HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan Sebelum diekspor, hati sapi utuh terlebih dahulu dikemas dengan plastik steril, kemudian dimasukkan kedalam karton yang masing-masing berisi 2 atau 3 hati sapi utuh, jumlah tersebut tergantung dari perusahaan pengekspor. Tujuan penggunaan plastik yaitu untuk mencegah kontaminasi antara hati yang satu dengan yang lainnya dan juga mencegah kontaminasi dari luar. Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari kelembapan dan gas, tahan terhadap suhu rendah, transparan dan fleksibel. Pengemasan dapat diartikan sebagai usaha untuk menjamin keamanan produk selama pengangkutan dan penyimpanan sehingga aman sampai di konsumen (Brown dalam Herdiana 2007). Menurut Patterson dan Gibbs (1979), pengemasan dengan menggunakan vacuum packaging dapat memperpanjang 2-3 minggu dari masa penyimpanan hati. Hati sapi diangkut dengan menggunakan kapal besar yang didisain khusus sebagai alat pengangkut barang/kontainer. Hati disimpan di dalam kontainer yang bersuhu -20 C, bersama-sama dengan produk hewan lainnya misalnya jantung, daging, lidah dan ekor (buntut). Di dalam kontainer komoditi tersebut tersusun rapi, dan kontainer disegel menggunakan kunci dengan kode nomor tertentu yang tercatat dalam dokumen impor dan didisain khusus sehingga selama di perjalanan kontainer tersebut tidak boleh dibuka. Suhu kontainer tersebut harus tetap terjaga, stabil dan tercatat selama dalam perjalanan sampai dilakukan pembongkaran kontainer di instalasi karantina hewan sementara (IKHS). Lama perjalanan hati sapi dari negara pengekspor ke Indonesia tergantung dari negara asalnya. Dari Australia memerlukan waktu 5-6 hari, Selandia Baru sekitar 8-9 hari, dan Kanada sekitar hari. Sampai di Indonesia jeroan tersebut diperiksa kelengkapan administrasi impornya kemudian kontainer di bawa ke instalasi karantina hewan sementara milik importir yang sudah mendapatkan ijin (berdasarkan hasil studi kelayakan instalasi) dari Badan Karantina Pertanian.

2 36 Gambar 3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan sampel hati di Instalasi Karantina Hewan Sementara. Di instalasi dilakukan pembukaan segel/kunci yang diawasi oleh dokter hewan karantina yang bertugas, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan kesesuaian jumlah serta volume komoditi yang ada berdasarkan dokumen impor. Apabila dalam pemeriksaan dan pengawasan terdapat hal-hal yang mencurigakan, misalnya telah terjadi perubahan suhu selama masa perjalanan atau terdapat komoditi yang mengalami pembusukan, maka dokter hewan yang bertugas segera melakukan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium sesuai pedoman yang telah ditetapkan kemudian dilanjutkan dengan tindakan karantina. Pemeriksaan Organoleptik Hati merupakan salah satu jeroan yang memiliki rasa dan tekstur yang diminati oleh manusia, hati sebagai salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh manusia, tetapi hati merupakan media yang baik bagi

3 37 pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et al. 2007). Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap keamanan hati, salah satunya dengan pemeriksaan organoleptik atau sensoris. Prinsip dari pemeriksaan organoleptik adalah analisis warna, bau, rasa, dan konsistensi dilakukan dengan menggunakan pancaindera. Berdasarkan hasil pemeriksaan organoleptik terhadap 60 sampel hati sapi impor yang berasal dari tiga negara menunjukkan bagian tepi hati tajam atau tidak ada kebengkakan, bau khas hati (amis), teksturnya lunak, tidak ada pembendungan dan degenerasi, tidak ada benjolan dan berwarna merah, merah kecoklatan sampai dengan coklat tua. Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas dari hati tersebut, yaitu untuk hati dengan kualitas baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan Dutson, 1988). Dari hasil pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa hati sapi yang diimpor dari ketiga negara tersebut mempunyai kualitas yang baik. Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella Deteksi Salmonella spp terhadap hati sapi impor yang melalui pelabuhan Tanjung Priok telah berhasil dilaksanakan dengan menggunakan dua metode pengujian yang berbeda, yaitu dengan kit ELISA komersial dan metode kultur berdasarkan BAM (2006). Prevalensi Salmonella spp terhadap hati sapi impor dengan menggunakan kit ELISA komersial RIDASCREEN Salmonella mencapai 6.7% yaitu 4 positif dari 60 sampel yang diperiksa. Dari 4 sampel positif, 2 sampel berasal dari Australia dan 2 sampel berasal dari Selandia Baru dan dari Kanada memperlihatkan hasil negatif. Konfirmasi dilakukan dengan pengujian menggunakan metode kultur yang merupakan metode standar (BAM 2006). Hasil pengujian dengan metode kultur (gold standard) menunjukkan prevalensi Salmonella spp pada hati sapi adalah 5%, yaitu 3 sampel positif dari 60 sampel yang diperiksa. Dari 3 sampel positif, 2 sampel positif berasal dari

4 38 Selandia Baru dan 1 sampel positif berasal dari Australia. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan metode ELISA dan kultur Negara pengekspor Salmonella positif ELISA Kultur Australia (n=24) 2 1 Kanada (n=6) 0 0 Selandia Baru (n=30) 2 2 Prevalensi (n=60) 4 (6.7%) 3 (5.0%) Dari hasil pengujian yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil antara metode kultur sebagai uji standar dengan uji serologi yang menggunakan kit ELISA. Menurut Burgess (1995), umumnya dalam pengujian diagnostik metode mikrobiologi (kultur) merupakan metode standar (gold standard) yang diakui mempunyai akurasi pengukuran yang hampir mencapai 100%. Akurasi dari suatu metode pengujian diukur dan diekspresikan melalui nilai sensitivitas dan spesifisitasnya (Salman 2008). Untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode uji yang baru dalam hal ini kit ELISA, maka hasil pengujian dengan menggunakan kit tersebut dapat dibandingkan dengan hasil pengujian dengan metode standar (BAM 2006) yang dituangkan dalam tabel 2x2. Perbandingan terhadap metode standar (gold standard) seperti ini akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas yang sebenarnya untuk uji baru terhadap sensitivitas dan spesifisitas uji standar. Kemudian menurut Thorner dan Remein (1961) perbandingan metode uji yang baru terhadap metode tertentu yang sudah divalidasi terlebih dahulu akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas relatif terhadap sensitivitas dan spesifisitas metode tersebut. Dengan menggunakan Tabel 8 di bawah ini, maka dapat dilakukan penentuan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif dari kit ELISA, serta menghitung statistik kappa untuk mengukur seberapa

5 39 besar kesesuaian diantara hasil-hasil pengujian dalam mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi yang diimpor (Martin dan Bonnet 1987). Tabel 8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode berbeda Metode Positif Kultur (standar) Negatif Jumlah ELISA kit Positif Negatif Jumlah Berdasarkan Tabel 8 dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan nilai prediktif negatif 100% (Lampiran 4). Nilai sensitivitas tersebut diperoleh dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil positif dengan kedua metode uji (true positive) dibagi dengan sampel hati yang benar-benar terkontaminasi Salmonella spp, dengan kata lain sensitivitas adalah proporsi hati sapi yang terkontaminasi Salmonella spp yang memberikan hasil uji positif, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk mendeteksi adanya negatif palsu. Nilai spesifisitas diperoleh dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil negatif dengan kedua metode uji (true negative) dibagi dengan sampel hati yang tidak benar-benar terkontaminasi Salmonella spp, dengan kata lain spesifisitas adalah proporsi hati sapi yang tidak terkontaminasi Salmonella spp yang memberikan hasil uji negatif, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk mendeteksi adanya positif palsu (Budiharta dan Suardana 2007). Sensitivitas dan spesifisitas kit ELISA merupakan ciri uji diagnostik yang harus dimiliki oleh sebuah alat uji dan dibutuhkan dalam membuat kajian epidemiologi suatu penyakit. Sensitivitas dan spesifisitas digunakan sebagai ukuran kinerja yang cenderung dihasilkan oleh uji tersebut dalam populasi.

6 40 Nilai prediktif positif adalah proporsi hati sapi terkontaminasi Salmonella spp (true positive) diantara sampel yang bereaksi positif terhadap pengujian dengan kit ELISA, sedangkan nilai prediktif negatif adalah proporsi hati sapi yang tidak terkontaminasi Salmonella spp (true negative) diantara sampel yang bereaksi negatif terhadap pengujian dengan kit ELISA. Pada penelitian ini didapatkan nilai prediktif positif kit ELISA mencapai 75%. Hal ini menunjukkan dari 4 sampel hati yang memberikan hasil positif hanya 75% sampel yang benar-benar terkontaminasi Salmonella spp atau dengan kata lain terdapat 1 sampel positif palsu. Nilai prediktif negatif sebesar 100%, hal ini berarti sampel yang memberikan hasil negatif benar-benar merupakan sampel yang negatif atau dengan kata lain tidak terdapat sampel yang memberikan hasil negatif palsu. Nilai prediktif tidak hanya dipengaruhi oleh sensitivitas dan spesifisitas, tetapi dipengaruhi oleh prevalensi sebenarnya (true prevalence) dalam suatu populasi. Prevalensi sebenarnya merupakan hal yang sulit diketahui maka tidak dapat secara langsung dianggap bahwa suatu pengujian yang memiliki nilai prediksi tertinggi selalu paling sensitif dan spesifik. Positif palsu sering terjadi pada uji serologi terhadap bakteri hal ini disebabkan oleh adanya reaksi silang antara beberapa spesies bakteri. Seperti diketahui bahwa beberapa bakteri mempunyai kemiripan pada beberapa struktur tubuhnya, misalnya bakteri yang termasuk dalam bakteri gram negatif yang mempunyai struktur dinding sel yang sama yaitu mempunyai lipopolisakarida. Pada penelitian ini dengan menggunakan uji ELISA diperoleh 1 sampel memberikan hasil positif palsu. Sebagai uji tapis, kit RIDASCREEN Salmonella dikembangkan dengan menggunakan monoclonal antibody terhadap antigen somatik O pada rantai samping O lapisan lipopolisakarida yang melekat pada dinding sel Salmonella dan diketahui sebagai determinan virulensi pada Salmonella. Antigen somatik O terdapat pada semua genus Salmonella tetapi beberapa bakteri Enterobactericeae misalnya Citrobacter dan Providencia juga mempunyai antigen somatik O, sehingga kemungkinan akan menyebabkan terjadinya reaksi silang dan menghasilkan positif palsu (Burgess 1995).

7 41 Kit ELISA ini mempunyai potensi terhadap munculnya negatif palsu karena berdasarkan informasi dari produsen, kit tersebut mempunyai limit deteksi 1-5 sel/25 g sampel atau setara dengan 10 4 Salmonella/ml setelah pengayaan (Rbiopharm 2007). Hal ini berarti apabila Salmonella yang mengkontaminasi pada hati kurang dari 1-5 sel maka besar kemungkinan tidak dapat terdeteksi oleh kit ELISA ini. Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian secara serologis terhadap lima jenis kultur bakteri untuk melihat spesifisitas dari kit ELISA serta mengetahui kemungkinan adanya reaksi silang dengan spesies bakteri lainnya. Lima jenis bakteri tersebut terdiri dari empat jenis bakteri gram negatif yaitu Salmonella typhimurium, Salmonella typhi, Eschericia coli, dan Shigella sonei, serta satu jenis bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri-bakteri tersebut diuji menggunakan kit ELISA tanpa melalui tahapan pengayaan dan dengan tahapan pengayaan terlebih dahulu selama 16 jam pada buffered peptone water. Hasil pengujian dikatakan valid apabila optical density (OD) dari kontrol positif 1.0 dan OD dari kontrol negatif <0.2. Kemudian sampel dinyatakan negatif jika OD <0.2 dan sampel dinyatakan positif apabila OD 2.0. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai OD pada kedua spesies Salmonella yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan. Tabel 9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif Bakteri Tanpa pengayaan Nilai OD 450 Setelah Pengayaan Hasil ELISA Hasil Kultur Salmonella typhimurium Salmonella typhi Eschericia coli Shigella sonei Staphylococcus aureus Kontrol negatif Kontrol positif Cut off

8 42 Dari Tabel 9 terlihat bahwa nilai OD dari kedua spesies Salmonella yang melalui pengayaan lebih tinggi dari bakteri yang tidak melalui pengayaan, tetapi kedua spesies bakteri tersebut mempunyai nilai OD lebih besar dari nilai cut off yaitu Hasil pengujian pada bakteri gram negatif lainnya yaitu E. coli dan Shigella sonei baik yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan memberikan nilai OD yang lebih kecil dari cut off, sehingga dikatakan negatif atau tidak terjadi adanya reaksi silang. Bakteri gram positif yaitu S. aureus memiliki nilai OD lebih rendah dari cut off. Pada penelitian ini dilakukan analisis uji kesesuaian dengan statistik kappa terhadap pengujian menggunakan kit ELISA untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor. Dari data pada Tabel 7 menyatakan bahwa pengujian standar memberikan prevalensi kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor sebesar 5.0%, sedangkan dengan menggunakan kit ELISA komersial prevalensi sebesar 6.7%, dan kedua uji sama-sama memberikan reaksi positif terhadap 5% dari keseluruhan sampel yang diperiksa. Data ini tidak memberikan indikasi bahwa reaksi positif berarti status terinfeksi dan reaksi negatif berarti status tidak terinfeksi. Hal ini hanya memberikan indikasi bahwa pengujian dengan menggunakan kit ELISA memberikan proporsi positif lebih besar dari pada pengujian standar, sehingga perlu menghitung kesesuaian antara kedua pengujian tersebut. Nilai kappa adalah rasio antara nilai selisih kesesuaian dari yang nampak dengan nilai selisih kesesuaian maksimum (Thrusfield 2005). Dari hasil analisis perhitungan, nilai kappa diperoleh sebesar (Lampiran 5). Menurut Fleiss et al. (2003) yang diacu dalam Thrusfield (2005), nilai kappa 0.75 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (excellent agreement), sedangkan nilai kappa 0.4 menunjukkan kesesuaian jelek (poor agreement). Menurut standar Everitt (1998) yang diacu dalam Thrusfield (2005) nilai kappa >0.81 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (almost perfect agreement), kesesuaian baik (substantial agreement), kesesuaian sedang (moderate agreement), kesesuaian kurang (fair agreement), kesesuaian buruk (slight agreement) dan 0 menunjukkan kesesuain sangat buruk (poor agreement). Berdasarkan kedua standar tersebut maka nilai kappa menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik, antara uji menggunakan kit

9 43 ELISA dan metode kultur. Nilai kesesuaian yang diperoleh tersebut di luar dari pada faktor kebetulan yang mungkin terjadi (Martin dan Bonnet 1987). Dengan demikian kit ELISA ini dapat direkomendasikan untuk digunakan di karantina sebagai uji tapis karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Menurut Salman (2008), dalam memilih metode uji untuk keperluan uji tapis terutama untuk mendeteksi kontaminasi bakteri patogen pada makanan, maka nilai sensitivitas yang tinggi menjadi pertimbangan utama karena semakin tinggi nilai sensitivitas maka semakin kecil diperoleh adanya negatif palsu. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Burgess (1995), metode ELISA sebagai uji tapis dalam mendeteksi Salmonella pada makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella spp dan juga mempunyai sensitivitas yang baik untuk mendeteksi patogen pada level tertentu. Keuntungan dari penggunaan kit ELISA ini adalah dari segi waktu pengujian, karena hanya membutuhkan waktu jam (±2 hari) sedangkan pengujian dengan metode kultur membutuhkan waktu selama 168 jam (± 7 hari) sehingga dapat menghemat waktu sampai 5 hari. Di samping itu dari segi ekonomi pengujian dengan kit ELISA relatif lebih murah dibandingkan dengan metode kultur terutama jika sampel yang diuji dalam jumlah besar. Pengujian dengan kit ELISA lebih efisien dibandingkan dengan metode kultur terutama dari segi jenis bahan dan reagen yang digunakan. Dalam penggunaan kit ELISA ini dibutuhkan beberapa faktor penting yang harus diperhatikan antara lain: penangan terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa kit ELISA, peralatan yang digunakan dalam pengujian sudah terkalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995). Penelitian yang sama telah dilakukan untuk membandingkan beberapa kit komersial terhadap metode standar baik pada bahan pangan maupun pada sampel lingkungan seperti feses yang terkontaminasi Salmonella spp. Salah satu kit ELISA untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan yang sudah divalidasi adalah Salmonella-TEK. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa kit mampu mendeteksi Salmonella spp pada konsentrasi yang sangat rendah (1-5 CFU/25 g) dan tidak menunjukkan adanya reaksi silang dengan bakteri gram

10 44 negatif lainnya (Poucke 1990). Kemudian Peplow et al. (1999) melakukan kajian terhadap sensitivitas dan spesifisitas dari 3 jenis kit yang dikembangkan oleh perusahaan yang berbeda untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada feses unggas yang mengkontaminasi lingkungan. Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor Berdasarkan laporan dari Gill (1981), yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988), prevalensi Salmonella spp pada hati mencapai 1-5%. Dalam penelitian ini keberadaan Salmonella pada hati sapi impor telah berhasil dideteksi dengan prevalensi keseluruhan mencapai 5%. Hasil dapat di lihat pada Tabel 10. Tabel 10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok. Negara pengekspor Jumlah sampel (n) Sampel positif (Kultur) Prevalensi (%) Australia Kanada Selandia Baru Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa prevalensi Salmonella spp pada hati yang diimpor dari Australia mencapai 4.16% dan Selandia Baru mencapai 6.67%. Sampel hati dari Kanada memberikan hasil negatif terhadap kedua metode pengujian yang digunakan. Hasil negatif tersebut tidak dapat dikatakan bahwa hati yang diimpor dari Kanada tidak terkontaminasi Salmonella. Hal ini disebabkan karena frekuensi impor hati dari Kanada sangat kecil sehingga proporsi sampel yang bisa diambil berdasarkan metode pengambilan sampel probability proportional to size (McGinn 2004) jumlahnya sangat sedikit. Kemungkinan lainnya adalah prevalensi dugaan yang digunakan dalam penghitungan jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 5%, sedangkan berdasarkan Johnson et al. (1999) prevalensi Salmonella pada karkas mencapai 1.6% sehingga untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada hati yang berasal dari Kanada harus dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak. Mikroorganisme patogen lain yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan prevalensi

11 45 bervariasi antara 32-75%, Clostridium perfringens dengan prevalensi 12%, bakteri gram positif berbentuk coccus dengan prevalensi 80%, dan E. coli dengan prevalensi 10% (Pearson dan Dutson 1988). Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati dibagi menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam (intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik) (Lukman 2007). Sumber pencemaran intrinsik Salmonella spp berasal dari sapi yang menderita salmonelosis pada saat dipotong sehingga Salmonella bermanifestasi pada beberapa jaringan tubuh misalnya pada bagian parenkim hati, prevalensi yang pernah dilaporkan mencapai 2% (Samuel et al. 1980). Salmonella juga dapat diisolasi dari jejunal dan caecal lymph node dengan prevalensi mencapai 30%. Caecal lymph node lebih sering terifeksi dibandingkan dengan jejunal lymph node, tetapi perbedaannya tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa mesenteric lymph node dapat menjadi sumber penularan Salmonella pada karkas dan produk lainya (Moo et al. 1980). Menurut Rivera (2004), kulit hewan dan pagar kandang penampungan hewan di RPH merupakan sumber infeksi Salmonella yang utama pada hewan yang akan dipotong. Pencemaran ekstrinsik berasal dari berbagai sumber baik pada saat dan setelah proses pemotongan. Sumber kontaminasi berasal dari feses yang mengandung Salmonella dengan prevalensi 6.8%, kemudian 68% pada kulit, 29% pada rongga mulut, dan 25% dari rumen pada saat proses pemotongan di RPH (Fegan et al. 2004; Fegan et al. 2005). Samuel et al. (1980) menyatakan bahwa prevalensi Salmonella pada hati pada saat proses pengeluaran jeroan (eviserasi) mencapai 32%. Sumber pencemaran Salmonella dapat juga melalui peralatan yang digunakan di RPH, yang kontak dengan bagian sapi yang mengandung Salmonella, antara lain melalui pisau yang digunakan pekerja RPH dengan prevalensi 14% (Smeltzer dan Thomas 1981), baja pengasah pisau 65%, plastik apron 14%, pada pakaian pelindung petugas pengangkat karkas 41%, dan tiang gedung RPH 30% (Smeltzer et al. 1980a). Pekerja di RPH juga merupakan sumber kontaminasi Salmonella terutama pada tangan yang kontak dengan kulit dan kemudian menangani karkas dan produknya. Hal ini dilaporkan oleh Smeltzer et al. (1980b) bahwa Salmonella

12 46 dapat diisolasi dari 52% tangan pekerja di RPH. Salmonella dapat diisolasi dari kemasan eksternal daging dan produknya dengan prevalensi <1% (Burgess et al. 2005). Kontaminasi Salmonella dipengaruhi oleh kemampuan bakteri tersebut bertahan pada suatu lingkungan tertentu dan jumlah dari bakteri tersebut pada saat mengkontaminasi. Menurut Kusumaningrum et al. (2001) S. enteritidis dapat bertahan selama 4 hari pada suhu ruang dengan konsentrasi bakteri 10 7 CFU/100 cm 2, selama 1 hari pada konsentrasi bakteri yang 10 5 CFU/100 cm 2, dan mampu bertahan selama 1 jam pada konsentrasi bakteri10 3 CFU/100 cm 2. Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya Hampir semua bahan makanan yang berasal dari produk hewan merupakan wahana Salmonella. Pada umumnya wahana infeksi Salmonella pada manusia berasal dari unggas, babi, sapi, telur, susu dan produknya. Di Amerika Serikat, sapi dan produknya merupakan sumber infeksi Salmonella pada manusia, sedangkan di Inggris, unggas dan produknya bertanggung jawab terhadap lebih dari 50% wabah Salmonella, sementara pada sapi hanya 2%. Dibeberapa negara di Eropa, poultry dan babi umumnya merupakan sumber infeksi (WHO 1988). Di Amerika Serikat, hasil surveilans sampai pertengahan tahun 2008 menunjukkan prevalensi Salmonella mencapai 5.8% pada ayam pedaging, 2.2% pada daging sapi, 17.8% pada daging ayam, dan 16.1% pada daging kalkun. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi bervariasi tergantung kepada spesies dan serotipenya seperti yang dikatakan Sudarwanto (2007) S. barely 1.3x10 5 /g, S. anatum 4.5x10 5 /g, S. newport 10 5 /g, S. pullorum 1.3x10 9 /g, S. east bourne 10 2 /g, dan S. typhimurium jumlah sedikit sudah menimbulkan penyakit. Salmonella dengan masa inkubasi jam tetapi bisa mencapai 5-72 jam dengan gejala sakit kepala, rasa mual, kadang muntah, sakit perut, diare, dan demam ringan. Pada penelitian ini tidak dilakukan karakterisasi untuk menentukan serotipe terhadap sampel yang positif. Umumnya serotipe Salmonella yang pernah diisolasi dari hati sapi di Australia adalah S. adelaide, S. anatum, S. bovis-morbifican, S.bredeney, S.chester, S. give, S. havana, S. litcfield,

13 47 S. muenchen, S. newington, S. newport, S. saint-paul, S. typhimurium, dan S. virchow (Samuel et al.1980). Kemudian yang menjadi kekhawatiran saat ini terhadap aspek kesehatan manusia diberbagai negara di dunia adalah munculnya beberapa serotype Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik secara terus menerus, baik dalam rangka pengobatan maupun penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada industri peternakan dapat berpotensi menyebabkan dan menyebarkan resistensi antibiotik dari beberapa mikroba. Dalam beberapa tahun terakhir isolat Salmonella yang berhasil diisolasi dari produk hewan mengalami peningkatan terhadap serotipe Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Berdasarkan laporan Chen et al. (2004), dari 133 isolat Salmonella dari sampel daging yang diperiksa, terdapat 82% isolat Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Jenis antibiotik yang diperoleh dari Salmonella yang mengalami resistensi terhadap tetrasiklin (68%), streptomisin (61%), sulfametoksazol (42%), dan ampisilin (29%). Dengan demikian perlu dikembangkan teknik molekular genetik yang dapat digunakan untuk karakterisasi Salmonella yang resisten terhadap antibiotik, khususnya Salmonella enterica serovar Typhimurium DT104. Penelitian ini memberikan gambaran adanya kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi yang diimpor bahkan adanya kemungkinan terdeteksi serotipe Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Hal ini harus mendapat perhatian yang sangat serius karena menyangkut keamanan pangan. Berdasarkan Undang Undang Pangan nomor 7 tahun 1996, keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran bologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Indonesia menetapkan standar mengenai batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal ternak yang dituangkan dalam SNI No Dalam standar tersebut ditetapkan bahwa batas maksimum Salmonella dalam bahan makanan asal ternak (daging, susu, dan telur) adalah negatif. Standar tersebut berlaku untuk produk asal hewan yang diimpor maupun produksi dalam negeri.

14 48 Berdasarkan data hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba oleh BPMPP (2008), kontaminasi Salmonella pada tahun 2006 mencapai 3.3% dari 605 sampel daging ayam yang di ambil dari 11 propinsi di Indonesia, sedangkan tahun 2007 mencapai 1.94% dari 309 sampel yang terdiri dari 197 daging ayam dan 112 daging sapi yang diambil dari 7 propinsi di Indonesia. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa Salmonella sp pada produk asal hewan masih dapat dideteksi dengan jumlah sampel yang masih sangat terbatas dan belum sesuai dengan standar SNI yang ditetapkan. Demam tifoid masih menjadi problem utama di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia (Soewandojo et al. 1998). Dari 16 juta kasus demam tifoid, terdapat kematian sebesar jiwa. Insiden salmonelosis tifoid ini cenderung lebih konstan, dengan kasus yang tidak sebanyak kasus salmonelosis non-tifoid. Insiden salmonelosis non-tifoid terus meningkat di seluruh dunia. Kasus tersebut tercatat mencapai 1.3 miliar dari kasus gastroenteritis akut atau diare dengan 13 juta kematian (Portillo 2000). Di Amerika Serikat kira-kira sebanyak 5 juta kasus salmonelosis, % diantaranya terjadi secara sporadik, tetapi sebagian besar kasus terjadi berasal dari makanan yang tercemar. Di Massachusetts, 50% lebih S. enteritidis dan S. typhimurium dapat diisolasi dari kasus yang terjadi (CDC 2001). Kejadian salmonelosis tifoid di Amerika Selatan yaitu1:650 per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di benua yang berbeda seperti Indonesia dan Papua New Guinea yaitu 1:100 per tahun (Portillo 2000). Selama periode tahun 80-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden demam tifoid tertinggi di dunia (Suwandono et al. 2005). Hasil dari studi epidemiologi dan survei rumah tangga memperlihatkan bahwa angka morbiditas untuk daerah semi pedesaan adalah 358/ penduduk dan angka ini meningkat mencapai 810/ penduduk untuk daerah perkotaan, disertai kecenderungan peningkatan karena program vaksinasi untuk penyakit ini telah dihentikan sejak tahun 1980 (Arjoso dan Simanjuntak 1998; Sudarmono et al. 2001). Data dari rumah sakit yang menangani penyakit infeksius di Jakarta melaporkan bahwa kasus demam tifoid terus meningkat, dari 11.4% menjadi

15 % selama tahun Pada periode tahun penyakit meningkat dari 22% sampai 36.5%. Insiden demam tifoid yang dilaporkan oleh pusat kesehatan dan rumah sakit di Jakarta menyebutkan bahwa penyakit terus meningkat dari 92% menjadi 125% per penduduk per tahun selama tahun (Suwandono et al. 2005). Angka mortalitas penyakit menurun dari 3.4% pada tahun 1981 menjadi 0.6% pada tahun 1996, angka ini telah menunjukkan adanya penurunan berkaitan dengan adanya perbaikan fasilitas kesehatan (Arjoso dan Simanjuntak 1998). Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak hingga kasus dengan sedikitnya kematian per tahun. Hampir 80% kasus demam tifoid ditemukan pada anak-anak/dewasa, usia antara 5 sampai 29 tahun (Suwandono et al. 2005). Arjoso dan Simanjuntak (1998) melaporkan bahwa kelompok yang mudah terpapar kasus tersebut sebagian besar terjadi pada umur 3-19 tahun. Demam tifoid merupakan penyakit yang serius di Jakarta Utara. Estimasi insiden demam tifoid di Jakarta Utara sangat tinggi (200/ untuk semua umur) sedang pada anak-anak lebih tinggi. Insiden demam tifoid terus meningkat, pada tahun 2001 sebesar 680/ penduduk dan pada tahun 2002 menjadi 1426/ penduduk. Insiden demam tifoid ini dianggap tinggi jika terjadi pada 100/ penduduk atau lebih (Suwandono et al. 2005). Pada periode di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) telah mengisolasi Salmonella spp. dari manusia sebanyak 59 isolat. Isolat-isolat tersebut adalah: S. typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S. agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11. (stellenbosch), S. virchow dan S. virginia (Poernomo 2004). Sudarmono et al. (2001) melaporkan bahwa selama bulan April 1998 sampai dengan bulan Maret 1999, salmonelosis non-tifoid pada manusia yang paling umum terjadi disebabkan oleh S. aequaticus, S. derby, S. enteritidis, S. javana, S. lexington, dan S. virchow. Tingginya kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan dan banyaknya kasus salmonelosis pada manusia menyebabkan perlunya peningkatan pengawasan secara ketat oleh semua pihak. Oleh karena itu, diperlukan standar surveilan dan monitoring kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan dan manusia secara periodik, dengan jumlah sampel yang dapat mewakili populasi dan

16 50 menggunakan metode pengujian yang lebih cepat dan tepat. Salah satu metode pengujian biomolekuler yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode polymerse chain reaction. PCR dapat digunakan untuk menetukan serotipe secara langsung melalui deteksi DNA. Disamping itu metode ini dapat digunakan untuk membantu penelusuran sumber-sumber infeksi jika terjadi wabah Salmonelosis. Berbeda dengan Indonesia, penerapan jaminan keamanan pangan di beberapa negara di dunia, terutama terhadap standar Salmonella. Beberapa negara hanya mempersyaratkan pengawasan yang sangat ketat dan menerapkan prinsip jaminan keamanan pangan from farm to table. Sebagai contoh jaminan keamanan pangan di berbagai negara di Uni Eropa berdasarkan undang-undang yang disebut sebagai General Principles of Food Law in the European Union. Isinya antara lain adalah produsen harus memberikan informasi secara akurat dan jujur kepada konsumen, tidak hanya kandungan nutrisi tetapi juga proses penanganan produksi dan distribusi mulai dari farm sampai ke konsumen akhir. Di Jepang penerapan jaminan keamanan pangan telah menetapkan persyaratan sistem jaminan mutu HACCP untuk proses penanganan produksi pangan, artinya hanya produk pangan yang proses produksinya mengikuti sistem jaminan mutu HACCP yang dapat masuk ke pasar Jepang (Murdiati 2006). Penerapan jaminan keamanan pangan di Amerika Serikat sejak Desember 1999 telah memberlakukan sistem jaminan mutu HACCP bagi produk pangan terutama hasil ternak yang masuk pasar Amerika Serikat. Pengawasan regulasi tersebut dilakukan oleh Food Safety and Inspecton Service (FSIS). Konsumen yang dirugikan karena mengonsumsi pangan yang tidak aman dapat menggugat di pengadilan sipil sedangkan operator yang gagal menunaikan kewajibannya memproduksi dan mengedarkan pangan yang tidak aman bertanggung jawab langsung menghadapi ancaman gugatan sipil dan tindakan penegakan hukum dari otoritas kompeten. Selain itu untuk menjamin pangan aman dari terorisme dan mencegah terorisme melalui pangan, maka dikeluarkan undang-undang Bioterorisme atau the Bioterrorism Act (TBA). Ditinjau dari keamanan pangan, TBA menggunakan prinsip from farm to table.

17 51 Standar internasional terhadap jaminan keamanan pangan ditetapkan oleh Codex Alimentarius Comission (CAC). Standar Codex meliputi standar pangan (makanan) pokok, makanan yang diproses, pangan setengah proses, dan pangan mentah. Perbedaan peraturan antara satu negara dengan negara lain dapat menjadi hambatan teknis atau hambatan non-tarif dalam perdagangan pangan antar negara. Codex berupaya mengurangi hambatan tersebut dengan mengeluarkan standar yang diharapkan dapat diterima oleh negara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Sampai saat ini Codex belum menetapkan standar kontaminasi Salmonella pada pangan segar asal hewan. Codex hanya mempersyaratkan pengawasan terhadap setiap rantai produksi untuk mencegah, mengeliminasi dan mereduksi kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan, serta mewajibkan sistem monitoring dan surveilans secara periodik. Dalam kegiatan importasi pangan asal hewan, analisis risiko menjadi makin penting. Analisis risiko diperlukan karena tuntutan yang makin kuat akan konsistensi penerapan perlakuan terhadap setiap negara dalam perdagangan global. Perlakuan yang berbeda terhadap suatu negara hanya boleh berdasarkan aspek teknis semata. Ketentuan perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) menetapkan penerapan sistem keamanan pangan harus berdasarkan analisis risiko yang terdiri dari penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko dari bahaya yang ada dalam pangan terhadap kesehatan manusia. Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri (dalam hal ini di tingkat produksi, peternakan, processing, pengecer, dan restoran), konsumen dan media. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan, undang-undang dan penegakan hukum, pemberian bimbingan dan pendidikan keamanan pangan, melakukan surveilan dan pengumpulan data, serta penyediaan dana penelitian. Pelaku industri bertanggung jawab terhadap penerapan HACCP, Good Manufacturing Practices (GMP), penyediaan sarana dan teknologi. Konsumen diharapkan dapat mengerti tentang keamanan pangan, pengetahuan tentang penyimpanan, penyiapan dan pegolahan pangan yang benar, penerapan higiene dan kebersihan serta sikap dan tindakan yang mendukung

18 52 keamanan pangan. Media bertanggung jawab memberikan informasi yang benar terhadap semua aspek yang berhubungan dengan keamanan pangan. Sebagai pintu terdepan dalam kegiatan ekspor impor, institusi karantina hewan wajib mendukung jaminan keamanan pangan terutama impor hewan dan produk hewan untuk konsumsi manusia. Karantina hewan selayaknya meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan terutama dari aspek keamanan pangan dalam rangka mendukung kesehatan masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, karantina harus selalu mengembangkan teknik dan metode pengujian yang cepat, tepat dan akurat dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia. Jaminan keamanan pangan tidak akan tercapai tanpa kerjasama dan koordinasi di antara semua pihak yang terlibat dalam rantai pangan (from farm to table).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI Lima puluh contoh kotak pengangkutan DOC yang diuji dengan metode SNI menunjukkan hasil: empat contoh positif S. Enteritidis (8%).

Lebih terperinci

Analisa Mikroorganisme

Analisa Mikroorganisme 19 Analisa Mikroorganisme Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, kerbau, kuda, domba, kambing,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes HASIL DAN PEMBAHASAN Tiga puluh sampel keju impor jenis Edam diambil sebagai bahan penelitian. Sampel keju impor diambil didasarkan pada frekuensi kedatangan keju di Indonesia, dilakukan di Instalasi Karantina

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 2.1. komposisi Kimia Daging Tanpa Lemak (%)... 12 Tabel 2.2. Masa Simpan Daging Dalam Freezer... 13 Tabel 2.3. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Pangan...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging Sampel daging sapi dan ayam diperoleh dari pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar pedagang daging sapi (54.2%)

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia pathogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai Salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu dan produk olahannya merupakan pangan asal hewan yang kaya akan zat gizi, seperti protein, lemak, laktosa, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memenuhi hampir

Lebih terperinci

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA YOKI YOGASWARA dan LOKA SETIA Subdit Residu, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Kuisioner Penyediaan telur yang aman dan berkualitas sangat diperlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Penanganan telur mulai dari sesaat setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu berasal dari 5 kabupaten yaitu Bogor, Bandung, Cianjur, Sumedang dan Tasikmalaya. Lima sampel kandang diambil dari setiap kabupaten sehingga jumlah keseluruhan sampel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN A. Penguatan Aspek Kelembagaan Keamanan Pangan Asal Ternak Kelembagaan yang paling berkepentingan dalam mewujudkan keamanan pangan asal ternak di Indonesia

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Kontaminasi Pada Pangan

Kontaminasi Pada Pangan Kontaminasi Pada Pangan Sanitasi Industri Nur Hidayat Materi Sumber-sumber kontaminasi Keterkaitan mikroorganisme dengan sanitasi Hubungan alergi dengan proses sanitasi 1 Sumber-sumber kontaminasi 1. Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat yang sehat dan produktif dapat terwujud melalui perlindungan dan jaminan keamanan produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satu upaya yang harus

Lebih terperinci

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012 1 Summary STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012 TRI ASTUTI NIM 811408115 Program Studi Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp dapat menyebabkan dua masalah penyakit, yaitu yang pertama adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp dapat menyebabkan dua masalah penyakit, yaitu yang pertama adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salmonella sp merupakan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Salmonella sp dapat menyebabkan dua masalah penyakit, yaitu yang pertama adalah Salmonellosis:

Lebih terperinci

Mutu karkas dan daging ayam

Mutu karkas dan daging ayam Standar Nasional Indonesia Mutu karkas dan daging ayam ICS 67.120.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Foodborne Disease

TINJAUAN PUSTAKA Foodborne Disease TINJAUAN PUSTAKA Foodborne Disease Foodborne disease adalah suatu penyakit ditimbulkan akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Sampel daging ayam yang diteliti diperoleh dari pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. Selama pengambilan kuisioner terdapat 24 pedagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan manusia dapat bersumber dari produk hewani maupun nabati. Salah satu sumber protein hewani yang dikenal masyarakat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kesempurnaan Susu UHT/Uji Kekeruhan (Aschaffenburg test) Pengujian dilakukan terhadap 30 sampel susu UHT dari Australia dengan merek A sebanyak 15 sampel, dan merek B sebanyak 15

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat langsung diminum atau dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman dengan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar maupun yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perdagangan global, tidak dapat dipungkiri bahwa lalu lintas barang semakin terbuka, sehingga memungkinkan tidak adanya batasan negara dalam lalu lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap orang untuk keberlangsungan hidupnya. Makanan adalah unsur terpenting dalam menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA Siti Fatimah1, Yuliana Prasetyaningsih2, Meditamaya Fitriani Intan Sari 3 1,2,3 Prodi D3 Analis Kesehatan STIKes Guna Bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid (enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut pada saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella enterica serotipe Typhi. Bila

Lebih terperinci

Palembang Zuhri, Tangerang Christiyanto, 2002

Palembang Zuhri, Tangerang Christiyanto, 2002 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan kehidupan. Makanan yang dikonsumsi dapat berasal dari kafe, restoran, kantin, dan industri katering yang sudah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN PERSYARATAN DAN PROSEDUR PELAYANAN KARANTINA HEWAN BERDASARKAN KATEGORISASI MEDIA PEMBAWA HPHK DAN WAKTU PELAYANAN BIDANG KARANTINA HEWAN BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN BELAWAN TAHUN 2014 PERSYARATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

26 Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, P

26 Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, P HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Tiga pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan menjadi lokasi pengambilan sampel daging ayam, yaitu Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Gorontalo memiliki 10 Tempat Pemotongan Hewan yang lokasinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. anak ayam yang baru menetas yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. anak ayam yang baru menetas yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi yolk sac merupakan suatu penyakit yang umum ditemukan pada anak ayam yang baru menetas yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri. Infeksi yolk sac dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebab makanan yang kita makan bukan saja harus memenuhi gizi tetapi harus juga aman dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 5 Juni 2013 di PT. Awindo Internasional Jakarta. PT. Awindo Internasional terletak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik Pengujian residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode uji tapis (screening test) secara bioassay, sesuai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi

TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi 4 TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk kesehatan. Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan layak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. bakso menggunakan daging sapi dan daging ayam. campuran bakso, dendeng, abon dan produk berbasis bakso lainnya.

BAB. I PENDAHULUAN. bakso menggunakan daging sapi dan daging ayam. campuran bakso, dendeng, abon dan produk berbasis bakso lainnya. BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bakso merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia. Bakso dapat dijumpai mulai dari pedagang gerobak yang berkeliling hingga restoran di hotel berbintang. Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makanan Makanan diperlukan untuk kehidupan karena makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Makanan berfungsi untuk memelihara proses tubuh dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan dengan kandungan gizi lengkap yaitu terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu bahan pangan yang penting

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Demam tifoid merupakan masalah yang serius di negara berkembang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Antibiotika di Peternakan Antibiotika adalah senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika

Lebih terperinci

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi merupakan lingkungan yang cocok untuk berkembangbiaknya berbagai

Lebih terperinci

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan (street food)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan (street food) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan (street food) adalah makanan dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan protein yang tinggi masyarakat Indonesia yang tidak disertai oleh kemampuan untuk pemenuhannya menjadi masalah bagi bangsa Indonesia. Harper dkk.

Lebih terperinci

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging broiler merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan dan sangat diminati oleh konsumen karena merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN HASIL BAHAN ASAL HEWAN KONSUMSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP Tujuan Kajian Risiko Mikrobiologi Mengkaji secara sistematis tingkat risiko dari

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan manusia untuk pertumbuhan dan perkembangan badan. Makanan yang dikonsumsi harus aman dan

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci