KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan. A. Yani No. 70 Bogor PENDAHULUAN Satu kebijakan terakhir yang paling penting di bidang pembangunan pertanian yang berkaitan dengan permasalahan agraria dalam setahun ini adalah kebijakan tentang lahan abadi pertanian, yang disampaikan pemerintah sebagai salah satu bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada bulan Juni Lahan abadi pertanian adalah suatu kebijakan tentang tata penggunaan tanah, dimana pemerintah mengalokasikan 15 juta ha lahan sawah ditambah 15 juta ha lahan tegalan, yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan pertanian, dan tidak diizinkan dikonversi ke bentukbentuk penggunaan lain. Namun, jika dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik itu yang dapat menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang mendasar tersebut adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan, belum terpadunya penataan ruang secara nasional maupun wilayah, dan lemahnya peran Deptan secara kelembagaan. Mewujudkan kebijakan tentang lahan abadi sedikit banyak akan sama dengan sulitnya mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan dengan aspek penguasaan dan pemilikan tanah. Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan Reforma Agraria, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu penguasaan dan pemilikan di satu sisi, dan penggunaan dan pemanfaatan di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, sebagian besar pihak terutama kalangan LSM, lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang penguasaan dan pemilikan, atau disebut dengan aspek landreform. Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, program dan kebijakannya lebih berkaitan dengan aspek penggunaan dan pemanfaatan, yaitu bagaimana sebidang tanah diperlakukan (=penggunaan) dan bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah 96

2 (=pemanfaatan) dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain. Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang parsial pula. Itulah mengapa Revolusi Hijau (aspek pengusahaan) yang tidak didahului oleh program landreform (aspek penguasaan), hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya. Permasalahan ini akan dibahas dalam tulisan ini, yang merupakan kajian terhadap sistem hukum dan tata hukum agraria yang cenderung kurang mendukung kepada pembangunan pertanian. Diharapkan tulisan ini dapat memberi informasi yang bermanfaat sehingga kebijakan lahan abadi dapat diwujudkan, tentunya setelah kendala dan permasalahan dapat ditangani. Aspek Penggunaan Tanah dalam UUPA No. 5 tahun 1960 Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek penguasaan dan pemilikan dan aspek penggunaan dan pemanfaatan. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria. Aspek penguasaan dan pemilikan jelas berbeda dengan aspek penggunaan dan pemanfaatan, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi. UUPA No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yang sudah sejak tahun 2003 dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah pasal yang lebih dominan, juga timbul kesan bahwa aspek penggunaan tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya adalah, bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Keluarnya produk hukum seperti ini dapat dimengerti, karena UUPA No. 5 tahun 1960, lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, jauh lebih penting dari aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yang disusun selama tujuh tahun, mulai tahun 1953 sampai KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti 97

3 1960 (Wiradi, 1984), adalah bagaimana merebut tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial menjadi tanah negara dan rakyat Indonesia. Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas. Dengan kondisi ini, maka berbagai UU dan peraturan lain yang dibuat pemerintah, yang secara hierarki berada di bawah kedudukan UUPA, tidak akan mampu merubah paradigma tersebut. Beberapa akibat dan implikasi yang terlihat selama ini dari paradigma UUPA tersebut di antaranya adalah: (1) Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Berbagai Inpres dan Perda yang dikeluarkan berkenaan dengan konversi lahan dapat dikatakan tidak bergigi. Bahkan mungkin pula dapat dikatakan bahwa Inpres dan Perda tersebut sesungguhnya tidak konsisten dengan UUPA; (2) Kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK, yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya juga akan sulit direalisasikan. Penyebabnya adalah karena peraturan yang ada, terutama UUPA sebagai hukum pokok agraria, tidak cukup menjamin kebijakan tersebut; (3) Lemahnya pengaturan dalam aspek penggunaan tersebut, secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak pihak yang menguasainya dijamin secara hukum. KEWENANGAN DEPTAN LEMAH TERHADAP ASPEK PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN LAHAN Khusus untuk Departemen Pertanian, tugas yang diembannya berkaitan erat dengan hanya pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produk pertanian. Hal ini selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang terdiri dari bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain. Jadi, dengan fokus Deptan yang hanya terbatas pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan pertanian kurang terjamin di negara ini. Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian, dan ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi 98

4 lahan (dan juga air) yang digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri, pariwisata, dan lain-lain (Husodo, 2005). Artinya, Deptan hanya memiliki otoritas (meskipun terbatas) pada aspek non-landreform. Ketika aspek landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan (dan jajarannya) sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan Pembaruan Agraria Tanpa Landreform. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Di Sukabumi misalnya, banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002). Aspek landreform dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkonsistensi hukum (misalnya antara UUPA dan turunannya ), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkonsistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee). Sementara pada aspek non-landreform yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agraria yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani. KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti 99

5 STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENDAYAGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN DALAM RPPK Dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa secara umum, sektor pertanian dihadapkan kepada sempitnya penguasaan lahan per petani dimana banyak petani gurem (<0,5 ha/keluarga), cepatnya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian dan tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam revitalisasi pertanian ditempuh beberapa strategi berkenaan dengan ini, yaitu berupa kewajiban kompensasi untuk pihak yang melakukan konversi lahan sawah dan pembukaan lahan pertanian baru, bersamaan dengan penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan agar tekanan tenaga kerja terhadap lahan berkurang. Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi. Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui: (a) pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) di 13 provinsi, (b) pengendalian konversi lahan sawah, (c) perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, dan (f) penguatan kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan. Pemanfaatan lahan terlantar, berupa lahan alang-alang dan semak belukar, dilakukan pada 13 provinsi yang diprioritaskan pada wilayah dengan kendala minimum. Lahan ini sangat berpeluang dikembangkan baik untuk tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi dimana infrastruktur cukup baik dan tenaga kerja tersedia. Konversi lahan sawah ke non pertanian yang sekarang total ha per tahun (antara ), diharapkan dapat diturunkan menjadi ha/tahun mulai tahun 2009, dan secara bertahap mendekati nol. Lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundangundangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap 100

6 pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok. Selain pemanfaatan lahan terlantar dan pengendalian konversi lahan, perluasan areal sawah dan lahan kering akan diarahkan terutama ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yang berpotensi untuk perluasan pertanian, terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola secara baik dan ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada 4,5 juta ha lahan yang diberikan HGU oleh pemerintah, yang setengahnya berada di Pulau Sumatera. KEBIJAKAN LAHAN ABADI PERTANIAN DALAM RPPK DAN KENDALANYA Khusus untuk kebijakan lahan abadi, pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan. Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yakni 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta hektar merupakan lahan kering. Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan pangan nasional. Dari sisi perencanaan tata ruang nasional, lahan abadi merupakan hal yang baru, dan belum pernah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang manapun, baik di tingkat nasional maupun daerah. Karena itu, mekanisme penetapan lahan abadi ini berpedoman kepada penentuan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) suatu wilayah. Setelah disepakati dalam RUTR, maka lahan yang diperuntukkan sebagai lahan abadi tersebut tidak boleh berubah pemanfaatannya. Sebagian pihak berpendapat bahwa semestinya implementasi lahan abadi ini harus dituangkan dalam peraturan tersendiri. Satu hal yang pasti, agar lahan abadi menjadi bagian dari RUTR nasional, maka RUTR yang sudah ada sekarang ini perlu direvisi. Hal ini tentu saja membutuhkan upaya hukum dan kelembagaan yang serius dan tidak akan dapat diwujudkan dalam jangka pendek. Kebijakan lahan abadi berpotensi untuk berbenturan dengan berbagai peraturan dan kebijakan agraria yang telah ada sebelumnya. Salah satunya adalah dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum (Kompas, 2005). Semangat yang ada pada kedua kebijakan ini cenderung tidak sejalan. Pada kebijakan lahan abadi, sebidang lahan tidak KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti 101

7 boleh digunakan selain untuk pertanian, sedangkan Perpres 36 tahun 2005 dapat merubahnya sepanjang untuk kepentingan umum. Penetapan lahan pertanian abadi mempersulit berubahnya fungsi lahan pertanian untuk peruntukan lain. Padahal presiden sudah membuat peraturan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, yang intinya mempermudah pelepasan tanah untuk kepentingan umum, yakni bisa pasar, jalan, dan sebagainya. Lokasi yang ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi juga harus diputuskan secara cermat sehingga tujuan untuk menyejahterakan petani dan menjaga ketahanan pangan nasional tercapai tanpa berbenturan dengan kepentingan lain. Selain itu, dengan berlakunya otonomi daerah, maka pengelolaan sumberdaya lahan menjadi kendali langsung pemerintah daerah (Republika, 2005). Disinilah perlu diantisipasi karena persepsi pentingnya sumberdaya lahan untuk penyediaan pangan nasional sangat berbeda antara pemerintah kabupaten. Apalagi dengan tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah, maka mungkin saja lahan-lahan produktif di daerah dapat menjadi korban (dikonversi ke nonpertanian) demi pembangunan. Oleh karena itu, yang lebih penting dalam pengelolaan lahan ini adalah komitmen bersama dari para pengambil kebijakan terutama di daerah, dan lebih penting lagi karena pengelolaan lahan pertanian tidak bisa dibatasi oleh wilayah administratif tetapi merupakan suatu pengelolaan suatu kawasan ekosistem. Pengelolaan sumberdaya lahan harus diamankan melalui perangkat hukum apakah itu dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah yang senantiasa memihak kepada kepentingan petani. Pada intinya, akan cukup banyak UU dan peraturan lain yang telah ada selama ini berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam (tanah dan air) yang perlu dikaji ulang agar tidak kontra produktif dengan konsep RPPK itu sendiri. Contoh kasus undang-undang tentang pemanfaatan dan pengelolaan air yang banyak mendapat kritik. KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA LAHAN DI INDONESIA Bagaimanapun, Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk, dihadapkan dengan tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Di sisi lain, tenaga kerja pertanian kita juga cukup banyak. Pada prinsipnya, kita harus mandiri di bidang pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekedar swasembada, karena memuat pula nuansa politik dan harga diri sebagai sebuah bangsa (Husodo, 2005). 102

8 Dalam konteks kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Seluruh komoditas kecuali peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau disebut sebagai land based agriculture. Jika Indonesia ingin berswasembada untuk keempat jenis pangan tersebut, maka untuk saat ini saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan tersebut dapat berupa lahan sawah maupun lahan kering, namun memenuhi syarat untuk penanaman tanaman semusim seperti halnya jagung dan kedelai. Menurut data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha. Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinsip sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya. Sesuai dengan fungsinya dan kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan nonhutan, yaitu untuk pertanian dan nonpertanian (perumahan, industri, dan lain-lain). Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian. Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,4 juta ha namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokumen RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki. Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti 103

9 untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku pada tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha. Total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, meliputi sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian. Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar. Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta ha. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta ha, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta ha. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta ha serta pekarangan 5,4 juta ha. Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seluas ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian. Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003). Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang diperhatikan adalah keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang tersebar dibanyak provinsi, namun yang terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada, petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Namun dengan peningkatan teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah mampu dihasilkan 7-8 ton gabah per ha. Selain untuk padi sawah, lahan rawa juga sesuai untuk palawija yaitu jagung dan kedelai. 104

10 KETAKSIAPAN SISTEM HUKUM DAN KELEMBAGAAN PENATAAN RUANG Lahan abadi pertanian merupakan konsep agraria yang berkenaan dengan aspek penggunaan dan pemanfaatan lahan. Untuk mewujudkan kebijakan ini, maka sangat erat kaitannya dengan kebijakan tentang tata ruang wilayah. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 ayat 3, UUTR No. 24 tahun 1992). Tujuannya adalah agar (a) terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, (b) terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan (c) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Pada masa orde baru, pembinaan tata ruang dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu (Sangaji,1999): (1) tata guna tanah, berupa pemetaan penggunaan tanah dan kemampuan tanah, (2) tata kota dan daerah, yakni penyusunan rencana pengembangan kota dan daerah, dan (3) tata agraria, yakni pendaftaran, penertiban, serta pengawasan hak-hak atas tanah. Kehidupan yang berkualitas yang dituju dalam kebijakan penataan ruang, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5, adalah berupa: (1) terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera, (2) terwujudnya keterpaduan dan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, (3) meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (4) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, serta (5) terwujudnya keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9), serta secara hierarkhis atau berjenjang. Pendekatan yang top down seperti ini dipandang sebagai pendekatan yang akan lebih menjamin keutuhan dan konsistensi sistem tata ruang secara nasional. Secara bertahap akhirnya dapat disusun Tata Ruang Wilayah baik secara nasional, provinsi, kabupaten, kota dan tata ruang wilayah. Dengan dasar UU No 24 tahun 1992 telah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR). Hal ini lalu menjadi dasar untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi daerah tingkat I, dan RTRW kebupaten atau daerah tingkat II. Dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah, maka alur yang topdown tersebut menjadi terbalik prosesnya. Daerah tingkat II justru menjadi titik tolak struktur tata ruang, yang kemudian menjadi bahan untuk penetapan tata ruang provinsi dan nasional. Lebih jauh, melalui Keppres no 57 tahun 1989 telah dibentuk tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Keberadaan tim ini mulai tahun KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti 105

11 1993 berubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) berdasarkan Keppres no 75 tahun Terlihat bahwa telah cukup banyak produk hukum yang dihasilkan pemerintah untuk menyusun tata ruang agar kebutuhan pembangunan dan sektor-sektor dapat dipenuhi. Namun demikian, permasalahan tata ruang di Indonesia masih merupakan masalah besar yang belum selesai, dan dapat dikatakan masih carut marut (Sangaji, 1999). Selaras dengan itu, Budiharjo (1995), menyatakan bahwa terdapat beberapa issue permasalahan tentang tata ruang di Indonesia, terutama masalah ketepatan perencanaan. Terdapat kecenderungan bahwa tata ruang disusun sendirisendiri, baik secara vertikal maupun horizontal; sehingga saat ini tidak bisa disebutkan dengan pasti siapa sesungguhnya yang memiliki kewenangan penuh dalam menyusun tata ruang. Setiap instansi seolah berjalan sendiri dengan konsep dan rencananya, sehingga terjadi tumpang tindih. Selain itu, tata ruang yang disusun selalu berubah-ubah sehingga bersifat temporal, dan juga tidak terbuka (transparan) kepada seluruh masyarakat. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Dari uraian di atas terlihat bahwa, rencana untuk mewujudkan lahan abadi pertanian menghadapi berbagai kendala baik dari sisi hukum, kelembagaan, maupun ketersediaan data dan informasi. Setidaknya ada lima permasalahan yang menghadang untuk mewujudkan lahan abadi pertanian, yaitu: Pertama, secara paradigmatis sistem hukum agraria kita (UUPA No. 5 tahun 1960) menempatkan aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah atau bagaimana sebidang tanah akan digunakan lebih lemah daripada pengaturan aspek penguasaan dan pemilikan. Ini merupakan akar permasalahan kenapa pengaturan tata ruang yang terpadu dan tegas sangat sulit diwujudkan, karena ketika sebidang tanah telah dikuasai satu pihak, maka ia memiliki kewenangan untuk mempergunakannya sesuai keinginannya. Kedua, kebijakan lahan abadi memiliki ketidakselarasan dengan beberapa kebijakan dan produk hukum lain, misalnya dengan Perpres No. 36 tahun 2005 tentang Penggunaan Tanah untuk Kepentingan Umum; dan dengan semangat otonomi daerah. Ketiga, lahan abadi pertanian hanya dapat diwujudkan apabila perencanaan tata ruang baik secara nasional maupun wilayah telah disepakati. Namun sampai saat ini, konsep tata ruang dan kebijakan tentang tata ruang di Indonesia belum memiliki kebijakan yang konsisten, dan cenderung tumpang tindih (secara vertikal maupun horizontal). Keempat, secara keorganisasian dalam struktur pemerintahan, tugas dan program yang harus dijalankan Deptan sangat erat kaitannya dengan aspek 106

12 penggunaan dan pemanfaatan tanah, padahal Deptan tidak memiliki otoritas yang cukup untuk itu. Karena itu, untuk mewujudkan kebijakan lahan abadi, Deptan membutuhkan dukungan lembaga pemerintah lain di luar Deptan. Kelima, dari sisi pemetaan penggunaan dan kemampuan lahan, ketersediaan data dan informasi saat ini belum memadai untuk merumuskan dan memetakan lahan abadi dimaksud dalam waktu dekat. Bertolak dari kondisi ini, maka dasar hukum tampaknya harus menjadi basis pokok untuk dapat mewujudkan kebijakan lahan abadi, karena permasalahan yang dihadapi banyak berkenaan dengan hukum dan kebijakan. Kebijakan lahan abadi mestilah berdiri di atas satu dukungan hukum yang kuat setingkat undangundang. Secara prinsip, sektor pertanian memang membutuhkan Undang-Undang Pertanian sehingga seluruh kebijakan dapat direalisasikan. Karena belum memiliki UU Pertanian, maka kita sulit misalnya untuk mengendalikan konversi lahan, tidak dapat melindungi petani dan komoditas pertanian, sulit menuntut anggaran yang memadai (selama ini anggaran Deptan lebih kurang hanya 1 persen dari APBN), serta tidak dapat mempertahankan kelembagaan penyuluhan. Selain itu, kita pun tidak akan dapat mewujudkan kebijakan lahan abadi. Selain persoalan kebijakan lahan abadi, sesungguhnya banyak hal tentang keagrariaan yang akan dapat diselesaikan apabila kita memiliki UU Pertanian. Di antaranya adalah batasan maksimal dan minimal kepemilikan lahan perorangan dan badan usaha. Selain itu, kitapun dapat mengendalikan konversi lahan pertanian misalnya dengan menerapkan kebijakan tentang pajak tanah yang tinggi untuk penggunaan di luar pertanian, yaitu pada wilayah-wilayah yang telah diperuntukkan bagi lahan pertanian. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, Eko Pendekatan Sistem dan Tata Ruang Pembangunan Daerah untuk Meingkatkan Ketahanan Nasional. Gajahmada University Press, Yogyakarta. Husodo, Siswono Y Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung. Kepala BPN Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi. Paper: disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil Presiden RI, tanggal 12 Februari Kompas Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari Hal 25. Kompas Kebijakan atas Lahan Pertanian Tidak Konsisten. Harian Kompas. Sabtu, 14 Mei KEBIJAKAN LAHAN ABADI UNTUK PERTANIAN SULIT DIWUJUDKAN Syahyuti 107

13 Puslitbangtanak Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Makalah Seminar Nasional Inovasi Agribisnis. Bogor, Mei Republika Sumber Daya Lahan untuk Revitalisasi Pertanian. Harian Republika, 16 Juni Sangaji, Anto Negara, Masyarakat Adat, dan Konflik Ruang. Kertas Posisi No. 1 Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. April Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun Kajian Pembaruan Agraria dalam Mendukung Pengembangan Usaha dan Sistem Agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor. Wiradi, Gunawan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta. 108

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia

Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Agraria di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Penyebabnya adalah karena pembaruan agraria lebih merupakan kesepakatan politik daripada kebenaran ilmiah,

Lebih terperinci

BAHASAN UTAMA JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL Syahyuti 1. Abstract

BAHASAN UTAMA JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 11 NO. 1 APRIL Syahyuti 1. Abstract BAHASAN UTAMA PEMBARUAN AGRARIA DAN KEBUTUHAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN: Memadukan Aspek Landreform dengan Aspek Non-landreform dalam Kebijakan Pembaruan Agraria Syahyuti 1 Abstract The agrarian

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Kebijakan Penguasaan Lahan (Land Tenure) : Pentingnya kebijakan land tenure bagi pertanian Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN Oleh: Henny Mayrowani Tri Pranadji Sumaryanto Adang Agustian Syahyuti Roosgandha Elizabeth PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN Oleh : Muchjidin Rachmat Chairul Muslim Muhammad Iqbal PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim BAB I PENDAHULUAN Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim global yang menuntut Indonesia harus mampu membangun sistem penyediaan pangannya secara mandiri. Sistem

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Iwan Isa Direktur Penatagunaan Tanah, BPN-RI PENDAHULUAN Produksi pangan dalam negeri menjadi unsur utama dalam memperkuat ketahanan

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR BERITA KABUPATEN CIANJUR DAERAH NOMOR 41 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI CIANJUR NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME PELAKSANAAN PENCETAKAN SAWAH BARU DI KABUPATEN CIANJUR BUPATI CIANJUR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 RKT DIT. PPL TA. 2013 KATA PENGANTAR Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan INDONESIA Ketahanan Pangan Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan Harmonisasi Kebijakan & Program Aksi Presentasi : Pemicu Diskusi II Bp. Franky O. Widjaja INDONESIA BIDANG AGRIBISNIS,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Dalam rangka pelaksanaan Revitalisasi Pertanian (RP) Departemen Pertanian telah dan sedang melaksanakan berbagai kebijakan yang meliputi : (a)

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

Lahan Sawah Bukaan Baru EPILOG. Fahmuddin Agus dan Neneng L. Nurida

Lahan Sawah Bukaan Baru EPILOG. Fahmuddin Agus dan Neneng L. Nurida Lahan Sawah Bukaan Baru 175 9. EPILOG Fahmuddin Agus dan Neneng L. Nurida Buku ini telah menguraikan berbagai aspek teknis pengelolaan tanah sawah bukaan baru. Bab II tentang sebaran dan potensi pengembangan

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi pada saat ini. Masalah pertama yaitu kemampuan lahan pertanian kita

Lebih terperinci

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH Joko Sutrisno 1, Sugihardjo 2 dan Umi Barokah 3 1,2,3 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 257 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Menindaklanjuti ketentuan

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 Pada Kamis dan Jumat, Tanggal Lima dan Enam Bulan Maret Tahun Dua Ribu Lima Belas bertempat di Samarinda, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan ruang darat yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan lahan dalam wujud penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah

Lebih terperinci

Mempertahankan Tanah Agraris

Mempertahankan Tanah Agraris Mempertahankan Tanah Agraris Oleh: Ir. Tunggul Iman Panudju, M.Sc, Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Kementerian Pertanian Tarik-menarik kepentingan telah banyak mengubah fungsi lahan. Keberpihakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian

Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian Analisis Kebijakan 33 Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian Pendahuluan Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan bagian pokok didalam kehidupan dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pemenuhan sandang, pangan, maupun papan yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menuju kemandirian sebagai daerah otonom tersebut, pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menuju kemandirian sebagai daerah otonom tersebut, pemerintah daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah yang telah digulirkan sejak tahun 2001 memotivasi daerah untuk berusaha mencukupi kebutuhan daerahnya tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat.

Lebih terperinci

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KEDEPAN

BAB VI LANGKAH KEDEPAN BAB VI LANGKAH KEDEPAN Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan 367 368 Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan LANGKAH-LANGKAH KEDEPAN Agenda pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan melalui swasembada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengkaji permasalahan tentang fungsi lahan sawah terkait erat dengan mengkaji masalah pangan, khususnya beras. Hal ini berpijak dari fakta bahwa suatu komunitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan penduduk ditinjau dari segi kuantitatif maupun kualitatif dapat dikategorikan sangat tinggi. Pertumbuhan tersebut akan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dan membangun pertanian. Kedudukan Indonesia sebagai negara

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dan membangun pertanian. Kedudukan Indonesia sebagai negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Hasil bumi yang berlimpah dan sumber daya lahan yang tersedia luas, merupakan modal mengembangkan dan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH LAPORAN AKHIR KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH Oleh : Bambang Irawan Herman Supriadi Bambang Winarso Iwan Setiajie Anugrah Ahmad Makky Ar-Rozi Nono Sutrisno PUSAT SOSIAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

II. ARAH, MASA DEPAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN INDONESIA

II. ARAH, MASA DEPAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN INDONESIA II. ARAH, MASA DEPAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN INDONESIA 2.1. Pengantar Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan modal dasar bagi pembangunan di semua sektor, yang luasnya relatif tetap. Lahan secara langsung digunakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh : LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL Oleh : Pantjar Simatupang Agus Pakpahan Erwidodo Ketut Kariyasa M. Maulana Sudi Mardianto PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis LAPORAN AKHIR TA. 2013 STUDI KEBIJA AKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAUU JAWAA (TAHUN KE-2) Oleh: Bambang Irawan Gatoet Sroe Hardono Adreng Purwoto Supadi Valeriana Darwis Nono Sutrisno

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 55,2012 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Rizky Rangga Wijaksono 1 Ardy Maulidy Navastara 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran 151 Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran V.1 Analisis V.1.1 Analisis Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Dalam analisis alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan dibatasi pada tanaman pangan

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR : 14 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR : 14 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR : 14 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA UNTUK PEMANFAATAN LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR JAMBI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 10 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL. A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional

BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL. A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional 24 BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo,

Lebih terperinci