YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA Tim Peneliti : Niken Subekti Budi Utami, S.H., M.Si. Supriyadi, S.H., M.Hum DILAKSANAKAN ATAS BIAYA : DANA MASYARAKAT BERDASAR KONTRAK NOMOR : UGM/SV/ /IV/2013 SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

2 ABSTRAK/INTISARI Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan jawaban atas dua permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang menyebabkan belum diimplementasikannya yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan tindak pidana umum sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun Kedua, persepsi kalangan militer mengenai konsepsi peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris yang menggunakan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum belum dapat diimplementasikan karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi dengan Undang-Undang Peradilan Militer yang baru. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa kalangan militer tetap menghendaki agar prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum, berada pada yurisdiksi Peradilan Militer. Kata Kunci : Yurisdiksi Peradilan, Prajurit TNI, Tindak Pidana. iii

3 PRAKATA Puji syukur Peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan karunia dan rahmat-nya, sehingga Peneliti dapat menyelesaikan kegiatan penelitian dengan judul Yurisdiksi Peradilan Terhadap Prajurit Tentara Nasional Indonesia Sebagai Pelaku Tindak Pidana sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan belum diimplementasikannya yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan tindak pidana umum sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 serta persepsi kalangan militer mengenai konsepsi peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pembaharuan hukum militer di Indonesia, yaitu menambah bahan-bahan informasi kepustakaan hukum militer, khususnya yang berkaitan dengan hukum acara peradilan militer. Hal tersebut mengingat bahan-bahan bacaan dan literatur mengenai hukum militer dan hukum acara peradilan militer masih langka dan tidak mudah untuk ditemukan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya referensi yang dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya iv

4 pembentuk undang-undang atau lembaga legislatif, dalam rangka pembaharuan hukum militer dan hukum acara peradilan militer di Indonesia. Peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada yang telah berkenan mendanai penelitian ini. Peneliti juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para narasumber dan pihak-pihak lain yang telah banyak memberikan saran dan masukan guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian ini. Mudah-mudahan penelitian ini memenuhi harapan dan bermanfaat bagi pengembangan hukum militer dan hukum acara peradilan militer. Yogyakarta, 2 November 2013 Peneliti Niken Subekti Budi Utami, S.H., M.Si. Supriyadi, S.H., M.Hum v

5 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii INTISARI/ABSTRAK... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Permasalahan... 5 C. Tujuan Penelitian... 6 D. Keaslian Penelitian... 6 E. Manfaat Penelitian... 7 F. Tinjauan Pustaka... 8 BAB II CARA PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Bahan Penelitian C. Cara dan Alat Pengumpulan Data D. Jalannya Penelitian E. Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Belum Diimplementasikannya Yurisdiksi Peradilan Umum Terhadap Prajurit TNI Sebagai Pelaku Tindak Pidana Umum B. Persepsi Kalangan Militer Mengenai Konsepsi Yurisdiksi Peradilan Terhadap Prajurit TNI Sebagai Pelaku Tindak Pidana vi

6 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA vii

7 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara Indonesia merupakan faktor yang sangat hakiki dalam kehidupan bernegara, yaitu menjamin kelangsungan hidup negara Indonesia. Alat negara yang mempunyai peran dan tugas penting dalam rangka penyelenggaraan sistem pertahanan negara adalah militer, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia. Dalam rangka mendukung dan menjamin terlaksananya peran dan tugas TNI tersebut, maka telah diadakan dan diberlakukan peraturan-peraturan khusus yang hanya berlaku bagi prajurit TNI, di samping peraturan-peraturan yang bersifat umum. Peraturan-peraturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku bagi prajurit TNI inilah yang dikenal dengan hukum militer. Salah satu peraturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku bagi prajurit TNI adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur ketentuan mengenai peradilan yang berwenang mengadili (yurisdiksi peradilan) terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana tersebut terdapat dalam Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang pada dasarnya menegaskan bahwa peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana adalah Peradilan Militer.

8 2 Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 di atas mencakup tindak pidana militer maupun tindak pidana umum. Namun demikian, ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah bergulirnya reformasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan dipertegas kembali dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kedua pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal melakukan tindak pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Bertolak dari ketentuan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 di atas dapat diketahui adanya dua yurisdiksi peradilan yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, yaitu Peradilan Militer dan Peradilan Umum. Peradilan Militer berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer, sedangkan Peradilan Umum berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Hal ini berbeda dengan yurisdiksi peradilan yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang hanya diberikan kepada Peradilan Militer. Ironisnya, realitas menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor

9 3 34 Tahun 2004 belum juga diimplementasikan hingga saat ini, terutama menyangkut yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Akibatnya, implementasi yurisdiksi peradilan bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum masih tetap menggunakan dan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun Hal ini sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa apabila yurisdiksi Peradilan Umum tidak berfungsi, maka prajurit TNI yang melakukan tindak pidana diadili di Peradilan Militer, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum. Situasi dan kondisi di atas memperlihatkan adanya pertentangan (gap) antara ketentuan normatif (das Sollen) dengan realitas di lapangan (das Sein) menyangkut yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Berdasarkan paparan diatas, menarik untu dilakukan penelitian mengenai : Faktorfaktor apa saja yang menyebabkan belum diimplementasikannya yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 serta untuk mengetahui persepsi kalangan militer mengenai konsepsi peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. B. Metode Penelitian

10 4 Bertolak dari kedua permasalahan di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu : 1. Menelusuri dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan belum diimplementasikannya yurisdiksi Peradilan Umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum yang telah diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun Menggali dan menginventarisasi persepsi kalangan militer mengenai konsepsi peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. D. Keaslian Penelitian Keberadaan militer dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebenarnya pernah dibahas dalam beberapa penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tim Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2001 dengan judul Implikasi Reposisi TNI-POLRI di Bidang Hukum. 1 Penelitian ini mengidentifikasi dan menginventarisasi berbagai perrmasalahan yang muncul sehubungan dengan adanya reposisi TNI dan POLRI yang telah membawa implikasi luas di bidang politik maupun bidang hukum dan peradilan. Hasil penelitian ini mengungkapkan implikasi reposisi TNI dan POLRI di bidang politik yang 1 Muhammad Fajrul Falaakh, dkk., 2001, Implikasi Reposisi TNI-POLRI di Bidang Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm

11 5 menyebabkan pengurangan peran politik militer di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya previlese lagi terhadap TNI dan POLRI untuk duduk di lembaga-lembaga perwakilan. Pemisahan TNI dan POLRI diikuti pula dengan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan yang masing-masing ditangani oleh institusi yang berbeda. Dalam kaitannya dengan bidang hukum dan peradilan terdapat berbagai implikasi yang diidentifikasi dan diinventarisasi dalam penelitian ini, antara lain adalah status militer yang berada dalam yurisdiksi ganda Peradilan Militer dan Peradilan Umum, perlunya redefinisi tindak pidana militer dan tindak pidana umum, persoalan kewenangan kepolisian yang dapat melakukan penyidikan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum dan kesiapan hakim Peradilan Umum dalam mengadili militer yang melakukan tindak pidana umum. E. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum militer pada umumnya dan khususnya hukum acara Peradilan Militer di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya bahan-bahan informasi kepustakaan untuk Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Militer di Program Diploma 3 Hukum Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa bahan-bahan bacaan mengenai hukum militer dan

12 6 hukum acara Peradilan Militer masih langka dan tidak mudah ditemukan di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya pembentuk undang-undang, dalam rangka pembaharuan Undang-Undang Peradilan Militer di Indonesia. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan dan bahan pertimbangan kepada pembentuk undang-undang dalam rangka penyusunan dan perumusan kembali peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Militer di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka mewujudkan paradigma sistem peradilan pidana yang berlaku bagi militer sesuai dengan karakteristik dan dinamika militer di Indonesia. F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana Pemahaman mengenai tindak pidana pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang hukum pidana. Menurut Moeljatno, hukum pidana diberikan pengertian sebagai berikut : Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : 1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut;

13 7 2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 2 Berkaitan dengan pengertian hukum pidana, Muladi mengemukakan bahwa dalam hukum pidana terdapat tiga permasalahan pokok, yaitu perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. 3 Ketiga permasalahan pokok hukum pidana tersebut sering disingkat dengan istilah perbuatan pidana atau tindak pidana, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan pidana. 4 Bertolak dari pengertian dan permasalahan pokok hukum pidana tersebut, maka hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil merupakan hukum pidana yang di dalamnya mengatur tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana. Hukum pidana formil merupakan hukum pidana yang di dalamnya mengatur tentang prosedur untuk melakukan penuntutan ke sidang pengadilan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana. Hukum pidana formil disebut pula sebagai hukum acara pidana. Oleh karena itu, apabila disebut hukum pidana saja, maka yang dimaksudkan di sini adalah hukum pidana materiil. 2 Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. v. Lihat pula Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hlm Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada, Jakarta, hlm. 77.

14 8 Hukum pidana dapat dibedakan pula menjadi hukum pidana umum (algemene strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht). Hukum pidana umum merupakan hukum pidana yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan diberlakukan kepada setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus merupakan hukum pidana yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan diberlakukan terhadap orang-orang tertentu saja, misalnya militer. Hukum pidana khusus dapat didefinisikan pula sebagai hukum pidana yang di dalamnya mengatur tindak pidana tertentu. 5 Pompe sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah menyebutkan adanya dua kriteria yang dapat menunjukkan eksistensi hukum pidana khusus. Pertama, orangorangnya yang bersifat khusus, dalam pengertian subyek atau pelakunya. Sebagai contoh adalah hukum pidana militer, karena orang-orangnya atau subyeknya yang bersifat khusus, yaitu militer. Kedua, perbuatannya yang bersifat khusus. 6 Van Poelje dalam bukunya Andi Hamzah bahkan menyatakan bahwa hukum pidana umum adalah semua hukum pidana yang bukan merupakan hukum pidana militer. Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus yang disebut dengan hukum pidana militer. 7 Dengan demikian, hukum pidana 5 PAF. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, hlm Andi Hamzah, 1986, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP dengan Komentar, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 3.

15 9 khusus dalam pandangan van Poelje mencakup hukum pidana militer saja, sehingga hukum pidana hanya dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana militer. 8 Keberadaan hukum pidana khusus sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam hukum pidana yang bersangkutan. Sudarto mengemukakan bahwa kekhususan dari hukum pidana khusus terletak pada adanya ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari hukum pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. 9 Kekhususan dari hukum pidana militer tidak dapat disangkal dan tampak jelas, karena berlaku bagi golongan orang-orang tertentu, yaitu militer. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Loebby Loqman bahwa kekhususan dari hukum pidana khusus terletak pada pengaturan perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, misalnya hukum pidana militer yang berlaku bagi militer. Selain itu, hukum pidana khusus dapat dimaknai pula sebagai hukum pidana yang mengatur suatu tindak pidana yang mempunyai sifat khusus. 10 Bertolak dari pengertian hukum pidana umum dan hukum pidana khusus di atas, apabila dilihat dari subyek berlakunya hukum pidana, maka hukum pidana umum dalam dapat diberikan pengertian sebagai hukum pidana yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan diberlakukan secara umum kepada semua warga negara, termasuk militer. Dengan demikian, hukum pidana umum ini memiliki ruang 8 Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Op.cit., hlm. 3 9 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm Loebby Loqman, 1993, Delik Politik di Indonesia, Ind-Hill-Co., Jakarta, hlm. 11.

16 10 lingkup yang cukup luas, karena dapat mencakup Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undangan pidana lain di luar KUHP. Meskipun peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP mengatur tindak pidana tertentu, namun peraturan perundang-undangan pidana tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hukum pidana umum (algemene strafrecht), karena berlaku bagi semua warga negara, baik sipil maupun militer. Peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP yang berlaku bagi semua warga negara, baik sipil maupun militer, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagainya. Demikian pula, apabila dilihat dari subyek berlakunya hukum pidana, maka hukum pidana militer dapat diberikan pengertian sebagai hukum pidana yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan diberlakukan terhadap golongan orang-orang tertentu saja, yaitu militer. Hukum pidana militer ini pengaturannya hanya dapat dijumpai di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Dalam hukum pidana umum (KUHP dan peraturan perundang-undangan pidana lain di luar KUHP) maupun hukum pidana militer (KUHPM) pada dasarnya diatur dan dirumuskan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan diancam dengan sanksi berupa pidana. Perbuatan-perbuatan yang demikian itu sering dikenal

17 11 dengan istilah perbuatan pidana atau tindak pidana. Istilah tindak pidana sebenarnya merupakan pengganti atau terjemahan dari kata strafbaar feit dalam bahasa Belanda. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dijumpai pula istilah-istilah lain yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari strafbaar feit. Istilahistilah tersebut adalah peristiwa pidana yang digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, perbuatan pidana yang digunakan dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1951, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum yang digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 dan tindak pidana yang telah digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dewasa ini, seperti Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan sebagainya. Menurut Sudarto, pemakaian istilah yang berbeda-beda di atas sebaiknya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang mengetahui isi dari pengertian istilah tersebut. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis yang berbeda dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Pengertian tindak pidana sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat di antara para sarjana. Namun demikian, pandangan mengenai pengertian tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi pandangan monistis dan pandangan dualistis. Aliran dualistis memisahkan

18 12 pengertian tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, sedangkan aliran monistis tidak memisahkan keduanya. 11 Moeljatno lebih sependapat menggunakan istilah perbuatan pidana dan memberikan pengertian perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Larangan tersebut ditujukan terhadap perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan terhadap orang yang melakukan perbuatan. 12 Bertolak dari pengertian singkat tindak pidana atau perbuatan pidana ini dapat dikemukakan bahwa tindak pidana yang diatur dan dirumuskan dalam hukum pidana umum (KUHP maupun peraturan perundang-undangan pidana lain di luar KUHP) dapat disebut sebagai tindak pidana umum, sedangkan tindak pidana yang diatur dan dirumuskan dalam hukum pidana militer (KUHPM) dapat disebut dengan tindak pidana militer. Apabila berpedoman pada pengertian hukum pidana umum sebagai hukum pidana yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan diberlakukan kepada setiap orang pada umumnya, maka hukum pidana umum di Indonesia dapat mencakup ruang lingkup yang cukup luas. Hal tersebut disebabkan karena hukum pidana umum dapat ditemukan pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum 11 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hlm Moeljatno, Op.cit., hlm. 54.

19 13 Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undangan pidana lain di luar KUHP. Meskipun peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP mengatur tindak pidana tertentu, namun dapat dikategorikan sebagai hukum pidana umum, karena peraturan perundang-undangan pidana tersebut berlaku bagi semua warga negara, baik sipil maupun militer. 2. Pengertian Tentara Nasional Indonesia Pengertian Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian militer. Secara etimologis, kata militer berasal dari istilah miles yang dalam bahasa Yunani memiliki makna sebagai seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan pertempuran atau peperangan dalam rangka pertahanan dan keamanan. 13 Bertolak dari pengertian ini, militer dapat dikatakan sebagai orang yang bersenjata dan siap bertempur serta terdiri dari orangorang yang sudah terlatih untuk menghadapi tantangan atau ancaman pihak musuh yang mengancam keutuhan suatu wilayah atau negara. Meskipun demikian, tidak setiap orang yang bersenjata dan siap untuk bertempur dapat disebut dengan militer. Hal tersebut dikarenakan militer memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik militer tersebut adalah mempunyai organisasi yang teratur, mengenakan pakaian seragam, memiliki disiplin dan menaati hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila karakteristik tersebut tidak dipenuhi, maka kelompok orang yang bersenjata dan siap melakukan pertempuran tidak dapat 13 Moch. Faisal Salam, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm Lihat pula SR. Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, hlm. 28.

20 14 dikategorikan sebagai militer, melainkan lebih tepat disebut dengan gerombolan bersenjata. 14 Perbedaan antara militer dan gerombolan bersenjata dapat dilihat pula dari kekhususan-kekhususan yang melekat dalam militer itu sendiri. Militer merupakan kesatuan organis yang pembentukan dan organisasinya dilakukan secara khusus dan istimewa. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa dalam kehidupan militer terdapat pola-pola pemikiran dan pengertian tersendiri yang sering menyimpang dari pemikiran dan pengertian yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Tanpa adanya pola pemikiran dan pengertian yang bersifat khusus tersebut, maka sekelompok orang yang memegang senjata dan siap bertempur tidak dapat dikategorikan sebagai militer, melainkan akan disebut sebagai gerombolan bersenjata. 15 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa istilah militer sebenarnya merupakan sinonim atau persamaan kata dari tentara atau prajurit yang diberikan pengertian sebagai orang yang menjadi anggota angkatan bersenjata seperti bintara, perwira dan sebagainya. 16 Oleh karena itu, pengertian militer Indonesia secara sederhana dapat didefinisikan sebagai orang yang menjadi anggota angkatan bersenjata Indonesia. 14 Moch. Faisal Salam, 2004, Peradilan Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm Soegiri, dkk., 1976, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, CV. Indra Djaja, Jakarta, hlm Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 583 dan 931.

21 15 Pengertian militer Indonesia secara yuridis dapat dijumpai pula dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Namun demikian, perlu diingat bahwa pengertian militer Indonesia di sini harus disesuaikan dengan konteks masing-masing peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal tersebut disebabkan karena pengertian militer Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang satu memiliki perbedaan dengan pengertian militer Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang lainnya. Pengertian militer Indonesia dalam penelitian ini mengacu kepada pengertian militer Indonesia yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan payung hukum dari militer Indonesia maupun kesatuan organisasi militer Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 sebenarnya lahir karena amanat dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negera yang menyatakan bahwa susunan organisasi, tugas dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara diatur dengan undang-undang. Keberadaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ini juga menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI yang merupakan payung hukum dari militer Indonesia maupun kesatuan organisasi dari militer Indonesia sebelum bergulirnya era reformasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988

22 16 ini dicabut oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan kelembagaan ABRI menjadi TNI yang didorong oleh tuntutan reformasi dan demokrasi maupun perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 dapat ditemukan 3 (tiga) istilah yang berkaitan dengan militer Indonesia dan memiliki pengertian yang berbeda-beda. Ketiga istilah tersebut adalah militer, tentara dan prajurit. Dalam Pasal 1 angka 20 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur berdasarkan peraturan perundangundangan. Pasal 1 angka 21 memberikan pengertian tentara sebagai warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Pasal 1 angka 13 mendefinisikan prajurit sebagai anggota TNI, yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 dijelaskan lebih lanjut bahwa TNI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

23 17 BAB II CARA PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian hukum sebagai bagian dari penelitian pada umumnya dapat dibedakan jenisnya berdasarkan sumber datanya. Apabila dilihat dari sumber datanya, maka penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang lebih mengutamakan penggunaan data sekunder, sedangkan penelitian hukum empiris merupakan penelitian hukum yang menekankan penggunaan data primer. 17 Data sekunder adalah data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan, sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian di lapangan. 18 Bertolak dari uraian di atas, penelitian ini merupakan penggabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Hal tersebut dilandasi argumentasi bahwa penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan data primer yang berasal dari subyek penelitian untuk menemukan jawaban permasalahan penelitian. 17 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm Bandingkan dengan F. Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum, CV. Ganda, Yogyakarta, hlm Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 52.

24 18 B. Bahan Penelitian Mengingat penelitian ini merupakan penggabungan antara penelitian hukum normatif dan empiris, maka bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder maupun data primer. Data sekunder merupakan data penelitian yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. 19 Bahan hukum primer sebagai bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. 6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 7. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 8. Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer. Bahan hukum sekunder sebagai bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu memahami bahan hukum primer, terdiri 19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13.

25 19 dari berbagai macam literatur tentang eksitensi militer di Indonesia, hukum militer, hukum pidana militer, dan sistem peradilan pidana militer serta berbagai hasil penelitian dan kegiatan ilmiah maupun pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Bahan hukum tersier sebagai bahan-bahan yang memberikan informasi terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi bahan rujukan bidang hukum seperti kamus bahasa Indonesia. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh dari subyek penelitian secara langsung di lapangan. Sehubungan dengan hal tersebut, data primer dalam penelitian ini diperoleh dari para narasumber, yaitu hakim militer dari Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta dan oditur militer dari Oditurat Militer II-11 Yogyakarta. C. Cara dan Alat Pengumpulan Data Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) maupun penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan merupakan cara pengumpulan data yang dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder dari bahan-bahan kepustakaan, sedangkan penelitian lapangan merupakan cara pengumpulan data yang ditujukan untuk mendapatkan data primer dari subyek penelitian atau narasumber. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen dan pedoman wawancara. Studi dokumen digunakan dalam penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder, sedangkan pedoman wawancara digunakan dalam

26 20 penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara dengan para narasumber. D. Jalannya Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan. Pertama, penelitian kepustakaan. Tahap ini dilaksanakan dengan pengumpulan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Selanjutnya dilakukan studi dokumen terhadap ketiga macam bahan hukum tersebut untuk mendapatkan gambaran secara garis besar mengenai militer Indonesia, hukum militer dan sistem peradilan militer yang berlaku di Indonesia. Kedua, penelitian lapangan. Tahap ini dimulai dengan penyusunan pedoman wawancara yang memuat pertanyaan-pertanyaan untuk diajukan kepada para narasumber. Pedoman wawancara tersebut dikirimkan kepada narasumber dengan disertai permintaan untuk mempelajari serta mempersiapkan data yang dibutuhkan dan permintaan waktu untuk melakukan wawancara. Pada hari yang telah ditentukan peneliti datang ke tempat narasumber untuk melakukan wawancara dan atau mengambil pedoman wawancara yang telah diisi oleh narasumber yang bersangkutan. Selanjutnya data dari hasil wawancara tersebut dianalisis dengan menggunakan metode yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Ketiga, pengolahan dan analisis data serta penyusunan laporan penelitian. Dalam tahap ini data penelitian diolah dan dianalisis yang kemudian dituangkan dalam hasil penelitian dan pembahasan. Selanjutnya, hasil penelitian dan pembahasan

27 21 tersebut disusun dalam bentuk Laporan Penelitian untuk diseminarkan agar mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan. E. Analisis Hasil Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan memperhatikan data sekunder yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan maupun data primer yang diperoleh dari narasumber di lapangan. Hasil analisis tersebut kemudian diuraikan dan dipaparkan secara deskriptif, sehingga diperoleh uraian yang bersifat deskriptif-kualitatif.

28 22 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Belum Diimplementasikannya Yurisdiksi Peradilan Terhadap Prajurit Tentara Nasional Indonesia Sebagai Pelaku Tindak Pidana Istilah yurisdiksi peradilan sering disebut pula dengan kompetensi peradilan atau kewenangan mengadili. Selanjutnya, istilah kewenangan mengadili sering dipersamakan dengan kekuasaan kehakiman yang memiliki arti sebagai kekuasaan mengadili. 20 Dengan demikian, kewenangan mengadili pada dasarnya berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara atau memiliki relevansi dengan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara. Bertolak dari pengertian ini, yurisdiksi peradilan pada hakikatnya memiliki hubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara atau kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara. Yurisdiksi peradilan atau kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara dapat dibedakan menjadi yurisdiksi peradilan yang bersifat absolut dan yurisdiksi peradilan yang bersifat relatif. Yurisdiksi peradilan yang bersifat absolut atau sering dikenal dengan kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan lingkungan peradilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara, 20 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 33.

29 23 sedangkan yurisdiksi peradilan yang bersifat relatif atau sering disebut dengan kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan sejenis yang dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. 21 Pengaturan yurisdiksi peradilan di Indonesia sebenarnya dapat dilihat dari ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 22 (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 23 (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. 24 Ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan 21 Darwan Prinst, 2003, Peradilan Militer, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 6 dan Hasil Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun Hasil Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun Sebelum adanya Perubahan Ketiga terhadap Pasal 24 UUDNRI Tahun 1945 ini, kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 24 Hasil Perubahan Keempat UUDNRI Tahun 1945.

30 24 Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 diatur dan ditegaskan pula bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 telah dicabut dan digantikan lagi oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun demikian, dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 masih mengatur dan menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan yurisdiksi Mahkamah Agung, Pasal 24A ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan lebih lanjut bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, 25 Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

31 25 dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. 26 Yurisdiksi Mahkamah Agung ini ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun Yurisdiksi Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 27 Yurisdiksi Mahkahah Konstitusi ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Yurisdiksi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara, dapat diketahui pula dari peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukumnya. Dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 disebutkan tentang wewenang masing-masing badan peradilan tersebut yaitu sebagai berikut : 26 Hasil Perubahan Ketiga UUDNRI Hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

32 26 a. Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Umum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun Ketentuan peraturan perundang-undangan

33 27 yang mengatur Peradilan Militer masih terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Apabila dilihat secara historis, maka peradilan yang berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana sebenarnya telah ada sejak lahirnya militer itu sendiri. Hal tersebut dapat ditunjukkan di masa Alexander Agung, dimana ada seorang jenderal Romawi yang diadili dan dihukum mati karena melawan Alexander Agung. Prinsip yang berlaku pada masa itu menempatkan komandan sebagai pihak yang berwenang memberi hukuman terhadap militer yang melakukan kesalahan. Prinsip ini dalam perkembangannya menjadi dasar bahwa Peradilan Militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari institusi militer. Namun demikian perlu diingat pula bahwa keberadaan institusi militer tidak selalu melahirkan adanya Peradilan Militer. Hal tersebut dapat dilihat dalam dinasti-dinasti kerajaan di Cina yang tidak mengenal Peradilan Militer, meskipun memiliki militer, tetapi pelanggaran yang dilakukan oleh militer kerajaan diadili di Peradilan Umum. 28 Peradilan yang berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana dapat ditelusuri pula dari sejarah perkembangannya di Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, peradilan yang berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana adalah Peradilan Militer yang sudah ada sejak jaman Hindia Belanda. Peradilan Militer di wilayah Hindia Belanda ini merupakan peradilan khusus yang ditujukan untuk mengadili militer Hindia Belanda dari Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger 28 Federico Andreu-Guzman, 2003, Military Jurisdiction and International Law : Military Justice and Gross Human Rights Violation, International Commission of Jurist, Geneva, hlm

34 28 (KNIL) dan Koninklijk Marine in Nederlandsch-Indie. Peradilan Militer dibedakan menjadi Krijgsraad yang berwenang mengadili anggota KNIL yang melakukan tindak pidana dan Zeekrijgsraad yang berwenang mengadili anggota Koninklijk Marine in Nederlandsch-Indie yang melakukan tindak pidana. Selain itu terdapat Hoog Militair Gerechshof sebagai pengadilan tingkat banding atas putusan yang dijatuhkan oleh Krijgsraad dan Zeekrijgsraad serta merupakan pengadilan tertinggi di Hindia Belanda. 29 Setelah Indonesia merdeka, peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana dapat dilihat dari Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun Kedua pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Peradilan Militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia pernah diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan perundangan-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Pengadilan Ketentaraan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Pengadilan Ketentaraan. 29 Kurniatmanto Soetoprawiro, 1994, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal-Usul dan Perkembangannya), Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 112.

35 29 Namun demikian, ketiga peraturan perundang-undangan tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi landasan hukum bagi Peradilan Militer di Indonesia hingga saat ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah : a. Prajurit; 30 b. Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; d. Seseorang yang tidak termasuk dalam huruf a, b atau c di atas, tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. 31 Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI berada pada Peradilan Militer, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana militer. Tindak pidana militer merupakan tindak pidana yang hanya diatur dan 30 Menurut Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yang dimaksud dengan prajurit di sini adalah prajurit ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI. Dalam konteks pemisahan TNI dan POLRI, maka yang dimaksud dengan prajurit adalah prajurit TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. 31 Dalam konteks pemisahan TNI dan POLRI, maka mungkin yang dimaksud dengan Panglima adalah Panglima TNI, sedangkan yang dimaksud dengan Menteri Kehakiman sekarang ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

36 30 dirumuskan dalam KUHPM. Sedangkan tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang pengaturan dan perumusannya terdapat dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan pidana lainnya di luar KUHP. Dalam perkembangannya terjadi perubahan paradigma mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana setelah reformasi. Sebagaimana diketahui bahwa gerakan reformasi di Indonesia telah mendorong adanya tuntutan perubahan di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu tuntutan perubahan yang mendasar adalah perlunya dilakukan penataan kembali atau reposisi terhadap eksistensi militer Indonesia, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), yang terintegrasi dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Hal tersebut disebabkan karena integrasi TNI dan POLRI ke dalam ABRI dipandang sebagai manifestasi pengingkaran kecenderungan yang berlaku secara universal mengenai pengelolaan pertahanan dan keamanan negara. 32 Kedua institusi ini memiliki doktrin yang berbeda secara fundamental dalam rangka menjalankan peran dan tugasnya. TNI memiliki doktrin yang berorientasi pada penghancuran musuh untuk mempertahankan kedaulatan negara, sedangkan POLRI menjalankan tugas pemerintahan di bidang penegakan hukum dengan kewenangan untuk 32 Muhammad Fajrul Falaakh, et.al., Op.cit., hlm

37 31 melakukan penyelidikan 33 dan penyidikan 34 terhadap adanya dugaan suatu tindak pidana. Reposisi TNI dan POLRI dalam perkembangannya telah mendapatkan landasan hukum yang kuat melalui Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dilaksanakan pada tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus Landasan hukum reposisi TNI dan POLRI tersebut dapat dilihat dari dua Ketetapan MPR yang dihasilkan dalam Sidang Tahunan MPR, yaitu Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedua Ketetapan MPR ini pada hakikatnya merumuskan ulang kedudukan dan peran TNI dan POLRI di Indonesia. Dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 ditegaskan bahwa TNI dan POLRI terpisah secara kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masingmasing. 35 Pemisahan kelembagaan TNI dan POLRI ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan yang mengintegrasikan TNI 33 Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 34 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 35 Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Amirudin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, jakarta Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara

Lebih terperinci

YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA Niken Subekti Budi Utami; Supriyadi Fakultas Hukum universitas Gadjah Mada Email : niken.subekti@mail.ugm.ac.id;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis sangat luas wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah sepatutnya Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu tentang Pertahanan dan Keamanan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini proses penegakan hukum di dalam masyarakat kembali menjadi topik yang sangat hangat untuk dibicarakan, keberadaan hukum yang seharusnya menjadi

Lebih terperinci

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA) PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

PENERAPAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA *

PENERAPAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA * PENERAPAN PIDANA PEMECATAN TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA * Supriyadi ** Abstract The judge basic consideration in condemning discharge sentence can be seen from

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindakan pidana itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang menjalankan tugas kepolisian sebagai profesi, maka membawa konsekuensi adanya kode etik profesi maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak. IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel) JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan sebagai berikut : 1. Proses beracara pidana di Pengadilan

Lebih terperinci

Amirroedin sjarif, Disiplin militer dan Pembinaannya, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982.

Amirroedin sjarif, Disiplin militer dan Pembinaannya, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982. DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Anthon F. Susanto, Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris: Fondasi Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Campuran (Mix Method) dalam Penelitian Hukum,Setara Press, Malang, 2015.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA 1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA A. Latar Belakang Masalah Bahwa negara Indonesia adalah negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut. penjajahan hukum belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut. penjajahan hukum belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan bangsa Indonesia itu pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. 1 Negara yang berdasarkan atas hukum berarti segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum tersebut terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum tersebut terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enam puluh sembilan tahun lamanya. Kualifikasi sebagai negara hukum

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

NINUK HERLINA NIM OLEH :

NINUK HERLINA NIM OLEH : SKRIPSI IMPLEMENTASI ASAS HUKUM (MILITER) PADA UNDANG- UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER TERHADAP SISTIM PEMIDANAAN PADA PERADILAN MILITER OLEH : NINUK HERLINA NIM 02108061 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Terpadu, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017 KAJIAN YURIDIS TENTANG SYARAT UNTUK DAPAT DIPIDANANYA DELIK PERCOBAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER 1 Oleh: Stewart Eliezer Singal 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK Zulfan kurnia Ainun Najib Dosen Pembimbing I : Dr. Pujiyono, SH., M.Hum Dosen Pembimbing II : Bambang Dwi Baskoro, SH.,

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan 93 BAB III PENUTUP a. Kesimpulan 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan pemidanaan pada umumnya, bahwa prajurit dapat di pidana jika memenuhi unsur kesalahan. Terhadap kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kepada setiap manusia akal budi dan nurani, dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan 81 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat diperoleh simpulan sebagai berikut : 1. Penerapan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang 337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis, 60 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat diambil suatu kesimpulan berdasarkan permasalahan yang ada sebagai berikut: 1. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Peranan Polisi Militer Angkatan Darat dalam menanggulangi tindak pidana

BAB IV PENUTUP. 1. Peranan Polisi Militer Angkatan Darat dalam menanggulangi tindak pidana 73 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Peranan Polisi Militer Angkatan Darat dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika di kalangan militer Angkatan Darat sebagai pencegah terjadinya tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2

KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2 KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses

Lebih terperinci

SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA

SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA Wednesday, 12 June 2013 09:00 Editor a. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang Sebelum perang Dunia ke-ii, Peradilan Militer Belanda di Indonesia dikenal dengan "Krijgsraad"

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana saat ini tidak hanya di dalam ruang lingkup pembunuhan, pencurian, dan sebagainya, tetapi juga berkembang ke dalam tindak pidana kekerasan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI (Studi Kasus Pengadilan Militer I-03 Padang) TESIS Oleh : ANNY YUSERLINA NO BP. 0921211110 BP.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1 Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1 1. Latar Belakang Pada saat undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legaislatif,

Lebih terperinci

Vol 10 No. 2 Oktober 2014 ISSN

Vol 10 No. 2 Oktober 2014 ISSN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA Setiyo 1, Heni Hendrawati 2, Agna Susila 3 * 123 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang agnasusila@ummgl.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada 36 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bakhri, Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Bakhri, Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta. 162 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adji, Indriyanto Seno, 2014, Hukum Pidana Dalam Perkembangan, Diadit Media, Ali, Mahrus, 2013, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta. Amrani, Hanafi

Lebih terperinci

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H. URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H. 1. Pendahuluan. Pengadilan Tata Usaha Militer yang sering disingkat dengan istilah PTUM merupakan salah satu

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban dunia selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentukbentuk kejahatan juga senantiasa

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas maka dapat diberi kesimpulan,

BAB III PENUTUP. Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas maka dapat diberi kesimpulan, BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas maka dapat diberi kesimpulan, yaitu: Seorang anggota Polri yang menyalahgunakan senjata api dapat mempertanggungjawabkannya karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bentrokan yang tajam dan kekacauan yang besar di kalangan masyarakat dan juga alat

BAB III PENUTUP. bentrokan yang tajam dan kekacauan yang besar di kalangan masyarakat dan juga alat 67 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dirumuskan di depan yaitu, bahwa pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock 121 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan di balik belum direvisinya Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci