TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut sebagai Lahan Basah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut sebagai Lahan Basah"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut sebagai Lahan Basah Lahan basah (wetlands) adalah wilayah-wilayah yang tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya terkadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau, atau asin. Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-topografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Dengan kata lain, pada kondisi ini laju penimbunan bahan organik lebih besar daripada mineralisasinya (Noor 2001). Gambut merupakan ekosistem alami penting dengan nilai tinggi untuk konservasi keanekaragaman hayati, regulasi iklim, dan kesejahteraan manusia. Dinamika gambut sangat sensitif terhadap perubahan siklus hidrologi. Jika dilakukan drainase atau reklamasi, gambut berangsur-angsur akan menyusut dan mengalami subsiden/amblas, yaitu penurunan permukaan tanah. Kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Menurut Barchia (2006) laju subsiden juga sangat dipengaruhi oleh ketebalan gambut, pada gambut dalam laju subsiden akan lebih besar dari pada gambut sedang dan gambut dangkal. Gambut dikategorikan sebagai freshwater wetlands yang terbentuk pada kondisi palustrin. Widjaya-Adhi (1988) diacu dalam Barchia (2006) menjelaskan karakteristik gambut, yaitu 1) mempunyai kandungan bahan organik tinggi (>85 persen); 2) mengandung C-organik persen bergantung pada fraksi liat; 3) ketebalan gambut >40 cm jika kerapatan isinya >0.1 g/cm 3 atau >60 cm jika kerapatan isinya 0,1 g/cm 3 ; 4) berdasarkan ketebalan gambut dapat dibagi 4, yaitu a) gambut dangkal ( cm), b) gambut sedang ( cm), c) gambut dalam ( cm), dan d) gambut sangat dalam (>300 cm);

2 12 5) berdasarkan kandungan serat, gambut dibedakan atas a) fibrik, kadar serat 2/3 volume dikategorikan sebagai bahan gambut yang dekomposisinya belum sempurna, b) saprik, tingkat dekomposisinya paling sempurna dan mengandung serat <1/3 volume, dan c) hemik, dikategorikan sebagai tingkat intermediet yang proses dekomposisinya berada antara fibrik dan saprik. Gambut memiliki tingkat kemasaman tanah yang tinggi disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan ph <4. Gambut tropik umumnya memiliki topografi berbentuk kubah (dome). Dari pinggir ke arah tengah makin mendekati puncak kubah permukaan lahan makin meningkat dengan perbedaan tinggi kurang 1 m pada setiap jarak 1 km. Perbedaan tinggi permukaan gambut berhubungan dangan ketebalan gambut. Menurut Noor (2001), informasi perbedaan tinggi permukaan ini penting dalam perencanaan jaringan tata air atau drainase. Dengan demikian, kekeringan akibat pengaliran air yang berlebihan atau banjir pada musim hujan dapat dihindari. Kubah gambut biasanya dibiarkan sebagai reservoir yang berfungsi menyimpan air pada musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Kerusakan atau penyusutan wilayah kubah gambut dapat menyebabkan kelangkaan air di wilayah sekitarnya. Faktor-faktor iklim yang penting di kawasan gambut tropik adalah curah hujan, suhu dan kelembaban. Dalam konteks ekologi, ekosistem gambut mempunyai peranan sebagai wilayah penyangga (buffer zone) lingkungan. Hal ini terlihat pada fungsi gambut dalam lingkup hidrologis, biogeokimia, dan ekologis. Dalam sistem hidrologis, ekosistem gambut selain sebagai daerah tampung air, juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Kehilangan kesempatan mengkonservasi air berarti juga dapat menimbulkan ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati (Barchia 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa eksploitasi gambut yang berlebihan dapat menurunkan kelembaban gambut dan drainase berlebihan dapat menimbulkan kering takbalik (irreversible drying) pada bahan gambut, dan gambut akan membentuk pasir semu. Drainase yang berlebihan, yaitu melampaui batas kritis kering takbalik, menyebabkan gambut berubah sifat menjadi hidrofob. Semakin besar efek pengering, semakin besar sifat menolak air gambut dan semakin sukar melembabkannya kembali. Hidrofobisitas gambut

3 13 yang dikeringkan disertai pemadatan gambut akibat subsiden menyebabkan gambut menjadi rentan terhadap erosi permukaan. Ekosistem gambut merupakan ekosistem yang rentan, yang cepat sekali rusak oleh perubahan yang sedikit saja. Hutan gambut dapat dikatakan sekali panen akan hilang sehingga dapat digolongkan menjadi sumber daya alam hayati (Reksowardoyo 1988 diacu dalam Barchia 2006). Ekowisata Wisata adalah suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat biasa mereka tinggal dan bekerja, yang selama mereka tinggal di tujuan tersebut mereka melakukan kegiatan, dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka (Gunn 1994). Sementara Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure) minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan enam bulan bagi wisatawan domestik. Menurut UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Istilah ekowisata merupakan terjemahan dari istilah ecotourism yang timbul sebagai sikap atau kritik terhadap kegiatan pariwisata massal yang dianggap merusak lingkungan dan kebudayaan. Penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan konsep pariwisata yang termasuk bukan pariwisata berskala besar serta mengikuti prinsip-prinsip berkelanjutan. Akar dari ekowisata terletak pada kegiatan wisata alam dan wisata ruang terbuka. Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumber daya pariwisata. The International Ecotourism Society (2000) mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to natural areas that conserves the environment and improves the well-being of local people) (Damanik dan Weber 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa ada lima pilar utama yang menopang bangunan perencanaan ekowisata, yakni a) pembangunan pariwisata berkelanjutan; b) struktur administrasi dan politik pariwisata yang mencakup pemerintah lokal; c) peraturan perundang-undangan; d) otonomi

4 14 daerah; e) keragaman potensi wisata. Wearing dan Neill (1999) diacu dalam Gilbert (2003) menegaskan bahwa ekowisata adalah bagian dari pendidikan lingkungan, pembinaan sikap dan perilaku yang kondusif untuk menjaga lingkungan alami dan pemberdayaan masyarakat lokal, oleh karena itu, ekowisata merupakan industri yang berkelanjutan. Menurut Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO), pariwisata yang melibatkan perjalanan ke alam pada daerah yang relatif tidak terganggu dengan tujuan tertentu, yaitu mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan, tanaman dan juga hewan liar, serta berbagai aspek budaya yang ada (baik dari masa lalu dan masa kini yang ditemukan di daerah tersebut), didefinisikan sebagai ekowisata. Suatu jumlah optimal kegiatan pengunjung ramah lingkungan, tidak adanya dampak serius pada ekosistem dan masyarakat lokal, dan keterlibatan positif masyarakat lokal dalam menjaga keseimbangan ekologi adalah beberapa elemen kuncinya. Dalam pengembangan ekowisata perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan 2001) 1) konservasi; 2) pendidikan; 3) ekonomi; 4) peran aktif masyarakat; 5) wisata. From (2004) diacu dalam Damanik dan Weber (2006) menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu sebagai berikut. 1) perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, 2) wisata yang mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan wisata itu, dan 3) perjalanan wisata yang menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Ekowisata merupakan tipe wisata alternatif dari wisata massal sehingga memiliki segmen yang signifikan dalam pasar wisata. Selain kesadaran lingkungan yang berkembang sejak akhir tahun 1980, pengembangan bentuk wisata alternatif juga dapat dihubungkan dengan terlalu akrabnya konsumen dengan wisata masal dan sebagian menginginkan jenis-jenis liburan baru (Holden 2000). Menurut Damanik dan Weber (2006), beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan ekowisata adalah sebagai berikut: (1) pengembangan produk wisata yang bernilai ekologi tinggi (green product);

5 15 (2) seleksi kawasan wisata yang menawarkan keanekaragaman hayati (biodiversity); (3) pengabaian produk dan jasa yang banyak mengonsumsi energi dan yang menimbulkan limbah (polusi, kongesti, dan lain-lain); (4) penciptaan standarisasi dan sertifikasi produk wisata berbasis ekologi; (5) pelatihan dan penguatan kesadaran lingkungan di kalangan warga masyarakat; (6) pelibatan penduduk lokal dalam kegiatan penyediaan dan pengelolaan jasa wisata; (7) pengembangan kolaborasi manajemen trans-sektoral dalam pengembangan ekowisata. Perencanaan Lanskap Lanskap sangat berkaitan dengan konsep ruang di alam. Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air, dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur yaitu (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Perencanaan lanskap merupakan suatu kegiatan yang melibatkan pemanfaatan alam (lingkungan) untuk kebutuhan manusia, dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan seni. Alam memiliki karakter khusus yang memerlukan penanganan yang berbeda dalam usaha pemanfaatannya. Perencanaan lanskap diperlukan untuk memelihara dan menjaga karakter alam sekaligus menjadikan alam tersebut memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Menurut Gold (1980), perencanaan lanskap adalah penyesuaian antara lanskap dan program yang akan dikembangkan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan pemandangan lanskap sehingga mencapai penggunaan terbaik. Proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling menunjang. Perencanaan secara umum adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan tertentu (Inskeep 1991). Dijelaskan selanjutnya bahwa tahaptahap perencanaan lanskap meliputi hal-hal berikut:

6 16 (1) studi persiapan yang merupakan penilaian kelayakan kegiatan dilakukan, untuk melihat ada atau tidaknya potensi pengembangan; (2) penentuan tujuan yang merupakan penentuan hasil yang diinginkan dari pengembangan; (3) survei yang merupakan pengumpulan data, kuantitatif dan kualitatif untuk semua aspek yang relevan; (4) analisis dan sintesis berupa analisis yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, merupakan aktivitas utama yang tergantung pada ketersediaan data survei, mengidentifikasi peluang dan masalah atau batasan untuk pengembangan; (5) rumusan kebijakan dan rencana yang merupakan kegiatan mempersiapkan dan mengevaluasi alternatif kebijakan dan garis besar rencana (atau skenario); (6) rekomendasi yang berupa penyampaian rencana detil yang dibuat berdasarkan analisis dan sintesis, serta rumusan kebijakan dan rencana yang telah dipilih; (7) pelaksanaan dan pemantauan, pelaksanaan dilakukan bila telah dipertimbangkan dari persiapan rencana, terutama dalam perumusan kebijakan dan rencana, serta pada rekomendasi sehingga rencana akhir menjadi realistik untuk dicapai dan dapat dilaksanakan; pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan dikerjakan, sesuai dengan jadwal pengembangan, dan tidak menimbulkan masalah ekonomi, lingkungan, atau sosial budaya. Menurut Simonds dan Starke (2006), perencanaaan tapak umumnya mengikuti langkah-langkah berikut yang beberapa di antaranya dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu pendefinisian maksud dan tujuan; pengumpulan informasi topografi; pengembangan program; pengumpulan data dan analisis; pengenalan tapak; pengorganisasian perlengkapan dan dokumen rencana acuan, persiapan studi lanjut; perbandingan analisis dengan studi perbaikan untuk mendapatkan konsep yang sesuai dan disetujui; pengembangan dari rencana pengembangan pendahuluan dan menghitung biaya; persiapan rencana pembangunan, spesifikasi, dan penawaran dokumen. Kegiatan pembangunan sering dikaitkan dengan proses perencanaan sehingga perencanaan dapat menentukan arah suatu pembangunan. Menurut Inskeep (1991), untuk mengoptimalkan kegiatan wisata dan meminimalkan

7 17 dampak yang ditimbulkan karena kegiatan ini, diperlukan perencanaan dan manajemen yang baik, dan terintegrasi dengan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa terdapat beberapa alasan khusus perlunya suatu perencanaan wisata, yaitu sebagai berikut. 1) Pariwisata modern merupakan hal yang relatif baru di banyak daerah, dimana pemerintah dan swasta belum memiliki pengalaman yang cukup dalam penanganannya sehingga diperlukan perencanaan. 2) Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki kompleksitas, multisektoral, serta terkait dengan sektor lain, untuk itu perlu koordinasi dan perencanaan yang lebih terpadu. 3) Pada umumnya kegiatan wisata adalah menjual produk dengan memberikan pengalaman pada pengunjung melalui berbagai fasilitas sehingga ada dampak sosial dan lingkungan yang harus diperhitungkan dalam perencanaan. 4) Kegiatan pariwisata membawa dampak ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu perlu optimalisasi kegiatan dan perencanaan yang terintegrasi. 5) Manfaat dan masalah sosial budaya yang muncul karena kegiatan pariwisata memerlukan penanganan berupa kebijakan untuk mengkonservasi objekobjek budaya yang berharga. 6) Pembangunan fasilitas dan atraksi untuk pariwisata menimbulkan dampak pada kondisi fisik lingkungan, dengan perencanaan diharapkan dapat meminimalkan degradasi lingkungan dan mengupayakan konservasi lingkungan. 7) Adanya slogan keberlanjutan sebagai isu global akan menentukan tipe keberlanjutan yang tepat dan tidak merusak dan menghambat pembangunan. 8) Perubahan tren pasar dan keadaan lainnya memerlukan fleksibilitas perencanaan. 9) Kegiatan wisata perlu keahlian tertentu dan tenaga kerja yang potensial, oleh karena itu, dalam perencanaan wisata perlu dibuat rencana pelatihan. 10) Perlu ada struktur organisasi, promosi, dan regulasi yang mengatur kegiatan wisata. 11) Perlu program dan dasar yang rasional bagi publik dan swasta dalam kaitannya dengan rencana investasi yang mereka lakukan.

8 18 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi geografis (SIG) atau geographic information system (GIS) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan penampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 2002). Pendekatan-pendekatan kelokasian atau lebih dikenal dengan istilah pendekatan keruangan/spasial sangat penting di dalam melakukan analisisanalisis fenomena yang terjadi di bumi ini, baik yang sifatnya fisik maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, lingkungan, dan budaya. Jika fenomena itu dapat ditangkap informasinya secara utuh berikut lokasi dan polanya, hal tersebut dapat membantu dalam menyelesaikan atau mencari solusi dari permasalahan yang terkait dengan muka bumi. SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra 1997). SIG adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Di samping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. SIG dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sistem manual (analog) dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik, dan laporan survei lapangan. Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. SIG otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi. Data lain dapat berupa peta dasar terdigitasi.

9 19 SIG dapat dibagi ke dalam empat komponen utama, yaitu perangkat keras (digitizer, scanner, central procesing unit (CPU), hard-disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dan lain-lain), organisasi (manajemen), dan pemakai (user). Kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan sistem informasi geografis. Data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, sehingga analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta, sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Butler (1993) diacu dalam Bahaire dan Elliot (1999) menyatakan bahwa sistem informasi geografis mempunyai potensi-potensi dalam pemecahan masalah pariwisata, yaitu 1) dapat menginventarisasi secara sistem atas sumber daya pariwisata dan menganalisis tren pariwisata, dan 2) dapat digunakan untuk memonitor perkembangan aktivitas wisata, dengan pengintegrasian pariwisata, sosial budaya, lingkungan, dan data ekonomi. Scenic Beauty Estimation (SBE) Scenic beauty diartikan sebagai keindahan alami (natural beauty), estetik lanskap (landscape aesthetics), atau sumber pemandangan (scenic resource) untuk memecahkan kemonotonan (Daniel dan Boster 1976). Estetika digunakan sebagai dasar dalam kualitas visual. Dijelaskan lebih lanjut oleh Daniel dan Boster (1976) bahwa keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur. Scenic Beauty Estimation (SBE) yang dikembangkan oleh Daniel dan Boster (1976) adalah model penilaian yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi psikofisik preferensi indah. Hal ini digunakan untuk mempelajari hubungan antara atribut biofisik lingkungan dan preferensi keindahan tanpa mempertimbangkan proses perantara yang mungkin mempengaruhi preferensi penilaian. Ditemukan bahwa nilai-nilai preferensi berkorelasi dengan bentuk fisik,

10 20 prinsip-prinsip formal desain, dan atribut psikologis lanskap untuk menyatakan persoalan teoritis dan empiris dalam estetika lanskap (Gobster dan Chenoweth 1989 diacu dalam Chiang et al. 2010). Perubahan penampilan lanskap dapat dilihat dari proses biofisik dan pendapat manusia sangat penting sebagai indikator dari kualitas keindahan visual. Persepsi seseorang terhadap kualitas lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang mengenai lanskap tersebut (Nasar 1988). Keindahan pemandangan adalah suatu konsep yang interaktif karena sebagian besar ditentukan oleh penilaian manusia, karena kualitas estetika dari suatu ruang merupakan hasil dari kombinasi penampilan lanskap itu sendiri dengan proses psikologis (tanggapan, pemahaman, dan emosi) dari pengamat lanskap tersebut (Daniel dan Boster 1976). Pendugaan keindahan merupakan salah satu cara untuk menentukan kualitas suatu lanskap. Pendugaan keindahan lanskap menggunakan metode SBE meliputi 3 langkah, yaitu mempresentasikan lanskap dengan menggunakan slide foto, mempresentasikan silde terhadap responden, dan mengevaluasi penilaian slide dari responden. Lanskap dipresentasikan dalam bentuk foto dengan melakukan pemotretan. Slide foto kemudian dipresentasikan kepada responden untuk memperoleh penilaian responden terhadap lanskap. Slide foto yang dipresentasikan disusun secara acak. Responden yang dipilih adalah mahasiswa karena mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang dianggap kritis dan peduli terhadap lingkungan, serta jumlah responden antara sudah dianggap mewakili. Kuisioner dibagikan kepada responden dan selanjutnya diberikan penjelasan mengenai penilaian terhadap kondisi kawasan. Selama presentasi, slide diputar satu-persatu dengan durasi waktu penyajian 7-10 detik untuk masing-masing slide. Responden menilai setiap slide dengan skala 1-10 yang menggambarkan kualitas pemandangan dari paling rendah sampai paling tinggi (Daniel dan Boster 1976). Setelah semua hasil kuisioner terkumpul dilakukan analisis data untuk mendapatkan nilai kualitas pemandangan (SBE). Nilai SBE menggambarkan kualitas pemandangan lanskap mulai dari paling tinggi hingga paling rendah yang relatif terhadap lanskap standar. Lanskap yang digunakan sebagai standar adalah lanskap yang memiliki nilai z mendekati nol dan nilai SBE-nya nol. Data untuk setiap lanskap dikelompokkan berdasarkan rangking penilaian 1-10, untuk setiap rangking dihitung jumlah frekuensi, frekuensi kumulatif, dan nilai z

11 21 berdasarkan tabel. Dengan data ini selanjutnya dihitung nilai z rata-rata untuk setiap lanskap. Dari keseluruhan z untuk tiap titik ditentukan satu nilai z dari titik sebagai standar untuk penghitungan nilai SBE (Daniel dan Boster 1976). Dari nilai SBE untuk setiap lanskap yang diperoleh lalu ditentukan kualitas keindahannya, selanjutnya lanskap dapat dikelompokkan menjadi lanskap yang memiliki kualitas pemandangan tinggi, sedang, dan rendah. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical hierarchy process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty tahun 1970, seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut ke dalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel, dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode ini dimaksudkan untuk mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini dimaksudkan untuk membantu masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisasi, sehingga dimungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki keunggulan tertentu karena mampu menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi persoalan yang terstruktur sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Untuk mengolah data dengan metode AHP ini dapat dilakukan dengan aplikasi perangkat lunak CDP V3.04 dan Expert Choice (Eriyatno dan Sofyar 2007). AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, yang dengannya pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hierarki kriteria, pihak yang berkepentingan, dan hasil dengan

12 22 menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat (Saaty 1991). AHP membuat para pembuat keputusan untuk mendapatkan skala prioritas atau pertimbangan dari pengalaman, pandangan, intuisi, dan data asli. Dalam menjalankannya, AHP tidak hanya mendukung pembuat keputusan untuk menyusun kerumitan dan melatih penilaian, tetapi membuat pertimbangan subjektif dan objektif dalam menganalisis keputusan. Beberapa ide dasar kerja dari AHP adalah sebagai berikut. 1) Penyusunan hierarki Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki. 2) Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1993), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. 3) Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan, nilai-nilai perbandingan kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. 4) Konsistensi logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis, konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi, arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa nilai atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut jika dibandingkan dengan yang lainnya. Skala Saaty dapat dilihat pada Tabel 1.

13 23 Tabel 1 Skala banding secara berpasangan (Saaty 1993) Tingkat Kepentingan Definisi Penjelasan 1 Kedua elemen sama penting 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangakan yang berdekatan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen jika dibandingkan dengan elemen yang lainnya Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktik Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara dua pilihan Keterangan: Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada gambut yang berada di tengah Kota Sintang dengan luas areal sebesar hektar. Kawasan ini terletak di Desa Baning, Kota Sintang,

Lebih terperinci

Kecamatan Beji. PDF created with pdffactory Pro trial version METODE PENELITIAN

Kecamatan Beji. PDF created with pdffactory Pro trial version  METODE PENELITIAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian evaluasi kualitas ecological aesthetics lanskap kota ini dilaksanakan di Kecamatan Beji Kota Depok. Periode penelitian berlangsung dari Maret 2004 sampai Nopember

Lebih terperinci

Gambar 12. Lokasi Penelitian

Gambar 12. Lokasi Penelitian III. METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di jalur wisata Puncak, terletak di Kabupaten Bogor. Jalur yang diamati adalah jalur pemasangan reklame yang berdasarkan data

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Bentuknya yang khusus itu menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari wisata

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata 2.2 Perencanaan Kawasan Wisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata 2.2 Perencanaan Kawasan Wisata 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata Secara etimologi kata rekreasi berasal dari bahasa Inggris yaitu recreation yang merupakan gabungan dari kata re yang berarti kembali dan creation yang berarti

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taman Rumah

TINJAUAN PUSTAKA Taman Rumah 4 TINJAUAN PUSTAKA Taman Rumah Tuntutan zaman menyebabkan pembangunan seringkali meningkat pesat guna mewadahi berbagai dinamika bangsa, seperti perkembangan penduduk, ekonomi, komunikasi, teknologi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

METODOLOGI. Peta Jawa Barat. Peta Purwakarta Peta Grama Tirta Jatiluhur. Gambar 2. Peta lokasi penelitian, Kawasan Wisata Grama Tirta Jatiluhur

METODOLOGI. Peta Jawa Barat. Peta Purwakarta Peta Grama Tirta Jatiluhur. Gambar 2. Peta lokasi penelitian, Kawasan Wisata Grama Tirta Jatiluhur 16 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Grama Tirta Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat (Gambar 2 dan 3). Penelitian berlangsung

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Danau Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai

Lebih terperinci

METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Kebun Raya Cibodas

METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Kebun Raya Cibodas 10 METODE Waktu dan Tempat penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2010. Penelitian dilakukan di Kebun Raya Cibodas, Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi 10 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi Penelitian mengenai perencanaan lanskap ini dilakukan di kawasan bersejarah Komplek Candi Gedong Songo,, Kecamatan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Peta,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS APLIKASI SIG OBJEK PARIWISATA DI YOGYAKARTA OLEH : Zahrotul Husna 04018033 Eka Prasetyowati 04018048 Anggi Ningtyas 04018069 Definisi SIG : SIG merupakan sistem informasi yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 55 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Ekologis Kawasan Gambut Karakter ekologis kawasan gambut Baning yang diperhatikan adalah kondisi fisik dan vegetasi dalam kawasan. Karakter ekologis terdiri dari ketebalan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ruang ekosistem yang menyediakan berbagai sumberdaya alam baik berupa barang, maupun jasa untuk memenuhi segala kebutuhan

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sintang (Gambar 4). Secara geografis Kabupaten Sintang terletak pada 1 0 05 Lintang Utara 1 0 21 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

Session_01. - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding sistem perpetaan konvensional - Contoh pemanfaatan SIG

Session_01. - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding sistem perpetaan konvensional - Contoh pemanfaatan SIG Matakuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) Oleh: Ardiansyah, S.Si GIS & Remote Sensing Research Center Syiah Kuala University, Banda Aceh Session_01 - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kegiatan penambangan telah meningkatkan isu kerusakan lingkungan dan konsekuensi serius terhadap lingkungan lokal maupun global. Dampak penambangan yang paling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan kualitas estetika pohon-pohon dengan tekstur tertentu pada lanskap jalan dan rekreasi yang bervariasi. Perhitungan berbagai nilai perlakuan

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, dimulai bulan Februari 2011 hingga bulan Juni 2011 di Sentra Produksi Rambutan Gedongjetis, Tulung, Klaten (Gambar

Lebih terperinci

Prosiding SN SMAP 09 ABSTRAK PENDAHULUAN. FMIPA UNILA, November

Prosiding SN SMAP 09 ABSTRAK PENDAHULUAN. FMIPA UNILA, November Prosiding SN SMAP 09 UJI SCENIC BEAUTY ESTIMATION TERHADAP KONFIGURASI TEGAKAN-TEGAKAN VEGETASI DI KEBUN RAYA BOGOR Imawan Wahyu Hidayat 1 1 Kebun Raya Cibodas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pacet

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian nasional. Jumlah wisatawan terus bertambah

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian nasional. Jumlah wisatawan terus bertambah BAB I PENDAHULUAN 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sektor pariwisatanya telah berkembang. Pengembangan sektor pariwisata di Indonesia sangat berperan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan TINJAUAN PUSTAKA Danau Perairan pedalaman (inland water) diistilahkan untuk semua badan air (water body) yang ada di daratan. Air pada perairan pedalaman umumnya tawar meskipun ada beberapa badan air yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian... 29

DAFTAR ISI. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian... 29 DAFTAR ISI Halaman Pengesahan... Halaman Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... Intisari... Abstract... i ii iii v viii x xi xii xiii BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obyek penelitian terutama dari penelitian-penelitian sebelumnya. Objek Metode Bahasa Pemrograman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obyek penelitian terutama dari penelitian-penelitian sebelumnya. Objek Metode Bahasa Pemrograman BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini digunakan beberapa referensi yang berhubungan dengan obyek penelitian terutama dari penelitian-penelitian sebelumnya. Tabel 2.1 Perbandingan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian 12 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada akhir bulan Maret 2011 hingga bulan Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Ancaran, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari sisa-sisa tanaman masa lampau dan berdasarkan kriteria USDA (2006) digolongkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK

KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK KONSEP PEMASARAN KAWASAN WISATA TEMATIK 1. Latar Belakang Tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap beberapa isu dan kecenderungan global seperti: Pelestarian alam dan lingkungan Perlindungan terhadap hak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada Agustus Oktober 2010, mencakup pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut 1 Penurunan permukaan lahan gambut dibahas dari pengelompokan permasalahan. Untuk mempermudah maka digunakan suatu pendekatan pengkelasan dari lahan gambut menurut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Metode Analytical Hierarchy Process 2.2.1 Definisi Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika. Metode ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci