IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak."

Transkripsi

1 IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel) JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Oleh : CHRISTIAN DAMERO SITOMPUL DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

2 JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH : CHRISTIAN DAMERO SITOMPUL DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui: Ketua Departemen Hukum Pidana DR. M. Hamdan, S.H, M.H NIP Editor DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum. NIP : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

3 IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel) Christian Damero S itompul ABSTRAK Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat apapun. Tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh anggota militer (TNI) bersama-sama dengan sipil, yang secara yuridis formal harus diadili dalam peradilan koneksitas. Perkara koneksitas baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus (korupsi). Dasar hukum peradilan koneksitas diatur dalam Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini diperlukan suatu peraturan pelaksanaan mengenai Pasal 16 tersebut, agar ada keseragaman ketentuan Pasal-Pasal mengenai peradilan koneksitas. Perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan hukum khususnya yaitu telah diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis hakim yang terdiri dari 3 orang yang berasal dari unsur hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 orang dan unsur Hakim Mahkamah Militer 1 orang (Pasal 94 KUHAP). Namun dalam hal pembentukan tim penyidik, pembentukannya tidak berdasarkan KUHAP yaitu dengan Surat Keputusan Menhankam dan Menteri Kehakiman. Dalam kasus tersebut pembentukan tim penyidik berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung. Proses penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana umum dengan pidana korupsi terdapat perbedaan di posisi penyidiknya. Dalam tindak pidana umum yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas tersebut adalah Polisi, sedangkan dalam tindak pidana korupsi yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas adalah Jaksa. Kata kunci : Implementasi, peradilan koneksitas, tindak pidana korupsi

4 A. Pendahuluan Menuju era reformasi demokratisasi dan transparansi khususnya dibidang hukum salah satu yang harus dilaksanakan adalah supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai otoritas tertinggi. Dewasa ini didalam masyarakat pada umumnya, konotasi supremasi hukum seringkali dipahami (popular) dengan sebutan menjadikan hukum sebagai panglima. Artinya segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Tegasnya orientasi penegakan hukum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui intsitusi penegak hukum yang berwenang. Para aparat penegak hukum berkewajiban dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum secara tegas, konsekuen, dan konsisten dalam segala bentuk perbuatan yang melawan hukum, baik yang dilakukan oleh kalangan sipil maupun kalangan militer yang mempunyai lingkup peradilan sendiri-sendiri. Tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus diadili oleh pengadilan negeri, sebagai pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh militer maka pelaku tindak pidana tersebut harus diadili oleh Mahkamah Militer sebagai pengadilan dalan lingkup peradilan militer. 1 1 P.A.F. Lamintang, Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung : SinarBaru, 1984), hlm. 249

5 Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh oknum militer atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama-sama dengan sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Mahkamah Militer). Inilah yang disebut peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas merupakan suatu peradilan yang bertugas untuk mengadili apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh sipil dan militer (TNI) baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh oknum militer (TNI) bersamasama dengan sipil (bukan T NI) yang telah menyalahgunakan keuangan Negara mengakibatkan timbulnya kerugian Negara demi keuntungan pribadi atau kelompok atau badan hukum. Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang demikian, maka perkara tindak pidana korupsi tersebut harus diadili dalam lingkungan peradilan koneksitas. Mengenai peradilan koneksitas ini telah diatur dalam pasal 89 sampai pasal 94 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 89 KUHAP dinyatakan : 1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan militer. 2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer,

6 atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana. 3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Meskipun telah ada pengaturannya, antara das sollen dan das sein belum terdapat kesesuaian, maksudnya antara apa yang seharusnya (das sollen) secara normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein), karena berdasarkan pasal 89 KUHAP bahwa apabila terjadi tindak pidana yang samasama dilakukan oleh oknum militer dan sipil maka mereka diadili dalam lingkup peradilan umum, kecuali ada persetujuan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman harus diadili dalam lingkungan peradilan militer. Kenyataannya tindak pidana yang terjadi dimasyarakat yang dilakukan oleh oknum TNI bersama-sama dengan sipil, pihak instansi Militer tersebut berusaha agar anggota TNI tersebut diadili dalam Mahkamah Militer. Ditinjau dari pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh oknum militer dan sipil adalah penyidik POLRI dan Polisi Militer dan oditur militer atau oditur militer tinggi. Dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, maka penyidiknya adalah Jaksa dan bukan penyidik POLRI lagi. Dalam hal ini telah terjadi perubahan penyidik yang tidak sesuai lagi dengan yang diatur dalam pasal 89 ayat (2) KUHAP. 2 Pelaksanaan peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana korupsi sering ditemui kendala yaitu ketidakmudahan dalam menentukan peradilan mana yang berwenang mengadili perkara koneksitas. Dalam menentukan peradilan mana yang berwenang dalam perkara tindak pidana korupsi, maka penyidik 2010), hlm 34 2 Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing,

7 POLRI atau penyidik Kejaksaan besama-sama penyidik militer yang merupakan satu tim melakukan penelitian perkara dan menyepakati peradilan mana yang harus mengadili perkara tindak pidana korupsi tersebut. 3 Apabila disimak pasal 89 ayat 1 (satu) KUHAP yang mem punyai prinsip dasar yaitu dalam perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, namun unsur tersebut ada pengecualiannya yaitu diadili dalam peradilan militer, dengan syarat antara lain : pertama, jika ada keputusan Menhankam yang mengharuskan perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer. Kedua, keputusan Menhankam yang dimaksud telah mendapat surat persetujuan dari Menteri Kehakiman bahwa perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh peradilan militer. Namun Dalam kehidupan ketatanegaraan, nampak perubahan yang mendasar tentang penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. 4 Bertitik tolak dari uraian diatas, mendorong penulis untuk membuat penelitian dalam rangka penyelesaian skripsi yang mendalam mengenai Implementasi Peradilan Koneksitas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi 3 Ibid 4 Ibid, hlm 35

8 B. Permasalahan 1. Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang peradilan koneksitas? 2. Bagaimana proses penegakan hukum terhadap perkara koneksitas dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi? C. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif. Yaitu memberikan gambaran tentang pelaksaan peradilan koneksitas dalam tindak pidana korupsi berdasarkan hukum acara pidana (hukum pidana formil) yang berlaku (KUHAP dan peraturan lainnya). 2. Sumber Data : Dalam penelitian ini difokuskan pada data sekunder, terdiri atas; a) Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian skripsi ini, utamanya yang mengatur peradilan koneksitas dan hukum acara pidana yang berlaku. b) Bahan hukum sekunder ialah berupa literatur-literatur ilmu hukum pidana dan hukum acara pidana mengenai peradilan koneksitas dan karya ilmiah yang relevan dengan masalah penelitian. c) Bahan hukum tertier yaitu kamus hukum, kamus bahasa dan naskah tertulis lainnya yang dapat memperjelas, melengkapi, dan menopang bahan hukum primer dan sekunder mengenai peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana korupsi.

9 3. Metode Pengumpulan Data Studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literature dan buku-buku serta meminta data-data kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang perkara koneksitas tindak pidana korupsi yang diadili dalam peradilan koneksitas. 4. Analisasis Data Data yang diperoleh dari kepustakaan, yaitu pengolahan data yang menghasilkan data deksriptif dan yang dinyataakan baik secara tertulis maupun lisan dan dari keseluruhan data yang diperoleh. D. Hasil Penelitian 1. Pengaturan tentang peradilan koneksitas menurut peraturan perundangundangan di Indonesia. Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 22 mengatur perihal koneksitas sebagai berikut: 5 Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Penjelasan dari pasal 22 di atas bahwa kewenangan pengadilan umum untuk mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer dan non militer pada hakekatnya merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan yang menyatakan bahwa seseorang semestinya dihadapkan di depan pengadilannya masing-masing. Justru karena hal itu merupakan suatu 5 Indonesia, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No.14, LN N0. 74 Tahun 1970, TLN No.2951, Pasal 22

10 pengecualian, maka kewenangan Pengadilan Umum ini terbatas pada bentukbentuk pensertaan dalam suatu delik seperti yang dimaksudkan oleh pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Pelaksanaan dari ketentuan pasal 22 tersebut dikeluarkan Surat Keputusan bersama antar Menteri Kehakiman, Menteri Hankam/Pangab, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung RI No.Kep.B/01.XII/1971 tentang kebijaksanaan dalam pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan orang yang termasuk dalam lingkungan peradilan militer. 6 Setelah mengalami perubahan pengaturan masalah koneksitas di atur kembali dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 16. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadiilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut. Dimana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum ialah pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara koneksitas. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan hakim adalah dari pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan dari justisiabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang. 7 6 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985 (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah II), hlm Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Seri 3, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 24.

11 Untuk memberikan dasar hukum yang mantap maka para Menteri dalam keputusan bersama dengan sedikit perubahan dituangkan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setelah berlakunya KUHAP, maka ternyata ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama tersebut sebagian besar diambil alih dalam KUHAP. 8 Koneksitas yang diatur dalam pasal 89 KUHAP merupakan pengulangan atas ketentuan dari pasal 16 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Acara yang di pakai dalam proses pemeriksaan perkara koneksitas untuk selanjutnya diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 KUHAP. Selain diatur di dalam KUHAP, masalah koneksitas ini pun diatur dalam Undang-Undang peradilan militer, koneksitas diatur di dalam Pasal 198 sampai dengan 203 Undang-Undang Peradilan militer. Ketentuan pasal yang digunakan dalam pasal-pasal tersebut merupakan pengulangan atas ketentuan pasal yang digunakan oleh KUHAP dalam mengatur koneksitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa acara yang dipakai dalam dalam pemeriksaan perkara koneksitas ini tidak berbeda antara KUHAP dengan Undang-Undang peradilan militer. Tersangka-tersangka yang melakukan tindak pidana pidana bersama sama adalah merupakan tindak pidana yang berada dalam ruang lingkup Pasal 55 KUHP atau Pasal 56 KUHP. Pasal 55 KUHP menyatakan : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. 8 Andi Hamzah II, Op.cit, hlm. 297.

12 2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, saran atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Sedangkan pasal 56 KUHP menyatakan: Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil kebahagiaan untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 9 Secara luas dapat di sebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan), dekat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau menggerakan untuk melakukan, memberikan keterangan dan sebagainya), pada saat terjadinya (misalnya: turut serta, bersama- sama melakukan atau seseorang itu dibantu 9 Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 174.

13 oleh orang lain) atau setelah terjadinya suatu tindak pidana (misalnya: menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku). 10 Perkembangan saat ini, perkara koneksitas mendapat perhatian yang cukup serius berkenaan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 3 ayat (4) huruf a menyatakan: Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketetapan MPR tersebut menunjukan bahwa secara tidak langsung masalah koneksitas yang berkenaan dengan tindak pidana sebagaimana telah diatur didalam hukum pidana umum dihapuskan, namun kendalanya terdapat pada peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, ketetapan tersebut belum dapat dilaksanakan. Pasal 89 ayat (2) dan (3) KUHAP dinyatakan : 11 (2) penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dalam Pasal 6 dan Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Oditur 10 S.R Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1986 (Selanjutnya disingkat S.R. Sianturi), hlm Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

14 Militer atau Oditur Militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masingmasing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara. (3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Berdasarkan ketentuan Pasal 89 (2) KUHAP bahwa aparat penyidik koneksitas ialah suatu Tim Tetap yang terdiri dari unsur : 1. Unsur penyidik Polri; 2. Polisi Militer; 3. Oditur militer atau Oditur militer tinggi; Cara Tim Tetap tersebut disesuaikan dengan dengan penggarisan dan batasbatas wewenang yang ada pada masing-masing unsur tim, bertitik tolak dari segi wewenang masing-masing unsur tim. Berarti cara pemeriksaan penyidikan dilakukan sesuai dengan : a. Tersangka yang pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri. b. Sedangkan pelaku anggota Militer diperiksa oleh unsur penyidik polisi militer dan Oditur militer. Setelah penyidikan selesai dilaksankan, maka diadakan penelitian bersama dengan anggota peneliti terdiri dari Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer dalam hal kepangkatan tersangka kapten kebawah atau Oditur Militer Tinggi dalam kepangkatan tersangka Mayor keatas. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan yang menyebabkan suatu tindak pidana yang nyata-nyata merugikan militer, terlanjur diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum dan prosedur ini mengacu kepada ketentuan Pasal 90

15 ayat (1) KUHAP dan Pasal 199 ayat (1) Undang -Undang Peradilan Militer yang sama-sama menyatakan, bahwa untuk menetapkan Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang akan mengadili perkara tindak pidana hasil penyidikan koneksitas tersebut, diadakan penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi. Pada ayat-ayat selanjunya dari Pasal tersebut di atas, ditentukan bahwa Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditanda-tangani pihak-pihak dan apabila dalam penelitianbersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, hal ini dilaporkan masing-masing kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal. 12 Sebaliknya jika penelitian terdapat perbedaan, maka menurut ketentuan Pasal 93 ayat (1) KUHAP dan Pasal 202 ayat (1) Undang -Undang Peradilan Militer masing-masing pihak melaporkan perbedaan pendapat tersebut secara tertulis dengan diserai berkas perkara yang bersangkutan kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal. Penyelesaiannya menurut ayat-ayat selanjutnya dari Pasal tersebut di atas, dinyatakan bahwa Jaksa Agung dan Oditur Jenderal akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan, tetapi apabila musyawarah tersebut tidak dapat mengakhiri perbedaan pendapat, maka pendapat Jaksa Agung yang menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara 2010), hlm Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing,

16 tersebut, apakah perkara tersebut diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum atau diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer. 13 Untuk menentukan ke pengadilan mana Perkara koneksitas akan ditentukan, apakah dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau ke pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, haruslah berpedoman pada hukum acara yang berlaku yaitu Pasal 90, 91, 92, dan Pasal 93 KUHAP. Mengenai susunan majelis hakim perkara koneksitas dalam peradilan koneksitas diatur dalam pasal 94 KUHAP, dinyatakan : Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, susunan majelis hakim terdiri dari : 15 a. 3 (tiga) orang hakim. b. Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan umum / pengadilan negeri. c. 2 (dua) orang hakim diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari lingkungan peradilan umum dan 1 orang dari lingkungan peradilan militer. 2. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, susunan majelis hakim terdiri dari : a. 3 (tiga) orang hakim. b. Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan militer. Pidana 13 Ibid 14 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara 2010), hlm Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing,

17 c. Hakim anggota diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari lingkungan peradilan militer dan 1 orang dari lingkungan peradilan umum. d. Hakim anggota dari lingkungan peradilan umum diberi pangkat militer tituler. 2. Peradilan koneksitas dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi Untuk menjelaskan berdasarkan ketentuan yuridis bahwa kejaksaan memiliki wewenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut : 1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuanketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. 2. Pasal 284 ayat (2) Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi 3. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP :

18 Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP penyidik jaksa dan penyidik lainnya yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4. Pasal 18 ayat (3) Undang -Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme : Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti. 5. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. 6. Pasal 44 ayat (4) dan aya (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi : (4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

19 (5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepolisian atau kejaks aan wajib melakukan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 7. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang -Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia : (1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. 8. Fatwa Ketua Mahkmah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005: berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa sampai dengan saat ini kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, diantaranya adalah tindak pidana korupsi. Dalam hal tindak pidana korupsi apabila dilakukan bersama-sama oleh mereka yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, apabila dilakukan penyidikan antara Kejaksaan dan POM TNI atau Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi, maka berdasarkan Pasal 91 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengkoordinir dan

20 menendalikan penyidikan dan penuntutan adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dan bunyi lengkap Pasal 39 tersebut adalah sebagai berikut : 16 Jaksa Agung mengkoordinir dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. Koordinasi dan pengendalian tersebut dapat disubsitusikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri, jika perkara tersebut ditangani oleh daerah, begitu juga jika perkara tindak pidana korupsi tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan POM TNI, maka yang mengkoordinator dan mengendalikan penyidikan dan penuntutan Menurut Ketentuan Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah KPK dan bunyi pasal 40 tersebut adalah sebagai berikut : 17 Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Jika tidak ingin melakukan mengkoordinasikan atau mengendalikan penyidikan koneksitas yang dimaksud, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menyerahkan perkara tersebut kepada kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan dan mengendalikannya, tetapi menurut Pasal 44 ayat (5), 2010), hlm Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing, 17 Ibid, hlm 44

21 pelaksanaan penyidikan koneksitas tersebut tetap dikoordinasikan dan dilaporkan perkembangannya kepada Komisi Pemberantasa Korupsi. 18 Tindak Pidana Korupsi yang disidangkan secara koneksitas di peradilan militer maka sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kewenangan Perwira Penyerah Perkara (PEPERA) sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 123 aya (1) huruf g yang menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit dikesampingkan. 19 Selain itu beberapa aturan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengertian penyidikan koneksitas adalah penyidikan yang dilakukan bersama oleh tim penyidik yang masing-masing memiliki kewenangan terhadap seseorang yang tunduk pada peradilan umum maupun peradilan militer. Dengan demikian, berkas perkara hasil penyidikan koneksitas tersebut harus merupakan satu kesatuan yang untuk dengan tersangka mereka yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, jika berkas perkara tersangka-tersangka tersebut terpisah atau displit, maka berkas perkara hasil penyidikan koneksitas dimaksud tidak memenuhi syarat penggarisan undang-undang. 20 Selanjutnya adalah tahap penuntutan, adapun tahapan penuntutan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah : Ibid, hlm Ibid 20 Ibid, hlm Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm 67

22 1. Pra Penuntutan Pra Penunutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 KUHAP tentang wewenang penuntut umum khususnya huruf b, mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (30 dan ayat (4) KUHAP, dengan memberikan petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik. Apabila berkas telah dinyatakan lengkap (P -21), maka penyidik akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. Jaksa penuntut umum akan melengkapi berkas-berkas yang dilimpahkan ke pengadilan dengan berita acara pemeriksaan BA-10, yang dimaksudkan untuk meyakinkan apakah berkas benar-benar lengkap dan apakah sangkaan yang disangkakan kepada tersangka benar. Apabila Jaksa Penuntut Umum menemukan keraguan, akan dilakukan pemeriksaan tambahan. 2. Surat Dakwaan Salah satu peran dari surat dakwaan adalah sebagai dasar tuntutan pidana (requisitoir). Setelah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (penyerahan tahan II), Jaksa Penuntut Umum menyiapkan Rencana Surat Dakwaan (Rendak). Rencana Surat Dakwaan (Rendak) disusun dan dilaporkan secara berjenjang dengan bertolah ukur jumlah kerugian negara, sebagaimana tahap penyelidikan dan penyidikan. Apabila Rencana Surat Dakwaan belum mendapat persetujuan, maka Rancangan Surat Dakwaan akan diperbaiki sesuai

23 dengan petunjuk. Setelah Rancangan Surat Dakwaan mendapat persetujuan, maka surat dakwaan dan berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Surat Dakwaan dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah sebelumnya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan, meliputi, keterangan terdakwa, keterangan saksi, alat bukti, dan keterangan ahli. Dengan berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP maka saksi sebelum meberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing. Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya dan pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai. 3. Pelimpahan berkas ke pengadilan. Pelimpahan berkas ke pengadilan adalah merupakan kewenangan untuk melakukan tindakan penututan dalam hal menurut yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim pengadilan. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Kitab Hukum Acara Militer telah diatur tentang wewenang penuntut umum dalam hal : a) Mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan persidangan. b) Melaksanakan tindakan penuntutan di sidang pengadilan. c) Melaksanakan penetapan hakim. d) Melaksanakan upaya hukum lain dan upaya hukum luar biasa.

24 E. Penutup 1. Kesimpulan a. Perkara koneksitas adalah suatu perkara tindak pidana yang dilakukan anggota sipil secara bersama-sama dengan anggota militer yang berbeda lingkungan peradilan nya (jurisdiksi pe radilannya), diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, kecuali menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh peradilan militer. Dalam kehidupan ketatanegaraan, nampak perubahan yang mendasar tentang penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Perkara koneksitas dimulai dengan proses penyidikan (Pasal 89 KUHAP), penentuan pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Jenderal (Pasal 90 KUHAP), lalu masuk ke tahap penuntutan, dan terakhir penentuan Majelis Hakim yang mengadili perkara koneksitas tergantung perkara koneksitas tersebut diadili dalam peradilan umum atau peradilan militer (Pasal 94 KUHAP).

25 b. Proses penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana umum dengan pidana korupsi terdapat perbedaan di posisi penyidiknya. Dalam tindak pidana umum yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas tersebut adalah Polisi, sedangkan dalam tindak pidana korupsi yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas adalah Jaksa. Dalam perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan hukum khususnya yaitu telah diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis hakim yang terdiri dari 3 orang yang berasal dari unsur hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 orang dan unsur Hakim Mahkamah Militer 1 orang (Pasal 94 KUHAP). Namun dalam hal pembentukan tim penyidik, pembentukannya tidak berdasarkan KUHAP yaitu dengan Surat Keputusan Menhankam dan Menteri Kehakiman. Dalam kasus tersebut pembentukan tim penyidik berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung. 2. Saran a. Beberapa ketentuan dalam KUHAP tentang koneksitas perlu ditinjau kembali khususnya dalam pembentukan tim penyidik (Pasal 89 ayat 2 KUHAP) karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan struktur pemerintahan dan perkembangan hukum seperti dalam pembentukan tim penyidik harus

26 didasarkan Surat Keputusan Bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman yang sekarang sudah diganti dengan Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. b. perlu aparat penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim majelis yang profesisional, memiliki integritas kepribadian yang mantap atau moral yang baik dan disiplin yang tinggi dalam menangani perkara koneksitas tindak pidana korupsi, karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan bukan lagi ordinary crime (kejahatan biasa). c. Perlu kerjasama positif antara Kejaksaan dengan Oditur Militer dalam penanganan perkara koneksitas tindak pidana korupsi. d. Dalam penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana korupsi, dalam proses hukumnya harus bebas dari pengaruh politik dan kepentingankepentingan organisasi/lembaga serta dilaksanakan secara objektif. chris_l3golas@yahoo.co.id

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA 1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA A. Latar Belakang Masalah Bahwa negara Indonesia adalah negara yang

Lebih terperinci

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1 Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1 1. Latar Belakang Pada saat undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legaislatif,

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PERKARA KONEKSITAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN DI INDONESIA

BAB III PROSEDUR PERKARA KONEKSITAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN DI INDONESIA BAB III PROSEDUR PERKARA KONEKSITAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN DI INDONESIA A. Pengertian Koneksitas Peradilan koneksitas adalah system peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis, 60 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat diambil suatu kesimpulan berdasarkan permasalahan yang ada sebagai berikut: 1. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis sangat luas wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah sepatutnya Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2

KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2 KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 7 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki peranan yang sangat vital, terutama dalam hal penuntutan perkara pidana. Selain berperan sebagai

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Namun, yang membedakan kasus korupsi di setiap negara adalah intensitas,

BAB I PENDAHULUAN. Namun, yang membedakan kasus korupsi di setiap negara adalah intensitas, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi telah mewabah dan ada di mana-mana. Dari masa dulu, masa kini hingga masa yang akan datang, korupsi merupakan suatu ancaman serius. Tidak ada satupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut:

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut: 50 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan analisi yang dilaksanakan, sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kewenangan yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL ( PPNS ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

PROSES HUKUM TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN JURNAL ILMIAH

PROSES HUKUM TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN JURNAL ILMIAH 1 PROSES HUKUM TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN JURNAL ILMIAH Oleh : I PUTU DIRGANTARA D1A 110 163 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2014 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang menjalankan tugas kepolisian sebagai profesi, maka membawa konsekuensi adanya kode etik profesi maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindakan pidana itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang 337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA I. Penelitian berkas perkara oleh Panitera. 1. Bentuk Dakwaan: a. Tunggal : Adalah tehadap terdakwa hanya didakwakan satu perbuatan yang memenuhi Uraian dalam satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017 TUGAS DAN WEWENANG JAKSA DALAM PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh : Josua D. W. Hutapea 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tugas dan wewenang Jaksa dalam

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER 1. Pendahuluan. HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER Oleh: Mayjen TNI Burhan Dahlan, S.H., M.H. Bahwa banyak yang menjadi materi perubahan dalam RUU Peradilan Militer yang akan datang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak Rabu,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci