STUDI GEOLOGI TEKNIK RENCANA BENDUNG KARANG KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI GEOLOGI TEKNIK RENCANA BENDUNG KARANG KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL"

Transkripsi

1 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1, No. 2, Juli 2008 STUDI GEOLOGI TEKNIK RENCANA BENDUNG KARANG KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Puji Pratiknyo Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta SARI Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di daerah Karang, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul perlu dibangun suatu bendung. Penyelidikan geologi teknik perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi dan sifat keteknikan dari daerah rencana as bendung. Pondasi suatu bendung harus bertumpu pada batuan yang mempunyai daya dukung baik sehingga bangunan bendung tidak akan mengalami deformasi (perubahan posisi) karena faktor teknis, sehingga umur bendung akan lama. Peneylidikan geologi teknik rencana bendung Karang, berdasarkan batuan yang ada dan nilai-nilai keteknikannya menghasilkan bahwa pondasi bendung Karang sebaiknya bertumpu pada batuan yang berupa breksi dengan sisipan batupasir halus. Breksi berada pada kedalaman 3 meter sampai 10 meter Kata Kunci : bendung, penyelidikan geologi teknik. ABSTRACT To supply irigation water in Karang area, Patuk distict,gunungkidul regency, need a dam. The technical geology study should be do to identification the geology condition and engineering properties in axis of dam area which has been planning. The dam must be rest on the rock with good properties to support the body of dam, so the dam will stable in position and have long life time. The result of technical geology study of Karang dam area, base on both rock and value of technical properties identified that the body of dam should be rest on breccia stone which interbedded by fine sandstone. The depth of breccia stone is 3 10 meters. PENDAHULUAN Daerah Karang, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang kekurangan air baik untuk keperluan air minum maupun keperluan yang lain seperti irigasi. Sehingga air sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan di daerah tersebut. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan air untuk keprluan irigasi dengan cara membendung aliran sungai yang ada di daerah tersebut, meskipun aliran air sungai sangat kecil, sehingga air yang ditampung pada daerah genangan bendung diharapkan dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian yang ada di wilayah daerah tersebut dan diharapkan hasil pertanian dapat meningkat. Bendung Karang rencananya akan membendung Kali Bon Pahing. Lebar kali

2 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1, No. 2, Juli 2008 Bon Pahing, di lokasi yang akan dibendung, sekitar 6 meter. Kali Bon Pahing merupakan anak sungai Kali Ngalang, dan merupakan pembatas antara Dusun Nglampar, Kelurahan Nglegi, Kecamatan Pathuk yang ada di bagian barat dan Dusun Sentul, Kelurahan Ngalang, Kecamatan Gedangsari yang ada di bagian timur. Rencana lokasi bendung Karang ada pada koordinat UTM, X = , Y = , dengan ketinggian ± 178 meter dari permukaan air laut. Untuk pembangunan bendungan diperlukan penyelidikan geologi teknik, utamanya untuk menentukan tumpuan pondasi bangunan bendung. TINJAUAN PUSTAKA Belum ada peneliti terdahulu yang membahas khusus tentang bendung di daerah penelitian. Peneliti terdahulu pada umumnya membahas tentang kondisi geologi yang sifatnya regional. Peneliti tersebut antara lain : 1) Van Bemmelen, R.W (1949) membahas kondisi geologi, dalam bukunya yang berjudul Geology of Indonesia, Vol IA. 2) Suyoto (1994) membahas sikuen stratigrafi, dalam Prosiding PIT IAGI XXIII, Vol 1, halaman 19-32, dengan judul Sikuen Stratigrafi Karbonat Gunungsewu. 3) Kusumayudha (2000) membahas kuantifikasi sistem hidrogeologi dan potensi air tanah, dalam Disertasinya yang berjudul Kuantifikasi Sistem Hidrogeologi dan Potensi Airtanah Daerah Gunungsewu, Pegunungan Selatan, DIY (Didekati Dengan Analisis Geometri Fraktal). METODOLOGI Untuk menentukan lokasi tumpuan pondasi bendung supaya tepat dilakukan dengan metode penyelidikan geologi teknik dengan ruang lingkup penyelidikan sebagai berikut : 1) Studi pustaka 2) Pemetaan geologi permukaan 3) Pemboran 4) Tes Penetrasi Standar (SPT) 5) Uji permeabilitas terhadap batuan yang ada dalam lubang bor 6) Pengambilan conto tanah/batuan 7) Penyelidikan laboratorium terhadap conto tanah 8) Analisa dan evaluasi data untuk penentuan lokasi tumpuan pondasi bendung GEOLOGI REGIONAL Lokasi rencana Bendung Karang secara fisiografis, menurut Van Bemmelen, 1949, termasuk dalam Rangkaian Pegunungan Selatan (South Mountain Ridge) yang ada di Pulau Jawa, khususnya Rangkaian Pegunungan Selatan Jawa Tengah - Jawa Timur. Lihat Gambar 1. Stratigrafi Pegunungan Selatan yang berada di wilayah DIY menurut Suyoto (1994), mulai dari yang tertua adalah sebagai berikut : 1) Formasi Semilir

3 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1, No. 2, Juli 2008 Formasi Semilir merupakan sedimen laut dalam yang terdiri dari tufa dasitik, batupasir, batupasir tufaan, bauapung, aglomerat, batulempung, batulanau, serpih, dan breksi. Formasi ini berumr Oligosen Miosen Awal. 2) Formasi Nglanggran Formasi Nglanggran mempunyai hunungan di atas, atau bersilang-jari dengan Formasi Semilir. Penyusun utamanya adalah breksi vulkanik andesitik, lava, aglomerat, beksi polimiks, dan batupasir tufaan. Formasi ini diendapkan pada kala Oligomiosen Miosen Tengah. 3) Formasi Sambipitu Formasi Sambipitu, terdiri dari batunapal, batulempung, batupasir gampingan, dan batupasir tufaan secara berselang-seling. Sedimen laut ini mempunyai hubungan selaras di atas atau menjemari dengan Formasi Nglanggran, berumur Miosen Tengah. Bersama Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu merupakan basal batuan karbonat Gunungsewu. 4) Formasi Oyo Formasi Oyo terdiri dari batugamping pasiran berlapis, kalkarenit, batupasir gampingan, dan batupasir napalan-tufaan. Hubungannya dengan Formasi Sambipitu adalah selaras di satu tempat, atau berbeda fasies di tempat lain. Formasi Oyo berumur Miosen Tengah hingga Mio- Pliosen. 5) Formasi Wonosari Formasi Wonosari tersusun oleh batugamping berlapis, batugamping masif, dan batugamping terumbu. Ciri fisik yang spesifik formasi ini adalah porositas sekunder berupa rongga-rongga yang terbentuk dari hasil pelarutan mineral-mineral kalsit maupun dolomit. Formasi ini berbeda fasies dengan Formasi Oyo, berumur Miosen Tengah Pliosen. Di daerah Slawu, Wedi-utah didapatkan piroklastika jatuhan berupa tufa. Suyoto (1994) mengelempokan Formasi Wonosari bersama Formasi Oyo dan Formasi Kepek menjadi Grup / Kelompok Gunungsewu. 6) Formasi Kepek Penyusun utama Formasi Kepek adalah perselang-selingan antara batulempung, batunapal pasiran dan batugamping berlapis. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut dangkal terisolasi, pada kala Pliosen Akhir sampai Pleistosen. Sir MacDonald & Parters (1979) menyebut batuan Formasi Kepek sebagai batugamping lagunal, karena diperkirakan diendapkan dilingkungan lagunal. 7) Endapan Aluvial Endapan aluvial terutama tersusun oleh lempung berwarna hitam, lanau, pasir, kerakal, berangkal, dan sisa-sisa tanaman. Suyoto (1994) mengelompokkan batuan vulkanik Pegunungan Selatan yang terbagi di dalam Formasi Kebo Butak, Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran menjadi Grup Besole, sedangkan batuan karbonat yang terbagi di dalam Formasi Oyo, Formasi Wonosari dan Formasi Kepek menjadi Grup Gunungsewu. Lihat Gambar 2.

4 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1, No. 2, Juli 2008

5 Gambar 2 Kolom Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Tengah (Suyoto, 1994) GEOLOGI BENDUNG KARANG Daerah Bendung Karang secara regional merupakan bagian dari Rangkaian Pegunungan Baturagung sebelah selatan. Morfologinya berupa daerah bergelombang, dengan lereng yang sedang (sudut lereng berkisar 5 o 20 o ). Ketinggian morfologi berkisar antara 139 meter sampai 199 meter. Morfologi di bagian utara relatif lebih tinggi dari pada di bagian selatan. Sungai-sungai yang ada mengalir relatif dari utara ke selatan dengan lembah yang sempit, lebar lembah lebih kecil 10 meter. Sungai-sungai tersebut mengalir dan akhirnya bergabung dengan sungai Ngalang yang mengalir di bagian paling timur wilayah D.I Karang. Sungai Ngalang sendiri mengalr dari utara ke arah baratdaya, dengan lebar 5

6 Batuan penyusun D.I (Daerah Irigasi) Karang, baik di daerah genangan, daerah bendung dan daerah koncoran, secara keseluruhan terdiri dari : 1). Satuan batupasir Sambipitu Disebut sebagai Satuan batupasir Sambipitu karena satuan batupasir ini tediri dari batupasir, batulanau dan batulempung yang saling beselingan, tetapi lapisan batupasir lebih tebal dan lebih banyak dijumpai (lebih dominan), dan secara geologi regional satuan batuan ini merupakan bagian dari Formasi Sambipitu. Penyebaran satuan batuan ini berada di bagian utara Daerah Irigasi Karang, melampar dari barat ke timur. Warna satuan batuan, dalam kondisi segar, abuabu. Warna dalam kondisi lapuk, coklat kemerahan. Secara umum, kondisi batuan lapuk ringan sampai lapuk sedang. Perlapisan secara umum berarah N 100 o E N 110 o E dengan kemiringan perlapisan 10 o 21 o.dalam kondisi segar, satuan batuan ini kompak dan agak keras.batuan yang segar banyak tersingkap di dasar dan tebing sungai yang ada di daerah irigasi Karang bagian utara. Batupasir, warna segar abu-abu, warna lapuk abu-abu kecoklatan, ukuran butir 1/16 mm sampai 2 mm, kompak, agak keras, kemas terbuka, pemilihan baik, karbonatan. Ketebalan lapisan cm, Batulanau, warna segar abu-abu, warna lapuk abu-abu keputihan, ukuran butir 1/256 mm 1/16 mm, agak kompak, tidak keras, ada laminasi sejajar, tidak karbonatan. Ketebalan lapisan 5 20 cm. Batulempung, warna segar abu-abu, warna lapuk merah-kecoklatan, ukuran butir halus (<1/256 mm), agak kompak, tidak keras, tidak karbonatan. Ketebalan lapisan 3 15 cm. Foto 1. Singkapan perselingan batupasir-batulanau-batulempung pada satuan batupasir Sambipitu. 6

7 2). Satuan batupasir tufan Sambipitu Disebut sebagai Satuan batupasir tufan Sambipitu karena pada satuan ini terdiri dari batupasir tufan (dominan), batupasir, dan batulempung yang berselingan, dan dijumpai sisipan breksi, dan secara geologi regional satuan batuan ini merupakan bagian dari Formasi Sambipitu. Satuan batuan ini secara selaras berada di atas satuan batupasir. Penyebarannya di bagian tengah sampai selatan, lokasi bendung ke selatan, melampar dari barat ke timur. Warna satuan batuan, dalam kondisi segar, abuabu keputihan. Warna dalam kondisi lapuk, abu-abu kecoklatan. Secara umum, kondisi batuan lapuk ringan sampai lapuk sedang. Perlapisan secara umum berarah N 105 o E N 110 o E dengan kemiringan perlapisan 11 o 20 o.dalam kondisi segar, batuan agak kompak dan tidak keras. Batuan yang segar banyak tersingkap di dasar dan tebing sungai yang ada di daerah irigasi Karang bagian tengah sampai selatan. Batupasir tufan, warna segar abu-abu keputihan, warna lapuk coklat keputihan, ukuran butir 1/16-2 mm, kompak, tidak keras, pemilahan jelek, kemas terbuka, mengandung tuf, berlapis tipis, dan ada yang berlaminasi, ketebalan lapisan 5 30 cm. Batupasir, berlapis tebal, warna segar abu-abu, warna lapuk abu-abu kecoklatan, ukuran butir kasar 1/8-2 mm, kompak, agak keras, pemilihan baik, kemas terbuka. Ketebalan lapisan cm.batulempung, warna segar abuabu keputihan, warna lapuk abu-abu, ukuran butir halus (<1/256 mm), agak kompak, tidak keras, karbonatan,ketebalan lapisan 2 10 cm. Breksi, warna segar abu-abu, warna lapuk abu-abu kecoklatan, kemas tertutup, pemilahan jelek, kompak, keras, tidak karbonatan, tebal 2 4 m. Fragmen berupa andesit ukuran 1 cm 25 cm. Matriks : ukuran pasir sedang kasar, terdiri dari andesit, kuarsa, oksida besi, piroksen. Batupasir tufan Batupasir Foto 2. bidang kontak satuan batupasir tufan Sambipitu dengan satuan batupasir Sambiptu. 7

8 Foto 3. Breksi sebagai sisipan pada satuan batupasir tufan Sambipitu. Secara regional umur Formasi Sambipitu berkisar antara Akhir Miosen Bawah sampai Miosen Tengah (11,2 20,5 juta tahun yang lalu) dan diendapkan pada lingkungan laut dengan mekanisme arus turbidit. Struktur geologi yang ada di wilayah Bendung Karang berupa homoklin, kekar, dan sesar-sesar minor. Struktur homoklin merupakan struktur yang berupa perlapisan batuan yang miring dengan arah kemiringan yang sama. Di wilayah D.I Karang lapisan batuan secara umum miring relatif ke arah selatan baratdaya. Struktur kekar yang dijumpai pada batuan-batuan terdiri dari kekar gerus ( shear joint/fracture ) dan kekar tarik ( gash fracture ). Kekar-kekar tersebut dijumpai tidak pada semua batuan dan tidak banyak serta tidak sistematis, kekar-kekar tersebut berarah relatif baratlaut tenggara. Sesar minor yang ada di wilayah D.I Karang berupa sesar turun yang mengakibatkan gesernya lapisan-lapisan batuan secara setempat (lokal) dengan panjang pergeseran berkisar 2 10 cm. Karena kecilnya dimensi sesar dan tidak menerusnya bidang sesar di permukaan, maka sesar ini tidak dapat dipetakan pada peta skala kecil. Penyebaran satuan batupasir Sambipitu dan satuan batupasir Sambipitu tufan dan struktur geologi dapat di lihat pada Peta Geologi gambar 4. GEOLOGI TEKNIK Hasil Pemboran yang dilakukan di sekitar lokasi bendung sebanyak 3 titik dengan kedalaman masing-masing 10 meter adalah sebagai berikut (Lokasi titik bor dapat dilihat pada Gambar 3). 8

9 Gambar 3 Lokasi titik bor. 1). Titik bor BH-1 : Lokasi titik sekitar 1 meter ke arah selatan (ke arah hilir) dari rencana bendung. Batuan yang ada pada lubang pemboran dari kedalaman 0 sampai 10 meter adalah batupasir halus dan breksi. Kedalaman (meter) Tabel 1 Deskripsi batuan pada titik bor BH ,7 1,7 4,7 5 0,3 5 5,3 1,3 5,3 10 4,7 Tebal (meter) Deskripsi Batuan Batupasir halus warna abu-abu dengan sisipan batulempung warna coklat, segar, kompak, keras dengan tebal 3-8 cm. Breksi warna abu-abu, segar, kompak, keras, fragmen dominan tuf, putih, agak lunak. Batupasir halus warna abu-abu gelap, segar, kompak, sangat keras Batupasir halus, warna abu-abu gelap, segar, kompak, keras Breksi, abu-abu, segar, kompak, sangat keras, fragmen dominan tuf, putih, agak lunak, ukuran fragmen 0,5 1 cm, matrik batupasir halus, abu-abu 9

10 2). Titik bor BH-2 : Lokasi titik sekitar 11 meter ke arah selatan (ke arah hilir) dari rencana bendung. Batuan yang ada pada lubang pemboran dari kedalaman 0 sampai 10 meter adalah batupasir halus dan breksi. Kedalaman (meter) Tabel 2 Deskripsi batuan pada titik bor BH ,9 1,7 1,9 7,4 0,3 7,4 10 1,3 3). Di titik bor BH-3 : Tebal (meter) Deskripsi Batuan Batupasir halus warna abu-abu dengan sisipan batulempung warna coklat, segar, kompak, keras dengan tebal 5-10 cm. Batupasir abu-abu, segar, kompak, sangat keras. Breksi, abu-abu cerah, segar, kompak, keras, dengan fragmen dominan tuf, putih, agak lunak, dan batulempung, coklat, serta andesit, abu-abu, kompak, keras, diameter fragmen 0,5 1 cm, matriks batupasir halus, abu-abu. Breksi, abu-abu gelap, fragmen dominan tuf putih agak lunak, diamter 0,5 1 cm. Lokasi titik sekitar 21 meter ke arah selatan (ke arah hilir) dari rencana bendung. Batuan yang ada pada lubang pemboran dari kedalaman 0 sampai 10 meter adalah breksi. Kedalaman (meter) Tabel 3 Deskripsi batuan pada titik bor BH ,5 3,5 5,5 10 4,5 Tebal (meter) Deskripsi Batuan Beksi, abu-abu gelap, segar, kompak, sangat keras, fragmen dominan tuf putih agak lunak, matriks batupasir halus, abuabu gelap. Breksi warna abu-abu terang, segar, kompak, keras, fragmen dominan tuf, putih, agak lunak dan batulempung coklat, serta andesit abu-abu kompak, keras, diameter fragmen 0,5 1 cm, matriks batupasir halus, abu-abu. Breksi warna abu-abu gelap, segar, kompak, keras, fragmen dominan tuf, putih, agak lunak, matriks batupasir halus, abu-abu gelap. SPT (Tes Penetrasi Standar) dilakukan pada setiap lubang pemboran. Tiap-tiap lubang pemboran ada 6 titik lokasi uji SPT. Kedalaman atau lokasi uji SPT selalu sama pada masing-masing lubang bor. Hasil uji SPT dapat dilihat pada Tabel 4. 10

11 Tabel 4 Hasil uji SPT ada tiap-tiap lubang pemboran. No. Lubang Bor Nilai N SPT pada tiap kedalaman (meter) 1,65-2 3,15 3,5 4,65-5 6,15 6,5 7,65-8 9,15 9,5 1 BH-1 >50 >50 >50 >50 >50 >50 2 BH-2 >50 >50 >50 >50 >50 >50 3 BH-3 >50 >50 >50 >50 >50 >50 Uji permeabilitas di lakukan 1 (satu) kali pada tiap-tiap lubang bor dengan kedalaman yang berbeda-beda dengan menggunakan metode packer test. Hasil uji permebilitas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji permeabilitas pada tiap-tiap lubang bor. No. Lubang Bor Kedalaman (meter) Batuan Nilai permeabilitas ( cm/dtk) 1 BH-1 5,3 Batupasir halus 2,17 x BH-2 3,5 Breksi 5,15 x BH-3 3,2 Breksi 6,8 x 10-5 Nilai core recovery dan RQD dari tiap-tiap lubang bor dapat dilihat pada Tabel 6. No. Tabel 6 Nilai core recovery dan RQD dari tiap-tiap lubang bor. Lubang Bor Nilai core recovery (%) Nilai core recovery rata-rata (%) Nilai RQD (%) 1 BH-1 70% 90% 83% 30% - 80% 2 BH-2 80% 100% 90% 20% - 100%. 3 BH-3 80% 100%. 86% 40% - 90% Penyelidikan di laboratorium terhadap tanah/batuan untuk mengetahui sifat fisik tanah, antara lain : kadar air, berat jenis, batas-batas atterberg, distribusi ukuran butir, dan uji tekan bebas. Rangkuman hasil uji laboratorium dapat dilihat pada Tabel 7. 11

12 Tabel 7 Rangkuman hasil uji Laboratorium PEMBAHASAN Berdasarkan data dari hasil penyelidikan geologi teknik di atas, maka didapatkan: 1) Lokasi rencana as bendung letaknya paling dekat dengan titik bor BH-1 sehingga data yang paling mendekati dengan as bendung adalah data dari hasil penelitian di BH-1. Di permukaan, litologi terdiri dari batupasir dan batulempung yang saling berselingan (kedalaman 0-3 meter) dibawahnya berupa beksi dengan sisipan batupasir halus (kedalaman 3-10 meter). Batupasir dan breksi tersebut kondisinya segar, kompak, keras sangat keras, material penyusun dominan berasal dari material volkanik. Kondisi batuan di bawah permukaan tersebut mempunyai daya dukung yang kuat dan tidak mudah larut oleh air karena tidak mengandung karbonat. 2) Batuan di sekitar lokasi as bendung, nilai core recovery besar yaitu 83% - 90%, nilai RQD yang besar (ada yang mecapai 100%), mengindikasikan sedikitnya bidang diskontinuitas. Sedikitnya bidang diskontinuitas akan mendukung untuk tidak terjadinya aliran air yang besar sehingga batuan tidak labil dan sesuai untuk dijadikan tumpuan pondasi bendung. Adanya bidang diskontinyu dapat diatasi dengan cara melakukan grouting. 3) Batuan di sekitar lokasi as bendung, di bawah permukaan, nilai SPT batuan di bawah permukaan besarnya lebih dari 50. Hal ini menunjukkan bahwa batuan sangat padat. Batuan yang padat ini akan dapat mendukung dengan baik beban yang ada di atasnya. 4) Batuan di sekitar lokasi as bendung, di bawah permukaan, nilai permeabilitas kecil (2,17 x ,8 x 10-5 cm/dtk), sehingga debit aliran air melalui pori-pori batuan relatif kecil dan lambat. 12

13 KESIMPULAN 1) Daerah D.I Karang merupakan bagian dari Rangkaian Pegunungan Baturagung sebelah selatan. Morfologi bergelombang, ketinggian meter, bagian utara morfologi tinggi dan merendah ke bagian selatan. Batuan penyusun berupa batupasir, batulanau, batulempung dan breksi dengan kemiringan lapisan relatif ke arah selatan. Struktur geologi yang ada berupa homoklin, sesar minor, dan kekar-kekar yang tidak berkembang secara intensif (tidak banyak dan tidak sisitematis). 2) Pondasi bendung Karang sebaiknya bertumpu pada batuan yang berupa breksi. Breksi berada pada kedalaman 3 meter sampai 10 meter. Breksi tersebut mempunyai sifat fisik yang baik, segar, kompak, padat, keras, sedikit bidang diskontinyu, dan nilai permeabilitas kecil. 3) Hasil penyelidikan geologi teknik baik di lapangan maupun di laboratorium menunjukan bahwa kondisi geologi dan sifat fisik batuan mempunyai daya dukung yang baik untuk menahan beban bangunan yang ada di atasnya. DAFTAR PUSTAKA TERPILIH Kusumayudha (2000) dalam Disertasinya yang berjudul Kuantifikasi Sistem Hidrogeologi dan Potensi Airtanah Daerah Gunungsewu, Pegunungan Selatan, DIY (Didekati Dengan Analisis Geometri Fraktal). Shirley LH, 1987, Geoteknik dan Mekanika Tanah (Penyelidikan Lapangan & Laboratorium), Penerbit Nova, d/a kotak pos 469 Bandung, 191 halaman. Suyoto, 1994, Sikuen stratigrafi karbonat Gunungsewu, Proc. PIT IAGI XXIII, Vol.1., hal

14 Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol IA, Martinus Nijhoff, The Hague, 792 halaman. 14

15 15

16 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 1, No. 2, Juli

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir). Apabila diperhatikan, hasil analisis petrografi dari sayatan batupasir kasar dan sayatan matriks breksi diperoleh penamaan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi karena yang menjadi matriks pada breksi

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

ANALISA GEOLOGI TEKNIK DALAM PERENCANAAN BENDUNG DAERAH IRIGASI PARIGI KABUPATEN PANGANDARAN

ANALISA GEOLOGI TEKNIK DALAM PERENCANAAN BENDUNG DAERAH IRIGASI PARIGI KABUPATEN PANGANDARAN ANALISA GEOLOGI TEKNIK DALAM PERENCANAAN BENDUNG DAERAH IRIGASI PARIGI KABUPATEN PANGANDARAN Pengki Irawan 1), Iman Handiman 2) 1,2 Prodi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Siliwangi Tasikmalaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Barat. 18 3. Breksi Tuf Breksi tuf secara megaskopis (Foto 2.9a dan Foto 2.9b) berwarna abu-abu

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN Kegiatan : Praktikum Kuliah lapangan ( PLK) Jurusan Pendidikan Geografi UPI untuk sub kegiatan : Pengamatan singkapan batuan Tujuan : agar mahasiswa mengenali

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Muhammad Dandy *, Wawan Budianta, Nugroho Imam Setiawan Teknik Geologi UGM Jl. Grafika No.2 Kampus

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO Purna Sulastya Putra Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung Sari Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh penulis di bagian barat Cekungan Baturetno

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan B T Batupasir Batulanau Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan Lokasi pengamatan untuk singkapan breksi volkanik berada pada lokasi Sdm.1

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono,

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bendungan Kuningan merupakan bendungan tipe urugan yang mampu menampung air sebesar 25,955 juta m 3. Air dari bendungan ini akan menjadi sumber air bagi Daerah Irigasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN STUDI BATIMETRI FORMASI KEBOBUTAK DAERAH GEDANGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNG KIDUL PROPINSI DIY

GEOLOGI DAN STUDI BATIMETRI FORMASI KEBOBUTAK DAERAH GEDANGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNG KIDUL PROPINSI DIY GEOLOGI DAN STUDI BATIMETRI FORMASI KEBOBUTAK DAERAH GEDANGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNG KIDUL PROPINSI DIY SKRIPSI Disusun Oleh : Farauk A. Fautngil 111.030.151 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan adalah suatu konstruksi atau massa material dalam jumlah besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan untuk menahan laju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Kecamatan Gedangsari merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan ini memiliki luas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci