 54,94 o C. Nilai referensi titik leleh polycaprolactone adalah pada suhu 59,5 o C dan hasil yang diperoleh dari pengujian DSC bahan fiksasi diperoleh titik leleh yaitu pada suhu 54,94 o C sehingga dapat disimpulkan bahwa material bahan fiksasi tersebut adalah polycaprolactone. Titik leleh material memang tidak akan sama persis dengan nilai referensi, hal ini dimungkinkan karena ada perbedaan proses pembuatan atau bahan fiksasi sudah dipakai. Gambar 5.Citra SEM bahan fiksasi Dari Gambar 5 dapat disebutkan bahwa citra SEM bahan fiksasi memilki pola aliran sungai. Terdapatnya pola aliran sungai merupakan salah satu karakteristik dari bahan getas. 4. Kesimpulan Gambar 3.Grafik kristalinitas bahan fiksasi Gambar 3 menunjukan kristalinitas bahan fiksasi. Diperoleh kristalinitas dari bahan fiksasi yaitu sebesar 56,04%. Dengan mengetahui kristalinitas dari bahan fiksasi maka kita dapat mengetahui kandungan kristal dan amorf yang terdapat pada sampel. Fase amorf dari bahan fiksasi ditunjukan oleh panah yang memiliki puncak di sekitar sudut 0 o. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa material penyusun bahan fiksasi adalah Polycaprolactone (PCL) yang merupakan polimer semikristalin. Bahan fiksasi tersebut memiliki titik leleh pada 54,94 o C, densitasnya adalah sebesar 1,1 gram/cm 3, dan memiliki titik lunak pada suhu 43,6 o C. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada Dra. Ariadne L. Juwono, M.Eng, Ph.D, Prof. Djarwani S. Soejoko dan Dr. Maykel T.E Manawan yang telah membantu saya dalam diskusi. Daftar Acuan Gambar 4.Grafik hasil uji VST [1] Deherba. 01. Statistik Penderita Kanker di Indonesia. Agustus 013. [] Rasjidi Imam, Nana Supriana, Kristanus Cahyono. Radiotrapi Pada Keganasan 78

24 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Ginekologi. Jakarta. Badan Penerbit FKUI 011. vii-xi. [3] Orfit Industries Radiation Oncology Agustus 013. Buku [4] Bashford, David. Thermoplastics: Directory and databook. London: Chapman & Hall, [5] Hummel,D.O Infrared Spectra Polymer in The Medium and Long Wavelength Region. Jhon Willey and Sons : London Jurnal [6] Pereira-Loch, C., R. Benavides., M. Fogliato S. Lima & B.M. Huerta. (01). Radiation and thermal effects on polymeric immobilization devices used in patients submitted to radiotherapy.journal of Radiotherapy in Practice 11, pp [7]Elzubair, Amal., Carlos Nelson Elias., Joao Carlos Miguez Suarez., Helio Pereira Lopes & Marcia Valeria B. Vieira. (006). The physical characterization of a thermoplastic polymer for endodontic obturation. Elsevier. 79

25 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 VERIFIKASI PERHITUNGAN PARTIAL WAVE UNTUK HAMBURAN K + p Khairi Trisnayadi Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat khairi.trisna@gmail.com Abstrak Perhitungan hamburan K + p dilakukan dengan menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t dalam basis partial wave dalam ruang momentum. Sebagai input diambil model potensial pertukaran hadron orde dua untuk interaksi KN. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil perhitungan yang menggunakan teknik tiga dimensi pada energi yang bervariasi. Kata kunci: hamburan K + p, partial wave, tiga dimensi, pertukaran hadron orde-dua Abstract K + p scattering is calculated in partial wave technique in momentum space. The observables are produced by elements T-matrix of Lippmann-Schwinger equation. The second order of hadron exchange model potential for KN interaction is considered. The result will be compared with the data of similar reaction produced in three-dimensional technique at several energies. Keywords: K + p scattering,t-matrix, partial wave, three dimensional, second order of hadron exchange. 1. Pendahuluan Perhitungan hamburan dua partikel secara umum dilakukan dengan menggunakan teknik partial wave(pw).[1] Teknik ini melibatkan penjumlahan keadaan momentum angular sistem. Akan tetapi, perhitungan menggunakan teknik PW menjadi tidak efisien untuk energi semakin tinggi, dikarenakan semakin bertambah pula keadaan momentum angular yang harus diikutsertakan. Pada teknik yang lain, perhitungan dilakukan dengan menggunakan teknik tiga dimensi (3D). [] Pada teknik ini kontribusi seluruh momentum angular telah diikutsertakan. Pada perhitungan kali ini kami lakukan verifikasi perhitungan PW dengan menggunakan teknik 3D sebagai pembanding.. Metode Penelitian Perhitungan dilakukan dengan mencari elemen matriks dari persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t dengan basis PW dan basis 3D. Basis keadaan PW didefinisikan sebagai berikut, p(ls)jm (1) Elemen matriks-v dan matriks-t pada basis PW didefinisikan sebagai berikut, dan, V l l (p, p) p (l 1 )jm V p(l 1 )jm () T l l (p, p) p (l 1 )jm T p(l 1 )jm (3) Persamaan tersebut memenuhi persamaan Lipmann- Schwinger berikut, j 1 T l (p, l p) = j 1 V l (p, l p) + μ lim ε 0 dp p V l l l j 1 (p,p ) p +iε p T l l j 1 (p, p) (4) 0 Perumusan di atas telah menggunakan konservasi momentum angular total j. Kami terapkan kekekalan paritas l l = 0 atau l = l. Untuk menghitung observables kami gunakan relasi, dengan momentum p, momentum angular l, spin s = 1 dan momentum angular total j. Sedangkan m adalah proyeksi momentum angular j pada sumbu-z. 80

26 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 (5) T λ λ (p, p, θ ) = l + 1 jl 4π T j 1 (p, p) l C (l 1 j; (λ λ )λ ) C (l 1 j; 0λ) Y l,λ λ (θ, 0) Dengan C(j 1 j j; m 1, m m 1 ) adalah koefisien Clebsh-Gordan.[3] Basis 3D pλ didefiniskan sebagai berikut, pλ p z λ (6) dimana p adalah keadaan bebas momentum relatif dan z λ adalah spin total s = 1 untuk sistem KN. Elemen matriks-v dan matriks-t didefinisikan sebagai berikut, V λ λ (p, p) p λ V pλ (7) dan, T λ λ (p, p) p λ T pλ (8) Formulasi elemen matriks basis 3D memenuhi persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-t berikut, T λ λ (p, p) = V λ λ (p, p) 1 + dp λ = 1 Kami gunakan, V λ λ (p, p )G 0 + (E p )T λ λ (p, p ) (9) T λ λ (p, pz ) = e i(λ λ)φ T λ λ (p, p, θ ) (1) Elemen matriks T(p, p, θ ), kami gunakan untuk menghitung observables penampang lintang diferensial: I 0 dς polarisasi P y : dp = (4π μ) { T1,1 + T 1,1 P y = (4π μ) Im {T1 (p, p, θ )T 1 I 0 (14) depolarisasi : D x x = D z z = 1 I 0 (4π μ) [{ T1 T1 1,1 1 (p, p, θ ) (p, p, θ ) } cos θ lab + Re {T1 (p, p, θ )T 1 (15),1 D z x = D x z = 1 I 0 (4π μ) [{ T1 T 1 1 (p, p, θ ) 1,1 (p, p, θ ) (p, p, θ ) },1 (p, p, θ )} (p, p, θ )} sin θ lab ] (p, p, θ ) } sin θ lab Re {T1 (p, p, θ )T 1,1,1 (p, p, θ )} cos θ lab ] (13) G 0+ (E p ) = lim ε 0 1 E p +iε E p (10) (16) dengan E p = p. Untuk teknik 3D kami lakukan μ formulasi yang sama seperti pada [4]. Untuk p = z, kami manfaatkan sifat azimut V λ λ (p, p) berikut, V λ λ (p, pz ) = e i(λ λ)φ V λ λ (p, p, θ ) (11) Sifat (11), kami terapkan pada T λ λ (p, pz ), dengan,. m tan θ lab = D yy = 1 (17) m 1 sec θ +m / tan θ (18) Pada perhitungan ini kami gunakan potensial interaksi pertukaran hadron orde-dua untuk interaksi K + N.[5] Potensial interaksi tersebut melibatkan: 81

27 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 interaksi pertukaran skalar-meson : p λ N V ς pλ N = g KKς g NNς 16π 3 (19) F NNς(q ς )F KKς (q ς ) (ω K ω K m K u (p, λ N )u(p, λ N ) 1 ) 1 { ω ς (z E N ω K ω ς + iε) 1 + } ω ς (z E N ω K ω ς + iε) () dimana, q r (r = ς, ω, ρ) dan q μ Y adalah momentum partikel yang dipertukarkan. q Y μ = (p N (E N p K ) μ = (E N ω K, p + p) ω K, p N q r = p p, (3) p K ) = (4) interaksi pertukaran vektor-meson ω dan ρ: p λ N V v pλ N = g F KKv NNv(q v )F KKv (q v ) 3π 3 [(g NNv + f NNv )(p K (ω K ω K ) 1 + p k ) μ u (p, λ N )γ μ u(p, λ N ) f NNv M N (p N + p N ) (p μ K 3. Hasil dan Pembahasan Kami lakukan perhitungan 3D dan PW dengan memvariasikan energi dari 50 MeV hingga 500 MeV, dengan interval 50 MeV. Untuk energi 50 MeV sampai 450 MeV perhintungan PW dan 3D saling sesuai dengan kontribusi l max = dan j max =3/. Untuk energi 500 MeV, kesesuaian dapat diamati dengan kontribusi l max =3 dan j max =5/. Kesesuaian juga terlihat pada efek polarisasi dan depolarisasi. { ω v (z E N + p k ) μ u (p, λ N ) u(p, λ N )] 1 ω K ω v + iε) 1 + ω v (z E N ω K ω v + iε) } (0) interaksi pertukaran hyperon dan : p λ N V Y pλ N = g F NYK NYK (q Y ) 3π 3 1 (ω K ω K ) m Y )u(p, λ N ) 1 { } E Y (z ω K ω K E Y + iε) u (p, λ N )(γ μ q Y μ Gambar 1. Penampang lintang diferensial E lab =50 MeV. (1) Dengan tambahan faktor isospin 1 (1 + τ 1 τ ) atau 1 (1 τ 1 τ ) untuk, dan 1 1 (3 + τ 1 τ ) atau (3 τ 1 τ ) untuk. Tambahan faktor bentuk sebagai berikut: Gambar. Penampang lintang diferensial E lab =500 MeV. F α (q r ) = ( Λ α m r Λ α +qr ) nα, F β (q Y ) = ( Λ β 4 m r Λ β 4 +(qy ) ) 8

28 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar 6. Depolarisasi D x x pada E lab =500 MeV. Gambar 3. Polarisasi P y pada E lab =50 MeV. Gambar 7. Depolarisasi D z x pada E lab =50 MeV. Gambar 4. Polarisasi P y pada E lab =500 MeV. Gambar 8. Depolarisasi D z x pada E lab =500 MeV. Gambar 5. Depolarisasi D x x pada E lab =50 MeV. 83

29 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des Kesimpulan Dari hasil yang diperoleh kami simpulkan bahwa perhitungan PW untuk hamburan K + p pada energi sampai beberapa ratus MeV terverifikasi, dengan kata lain, hasilnya masih baik. Perhitungan dapat dilakukan tanpa harus mengikutsertakan kontribusi dari banyak keadaan momentum angular. Ucapan Terimakasih Terimakasih kami sampaikan kepada Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia yang telah mendukung penelitian ini. Daftar Acuan [1] AS. Davydov, D. T. Haar. Quantum Mechanics. nd ed. New York, Pergamon Press (1976), p [] I. Fachruddin, Ch. Elster, W. Glockle Nucleonnucleon scattering in a three-dimensional approach. Physical Review C 6, (000) [3] M.E. Rose. Elementary Theory of Angular Momentum. New York, Wiley (1957), p.3-4 [4] I. Fachruddin, A. Salam Scattering of a spin-1/ particle off a spin-0 target in a simple threedimensional basis. Few-Body System (013) DOI /s y [5] R. Buttgen, K. Holinde, A. Muller-Groeling, J. Speth, P. Wyborny A meson exchange model for the K + N interaction. Nuclear Physics A506 (1990)

30 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 ASIMETRI ISOSPIN PADA MATERI QUARK Ali Ikhsanul Qauli 1*),Anto Sulaksono **) 1, Departemen Fisika Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok 1644 * ) ali.ikhsanul@sci.ui.ac.id ** ) anto.sulaksono@sci.ui.ac.id Abstrak Kami mengkaji sifat-sifat materi quark dengan menggunakan model asimetri isospin CIDDM (Confined Isospin Density Dependent Mass). Model ini cukup akurat dalam menjelaskan pulsar yang memiliki massa sekitar kali massa matahari. Tetapi setelah kami bandingkan dengan hasil perhitungan persamaan keadaan pada pqcd (perturbative Quantum Chromo Dynamics) kami menemukan bahwa model asimetri isospin tidak bisa memprediksi secara akurat persamaan keadaan materi quark pada nilai densitas baryon yang besar dan temperatur rendah. Di sini kami memberikan beberapa plot dan perbandingan model CIDDM dan perhitungan pqcd. Abstract We review quark matter properties using of isospin asymmetric in confined-dependent-mass (CIDDM) model. This model is well enough for describing large mass pulsar by a quark stars. But after comparing its equation of state with the result from perturbative QCD calculation then we find that CIDDM model cannot precisely predicts equation of state of quark matter at high baryon density and low temperature. Here we give several plots and comparison to the pqcd calculation. Keywords: Quark Matter, isospin, baryon density, bag, pqcd. 1. Pendahuluan Bintang neutron dipercaya sebagai hasil akhir dari ledakan supernova [1] dan merupakan bintang dengan densitas massa yang sangat besar. Namun ilmuan percaya bahwa bintang neutron bukanlah satu-satunya hasil akhir dari ledakan supernova, melainkan ada jenis bintang lain yang lebih besar denistas massanya yakni bintang quark. Bintang quark bisa terbentuk dikarenakan densitas massa yang sangat besar dapat memecah neutron menjadi quark-quark penyusunnya. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa materi quark, sebagai penyusun bintang quark, memiliki kestabilan yang lebih baik dibandingkan dengan materi nuklir [], sehingga sangat dimungkinkan untuk terbentuk pada pulsar. Selanjutnya dengan model Bag MIT, ilmuwan mempelajari struktur dan dinamika bintang quark [3,4,5]. Selama beberapa waktu model Bag MIT mengalami banyak pengembangan sampai dikenal suatu model CDDM (Confined Density Dependent Model) yang mengikutsertakan densitas materi quark pada perumusan massa quark. Model ini digunakan pada materi quark yang hanya terdiri dari quark up dan down [6], namun kemudian juga digunakan untuk materi quark dengan quark up, down, dan strange. Dari semua model tersebut, terdapat suatu batasan, bahwa materi quark yang terdiri dari quark (u dan d) harus memiliki energi minimum tiap baryon yang lebih besar dari 930 MeV, sedangkan untuk 3 quark (u, d dan s) harus lebih rendah dari 930 MeV [,3]. Pada model Bag MIT, quark diasumsikan bermassa tetap dan bergerak bebas dalam bag. Sedangkan pada model CDDM massa quark dengan densitas baryonn B didefinisikan sebagai: m q mq0 D n z B, (1.1) Dengan suku D/n B z adalah suku interaksi quark dan bentuk ini adalah bentuk fenomenologis. Parameter Dditentukan dari argumen kestabilan materi quark, sedangkan parameter zmerupakan parameter skala quark, yang telah dibuktikan pada referensi [7] bahwa nilainya adalah z = 1/3. Dari defnisi massa quark, nantinya bisa dicari bagaimana persamaan keadaan bintang quark, untuk suhu nol, perumusan densitas energi materi quark adalah i k m k dk i g i B, (1.) dengan i = u, d, s kemudian B adalah konstanta bag dan g i adalah faktor degenerasi untuk quark yang bernilai 6. Kemudian dengan menggunakan relasi termodinamika [8] akan diperoleh 85

31 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 P i i ni n i, (1.3) dengan faktor ε i / n i yang dikenal sebagai potensial kimia. Pada penelitian lainnya, perhitungan pqcd juga memprediksi bagaimana persamaan keadaan dari materi quark pada nilai densitas baryon yang besar, dari referensi [9] perumusan tekanan materi quark pada kondisi tersebut adalah P QCD P SB 1 B d 1X c1 B B / GeV d X (1.4) dengan nilai konstanta-konstanta di atas adalah c 1 = , d 1 = , d = 1.45, ν 1 = , ν = dan nilai X bisa divariasikan dari 1 sampai 4. Terdapat besaran tekanan materi quark (3 quark) yang bebas dan tidak bermassa yang dirumuskan sebagai dengan P SB B 3 B B, 4 3. u d s 4 (1.5) (1.6) Kemudian jika persamaan perbandingan tekanan tersebut diplot, akan diperoleh grafik seperti pada Gambar 1. Pada penelitian ini, penulis menggunakan model lanjutan dari model CDDM yakni model CIDDM (Confined Isospin Density Dependent Mass) dengan batasan materi quark pada temperatur rendah dan densitas baryon rendah. Kemudian hasil dari model CIDDM akan dibandingkan dengan hasil dari perhitungan pqcd pada daerah nilai densitas baryon yang besar untuk mengetahui seberapa baik model CIDDM bisa memprediksi persamaan keadaan bintang quark. Gambar 1. Prediksi tekanan pada materi quark, dari referensi [9].. Materi Quark dengan Model CIDDM Model CIDDM menambahkan suku interaksi isospin pada massa quark dari model CDDM, sehingga perumusan massa quark untuk model CIDDM bisa ditulis sebagai 86 m D n B q mq0 qdi nbe 1/ 3, nb (.1) dengan D I, α, dan β adalah parameter yang menentukan kebergantungan pada isospin, δ adalah parameter asimetri isospin, τ q adalah bilangan kuantum isospin quark, τ q = 1 untuk quark up, τ q = 1 untuk quark down, dan τ = 0 untuk quark strange. Densitas baryon didefinisikan sebagai n B nu nd ns, 3 (.) yang mana number density untuk masing-masing quark didefinisikan sebagai 3 i ni, (.3) dimana ν i adalah momentum Fermi untuk tiap quark (i = u, d, s). Kemudian faktor asimetri isospin didefinisikan sebagai n d u 3, n d n n sehingga didapatkan u 1 1/ 3 3 u, (.4) (.5) 1 1/ 3 3 d. (.6) Persamaan keadaan materi quark pada model CIDDM dirumuskan sebagai berikut, dari referensi [10] 86

32 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 i k i P g i n i iu, d, s, e m, (.8), i i n i k dk, (.7) (.9) dimana ε adalah densitas energi quark, P adalah tekanan dan μ adalah potensial kimia. Untuk potensial kimia elektron dirumuskan sebagai m. e e e Kondisi keseimbangan potensial kimia adalah (.10) digunakan D I = 500 MeVfm 3α, α = 0.8, β = 0.1 fm 3, D 1/ = 144 MeV. Dari hasil plot persamaan keadaan bintang pada Gambar. terlihat bahwa energi minimum untuk materi quark yang terdiri dari 3 quark bernilai lebih kecil dari 930 MeV dan hal ini sesuai dengan prediksi referensi [3]. Nilai tekanan pada daerah nilai n B 0 menunjukkan nilai negatif sedangkan pada plot energi menunjukkan nilai positif. Hal ini sesuai dengan kriteria model Bag MIT yang mengindikasikan hal yang sama [7]. Pada plot relasi massa dan radius bintang pada Gambar 3. terlihat bahwa persamaan keadaan yang kebergantungan pada isospin lebih besar memiliki massa maksimum yang lebih besar. Pada hasil pengamatan massa pulsar PSR J dengan massa 1.97 ± 0.04 massa matahari menunjukkan bahwa pada pulsar atau bintang yang memiliki massa mendekati kali massa matahari interaksi isospin berdampak cukup signifikan. Gambar. Persamaankeadaanmateri quark denganvariasi D I berdasarkan model CIDDM., u e d s (.11) dan untuk kondisi netralitas bintang quark dirumuskan dalam bentuk n 3 u 1 n 3 d 1 ns n. e 3 3. Hasil dan Pembahasan (.1) Hasil perhitungan secara umum terbagi menjadi, yakni perhitungan persamaan keadaan materi quark dan perhitungan persamaan TOV untuk memperoleh relasi massa-radius bintang. Pada perhitungan persamaan keadaan bintang, kami menggunakan beberapa set parameter. Pada parameter D I 0 kami menggunakan parameter D I = 0, α = 0, β = 0, D 1/ = 156 MeV, kemudian pada parameter D I 300 digunakan D I = 300 MeVfm 3α, α = 1, β = 0.1 fm 3, D 1/ = 151 MeV dan terakhir untuk set parameter D I 500 Gambar 3. Relasi massa dan radius bintang. Namun ketika persamaan keadaan dari model CIDDM dibadingkan dengan hasil perhitungan pqcd pada daerah nilai densitas baryon yang besar, ternyata prediksi dari model CIDDM tidak sesuai dengan hasil perhitungan pqcd. Hasil perhitungan pqcd pada Gambar 1. menunjukkan nilai asimtotik perbandingan tekanannya adalah kurang dari 1, sedangkan dari model CIDDM pada Gambar 4. menunjukkan nilai asimtotik 1. Hasil prediksi CIDDM bisa ditelusuri secara analitik. Pada kondisi nilai n B yang besar, mengakibatkan 1. ν u = ν d = ν s = ν. n u = n d = n s = n B = ν 3 /π 3. m u = m d = m m s =konstan 4. ν m, m s juga pada perumusan potensial kimia menjadi 1. μ u = μ d ν + m. μ s ν + m s 3. μ e μ u, μ d, μ s 87

33 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 yang menyebabkan perbandingan tekanan bintang menjadi P / P m 3 m s SB 1, (3.1) 3 yang mana pada nilai momentum Fermi yang besar, nilai dari persamaan (3.1) akan bernilai 1. Gambar 4. Tekanan sebagai fungsi potensial kimia baryon pada materi quark berdasarkan model CIDDM. C. B., Weisskopf, V. F., New Extended Model of Hadrons, Phys. Rev. D, 9, 3471(1974) [5] A. Chodos, R. L. Jaffe, K. Johnson, & C. B. Thorn., Baryon Structure in The Bag Theory, Phys. Rev. D 10, 599 (1974) [6] Fowler, G. N., Raha, S., & Weiner, R. M., Z. Phys. C, 9, 71 (1981) [7] Peng, G. X., Chiang, H. C., Yang, J. J., Li, L., & Liu, B., Mass Formulas and Thermodynamics Treatment in The Mass- Density-Dependent Model of Strange Quark Matter, Phys. Rev. C, 61, (1999) [8] Glendenning, N. K., Nuclear Physics, Particle Physics, and General Relativity ( nd ed). Springer (000), p.83 [9] Fraga, E. S., Kurkela, A., Vourinen, A., Interacting Quark Matter Equation of State for Compact Stars, ArXiv: v1 [nucl-th] (013) [10] Chu, P. C., & Chen, L. W., Quark Matter Symmetry Energy and Quark Stars. ArXiv: v1 [astro-ph.sr](01 4. Kesimpulan Dari hasil perhitungan model CIDDM dan perbandingan dengan perhitungan p QCD, bisa disimpulkan bahwa 1. Model CIDDM sesuai dengan kirteria model Bag MIT pada nilai densitas baryon baryon yang rendah. Model CIDDM cukup akurat dalam menentukan relasi massa dan radius bintang, dilihat darigambar Pada nilai densitas baryon yang besar, menurut model CIDDM quark cenderung bersifat bebas (free) sedangkan menurut perhitungan p QCD quark cenderung memiliki interaksi rata-rata yang bergantung dengan densitas baryon. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dari Universitas Indonesia. Daftar Acuan [1] Lattimer, J. M., Neutron Stars, SLAC Summer Institute on Particle Physics(005) [] Weber, F., Strange Quark Matter and Compact Stars, ArXiv: astro-ph/ v(004) [3] Farhi, E., Jaffe, R. L., Strange Matter, Phys. Rev. D, 30, 379 (1984) [4] Chodos, A., Jaffe, R. L., Johnson, K., Thorn, 88

34 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 BOUND STATE SOLUTION OF DIRAC EQUATION FOR SCARF POTENTIAL WITH NEW TENSOR COUPLING POTENTIAL FOR SPIN AND PSEUDOSPIN SYMMETRIES USING NIKIFOROV-UVAROV METHOD U.A. Deta 1*), A. Suparmi, and C. Cari 1 Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya Jl. Ketintang, Surabaya 6031 Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Surakarta 5716 * ) utamaalan@fmipa.unesa.ac.id Abstract Bound state solution of Dirac Equation for trigonometric Scarf potential with a new tensor coupling under spin and pseudospin symmetric limits are investigated using Nikiforov-Uvarov method. The new tensor potential proposed is inspired by superpotential form in SUSY quantum mechanics. The Dirac equation with trigonometric Scarf potential coupled by new tensor potential for the pseudospin and spin symmetric cases reduces to Schrodinger type equation with shape invariant potential since the proposed new potentials are similar to the superpotential of Scarf potential. The relativistic wave functions are exactly obtained eigenfunction of NU method in terms of Jacobi polynomials and the relativistic energy equation is exactly obtained by using eigenvalue of NU method in the approximation scheme of centrifugal term. The new tensor potential omits the energy degeneracy both for pseudospin and spin symmetric cases. Keywords: Scarf potential, new tensor coupling potential, spin and pseudospin symmetry, Nikiforov- Uvarof methods. 1. Introduction The exact analytical solutions of Dirac equations play important roles in relativistic quantum mechanics since they provide all important information of the system investigated. To describe the motion of spin half particles, some authors have explored the Dirac equations whose have exact solution under approximation scheme of centrifugal term for various potentials with tensor potentials [1-10]. From the observation, the expression of the tensor coupling potentials under the approximation scheme of centrifugal term are similar to the expression of the component of the given potentials. Dirac equation for central/non-central potentials have been solved mostly by Nikiforov-Uvarof (NU) method [4, 9-13], factorization methods and SUSY QM [14-16], hypergeometric and confluent hypergeometric method [17-], and asymptotic iteration method [3-4], Romanovski Polinomials [5-7], in the limit of spin and pseudospin symmetries. However, there are only few potentials that are solved exactly such as coulomb and harmonics oscillator potentials with Coulomb type tensor potential, but other potentials are solvable only for s-wave. For l-wave, the Dirac Equations for central potentials are only solved approximately due to the contribution of the centrifugal term. The approximation scheme of the centrifugal term was proposed by Greene and Aldrich [8] and this approximation works well for trigonometric, hyperbolic and exponential potentials. The new tensor potential is proposed due to the inspiration of the algebraic structure of SUSY quantum mechanics whose super partner potential is composed of square of the superpotential and its derivative [7]. The proposed new tensor potential is trigonometric cotangent plus cosecant potential which is similar to the superpotential form of trigonometric Scarf potential. We have solved this potential using Romanovski Polinomials [7]. In this paper, we will solve this new tensor potential using another method, that is, Nikiforov-Uvarov method. The new tensor coupling potential as a function of 89

35 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 trigonometric expression given as [7] U( r) av cot ar V3 csc ar (1) with V and V 3 are the strength of the nucleon forces, and a is the parameter that control the range of the tensor potential. The negative trigonometric cotangent potential alone is similar with the combination of Coulomb potential with square well potential therefore it is expected that combination of trigonometric cotangent and cosecant potential is suitable to be a screening potential as Coulomb-type and Yukawa-type tensor potentials. These tensor potentials were originally used to model strong nuleon-nucleon interactions caused by the exchange in nuclear physics [8-30]. The motion of nucleon with mass M in a repulsive vector potential and an attractive scalar potential plus a tensor potential U(r) is described by Dirac equation given as [9,1,19, 3]. p ( M VS ( r)) i. ru( r) ( r) () E V ( r) ( r V ) where E is the relativistic energy and p is the three dimensional momentum operator, i, 0, I 0 (3) 0 0 I with σ is three dimensional Pauli matrices, I is identity matrix. By taking 1, c =1 and writing the Dirac spinor in Eq.() as Fn ( r) l Y (, ) r jm ( ) r (4) r r Gn ( r) l i Y (, ) jm r where Gn () r and Fn () r are the lower and upper components of Dirac spinors, respectively, l l Y (, ) is spin spherical harmonics, Y (, ) is jm pseudospin spherical harmonics, l is orbital quantum number, l is pseudo orbital quantum number, and m is the projection of the angular momentum on the z- axis. By inserting Eqs. (3) and (4) into Eq. (), we get d U( r) Fn ( r) M En VV ( r) VS ( r) Gn ( r) dr r (5) and d U( r) Gn ( r) M En VV ( r) VS ( r) Fn ( r) (6) dr r By manipulating Eqs. (5) and (6) we obtain Dirac equations for pseudospin and spin symmetries, respectively, given as d ( 1) U ( r) U ( r) ( ) Gn r dr r r du ( r) M En ( r) Gn( r) dr M E M E ( r) G ( r) n n n jm and d ( 1) U ( r) U ( r) ( ) Fn r dr r r du ( r) M En ( r) Fn( r) dr M E ( r) M E F ( r) n n n (7) (8) where ( r) VV ( r) VS ( r) is the sum of scalar and vector potentials, and ( r) VV ( r) VS ( r) is the different between vector and scalar potentials. In the case of pseudospin symmetry, from Eq. (7) we have ( 1) l ( l 1) that gives l ( j ) l l 1and 1 j l 1 (9) 1 l 1 ( j ) l l 1and 1 j l (10) for 0 and for 0, respectively, is spin orbit quantum number. For pseudospin symmetry the sum and the different between vector and scalar potentials are given as ( r) C ps and ( r) V( r) (11) where C ps is constant. Eq. (7) is Schrodinger-type equation with the effective potential V eff ( 1) du Vef U ( r) U ( r) V ( r) M En C ps r r dr (1) ( ) '( ) ( ) n r r V r M E C ps is shape invariant since the effective potential in Eq. (1) is combination of two potentials, ( r) ' ( r) V V () r M E C with V L and R n ps ( r) U( r) is similar to the superpotential of the r trigonometric Scarf potential in the approximation scheme of centrifugal term. For spin symmetry we have ( 1) l( l 1) that leads to the values 1 1 ( l 1) ( j ) j l, for 0 (13) and 1 1 l ( j ) j l, for 0 (14) The different and the sum of vector and scalar potentials for spin symmetry are ( r) C s and ( r) V( r) (15) Similar to the argumentation of the pseudospin symmetry, the Schrodinger-type equation in Eq. (8) has shape invariant potential with the effective potential V eff given as ( 1) Vef U () r r r du (16) U ( r) V ( r) En M Cs dr ( r) '( r) V ( r) E M C n Both Dirac equations for pseudospin and spin symmetries in Eqs. (7) and (8) are solved using Nikiforov-Uvarov Method. The NU method which was developed by Nikiforov-Uvarov [31]. This s 90

36 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 method based on solving the second order linear differential equations by reducing it to a hypergeometric type equation by a suitable change of variable. By using the eigenvalue of this method, we have the energy of the system. The wave functions exactly obtained using the eigenfunction of NU method in terms of Jacobi polynomials.. Methods of Analysis The Dirac equation of any shape invariant potential can be reduced into hypergeometric type differential equation by suitable variable transformation [3-35]. The hypergeometric type differential equation, which is solved using NU method, is presented as: ( s) ( s) ( s) ( s) ( s) 0 (17) s () s s where () s and () s are polynomials at most in the second order, and () s is first order polynomial. Eq. (17) can be solved using separation of variable method which is expressed as: ( s) y( s) (18) By inserting Eq. (18) into Eq. (17) we get hypergeometric type equation, that is: y y y 0 s s (19) ϕ (s) is a logarithmic derivative whose solution obtained from condition: ' (0) while the function π (s) and the parameter λ are defined as: ' ' k (1) k ' () The value of k in Eq. (1) can be found from the condition that the expression under the square root of Eq. (1) must be square of polynomial which is mostly first degree polynomial and therefore the discriminate of the quadratic expression is zero. A new eigenvalue of Eq. (19) is: n n1 n n ' '' ; n = 0, 1,, (3) where (4) The new bound state energy is obtained using Eqs. () and (3). To generate the bound state energy and the corresponding eigenfunction, the condition that τ'< 0 is required. The solution of the second part of the wave function, y n (s), which is connected to Rodrigues relation [36], is given as: n Cn d n yn( z) ( z) ( z) z (5) () z dz where C n is normalization constant, and the weight function ρ(s) must satisfies the condition: ( s) ( s) (6) s The wave function of the system is therefore obtained from Eqs. (0), (5) and (6). 3. Result and Discussion 3.1. Solution of Pseudospin Symmetry The trigonometric Scarf potential that will be coupled with new tensor potential is given as V0 V1 cos ar V () r a (7) sin ar sin ar where V 0 and V 1 a positive parameter which describe the depth of the potential, a is a positive parameter which control the range of the potential, and 0 r. By inserting Eqs. (1) and (7) into Eq. (7),and take approximaxion for centrifugal term, 1 a [8], we obtain r sin ar d dr a ( 1) V3 V3 V V V0 sin ar a (V VV 3 V3 V1 ps )cos ar G n r sin ar n n ps n () M E M E C a V G () r By setting ps Gn () r (8) A ( 1) V V V q V q V (9) ps ps B ( V V V V V ) (30) ps E' ps M En M En Cps a ps n ps ps V (31) M E C (3) in Eq. (8) we obtain one dimensional Schrodingertype equation given as 3 d a Aps a Bps cos ar ' G ( r) a E G ( r) n ps n dr sin ar sin ar (33) By setting cos ar s in Eq. (33) we get ' ( ) ( ) Aps Bpss Eps 1 s d Gn r s dgn r Gn ( r) 0 ds 1 s ds 1 s (34) By comparing Eqs. (17), (34), and using eigenvalue of NU method in Eq. 3, we obtain the relativistic energy of Dirac Equation is: M En En M Cps V a (35) A B A B n ps 4 ps ps 4 ps The relativistic energy spectra calculated from relativistic energy equation in Eq. (35) are presented 91

37 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 in Table 1. It shows that the degeneracy occurs for a pair of states (n, l, j+½) with (n, l+, j-½). The degeneracy is removed by the presence of the trigonometric cotangent and cosecant tensor potential, as shown in the 5 th and 9 th columns. For 0, the presence of the tensor potential decreases the relativistic energy while for 0 the tensor potential increases the relativistic energy. Table 1. Energy spectra for trigonometric Scarf potential with/without new tensor potential forv 0 = 4 fm -1 ; V 1 = 3 fm -1 ; a = 0.05 fm -1 ; M = 3 fm -1 ; and C ps = -5 fm -1. l n, 0 E (l, E 0 n 0 E n n, (l+, E 0 n 0 n j = l + ½) V V &V 3 = 0 = 0.6, 0 j = l - ½) V V V 3 = 0.8 &V 3 = 0 = 0.6, V 3 = , -1 0s 1/ , 0d 3/ , - 0p 3/ , 3 0f 5/ , -3 0d 5/ , 4 0g 7/ , -1 1s 1/ , 1d 3/ , - 1p 3/ , 3 1f 5/ , -3 1d 5/ , 4 1g 7/ By using eigenfunction of NU method in Eqs. (0), (5), and (6), we obtain the lower component of Dirac spinor for pseudospin symmetry, that is, n n 1 1 B p 4 ps 1 1 p 1, Pn s wherep (,) n is Jacobi Polynomial, that is, Bps 4 4p G B s s s, n n P s s s n n! n d n 1 s 1 s 1 s n dz B ps B ps (36), (37) p, p, (38) p p c, (39) andb n is normalization constant. The ground state of lower component of Dirac spinor for any state from Eqs. (36) to (39) is 1 A 1 B 1 1 A 1 ps ps ps Bps G ( r) 1cos ar 1 cos ar (40) The ground state wave function of upper component of Dirac spinor for pseudospin symmetry is obtained using Eqs. (6) and (40) in the approximation scheme of centrifugal term given as a Aps 4 Bps Aps 4 Bps 1 V cos ar M En C ps F0 () r Aps 4 Bps Aps 4 Bps ( V3 ) a M En C ps 1 A ps 1 4 Bps Aps B 4 4 ps 4 1cos ar 1 cos ar (41) For exact pseudospin symmetry which occurs when Cps 0, the upper spinor in Eq. (41) exist if M En it means that there is no positive bound state energy for pseudospin symmetry. 3.. Sollution of Spin Symmetry The Dirac equation for spin symmetry is obtained by inserting Eqs. (1) and (7) into Eq. (8) given as d ( 1) a V cot ar V3 csc ar a V csc arfn ( r) dr r r (4) a V cot ar V cscar a V cscar cot ar F ( r) 3 3 V0 V1 cos ar a M En Cs Fn () r sin ar sin ar M En M En Cs Fn () r Using the approximation of the centrifugal term, a [8], into Eq. (4) we get sin ar 1 r d dr a (V VV 3 V3 V1s )cos ar F n r n n s n n a ( 1) V3 V3 V V V0 s sin ar sin ar () M E M E C a V F () r By setting Fn () r (43) A ( 1) V V V V V (44) s s Bs ( V3 V VV 3 V1s) (45) M En M En Cs (46) E' s V a s M En Cs (47) in Eq. (43) then Eq. (43) reduces to one dimensional Schrodinger-type equation given as d a As a Bscos ar ' (48) F ( ) ( ) n r a EsFn r dr sin ar sin ar Eq. (48) are basically similar with Eq (33). Therefore, the relativistic energy and the wave functions for spin symmetry, both for upper and lower component of Diracspinors, is similar to the pseudospin symmetry limit. The only different is the values of A, B, and C. The ground state wave 9

38 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 function of upper component of Dirac spinor for exact spin symmetry occurs when Cs 0, the lower spinor exist if M En therefore the system has no negative bound state relativistic energies. 4. Concluding Remark The Dirac equation for trigonometric Scarf potential with trigonometric cotangent and cosecant tensor potential in the approximation scheme of centrifugal term is exactly solved using NUmethod both for pseudospin and spin symmetric cases. It was found to agree with previous works [7]. The trigonometric cotangent and cosecant tensor potential removes the degeneracy energies both for pseudospin and spin symmetries. The lower and upper component of Dirac spinors are obtained exactly in the approximation scheme of centrifugal term both for pseudospin and spin symmetries. Acknowledgement This research is partly supported by HibahPenelitiUtama (PUT) SebelasMaret University 014 and DIKTI with contract number 165a/UN7.11/PN013. The conference and publication fees supported by State University of Surabaya (Unesa). References [1] Alberto P, Lisboa R, Malheiro M, De Castro A S 005 Phys. Rev. C [] Zhang LH, Li XP and Jia CS 008 Phys. Lett. A37 01 [3] Wei GF and Dong SH 008 Phys. Lett. A [4] Ikhdair SM and Hamzavi M 013 Chin. Phys. B [5] Ikhdair SM and Sever R 010 Appl. Math. Comput [6] Hamzavi M, Rajabi AA and Hassanabadi H 010 Phys. Lett. A [7] Wei GF and Dong SH 008 Phys. Lett. A [8] Xu Y, He S and Jia CS 008 J. Phys. A: Math. andtheor [9] Hamzavi M and Rajabi AA 013 Adv. High. En. Phys [10] Ikhdair SM and Sever R 010 arxiv: v [math-ph] [11] IkotAN 013 Commun. Theor Phys [1] Aydogdu O, Maghsoodhi E and Hassanabadi H 013 Chin. Phys. B [13] Zhou F, Wu Y and Guo JY 009 Commun. Theor. Phys [14] Ping ZA and Chao W 007 High En. Phys. and Nucl. Phys [15] Chen G 004 Phys. Lett. A [16] Chen G, Chen ZD, Lou ZM 004 Chin. Phys [17] Guo JY, Zhou F, Gou FL and Zhou JH 007 Int. J. Mod. Phys. A 485 [18] Chen CH 005 Phys. Lett. A [19] Aydogdu O and Sever R 011 Phys. Lett. B [0] Chen G 004 Mod. Phys. Lett. A19 6 [1] Yan Z and Gou JY 008 Chin. Phys. B [] Hu XQ, Luo G, Wu ZM, Niu LB and Ma Y 010 Commun. Theor. Phys.53 4 [3] Soylu A, Bayrak O and Boztosun I 007 J. Math. Phys [4] Bahar MK and Yasuk F 013 Chin. Phys. B [5] Cari C, Suparmi A, Deta UA, and S W Intan 014 MAKARA Journal of Science17 3 [6] Suparmi A and Cari C 013 At. Ind. J 39 1 [7] Suparmi A, Cari C, and Deta UA 014 Chin. Phys. B (in press) [8] Aydogdu O and Sever R 010 Few-Body Syst [9] Akcay H 009 Phys. Lett [30] Hamzavi M, Rajabi AA and Hassanabadi H 010 Few-Body Sys [31] Nikiforov A F and Uvarov V B 1988 Special Functions of Mathematical Physics, (BirkhauserVerlag Basel) p [3] Suparmi 011 MekanikaKuantum II (Surakarta: Physics Department-Faculty of MIPA- SebelasMaret University) pp [33] Ikot AN, Akpabio LE, and Uwah EJ 011 EJTP8/5 5-3 [34] Ikot AN, Antia AD, Akpabio LE, and Obu JA 011 JVR6/ [35] Inomata A, Suparmi A, and Kurth S 1991 Proceeding of 18th International Colloqium on Group Theoretical Methods in Physics V 399 [36] Yasuk F, Berkdemir C, and Berkdemir R 005 J. Phys. A: Math. Gen

39 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 TORTUOSITAS PADA MODEL 3D BATUAN BERPORI Firmansyah 1*), Selly Feranie 1, Fourier D.E. Latief, Prana F. L. Tobing 1 1 Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Jl. Dr. Setiabudhi No. 9, Bandung Fisika Bumi dan Sistem Komplek FMIPA ITB, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 4013 * ) firmansyah7@student.upi.edu Abstrak Telah dilakukan perhitungan tortuositas dalam model 3D batuan berpori. Model 3D batuan berpori ini dibentuk oleh butiran bola yang didistribusikan secara acak, untuk melihat pengaruh distribusi tersebut terhadap nilai porositas (ϕ)dan tortuositas (τ). Perhitungan dibatasi pada model dengan porositas 10%, 15% dan 0% serta ukuran jari-jari butiran bola dalam rentang 5-10, 10-15, dan 15-0 (dalam ukuran pixel). Diperoleh hasil perhitungan untuk : 1) Porositas 10% dengan jari-jari butir seperti disebutkan sebelumnya, nilai tortuositas secara berurutan yaitu τ =,17±0,846, τ = 1,669±0,610 dan τ = 1,73±0,371; ) Porositas 15%, nilai tortuositas secara berurutan yaitu τ = 1,54±0,66, τ = 1,477±0,31 dan τ = 1,359±0,3; 3) Porositas 0%, nilai tortuositas secara berurutan yaitu τ = 1,806±0,493, τ = 1,708±0,50 dan τ = 1,536±0,58. Terlihat bahwa untuk porositas yang sama dengan jari-jari butir yang berbeda akan menghasilkan nilai tortuositas yang berbeda. Hal tersebut bisa terjadi karena pengaruh distribusi acak butiran. Nilai tortuositas paling tinggi berdasarkan hasil diatas adalah τ =,1 sedangkan menurut asumsi dalam persamaan Kozeny-Carman untuk menghitung permeabilitas bernilai τ =,5 untuk semua nilai porositas. Sehingga nilai tortuositas yang dianggap konstan untuk semua nilai porositas perlu dipertimbangkan kembali penggunaannya jika dilihat dari hasil perhitungan tortuositas pada model 3D batuan berpori ini. Kata kunci : Jari-jari butiran, Tortuositas, Perumusan Kozeny-Carman, Model 3D batuan berpori Abstract Calculation of tortuosity (τ) in 3D porous rocks models have been done. The 3D porous rocks models were constructed of spherical grain which distributed randomly to observe the effect of the distribution to the porosity (ϕ)and tortuosity (τ). Calculation of tortuosity is limited for models with porosity of 10%, 15% and 0% as well as grain sizes in range of 5-10, and 15-0 (in pixel unit). We obtained the result of investigation for: 1) Porosity 10% with the grain sizes as said before, the value of tortuosity is τ =,17±0,846, τ = 1,669±0,610 and τ = 1,73±0,371; ) Porosity 15%, the value of tortuosity is τ = 1,54±0,66, τ = 1,477±0,31 and τ = 1,359±0,3; 3) Porosity 0%, the value of tortuosity is τ = 1,806±0,493, τ = 1,708±0,50 andτ = 1,536±0,58. It can be seen that the same porosity with different grain sizes produces models with different tortuosity. This can be caused by the effect of the randomized distribution of grain size. The highest value of tortuosity based on the results 94

40 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 above is τ =,1 while according to assumption in Kozeny-Carman s equation for measuring permeability, the tortuosity is τ =,5. Hence from the result of this tortuosity analysis in this 3D porous rocks model, it is important to reconsider the uses of such assumption for all porosity value. Keywords: Grain size, Porosity, Tortuosity, Kozeny-Carman s equation, 3D porous rocks model untuk model batuan dengan butiran PENDAHULUAN sferis/bola. Oleh karena itu, peneliti membuat model 3D batuan berpori yang dibentuk oleh butiran bola yang didistribusikan secara acak. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh ukuran butir terhadap nilai porositas (ϕ) dan tortuositas (τ). Penelitian sejenis telah dilakukan oleh Nurwidyanto dkk(006) pada kasus batupasir formasi Ngrayong. Persamaan Kozeny-Carman (Carman, 1961) merepre-sentasikan hubungan antara besaran permeabilitas sebagai fungsi dari besaran-besaran fisis lainnya. Persamaan tersebut sering direpresentasikan dalam bentuk grafik permeabilitas (k) sebagai fungsi porositas (ϕ), permeabilitas (k) sebagai fungsi ukuran butir (r), dan permeabilitas (k) sebagai fungsi tortuositas (τ). Persamaan tersebut telah banyak diterapkan pada berbagai kasus, baik untuk model medium berpori, misalnya batuan berpori, dalam ruang D maupun 3D. Model tersebut menggunakan asumsi bahwa poripori batuan membentuk jalur aliran fluida silinder yang berbentuk pipa. Persamaan tersebut telah dikaji di antaranya oleh Sumantri (007) yang melakukan analisis perbandingan nilai permeabilitas yang diperoleh dengan menggunakan persamaan ini dengan hasil yang didapat dari pendekatan fraktal, serta Dvorkin (009) yang melakukan analisis tinjauan ulang persamaan Kozeny-Carman yang lebih komprehensif. Pada persamaan Kozeny-Carman, nilai tortuositas sering digunakan nilai τ =,5 untuk berbagai nilai porositas. Dalam kenyataannya, pengukuran tortuositas tidak mudah dilakukan. Sehingga tortuositas dianggap konstan untuk mempermudah perhitungan dalam mencari nilai permeabilitas. Namun demikian, beberapa penelitian misalnya Matyka dkk (008) dan Duda dkk (011) nilai tortuositas tidak konstan untuk nilai porositas yang berbedabeda. Penelitian ini mengkaji pengaruh ukuran butiran dan porositas pada nilai tortuositas METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, model 3D batuan berpori dibuat dengan menggunakan butiran bulat sempurna/sferis/bola. Model ini akan digunakan menganalisis persamaan matematis Kozeny-Carman untuk menginvestigasi tortuositas. Model ini diasumsikan memenuhi model fisis untuk persamaan Kozeny-Carman, yaitu poriporinya berbentuk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Jalur aliran fluida yang berbentuk pipa (Dvorkin, 009) Berbagai penelitian telah menghasilkan model-model batuan dengan bermacam pendekatan dan karakteristik yang khas dari masing-masing model tersebut. Salah satu di antaranya adalah model fraktal yang dibuat oleh Feranie (010). Dalam penelitian ini, model 3D batuan berpori dibentuk oleh butiran berbentuk bola yang didistribusikan 95

41 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 secara acak dengan ukuran Ukuran butir dibuat berbeda dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran butir terhadap porositas dan tortuositas. Pengukuran model ini dibatasi hanya pada porositas 10%, 15% dan 0% serta ukuran jari-jari butiran bola dalam rentang 5-10, 10-15, dan 15-0 (dalam ukuran pixel). Lalu dalam model tersebut diperoleh visualisasi jalur aliran fluida (tortuositas) yang diidentifikasi dengan warna yang berbeda dari warna butir. Butiran bola dideskripsikan dengan warna hitam untuk permukaan butir dan warna merah tua untuk didalamnya, sedangkan jalur aliran fluida yang dapat mengalir melalui porositas batuan yang saling terhubung dideskripsikan dengan warna merah seperti pada Gambar. L ' L (0.3) Dalam penelitian ini, tortuositas dihitung dengan menggunakan metode random walk yang dikembangkan oleh Fauzi dan Ariwibowo (006). Metode ini menggunakan pendekatan pelacakan jejak ruang pori beradasarkan hubungan tetangga terdekat (nearest neighbor) dengan prioritas sumbu utama dan kemudian sumbu diagonal. Hasil penelusuran metode tersebut dapat divisualkan seperti yang terlihat pada Gambar 3. Gambar 3. Jalur aliran fluida pada struktur dalam batuan HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar. Model 3D batuan berpori dengan ukuran kotak tersusun oleh butiran bola. Persamaan Kozeny-Carman dituliskan dalam Persa-maan (1.1) berikut (Dvorkin, 009): 3 1 k s (0.1) dengan k adalah permeabilitas, ϕ adalah porositas total, s adalah luas permukaan spesifik dan τ adalah tortuositas. Porositas (ϕ) didefinisikan sebagai volume pori total dibagi dengan volume total batuan. Secara matematis ditulis sebagai sebagai berikut: Volume pori total 100% Volumetotal batuan (0.) Kemudian, tortuositas (τ) didefinisikan sebagai pan-jang lintasan yang terbentuk oleh pori L dibagi terhadap panjang terdekatnyal. Secara matematis ditulis sebagai berikut: Hasil konstruksi model 3D batuan berpori untuk porositas 10% dengan jari-jari butir yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 4. Pada model tersebut bagian tepian kubus model menunjukkan butiranbutiran yang terpotong. Hal ini dihasilkan dari metode pengambilan subsampel dari model keseluruhan untuk mengurangi efek ketidakseragaman distribusi pori secara statistik akibat geometri pada tepian matriks. (a) 96

42 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 setiap ukuran butir yang berbeda diperlihatkan dalam Tabel 1. (b) (c) Gambar 4. Model 3D batuan berpori dengan porositas 10% dengan ukuran butir (a)5-10(b) 10-15(c) 15-0 Jalur pendeteksian keterhubungan pori yang dapat diinterpretasikan secara sederhana sebagai jalur aliran fluida dalam pori, dapat divisualkan terpisah dari geometri model batuan yang dihasilkan. Dua dari beberapa hasil metode random walk tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 1. Parameter pemodelan dan hasil perhitungan tortuositas rata-rata. Poros 10% 15% 0% itas Ukura n Butir Tortuosita s Tortuosita s Tortuosita s 5 10,17 0,8463 1,54 0,658 1,806 0, ,669 0,6096 1,477 0,309 1,708 0, ,73 0,3709 1,359 0,34 1,536 0,5817 Terlihat bahwa untuk porositas yang sama dengan jari-jari butir yang berbeda akan menghasilkan nilai tortuositas yang berbeda. Hal tersebut bisa terjadi karena pengaruh distribusi acak butiran. Semakin kecil ukuran butir maka nilai tortuositas akan semakin besar, begitu juga sebaliknya. Tortuositas tinggi mengandung arti yaitu semakin rumit jalur aliran fluida didalam batuan. Nilai tortuositas paling tinggi berdasarkan hasil diatas adalahτ =,1 sedangkan menurut asumsi dalam persamaan Kozeny-Carman untuk menghitung permeabilitas bernilai τ =,5 untuk semua nilai porositas. KESIMPULAN (a) (b) Gambar 5. Visualisasi jalur aliran fluida (tortuositas) (a) Porositas 10% ukuran butir (b) Porositas 15% ukuran butir 5-10 Parameter pemodelan dan hasil perbandingan tortuositas rata-rata untuk Nilai tortuositas dari model-model yang dibuat bervariasi antara 1,359 sampai,17. Dalam model-model dengan nilai porositas yang sama, makin besar ukuran butiran, makin kecil nilai tortuositas yang dihasilkan, yang menunjukkan bahwa butiran kecil menghasilkan struktur pori yang lebih kompleks. Dengan kata lain, fluida akan melalui jalur yang lebih rumit sehingga akan dapat diprediksi menghasilkan permeabilitas yang lebih kecil. Sedangkan secara umum, semakin besar nilai porositas, maka nilai tortuositasnya makin kecil, yang menunjukkan makin sederhananya struktur pori atau jalur yang dilalui fluida, sehingga dapat diprediksi nilai permeabilitas semakin 97

43 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 besar. DAFTAR PUSTAKA [1] A. Duda, Z. Koza, dan M. Matyka, (011): Hydraulic tortuosity in arbitrary porous media flow, Physical Review E 84, [] J. Dvorkin (009): Kozeny-Carman Equation Revisited. [3] M. I. Nurwidyanto, M. Yustiana, S. Widada (006): Pengaruh Ukuran Butir Terhadap Porositas dan Permeabilitas Pada Batu Pasir (Studi Kasus: Formasi Ngrayong, Kerek, Ledok dan Selorejo), Berkala Fisika Vol. 9, No. 4, hal [4] M. Matyka, A. Khalili, dan Z. Koza, (008): Tortuosity-porosity relation in the porous media flow, Physical Review E 78, [5] P. C. Carman (1961): The flow of gas Through Porous Media, Biblio thé que des Scienceset Techniques Nucléaires. Paris:PressesUniversitaires de France. [6] S.Feranie (010): Pemodelan Struktur Pori Dari Batuan Geologi Dengan Fraktal, Berkala Fisika Vol. 1, No. 3, hal [7] U. Fauzi dan T. Ariwibowo, (006): Tortuosity and Coordination Number of Highly Porous Artificial Rocks Created Using Random Number Generator, Proceedings of ICMNS 006. [8] Y. Sumantri (007): Perbandingan Antara Hasil Perkiraan Permeabilitas Menggunakan Persamaan Kozeny- Carman dan Persamaan Fraktal, Proceeding Simposium Nasional IATMI, UPN Veteran Yogyakarta. 98

44 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 SIFAT MAGNETIK SEDIMEN SUNGAI SEBAGAI INDIKATOR PENCEMARAN (STUDI KASUS : SUNGAI CITARUM KABUPATEN KARAWANG) Kartika H. Kirana* ), DiniFitriani, Eddy Supriyana, EleonoraAgustine Program Studi Geofisika, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 1 Jatinangor * ) kartika@geophys.unpad.ac.id Abstrak Sungai Citarumsangatpentingbagikehidupansocialekonomimasyarakat yang tinggal di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain digunakan sebagai sumber air minumoleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), irigasi pertanian dan perikanan, pembangkit listrik tenaga air, DAS Citaum juga dijadikan sebagai daerah buangan limbah pabrik dan rumah tangga. yang berpotensi sebagai sumber pencemar. Menyadari bahwa keberadaan Sungai Citarum ini sangat penting, makadiperlukan monitoring dan evaluasi terhadap pencemaran air Sungai Citarum. Metode kemagnetan batuan sebagai suatu metode yang cepat dan mudah, dapat digunakan sebagai proxy indicator pencemaran air Sungai Citarum melalui pengukuran suseptitibilitas magnetik. Penggunaan metoda ini didasarkan pada kelimpahan mineral magnetik yang terkandung dalam setiap bahan di alam. Bahan yang akan digunakan sebagai sampel untuk menduga pencemaran air adalah sedimen DAS Citarum. Nilai suseptibilitas magnetik diukur dengan menggunakan alat Bartington MSB yang beroperasi padaduafrekuensi, 470 Hz dan 4700 Hz. Hasil pengukuran menunjukkan urutan daerah yang memiliki suseptibilitas magnetik yang diukur pada 470 Hz( LF ), dari yang terbesar hingga terkecil adalah Walahar, Waduk Jatiluhur, Curug Klari, Tunggakjati, Medangasem-Jayakerta, dan PDAM. Pengukuran suseptibilitas magnetik dilakukan pula pada frekuensi yang lebih tinggi ( HF ), yaitu 4700 Hz. Perbedaan relatif nilai suseptibilitas magnetik yang diukur pada dua frekuensi disebut sebagai suseptibilitas bergantung frekuensi ( FD ).Pengukuran suseptibilitas magnetik pada dua frekuensi tersebut menunjukkan bahwa sampel pada daerah kajian memiliki nilai FD (%) kurang dari 4 %.Nilai suseptibilitas bergantung frekuensi yang rendah (1-4%) sering ditemukan pada tanah yang terkontaminasi.berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa mineral magnetik di daerah kajian berasal dari sumber antropogenik.dugaan bahwa sumber mineral magnetik merupakan sumber antropogenik didukung oleh analisa statistik yang menunjukkan korelasi negatif antara LF dan FD.Adanya korelasi negatif antara LF dan FD mengindikasikan bahwa mineral magnetik berasal dari polusi industri. Kata kunci :suseptibilitasmagnetik, pencemaran, Sungai Citarum 99

45 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des Pendahuluan Sungai Citarum di Kabupaten Karawang selain dimanfaatkan sebagaisumber air minumoleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), irigasi pertanian dan perikanan, pembangkit listrik tenaga air, di sisi lain juga digunakan sebagai daerah buangan limbah pabrik dan rumahtangga sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran. Mengingat pentingnya peranan Sungai Citarum, maka monitoring danevaluasi diperlukan untuk mengontrol pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum. Banyak metoda yang dapat digunakan untuk mendeteksi pencemaran yang terjadi di daerah Sungai Citarum, salah satu metoda yang cepat, mudah dan murah, serta dapat memberikan informasi sebagai proxy indikator pencemaran adalah dengan menggunakan metoda kemagnetan batuan. Metode kemagnetan batuan banyak digunakan dalam kajian tentang pencemar atau polutan lingkungan.tujuan dari kajian seperti ini umumnya adalah untuk mengidentifikasi mineral magnetik yang dominan pada pencemar dan menghubungkannya dengan sumber atau mekanisme pencemaran [1] serta keberadaan suatu mineral magnetik dan kelimpahannya dapat mencerminkan keadaan atau kondisi lingkungan []. Sumber mineral magnetik dapat berasal dari aktivitas manusia (antropogenik) dan alami (pedogenik) [3]. Kelimpahan mineral magnetik pada suatu bahan dapat diketahui dengan mengukur nilai suseptibilitas magnetik.. Metode Penelitian Pengukuran suseptibilitas magnetik dilakukan terhadap sejumlah sampel sedimen Pengambilan sampel dilakukan di sepanjang DAS Citarum sekitar Kabupaten Karawang, yaitu Waduk Jatiluhur, Curug Klari, Walahar, PDAM, Tunggakjati, dan Medangasem-Jayakerta. Sampel diambil dengan cara coring sedimen di DAS untuk mengetahui variasi dugaan pencemaran secara vertikal. Diduga dalam sedimen sungai tersebut terdapat akumulasi penumpukan limbah yang terbawa aliran sungai. Sampel sedimen yang diambil selanjutnya dicuplik ke dalam holder bervolume 10 cm 3 seperti pada Gambar1. Dari hasil pengambilan sampel didapatkan jumlah total coringadalah 16 buah dan terbagi menjadi 133 buah holder sampel. Gambar 1.Proses pengambilan sampel sedimen Sungai Citarum. Setelah proses pencuplikan selesai, lalusampelsampel tersebut menjalani suseptibilitas magnetik dengan menggunakan Bartington MS Susceptibility Meter pada frekuensi rendah LF (470 Hz) dan frekuensi tinggi HF (4700 Hz).Perbedaan relatif nilai suseptibilitas yang diukur pada frekuensi rendah dan frekuensi tinggi disebut sebagai suseptibilitas bergantung frekuensi (frequency-dependent susceptibility, FD ). FD dapat diungkapkan dalam persentasi dan diperoleh melalui persamaan (1): FD (%) 3. Hasil dan Pembahasan (1) Nilai suseptibilitas magnetik frekuensi rendah bervariasi dari 14,4 x 10-8 m 3 /kg sampai 1741,7 x 10-8 m 3 /kg. Dari enam lokasi pengambilan sampel, sampel dari daerah Walahar memiliki nilai suseptibilitas magnetik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Tingginya nilai suseptibilitas magnetik mengindikasikan adanya akumulasi mineral magnetik dengan konsentrasi/ jumlah yang cukup tinggi seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1.Nilai suseptibilitas sampel. Daerah Jatiluhur Walahar 0,61-,35 0,46-11,07 0,4-7,43 0,17-3,18 0,04-,5 0,48-3,51 Rentang LF (x 10-8 m 3 /kg) 14,4-330,1 15,4-7537,8 Rentang HF (x 10-8 m 3 /kg) 14,-37,7 10, PDAM 9,5-97 7,4-95, Jayakerta 4,4-191,1 41,1-189,5 TunggakJati 87, ,8-404,3 CurugKlari LF LF HF 71,3-664,3 100% 68,8-661,1 Rentang FD (%) Nilai suseptibilitas magnetik mengindikasikan 100

46 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 kelimpahan mineral magnetik. Keberadaan mineral magnetik tersebut dapat terjadi karena proses pembentukan tanah (pedogenik) atau dapat pula karena sumber lain, yaitu aktivitas manusia (antropogenik) yang dapat berupa aktivitas industri, kendaraan bermotor atau aktivitas rumah tangga, dimana sumber ini berperan sebagai kontaminan [3]. Dilihat dari data nilai suseptibilitas, daerah Walahar memiliki nilai suseptibilitas paling tinggi. Hal ini menarik karena pada daerah Walahar terdapat perlapisan pada tanah permukaan. Perlapisan tanah ini diduga karena daerah Walahar merupakan tanah vulkanik atau dapat juga karena dahulu daerah Walahar merupakan daerah penambangan pasir hitam. Pengukuran suseptibilitas magnetik pada dua frekuensi menunjukkan bahwa sampel pada daerah kajian memiliki nilai FD (%) kurang dari 4 %. Sebagaimana dikutip dari Bijaksana dan Huliselan [4], nilai suseptibilitas bergantung frekuensi yang rendah (1-4%) sering ditemukan pada tanah yang terkontaminasi, sementara kelimpahan mineral magnetik pada tanah yang berasal dari proses pedogenikmemilikinilai yang lebihtinggi (~10%).Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa mineral magnetik di daerah kajian merupakan sumber antropogenik. Dugaan bahwa sumber mineral magnetic merupakan sumber antropogenik didukung oleh analisa statistik yang menunjukkan korelasi negatif antara LF dan FD, seperti yang ditunjukkan pada Gambar. Lu dan Bai [5] menyatakan bahwa adanya korelasi negatif antara LF dan FD mengindikasikan bahwa mineral magnetik berasal dari polusi industri. magnetik diperoleh urutan daerah yang diduga memiliki kelimpahan mineral magnetik dari nilai tertinggi hingga nilai terendah adalah daerah Bendung Walahar, Waduk Jatiluhur, Curug Klari, Tunggak Jati, Jayakerta, dan PDAM. Kelimpahan mineral magnetik yang tinggi ini diduga berasal dari sumber antropogenik (polusi industri). Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada Pemda Kabupaten Karawang yang telah mendanai penelitian ini. Penelitian ini terselenggara atas kerjasama Unpad dengan Unsika. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Puji Isyanto, MM. untuk bantuan selama pengambilan sampel. Daftar Acuan [1] E.K. Huliselan dan S. Bijaksana, Identifikasi mineral magnetik pada lindi, Jurnal Geofisika,, (007),p [] T.Yang, Q.Liu, L. Chan, dan Z. Liu, Magnetic signature of heavy metals pollution of sediments : case study from the East Lake in Wuhan, China,Environmental Geology,5, (007),p [3] S. Bijaksana, Analisa mineral magnetik dalam masalah lingkungan, Jurnal Geofisika, 1, (00), p [4] S. Bijaksana dan E. K. Huliselan, Magnetic properties and heavy metal content of sanitary leachate sludge in two landfill sites near Bandung, Indonesia, Environmental Earth Science, (009), DOI /s [5] S. G. Lu dan S. Q. Bai, Magnetic characterization and magnetic mineralogy of the Hangzhou urban soil and its environmental implications, Chinese Journal of Geophysics, 51 (3), (008), p Gambar. Korelasi suseptibilitas magnetic dengan suseptibilitas bergantung frekuensi. 4. Kesimpulan Berdasarkan data hasil pengukuran suseptibilitas 101

47 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 KARAKTERISASI RESERVOAR BATUPASIR PADA LAPANGAN SG MENGGUNAKAN INVERSI ACOUSTIC IMPEDANCE (AI) DAN ELASTIC IMPEDANCE (EI) Fajri Akbar 1*) dan Syamsu Rosid 1) 1 Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 1644 * ) fajri.akbar8@gmail.com Abstrak Telah dilakukan penelitian di lapangan SG pada Formasi Talang Akar Sub-Cekungan Jambidengan studi inversi Acoustic Impedance(AI) dan Elastic Impedance(EI) untuk mengkarakterisasi reservoar. Metode AI yang melibatkan kecepatan gelombang P (V P ) dan densitas menjadi kurang sensitif untuk kehadiran fluida. Untuk itu dilakukan metode EI dengan melibatkan kecepatan gelombang P (V P ), kecepatan gelombang S (V S ), dan densitas sehingga lebih sensitif terhadap kehadiran fluida. Metode AI di lakukan pada data seismikpost stackyang diinversi menghasilkan Volume AI untuk mengetahui lithology sedangkan metode EI dilakukan pada data seismik pre-stack dalam bentuk gather yang di mulai dengan super gather, kemudian merubah domain offset menjadi sudut (angle gather) dan menghasilkan data seismik near angle stack dan far angle stackyang selanjutnya diinversi menghasilkan volumeei near dan far untuk mengetahui sebaran fluida gas dengan pemilihan zona gas berdasarkancrossplot hasil inversi EI near dan far. Di dapatkan hasil pada penampang AI, zona sand berada pada nilai ft/s*g/cc sampai dengan ft/s*g/cc dan hasil crossplot inversi EI near dan far pada zona sand yang berpotensi mengandung gas didapatkan ketika nilai EI far lebih kecil dibandingkan nilai EI near. Sebaran reservoar yang berpotensi mengandung gas berada di sebelah barat daya sampai ke utara daerah penelitian ini. Abstract Acoustic Impedance (AI) and Elastic Impedance (EI) inversion study had been done on SG field on Talang Akar Formation, Sub-Basin Jambi for reservoir characterization. AI method which involve P-wave velocity and density is insensitive to fluid. Thus, EI method which involve P-wave velocity, density and S-wave velocity implemented to made more sensitive to fluid presence. AI method had been done on seismic post stack data which inverted to AI volume to understand lithology of the field while EI method had been done on pre-stack seismic data gather which starts with super gather, then transform offset domain to angle domain and generate seismic near angle stack and far angle stack herein after inverted to generate EI volume near and far to perceive gas fluid distribution by gas zone selection based on crossplot inversion result of EI near and far. The result on AI section, sand zone is on 0,500 ft/s*g/cc up to 9,000 ft/s*g/cc and result of crossplot inversion EI near and far on sand zone, which potentially contain gas, obtained when EI far smaller than EI near. Reservoir distribution and potentially contain gas is on South- West to North of this area. Keywords: Acoustic Impedance, Elastic Impedance, S-wave. 1. Pendahuluan Eksplorasi hidrokarbon dalam industri minyak dan gas bumi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menemukan cadangan minyak dan gas bumi yang ekonomis untuk di eksploitasi.seismik refleksi merupakan salah satu metoda utama dalam eksplorasi hidrokarbon. Metoda ini dapat menggambarkan keadaan geologi bawah permukaan dengan cukup baik, sehingga perangkap hidrokarbon dapat dikenali dengan baik. Namun dalam tahapan interpretasi, seringkali di perlukan analisa lebih lanjut untuk memperkirakan potensi hidrokarbon yang berada di lokasi tersebut. Untuk mengetahuinya, sangat perlu dilakukan karakterisasi reservoar. Upaya ini dilakukan untuk mendeskripsikan sifat fisika dan litologi batuan beserta kandungan fluidanya dengan mengintegrasikan data geofisika dan data petrofisika. Salah satu metode yang pada umumnya digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik reservoar adalah metode inversi seismik.inversi seismik adalah suatu teknik pembuatan model geologi bawah permukaan dengan menggunakan data sesismik sebagai input dan data sumur sebagai pengontrolnya [1]. Teknik inversi seismik pada awalnya menggunakan data stack zero-offset yaitu sudut datang gelombang 0 o atau tegak lurus bidang pantul, untuk menghasilkan Acoustic Impedance (AI). Mengingat AI hanya melibatkan kecepatan 10

48 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 gelombang P (V p ) dan densitas batuan, ambiguitas antara efek lithologi dan fluida belum dapat terpisahkan. Hal ini merupakan kekurangan yang perlu di perbaiki. Connolly [] memperkenalkan teknik inversi Elastic Impedance (EI) yang merupakan generalisasi dari AI untuk sudut datang tidak sama dengan nol. Teknik ini membutuhkan masukan data stack nonzero offset yaitu stack yang memiliki rentang sudut datang tertentu. Selain merupakan fungsi densitas dan kecepatan gelombang P, EI juga dipengaruhi oleh kecepatan gelombang S sehingga lebih sensitif terhadap kehadiran Hidrokarbon. Maka, jika AI dan EI di kombinasikan,diharapkan hal ini dapat memisahkan lithologi batuan reservoar dan jenis fluida yang terkandung di dalamnya. Gambar 1. Diagram alir penelitian inversi Acoustic Impedance dan Elastic Impedance. Dalam prakteknya, Impedansi Akustik kurang sensitif terhadap pengaruh kandungan fluida dalam batuan.kemudian dikembangkan inversi yang melibatkan inversi pada stack yang dibuat dengan sudut datang ( ) sebagai variable. Proses inversi yang melibatkan sudut datang ( ) tertentu, dan juga penggunaan shear velocity (V s ) disamping compressional velocity (V p ) disebut sebagai Elastic Impedance (EI).. Metode Penelitian Secara garis besar alir penelitian ini dapat dijelaskan melalui diagram alir penelitian seperti yang di tunjukkan pada Gambar 1. Studiuntuk inversi AIdimulai dengan pengumpulan data-data (data seismik, data log, dan data petrofisika), ekstraksi wavelet, well seismic tie, picking horizon, pembuatan model awal geologi, inversiai, dan pembuatan map impedansi akustik. Sedangkan untuk inversi Elastic Impedance dimulai dengan pembuatan super gather, angle gather, near-far angle stack, create near-far EI log, pembuatan model awal geologi masing-masing sudut, inversi EI pada masing-masing sudut, dan crossplot hasil inversi EI near dan EI far untuk mengetahui persearan fluida gas pengisi reservoar. Impedansi akustik merupakan impedansi batuan ketika terkena gelombang pada arah normal. Secara sederhana, impedansi akustik dapat diartikan sebagai kekerasan batuan.semakin besar impedansi akustik suatu batuan maka tingkat kekerasannya semakin tinggi. AI V P (1) Gambar.Model konversi gelombang P-S pada refleksi dengan sudut datang gelombang tidak nol[3]. Aki-Richard [4] menurunkan persamaan yang merupakan pendekatan linear dari persamaan Zoeipprits. Ia lakukan dengan membagi faktor-faktor yang mempengaruhi variasi amplitudo seismik terhadap sudut datang ke dalam zona-zona sudut datang gelombang saat menumbuk sebuah reflektor, antara lain pada sudut normal (suku pertama), sub kritis (suku ke dua) dan pendekatan pada sudut kritis (suku ke tiga). Persamaan ini menjelaskan bahwa amplitudo refleksi gelombang seismik pada sudut datang tidak nol dibentuk dari kombinasi linear perubahan fraksional kecepatan gelombang P (V P ), kecepatan gelombang S (V S ) dan densitas pada sebuah reflektor. dimana, R A Bsin Csin 1 Vp A Vp 1 Vp Vs Vs Vs B 4 Vp Vp Vs Vp 1 Vp C Vp tan () Connolly [] memperkenalkan EI sebagai perluasan dari metode AI untuk non-normal incident angle. Sebuah fungsi f(t) yang merupakan analogi dari impedansi akustik dibutuhkan untuk menyatakan reflektifitas pada sudut tidak normal. 103

49 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 t i f t i1 t f t f R (3) f i i1 dimana, = Reflektifitas pada sudut tidak normal R f t = Analogi AI yang didefinisikan sebagai Impedansi Elastik (EI) Persamaan diatas dapat dinyatakan dalam bentuk: Vp Vp Vp AI R A Vp Vp AI 1 EI 1 R EI EI ln (4) Kemudian dengan menggunakan pendekatan linear dari persamaan Zoeipprits yang diturunkan oleh Aki-Ricahards [4] dengan persamaan Connoly [] maka persamaan yang mengekspresikan EI dapat diturunkan dalam bentuk: (1 tan ) ( 8K sin ) (1 4K sin ) EI ( ) Vp Vs dimana, EI = Elastic Impedance = Densitas V P = Kecepatan gelombang P V S = Kecepatan gelombang S = Sudut datang gelombang 104 (5) Persamaan diatas merupakan sebuah ekspresi impedansi batuan pada sudut tidak normal dan merupakan fungsi dari V P, V S dan densitas yang bervariasi terhadap sudut. Dengan menggunakan impedansi elastik, data sumur dapat secara langsung di-tied dengan data stack pada sudut yang tidak nol []. Pada metode Elastic Impedance, data seismik dalam bentuk CDP gather terlebih dahulu dilakukan proses super gather. Super gather adalah penjumlahan beberapa CDP yang berdekatan sehingga dapat memberikan peningkatan signal to noise ratioyang memberikan resolusi semblance yang lebih baik karena sifat signal yang koheren dibandingkan dengan noise yang berubah secara waktu dan tempat. Penjumlahan akan menguatkan yang koheren dan melemahkan yang random. Langkah berikutnya adalah mengubah data seismik dalam kawasan offset ke dalam bentuk angle gather yang selanjutnya di stack dalam dua rentang sudut yaitu untuk near angle stack dan untuk far angle stack. Inversi Elastic Impedance dilakukan dengan dua rentang sudut yaitu near dan far angle stack.untuk itu dibutuhkan dua log Elastic Impedance dengan dua sudut juga. Pemilihan sudut untuk membuat log Elastic Impedance diambil pada nilai tengah rentang sudut near dan far angle stack. Untuk inversi near Elastic Impedance dengan menggunakan data seismik near angle stack dengan sudut stack maka di buat log Elastic Impedance dengan sudut 8 0. Sedangkan untuk inversi far Elastic Impedance dengan menggunakan data seismic far angle stack dengan sudut stack maka dibuat log Elastic Impedance dengan sudut Hasil dan Pembahasan Dalam proses pencarian reservoar hidrokarbon yang memiliki prospek mengandung gas maupun minyak, analisis fisika batuan dalam bentuk crossplot sangatlah penting. Dalam analisis crossplot digunakan data-data sumur yang memiliki resolusi vertikal yang sangat baik sehingga dapat terlihat litologi batuan yang terdapat dalam sumur.dengan demikian dapat dianalisis serta diperkirakan pula jenis litologi dan tebal-tipisnya litologi tersebut. Dari crossplot data p-impedansi dan volume clay pada ketiga sumur didapatkan 5 zona, yaitu zona sand, shaly sand, shale,meta sedimendan basement. Zona sand ditandai oleh warna kuning, zona yang memiliki volume clay yang dominan rendah. Kemudian zona shale, zona yang memliki nilai volume clay yang dominan tinggi yang ditandai oleh warna hijau.zona shaly sand memiliki nilai volume clay yang relative menengah yang ditandai oleh warna merah muda.zona meta sedimenditandai dengan warna hijau toska dengan nilai impedansi yang lebih tinggi dari pada sand yang disebabkan oleh batuan yang lebih kompak dibanding sand. Dan zona yang ke lima adalah basement dengan warna biru yang ditandai dengan p-impedance sangat tinggi. Gambar 3. Crossplot dan Crossection p-impedance dengan volume clay pada sumur FA

50 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar 4. Crossplot dan Crossection p-impedance dengan volume clay pada sumur FA-10. Gambar 6. Crossplot dan Crossection EI near dengan EI far pada sumur FA-05 Gambar 5. Crossplot dan Crossection p-impedance dengan volume clay pada sumur FA-X. Berdasarkan hasil crossplotp-impedance dengan volume clay di atas, Dapat dilihat pada semua sumur memiliki nilai Acoustic Impedance (AI) yang tinggi pada sand jika di bandingkan dengan shale. Pada sumur FA-05 (Gambar 3), lapisan sand memiliki rentang nilai Acoustic Impedance antara.500 sampai dengan (ft/s)*(g/cc). Pada sumur FA-10 (Gambar 4), lapisan sand memiliki rentang nilai Acoustic Impedance antara sampai dengan (ft/s)*(g/cc). Dan pada sumur FA-X (Gambar 5), lapisan sand memiliki rentang nilai Acoustic Impedance antara sampai dengan (ft/s)*(g/cc). Berdasarkan ketiga sumur ini, dapat disimpulkan bahwa rentang nilai Acoustic Impedancesand pada lapangan SG berkisar antara sampai dengan (ft/s)*(g/cc). Pada lapangan SG ini juga terdapat batuan meta sedimen yang terdapat pada sumur FA- 05 dan sumur FA-X yang berada di atas basement dengan nilai Acoustic Impedance pada sumur FA-05 berkisar dari sampai dengan (ft/s)*(g/cc) dan pada sumur FA-X berkisar dari sampai dengan (ft/s)*(g/cc). Pada ketiga sumur ini, tidak semua sumur sampai pada batuan basement, hanya dua sumur yang sampai pada batuan basement yaitu sumur FA-05 dan sumur FA- X. Gambar 7. Crossplot dan Crossection EI near dengan EI far pada sumur FA-10. Gambar 8. Crossplot dan Crossection EI near dengan EI far pada sumur FA-X. Crossplot log Elastic Impedance near (8 0 ) dan log Elastic Impedance far (1 0 ) pada sumur FA-05 (Gambar 6), sumur FA-10 (Gambar 7), dan sumur FA-X (Gambar 8) bertujuan sebagai indikator dari perubahan litologi dan indikator keberadaan fluida gas pengisi pori dengan penurunan nilai log EIfar terhadap EInear yang ditandai dengan warna kuning pada batuan sand. Semakin besar sudut yang kita ambil maka pemisahan fluida pengisi pori akan semakin bagus karena ketika suatu formasi berisi gas 105

51 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 maka akan terjadi penurunan kecepatan gelombang P (Vp) dan semakin besar sudut yang di ambil maka akan semakin jelas penurunan kecepatan gelombang P (Vp) yang di bandingkan dengan kecepatan Gelombang S (Vs) yang tetap stabil jika batuan terisi gas ataupun bukan. Untuk melihat sebaran lapisan sand dan sebaran fluida gas pengisi pori pada lapangan SG maka di tampilkan dalam bentuk penampang time slice Acoustic Impedance dan penampang persebaran fluida gasmasing-masing horizon pada data seismik. Persebaran fluida gas di ambil berdasarkan zona dari hasil crossplot inversi EI near terhadap EI far pada horizon 6 yang telah terbukti mengandung gas dan di sebarkan ke semua lapisan (Gambar 9). Gambar 9. Crossplot hasil inversi EI near dengan EI far pada horizon 6 yang telah terbukti mengandung fluida gas. Gambar 11. Sebaran fluida gas pada horizon 6. Impedansi berhubungan dengan kekerasan dan porositas suatu batuan, semakin rendah nilai impedansi maka semakin rendah kekerasan batuannya, dan semakin tinggi porositasnya.kualitas reservoar yang terbukti mengandung gas pada sumur FA-05 lebih bagus di banding sumur FA-10 berdasarkan nilai impedansinya.dan pada sumur FA- X memiliki nilai impedansi yang lebih rendah dibanding sumur FA-05 yang kemungkinan pada sumur ini memiliki reservoar yang bagus juga di lapisan ini. Gambar 1. Map Acoustic impedance (AI) 50ms dibawah horizon 4. Gambar 10. Map Acoustic impedance (AI) pada horizon 6. Gambar 10 dan Gambar 11 merupakan penampang time slice Acoustic Impedance dan sebaran fluida gas pada horizon 6 yang ditandai dengan warna kuning. Pada lapisan ini, yang telah terbukti menghasilkan gas adalah pada sumur FA-05 dan sumur FA-10 yang merupakan jebakan hidrokaron struktur yang berbentuk tinggian di sekitar sumur. Gambar13. Sebaran fluida gas 50 ms dibawah horizon 4. Gambar 1 dan Gambar 13 merupakan penampang time slice Acoustic Impedance dan persebaran fluida gas 50 ms dibawah horizon 4. Jebakan hidrokarbon pada lapisan ini merupakan jebakan geologi stratigrafi dengan hilangnya lapisan 106

52 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 di sekitar sumur FA-05 yang ditandai dengan warna ungu pada Gambar 1 sehingga hidrokarbon terperangkap di sekitar sumur FA-X dan FA-10 yang persebarannya dapat dilihat pada Gambar 13 dengan warna kuning. 4. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil pengolahan data dan analisis hasil pengolahan dapatdi simpulkan sebagai berikut: 1. Lapisan sand pada lapangan SG formasi Talang Akar memiliki nilai Acoustic Impedance yang lebih tinggi di banding shale yang berkisar antara (ft/s)*(g/cc).. Pada Sumur FA-10 memiliki nilai impedansi sand yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumur FA-05 dan sumur FA-X. 3. Metode Elastic Impedance berhasil memisahkan lapisan yang berpotensi mengandung gas dengan dilakukan crossplot hasil inversi EI near dan EI far yang di tampilkan dalam bentuk map potensi gas tiap lapisan pada volume seismik hasil inversi EI. 4. Penyebaran lapisan sand dan yang berpotensi mengandung gas berada di sebelah barat daya sampai ke utara. Ucapan Terimakasih Teriman kasih kepada teman seperjuangan Dhanys, Dini, Indra, Gianita, dan Yadi atas segala bantuannya. Daftar Acuan [1] Sukmono, S., 00, Seismik Inversi Untuk Karakteristik Reservoar, Jurusan Teknik Geofisika ITB [] Connoly, P., 1999, Elastic Impedance, The Leading Edge, 18, No. 4, [3] Mavko G., Mukerji T., and Dvorkin J., 1998, The Rock Physics Handbook Tools, Cambridge University Press. [4] Aki, K., and P.G. Richards, 1980, Quantitative Seismology and Methods, 1 st edition: W.H. Freeman and Company. 107

53 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 PENYESUAIAN KURVA MODEL DINAMIS LANDAU-KHALATNIKOV PADA BZT Muhammad Hikam *), Septian Rahmat Adnan **), Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 1644 * ) hikam@sci.ui.ac.id ** ) septian.rahmat@ui.ac.id Abstrak Penyesuaian kurva dengan program Delphi 6 pada Windows dilakukan untuk mencocokan hasil model dinamis Landau Khalatnikov dan kurva histeresis eksperimen dari lapisan tipis Barium Zirkonium Titanat (BZT) dengan doping Lantanum dan Indium yang di uji menggunakan rangkaian Sawyer-Tower. Serupa pada metode Rietveld pada difraksi sinar x, faktor R-Weighted Pattern (R wp ) digunakan sebagai pembanding antara hasil model dan eksperimen. Dengan memberikan variasi pada beberapa parameter seperti frekuensi, amplitudo medan listrik dan faktor skala mengakibatkan adanya perubahan pada hasil model. Hasil akhir menunjukan bahwa model cukup sesuai dengan hasil eksperimen. Abstract Curve fitting under Delphi 6 program runs on Windows platform is utilized to match between the dynamic Landau Khalatnikov model and the hysteresis experimental data of Barium Zirconium Titanate (BZT) thin films doped by Lanthanum and Indium which were measured by using Sawyer- Tower circuit. Similar to Rietveld method in x-ray difraction, R-Weighted Pattern (R wp ) factor is utilized as the comparator between the model and the experiment. By varying the adjustable parameters such as frequency, electric field amplitude and scale factor to model was slowly modified. The results showed that the model is in a good agreement with the experimental data. Keywords: Landau Khalatnikov, BZT, Sawyer-Tower circuit, Rwp 1. Pendahuluan Sifat ferroelektrisitas banyak diteliti pada saat ini dikarenakan sifatnya yang dapat diaplikasikan pada divasi elektronik, seperti FeRAM, Solar Cell, dll [1-4]. Barium titanat merupakan salah satu material ferroelektrik yang telah banyak diteliti karena memiliki konstanta dielektrik tinggi serta arus bocor rendah []. Pada perkembanganya Barium Zirkonium Titanat (BZT) menjadi material yang banyak diteliti selain Barium Titanat dan Barium Strontium Titanat (BST) karena secara kimiawi ion Zr 4+ lebih stabil dibandingkan ion Ti 4+ []. Teori Landau Devonshire (LD) telah banyak digunakan karena cukup memuaskan untuk memprediksi sifat ferroelektrisitas dari material ferroelektrik [3,5,6] dan model Landau Khalatnikov (LK) merupakan bentuk dinamis dari teori LD [3,5]. Pada penelitian ini dilakukan pengujian kurva histeresis dari BZT dengan dopan Lantanum dan Indium dengan menggunakan rangkaian Sawyer-Tower, serta model Landau-Khalatnikov digunakan untuk menggambarkan kurva histeresis dari BZT. Pada tahap akhir, R-Weigthed Pattern (R wp ) dihitung untuk mengetahui kecocokan hasil eksperimen dan model.. Metode Penelitian Telah dilakukan pembuatan lapisan tipis Barium Zirkonium Titanat dengan dopan Lantanum dan Indium dilakukan pengujian polarisasi menggunakan rangkaian Sawyer-Tower [4]. Energi bebas (G) pada material ferroelektrik Barium Zirkonium Titanat dengan berbagai dopan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Landau- Devonshire (LD) pada persamaan (1) [3,5,6,7,9,10]. A( T T ) B C G P P P EP (1)

54 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Persamaan (1) dapat disederhanakan menjadi persamaan () dan dengan menyisipkan suatu konstanta tidak berdimensi (t) yang merupakan faktor kristalografi dari material BZT [8,9,10] G tp P P EP 4 6 () Polarisasi (P) pada material BZT di jelaskan menggunakan persamaan Landau Khalatnikov (LK) yang merupakan suatu pesamaan diferrensial parsial yang ditunjukan pada persamaan (3). dp G dt P (3) dengan merupakan kecepatan untuk pembalikan polarisasi pada material, sedangkan G merupakan energi bebas Gibbs, maka dengan menggunakan persamaan () dan (3) didapatkan persamaan (4). dp dt 3 5 ( tp P P E) (4) Dengan E E0Sin t. Solusi persamaan (4) diselesaikan dengan menggunakan metode Runge- Kutta orde 4. Hasil model kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen, untuk mengetahui kecocokan dilakukan perhitungan nilai R Weighted Pattern (R wp ) dengan menggunakan persamaan (5), sebagaimana yang biasa digunakan pada analisis Rietveld [11]. Gambar 1. Tampilan Delphi 6 Untuk Model Dinamis BZT Perbandingan hasil model dan eksperimen pada BZT dengan dopan 1% Lantanum ditunjukan pada gambar. Dari hasil perbandingan terlihat bahwa nilai saturasi hasil eksperimen dan hasil model hampir sama dan terlihat bahwa nilai medan koersif dan polarisasi remanen terdapat perbedaan, tetapi dari hasil perbandingan didapatkan nilai R wp 4,49% yang menunjukan perbedaan atau error rendah, sehingga dapat dikatakan hasil model cukup baik. R wp n P exp Pmod el i1 n i1 P exp (5) dengan P exp adalah polarisasi hasil eksperimen dan P model adalah polarisasi hasil model. Beberapa parameter seperti frekuensi (f), amplitudo medan listrik (E 0 ) dan faktor skala (S f ) disesuaian untuk mendapatkan nilai R-Weighted Pattern (R wp ) dibawah 10% yang secara statistik dapat dikatakan baik [11]. 3. Hasil dan Pembahasan Tampilan program pada Delphi 6 ditunjukan pada gambar 1. pada program ini parameter kisi dari BZT sebagai input untuk perhitungan konstanta tidak berdimensi t. Gambar. Kurva Perbandingan Hasil Model dan Eksperimen Lapisan Tipis BZT dengan Dopan La 1% dan R wp 4,49%. Hasil eksperimen dan model BZT dengan dopan % Lantanum ditunjukan pada gambar 3. Polarisasi saturasi yang terjadi pada BZT dengan dopan % La mengalami penurunan setengah dibandingkan dengan BZT dengan dopan 1% La. Pada BZT dengan dopan % La dilakukan model dengan memasukan faktor skala 30%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh nilai kapasitor referensi yang digunakan pada pengukuran menyebabkan nilai polarisasi saturasi, remanen berkurang hingga 30% jika dibandingkan dengan BZT dengan dengan dopan 1% La dan hasil R wp didapatkan nilai 7,%. 109

55 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 Gambar 3. Kurva Perbandingan Hasil Model dan Eksperimen Lapisan Tipis BZT dengan Dopan La % dan R wp 7,% Hasil serupa terlihat pada hasil perbandingan antara hasil eksperimen dan model untuk BZT dengan dopan 1% In pada gambar 4. Pada gambar terlihat bahwa nilai saturasi antara hasil eksperimen dan model mendekati sama tetapi terlihat terjadi perbedaan pada nilai polarisasi remanen dan medan koersif tetapi dari hasil perbandingan diapatkan nilai R wp 8,01% kurang dari 10% yang menunjukan hasil model cukup memuaskan secara statistik [11]. Gambar 4. Kurva Perbandingan Hasil Model dan Eksperimen Lapisan Tipis BZT dengan Dopan In 1% dan R wp 8,01% Dari hasil pemodelan BZT dengan variasi dopan dengan variasi komposisi menggunakan teori Landau Devonshire menunjukan hasil cukup baik dengan nilai R wp < 10% ditunjukan pada tabel 1. Tabel 1. Hasil R wp Lapisan Tipis BZT dengan dopan La dan In No Bahan R wp (%) 1. BLZT 1% BLZT % 7, 3. BIZT 1% 8,01 Pada penelitian lanjutan penulis akan melakukan perbaikan pada model yaitu pada perhitungan nilai R wp dengan membuat program akan mencari secara otomatis nilai R wp, karena untuk mencari nilai R wp pada penelitian ini masih secara semi-manual. Ide otomatisasi ini berasal dari metode Least-Square pada Rietveld refinement sebagaimana biasa dilakukan pada analisis data intensitas difraksi sinar-x seperti misalnya dengan program GSAS General Structure Analysis System. [1,13,14] 110

56 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des Kesimpulan Model kurva histeresis Barium Zirkonium Titanat (BZT) dengan dopan La dan In dilakukan menggunakan model dinamis Landau-Khalatnikov, dari hasil perbandingan didapatkan didapatkan nilai R wp antara hasil eksperimen dan model lebih kecil dari 10%, dengan nilai ini dapat dikatakan hasil model cukup baik dan model Landau-Khalatnikov secara baik dapat memprediksi sifat ferroelektrisitas dari material ferroelektrik. Ucapan Terimakasih Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, sebagian dana riset ini berasal dari SINas Research Grant 014 dengan no. kontrak 17/SEK/INSINAS/PPK/I/014 dan International Collaboration and Scientific Publication Research Grant 014 dengan no. kontrak 8/H.R1/HKP.05.00/014 and Lanthanum. Advanced Materials Research. 896 (014). pp [9] M. Hikam and S. R. Adnan. Intrinsic Hysteresis Loops Calculation of BZT Thin Films. J. Phys.: Conf. Ser. 495 (014) [10] M. Hikam and S. R. Adnan. Intrinsic Ferroelectric Coercive Field Calculation for BZT Films Doped by Indium and Lanthanum. Advanced Materials Research. 911 (014). pp [11] A. G. Young (Ed.). The Rietveld Method. Oxford University Press (1993). [1] B. H. Toby. R Factors in Rietveld analysis: How good is good enough?. International Centre for Diffraction Data (006). [13] C.A. Larson and R.B. Von Dreele, GSAS: General Structure Analysis System. LAUR (004) [14] B. H. Toby. EXPGUI, a graphical user interface for GSAS, J. Appl. Cryst. 34 (001) Daftar Acuan [1] J. F. Scott. Prospects for Ferroelectrics: ISRN Materials Science. 013 (013), p 1. [] R. Rani, S. Singh, J. K. Juneja, K. K. Raina, C. Prakash. Dielectric properties of Zr substituted BST ceramics. Ceramics International 37 (011) [3] A. F. Devonshire. Theory of Ferroelectrics. Advance in Physics. 3:10 (1954) [4] C. B. Sawyer, C. H. Tower. Rochelle Salt as A Dielectric. Physical Review. 35 (1930). [5] T. K. Song. Landau-Khalatnikov Simulation for Ferroelectric Switching in Ferroelectric Random Access Memories Application. Journal of the Korean Physical Society. 46 (1) (005) [6] S. Duchrame, V. M. Fridkin,, A. V. Bune, S. P. Palto, L. M. Blinov, N. N. Petukhova, S. G. Yudin. Intrinsic Ferroelectric Coercive Field. Phys. Rev. Lett. 84 (000). 1. [7] M. E. Lines and A. M. Glass. Principle and Applications of Ferroelectrics and Related Materials. Clarendon Press Oxford (1977). [8] S. R. Adnan, M. Hikam, and E. Rizky, Crystallographic and Electrical Properties of Barium Zirconium Titanate doped by Indium 111

57 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 FOTOPRODUKSI η-meson PADA NUKLEON DENGAN MODEL ISOBAR Maya Puspitasari Izaak 1, Agus Salam 1 1 Departemen Fisika, FMIPA-UI, Kampus UI Depok 1644 mayaizaak@yahoo.co.id, agussalam@yahoo.com Abstrak Telah dipelajari dan dikembangkan sebuah model sederhana untuk reaksi fotoproduksi pada nukleon yaitu model isobar dengan menggunakan formalism amplitudo transversal pada kerangka pusat massa. Fotoproduksi dianalisis pada energi foton Lab. antara GeV. Reaksi fotoproduksinya adalah N N. Amplitudo yang ditinjau melibatkan kanal-s, kanal-t dan kanal-u pada suku Born dan resonan. Perhitungan observable yang ditinjau adalah penampang lintang differensial, penampang lintang total, dan polarisasi foton. Hasil penelitian ini menunjukkan seberapa besar kontribusi dari amplitudo transisi pada kanals dan kanal-u dari suku Born dan resonan pada proses perhitungan data observable. Abstract A simple model for photoproduction have been studied and developed in this research named isobaric model using transversal amplitudes formalism in the center of mass system. Photoproduction is analyzed in foton Lab. energy GeV. The considered reaction is N N. Amplitudes consist of s channel, t channel and u channel in Born term and resonance term. Observable that we consider are differential cross section, total cross section and photon polarization. The result of this research is to show how large the contribution of transition amplitudes in channel-s, channel-t and channel-u from Born term and resonance term in the calculation of the observable data. Keywords: Fotoproduksi η, isobaric model, transversal amplitudes. 1. PENDAHULUAN Para ilmuwan fisika telah dan masih melakukan eksperimen untuk meneliti inti dalam gambaran hadron-hadron yang berinteraksi menurut kerangka teori interaksi efektif. Salah satu bentuk eksperimen tersebut adalah eksperimen fotoproduksi yang dilakukan pada skala energi rendah dan menengah [Sumowidagdo 001]. Fotoproduksi merupakan reaksi antara foton dengan suatu partikel yang menghasilkan partikel lain diakhir reaksi. Fotoproduksi adalah kasus khusus dari elektroproduksi dimana foton pada fotoproduksi merupakan foton real sedangkan pada elektroproduksi digunakan hamburan elektron yang dapat bertindak sebagai foon virtual. Meson η adalah salah satu anggota meson nonet fundamental, yang juga memberikan banyak motivasi dari ekstensifikasi fotoproduksi pion dalam beberapa dekade terakhir. Reaksi fotoproduksi η meson adalah salah satu contoh fotoproduksi untuk spektroskopi baryon dengan isospin 0. Reaksi ini menghasilkan sebuah isospin filter pada spektrum resonan baryon. Filter isospin ini mengeliminasi banyak state sehingga membuat tingkat eksitasi nukleon lebih sederhana untuk reaksi ini dibandingkan dengan reaksi πn. Salah satu hal yang membedakan fotoproduksi η dari fotoproduksi pion atau kaon adalah η adalah meson non strangeness tapi memiliki konten quark s. Perbedaan ini dapat membantu menentukan peran quark s dalam propertis model quark nukleon. Selanjutnya, selektifitas isospin dari η meson memberikan sebuah alat untuk menguraikan spektrum resonance nukleon untuk pemisahan resonansi nucleon N yang lebih baik [M.Dugger.001]. Penyelidikan fotoproduksi η memberikan kemungkinan pencarian resonansiresonansi yang hilang (missing resonaces), yang tidak dapat diobservasi dalam hamburan πn dan fotoproduksi η pada nukleon. Fotoproduksi η pada nucleon memberikan sebuah kesempatan unik untuk mempelajari properties dari resonan S11 (1535) karena resonan ini memiliki sebuah ratio cabang yang lebar ke dalam kanal πn, tidak seperti resonan yang lain walaupun dengan massa yang hampir sama seperti D13(150), S11(1650), D15 (1675) dan F15 (1680) [I.G.Aznauryan.003]. Sebuah laporan eksperimen pertama tentang baryon eksotik yang dikenal dengan dari LESP 11

58 Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. Des 014 collaboration, terdapat sebuah angka besar dari relasi antara kerja eksperimen dan kerja teoritis. Diantaranya, penemuan sebuah nucleon resonan baru seperti yang dilaporkan oleh GRAAL, yaitu N*(1675) dari fotoproduksi. Data mereka menunjukkan adanya puncak sempit dari suatu luasan yang meluruh di sekitar 40MeV. Luasan sempit ini adalah sebuah fitur khas dari baryon pentaquarkyang eksotik. Ditambah lagi, sebagian besar proses fotoproduksi N*(1675) bergantung pada tingkat isospin target nukleon. Barubaru ini, LNS Tohoku dan CBELSA melaporkan fotoproduksi η dari target deuteron menunjukkan perilaku yang sama. Meskipun η-maid telah mengasumsikan JP = 1/+ sebagaimana yang disarankan oleh χ QSM, data dari eksperimen sebelumnya telah menunjukkan bahwa JP = 1/ sama-sama mungkin dalam perbandingan dengan data eksperimen [Kim 008]. Meski demikian data fotoproduksi untuk meson ini masih sangat jarang. Fasilitas-fasilitas untuk menyediakan sumber informasi yang berharga masih belum memadai sehingga sangat relevan untuk mempelajari dan menelitinya. Gambar 1: Diagram Feynman untuk reaksi fotoproduksi η pada Nukleon. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, kinematika relativistik digunakan dalam proses perhitungan pada reaksi fotoproduksi, karena energi yang digunakan jauh lebih besar dibandingkan dengan massa partikel yang saling berinteraksi (E m). Persamaan reaksi umum yang bersesuaian dengan penelitian pada tesis ini adalah γ(k) + N(p 1 ) η(q) + N(p ) (1) Momentum-4 pada kerangka Lab. dapat ditulis sebagai berikut k μ =.k 0, k /, p 1 μ = (m N, 0), q μ = (q 0, q ), p μ =.E, k q / () Sedangkan pada kerangka P.M sebagai berikut k μ = (k 0, k ), p μ 1 = (E 1, k ), q μ η = (q 0, q), p μ = (E, q) (3) Tanda tilde digunakan untuk membedakan momentum-4 di kerangka Lab. dengan momentum-4 di kerangka P.M. Gambar : Kinematika Proses Fotoproduksi η pada kerangka Lab. dan kerangka P.M Variabel Mandelstam yang bersesuaian untuk penelitian ini bersesuaian dengan persamaan (1) adalah s = (k + p 1 ) = (q + p ) (4) t = (q k) = (p 1 p ) (5) u = (k p ) = (p 1 q) (6) untuk kerangka P.M adalah sebagai berikut s = (k 0 + E 1 ) = W (7) t = k + m η q 0 k 0 + q k cos(γ, η) (8) u = k + m N k 0 E q k cos(γ, η) (9) Dalam fisika partikel, energi ambang untuk produksi sebuah partikel adalah energy kinetic minimum pasangan partikel yang dimiliki ketika mereka bertumbukan. energy ambang foton pada kerangka P.M sebagai berikut k t = m η +m η m N (10) (m η +m N ) Notasi penampang lintang differensial yang sesuai dengan persamaan (.6) menurut [Aitchison-Hey. 1989] dapat dituliskan sebagai berikut M dς = 4[(k.p 1 ) m γ m 1/ dlips (11) N] dimana dlips = 1 (4π) δ4 (q + p k p 1 ) d3 q d 3 p q 0 E (1) untuk kerangka P.M M dς = 1 q 4,(k.p 1 ) m γ m N - 1/ (4π) dω W M 1 q 4 k (k 0 +E 1 ) (4π) dω W = M q dω 64π s k dς = M q dω 64π s k = (13) Penampang lintang total diperoleh dengan mengintegrasikan nilai penampang lintang differensial terhadap dω. ς total = dς dω dς dω = sin θ dθdφ (14) dω 113

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK SCANNER VIDAR DOSIMETRYPRO ADVANTAGE DAN EPSON PERFECTIO V700 BERBASIS DOSIMETRI FILM RADIOCHROMIC EBT2

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK SCANNER VIDAR DOSIMETRYPRO ADVANTAGE DAN EPSON PERFECTIO V700 BERBASIS DOSIMETRI FILM RADIOCHROMIC EBT2 PERBANDINGAN KARAKTERISTIK SCANNER VIDAR DOSIMETRYPRO ADVANTAGE DAN EPSON PERFECTIO V700 BERBASIS DOSIMETRI FILM RADIOCHROMIC EBT2 Ari Surya Miharja 1*), Supriyanto Ardjo Pawiro 1 1 Departemen Fisika,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MASKER TERMOPLASTIK SEBELUM DAN SESUDAH RADIASI

KARAKTERISASI MASKER TERMOPLASTIK SEBELUM DAN SESUDAH RADIASI KARAKTERISASI MASKER TERMOPLASTIK SEBELUM DAN SESUDAH RADIASI Yeyen Nurhamiyah*, Dr Ariadne L Juwono Ph.D dan Prof Dr. Djarwani S. Soejoko Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN KULIT PADA PASIEN THORAX TERHADAP DOSIS RADIASI DI UDARA DENGAN SUMBER RADIASI PESAWAT SINAR-X

PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN KULIT PADA PASIEN THORAX TERHADAP DOSIS RADIASI DI UDARA DENGAN SUMBER RADIASI PESAWAT SINAR-X Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 214 PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN KULIT PADA PASIEN THORAX TERHADAP DOSIS RADIASI DI UDARA DENGAN SUMBER RADIASI PESAWAT SINAR-X Dian

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI UDARA TERHADAP DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN PHANTOM PADA PESAWAT CT-SCAN

PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI UDARA TERHADAP DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN PHANTOM PADA PESAWAT CT-SCAN PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI UDARA TERHADAP DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN PHANTOM PADA PESAWAT CT-SCAN Suwarni 1, Dian Milvita 1, Heru Prasetio 2, Helfi Yuliati 2 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS RADIASI DAN KALIBRASI LUARAN BERKAS FOTON 6 DAN 10 MV PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK VARIAN CLINAC CX 4566 ABSTRAK

ANALISIS KUALITAS RADIASI DAN KALIBRASI LUARAN BERKAS FOTON 6 DAN 10 MV PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK VARIAN CLINAC CX 4566 ABSTRAK SEMINAR NASIONAL ANALISIS KUALITAS RADIASI DAN KALIBRASI LUARAN BERKAS FOTON 6 DAN 10 MV PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK VARIAN CLINAC CX 4566 Cacaelia Tuti Budiarti 1, Nurman Rajagukguk 2, Assef Firnando

Lebih terperinci

UJI KESESUAIAN PESAWAT CT-SCAN MEREK PHILIPS BRILIANCE 6 DENGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN NOMOR 9 TAHUN 2011

UJI KESESUAIAN PESAWAT CT-SCAN MEREK PHILIPS BRILIANCE 6 DENGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN NOMOR 9 TAHUN 2011 UJI KESESUAIAN PESAWAT CT-SCAN MEREK PHILIPS BRILIANCE 6 DENGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN NOMOR 9 TAHUN 2011 Ivonne Chirsnia 1, Dian Milvita 1, Heru Prasetio 2, Helfi Yuliati 2 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

Analisis Pengaruh Sudut Penyinaran terhadap Dosis Permukaan Fantom Berkas Radiasi Gamma Co-60 pada Pesawat Radioterapi

Analisis Pengaruh Sudut Penyinaran terhadap Dosis Permukaan Fantom Berkas Radiasi Gamma Co-60 pada Pesawat Radioterapi Analisis Pengaruh Sudut Penyinaran terhadap Dosis Permukaan Fantom Berkas Radiasi Gamma Co-60 pada Pesawat Radioterapi Fiqi Diyona 1,*, Dian Milvita 1, Sri Herlinda 2, Kri Yudi Pati Sandy 3 1 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

Analisis Persamaan Respon Dosis Thermoluminescent Dosimeter (TLD) Pada Spektrum Sinar-X Menggunakan Metode Monte Carlo

Analisis Persamaan Respon Dosis Thermoluminescent Dosimeter (TLD) Pada Spektrum Sinar-X Menggunakan Metode Monte Carlo Analisis Persamaan Respon Dosis Thermoluminescent Dosimeter (TLD) Pada Spektrum Sinar-X Menggunakan Metode Monte Carlo Merina Handayani 1, Heru Prasetio 2, Supriyanto Ardjo Pawiro 1 1 Departemen Fisika,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DOSIMETRI SUMBER BRAKITERAPI IR-192 MENGGUNAKAN METODE ABSOLUT

KARAKTERISASI DOSIMETRI SUMBER BRAKITERAPI IR-192 MENGGUNAKAN METODE ABSOLUT KARAKTERISASI DOSIMETRI SUMBER BRAKITERAPI IR-192 MENGGUNAKAN METODE ABSOLUT Mahmudi Rio Putra (1), Dian Milvita (1), Heru Prasetio (2) (1) Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang Kampus Unand

Lebih terperinci

PENGARUH DIAMETER PHANTOM DAN TEBAL SLICE TERHADAP NILAI CTDI PADA PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN CT-SCAN

PENGARUH DIAMETER PHANTOM DAN TEBAL SLICE TERHADAP NILAI CTDI PADA PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN CT-SCAN PENGARUH DIAMETER PHANTOM DAN TEBAL SLICE TERHADAP NILAI CTDI PADA PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN CT-SCAN Dinda Dyesti Aprilyanti 1, Dian Milvita 1, Heru Prasetio 2, Helfi Yuliati 2 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g) 22 HASIL PENELITIAN Kalsinasi cangkang telur ayam dan bebek perlu dilakukan sebelum cangkang telur digunakan sebagai prekursor Ca. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kombinasi suhu

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH FAKTOR EKSPOSI TERHADAP ENTRANCE SURFACE AIR KERMA (ESAK)

ANALISA PENGARUH FAKTOR EKSPOSI TERHADAP ENTRANCE SURFACE AIR KERMA (ESAK) Youngster Physics Journal ISSN : 232-737 Vol. 3, No. 4, Oktober 24, Hal 27-278 ANALISA PENGARUH FAKTOR EKSPOSI TERHADAP ENTRANCE SURFACE AIR KERMA (ESAK) Muhammad Irsal, Eko Hidayanto dan Zaenal Arifin

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA LAJU DOSIS SERAP AIR DENGAN LAPANGAN RADIASI BERKAS ELEKTRON PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK ELEKTA

HUBUNGAN ANTARA LAJU DOSIS SERAP AIR DENGAN LAPANGAN RADIASI BERKAS ELEKTRON PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK ELEKTA HUBUNGAN ANTARA LAJU DOSIS SERAP AIR DENGAN LAPANGAN RADIASI BERKAS ELEKTRON PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK ELEKTA C. Tuti Budiantari, Nurman R. Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap diazinon, terlebih dahulu disintesis adsorben kitosan-bentonit mengikuti prosedur yang telah teruji (Dimas,

Lebih terperinci

Verifikasi Dosis Radiasi Kanker Menggunakan TLD-100 pada Pasien Kanker Payudara dengan Penyinaran Open System

Verifikasi Dosis Radiasi Kanker Menggunakan TLD-100 pada Pasien Kanker Payudara dengan Penyinaran Open System Jurnal Fisika Unand Vol. 5, No. 2, April 2016 ISSN 2302-8491 Verifikasi Dosis Radiasi Kanker Menggunakan TLD-100 pada Pasien Kanker Payudara dengan Penyinaran Open System Merli Azizah 1,*, Dian Milvita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya sel-sel yang membelah secara abnormal tanpa kontrol dan mampu menyerang jaringan sehat lainnya. Data

Lebih terperinci

VERIFIKASI PENENTUAN LAJU DOSIS SERAP DI AIR BERKAS FOTON 6 MV DAN 10 MV PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK CLINAC 2100 C MILIK RUMAH SAKIT

VERIFIKASI PENENTUAN LAJU DOSIS SERAP DI AIR BERKAS FOTON 6 MV DAN 10 MV PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK CLINAC 2100 C MILIK RUMAH SAKIT VERIFIKASI PENENTUAN LAJU DOSIS SERAP DI AIR BERKAS FOTON 6 MV DAN 10 MV PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK CLINAC 2100 C MILIK RUMAH SAKIT dr. CIPTO MANGUNKUSUMO Nurman R. dan C. Tuti Budiantari Pusat Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Serbuk Dispersi Padat Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan dihasilkan serbuk putih dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda. Semakin

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK KELUARAN ANTARA PESAWAT SINAR-X TOSHIBA MODEL DRX-1824B DAN TOSHIBA MODEL DRX-1603B. Skripsi

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK KELUARAN ANTARA PESAWAT SINAR-X TOSHIBA MODEL DRX-1824B DAN TOSHIBA MODEL DRX-1603B. Skripsi PERBANDINGAN KARAKTERISTIK KELUARAN ANTARA PESAWAT SINAR-X TOSHIBA MODEL DRX-1824B DAN TOSHIBA MODEL DRX-1603B Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika

Lebih terperinci

Pengaruh Ketidakhomogenan Medium pada Radioterapi

Pengaruh Ketidakhomogenan Medium pada Radioterapi Pengaruh Ketidakhomogenan Medium pada Radioterapi Supriyanto A. Pawiro 1, Sugiyantari 2, Tirto Wahono 3 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok, 16424 2 Bagian Radioterapi RSUP Persahabatan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini sampel komposit hidroksiapatit-gelatin dibuat menggunakan metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 hari, 1 hari, 7 hari

Lebih terperinci

PENGUKURAN DOSIS RADIASI RUANGAN RADIOLOGI II RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT (RSGM) BAITURRAHMAH PADANG MENGGUNAKAN SURVEYMETER UNFORS-XI

PENGUKURAN DOSIS RADIASI RUANGAN RADIOLOGI II RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT (RSGM) BAITURRAHMAH PADANG MENGGUNAKAN SURVEYMETER UNFORS-XI PENGUKURAN DOSIS RADIASI RUANGAN RADIOLOGI II RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT (RSGM) BAITURRAHMAH PADANG MENGGUNAKAN SURVEYMETER UNFORS-XI Dira Rizki Martem 1, Dian Milvita 1, Helfi Yuliati 2, Dyah Dwi Kusumawati

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai pada bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun 2012. Tempat penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENGARUH TEGANGAN TABUNG (KV) TERHADAP KUALITAS CITRA RADIOGRAFI PESAWAT SINAR-X DIGITAL RADIOGRAPHY (DR) PADA PHANTOM ABDOMEN

PENGARUH TEGANGAN TABUNG (KV) TERHADAP KUALITAS CITRA RADIOGRAFI PESAWAT SINAR-X DIGITAL RADIOGRAPHY (DR) PADA PHANTOM ABDOMEN DOI: doi.org/10.21009/spektra.022.04 PENGARUH TEGANGAN TABUNG (KV) TERHADAP KUALITAS CITRA RADIOGRAFI PESAWAT SINAR-X DIGITAL RADIOGRAPHY (DR) PADA PHANTOM ABDOMEN 1, a) Sriwahyuni 1 Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk merubah karakter permukaan bentonit dari hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga dapat meningkatkan kinerja kitosan-bentonit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian ini menjelaskan proses degradasi fotokatalis

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polimer Benzilkitosan Somorin (1978), pernah melakukan sintesis polimer benzilkitin tanpa pemanasan. Agen pembenzilasi yang digunakan adalah benzilklorida. Adapun

Lebih terperinci

Verifikasi Ketepatan Hasil Perencanaan Nilai Dosis Radiasi Terhadap Penerimaan Dosis Radiasi Pada Pasien Kanker

Verifikasi Ketepatan Hasil Perencanaan Nilai Dosis Radiasi Terhadap Penerimaan Dosis Radiasi Pada Pasien Kanker Verifikasi Ketepatan Hasil Perencanaan Nilai Dosis Radiasi Terhadap Penerimaan Dosis Radiasi Pada Pasien Kanker Mutya Handayani 1,*, Dian Milvita 1, Sri Herlinda 2, Kri Yudi Pati Sandy 3 1 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem

BAB I PENDAHULUAN. pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permintaan kebutuhan energi listrik akan terus mengalami peningkatan secara pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem tegangan tinggi

Lebih terperinci

CATATAN KULIAH PENGANTAR SPEKSTOSKOPI. Diah Ayu Suci Kinasih Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016

CATATAN KULIAH PENGANTAR SPEKSTOSKOPI. Diah Ayu Suci Kinasih Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016 CATATAN KULIAH PENGANTAR SPEKSTOSKOPI Diah Ayu Suci Kinasih -24040115130099- Departemen Fisika Universitas Diponegoro Semarang 2016 PENGANTAR SPEKTROSKOPI Pengertian Berdasarkan teori klasik spektoskopi

Lebih terperinci

FAKTOR KOREKSI SOLID WATER PHANTOM TERHADAP WATER PHANTOM PADA DOSIMETRI ABSOLUT BERKAS ELEKTRON PESAWAT LINAC

FAKTOR KOREKSI SOLID WATER PHANTOM TERHADAP WATER PHANTOM PADA DOSIMETRI ABSOLUT BERKAS ELEKTRON PESAWAT LINAC FAKTOR KOREKSI SOLID WATER PHANTOM TERHADAP WATER PHANTOM PADA DOSIMETRI ABSOLUT BERKAS ELEKTRON PESAWAT LINAC Robert Janssen Stevenly 1, Wahyu Setia Budi 2 dan Choirul Anam 3 1,2,3 Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENGUKURAN PERCENTAGE DEPTH DOSE (PDD) BERKAS ELEKTRON LINAC ELEKTA RSUP DR. SARDJITO

ANALISIS HASIL PENGUKURAN PERCENTAGE DEPTH DOSE (PDD) BERKAS ELEKTRON LINAC ELEKTA RSUP DR. SARDJITO ANALISIS HASIL PENGUKURAN PERCENTAGE DEPTH DOSE (PDD) BERKAS ELEKTRON LINAC ELEKTA RSUP DR. SARDJITO Suharni*, Kusminarto**, Pramudita Anggraita* *Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Jl. Babarsari

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI AIR GAP TERHADAP DOSIS SERAP PENYINARAN BERKAS ELEKTRON PADA PESAWAT LINAC SIEMENS / PRIMUS M CLASS 5633

PENGARUH VARIASI AIR GAP TERHADAP DOSIS SERAP PENYINARAN BERKAS ELEKTRON PADA PESAWAT LINAC SIEMENS / PRIMUS M CLASS 5633 Youngster Physics Journal ISSN : 2303-7371 Vol. 3, No. 3, Juli 2014, Hal 217-222 PENGARUH VARIASI AIR GAP TERHADAP DOSIS SERAP PENYINARAN BERKAS ELEKTRON PADA PESAWAT LINAC SIEMENS / PRIMUS M CLASS 5633

Lebih terperinci

Pengukuran Dosis Radiasi dan Estimasi Efek Biologis yang Diterima Pasien Radiografi Gigi Anak Menggunakan TLD-100 pada Titik Pengukuran Mata dan Timus

Pengukuran Dosis Radiasi dan Estimasi Efek Biologis yang Diterima Pasien Radiografi Gigi Anak Menggunakan TLD-100 pada Titik Pengukuran Mata dan Timus ISSN 2302-8491 Jurnal Fisika Unand Vol. 5, No. 2, April 2016 Pengukuran Dosis Radiasi dan Estimasi Efek Biologis yang Diterima Pasien Radiografi Gigi Anak Menggunakan TLD-100 pada Titik Pengukuran Mata

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI CTDI DAN DOSIS EFEKTIF PASIEN BAGIAN HEAD, THORAX DAN ABDOMEN HASIL PEMERIKSAAN CT-SCAN MEREK PHILIPS BRILIANCE 6

ESTIMASI NILAI CTDI DAN DOSIS EFEKTIF PASIEN BAGIAN HEAD, THORAX DAN ABDOMEN HASIL PEMERIKSAAN CT-SCAN MEREK PHILIPS BRILIANCE 6 ESTIMASI NILAI CTDI DAN DOSIS EFEKTIF PASIEN BAGIAN HEAD, THORAX DAN ABDOMEN HASIL PEMERIKSAAN CT-SCAN MEREK PHILIPS BRILIANCE 6 Helga Silvia 1, Dian Milvita 1, Heru Prasetio 2, Helfi Yuliati 2 1 Jurusan

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

Verifikasi Keluaran Radiasi Pesawat Linac (Foton Dan Elektron) Serta 60CO Dengan TLD

Verifikasi Keluaran Radiasi Pesawat Linac (Foton Dan Elektron) Serta 60CO Dengan TLD Verifikasi Keluaran Radiasi Pesawat Linac (Foton Dan Elektron) Serta 60CO Dengan TLD Mely Mediawati 1, Agung Nugroho 1, Ari Mutanto 1 1 Program Studi Fisika, Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Nasional,

Lebih terperinci

PENENTUAN FAKTOR KELUARAN BERKAS ELEKTRON LAPANGAN KECIL PADA PESAWAT LINEAR ACCELERATOR

PENENTUAN FAKTOR KELUARAN BERKAS ELEKTRON LAPANGAN KECIL PADA PESAWAT LINEAR ACCELERATOR PENENTUAN FAKTOR KELUARAN BERKAS ELEKTRON LAPANGAN KECIL PADA PESAWAT LINEAR ACCELERATOR Cahya Wulandari 1,a), Wahyu Edy Wibowo 2,b), Supriyanto Ardjo Pawiro 1,c) 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 3, Juli 2014 ISSN

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 3, Juli 2014 ISSN STUDI AWAL UJI PERANGKAT KAMERA GAMMA DUAL HEAD MODEL PENCITRAAN SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY (SPECT) MENGGUNAKAN SUMBER RADIASI HIGH ENERGY I 131 Yosi Sudarsi Asril 1, Dian Milvita 1, Fadil

Lebih terperinci

ilmu radiologi yang berhubungan dengan penggunaan modalitas untuk keperluan

ilmu radiologi yang berhubungan dengan penggunaan modalitas untuk keperluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan semua modalitas yang menggunakan radiasi untuk diagnosis dan prosedur terapi. Pada umumnya

Lebih terperinci

PENENTUAN FAKTOR KELUARAN BERKAS ELEKTRON LAPANGAN KECIL PADA PESAWAT LINEAR ACCELERATOR

PENENTUAN FAKTOR KELUARAN BERKAS ELEKTRON LAPANGAN KECIL PADA PESAWAT LINEAR ACCELERATOR DOI: doi.org/10.21009/spektra.011.04 PENENTUAN FAKTOR KELUARAN BERKAS ELEKTRON LAPANGAN KECIL PADA PESAWAT LINEAR ACCELERATOR Cahya Wulandari 1,a), Wahyu Edy Wibowo 2,b), Supriyanto Ardjo Pawiro 1,c) 1

Lebih terperinci

STUDI AWAL UJI PERANGKAT KAMERA GAMMA DUAL HEAD MODEL PENCITRAAN PLANAR STATIK MENGGUNAKAN SUMBER RADIASI HIGH ENERGY IODIUM-131 (I 131 )

STUDI AWAL UJI PERANGKAT KAMERA GAMMA DUAL HEAD MODEL PENCITRAAN PLANAR STATIK MENGGUNAKAN SUMBER RADIASI HIGH ENERGY IODIUM-131 (I 131 ) STUDI AWAL UJI PERANGKAT KAMERA GAMMA DUAL HEAD MODEL PENCITRAAN PLANAR STATIK MENGGUNAKAN SUMBER RADIASI HIGH ENERGY IODIUM-131 (I 131 ) Rima Ramadayani 1, Dian Milvita 1, Fadil Nazir 2 1 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis 41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Serapan Fourier Transform Infrared (FTIR) Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis FTIR. Analisis serapan FTIR dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas (arb.unit) Intensitas (arb.unit) Intensitas (arb. unit) Intensitas 7 konstan menggunakan buret. Selama proses presipitasi berlangsung, suhu larutan tetap dikontrol pada 7 o C dengan kecepatan

Lebih terperinci

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 4, Oktober 2014 ISSN

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 4, Oktober 2014 ISSN ANALISIS DOSIS RADIASI TERHADAP RADIOTERAPIS MENGGUNAKAN POCKET DOSEMETER, TLD BADGE DAN TLD-100 DI INSTALASI RADIOTERAPI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG STUDI KASUS (MEI OKTOBER) 2014 Milda Utari 1, Dian Milvita

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Distanoksan Sintesis distanoksan dilakukan dengan mencampurkan dibutiltimah(ii)oksida dan dibutiltimah(ii)klorida (Gambar 3.2). Sebelum dilakukan rekristalisasi, persen

Lebih terperinci

PERKIRAAN DOSIS PASIEN PADA PEMERIKSAAN DENGAN SINAR-X RADIOGRAFI UMUM. RUSMANTO

PERKIRAAN DOSIS PASIEN PADA PEMERIKSAAN DENGAN SINAR-X RADIOGRAFI UMUM. RUSMANTO PERKIRAAN DOSIS PASIEN PADA PEMERIKSAAN DENGAN SINAR-X RADIOGRAFI UMUM RUSMANTO r.rusmanto@bapeten.go.id 081 225 228 02 1 Proteksi Radiasi pada Pasien (1/2) Proteksi radiasi pada pasien ada beberapa tahapan

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN. Disetujui Oleh : NIP NIP Mengetahui : Ketua Jurusan Kimia

HALAMAN PENGESAHAN. Disetujui Oleh : NIP NIP Mengetahui : Ketua Jurusan Kimia HALAMAN PENGESAHAN PEMBUATAN KOMPOSIT KITIN-KITOSAN YANG DI EKSTRAK DARI KULIT UDANG DAN KARAKTERISASINYA. Skripsi Sarjana Kimia oleh Refrani Andyta (BP 07132067) diajukan sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG Vonny Febrita, Elvaswer Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan 6 didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 3.3.3 Sintesis Kalsium Fosfat Sintesis kalsium fosfat dalam penelitian ini menggunakan metode sol gel. Senyawa kalsium fosfat diperoleh dengan mencampurkan serbuk

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistirena Polistirena disintesis melalui polimerisasi adisi radikal bebas dari monomer stirena dan benzoil peroksida (BP) sebagai inisiator. Polimerisasi dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS DOSIS SERAP RADIASI PADA PERBEDAAN DIMENSI DAN BENTUK LAPANGAN PENYINARAN BERKAS RADIASI FOTON 6 MV

ANALISIS DOSIS SERAP RADIASI PADA PERBEDAAN DIMENSI DAN BENTUK LAPANGAN PENYINARAN BERKAS RADIASI FOTON 6 MV ANALISIS DOSIS SERAP RADIASI PADA PERBEDAAN DIMENSI DAN BENTUK LAPANGAN PENYINARAN BERKAS RADIASI FOTON 6 MV Oleh, Hieronimus Honorius Lada NIM: 642014801 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Fisika,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7 3. Pengenceran Proses pengenceran dilakukan dengan menambahkan 0,5-1 ml akuades secara terus menerus setiap interval waktu tertentu hingga mencapai nilai transmisi yang stabil (pengenceran hingga penambahan

Lebih terperinci

ANALISIS DOSIS PADA PENGGUNAAN FILTER WEDGE MENGGUNAKAN DOSIMETER GAFCHROMIC EBT2 DAN GAFCHROMIC XR-RV3 UNTUK BERKAS FOTON 6 MV

ANALISIS DOSIS PADA PENGGUNAAN FILTER WEDGE MENGGUNAKAN DOSIMETER GAFCHROMIC EBT2 DAN GAFCHROMIC XR-RV3 UNTUK BERKAS FOTON 6 MV ANALISIS DOSIS PADA PENGGUNAAN FILTER WEDGE MENGGUNAKAN DOSIMETER GAFCHROMIC EBT2 DAN GAFCHROMIC XR-RV3 UNTUK BERKAS FOTON 6 MV *Ahcdriany,*Bualkar Abdullah, + Supriyanto Ardjo Pawiro*Dahlang Tahir *Jurusan

Lebih terperinci

ANALISIS PROFIL BERKAS RADIASI LINEAR ACCELERATOR 6MV PADA PENGGUNAAN VIRTUAL WEDGE DENGAN GAFCHROMIC FILM

ANALISIS PROFIL BERKAS RADIASI LINEAR ACCELERATOR 6MV PADA PENGGUNAAN VIRTUAL WEDGE DENGAN GAFCHROMIC FILM Youngster Physics Journal ISSN : 2302-7371 Vol. 4, No. 3, Juli 2015, Hal 243-248 ANALISIS PROFIL BERKAS RADIASI LINEAR ACCELERATOR 6MV PADA PENGGUNAAN VIRTUAL WEDGE DENGAN GAFCHROMIC FILM Arisa Dwi Sakti

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 3 Pendahuluan ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 ev pada suhu ruang dan 3,34 ev pada temperatur rendah dengan nilai

Lebih terperinci

HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE

HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE HASIL KELUARAN SEL SURYA DENGAN MENGGUNAKAN SUMBER CAHAYA LIGHT EMITTING DIODE A. Handjoko Permana *), Ari W., Hadi Nasbey Universitas Negeri Jakarta, Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun, Jakarta 13220 * ) Email:

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ABSTRAK

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DOSIS RADIASI SINAR-X TERHADAP PROYEKSI PA (POSTERO-ANTERIOR) DAN LAT (LATERAL) PADA TEKNIK PEMERIKSAAN FOTO THORAX SKRIPSI

OPTIMALISASI DOSIS RADIASI SINAR-X TERHADAP PROYEKSI PA (POSTERO-ANTERIOR) DAN LAT (LATERAL) PADA TEKNIK PEMERIKSAAN FOTO THORAX SKRIPSI OPTIMALISASI DOSIS RADIASI SINAR-X TERHADAP PROYEKSI PA (POSTERO-ANTERIOR) DAN LAT (LATERAL) PADA TEKNIK PEMERIKSAAN FOTO THORAX SKRIPSI Oleh : Kadek Miniati JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

PENGUKURAN DOSIS RADIASI PADA PASIEN PEMERIKSAAN PANORAMIK. Abdul Rahayuddin H INTISARI

PENGUKURAN DOSIS RADIASI PADA PASIEN PEMERIKSAAN PANORAMIK. Abdul Rahayuddin H INTISARI PENGUKURAN DOSIS RADIASI PADA PASIEN PEMERIKSAAN PANORAMIK Abdul Rahayuddin H21114706 Jurusan Fisika (Kosentrasi Fisika Medik) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring pertumbuhan penduduk di dunia yang semakin meningkat, kebutuhan akan sumber energi meningkat pula. Termasuk kebutuhan akan sumber energi listrik. Pemanfaatan

Lebih terperinci

PENGARUH BLOK INDIVIDUAL BERBAHAN CERROBEND PADA DISTRIBUSI DOSIS SERAP BERKAS FOTON 6 MV LINEAR ACCELERATOR (LINAC)

PENGARUH BLOK INDIVIDUAL BERBAHAN CERROBEND PADA DISTRIBUSI DOSIS SERAP BERKAS FOTON 6 MV LINEAR ACCELERATOR (LINAC) Youngster Physics Journal ISSN : 2303-7371 Vol. 3, No. 3, Juli 2014, Hal 171-176 PENGARUH BLOK INDIVIDUAL BERBAHAN CERROBEND PADA DISTRIBUSI DOSIS SERAP BERKAS FOTON 6 MV LINEAR ACCELERATOR (LINAC) Afrio

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI COMPLIANCE TEST PESAWAT DENTAL INTRAORAL PADA SALAH SATU KLINIK GIGI DI KOTA PADANG

IMPLEMENTASI COMPLIANCE TEST PESAWAT DENTAL INTRAORAL PADA SALAH SATU KLINIK GIGI DI KOTA PADANG IMPLEMENTASI COMPLIANCE TEST PESAWAT DENTAL INTRAORAL PADA SALAH SATU KLINIK GIGI DI KOTA PADANG Dian Milvita 1, Dyah Dwi Kusumawati 2, dan Helfi Yuliati 2 1 Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Andalas,

Lebih terperinci

Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating

Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating ISSN 2302-8491 Jurnal Fisika Unand Vol. 6, No. 2, April 2017 Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating Fitriani *, Sri Handani

Lebih terperinci

ANALISIS POSISI DETEKTOR TERHADAP STEM EFFECT DAN DOSIS RELATIF UNTUK DOSIMETRI PESAWAT LINAC 6 MV

ANALISIS POSISI DETEKTOR TERHADAP STEM EFFECT DAN DOSIS RELATIF UNTUK DOSIMETRI PESAWAT LINAC 6 MV Youngster Physics Journal ISSN : 233-7371 Vol. 3, No. 3, Juli 14, Hal 257-262 ANALISIS POSISI DETEKTOR TERHADAP STEM EFFECT DAN DOSIS RELATIF UNTUK DOSIMETRI PESAWAT LINAC 6 MV Nurul Laili Khoirut Tabi

Lebih terperinci

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2 KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2 Hendri, Elvaswer Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang,

Lebih terperinci

PENGARUH SUDUT GANTRI TERHADAP KONSTANSI DOSIS SERAP DI AIR PESAWAT TELETERAPI Co-60 XINHUA MILIK RUMAH SAKIT dr. SARJITO YOGYAKARTA

PENGARUH SUDUT GANTRI TERHADAP KONSTANSI DOSIS SERAP DI AIR PESAWAT TELETERAPI Co-60 XINHUA MILIK RUMAH SAKIT dr. SARJITO YOGYAKARTA C Tuti Budiantari, dkk. ISSN 016-318 73 PENGARUH SUDUT GANTRI TERHADAP KONSTANSI DOSIS SERAP DI AIR PESAWAT TELETERAPI Co-60 XINHUA MILIK RUMAH SAKIT dr. SARJITO YOGYAKARTA C Tuti Budiantari dan Nurman

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK PROFIL PDD (PERCENTAGE DEPTH DOSE) BERKAS FOTON 6 MV DAN 10 MV

ANALISIS KARAKTERISTIK PROFIL PDD (PERCENTAGE DEPTH DOSE) BERKAS FOTON 6 MV DAN 10 MV ANALISIS KARAKTERISTIK PROFIL PDD (PERCENTAGE DEPTH DOSE) BERKAS FOTON 6 MV DAN 10 MV SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar SarjanaSains Yuli Martha K. Damanik NIM

Lebih terperinci

Analisis Dosis Keluaran Berkas Foton dan Elektron Energi Tinggi Pesawat Linac Elekta Precise 5991 Berdasarkan Code of Practice IAEA TRS 398

Analisis Dosis Keluaran Berkas Foton dan Elektron Energi Tinggi Pesawat Linac Elekta Precise 5991 Berdasarkan Code of Practice IAEA TRS 398 Analisis Dosis Keluaran Berkas Foton dan Elektron Energi Tinggi Pesawat Linac Elekta Precise 5991 Berdasarkan Code of Practice IAEA TRS 398 Hendra Setiawan 1,a) dan Rena Widita 1,b) 1 Laboratorium Biofisika,

Lebih terperinci

PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL

PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL Muhammad Salahuddin 1, Suryajaya 2, Edy Giri R. Putra 3, Nurma Sari 2 Abstrak:Pada penelitian

Lebih terperinci

PENENTUAN DISTRIBUSI DOSIS SUMBER RADIASI LDR 192 Ir BRAKITERAPI MENGGUNAKAN FILM GAFCHROMIC EBT 2 DI MEDIUM AIR DAN UDARA

PENENTUAN DISTRIBUSI DOSIS SUMBER RADIASI LDR 192 Ir BRAKITERAPI MENGGUNAKAN FILM GAFCHROMIC EBT 2 DI MEDIUM AIR DAN UDARA PENENTUAN DISTRIBUSI DOSIS SUMBER RADIASI LDR 192 Ir BRAKITERAPI MENGGUNAKAN FILM GAFCHROMIC EBT 2 DI MEDIUM AIR DAN UDARA Rifki Andrian 1, Margo S 1, Heru Prasetio 1,2, Atang 3, dan T Harianto 3 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi 4.1.1 Sol Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan ZrOCl 2. 8H 2 O dengan perbandingan mol 1:4:6 (Ikeda, et al. 1986) dicampurkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB 4 HASIL DAN ANALISA BAB 4 HASIL DAN ANALISA 4. Analisa Hasil Pengukuran Profil Permukaan Penelitian dilakukan terhadap (sepuluh) sampel uji berdiameter mm, panjang mm dan daerah yang dibubut sepanjang 5 mm. Parameter pemesinan

Lebih terperinci

BAB IV PERBANDINGAN DATA DAN ANALISIS JUMLAH MONITOR UNIT OUTPUT SOFTWARE ISIS DENGAN OUTPUT SIMULASI MONTE CARLO

BAB IV PERBANDINGAN DATA DAN ANALISIS JUMLAH MONITOR UNIT OUTPUT SOFTWARE ISIS DENGAN OUTPUT SIMULASI MONTE CARLO BAB IV PERBANINGAN ATA AN ANALISIS JUMLAH MONITOR UNIT OUTPUT SOFTWARE ISIS ENGAN OUTPUT SIMULASI MONTE CARLO 4.1 ata ata yang diambil adalah nilai jumlah Monitor Unit hasil software ISIS dan nilai jumlah

Lebih terperinci

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 2, April 2014 ISSN

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 2, April 2014 ISSN STUDI AWAL UJI PERANGKAT KAMERA GAMMA DUAL HEAD MODEL PENCITRAAN SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY (SPECT) MENGGUNAKAN SUMBER RADIASI MEDIUM ENERGY Ra 226 Friska Wilfianda Putri 1, Dian Milvita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama kematian akibat keganasan di dunia, kira-kira sepertiga dari seluruh kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. utama kematian akibat keganasan di dunia, kira-kira sepertiga dari seluruh kematian akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah sel yang pertumbuhan dan penyebarannya tidak terkontrol. Pertumbuhannya menyebar ke sekitar jaringan dan dapat bermetasis pada tempat yang jauh. Penyakit

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. preparsai sampel dan pembakaran di furnace di Laboratorium Fisika Material

III. METODE PENELITIAN. preparsai sampel dan pembakaran di furnace di Laboratorium Fisika Material III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian terhitung sejak bulan Maret 2015 sampai dengan Mei 2015. Tempat penelitian dilaksanakan dibeberapa tempat yang berbeda

Lebih terperinci

Desain Ulang Shielding Ruangan Linear Accelerator (Linac) untuk Keselamatan Radiasi Di Gedung 14 PSTA-BATAN Yogyakarta

Desain Ulang Shielding Ruangan Linear Accelerator (Linac) untuk Keselamatan Radiasi Di Gedung 14 PSTA-BATAN Yogyakarta Desain Ulang Shielding Ruangan Linear Accelerator (Linac) untuk Keselamatan Radiasi Di Gedung 14 PSTA-BATAN Yogyakarta Rendi Akhbar 1, Galih Anindita 2, dan Mochamad Yusuf Santoso 3 1,2,3 Program studi

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill I Wayan Yuda Semaradipta 2710100018 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

Verifikasi TPS untuk Dosis Organ Kritis pada Perlakuan Radioterapi Area Pelvis dengan Sinar X 10 Megavolt

Verifikasi TPS untuk Dosis Organ Kritis pada Perlakuan Radioterapi Area Pelvis dengan Sinar X 10 Megavolt Verifikasi TPS untuk Dosis Organ Kritis pada Perlakuan Radioterapi Area Pelvis dengan Sinar X 10 Megavolt Dhaniela Stenyfia Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

Buletin Fisika Vol. 8, Februari 2007 : 31-37

Buletin Fisika Vol. 8, Februari 2007 : 31-37 31 Buletin Fisika Vol. 8, Februari 2007 : 31-37 Pengaruh Posisi dan Sudut Penyinaran Pada Radio Terapi Kanker Dengan Menggunakan Metode Clarkson s (Ratnawati I Gusti Ayu, Suharta W.G., Widyatmika I Putu,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian pemanfaatan sistem sensor pergeseran mikro untuk estimasi diameter lubang pada bahan gigi tiruan berbasis

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK Ade Oktavia, Elvaswer Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis,

Lebih terperinci

PENENTUAN PARAMETER DOSIMETRI AWAL BERKAS FOTON 6 MV DARI 5 BUAH PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK ELEKTA DAN VARIAN CLINAC BARU

PENENTUAN PARAMETER DOSIMETRI AWAL BERKAS FOTON 6 MV DARI 5 BUAH PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK ELEKTA DAN VARIAN CLINAC BARU Sri Inang Sunayarti, dkk ISSN 0216-3128 193 PENENTUAN PARAMETER DOSIMETRI AWAL BERKAS FOTON 6 MV DARI 5 BUAH PESAWAT PEMERCEPAT LINIER MEDIK ELEKTA DAN VARIAN CLINAC BARU Sri Inang Sunaryati, Fendinugroho,

Lebih terperinci

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus ) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dibahas pada bab ini meliputi sintesis kolagen dari tendon sapi (Bos sondaicus), pembuatan larutan kolagen, rendemen kolagen, karakterisasi sampel kontrol,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGUKURAN PDD DAN BEAM PROFILE ANTARA DETEKTOR IONISASI CHAMBER DAN GAFCHROMIC FILM PADA LAPANGAN 10 X 10 CM 2

PERBANDINGAN PENGUKURAN PDD DAN BEAM PROFILE ANTARA DETEKTOR IONISASI CHAMBER DAN GAFCHROMIC FILM PADA LAPANGAN 10 X 10 CM 2 Youngster Physics Journal ISSN : 2302-7371 Vol. 4, No. 1, Januari 2015, Hal 15-22 PERBANDINGAN PENGUKURAN PDD DAN BEAM PROFILE ANTARA DETEKTOR IONISASI CHAMBER DAN GAFCHROMIC FILM PADA LAPANGAN 10 X 10

Lebih terperinci

Uji Kesesuaian Pesawat Fluoroskopi Intervensional merek Philips Allura FC menggunakan Detektor Unfors Raysafe X2 di Rumah Sakit Universitas Andalas

Uji Kesesuaian Pesawat Fluoroskopi Intervensional merek Philips Allura FC menggunakan Detektor Unfors Raysafe X2 di Rumah Sakit Universitas Andalas ISSN 2302-8491 Jurnal Fisika Unand Vol. 6, No. 3, Juli 2017 Uji Kesesuaian Pesawat Fluoroskopi Intervensional merek Philips Allura FC menggunakan Detektor Unfors Raysafe X2 di Rumah Sakit Universitas Andalas

Lebih terperinci

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORBSI MATERIAL AKUSTIK DARI SERAT ALAM AMPAS TEBU SEBAGAI PENGENDALI KEBISINGAN

PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORBSI MATERIAL AKUSTIK DARI SERAT ALAM AMPAS TEBU SEBAGAI PENGENDALI KEBISINGAN PENGUKURAN KOEFISIEN ABSORBSI MATERIAL AKUSTIK DARI SERAT ALAM AMPAS TEBU SEBAGAI PENGENDALI KEBISINGAN Fajri Ridhola, Elvaswer Laboratorium Fisika Material, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus

Lebih terperinci

AUDIT MUTU PENGUKURAN DOSIS SERAP DARI SUMBER TELETERAPI Co-60 CIRUS 90131

AUDIT MUTU PENGUKURAN DOSIS SERAP DARI SUMBER TELETERAPI Co-60 CIRUS 90131 AUDIT MUTU PENGUKURAN DOSIS SERAP DARI SUMBER TELETERAPI Co-60 CIRUS 90131 C. Tuti Budiantari dan Nurman R. Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN ABSTRAK AUDIT MUTU PENGUKURAN DOSIS SERAP

Lebih terperinci

PEMBUATAN THERMOLUMINESCENCE DOSIMETER (TLD) SERBUK CaSO 4 :Tm SEBAGAI PROSES AWAL PRODUKSI DOSIMETER PERSONAL

PEMBUATAN THERMOLUMINESCENCE DOSIMETER (TLD) SERBUK CaSO 4 :Tm SEBAGAI PROSES AWAL PRODUKSI DOSIMETER PERSONAL PEMBUATAN THERMOLUMINESCENCE DOSIMETER (TLD) SERBUK CaSO 4 :Tm SEBAGAI PROSES AWAL PRODUKSI DOSIMETER PERSONAL Mentari Firdha KP 1,*, Sutanto 1, Hasnel Sofyan 2 1 Program Studi Kimia, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

INTERFEROMETER MICHELSON DAN CCD WEBCAM SEBAGAI PENENTU FREKUENSI GETAR OBJEK

INTERFEROMETER MICHELSON DAN CCD WEBCAM SEBAGAI PENENTU FREKUENSI GETAR OBJEK INTERFEROMETER MICHELSON DAN CCD WEBCAM SEBAGAI PENENTU FREKUENSI GETAR OBJEK Afdhal Muttaqin, Nadia Mayani Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Padang, 25163 Email: allz@fmipa.unand.ac.id

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.I Sintesis dan Karakterisasi Zeolit Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kaolin alam Cicalengka, Jawa Barat, Indonesia. Kaolin tersebut secara fisik berwarna

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Pada bab IV ini akan menjelaskan kajian dari efek fotoinisiator yang akan mempengaruhi beberapa parameter seperti waktu pemolimeran, kelarutan poly tetrahydrofurfuryl

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA (%) PLA (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA (%) PLA (%) Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA PLA A1 A2 A3 A4 65 80 95 35 05 Pembuatan PCL/PGA/PLA Metode blending antara PCL, PGA, dan PLA didasarkan pada metode Broz et al. (03) yang disiapkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KUAT KERMA DAN KONSTANTA LAJU DOSIS SUMBER Ir-192 mhdr BERDASARKAN SIMULASI MONTE CARLO

KARAKTERISTIK KUAT KERMA DAN KONSTANTA LAJU DOSIS SUMBER Ir-192 mhdr BERDASARKAN SIMULASI MONTE CARLO KARAKTERISTIK KUAT KERMA DAN KONSTANTA LAJU DOSIS SUMBER Ir-192 mhdr BERDASARKAN SIMULASI MONTE CARLO S.Aisah 1, Heru Prasetio 2, dan M.Fadli 1 1 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia 2 Pusat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. radionuklida, pembedahan (surgery) maupun kemoterapi. Penggunaan radiasi

BAB 1 PENDAHULUAN. radionuklida, pembedahan (surgery) maupun kemoterapi. Penggunaan radiasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Radioterapi merupakan salah satu jenis terapi untuk penyakit tumor atau kanker, pengobatan kanker dilakukan dengan menggunakan radiasi pengion atau radionuklida, pembedahan

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis

Lebih terperinci