BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jawa Barat dibagi menjadi empat jalur fisiografi (Gambar 2.1) yaitu :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jawa Barat dibagi menjadi empat jalur fisiografi (Gambar 2.1) yaitu :"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Regional Menurut van Bemmelen (1949) berdasarkan morfologi dan tektoniknya Jawa Barat dibagi menjadi empat jalur fisiografi (Gambar 2.1) yaitu : 1. Dataran Pantai Jakarta yang menempati bagian utara Jawa Barat, memanjang dengan arah barat-timur dari Serang sampai ke Cirebon. Daerah ini disusun oleh endapan sungai, hasil erupsi gunungapi muda, endapan banjir, dan pantai. 2. Zona Bogor, terletak di sebelah selatan pantai utara, membentang dari Rangkasbitung sampai ke Bumiayu. Zona ini disusun oleh batuan yang berumur Neogen yang terlipat kuat. Zona ini telah mengalami tektonik yang kuat sehingga terlipatkan dan membentuk antiklinorium yang cembung ke utara dan cukup rumit. Selain itu muncul tubuh-tubuh intrusi yang umumnya berelief lebih terjal. 3. Zona Bandung merupakan jalur yang memanjang mulai dari Sukabumi sampai ke Segara Anakan di Pantai Selatan Jawa Tengah. Zona Bandung merupakan hasil depresi antara jalur-jalur pegunungan (intermountain depression) yang sering terlihat berarah barat - timur dengan dibatasi deretan gunungapi di utara dan selatannya. Zona Bandung didominasi oleh erupsi hasil gunungapi yang berumur Resen. 4. Zona pegunungan selatan Jawa Barat, terletak di sebelah selatan Jawa Barat. Jalur ini membentang dari Pelabuhan Ratu di sebelah barat sampai Pulau 5

2 6 Nusakambangan di sebelah timur dengan lebar rata-rata 50 km. Pada ujung sebelah timur Pulau Nusakambangan terjadi penyempitan, sehingga lebarnya hanya beberapa kilometer saja. Lokasi Penelitian Gambar 2.1 Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949; dalam Martodjojo, 2003) Berdasarkan pembagian zona fisiografi Jawa Barat, maka daerah penelitian secara regional termasuk ke dalam Zona Bogor. 2.2 Stratigrafi Regional Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberi gambaran untuk mengenai beberapa formasi yang erat kaitannya dengan daerah penelitian. Peneliti terdahulu telah membahas stratigrafi regional yang berkaitan dengan daerah penelitian (Tabel 2.1). Terdapat ketidaksamaan istilah dan

3 7 penamaan satuan stratigrafi dari para peneliti tersebut, walaupun pada prinsipnya adalah sama. Tabel 2.1 Stratigrafi Peneliti Terdahulu Menurut Kastowo dan N.Suwarna (1996), dalam Peta Geologi Lembar Majenang susunan batuan tertua sampai yang termuda sebagai berikut: Formasi Jampang, Formasi Pemali, Formasi Rambatan, Formasi Lawak, Batugamping Kalipucang, Formasi Kumbang, Formasi Halang, Formasi Kalibiuk, Formasi Kaliglagah, Formasi Mengger, Formasi Gintung, Formasi Linggopodo, Hasil Gunungapi Tua, Intusi, dan Aluvium.

4 8 Daerah penelitian yang berada di daerah Lebakwangi dan sekitarnya, menurut Kastowo dan N.Suwarna terdiri atas: batuan sedimen dan batuan gunungapi yaitu, Formasi Rambatan, Formasi Halang, Formasi Lawak, Formasi Pemali, Anggota Gununghurip Formasi Halang, Hasil Gunungapi Tua Cireme, Endapan Lahar Cipedak, Hasil Gunungapi Muda Cireme, dan Endapan Aluvium. Formasi tertua adalah Formasi Pemali berupa napal globigerina berwarna biru dan hijau keabuan, berlapis jelek-baik. Seempat terdapat batupasir tufan, dan juga batupasir gampingan berwarna biru keabuan. Struktur sedimen yang terdapa berupa perairan sejajar, silang siur, perairan terpelintir, dan gelembur gelombang. Umur diperkirakan miosen awal. Tebal satuan kurang lebih 900 m. Diatas Formasi Pemali diendapkan secara tidak selaras Formasi Rambatan berupa batupasir gampingan dan konglomerat yang bersisipan dengan lapisan tipis napal dan serpih menempati bagian bawah satuan, sedangkan bagian atas terdiri dari batupasir gampingan kelabu terang sampai kebiruan, mengandung kepingan andesit. Kandungan fosil foraminifera besar menunjukkan umur satuan. Miosen tengah. Tebalnya lebih dari 300 m. Di atas Formasi Rambatan diendapkan secara tidak selaras Anggota Gununghurip Formasi Halang terdiri dari breksi gunungapi bersusunan andesit, bersisipan batupasir, serpih, batulempung pasiran, dan konglomerat aneka bahan, umumnya kelabu, berlapis baik. Struktur sedimen perlapisan sejajar dan bersusun sangat umum. Di atas Anggota Gununghurip Formasi Halang diendapkan secara selaras

5 9 Formasi Halang berupa batupasir tufan, konglomerat, napal, dan batulempung. Di bagian bawah terdapat breksi bersusunan andesit. Batupasir umumnya wake. Runtunan diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas. Struktur sedimen yang jelas berupa perlapisan bersusun, perairan sejajar, tikas seruling, tikas beban. Setempat ditemukan kandungan fosil foraminifera dan moluska. Di atas Formasi Halang diendapkan secara tidak selaras Hasil Gunungapi Tua Cireme berupa breksi andesit, tersisipi beberapa lapisan lava, breksi aliran dan tuff. Di atas Hasil Gunungapi Tua Cireme diendapkan secara tidak selaras Endapan Lahar Cipedak berupa kepingan-kepingan batuan andesit di dalam masadasar pasir berbutir kasar, mengeras, mungkin merupakan hasil kegiatan Gunung Cireme tua. Tersingkap sepanjang Sungai Cipedak di bagian barat laut Lembar Majenang. Di atas Endapan Lahar Cipedak diendapkan secara tidak selaras Hasil Gunungapi Muda Cireme umumnya berupa lahar. Terdapat di bagian baratlaut Lembar Majenang. Di atas Hasil Gunungapi Muda Cireme diendapkan secara tidak selaras Endapan Aluvium berupa kerikil, pasir, dan lempung yang berwarna kelabu. Terendapkan sepanjang dataran banjir sungai-sungai besar. Juga endapan lempung hitam, berbau busuk hasil endapan rawa. Tebal kurang lebih 5 m.

6 Struktur Geologi Regional Menurut van Bemmelen (1949) Zona Bogor telah mengalami dua kali masa periode tektonik, yaitu : Periode intra Miosen atau Miosen Pliosen dan Periode Pliosen Plistosen. Periode tektonik tersebut menyebabkan adanya kompresi regional berarah utara-selatan. Daerah penelitian menurut van Bemmelen (1949) merupakan rangkaian antiklinorium yang berarah barat timur dimana batuan terlipat kuat. Terdapat sesar - sesar yang menyebabkan bergesernya sumbu antiklin dan sinklin. Tektonik intra Miosen menghasilkan pembentukan geantiklin di bagian pulau Jawa, dan ini akan membentuk struktur lipatan dan sesar pada batuan Paleogen dan Neogen. Arah umum sumbu lipatan adalah barat - timur dan zona sesar mendatar berarah baratdaya - timur laut dan baratlaut tenggara. Tektonik Pliosen - Plistosen merupakan kelanjutan dari periode tektonik sebelumnya. Pada periode ini banyak terjadi proses vulkanisme dengan endapan volkanik yang tersebar luas, terjadi perlipatan dan pensesaran yang diakibatkan oleh gaya - gaya yang mengarah keselatan akibat turunnya bagian utara zona Bandung, sehingga mendorong Zona Bogor secara kuat. Tekanan kuat tersebut menyebabkan struktur perlipatan dan sesar naik di bagian utara Zona Bogor yang memanjang dari Sumedang sampai Gunung Ceremai. Sesar ini dikenal dengan nama Sesar Baribis.

7 11 Pada periode ini juga terjadi proses perlipatan dan sesar yang diakibatkan oleh terjadinya amblasan dibagian utara Zona Bogor yang kemudian menimbulkan gangguan tekanan yang kuat pada Zona Bogor. Lipatan relatif berarah barat-timur yang tersesarkan oleh sesar mendatar dekstral sedangkan sesar normal ada dua kecendrungan berarah baratlaut - tenggara dan baratdaya - timur laut, sedangkan sesar naik yang berada di utara berarah baratdaya - timur laut. Gambar 2.2 Rekonstruksi tektonik pulau Jawa bagian Barat 2.4 Sejarah Geologi Regional Van Bemmelen (1949) mengemukakan pada awal Oligosen, Zona Bogor

8 12 merupakan cekungan laut dalam yang ditandai dengan adanya endapan flysch dan endapan laut dengan sisipan batuan volkanik yang kemudian dikenal dengan nama Formasi Pemali. Setelah evolusi jalur non volkanik berakhir, dilanjutkan dengan suatu aktivitas vulkanisme yang disertai dengan gejala penurunan sehingga terbentuk beberapa gunungapi bawah laut pada Awal Miosen yang menghasilkan endapan bersifat andesitik dan basaltik. Pada Miosen Tengah aktivitas vulkanisme ini berkurang dan diganti dengan pengendapan lempung, napal dan gamping terumbu yang menandakan lingkungan laut dalam. Di Zona Bogor pada masa itu terbentuk endapan Formasi Cidadap dan Formasi Halang. Litologi bagian selatan terdiri atas breksi dan batupasir tufaan sedangkan litologi bagian utara didominasi oleh batulempung dan napal. Akhir Miosen Tengah terbentuk geantiklin dipegunungan selatan yang disusul dengan peluncuran puncaknya kearah cekungan bagian utara. Akhir Miosen Atas aktivitas vulkanisme ini bergeser ke Zona Bandung dan Zona Bogor bagian selatan yang menghasilkan endapan breksi kumbang, ini menunjukan bahwa zona tunjaman telah bergeser kearah yang lebih keselatan dari sebelumnya. Selama kegiatan vulkanisme pada Miosen Tengah, sedimen Zona Bandung dan Zona Bogor mengalami erosi kuat. Sementara itu Dataran Pantai Jakarta terus mengalami penurunan yang ditandai oleh diendapkannya lempung dan napal yang dikenal dengan Formasi Kaliwangu yang berumur Pliosen.

9 13 Pada Miosen Akhir, dapat dikatakan bahwa cekungan Bogor telah berubah menjadi dangkal. Hal ini ditandai dengan adanya satuan batupasir dengan struktur sedimen silang siur dan fosil moluska. Di atasnya diendapkan volkanik Pliosen Plistosen, dimana aktivitas ini terlihat jelas pada jalur transisi Zona Bandung dan Zona Bogor. 2.5 Landasan Teori Geologi Struktur Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk atau arsitektur batuan akibat proses deformasi serta menjelaskan proses proses pembentukannya (Davis, 1984). Proses deformasi ini adalah perubahan bentuk, lokasi, ukuran dan orientasi suatu batuan akibat gaya (force) yang tejadi di dalam bumi Kekar Kekar adalah suatu rekahan pada suatu massa batuan yang relatif tidak mengalami pergeseran yang signifikan, atau sedikt sekali tergeser (Billings, 1972). Kekar ini dapat terbentuk akibat gejala tektonik maupun non tektonik. Klasifikasi kekar didasarkan pada : 1) Bentuk : a. Sistematik : Joint set, Joint system

10 14 Kekar sistematik biasanya dijumpai berpasangan dengan arah yang sejajar atau hamper sejajar dan bidang bidang kekar yang rata atau sedikit melengkung b. Tidak sistematik. 2) Ukuran : a. Master joint : puluhan sampai ratusan meter b. Minor joint : kurang dari 1 inci 3) Kerapatan Kerapatan kekar dinyatakan dengan jumlah persatuan jarak lintasan pengamatan yang dibuat secara garis lurus atau rata rata jarak antar kekar. 4) Kejadiannya Secara kejadiannya, kekar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : a. Shear (kekar gerus), yang terjadi akibat adanya tegasan atau gaya kompresional. b. Tension (kekar tarikan) Kekar tarikan dapat dibedakan menjadi : i. Tension fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah dengan tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh cairan hidrotermal yang kemudian berubah menjadi vein.

11 15 ii. Release fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau pengurangan tekanan, orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama. Struktur ini sering disebut Stylolite. Kekar merupakan salah satu gejala struktur yang lebih sulit untuk di analisis dari yang lainnya, sebab kekar dapat terbentuk pada setiap waktu kejadian geologi, misalnya sebelum terbentuk lipatan. Kesulitan lainnya adalah tidak adanya atau relatif kecil pergeseran dari kekar, sehingga tidak dapat ditentukan kelompok mana yang terbentuk sebelum atau sesudahnya. Gambar 2.3 Pola kekar berdasarkan genetiknya yang menunjukkan hubungan pola tegasan dengan pola kekar yang terbentuk (Hobs, 1976) Walaupun demikian, di dalam analisis, kekar dapat dipakai untuk menentukan pola tegasan, dengan anggapan bahwa kekar kekar tersebut terbentuk sebelum atau pada saat pembentukan sesar. Dalam penentuan jenis sesar ini sangat lemah dan data yang dipakai tidak hanya kekar, tetapi juga jalur sesar yang diamati dari peta topografi, foto udara, dan peta DEM.

12 Analisis Kekar Seperti dikemukakan oleh beberapa penulis, dan secara tegas oleh Bott (1959) bahwa pergerakan sesar akan mengikuti arah rekahan gunting (Conjugate Shear). Dengan analisis kekar dalam penentuan jenis kekar hal ini dapat diterapkan dengan menggunakan pemodelan Anderson dengan patokan sebagai berikut : 1. σ 1 berada pada titik tengah perpotongan dua bidang Conjugate Shear yang mempunyai sudut sempit 2. σ 2 berada pada titik perpotongan antara dua bidang Conjugate Shear. 3. σ 3 berada pada titik tengah perpotongan dua bidang Conjugate Shear yang mempunyai sudut tumpul 4. σ 1 σ 2 σ 3 5. Orientasi Tensional Joint dengan orientasi σ 1 6. Orientasi Stylolites dengan orientasi σ 3 7. Bidang shear dan tensional akan membentuk sudut sempit 8. Bidang shear dan release joint akan membentuk sudut tumpul Proyeksi Stereografi Proyeksi stereografi merupakan cara pendekatan deskripsi geometri yang efisien untuk menggambarkan hubungan sudut antara garis dan bidang secara langsung. Pada proyeksi stereografi, unsur struktur geologi digambarkan dan dibatasi di dalam suatu permukaan bola (sphere). Bila pada suatu bidang miring

13 17 ditempatkan pada suatu permukaan bola melalui pusat bola, maka bidang tersebut akan memotong permukaan bola sebagai lingkaran besar (great circle) atau disebut sebagai proyeksi permukaan bola (spherical projection). Pada umumnya dasar proyeksi yang akan dipakai adalah proyeksi sferis pada belahan bola bagian bawah (lower hemisphere), akan tetapi ada pula yang memakai bagian atasnya (upper hemisphere). Proyeksi permukaan bola ini digam-. Gambar 2.4 Proyeksi stereografi dari sebuah bidang (Ragan, 1973). barkan pada setiap titik pada lingkaran besar melalui titik puncak zenith. Hasil proyeksi pada bidang equator dinamakan stereogram atau proyeksi stereografi. Struktur bidang atau garis diproyeksikan dengan cara yang sama yaitu melalui perpotongannya dengan permukaan bola sebagai proyeksi sferis atau titik, dan diproyeksikan pada bidang horizontal melalui Zenith. Hasil proyeksi sferis ini masih dalam bentuk tiga dimensi. Untuk mengubah tampilan tiga dimensi ini menjadi bentuk dua dimensi digunakan proyeksi planar dari permukaan bola ke dalam suatu bidang planar.

14 18 Pengolahan dan analisis data kekar dilakukan dengan menggunakan Proyeksi Stereografi yang merupakan salah satu metode yang digunakan dalam analisis geologi struktur yang mempresentasikan bentuk tiga dimensi di lapangan dalam bentuk dua dimensi. data arah jurus dan kemiringan kekar tiap bentangan diplot ke dalam Schmidt Net, dan dicari kutub (pole) tiap bidang. Pengkonturan tiap kutub dengan menggunakan Counting Net dari Kalsbeek (net pencacah dari Kalsbeek). A B Gambar 2.5 A. jaring sama sudut (Wulf Net) ; B. Jaring sama luas (Schmidt Net) untuk analisis data kekar Setiap data arah jurus dan kemiringan kekar tiap bentangan diplot ke dalam Schmidt Net, dan dicari kutub (pole) tiap bidang. Pengkonturan tiap kutub dengan menggunakan Counting Net dari Kalsbeek (net pencacah dari Kalsbeek) akan menghasilkan bidang puncak maksimal yang merupakan densitas terbesar dari seluruh data yang diplot. Proses pengeplotan data kekar ini dibantu dengan program Dips.

15 19 Gambar 2.6 Counting Net dari Klasbeek untuk analisis data kekar Sesar Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran relative (displacement) yang berarti, melalui bidang rekahnya (Billings, 1972). Suatu sesar dapat berupa bidang sesar, ataupun rekahan tunggal. Tetapi lebih sering berupa jalur sesar (Fault Zone), yang terdiri lebih dari satu sesar. Jalur sesar biasanya memiliki dimensi panjang dan lebar yang beragam, dari skala minor sampai dengan puluhan kilometer. Kekar yang memperlihatkan ada pergeseran walau sedikit dapat pula dikatakan sebagai sesar minor. Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengetahui dan mengenal unsur unsur struktur sebagai berikut: 1. Bidang sesar (slicken side), yaitu bidang sepanjang rekahan dalam batuan yang mengalami pergeseran. 2. Dip sesar, yaitu sudut antara bidang sesar dengan bidang horizontal dan diukur tegak lurus dari jurus (strike) kekar. Jurus dan dip sesar ini menunjukkan kedudukan dari bidang sesar. 3. Hanging wall, yaitu blok batuan yang berada relatif diatas bidang sesar. 4. Foot wall, yaitu blok batua yang berada relatif dibawah bidang sesar.

16 20 5. Slicken line, yaitu garis gerusan yang terbentuk akibat pergeseran di bidang sesar. 6. Pitch, yaitu sudut yang dibentuk dari perpotongan garis gerus (slicken line) dengan garis horizontal. 7. Hade, sudut antara garis vertikal dengan bidang sesar dan merupakan penyiku dari dip sesar. 8. Throw, komponen vertikal dari slip diukur pada vertikal yang tegak lurus terhadap jurus sesar. 9. Heave, komponen horisontal yang tegak lurus dari slip diukur pada bidang vertikal yang tegak lurus terhadap jurus sesar. Gambar 2.7 Unsur unsur struktur sesar Keterangan gambar diatas yaitu : Blok kiri = footwall θ = hade = 90o dip Blok kanan = hanging wall ae = vertical slip = throw α = dip de = horizontal slip = heave β = pitch

17 Pemodelan Patahan Anderson (1951) Anderson membuat suatu pemodelan yang menjelaskan hubungan antara pola tegasan dan bidang patah yang terbentuk (Gambar 2.6), dengan kesimpulan : 1. Sesar normal terbentuk bila σ 1 vertikal. 2. Sesar mendatar terbentuk bila σ 2 vertikal. 3. Sesar naik terbentuk bila σ 3 vertikal. Gambar 2.8 Klasifikasi sesar menurut Anderson, 1951 (dalam M. Thomas, 2006), berdasarkan analisa kekar dalam bentuk stereogram dan sistem tegasannya Teori Sistem Sesar Mendatar Moody and Hill (1956) Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Moody and Hill (1956) yang meneliti hubungan tegasan utama terhadap unsur unsur struktur yang terbentuk maka muncul teori pemodelan sistem sesar mendatar Moody and Hill sebaga berikut:

18 22 1. Jika suatu materi yang homogen dikenai suatu gaya kompresi akan menggerus pada sudut 30 0 terhadap arah tegasan maksimum yang mengenainya, bidang gerus maksimum sejajar terhadap sumbu tegasan menengah dan berada 45 0 terhadap tegasan kompresi maksimum. Rentang sudut 15 0 antara 45 0 bidang gerus maksimum dan 30 0 bidang gerus yang terbentuk akibat adanya sudut geser dalam (internal friction). 2. Suatu kompresi stress yang mengenai suatu materi homogen, pada umumnya dipecahkan ke dalam tiga arah tegasan (sumbu tegasan maksimum, menengah, dan minimum). Kenampakan bumi dari udara adalah suatu permukaan dengan tegasan gerusnya nol, dan seringkali tegak lurus atau normal terhadap salah satu arah tegasan, akibatnya salah satu dari tiga arah tegasan tersebut akan berarah vertikal. 3. Orde kedua dari sistem ini muncul dari tegasan orde kedua yang berarah 45 0 dari tegasan utama orde pertama atau tegak lurus terhadap bidang gerus maksimal orde pertama. Bidang gerus orde kedua ini akan berpola sama dengan pola bidang gerus yang terbentuk pada orde pertama. 4. Orde ketiga dalam sistem ini arahnya akan mulai menyerupai arah orde pertama, sehingga tidak mungkin atau sangat sulit untuk membedakan orde keempat dan seterusnya dari orde pertama, kedua, dan ketiga. Selain dari pemodelan pemodelan di atas, sebenarnya masih banyak lagi pemodelan pemodelan struktur geologi yang telah dibuat oleh peneliti peneliti lainnya.

19 23 Gambar 2.9. pemodelan sesar mendatar Moody and Hill (1956) Klasifikasi Sesar Klasifikasi sesar telah banyak dikemukakan oleh para peneliti terdahulu. Mengingat struktur sesar adalah rekahan di dalam bumi yang ditimbulkan karena pergeseran sehingga untuk membuat analisis strukturnya diusahakan untuk mengetahui arah pergeseran tersebut. Mengingat arah dari pergeseran memiliki beberapa kemungkinan, dan pitch yang berkisar , maka Rickard (1972) membuat pengelompokan sesar yang termasuk pada strike-slip dan dip-slip.

20 24 Gambar 2.10 Diagram klasifikasi sesar (Rickard, 1972) Penamaan sesar (Rickard, 1972) berdasarkan nomor yang ada pada gambar 2.11 sebagai berikut: 1. Sesar naik dengan dip < 45 0 (Thrust slip fault). 2. Sesar naik dengan dip > 45 0 (Reverse slip fault). 3. Sesar naik dekstral dengan dip < 45 0 (Right thrust slip fault) 4. Sesar dekstral naik dengan dip < 45 0 (Thrust right slip fault) 5. Sesar dekstral naik dengan dip > 45 0 (Reverse right slip fault) 6. Sesar naik dekstral dengan dip > 45 0 (Right reverse slip fault) 7. Sesar dekstral (right slip fault) 8. Sesar dekstral normal dengan dip < 45 0 (Lag right slip fault) 9. Sesar normal dekstral dengan dip < 45 0 (Right lag slip fault) 10. Sesar normal dekstral dengan dip > 45 0 (Right normal slip faut) 11. Sesar dekstral normal dengan dip > 45 0 (Normal right slip fault) 12. Sesar normal dengan dip < 45 0 (Lag slip fault)

21 Sesar normal dengan dip > 45 0 (Normal slip fault) 14. Sesar normal sinistral dengan dip < 45 0 (Left lag slip fault) 15. Sesar sinistral normal dengan dip < 45 0 (Lag left slip fault) 16. Sesar sinistral normal dengan dip > 45 0 (Normal left slip fault) 17. Sesar normal sinistral dengan dip > 45 0 (Left Normal slip fault) 18. Sesar sinistral (Left slip fault) 19. Sesar sinistral naik dengan dip < 45 0 (Thrust left slip fault) 20. Sesar naik sinistral dengan dip < 45 0 (Left thrust slip fault) 21. Sesar naik sinistral dengan dip > 45 0 (Left reverse slip fault) 22. Sesar sinistral naik dengan dip > 45 0 (Reverse left slip fault) Untuk Geometri dari sesar, Geometrinya sangat ditentukan sekali oleh jenis tegasan yang mendeformasi batuan. Berikut adalah beberapa geometri sesar: 1. Planar, sesar dengan geometri bidang yang lurus 2. Listric sesar dengan geometri bidang yang cekung keatas (kemiringan bidang sesar makin dalam makin berkurang) 3. Stepening downward atau cembung keatas (kemiringan bidang sesar makin dalam makin besar) 4. Anastomosing sesar dengan bidang becabang-cabang yang tidak beraturan Lipatan Lipatan merupakan suatu bentuk lengkungan dari suatu bidang perlapisan batuan yang diakibatkan baik oleh tektonik maupun non tektonik. Bentuk

22 26 lengkungan tersebut dicirikan oleh jurus dan kemiringan perlapisan atau strike/dip. Lipatan yang diakibatkan oleh tektonik biasanya mempunyai pola-pola tertentu tergantung dari tegasan atau gaya yang mempengaruhinya. Sedangkan lipatan non-tektonik dapat terbentuk akibat longsoran seperti struktur slump atau gravity sliding, pola lipatan ini umumnya tidak beraturan. Unsur-unsur geometri lipatan terdiri atas limb (sayap lipatan), inflexion point (titik balik lengkungan pada sayap lipatan), trought (daerah terendah lipatan), crest (puncak lipatan), hinge (titik maksimum lengkungan), depresion (titik terendah puncak lipatan), culmination (titik terendah puncak lipatan), axial line (garis yang menghubungkan hinge point), axial plane (bidang sumbu lipatan yang membagi sudut sama besar antar sayap), plunge (sudut penunjaman lipatan dengan arah horizontal), fold axis (sumbu lipatan),horizontal plane (bidang khayal mendatar dari lipatan) Klasifikasi lipatan menurut Fleuty (1964) berdasarkan nilai sudut interlimb (sudut yang dibentuk oleh perpotongan dan perpanjangan kemiringan limb dan nilai sudut penungjaman (plunge). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini;

23 27 Tabel 2.2 Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut interlimb (Fleuty, 1964) Sudut interlimb Klasifikasi Lipatan Gentle Open Close Tight 0 0 Isoclinal Negatif Mushroom Tabel 2.3 Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut Plunge (Fleuty, 1964) Sudut Plunge Klasifikasi Lipatan Horizontal Gently plunging fold Moderately plunging fold Steeply inclined fold Vertical fold

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut : Landasan Teori Geologi Struktur Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk (arsitektur) batuan akibat proses deformasi serta menjelaskan proses pembentukannya. Proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan. Ukuran pergerakan ini adalah bersifat relatif

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani GEOLOGI STRUKTUR PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.com Lembaga Pelatihan OSN PEDAHULUAN Geologi : Ilmu yang mempelajari bumi yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold).

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold). 9. Struktur Geologi 9.1. Struktur geologi Struktur geologi adalah gambaran bentuk arsitektur batuan-batuan penyusunan kerak bumi. Akibat sedimentasi dan deformasi. berdasarkan kejadiannya, struktur geologi

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat Iyan Haryanto, Faisal Helmi, Aldrin dan Adjat Sudradjat*) Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Abstrak Struktur geologi daerah Jonggol

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1. Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

Gambar 1.2 Anatomi lipatan (Mc Clay, 1987)

Gambar 1.2 Anatomi lipatan (Mc Clay, 1987) ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI METODE STEREOGRAFIS Disusun Oleh : Eko Suko Wiratmoko 1. LIPATAN 1.1 Definisi Lipatan Lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografi Regional Secara geografis, Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Secara geografis Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Adapun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geomorfologi Secara fisiografis, Jawa Tengah dibagi menjadi enam satuan, yaitu: Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran Aluvial Jawa Utara, Antiklinorium Bogor - Serayu Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU

PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU 1 ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU Data : Diketahui arah dip semu dari batuan yang sama pada dua singkapan batuan sedimen adalah 30, N 45 E dan 40, N 150 E dan tidak menunjukkan

Lebih terperinci

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956) Novia Dian Sundari STRIKE-SLIP FAULTS 12/39585 Sesar mendatar (Strike slip fault atau Transcurent fault atau Wrench fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH P.A. Pameco *, D.H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG JAWA BARAT

ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG JAWA BARAT Analisis kekar pada batuan sedimen klastika Formasi Cinambo di Sungai Cinambo Sumedang, Jawa Barat (Faisal Helmi) ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG

Lebih terperinci

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI BAB IV STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar (Gambar 4.1) yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar naik berarah relatif WNW-ESE, sesar geser berarah relatif utara-selatan dan

Lebih terperinci

BAB VI SEJARAH GEOLOGI

BAB VI SEJARAH GEOLOGI BAB VI SEJARAH GEOLOGI Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dengan terjadinya penurunan pada Cekungan Bogor (Martodjojo, 1984) pada kala Oligosen Miosen, sehingga lingkungan daerah Cekungan Bogor

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian Pola struktur yang berkembang pada daerah penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh pola Jawa dengan kompresi berarah utara-selatan karena terbentuk pola struktur dan kelurusan yang berarah relatif barat-timur.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesarsesar mendatar yang umumnya berarah timurlaut baratdaya dan lipatan yang berarah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Identifikasi Struktur Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Dasar Analisis Macam keterakan berdasarkan gaya pembentuknya: Irrotational Strain (pure shear) disebabkan tegasan tekanan (model Moody & Hill, 1956)

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40.

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40. Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40. 4.1.4 Sesar Anjak Cisaar 1 Gejala sesar ini dijumpai pada Sungai Cisaar pada lokasi CS 40, CS 41, CS 4, CS 2, dan CS 10. Kehadiran sesar ini ditunjukkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i PERNYATAAN... ii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x SARI... xi ABSTRACT... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1. Latar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT)

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT) SESAR MENDATAR Pergerakan strike-slip/ pergeseran dapat terjadi berupa adanya pelepasan tegasan secara lateral pada arah sumbu tegasan normal terkecil dan terdapat pemendekan pada arah sumbu tegasan normal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Tahap pertama merupakan pendekatan tidak langsung, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar sesar anjak berarah WNW - ESE, sesar-sesar geser berarah NE - SW. Bukti-bukti

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB V SEJARAH GEOLOGI

BAB V SEJARAH GEOLOGI BAB V SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, dan data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci