LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN RAWAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN RAWAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN RAWAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA Oleh : Mewa Ariani Handewi P. Saliem Gatot Sroe Hardono Tri Bastuti Purwantini PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006

2 RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN 1. Di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program utama nasional sejak satu dasawarsa terakhir. Hal ini juga terkait dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu penanda-tangan kesepakatan dalam MDGs yang menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara diharapkan dapat menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun Pada tahun 2004 muncul kembali kasus gizi buruk di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi lainnya. Faktor penyebab kerawanan pangan di suatu wilayah dan rumah tangga mempunyai sifat multidimensional, ditentukan oleh berbagai faktor dan melibatkan berbagai sektor. Mengacu pada karakteristik yang beragam tersebut maka pemecahan masalah kerawanan pangan wilayah dan rumahtangga harus bersifat holistik. 2. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan World Food Programme (WFP) (2005) melakukan pemetaan wilayah rawan pangan dan gizi kronis sampai tingkat Kabupaten dengan menggunakan 10 indikator. Hasil pemetaan terdapat 100 Kabupaten dari 265 Kabupaten di Indonesia yang tergolong rawan pangan dan gizi kronis. Tujuan penyusunan peta tersebut sebagai salah satu alat bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk menangani kerawanan pangan dan gizi kronis. Karena pemetaan hanya sampai tingkat kabupaten, maka secara operasional hasil pemetaan tersebut perlu ditinjaklanjuti dengan pemetaan dalam skala yang lebih detail. 3. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua kegiatan yaitu Kegiatan I bertujuan untuk : 1) Mengelompokkan 100 Kabupaten rawan pangan dan gizi kronis di Indonesia menurut 10 indikator yang telah ditetapkan oleh DKP dan WFP, serta 2) Mengidentifikasi dan mengelompokkan 100 Kabupaten menurut tipe wilayah dan derajat kerawanan pangan. Tujuan kegiatan II adalah : 1) Memetakan wilayah rawan pangan dan gizi kronis sampai tingkat kecamatan di wilayah (Kabupaten) penelitian; 2) Mengidentifikasi karakteristik dan faktor-faktor penyebab rawan pangan dan gizi kronis tingkat wilayah dan rumahtangga serta 3). Merumuskan alternatif strategi kebijakan penanggulangannya dalam upaya menurunkan jumlah rumah tangga miskin dan kelaparan. METODA PENELITIAN 4. Penelitian ini merupakan kajian lebih lanjut dari kegiatan yang telah dilakukan oleh DKP dan WFP (2005). Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur, Papua dan Kalimantan Barat. Jawa Timur dipilih karena jumlah kabupaten yang rawan pangan dan jumlah penduduk cukup besar serta akses distribusi pangan (infrastruktur jalan) relatif baik. Papua mewakili provinsi yang semua kabupaten termasuk rawan pangan dan akses distribusí pangan kurang baik, sedangkan Provinsi Kalimantan Barat dengan pertimbangan semua kabupaten termasuk rawan pangan dan gizi kronis. Selanjutnya, di masing-masing provinsi dipilih dua kabupaten rawan pangan dan gizi kronis dengan kriteria penanganan termasuk kategori prioritas tinggi. Khusus untuk Provinsi Papua hanya diambil satu kabupaten dikarenakan kondisi transportasi dan jalan yang relatif sulit. Adapun kabupaten contoh adalah Jayawijaya (Papua), Bondowoso dan Sampang (Jawa Timur), Sambas dan Landak (Kalimantan Barat). viii

3 5. Dari kabupaten terpilih dibuat pemetaan wilayah tingkat kecamatan dengan menggunakan 10 indikator dan indikator lain sesuai dengan ketersediaan data, sehingga diketahui kecamatan yang paling rawan pangan. Selain itu, pemilihan kecamatan juga didasarkan pada adjustment dari instansi terkait terutama dari Dinas Pertanian dan Kantor Badan Ketahanan Pangan setempat. Penentuan desa contoh berdasarkan proporsi rumahtangga yang mendapat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan agroekosistem, sedangkan rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis adalah rumahtangga pra sejahtera/sejahtera 1 atau rumahtangga yang mendapat BLT. 6. Pengumpulan data dan informasi untuk responden instansi dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan list variabel dan kata-kata kunci (key word), sedangkan untuk tokoh masyarakat secara berkelompok dengan menggunakan kuesioner semi terstruktur. Pengumpulan data untuk rumah tangga melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Jumlah rumahtangga yang diwawancara sebanyak 20 rumahtangga per kabupaten, kecuali di Kabupaten Jayawijaya hanya 15 rumahtangga. 7. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1) Deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel, 2) Skoring, 3) Pengelompokkan menurut kuintil, 4) Peta dengan map-info dan 5) Analisis regresi linier berganda. Penggunaan masing-masing jenis alat analisis tersebut disesuaikan dengan tujuan analisis. HASIL PENELITIAN Pengelompokkan 100 Kabupaten Rawan Pangan dan Gizi Kronis 8. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (PKPI) dengan unit analisis terkecil kabupaten menghasilkan 100 kabupaten tergolong rawan pangan dan gizi kronis yang perlu mendapat prioritas penanganan. Terdapat 10 Indikator yang digunakan untuk penentuan tersebut dengan indeks komposit yang dianggap merepresentasikan indikator ketersediaan pangan, akses terhadap pangan serta kesehatan dan gizi yaitu: (1) Rasio konsumsi normatif per kapita, (2) Proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan, (3) Proporsi rumahtangga tanpa akses listrik, (4) Desa tanpa akses ke jalan, (5) Proporsi perempuan buta huruf, (6) Angka harapan hidup, (7) Berat badan balita di bawah standard, (8) Angka kematian bayi, (9) Rumahtangga tanpa akses ke air bersih, dan (10) Proporsi rumahtangga dengan jarak > 5 km dari Puskesmas. 9. Pengelompokan kabupaten rawan pangandan gizi kronis dalam kuintil berdasarkan 10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran nilai yang unik (khas). Artinya, penggunaan 10 indikator tidak dapat menunjukkan status rawan pangan yang mutlak (absolut) untuk setiap kabupaten. Sebagai contoh pada indikator konsumsi normatif, nilai maksimum yang terdapat pada kuintil I jauh lebih tinggi dibandingkan nilai maksimum kuintil V. Berdasarkan indeks komposit, Kabupaten Jayawijaya menempati ranking pertama dengan derajat kerawanan paling parah di Indonesia. Akan tetapi berdasarkan indikator tunggal, bobot terbesar yang menyebabkan Kabupaten Jayawijaya berada pada posisi tersebut adalah indikator penduduk miskin, wanita buta huruf, akses penduduk terhadap listrik, akses jalan yang memadai dan akses penduduk terhadap air bersih. Di sisi lain, indikator berat badan balita di bawah standar, Kabupaten Jayawijaya berada pada kuintil V atau kelompok 20 persen kabupaten terbaik. Posisi Kabupaten Jayawijaya yang termasuk kategori relatif baik tersebut perlu dipertanyakan. Di duga data yang ada tidak akurat, karena masih banyak data dari lokasi lain yang tidak masuk (tercatat) akibat sulitnya sarana transportasi dan keterbatasan sarana telekomunikasi. ix

4 10. Sementara, indikator terberat yang mengakibatkan Kabupaten Sampang termasuk kabupaten rawan pangan dan gizi kronis adalah perempuan buta huruf, angka harapan hidup dan kematian bayi, sedangkan Kabupaten Bondowoso : perempuan buta huruf, angka harapan hidup dan kematian bayi. Di Kabupaten Sambas adalah angka harapan hidup, kematian bayi dan akses penduduk terhadap air bersih, sedangkan di Kabupaten Landak : akses penduduk terhadap listrik, kematian bayi dan akses penduduk terhadap air bersih. 11. Terdapat 10 indikator tipe wilayah yang dapat dikumpulkan untuk menambah informasi karakteristik 100 kabupaten rawan pangan dan gizi kronis. Indikator tersebut berkaitan dengan aspek pertanian dan ketersediaan pangan dalam arti luas serta aspek pendapatan. Data tipe wilayah yang dapat dihimpun sebagai berikut : 1) Produksi padi, palawija dan perkebunan; 2) Populasi ruminansia dan unggas; 3) Proporsi rumahtangga petani gurem; 4) Proporsi angkatan kerja; 5) Proporsi anak umur 7-15 tahun yang tidak sekolah; 6) Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga dan 7) Pendapatan Kabupaten (PDRB). Dengan adanya data ini menepis anggapan bahwa indikator yang digunakan untuk pembuatan peta sangat terbatas sesuai ketersediaan data tanpa memperhatikan apakah pemilihan indikator tersebut sesuai dan memiliki pengaruh langsung terhadap kerawananan pangan dan gizi kronis. 12. Indikator yang digunakan untuk memetakan rawan pangan dan rawan gizi kronis yang dilakukan oleh DKP dan WFP masih mengandung kelemahan yang perlu disempurnakan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah : 1) Penggunaan istilah rawan pangan padahal indikator yang digunakan lebih luas kearah konsep kemiskinan; 2) Ketersediaan pangan hanya menghitung produksi padi, jagung, ubikayu dan ubijalar; belum memasukkan sagu atau talas/keladi yang banyak dikonsumsi oleh rumahtangga Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, perhitungan rasio normatif seharusnya penjumlahan serealia tidak dalam kuantitas kilogram tetapi dalam bentuk zat gizi (energi) dan dibagi dengan energi dari beras; 3) Indikator yang digunakan seharusnya mencerminkan potensi wilayah secara komprehensif; 4) Perlu fleksibilitas pengukuran indikator disesuaikan dengan potensi wilayahnya dan 5) Peningkatan keakuratan data dan perhitungannya. Pemetaan Kecamatan Rawan Pangan dan Gizi Kronis 13. Indikator yang digunakan untuk pemetaan rawan pangan dan gizi kronis tingkat kecamatan disesuaikan dengan ketersediaan data dan potensi wilayahnya sehingga akan berbeda untuk masing-masing wilayah. Dengan penggunaan indikator tersebut mampu mendeteksi kecamatan rawan pangan dan gizi secara baik. Adapun indikatornya adalah: 1) Kabupaten Jayawijaya: Produksi tanaman pangan, hortikultura dan kopi, populasi ternak dan akses jalan; 2) Kabupaten Bondowoso : Ketersediaan pangan, luas kerusakan padi, berat badan balita di bawah standar, perempuan buta huruf, akses air bersih dan listrik, penduduk miskin; 3) Kabupaten Sampang : Ketersediaan pangan, luas tanam padi terhadap sasaran, luas kerusakan padi, produktivitas padi rata-rata, populasi ternak, kurang energi protein, penduduk miskin, berat badan balita di bawah standar, akses listrik, air bersih dan jalan; 4) Kabupaten Sambas: Produksi tanaman pangan dan karet, luas tanam padi terhadap sasaran, luas kerusakan padi, populasi ternak, kurang energi protein, penduduk miskin, dan akses air bersih; dan 5) Kabupaten Landak : Ketersediaan pangan, produksi karet, luas tanam padi terhadap sasaran, populasi ternak, kurang energi protein, penduduk miskin dan angka kematian bayi. 14. Berdasarkan indikator tersebut di atas, kecamatan dengan kategori rawan berat adalah Kecamatan Wamena, Gamelia, Tiom, Kenyam, Mapenduma dan Apalapsili di Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua. Sementara itu untuk Kabupaten x

5 Bondowoso adalah Kecamatan Tamanan dan Sempol; Kabupaten Sampang : Kecamatan Torjun dan Jrengik. Di Propinsi Kalimantan Barat, di Kabupaten Sambas adalah Kecamatan Sambas, Sebawi, Sajad, Jawai Selatan, Teluk Keramat, Sejangkung, sedangkan di Kabupaten Landak adalah Kecamatan Air Besar dan Kuala Behe. Karakteristik dan Penyebab Rawan Pangan dan Gizi Kronis serta Alternatif Strategi Penanggulangannya 15. Karakteristik wilayah rawan pangan di Kabupaten Jayawijaya berupa daerah pegunungan, lereng dan berbukit. Secara geologis, wilayah ini termasuk wilayah rawan gempa khususnya di bagian Timur. Selain itu juga termasuk rawan banjir di sepanjang DAS Baliem dan Wamena terutama pada musim hujan. Kondisi cuaca di wilayah ini juga tidak menentu, sehingga sering terjadi kegagalan panen pada musim kering panjang atau musim hujan karena banjir dan akibat terjadinya hujan es (frost). Sementera itu, karakteristik rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis di wilayah tersebut dicirikan oleh sebagian besar kepala keluarga berpendidikan rendah (tidak tamat SD) dan sekitar 88,1 persen rumahtangga termasuk miskin sekali dan miskin. Sarana dan prasarana juga sangat terbatas, pola pertanian umumnya masih dilakukan secara tradisional dan pola pertanian subsisten masih tinggi. Pola ketersediaan dan konsumsi makanan tergantung dari apa yang ditanam dan apa yang ada di hutan, sehingga keragaman konsumsinya juga terbatas. Tugas wanita di bidang pertanian sangat berat, sehingga anak-anak kurang mendapat perhatian dalam asupan gizi dan pola asuh. 16. Penyebab kerawanan pangan dan rawan gizi kronis di Kabupaten Jayawijaya sangat komplek mencakup berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi dan perhatian pemerintah. Secara terinci penyebabnya adalah: a) Topografi wilayah yang bergunung/berbukit-bukit, b) Musim yang tidak menentu (kering/ hujan/frost), c) Keterisolasian wilayah dan sarana transportasi terbatas, d) Pola pertanian yang masih tradisional dan ketersediaan pangan tergantung pada alam, e) Pemasaran hasil pertanian terbatas di ibukota kabupaten saja, f) Proses pemekaran wilayah di era otonomi daerah, g) Penyimpangan dana APBN dan otonomi khusus tahun 2004 dan 2005, h) Pola paternalistik dan ikatan klien yang kuat, i) Pendidikan dan pengetahuan masih rendah, j) Konsumsi pangan tergantung pada komoditas yang ditanam dan dihutan, k) Pengelolaan lahan komunal dan tergantung pada kepala klien/adat dan l) Peran jender yang tidak seimbang. 17. Kebijakan strategis untuk menanggulangi hal tersebut adalah: 1) Jangka pendek : a) Bantuan pangan berupa beras perlu ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan pola konsumsi pangan setempat; b) Pembukaan lahan untuk pengembangan areal tanaman ubijalar dan c). Pembentukan dan pengembangan kelembagaan/program terkait pangan, gizi dan kesehatan; 2) Jangka Menengah : a) Komitmen yang kuat dari pemerintah dan legislatif tingkat pusat dan daerah serta masyarakat, b) Peningkatan jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, c) Peningkatan jumlah tenaga pertanian dan kesehatan, d) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, e) Diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga yang melibatkan lakilaki, f) Peningkatan pengetahuan pangan, gizi dan kesehatan melaui KIE; dan g) Kegiatan penyadaran jender; 3) Jangka panjang : a) Membuka keterisolasian wilayah (antar desa/ kecamatan kabupaten) dan b) Pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik 18. Karakteristik wilayah dan rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten Bondowoso dan Sampang dicirikan dominasi lahan tegalan/ladang sebagai basis pertanian. Kondisi sarana dan prasarana kurang memadai sehingga mobilitas penduduk dan pergerakan roda perekonomian menjadi relatif lambat. Selain luasan xi

6 yang sempit, masalah dalam pemilikan lahan adalah lahan kering dengan produktivitas rendah. Lapangan kerja diluar pertanian di kedua kabupaten sangat terbatas. Angka kemiskinan di Kabupaten Bondowoso mencapai 39.8 persen, sedangkan di Sampang sebesar 42.4 persen. Rataan pendapatan rumahtangga rawan pangan di Bondowoso sekitar Rp 552 ribu/kapita/tahun, dan di Sampang sekitar Rp 474 ribu/kapita/tahun. 19. Pemilikan aset rumahtangga rawan pangan dan gizi kronis di kedua kabupaten juga kurang memadai hanya lahan dan ternak dengan jumlah terbatas. Makanan pokok berupa campuran beras dan jagung dengan frekuensi konsumsi 2 kali sehari dan keragamannya juga rendah. Kebanyakan rumahtangga tidak memiliki simpanan (cadangan) bahan pangan. Di Kabupaten Bondowoso, kekurangan pangan parah terjadi pada bulan Januari sampai Februari menjelang musim panen padi, sedangkan di Kabupaten Sampang pada bulan Agustus. 20. Penyebab rawan pangan dan gizi kronis di atas terutama faktor kemiskinan karena kepemilikan lahan yang sempit, sementara lapangan kerja non pertanian belum berkembang. Penyebab lain adalah: keterbatasan sumberdaya air dan meluasnya areal lahan kritis, keterbatasan pasar output pertanian dan hasil industri rumahtangga, akses rumahtangga terhadap sumber permodalan untuk usaha terbatas, pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja rendah, kondisi infrastruktur dan sarana transportasi tidak memadai 21. Alternatif kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis adalah dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan dan mendorong tumbuhnya aktifitas perekonomian di tingkat wilayah dan rumahtangga. Secara terinci kebijakan tersebut untuk Jangka pendek: a) Pemberian bantuan pangan kepada rumahtangga rawan pangan beresiko tinggi, 2) Pengembangan paket bantuan sarana produksi pertanian, ternak dan pembiayaan, 3) Pengembangan usaha industri yang dapat memanfaatkan potensi sumberdaya lokal khususnya hasil-hasil pertanian, 4) Pemberdayaan kelembagaan pangan dan gizi yang sudah ada di lingkungan masyarakat. Jangka Menengah: a) Peningkatan kapasitas lahan pertanian melalui upaya perluasan areal dan atau peningkatan intensitas tanam, b) Mendorong berkembangnya diversifikasi pertanian dan diversifikasi sumber usaha, c) Pembatasan luas absentee land, d) Peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah dan e) Mengembangkan kesadaran sosial masyarakat dalam kegiatan penanggulangan masalah pangan dan gizi. Untuk Jangka Panjang : a) Konservasi dan rehabilitasi daerah tangkapan air dan resapan air, b) Pengendalian laju pertambahan penduduk. 22. Karakteristik wilayah rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten Sambas dan Landak dicirikan dengan : 1) Kawasan budidaya yang sebagian besar berupa lahan gambut, dan dataran rendah dengan curah hujan yang sedikit; 2) Kualitas sumberdaya manusia (pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan) masih rendah; 3) Proporsi penduduk miskin masih tinggi; 4) Sebagian besar penduduk bergantung pada sektor pertanian; 5) Sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, trsanportasi dan akses terhadap permodalan terbatas. 23. Karakteristik seperti diatas juga menjadi akar penyebab utama terjadinya rawan pangan dan gizi kronis. Selain itu penyebab rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten Sambas dan Landak yang dominan adalah rendahnya daya beli masyarakat akibat keterbatasan lapangan pekerjaan non pertanian. Rendahnya pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan penduduk sehingga muncul kasus kurang energi protein dan gizi buruk. Sarana dan prasarana seperti transportasi, permodalan dan kesehatan juga terbatas. Di Kabupaten Landak, rendahnya xii

7 pendapatan rumahtangga tidak lepas dari perkembangan ekonomi wilayah yang juga relatif rendah. 24. Alternatif strategi kebijakan yang dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut adalah peningkatan daya beli masyarakat melalui diversifikasi usaha, penciptaan lapangan kerja di sektor pertanian dan non pertanian yang berbasis di pedesaan. Di Sambas pengembangan industri hilir untuk komoditas jeruk dapat berperan sebagai penyerap tenaga kerja dan sebagai upaya peningkatan nilai tambah dan pendapatan petani. Selain itu kebijakan yang ditempuh adalah untuk Jangka Pendek: a) Program pengembangan kawasan agribisnis terpadu (KUAT), b) Peningkatan pemberdayaan kelembagaan/program terkait pangan, gizi dan kesehatan dan c) Peningkatan pengetahuan pengasuhan anak balita pada kaum wanita. 25. Sementara altenatif kebijakan untuk Jangka Menengah : a) Komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam peningkatan perekonomian daerah, b) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, c) Peningkatan ketrampilan kaum perempuan dan d) Pengembangan industri pengolahan di pedesaan dengan bahan baku lokal. Jangka panjang : a) Peningkatan sarana dan prasarana terutama transportasi (jalan, perahu, angkutan umum) dan kesehatan, dan b) Perluasan kesempatan kerja melalui pengembangan industri pengolahan di pedesaan dengan bahan baku lokal. IMPLIKASI KEBIJAKAN 26. Pengelompokan kabupaten rawan pangan dan gizi kronis dalam kuintil berdasarkan 10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran nilai yang unik (khas). Implikasinya adalah pemasyarakatan penggunaan Peta Kerawanan Pangan Indonesia perlu disertai penjelasan memadai mengenai status rawan pangan yang dimaksud dalam peta. Hal ini penting untuk menghindari kesan menghakimi daerah-daerah dan agar program yang ditetapkan lebih terfokus berdasarkan skala prioritas. 27. Selain itu, untuk ke depan, masih perlu penyempurnaan terutama dalam pemilihan jenis indikator dikaitkan dengan konsep rawan pangan yang telah disepakati bersama yang tertuang dalam Undang-undang Pangan. Juga penyempurnaan dalam hal perhitungan ketersediaan pangan normatif, fleksibilitas pengukuran dari masingmasing indikator disesuaikan dengan karakteristik kabupaten dan peningkatan keakuratan pencacahan dan perhitungan data. Apabila masih mempertahankan seluruh indikator yang telah ditetapkan, maka akan lebih fair apabila dalam penggunaan indikator diberi rating (bobot) sehingga bias dalam penetapan prioritas dan target program penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis dapat dihindari atau diminimumkan. 28. Fenomena rawan pangan dan gizi kronis sesungguhnya tidak hanya mencakup aspek ekonomi saja, tetapi juga terkait dengan masalah sosial dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu perencanaan upaya penanggulangan rawan pangan harus mencakup perencanaan pemecahan masalah yang terkait dengan ketiga aspek tersebut secara terpadu. Fenomena rawan pangan dan gizi juga bersifat laten sehingga orientasi kebijakan penanggulanggan masalah tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga harus dilengkapi dengan penanggulangan jangka panjang sebagai respon antisipatif. 29. Peningkatan perekonomian daerah harus memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang yang menjamin terbentuknya ketahanan pangan wilayah dan rumahtangga secara berkelanjutan. Kebijakan dan xiii

8 program yang ditetapkan mampu membangkitkan masyarakat sebagai penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman tanpa menghilangkan jati diri terutama di Kabupaten Jayawijaya. 30. Peningkatan keragaman konsumsi pangan adalah salah satu langkah strategis dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Hasil analisis regresi skor konsumsi pangan rumahtangga mengindikasikan bahwa faktor aksesibilitas pangan (fisik dan ekonomi) adalah determinan penting yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis. Kebijakan untuk meningkatkan aksesibilitas pangan tidak hanya terkait dengan upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan rumahtangga saja tetapi juga upaya lain yang mendukung perbaikan distribusi pangan seperti perbaikan sarana jalan dan transportasi dan pengaturan sistem pemasaran pangan yang lebih efisien dan berkeadilan. 31. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah pemecahan masalah ketahanan pangan dan kemiskinan tidak dapat hanya ditangani oleh sektor pertanian, walaupun jumlah penduduk miskin dan rawan pangan umumnya berada di pedesaan. Upaya pemantapan ketahanan pangan atau mengatasi kerawanan pangan dan penanggulangan kemiskinan memerlukan kerjasama, koordinasi dan sinergitas dari berbagai dinas/instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan partisipasi aktif masyarakat setempat. xiv

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimal manusia yang mutlak harus dipenuhi untuk menjamin kelangsungan hidup. Kebutuhan pokok manusia terdiri atas, kebutuhan pangan,

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen... I-7 1.4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA Oleh : Bambang Irawan Adreng Purwoto Frans B.M. Dabukke Djoko Trijono PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA Provinsi Papua PRIORITAS NASIONAL MATRIKS ARAH KEBIJAKAN BUKU III RKP 2012 WILAYAH PAPUA 1 Pendidikan Peningkatan akses pendidikan dan keterampilan kerja serta pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Indikator kinerja merupakan tekad atau janji rencana kinerja yang akan dicapai berdasarkan sasaran, tujuan dan kegiatan yang telah ditetapkan, baik dalam tahap

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Laporan Akhir Hasil Penelitian TA.2015 KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Tim Peneliti: Kurnia Suci Indraningsih Dewa Ketut Sadra

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN Oleh : Bambang Sayaka Mewa Ariani Masdjidin Siregar Herman

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI KOTABARU,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar Bupati Murung Raya Kata Pengantar Perkembangan daerah yang begitu cepat yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan pambangunan daerah dan perkembangan wilayah serta dinamisasi masyarakat, senantiasa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 4.1 Permasalahan Pembangunan Capaian kinerja yang diperoleh, masih menyisakan permasalahan dan tantangan. Munculnya berbagai permasalahan daerah serta diikuti masih banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta dengan beraneka ragam budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis menduduki peringkat 107 dari 177 negara untuk indeks pembangunan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi VII. SIMPULAN 7.1. Simpolan Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi terhadap ketahanan pangan nasional, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Model ekonometrika yang dibangun

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN Oleh : Sumaryanto Muhammad H. Sawit Bambang Irawan Adi Setiyanto Jefferson Situmorang Muhammad Suryadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DALAM PENCAPAIAN TARGET MDG S DAN IMPLIKASINYA PADA SDGs

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DALAM PENCAPAIAN TARGET MDG S DAN IMPLIKASINYA PADA SDGs LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2014 KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DALAM PENCAPAIAN TARGET MDG S DAN IMPLIKASINYA PADA SDGs Oleh : Sumaryanto Edi Basuno Sri Hastuti Suhartini Rangga Ditya Yofa Cut Rabiatul Adawiyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH LAPORAN AKHIR KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH Oleh : Bambang Irawan Herman Supriadi Bambang Winarso Iwan Setiajie Anugrah Ahmad Makky Ar-Rozi Nono Sutrisno PUSAT SOSIAL

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH MALUKU

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH MALUKU MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH MALUKU PRIORITAS NASIONAL MATRIKS ARAH KEBIJAKAN BUKU III RKP 2012 WILAYAH MALUKU 1 Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Peningkatan kapasitas pemerintah Meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Dewa K. S. Swastika Herman Supriadi Kurnia Suci Indraningsih Juni Hestina Roosgandha

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menghadapi perubahan yang sedang dan akan terjadi akhir-akhir ini dimana setiap organisasi publik diharapkan lebih terbuka dan dapat memberikan suatu transparansi

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4K2P) Kabupaten Jayawijaya merupakan Organsasi

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko. RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, 2005. Analisis Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis di Kabupaten Dompu Propinsi Nusa Tenggara Barat. Di Bawah bimbingan E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM 2007-2015 Pendahuluan 1. Target utama Kementerian Pertanian adalah mencapai swasembada

Lebih terperinci

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan Kebijakan Strategis RAN-PG 2016-2019: Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan Prof. Dr. Bustanul Arifin barifin@uwalumni.com Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA Dewan Pendiri dan Ekonom Senior INDEF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan visi dan melaksanakan misi pembangunan daerah Kabupaten Ngawi 2010 2015, Pemerintah Kabupaten Ngawi menetapkan strategi yang merupakan upaya untuk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan memberikan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan teori dan temuan studi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, juga akan diberikan rekomendasi

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan memp&aii kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan mempakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB IV PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011

BAB IV PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011 BAB IV PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011 4.1. Prioritas dan Sasaran Pembangunan Daerah Berdasarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di Kabupaten Lebak serta isu strategis, maka ditetapkan prioritas

Lebih terperinci

SEKILAS TENTANG RAWAN PANGAN. Written by adminbkpp2 Wednesday, 20 May :37 - Last Updated Wednesday, 20 May :59

SEKILAS TENTANG RAWAN PANGAN. Written by adminbkpp2 Wednesday, 20 May :37 - Last Updated Wednesday, 20 May :59 Beberapa media sering sekali memberitakan tentang rawan pangan/ kerawanan pangan dan kelaparan yang terjadi pada suatu daerah. Dengan adanya pemberitaan ini maka dengan sendirinya masyarakat jadi tahu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

Determinan Ketahanan Dan Kerentanan Pangan Pada Wilayah Lahan Sub Optimal Di Provinsi Sumatera Selatan

Determinan Ketahanan Dan Kerentanan Pangan Pada Wilayah Lahan Sub Optimal Di Provinsi Sumatera Selatan Determinan Ketahanan Dan Kerentanan Pangan Pada Wilayah Lahan Sub Optimal Di Provinsi Sumatera Selatan Determinant of Food Security and Vulnerability on Sub Optimal Area in South Sumatera Riswani 1 *)

Lebih terperinci

KABUPATEN ACEH TENGAH PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

KABUPATEN ACEH TENGAH PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN ACEH TENGAH PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2016 LAMPIRAN PERJANJIAN KINERJA KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2016 No Sasaran Strategis Indikator Kinerja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Ketahanan pangan Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu serta sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA

PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA Strategi dan Program Prioritas Penguatan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Mahulu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang 70 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tanggamus 1. Keadaan Geografis Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam perumusan strategi didasarkan pada kriteria : 1. Strategi yang realistis untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan 2. Menganalisis dan mengevaluasi faktor faktor

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekurangan gizi pada anak balita yang diukur dengan prevalensi anak balita gizi kurang dan gizi buruk digunakan sebagai indikator kelaparan, karena mempunyai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, yang bertanda tangan di bawah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011) PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci